Anda di halaman 1dari 10

TUGAS SEJARAH INDONESIA

MAKALAH KERAJAAN SUNDA

TUGAS KELOMPOK
DISUSUN OLEH :

NURHIKMAH ISMIAYAU
NUR AULIA PUTRI
NUR WAHIDA
MUH. FADIL S
MURSIDIN

SMA NEGERI 13 TAKALAR


TAHUN AJARAN 2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kerajaan Sunda merupakan kerajaan yang terletak di Jawa Barat. Tidak bisa
dipastikan dimana pusat kerajaan ini sesungguhnya. Berdasarkan sumber sejarah
berupa prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno dikatakan bahwa pusat
kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan. Menurut Kitab Carita
Parahyangan, Ibukota kerajaan Sunda mula-mula di Galuh, kemudian menurut
Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di tepi sungai Cicatih, Cibadak Sukabumi,
Isi dari prasasti itu tentang pembuatan daerah terlarang di sungai itu yang ditandai
dengan batu besar di bagian hulu dan hilirnya. Oleh Raja Sri Jayabhupati penguasa
kerajaan Sunda. Di daerah larangan itu orang tidak boleh menangkap ikan dan hewan
yang hidup di sungai itu. tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan
(agar ikan dan lain-lainnya tidak punah) siapa yang berani melanggar larangan itu, ia
akan dikutuk oleh dewa-dewa.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan di bahas dalam makaah ini adalah :
1) kapan Berdirinya Kerajaan Sunda?
2) dimana Letak Kerajaan Sunda?
3) Catatan-catatan Sejarah Kerajaan Sunda
4) Struktur kerajaan dan Birokrasi
5) Raja-raja yang Pernah Memerintah Kerajaan Sunda
BAB II
PEBAHASAN

2.1 Berdiriya kerajaan Sunda


Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan
yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang
terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi
(memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi
Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang
keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa
dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri
Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman
meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini
menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak.
Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara
dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara,
Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara
dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan
Sungai Citarum sebagai batas.

2.2 Lokasi ibukota Sunda


Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru,
seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya, di daerah pedalaman dekat
hulu Sungai Cipakancilan. Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya
disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-
raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.
Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang
ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak
sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu.
Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya
menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk
kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis
Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak
ibukota Tarumanagara.

2.3 Catatan Sejarah Kerajaan Sunda


a. Sumber Dari Dalam
Rujukan awal nama Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti
Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi).[1] Prasasti itu ditulis dalam aksara
Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini
terjemahannya sebagai berikut:
Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458
Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda.
Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai
854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun
536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ).
Rujukan lainnya kerajaan Sunda adalah Prasasti Sanghyang Tapak yang
terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi
sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam
bahasa Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional
Jakarta, dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut
Pleyte):
Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika
pada hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku
Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati
Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro
Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang
Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada seorang pun yang
diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang
menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai
perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini dibuat,
ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan dihukum
oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya disedot,
darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.
Tanggal prasasti Jayabupati diperkirakan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka
Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-
964) saka (1030 - 1042AD).

b. Sumber Dari Luar


1). Catatan sejarah dari Cina
Menurut F. Hirt dan WW Rockhill, ada sumber Cina tertentu mengenai
Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan
dengan negara-negara asing, Zhao Rugua mengumpulkan laporan dari para
pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negara-negara asing.
Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225,
menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o".[2] Zhao melaporkan bahwa:
"Orang-oarang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja
dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah
panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-
dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan. Laki-laki dan
perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan
memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang
tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi
kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu,
tebu, telur kacang dan tanaman."
Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan
:
"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa,
kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa,
mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya
dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal
dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati
Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."
2). Catatan sejarah dari Eropa
Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya
Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu
adalah Tomé Pires dari Portugal. Dalam bukunya Suma Oriental (1513 - 1515)
ia menulis bahwa:
"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah
dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda
luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya."
Tulisan ini yang membawa kerancuan, dengan menyatakan bahwa kerajaan
Sunda meliputi "sepertiga dari pulau Jawa", sedangkan pada masa Pires Sunda
masih mengacu ke pelabuhan yang sekarang namanya Banten.

c. Struktur Kerajaan dan Birokrasi


Berdasarkan cerita-cerita yang kita peroleh melalui cerita pantun tentang
kebesaran kerajaan , dapat diketahui bahwa kraton yang menjadi tempat
bersemayam raja pada umumnya terdiri atas lebih dari sebuah bagunan, namun
karena minimnya pengetahuan kita belum dapat dipergunakan untuk melakukan
rekonstruksi kreaton zaman itu.

d. Kehidupan Masyarakat
a). Masyarakat Ladang
Kelompok masyarakat berdasarkan ekonomi dapat terbagi menjadi
pangalasan (orang utas), jurulukis (pelukis), pande dang (pandai tembaga),
pande mas (pandai mas), pande glang (pandai gelang), pande wesi (pandai
besi), guru wida madu wayang (pembuat wayang), kumbang gending (penabuh
atau pembuat gamelan), tapukan (penari), banyolan (badut), pahuma
(peladang), rere angon (pengembala) dan masih bayak yang lain.[3] Semua
kelompok masyarakat tersebut melaksanakan darma dan tugas masing-masing
sesuai dengan fungsinya.
Kerajaan Sunda adalah sebuah negara yang umumnya hidup dari
pertanian , terutama dari perladangan. Yang terbukti dari sumber-sumber berita
baik tertulis maupun lisan, diantaranya dalam cerita parahyangan. Pada
umumnya manusia ladang bertempat tinggal di ladangnya masing-masing,
sehingga mereka hidup terpencil dari peladang lain yang menjadi tetangganya.

b). Agama dan Budaya


Agama dan budaya yang berkembang di kerajaan Sunda sangat identik
dengan kebudayaan hindu. Pengaruh hindu ini rupanya cukup kuat, sehingga di
dalam naskah sawakandarma yang juga disebut serat dewabuda yang berasal
dari tahun 1357 kasa atau 1435 M, masih kita temukan nama-nama para dewa
agama hindu seperti Brahma, Wisnu, dan lain-lain.[4]
Sementara hasil kebudayaan yang berkembang pada masa itu diantaranya seni
sastra, lukis, ukir, gamelan, dan sebagainya.

e. Raja-raja Kerajaan Sunda


Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda
menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
· Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
· Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
· Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
· Rakeyan Banga (739 - 766)
· Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
· Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
· Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
· Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
· Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
· Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
· Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
· Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
· Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
· Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
· Munding Ganawirya (964 - 973)
· Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
· Brajawisésa (989 - 1012)
· Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
· Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
· Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
· Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
· Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
· Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
· Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
· Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
· Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
· Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
· Prabu Linggadéwata (1311-1333)
· Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
· Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
· Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-
1357)
· Prabu Bunisora (1357-1371)
· Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
· Prabu Susuktunggal (1475-1482)
· Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
· Prabu Surawisésa (1521-1535)
· Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
· Prabu Sakti (1543-1551)
· Prabu Nilakéndra (1551-1567)
· Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kerajaan Sunda merupakan kerajaan pecahan dari kerajaan tarumanegara.
Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu menurut prasasti
Astana Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di Pakwan Pajajaran.
Mengenai perpindahan kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-hal yang
bersifat ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan
perpindahan pusat ibu kota suatu kerajaan.
Kerajaan Sunda menguasai daerah Jawa Barat untuk waktu yang lama,
diantara rajanya, yang terkenal adalah Jaya Bhupati dan Sri Baduga Maharaja.

Anda mungkin juga menyukai