Anda di halaman 1dari 4

KEKHASAN PERKEMBANGAN AGAMA BUDHA DI JAKARTA

Perdagangan adalah awal mula berkembangnya corak Kerajaan Hindu Budha di Indonesia. Pada
masa itu, Indonesia merupakan tempat singgah jalur maritim bagi negara lain. Banyak teori
berkembangnya agama Hindu Budha di Indonesia, salah satunya dikatakan Hindu Budha masuk
melalui orang-orang buangan dari India. Sementara teori lainnya mengatakan agama Hindu
Budha berkembang lantaran pernikahan para pedagang asal India dengan penduduk Nusantara
sebutan untuk Indonesia masa itu. Perkembangan agama ini kemudian melahirkan Kerajaan
Hindu Budha di Indonesia dengan peninggalan sejarah seperti candi, bangunan, artefak dari
kerajaan besar Hindu Budha di berbagai wilayah nusantara.

 Kerajaan Tarumanegara (358 - 699 Masehi)

Dalam catatan sejarah, Kerajaan Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua di
Indonesia dan terbesar di Nusantara pada masa jayanya.

Catatan pada prasasti sejarah peninggalan Tarumanegara di Kebon Kopi dan Ciaruteun
menyebut kerajaan Tarumanegara berdiri pada abad 4 atau 5 masehi.

Kerajaan yang didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman memiliki daerah kekuasaan mulai
dari Banten, Jakarta, hingga Cirebon.

Masa keemasan kerajaan Tarumanegara berada saat pemerintahan Purnawarman. Prasasti


kerajaan Tarumanegara tersebar di Bogor (Muara Cianten, Jambu, Kebon Kopi, Ciaruteun, Pasir
Awi), Jakarta (Tugu) dan Banten (Cidanghiang).

 Peninggalan Prasasti dari Kerajaan Tarumanegara

Prasasti Tugu

Prasasti Tugu ditemukan di Kampung Batutumbuh, Desa Tugu. Kini lokasi penemuan masuk ke
dalam wilayah Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Ketika ditemukan
prasasti ini terkubur di bawah tanah. Hanya bagian puncak prasasti yang terlihat di permukaan
tanah setinggi sekitar 10 cm.

Prasasti Tugu merupakan prasasti terpanjang yang dikeluarkan oleh Purawarman yang berisi
keterangan mengenai penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai
Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12km oleh Purawarman pada tahun ke-22 masa
pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana
alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purawarman, dan kekeringan
yang terjadi pada musim kemarau.

Pada tanggal 4 Maret 1879, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen


mengadakan rapat pimpinan yang membahas mengenai penemuan Prasasti Tugu. Dalam rapat
tersebut J.A. van der Chijs mengusulkan agar batu prasasti tersebut dipindahkan ke museum.

Trasnkripsi prasasti ini pertama kali dikerjakan oleh H.Kern (1885, 1910, 1911) sedangkan
pembahasan dan penafsiran prasasti tersebut antara lain dikemukakan oleh N.J. Krom (1926,
1931), F.D.K. Bosch (1951, 1961), R.M.Ng. Poerbatjaraka (1952), J. Noordyun dan H. Th.
Verstappen (1972).

Pada tahun 1911, prasasti ini dipindahkan ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen (kini Museum Nasional) atas usaha P. de Roo de la Faille.

Pada tahun 1973, diadakan penggalian arkeologi di lokasi penemuan Prasasti Tugu. Dalam
penggalian tersebut ditemukan sejumlah pecahan gerabah dari berbagai jenis, pola hias, dan
ukuran yang mempunyai persamaan dengan gerabah Kompleks Buni.

Prasasti tugu dipahatkan pada batu andesit berbentuk bulat telur dengan tinggi 1 meter.
Tulisan pada prasasti ini berjumlah 5 baris, beraksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta,
berbentuk sloka dengan metrum anustubh. Meskipun tidak tercantum angka tahun, bentuk
huruf Pallawa pada Prasasti Tugu menunjukkan bahwa diperkirakan berasal dari pertengahan
abad V. Bentuk huruf ini mirip dengan yang terdapat pada Prasasti Cidanghiang.

Selain pahatan tulisan, pada prasasti ini juga terdapat pahatan hiasan berbentuk tongkat
dengan ujung menyerupai trisula. Gambar tongkat ini dipahat memanjang tegak lurus dan
menjadi pembatas tiap baris tulisan pada prasasti.

Alih bahasa:

“Dulu (sungai yang bernama) Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan
mempunyai lengan kencang dan kuat (yakni Raja Purawarman) untuk mengalirkannya ke laut,
setelah (sungai ini) sampai di istana kerajaan yang termahsyur.

Di dalam tahun ke-22 dari takhta Yang Mulia Raja Purawarman yang berkilau-kilauan karena
kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, (sekarang) beliau
menitahkan pula menggali sungai yang permai dan berair jernih, Gomati namanya, setelah itu
mengalir di tengah-tengah tanah kediaman Yang Mulia Nenekda (Sang Purawarman).
Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, tanggal 8 paroh-gelap bulan Phalguna dan selesai
pada hari tanggal 13 paro-terang bulan Caitra, jadi hanya 21 hari saja, sedang galian itu
panjangnya 6122 dhanus (busur) [= lk. 11 km]

Selamatan dilakukan oleh para brahmana disertai 100 ekor sapi yang dihadiahkan.”

Kerajaan Sunda Padjajaran merupakan kerajaan Hindu-Buddha yang terletak di Jawa Barat.
Kerajaan Sunda Pajajaran berdiri pada sekitar abad ke-7 hingga abad ke-16 Masehi. Wilayah
kerajaan Sunda Pajajaran meliputi wilayah barat pulau Jawa seperti Banten, Jakarta, Bandung,
Sukabumi, Bogor. Sumber sejarah yang mencatat keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran adalah
Carita Parahyangan. Carita Parahyangan merupakan sebuah naskah yang berisi tentang tradisi
Sunda pada masa kuno serta silsilah raja-raja Sunda. Selain itu, terdapat pula beberapa prasasti
yang menyebutkan ekistensi kerajaan Sunda yaitu, prasasti Citatih (1030 Masehi), prasasti
Batutulis Bogor, prasasti Kawali, dan lain sebagainya.

Bunga Mandarava dikaitkan dengan Ajaran Niciren Syoyu, maka bunga mandarava memiliki
makna yaitu dengan adanya bunga mandarava bisa mengungkapkan kekuatan Gohonzon dan
bisa mengatasi kesulitan dari iblis serta jiwa Sang Buddha benar-benar ada disitu. Dengan
adanya kalimat sutra dibagian kiri dan kanan, untuk memunculkan kekuatan Gohonzon agar
seluruh mahluk hidup bisa mencapai kesadaran Buddha.

Selain sebagai fungsi dekoratif, estetika, sebenarnya mempunyai makna, karena bunga
mandarava merupakan lambang kegembiraan artinya orang menyebut Nammyohorenggegyo
tersebut suasana hatinya seperti Sang Buddha, pada saat Sang Buddha membabarkan
SadharmaPundarika-Sutra, amat gembiranya Sang Buddha Sakyamuni melempar jubah keatas
langit sehingga dari langit turunlah bunga mandarava, sebagaimana yang diceritakan dalam
kitab suci Agama Buddha Sekte Niciren Syosyu. Secara kejiwaan umat Agama Buddha Sekte
Niciren Syosyu menggangap benar adanya bunga mandarava dalam arti suasana jiwa ketika
berdoa menyebut mantra agung Nammyohorenggegyo suasana hati kita jadi gembira karena
kita menemukan kesadaran, misalnya habis menderita kemudian sembahyang menyebut
Namyohorenggegyo dari situ menemukan kesadaran, sebenarnya yang salah adalah diri sendiri
bukan orang lain, setelah menemukan kesadaran tersebut suasana hati menjadi gembira.
Dalam buku Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara (2017) karya Sri Wintala Achmad,
mayoritas masyarakat kerajaan Sunda bekerja di sektor agraris. Hal tersebut dikarenakan
wilayah kerajaan Sunda memiliki karakteristik tanah-tanah yang subur untuk melaksanakan
aktivitas pertanian dan peternakan. Masyarakat kerajaan Sunda yang tinggal di kawasan pesisir
seperti Banten dan Jakarta cenderung bergantung dari sektor maritim dan perdagangan.
Mereka melakukan perdagangan dengan pulau-pulau lain untuk mendapat keuntungan.
Dalam tatanan sosial masyarakat kerajaan Sunda, kelompok masyarakat dibagi atas dasar fungsi
yang dimiliki kelompok tersebut. Contoh kelompok masyarakat kerajaan Sunda adalah pahuma
(petani ladang), puhawang (pelaut), palika (nelayan), marangguy (pengukir), pandita (pemimpin
agama), prajurit keamanan, dan lainnya. Agama yang dianut oleh raja-raja Sunda adalah Hindu
Saiwa. Mereka menyembah dewa Siwa sebagai dewa tertinggi dalam Trimurti. Hal ini
dibuktikan dari prasasti Sanghyang Tapak, prasasti Kawali, dan naskah Carita Parahyangan. Raja
Sunda memiliki toleransi yang besar dalam bidang agama dan kepercayaan. Meski raja
menganut agama Hindu Saiwa, beberapa rakyat kerajaan Sunda ada yang menganut agama
Hindu Waisnawa dan Buddha.

Anda mungkin juga menyukai