Anda di halaman 1dari 17

Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu 10.36869/pjhpish.v8i1.

225
DOI: Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022:

PRASASTI-PRASASTI KERAJAAN SUNDA DI WILAYAH


PINGGIRAN: TINJAUAN TEORI PANOPTICON
INSCRIPTIONS OF KINGDOM OF SUNDA IN PERIPHERY AREA:
A STUDY OF PANOPTICON THEORY

Muhamad Alnoza
Program Magister Antropologi, Universitas Gadjah Mada
muhamadalnoza@mail@ugm.ac.id
Naskah diterima 1-3-2021. Naskah direvisi 16-4-2022. Naskah disetujui 27-5-2022

ABSTRACT
The Sunda Kingdom was a Hindu-Buddhist kingdom that ruled Western Java from the eighth century
to the sixteenth century AD. The Sunda Kingdom is mainly represented through inscriptions supposedly
discovered in the Sukabumi and Cirebon districts. As a result, it’s assumed that the Sunda Kingdom
once had an associative tie between Pakwan Pajajaran, the kingdom’s center, and the surrounding
suburbs. The content in the Sang Hyang Tapak and Huludayeuh inscriptions as a panopticon medium
and the location of its discovery as a Sunda Kingdom suburb are discussed in this paper. This study
project aims to recreate the Sunda Kingdom’s center and peripheral districts during the reign of the
king, which commissioned the Sang Hyang Tapak and Huludayeuh inscriptions. A qualitative research
method was employed in this study. Through indicators of power discourse in the Sang Hyang Tapak and
Huludayeuh inscriptions, new information on production areas and the borders of the Sunda kingdom
might be discovered based on the research findings.
Keywords: Periphery Area; Kingdom of Sunda; Huludayeuh Inscription, Sang Hyang Tapak Inscription;
Panopticon.

ABSTRAK
Kerajaan Sunda merupakan negara yang bercorak kebudayaan Hindu-Buddha yang berdiri di Jawa
Barat dan berkuasa selama abad ke-8 hingga abad ke-16 M. Kerajaan tersebut oleh para peneliti
sebelumnya diperkirakan membentang dari Banten hingga sebagian wilayah barat Jawa Tengah pada
masa kejayaannya (abad ke-16 M). Sebagai suatu negara yang besar, kerajaan ini berpusat di Kota
Pakwan Pajajaran atau Bogor sekarang. Secara arkeologis, temuan-temuan yang berhubungan dengan
Kerajaan Sunda utamanya berupa prasasti, rupanya juga ditemukan di daerah Sukabumi dan Cirebon.
Oleh karena itu, muncul asumsi bahwa di masa lalu Kerajaan Sunda telah membangun hubungan
asosiatif antara Pakwan Pajajaran sebagai pusat kerajaan dan daerah pinggiran di sekitarnya. Kajian
ini dengan demikian mempermasalahkan bagaimana keterkaitan antara keterangan pada Prasasti Sang
Hyang Tapak dan Huludayeuh sebagai media panopticon dengan lokus penemuannya sebagai suatu
daerah pinggiran Kerajaan Sunda. Tujuan dari diajukannya permasalahan penelitian ini adalah untuk
merekonstruksi daerah pusat dan pinggiran di Kerajaan Sunda pada masa pemerintahan raja yang
mengeluarkan Prasasti Sang Hyang Tapak dan Huludayeuh. Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat
dijumpai informasi baru berupa indikasi keberadaan daerah produksi dan perbatasan Kerajaan Sunda
melalui wacana kekuasaan pada Prasasti Sang Hyang Tapak dan Huludayeuh.
Kata kunci: Daerah Pinggiran; Kerajaan Sunda; Prasasti Huludayeuh; Prasasti Sang Hyang Tapak;
Panopticon.

153
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

PENDAHULUAN sebagaimana tampak dari banyaknya


Kerajaan Sunda adalah salah satu pelabuhan yang Kerajaan Sunda kuasai kala
kerajaan bercorak kebudayaan Hindu-Buddha itu. Pires mencatat bahwa Kerajaan Sunda
di Jawa. Kerajaan yang berkembang di ketika ia datang, memiliki kurang lebih
wilayah Jawa bagian barat ini, diperkirakan enam pelabuhan yang tersebar di seluruh
telah eksis sejak abad ke-9 M. Dugaan pantai utara Jawa bagian barat. Pelabuhan-
tersebut didasarkan pada penemuan nama pelabuhan itu di antaranya Bantam (Banten),
“Sunda” pada Prasasti Kebon Kopi II Cheguide (Cigede), Tamgaram (Tangerang),
yang ditemukan di Bogor. (Djafar, 2014). Calapa (Sunda Kalapa/Jakarta), Chemano
Keterangan yang lebih jelas mengenai (Cimanuk), dan Chereboam (Cirebon).
sejarah Kerajaan Sunda justru muncul dari Melalui pelabuhan-pelabuhan tersebut,
manuskrip Carita Parahyangan. Menurut Kerajaan Sunda menyalurkan komoditas
berita dari sumber tertulis tersebut, penguasa dagangnya seperti lada, tarum, dan kain, ke
pertama yang berkuasa atas takhta Kerajaan berbagai negara seperti Malaka, Benggala,
Sunda adalah Trarusbawa (Munandar et al., Pegu, Siam, dan Cina (Cortesao, 2018).
2011). Dikatakan bahwa Raja Trarusbawa Kerajaan Sunda kemudian mengalami
merupakan pendiri dari ibu kota Kerajaan keruntuhan, setelah Kesultanan Banten
Sunda yang ia namai sebagai Pakwan yang dipimpin oleh Sultan Maulana Yusuf
Pajajaran (Lubis, 2013). menggempur ibu kotanya di Pakwan
Carita Parahyangan turut pula Pajajaran (Tjandrasasmita, 2009b).
menyebutkan bahwa ibu kota Kerajaan Terlepas dari panjangnya sejarah
Sunda memiliki lima bangunan keraton. Kerajaan Sunda selama sekitar tujuh abad,
Lima bangunan tersebut dibangun sejajar, terdapat beberapa tinggalan Kerajaan Sunda
sehingga kemudian kota yang menaunginya berupa prasasti yang ditemukan di luar ibu
disebut pakwan pajajaran atau “pusat kota kerajaan tersebut (dalam hal ini Bogor).
pemerintahan yang berjajar”. Lima keraton Temuan prasasti dari Kerajaan Sunda dan
tersebut masing-masing dikenal sebagai luar ibu kota, antara lain Prasasti Huludayeuh
Keraton Bima, Punta, Narayana, Madura, dan yang ditemukan di wilayah Kabupaten
Suradipati. Selurunya memiliki fungsinya Cirebon dan Prasasti Sang Hyang Tapak dari
masing-masing, sementara sang raja menetap wilayah Kabupaten Sukabumi. Keduanya
di Keraton Suradipati yang paling mendekati prasasti yang ditulis dari masa yang berbeda,
Gunung Pangrango dan Salak. Adapun untuk yaitu Prasasti Sang Hyang Tapak pada abad
keletakannya diperkirakan saat ini telah ke-11 M atau masa pemerintahan Raja Sri
menjadi perkotaan yang dikenal sebagai Jayabhupati Jayamanahen dan Prasasti
Bogor (Budimansyah, 2019). Huludayeuh pada abad ke-16 M atau masa
Sumber sejarah mengenai Kerajaan pemerintahan Raja Surawisesa1 (Djafar,
Sunda dan ibu kotanya didapati pula dari 1994; Djafar et al., 2016).
catatan asing, utamanya dari penjelajah Penelitian terhadap Prasasti Sang
Tome Pires yang datang ke Sunda di abad Hyang Tapak dan Huludayeuh dari peneliti
ke-16. Pires menyebut bahwa Raja Sunda sebelumnya, kendati demikian lebih
yang berkuasa ketika itu bernama Samiam 1
Sebenarnya terdapat prasasti lain yang berasal
(Sang Hyang), dan berkedudukan di dayoh. dari luar ibukota Kerajaan Sunda, yaitu Prasasti
Kebantenan. Namun, karena prasasti yang berasal
Kerajaan ini oleh Pires digambarkan sebagai dari Bekasi ini terbuat dari logam, maka belum bisa
kerajaan yang kaya akan komoditas dagang, dipastikan aslinya prasasti ini berasal darimana
(sifatnya mudah dipindah-pindah)

154
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

banyak berfokus pada penelitian epigrafis mengendalikan jaringan interaksi antardaerah


dibandingkan dengan kajian tematik isi pinggiran yang ada di sekitarnya. Stein
prasasti. Prasasti Sang Hyang Tapak Rokkan sebagaimana dikutip McKenzie
misalnya pernah dikaji oleh C.M. Pleyte menyebut bahwa wilayah pinggiran
(1915), Saleh Danasasmita (2014), Hasan terkadang memiliki kuasa politik lebih besar
Djafar dkk. (2016), dan Agus Aris Munandar dari pusat, sehingga bisa saja mengancam
(2017). Danasasmita dan Munandar dalam kuasa politik di pusat. Sebaliknya, wilayah
penelitiannya sebatas menggunakan Prasasti pusat memiliki kuasa yang lebih besar dalam
Sang Hyang Tapak sebagai sumber sejarah pengendalian ekonomi, sehingga wilayah
dalam isu penelitian mereka yang lebih pinggiran cenderung pada wilayah pusat di
besar, sedangkan Pleyte dan Djafar dkk. beberapa kasus.
lebih berfokus pada kajian epigrafi prasasti Oleh karena erat kaitannya dengan
tersebut. Tidak jauh berbeda dengan Prasasti kekuasaan, prasasti di daerah pinggiran
Sang Hyang Tapak, Prasasti Huludayeuh pun dalam penelitian ini diposisikan sebagai
baru dikaji oleh dua orang peneliti, yaitu oleh panopticon. Konsep ini untuk kali pertama
Hasan Djafar (1994) dan A. Gunawan & A. disampaikan oleh Jeremy Bentham, yang
Griffiths (2021). Keduanya berfokus pada mendesain bentuk penjara melingkar
transliterasi Prasasti Huludayeuh. dengan menara pengawas di tengah-tengah
Fenomena tersebut tentu menjadi lingkaran penjara tersebut. Menara pengawas
menarik, mengingat Kerajaan Sunda nyatanya ini memiliki kemampuan visual yang
telah menempatkan prasastinya di beberapa menjangkau ke segala arah, sehingga seluruh
daerah pinggiran (periphery)-nya. Dengan penghuni penjara merasa sedang diawasi oleh
demikian, perlu dipahami dulu konsep menara tersebut. Michel Foucault kemudian
prasasti dan daerah pinggiran dalam kajian menganalogikan bentuk penjara tersebut
ini. Prasasti dalam hal ini perlu dipahami dengan konsep panopticon di ranah kontrol
sebagai suatu maklumat atau perintah raja kekuasaan negara. Struktur panopticon
yang ditulis pada permukaan benda berbahan oleh Foucault dianggap sebagai mekanisme
keras seperti batu, logam, atau kayu. Di di mana yang dikuasai diatur melalui
dalam prasasti biasanya seorang raja memuat suatu visibilitas konstan dari si penguasa,
perintah yang berkaitan dengan kepentingan sehingga yang dikuasai akan senantiasa
politik, ekonomi, sosial, dan bahkan agama berbuat disiplin atau bertindak sesuai dengan
(Boechari, 2012). kepentingan penguasa (Foucault, 1977;
Menurut Nigel McKenzie (1977), Kumar, 2015). Foucault menjelaskan bahwa
konsep pinggiran (periphery) yang dalam konsep “disiplin” di sini memiliki prinsip
hal ini bersanding dengan konsep centre kerja: “upaya yang dilakukan dengan daya
(pusat), merupakan suatu metafora spasial serendah mungkin (secara ekonomi maupun
dari pertemuan antara konsep imajinasi politik) terhadap eksploitasi manusia melalui
sosiologis dan kesadaran spasial. Merujuk peningkatan ketaatan terhadap manusia yang
pada pendapat Johan Galtung, McKenzie diobjektifikasi itu” (Kaplan, 1995).
mengatakan bahwa daerah yang disebut Penerapan teori panopticon dalam
‘pinggiran’ dan ‘pusat’ sebenarnya adalah kajian arkeologi di Indonesia secara umum
satu kesatuan, hingga pada suatu waktu atau epigrafi secara khusus dapat dijumpai
terdapat suatu kuasa yang menimbulkan pada tulisan Nainunis Aulia Izza (2019).
dominasi daerah pusat terhadap daerah Dalam tulisan tersebut, Izza berfokus
pinggiran. Daerah pusat atas dominasinya pada prasasti-prasasti sapatha (kutukan)

155
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

yang dikeluarkan oleh Kedatuan Śrīwijaya. pada penelitian ini terdiri atas tiga tahapan,
Melalui penerapan teori panopticon, Izza yaitu pengumpulan data, analisis, dan
dapat menjelaskan mengapa hampir seluruh interpretasi (Atkinson, 2017).
prasasti yang dikeluarkan Śrīwijaya berkaitan Pengumpulan data dalam penelitian
dengan kutukan. Izza berpendapat bahwa ini dilakukan di Jakarta pada bulan Februari
prasasti-prasasti tersebut dilengkapi dengan 2022, dengan metode studi kepustakaan.
kutukan, sebagai bentuk ancaman bagi Penelaahan kepustakaan tersebut dilakukan
warga daerah-daerah taklukan Śrīwijaya yang pada sumber-sumber penelitian terdahulu,
strategis untuk memberontak. utamanya yang menyinggung soal riwayat
Berdasarkan penjabaran akan konsep penemuan dan transliterasi Prasasti Sang
prasasti dan daerah pinggiran di atas, dapat Hyang Tapak dan Huludayeuh sebagai data
diasumsikan bahwa Prasasti Sang Hyang primer. Adapun sumber-sumber penelitian
Tapak dan Huludayeuh memiliki keterkaitan terdahulu yang dijadikan sebagai sumber data
dengan isu hubungan daerah pusat dan acuan penelitian ini adalah hasil penelitian
pinggiran. Kedua prasasti ini tentunya H. Djafar dkk. (2016) mengenai inventarisasi
diletakan jauh dari luar ibu kota Pakwan prasasti koleksi Museum Nasional dan A.
Pajajaran dengan suatu alasan tertentu. Oleh Gunawan & A. Griffiths (2021) mengenai
karena itu, masalah yang hendak dijawab Prasasti Huludayeuh. Sebagai bahan
dalam penelitian ini adalah bagaimana perbandingan, data sekunder yang digunakan
keterkaitan antara keterangan pada Prasasti adalah hasil penelitian mengenai prasasti lain
Sang Hyang Tapak dan Huludayeuh sebagai serta sumber sejarah lain mengenai Kerajaan
media panopticon dengan lokus penemuannya Sunda seperti manuskrip kuna.
sebagai suatu daerah pinggiran Kerajaan Analisis yang digunakan berupa
Sunda. Tujuan dari diajukannya permasalahan analisis deskriptif. Pada tahapan ini, seluruh
penelitian ini adalah untuk merekonstruksi data (baik primer maupun yang sekunder)
daerah pusat dan pinggiran di Kerajaan dideskripsikan secara rinci. Adapun variabel
Sunda pada masa pemerintahan raja yang yang digunakan dalam mendeskripsikan
mengeluarkan Prasasti Sang Hyang Tapak data, terdiri atas deskripsi prasasti data
dan Huludayeuh. Terlepas dari permasalahan primer, lokus penemuannya, dan konteks
yang diangkat dalam penelitian, kendati sejarah serta lingkungan dari lokus penemuan
pun sama-sama mengkaji kondisi politik prasasti yang dijadikan sebagai data primer.
masa Hindu-Buddha, kebaruan penelitian ini Interpretasi dalam penelitian ini
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya menerapkan metode analogi. Metode
adalah penggunaan konsep daerah pinggiran. ini diterapkan dengan membandingkan
keterangan pada prasasti dengan sejarah
METODE lingkungan tempat penemuannya dengan
konteks sudut pandang panoptisisme. Hasil
Metode penelitian yang digunakan
dari proses analogi tersebut adalah berupa pola
dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
yang dijadikan kesimpulan dari penelitian ini.
Metode tersebut dalam studi sosial humaniora
dianggap mampu memberi gambaran
mengenai konstruksi makna, pengalaman
hidup seseorang, ritual kebudayaan, ataupun
praktik opresif dari suatu masyarakat. Secara
umum, metode kualitatif yang diaplikasikan

156
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

PEMBAHASAN di dalam Prasasti Canggal (654 Ś/ 732 M)


Gambaran Ibu Kota Pakwan Pajajaran (Munandar et al., 2011; Poesponegoro &
sebagai Pusat Kerajaan Sunda Notosusanto, 2010). Teori pengidentifikasian
tokoh Sanjaya, didasarkan pada temuan
Sumber sejarah yang mendasari kesamaan cerita hidup tokoh tersebut pada
pengetahuan para peneliti sekarang dalam Carita Parahyangan dan Prasasti Sangkhara
menggambarkan ibu kota Kerajaan Sunda, dari Jawa Tengah. Kedua sumber tertulis
umumnya berasal dari sumber tertulis sama-sama mengisahkan anak dari Sanjaya
Kerajaan Sunda. Sumber tertulis tertua berasal yang bernama Rakai Panangkaran (di
yang menjadi acuan dalam menggambarkan dalam Carita Parahyangan disebut Rake
bentuk fisik ibu kota Pakwan Pajajaran Panaraban), yang mana ia telah berpindah
adalah Prasasti Batu Tulis (1521 M). Prasasti agama karena kematian ayahnya (Griffiths,
tersebut berisi perihal beberapa fasilitas 2021). Terlepas dari identifikasi tokoh
yang dibangun di Kota Pakwan Pajajaran, Sanjaya, dapat diperkirakan bahwa masa
seperti parit dan jalan-jalan yang diperkeras hidup Trarusbawa pun tidak begitu jauh dari
(Djafar, 2011). Sumber yang berasal dari masa hidup Sanjaya yang paling tidak sudah
masa yang lebih kemudian adalah Carita eksis pada tahun 732 M. Dengan demikian
Parahyangan. Manuskrip berbahasa Sunda ibu kota, dapat diperkirakan bahwa Pakwan
Kuna yang diperkirakan ditulis abad ke-16 Pajajaran juga telah dibangun pada tahun
M itu, melampirkan keterangan mengenai tersebut.
sejarah pembangunan dan perkembangan Mengenai wujud fisik dari Pakwan
ibukota Pakwan Pajajaran (Budimansyah Pajajaran, diperkirakan kota tersebut berdiri
et al., 2018). Sumber sejarah dari Kerajaan di atas lahan yang menjadi Kota Bogor
Sunda yang lain mengenai Pakwan Pajajaran sekarang. Menurut Danasasmita (2014),
berasal pula dari manuskrip Bujangga Manik nama Pakwan Pajajaran diambil dari bahasa
yang ditulis pada abad ke-15 atau ke-16 M. Sunda Kuno, yang berarti “kubu kekuasaan
Manuskrip tersebut berisi catatan perjalanan yang berjajar”. Pandangan ini didasarkan pada
seorang pangeran Sunda bernama Ameng kenyataan yang digambarkan oleh Carita
Layaran, yang mana di salah satu bagiannya Parahyangan, yang memang menggambarkan
sedikit banyak menggambarkan ibu kota Kota Pakwan Pajajaran dengan lima keraton
Kerajaan Sunda sebagai tempat di mana ia (panca prasada) (Zakaria, 2012). Keraton-
dibesarkan (Noorduyn, 2019). keraton tersebut di antaranya bernama
Pakwan Pajajaran untuk kali pertama Keraton Bima, Punta, Narayana, Madura,
dibangun oleh Raja Trarusbawa pada sekitar dan Suradipati. Menurut Munandar et al.
abad ke-7 sampai ke-8 M. Angka tahun (2011), Keraton Bima berfungsi sebagai
tesebut pada hakikatnya bukan berasal dari tempat tinggal para tentara, Keraton Punta
Carita Parahyangan, mengingat memang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para
manuskrip tersebut tidak pernah menyebut abdi, Keraton Narayana berfungsi sebagai
angka tahun pembangunan ibukota pusat kesenian, Keraton Madura berfungsi
Kerajaan Sunda. Namun demikian, Carita sebagai tempat para pejabat menghadap raja,
Parahyangan menyebut bahwa Trarusbawa dan Keraton Suradipati berfungsi sebagai
memiliki seorang menantu bernama Sanjaya tempat raja beserta keluarganya bermukim.
(Rakeyan Jamri). Tokoh tersebut oleh para Adapun selain dari lima keraton yang
sejarawan dan para ahli epigrafi, dianggap telah dijelaskan, Kota Pakwan Pajajaran
identik dengan Raja Sanjaya yang disebut juga dilengkapi dengan alun-alun, pusat

157
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

perekonomian (pasar), gerbang kota, pusat oleh Adolf Winkler) mulai mengeksplorasi
peribadatan, pusat pendidikan, dan juga wilayah selatan Batavia atau daerah Bogor
hutan kota (Budimansyah, 2019). sekarang. Selama penjelajahannya, Scipio
Secara kesejarahan, selain dari sumber dan Winkler menemukan suatu lahan yang
tertulis yang berasal dari Kerajaan Sunda diduga sebagai bekas dari suatu pemukiman.
sendiri, Ibu Kota Pakwan Pajajaran juga Baik Scipio dan Winkler, sama-sama
disebut dalam catatan asing. Berita asing mendapati suatu lahan terbuka mirip alun-
yang paling awal menyebut soal Kota alun, jalan-jalan setapak yang berpola, dan
Pakwan Pajajaran, berasal dari Tome Pires sebongkah prasasti lengkap dengan arca-arca
yang datang ke kota tersebut pada abad ke- antropomorfik di sekitar daerah yang mereka
16. Pires bersama rombongan Portugis dari jelajahi. Penemuan kedua penjelajah tersebut
Malaka, kala itu hendak menjalin hubungan mengindikasikan bekas reruntuhan Ibu Kota
persekutuan dengan Kerajaan Sunda yang Pakwan Pajajaran yang telah dihancurkan
terancam posisinya oleh Kerajaan Demak dan oleh Sultan Maulana Yusuf dari Banten pada
Cirebon (Darsa, 2020). Pires menggambarkan tahun 1579 (Niemeijer, 2015).
Ibu Kota Sunda yang ia sebut dayoh itu dalam Secara arkeologis, beberapa temuan
kalimat sebagai berikut: yang sampai sekarang masih dapat ditemui
“Kota Dayo adalah tempat dimana raja di Bogor, menjadi bukti dari eksistensi
paling banyak menghabiskan waktunya Kota Pakwan Pajajaran di Bogor. Temuan
dalam setahun. Kota besar ini memiliki data arkeologi di daerah Bogor (melingkupi
rumah-rumah yang dibangun dengan wilayah administratif kota dan kabupaten
baik menggunakan daun kelapa dan Bogor) di antaranya ada yang berupa prasasti,
kayu. Orang-orang berkata bahwa menhir, batu dakon, dolmen, dan arca tradisi
sang raja memiliki rumah yang sangat megalitik (sebelumnya disebut arca polinesia
bagus, dibangun menggunakan 330 atau arca tipe pajajaran). Konsentrasi dari
pilar kayu setebal tong anggur, setinggi beberapa temuan arkeologis di Bogor,
5 depa dan dihiasi ukiran yang sangat terpusat di Kawasan Batu Tulis, Ciawi,
bagus di bagian atasnya. Perjalanan Ciampea, dan Pasir Angin (Mulia, 1977).
ke kota ini memakan waktu dua hari
dari pelabuhan utama mereka yang
bernama Calapa (Sunda Kelapa). Sang
raja adalah seorang atlet dan pemburu
yang berbakat. Di negerinya terdapat
rusa jantan, babi dan banteng yang tak
terhitung banyaknya. Mereka sering
menghabiskan waktu dengan berburu.
Sang raja memiliki dua permaisuri
yang berasal dari kerajaannya sendiri,
serta lebih dari seribu selir. Masyarakat
Sunda terkenal akan kejujurannya. Gambar 1. Prasasti Batu Tulis, Kawasan Batu
(Cortesao, 2018, pp. 206–207). Tulis, Kota Bogor. Sumber: Dokumentasi Penulis

Berita asing yang lebih muda muncul


dari catatan VOC, yang di tahun 1687
(dipimpin oleh Scipio) dan 1690 (dipimpin

158
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

ini adalah bahasa Jawa Kuna, dan dibaca


sealur dari D.73-D.96-D.97-D.98.

Gambar 3. Prasasti Sang Hyang Tapak D. 97,


Koleksi Museum Nasional Jakarta.Sumber:
Gambar 2. Arca Situs Ranggapati, Kawasan
Dokumentasi Penulis
Batu Tulis, Kota Bogor. Sumber: Dokumentasi
Penulis

Prasasti Sang Hyang Tapak


Prasasti ini dikenal pula dengan nama
Prasasti Jayabhupati atau Cicatih. Secara
umum Prasasti Sang Hyang Tapak ditemukan
dalam keadaan parah empat bagian, yang
seluruhnya sekarang disimpan dan menjadi
koleksi di Museum Nasional, Jakarta.
Oleh museum tersebut, masing-masing
fragmen diberi nomor inventaris D.73, D.96,
D.97, dan D.98. Berkaitan dengan lokasi
penemuannya, fragmen D.73 ditemukan Gambar 4. Prasasti Sang Hyang Tapak D. 98,
di sekitar aliran Sungai Cicatih, Cibadak, Koleksi Museum Nasional Jakarta.Sumber:
Kabupaten Sukabumi, sedangkan fragmen Dokumentasi Penulis
lainnya ditemukan di Pasir Pangcalikan, Berikut merupakan hasil transliterasi
Bantarmuncang, Kabupaten Sukabumi. dari Prasasti Sang Hyang Tapak secara utuh:
Aksara yang diterakan pada permukaan
Prasasti Sang Hyang Tapak I (D.73-
keempat fragmen prasasti berjenis aksara
D.96-D.97)
Jawa Kuna. Uniknya, walaupun termasuk
Alihaksara:
ke dalam jenis aksara yang sama, gaya
“Swasti śaka warṣātita 952
penulisan masing-masing prasasti memiliki
kārttikamāsa tithi dwādaśi śuklapakṣa
perbedaan. Aksara prasasti D.73, D.96, dan
ha ra wara tambir irikā diwāsanira
D.97 (kemudian disebut Prasasti Sang Hyang
prahajyan suṇḍa maharaja śrī jaya-
Tapak I) terkesan lebih tebal dan lebih besar,
bhūpati jayamanahĕn wiṣṇumurrti
dibandingkan dengan aksara prasasti D 98
samarawihaya śakalabhūwana maṇḍa-
(kemudian disebut Prasasti Sang Hyang
leśwaranindita harogowardhana
Tapak II) yang tipis dan sudah sedikit aus.
wikramotuṅgadewa magaway tĕpĕk
Adapun bahasa yang digunakan pada prasasti
i pūrwwa saŋhyaŋ tapak ginaway
denira śrī jayabhūpati prahajyan

159
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

suṇḍa mwaŋ tan hanani barrya barrya mahākala durggādewi anata surindra
sila irikāŋ lwaḥ tan paṅalapa ikāŋ anakta hyaŋ kalamṛtyu gaṇa bhūta
sesini lwaḥ makahīṅan saŋhyaŋ tapak saŋprasiddha milu manrīra umasuki
watĕs kapūjān i hulu i sor makahiṅan sarwwajanma ata rĕgnayakĕn ikiŋ
i saŋhyaŋ tapak watĕs kapūjān i wuṅkal sapātha samaya sumpaḥ pamaŋmaŋ ni
lagoŋ kālih mataṅyan pinagawayakēn lĕbu paduka haji i sunda i ri kita kamuŋ
prasāsti pagĕpagĕh maŋmaŋ sapatha hyaŋ kabeh …. pakādya umalapa ikaŋ
sumpaḥ denira prahajyan suṇḍa lwirña … i saŋhyaŋ tapak ya patyananta
(Djafar et al., 2016, pp. 101–103) ya kamuŋ hyaŋ denta patiya siwak
kapalaña cucup utĕkña bĕlah dadaña
Alihbahasa:
inum raḥña rantan ususña wĕkasakĕn
“Selamat tahun 952 Saka, bulan Kartika prānāntika …. i saŋhyaŋ kabeh tāwat
tanggal 12 bagian terang hari Hariyang- hana wwoŋ bari bari śila irikaŋ iwak
Kaliwon-Ahad wuku Tambir. Inilah saat i saŋhyaŋ tapak apan iwak apan
raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati parṇṇahña kapaṅguh i saŋ hyaŋ ….
Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya manĕh kaliliran paknaña katĕke dlaha
Sakalabuwanamaneswaranindita ning dlaha …. paduka haji i sunda
Harogowardana Wikramotunggadewa …. makna kadarma … iŋ samaṅkana
membuat tanda di timur sanghyang wetkawet paduka haji i sunda
tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati, Raja saŋgumanti riŋ kulit i kata kamanaḥ iŋ
Sunda, dan jangan ada yang melanggar kanaŋ …. i saŋ hyaŋ tapak maka tĕpa
ketentuan di sungai ini. Jangan ada lwaḥ watĕsña i hulu i saŋhyaŋ tapak i
yang menangkap ikan di bagian sungai ….. i hilir mahiṅan irikaŋ …. umpi iŋ
ini mulai dari batas daerah kabuyutan wuṅkal gde kalih .. wruḥhanta kamuŋ”
Sanghyang tapak di bagian hulu sampai (Djafar et al., 2016, p. 104).
batas daerah kabuyutan Sanghyang
tapak di bagian hilir pada dua buah Alihbahasa2
batu besar. Untuk tujuan tersebut telah “Sumpah ini hendaknya diperhatikan,
dibuat piagam yang dikukuhkan dengan wahai kamu sekalian Hyang Siwa,
seruan, kutuk serta sumpah oleh Raja Agastya, timur, selatan, barat, utara,
Sunda yang bunyi lengkapnya demikian” tenggara, barat daya, barat laut,
(Munandar, 2017, pp. 173–178). timur laut, zenith, nadir, matahari,
bulan, bumi, air, angin, api, sungai,
Prasasti Sang Hyang Tapak II (D.98)
kekuatan, angkasa, cahaya, sanghyang,
Alihaksara: malam, senja, Yaksa, Raksasa, Pisaca
“nihan indah ta kita kamuŋ hyaŋ hāra (sebangsa peri), Sura, Garuda, buaya,
agaṣti pūrbba dakṣiṇa paścima uttara Kinara, Naga keempat pelindung
madya agniya neriti byabya aiśanya dunia, Yama, Baruna, Kuwera, Besawa
urddhādaḥ rawi śaśi patala jala pāwaṇa dan putra dewata Pancakusika, lembu
hutāsāpaḥ bhayu akāśa teja saŋhyaŋ tunggangan Siwa, Mahakala, Dewi
mahorātra saddhya dwaya yakṣa Durga, Ananta, Surindra, putera Hyang
rakṣasa piśāca preta sura garuḍa graha 2
Mulai dari bagian ini, peneliti terdahulu
melakukan beberapa kesalahan alihbahasa. Penulis
kinara manoraga catwwara lokapāla
kemudian mencoba pula mengalihbahasakan prasasti
yama baruna kuwera baśawa mwaŋ D.98 dengan berpedoman pada kamus bahasa Jawa
putra dewata panca kuśika nandiśwara Kuno- Indonesia karya P.J. Zoetmulder (1982)

160
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

Kalamercu, Gana, Buta, para arwah yang diberikan berupa pelarangan memancing
semoga ikut, menjelma merasuki semua di daerah aliran sungai di sekitar kabuyutan
orang. Kalian gerakkanlah supata, Sang Hyang Tapak. Mahiang oleh beberapa
janji, sumpah dan seruan raja Sunda peneliti sebelumnya juga disamakan dengan
ini. Di para dewata… lalu mengambil kabuyutan. Konsep kabuyutan pada dasarnya
di… di Sang Hyang Tapak. Sungguh memiliki makna yang dalam luas dalam
para dewata (akan) membunuh dengan kebudayaan Sunda. Menurut Jakob Sumardjo
memenggal kepalanya, menghisap (2019), kabuyutan berasal dari kata “buyut”
otaknya, membelah dadanya, meminum yang dalam bahasa Sunda berarti “terlarang”
darahnya, mengurai ususnya, menghabisi atau “tabu”. Kabuyutan dalam konteks lebih
hidupnya…. sang hyang semua, jika umum bisa berarti tempat pembelajaran,
ada orang memandang remeh larangan tempat ibadah, atau tempat-tempat publik
aturan (memancing) ikan di Sang lain yang dianggap sakral (Perdana &
Hyang Tapak, sebab menyajikan ada Wahyudi, 2020). Apabila merujuk pada kata
di Sang Hyang… diriku keturunanan. “mahiang” di dalam Prasasti Sang Hyang
Makanannya sampai akhir…Paduka haji Tapak, agaknya kata yang berasal dari akar
(raja) di Sunda…berbuat kebaikan… kata “hyang” (dewa) itu merujuk pada fungsi
pada waktu itu keturunan paduka raja kabuyutan sebagai tempat peribadatan.
di Sunda mengganti uraian aturan di Prasasti Sang Hyang Tapak II di sisi
sini…di Sang Hyang Tapak batasnya yang lain berisi tentang manggala dan sapatha.
meliputi: di hulu di Sang Hyang Tapak Menurut Trigangga (2015), manggala adalah
di…di hilir Mahingan (kabuyutan) di seruan penulis prasasti yang diundang sebagai
sana… sampai di dua batu besar…. saksi dari dikeluarkannya suatu prasasti.
ketahuilah (oleh) kamu” (Pleyte, 1915, Sapatha dalam hal ini merupakan kutukan yang
pp. 208–211) diberikan seorang pemberi perintah prasasti,
Sebagaimana tergambarkan dari hasil yang fungsinya sebenarnya berkenaan dengan
alih aksara dan alih bahasa di atas, struktur ancaman bagi siapa saja yang melanggar
penulisan Prasasti Sang Hyang Tapak dapat perintah dari suatu prasasti.
dibagi menjadi beberapa bagian, utamanya Sebagaimana tersirat dari transliterasi
bagian Prasasti Sang Hyang Tapak I dan uraian Prasasti Sang Hyang Tapak II,
II. Prasasti Sang Hyang Tapak I diawali manggala dari prasasti tersebut tidak
dengan bagian titimangsa atau penanggalan, seluruhnya menyebut dewata saja.
di mana secara garis besar Prasasti Sang Disebutkan pula beberapa mahluk gaib dalam
Hyang Tapak dikeluarkan pada tahun 952 kepercayaan Hindu, yang berada di luar dari
Ś/ 1030 M. Adapun angka tahun ini diikuti alam kahyangan yang dikuasai para dewa,
pula dengan nama raja yang mengeluarkan seperti mahluk gana, aśura, raksasa, para peri,
prasasti, yaitu Śrī Jayabhūpati Jayamanahĕn mahluk tunggangan para dewa (wahana), dan
Wiṣṇumurrti Samarawihaya Śakalabhūwana lain sebagainya. Adapun nama dewa yang
Maṇḍaleśwaranindita Harogowardhana Wi- diseru terdiri pula atas beberapa kelompok,
kramotuṅgadewa, seperti trimurti (tiga dewa tertinggi dalam
Bagian prasasti selanjutnya adalah ajaran Hindu), pancamahabuta (lima dewa
sambanda atau pelampiran nama raja beserta unsur alam), dan astadikpalaka (delapan dewa
perintah yang ia keluarkan, yang mana di penjaga mata angin). Merujuk dari pendapat
dalam Prasasti Sang Hyang Tapak sambandha Ratnaesih Maulana (1994), manggala dari
Prasasti Sang Hyang Tapak II bisa dibilang

161
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

tergolong lengkap, mengingat lazimnya atau tonggak. Pembacaan pertama dilakukan


suatu prasasti hanya menyeru salah satu dari oleh Hasan Djafar pada tahun 1991, namun
unsur yang telah disebutkan di atas. baru dipublikasikan tiga tahun kemudian.
Bagian sapatha yang dilampirkan Kondisi prasasti ditemukan dalam keadaan
pada Prasasti Sang Hyang Tapak II, baik, kendati terdapat beberapa aksara dari
kendati tidak terbaca secara lengkap, prasasti yang telah aus. Prasasti ini ditulis
tetapi masih menyisakan beberapa kalimat dalam bahasa Sunda Kuna, dan aksara Sunda
yang mengindikasikan suatu sapatha. Kuna bergaya Jawa Kuna (Djafar, 1994).
Kalimat kutukan tersebut secara umum Berikut merupakan alihaksara dan alihbahasa
menggambarkan ancaman, bahwa barangsiapa Prasasti Huludayeuh:
yang melanggar perintah di dalam Prasasti Alihaksara:
Sang Hyang Tapak I maka akan dibunuh oleh “...(ra)tu (ṅa)rana, (ta) ...... sri maḥ(ha)
para dewata. Prasasti Sang Hyang Tapak II ra(ja) ra(t)[u] [ha](j)[i] ri pakwan·
bahkan menggambarkan proses “eksekusi” sya saŋ ra(t)[u] [de]vata pun·, masa
dari sapatha tersebut, yaitu dengan dipenggal sya ṅrĕtakĕn· bumi ṅaha- li‹m›pukĕn·
kepalanya, dihisap otaknya, dibelah dadanya, na bvanna ñuruḥ saṁ (di)si suk·laja(t)
diminum darahnya, dan diurai ususnya. i ṅaṛbuḥkĕn· Ikaŋ kayu si pṛ‹n›dakaḥ,
Satu bagian lain yang patut menjadi ṅalan· na Udubasu, mipatikĕn·n ikaŋ
perhatian lebih lanjut adalah uraian yang kala”
kalimatnya terpotong-potong pada bagian
setelah sapatha Prasasti Sang Hyang Alihbahasa3:
Tapak II. Selain daripada disampaikannya “…ratu (raja) yang bernama…Sri
batas-batas wilayah larangan di sekitar Maharaja Ratu Haji di Pakwan. Ia lah
kabuyutan Sang Hyang Tapak, bagian akhir Sang Ratu Dewata4. Ketika ia membuat
prasasti juga melampirkan kalimat “pada dunia makmur, (dan) bumi menjadi
waktu itu keturunan paduka raja di Sunda selaras, (dengan) memerintahkan disi
mengganti uraian aturan di sini”. Kalimat Sukajati untuk menumbangkan pohon
ini mengindikasikan bahwa Sri Jayabhupati berdahan yang lebar, mengusir Udubasu,
bukanlah tokoh tunggal yang mengeluarkan (dan) membunuh Kala (Gunawan &
Prasasti Sang Hyang Tapak, melainkan ada Griffiths, 2021, pp. 176–178).
pula keturunannya yang berusaha “mengganti”
perintah yang ia keluarkan. Indikasi ini dibahas
lebih lanjut pada subbab berikutnya.

Prasasti Huludayeuh
Prasasti ini ditemukan kali pertama di
Desa Bobos (waktu pertama kali ditemukan 3
Setelah melalui terjemahan bebas bahasa Inggris
masuk wilayah Desa Cikalahang), (bahasa asli sumber yang diacu) ke bahasa Indonesia
Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon.
4
Nama ini merujuk pada Raja Sunda yang
Sampai dengan dilakukannya penelitian bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di
ini, Prasasti Huludayeuh disimpan secara Pakwan Pajajaran, sebagaimana terlampir di
dalam Prasasti Batu Tulis (1521), Prasasti
in situ (di tempat ditemukannya). Prasasti
Kebantenan (tidak berangka tahun), dan
Huludayeuh secara umum berbahan dasar
manuskrip Carita Parahyangan (Djafar,
batu, dengan bentuk menyerupai menhir
1994)

162
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

telah mengalirkan beberapa sungai yang


kaya akan mineral. Tanah di Sukabumi
kaya akan kandungan organosol, litosol,
dan aluvial. Kondisi tersebut membuat
Sukabumi potensial untuk menjadi daerah
bercocok tanam. Sumber daya lahan yang
subur juga didukung dengan luasnya hutan,
sehingga sumber daya hutan juga amat
tercukupi di wilayah ini. Secara geografis,
wilayah Sukabumi juga berdekatan dengan
pegunungan selatan Banten yang sejak lama
dikenal sebagai penghasil emas dan logam
(Rudini, 1992).
Gambar 5. Faksimil Prasasti Huludayeuh, Lokasi penemuan Prasasti Huludayeuh
Bobos, Kabupaten Cirebon. atau wilayah Cirebon dalam hal ini lebih
Sumber: Hasan Djafar berasosiasi dengan kawasan lembah kaki
Gunung Ciremai di pantai utara Jawa.
Prasasti sebagai Media Panopticon dan Berbeda dengan Sukabumi, Cirebon sejak
Wacana Kekuasaan di Wilayah Pinggiran dahulu merupakan pelabuhan yang ramai
Kerajaan Sunda disambangi para pelaut dan pedagang.
Manuskrip Carita Purwaka Caruban Nagari
Apabila ditinjau dari keletakan dua
menggambarkan dengan jelas kondisi
prasasti di wilayah pinggiran Kerajaan
Cirebon yang ketika itu memiliki tiga tempat
Sunda sebagaimana dideskripsikan di atas,
membuang sauh kapal-kapal dari berbagai
terdapat perbedaan karakteristik geografis
negara, seperti Amparan Jati dan Muara Jati.
yang kentara. Wilayah Sukabumi sebagai
Dikatakan bahwa pelabuhan Cirebon kala
lokasi penemuan Prasasti Sang Hyang Tapak
itu dilengkapi dengan menara pengawas,
lebih condong termasuk ke dalam wilayah
yang mana dibangun oleh para pelaut Cina
pegunungan selatan Jawa Barat. Formasi
atas pengawasan syahbandar setempat
pegunungan ini membentang dari wilayah
(Tjandrasasmita, 2009a).
Cilacap di Provinsi Jawa Tengah, hingga ke
Catatan Tome Pires sebagaimana
wilayah Pelabuhan Ratu dan Jampang yang
dilaporkan dalam Suma Oriental menyatakan
merupakan perbatasan Provinsi Jawa Barat
bahwa paling tidak terdapat dua pelabuhan
dan Banten (van Bemmelen, 1949). Wilayah
besar di sekitar Cirebon. Pelabuhan tersebut
pantai selatan Jawa, secara tradisional tidak
di antaranya Chemano (Cimanuk) dan
pernah dilayari, mengingat terlalu kuatnya
Chereboam (Cirebon). Menurut Pires,
gelombang Samudra Hindia. Pelayaran di
wilayah ini menghasilkan kayu dengan
wilayah Sukabumi pada khususnya, baru
kualitas yang baik (Cortesao, 2018). Dapat
berlangsung pada tahun 1960-an. Pelayaran
diperkirakan bahwa kayu yang dimaksud
dilakukan oleh masyarakat Bugis yang
Pires ini adalah kayu jati (Tectona grandis)
berdiam di sana, dengan mata pencaharian
yang memang terkenal dibudidayakan secara
utama adalah nelayan jagang (Rosyandi
tradisional di Cirebon dan sekitarnya.
et al., 2019). Sukabumi namun demikian
Secara arkeologis, masyarakat Cirebon
merupakan wilayah yang subur. Gunung
masa Hindu-Buddha juga meninggalkan
Salak dan Pangrango yang kaya dengan air,
beberapa temuan berupa sisa bangunan.

163
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

Tinggalan sisa bangunan ini dapat dijumpai yang menginternalisasi ini oleh Foucault
di wilayah Sambimaya, Indramayu (sebelah erat kaitannya dengan konsep “wacana”.
barat Kabupaten Cirebon). Tinggalan- Berdasarkan pemahaman ini, uraian pada
tinggalan tersebut tersebar di beberapa kedua prasasti yang dibahas dalam penelitian
“blok”, yaitu Buyut Mawur, Dingkel, Randu, ini mengandung pengetahuan “mapan,”
dan Sambilawang. Sisa-sisa bangunan berupa yang oleh Raja Sunda diharapkan mampu
struktur bata ini, ditemukan beserta dengan menginternalisasi di dalam diri rakyatnya
artefak lain seperti keramik Cina dari Dinasti agar muncul suatu disiplin.
Ming hingga Qing. Oleh karena itu, dapat Pada kasus Prasasti Sang Hyang
diidentifikasikan bahwa bekas bangunan Tapak, pesan utama yang hendak disampaikan
tersebut berasal dari abad ke-13 hingga abad erat kaitannya dengan larangan pemanfaatan
ke-16 M (Saptono et al., 2020). lahan di sekitar kabuyutan. Fenomena ini
serupa dengan apa yang oleh para ahli epigrafi
kenal dengan konsep simā. Menurut Timbul
Haryono (1999), simā merupakan daerah
perdikan bebas pajak yang diberikan oleh
seorang raja terhadap rakyatnya. Sebagai
gantinya, rakyat diwajibkan memelihara
monumen atau fasilitas yang dibangun oleh
raja di atas tanah tersebut, seperti bangunan
suci, sawah, bendungan, dan lain sebagainya.
Merujuk pada pendapat tersebut, jelas
bahwa pada dasarnya Prasasti Sang Hyang
Gambar 6. Sebaran prasasti Kerajaan Sunda di Tapak, digunakan oleh Raja Sunda sebagai
Pusat (pin point berwarna merah) dan Pinggiran media kepenguasaan atas lahan yang disebut
(pin point berwarna kuning). Sumber: Google sebagai kabuyutan.
Earth (dengan modifikasi penulis) Mengenai asumsi di atas, terdapat
Setelah ditemui beberapa keterangan beberapa argumen yang dapat menguatkan
mengenai sejarah lokasi penemuan prasasti- hal tersebut. Pertama, Prasasti Sang Hyang
prasasti daerah pinggiran Kerajaan Sunda, Tapak bukanlah satu-satunya prasasti simā
pertanyaan selanjutnya tentu adalah mengapa yang ditemukan di wilayah selatan Jawa
raja Sunda menempatkan prasastinya di lokasi bagian Barat, yang mana dalam hal ini adalah
dengan karakteristik lingkungan yang amat Prasasti Gegerhanjuang (1333 ฀/ 1411 M).
berbeda? Apabila merujuk pada pendapat Prasasti yang ditemukan di Kabupaten
Madan Sarup (2008), dalam pembahasannya Tasikmalaya dan dikeluarkan oleh Kerajaan
mengenai hakikat kekuasaan menurut Galuh5 tersebut, berisi penetapan daerah
Foucault, bahwa sesungguhnya para penguasa simā oleh Batari Hyang (Djafar et al.,
memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai 2016). Dengan demikian, penetapan simā
media pencetak kekuasaan atas mereka di Jawa Barat ketika itu memang lazim
yang dikuasainya Panopticon pada dasarnya terjadi. Mengingat daerah selatan Jawa Barat
merupakan upaya penginternalisasian memang lebih kaya akan mineral dan sumber
ilmu pengetahuan ini, agar muncul sikap daya alam. Oleh karena itu, bisa dikatakan
disiplin dari orang-orang yang berada di bahwa lokasi ditempatkan Prasasti Sang
bawah suatu kekuasaan. Ilmu pengetahuan 5
tetangga sebelah timur Kerajaan Sunda

164
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

Hyang Tapak merupakan daerah produksi Indikasi ini diperkuat dengan adanya gejala
Kerajaan Sunda masa itu. perbedaan bentuk aksara dan penggunaan
Argumentasi kedua yang menjadi istilah untuk kata bermakna sama pada
penguat dari teori mengenai Prasasti Sang Prasasti Sang Hyang Tapak I dan II6.
HyangTapak adalah keterangan pada manuskrip Berbeda dengan Prasasti Sang Hyang
Carita Parahyangan mengenai Kabuyutan Tapak, penelusuran kaitan uraian Prasasti
Jampang. Dikisahkan bahwa setelah Niskala Huludayeuh dengan wacana kekuasaan
Wastu Kancana ke takhta Kerajaan Sunda Raja Sunda lebih banyak berasal dari data
dan Galuh, Bunisora Suradipati yang menjadi sejarah pembanding. Hal ini dikarenakan
pemimpin sementara sebelumnya, kemudian uraian prasasti yang sedemikian singkat
melanjutkan kehidupannya sebagai agamawan dan sederhana. Adapun dari hasil perujukan
dengan nama Batara Guru di Jampang. Gelar data sezaman, dapat diketahui kalau Prasasti
ini mengindikasikan bahwa sekitar abad ke- Huludayeuh ditempatkan di lahan perbatasan
14 M, paling tidak di Jampang (sebelah barat yang berpotensi terjadinya persengketaan.
tempat penemuan Prasasti Sang Hyang Tapak) Sejak masa pemerintahan Sri Baduga
memang sudah ada kabuyutan (Heryana, Maharaja pada abad ke-15 hingga awal abad
2014). Oleh karena itu, bukanlah hal yang ke-16, wilayah Cirebon merupakan daerah
aneh apabila di dalam Prasasti Sang Hyang paling awal berkembangnya ajaran Islam di
Tapak, Raja Sri Jayabhupati Jayamanahen Jawa Barat (Hernawan & Kusdiana, 2020).
mencoba melindungi daerah perdikannya di Hasil telah dari manuskrip Bujangga Manik
sekitar wilayah itu. Raja Sunda dalam hal ini misalnya, mengindikasikan bahwa wilayah
telah memberikan semacam wacana kepada Cirebon abad ke-16 telah memerdekakan diri
masyarakat setempat, bahwa daerah sekitar sebagai kerajaan yang mandiri. Tokoh Ameng
Prasasti Sang Hyang Tapak merupakan Layaran menyebut bahwa Sungai Cimanuk
wilayah simā yang berada di bawah kuasa dan merupakan perbatasan antara entitas suku
kepentingan raja. Jawa dan Sunda, sehingga diasumsikan
Selain wacana mengenai kepenguasaan bahwa wilayah Cirebon kala itu bukan lagi
daerah simā pada Prasasti Sang Hyang Tapak, wilayah Kerajaan Sunda (Noorduyn & Teeuw,
wacana mengenai pemeliharaan kekuasaan 2009). Keterangan ini didukung oleh catatan
juga dapat dijumpai pada prasasti tersebut. Tome Pires yang mendatangi Kerajaan Sunda
Keberadaan sapatha yang memberikan kesan pada masa Raja Surawisesa (1521-1535). Ia
ancaman pada Prasasti Sang Hyang Tapak mencatat bahwa wilayah Cirebon kala itu
merupakan wacana yang menggambarkan sudah ada berada di bawah kekuasaan Demak
bahwa raja memiliki kemampuan untuk yang beragama Islam (Cortesao, 2018).
menghukum kepada siapa saja yang Apabila ditinjau kembali uraian
melanggar kedaulatan kekuasaan raja. Anasir pada Prasasti Huludayeuh, wacana yang
keabsahan genealogis pada beberapa kalimat hendak disampaikan adalah bahwa Raja
yang terpotong pada bagian akhir prasasti, Sunda (dalam hal ini Sri Baduga Maharaja)
juga mengindikasikan bahwa wacana memiliki kekuatan untuk memerintahkan
pemeliharaan kekuasaan atas daerah simā seorang tokoh bernama Disi Sukajati untuk
di Sang Hyang Tapak dilanjutkan pula oleh menebang pohon, mengusir Udu Basu
keturunan Sri Jayabhupati. Dengan demikian,
6
Perbedaan istilah misalnya, dapat dijumpai pada
ada asumsi bahwa Prasasti Sang Hyang
kata wuṅkallaṅgoŋ dan watu gde kaliḥ pada Prasasti
Tapak tidak dikeluarkan oleh Sri Jayabhupati Sang Hyang Tapak I dan II, yang sama-sama berarti
seorang diri, tetapi juga oleh para penerusnya. “dua batu besar”.

165
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

dan membunuh Kala. Penyebutan tokoh masa dari prasasti tersebut, terdapat beberapa
Udu Basu di Prasasti Huludayeuh pada hal yang perlu menjadi perhatian mengenai
khususnya menjadi suatu fenomena yang wacana kekuasaan dan kaitannya terhadap
unik, mengingat ia merupakan salah satu Prasasti Huludayeuh sebagai panopticon.
tokoh mitologi dalam cerita Dewi Sri dalam Pertama, Raja Sunda dalam Prasasti
kepercayaan masyarakat Sunda. Tokoh Udu Huludayeuh berusaha menunjukan
Basu dalam khazanah manuskrip Sunda kekuasaannya melalui strategi pamer kekuatan
Kuno dapatlah dijumpai pada manuskrip (show of force). Melalui Prasasti Huludayeuh,
Wawacan Sulanjana, sedangkan di Cirebon sang raja berusaha menunjukan keunggulannya
nama Udu Basu terdapat di Serat Satriya dengan menimbulkan kesan bahwa ia memiliki
Budug Basu. Singkatnya, dikisahkan bahwa kekuatan magis untuk menghalau mahluk-
Udu Basu merupakan seorang pangeran yang mahluk yang memberi dampak negatif bagi
amat mencintai Dewi Sri. Sampai pada suatu masyarakat. Pelampiran nama Udu Basu dan
ketika Dewi Sri menjelma menjadi tanaman, Kala dapat ditafsirkan sebagai simbol bahwa
sehingga sang pangeran pun menjelma Raja Sunda memiliki kemampuan spesifik
menjadi hama yang selalu berdekatan dengan untuk menghalau hama yang merugikan
Dewi Sri (Ridwan & Abdulgani, 2012). masyarakat agraris, dan fenomena gerhana
Selain tokoh Udu Basu, penyebutan yang ditakuti oleh masyarakat.
tokoh Kala pada Prasasti Huludayeuh juga Kedua, tindakan show of force ini juga
menjadi menarik. Kala dalam mitologi Hindu mengindikasikan adanya kesalahan tafsir
bermula dari kisah pengadukan lautan susu dari penelitian sebelumnya, utamanya yang
(samudramanthana) oleh para dewa dan dilakukan oleh Hasan Djafar (1994). Djafar
aśura. Dari hasil pengadukan lautan susu dalam penelitiannya berinterpretasi bahwa
tersebut, muncul Kala Rahu yang hendak puji-pujian di dalam Prasasti Huludayeuh
mencuri air amṛta dari tangan Dewa Wisnu. memiliki sifat yang serupa dengan yang ada
Niatan ini berhasil dilaksanakan oleh Kala di dalam Prasasti Batu Tulis. Prasasti Batu
Rahu, namun kemudian diketahui oleh Dewa Tulis dan Huludayeuh oleh Djafar ditafsirkan
Surya (Matahari) dan Chandra (Bulan) yang sebagai prasasti yang memeringati sraddha7
melapor pada Dewa Wisnu. Kala Rahu yang Raja Sri Baduga Maharaja. Penafsiran ini
telah meminum air amṛta kemudian membalas dilandaskan pada keterangan uraian prasasti
Surya dan Chandra dengan memakannya, yang bersifat puja-puji bagi Raja Sri Baduga
namun Dewa Wisnu ternyata telah melepaskan Maharaja. Pada akhirnya muncul asumsi bahwa
chakrasudarsana-nya untuk menebas leher kedua prasasti tersebut dikeluarkan oleh Raja
Kala Rahu. Oleh karena kepala Kala Rahu Surawisesa (anak dari Sri Baduga Maharaja).
telah mendapat khasiat dari air amṛta (air Namun, apabila disandingkan dengan postulat
tersebut belum mengalir ke seluruh tubuh dalam penelitian ini, yang memosisikan uraian
Kala Rahu), akhirnya kepala Kala Rahu selalu Prasasti Huludayeuh, teori Djafar ini menjadi
mendapatkan keabadian. Sedangkan proses kurang masuk akal. Menurut manuskrip Carita
dimakannya Surya dan Chandra kemudian Parahyangan, Carita Purwaka Caruban
diasosiasikan dengan gerhana bulan dan Nagari, Suma Oriental, dan Bujangga Manik,
matahari (Izza et al., 2020). wilayah Cirebon telah memerdekakan diri
Berdasarkan beberapa pemaparan di dari Kerajaan Sunda pada masa pemerintahan
atas mengenai perujukan beberapa uraian di
7
Upacara penganumertaan bagi seseorang orang
dalam Prasasti Huludayeuh dengan mitologi
yang telah wafat, yang mana dilakukan 12 tahun pasca
terkait dan perbandingan dengan konteks kematian sang mendiang (Ratnawati, 2001)

166
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

Surawisesa. Dengan demikian mustahil suatu pusat kekuasaan baru. Melalui Prasasti
rasanya, apabila Surawisesa menempatkan Huludayeuh, Raja Sri Baduga Maharaja
prasasti sraddha ayahnya (yang harusnya menunjukan kuasanya melalui strategi show
sangat suci, karena prasasti yang satu lagi of force, yang mana diharapkan mampu
berada di pusat ibukota Pakwan Pajajaran) berdampak bagi warga sekitar maupun para
di wilayah yang bersengketa. Menjadi lebih musuh-musuhnya yang berpotensi melawan
logis kemudian untuk mengatakan bahwa kerajaan.
Prasasti Huludayeuh dikeluarkan pada masa
pemerintahan Raja Sri Baduga Maharaja, yang DAFTAR PUSTAKA
mana memang ketika masa pemerintahannya Atkinson, J. D. (2017). Qualitative Approa-
lah Cirebon masih merintis kekuatan dan belum ches. In J. D. Atkinson (Ed.), Journey
memerdekakan diri sepenuhnya. Bentuk show into Social Activism (pp. 65–98).
of force ini dapat ditafsirkan sebagai upaya Fordham University Press.
Sri Baduga Maharaja untuk menginternalisasi Boechari. (2012). Epigrafi dan sejarah kuno.
kekuasaannya di tengah rakyat yang hidup di In Melacak Sejarah Kuno Indonesia
daerah yang rawan pemberontakan. lewat Prasasti (pp. 3–28). Departemen
Arkeologi FIB UI.
PENUTUP Budimansyah. (2019). Rekonstruksi Kota
Penelitian ini menghasilkan beberapa Galuh Pakwan (1371-1475 M) dan
informasi baru mengenai hubungan pusat Kota Pakwan Pajajaran (1482-1521
Kerajaan Sunda dengan wilayah pinggiran di M). Universitas Padjajaran.
sekitarnya. Berdasarkan dua temuan prasasti Budimansyah, Sofianto, K., & Dienaputra,
masa Kerajaan Sunda (abad ke-8-16) dari R. D. (2018). Sang Hyang Talaga Rena
daerah luar ibu kota Kerajaan Sunda yang Mahawijaya: Telaga Buatan sebagai
ditinjau dengan teori panopticon, dapat Solusi Bencana. Patanjala : Jurnal
dijumpai dua bentuk wacana kekuasaan Penelitian Sejarah Dan Budaya, 10(3),
yang berbeda pada uraian kedua prasasti. 419–434.
Perbedaan wacana ini mengindikasikan Cortesao, A. (2018). Suma Oriental: Perjala-
adanya wilayah pinggiran Kerajaan Sunda nan Dari Laut Merah Ke Cina & Buku
yang berfungsi sebagai daerah produksi dan Francisco Rodrigues. Penerbit Ombak.
daerah perbatasan. Daerah produksi Kerajaan Danasasmita, S. (2014). Melacak Sejarah
Sunda diperkirakan berada di sekitaran Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi.
Kabupaten Sukabumi, yang secara geografis Penerbit Kiblat Utama.
berbatasan dengan laut selatan. Prasasti Sang Darsa, U. A. (2020). Islam dan Panorama
Hyang Tapak yang ditempatkan oleh Raja Keagamaan Masyarakat Tatar Sunda.
Sri Jayabhupati di sana diposisikan sebagai Jurnal Indo-Islamika, 7(1), 115–134.
peneguh sekaligus pemelihara kekuasaan raja https://doi.org/10.15408/idi.v7i1.14817
atas sumber daya yang melimpah di sana. Djafar, H. (1994). Prasasti Huludayeuh.
Daerah perbatasan yang dalam hal ini ditandai Berkala Arkeologi, 14(2), 197–202.
dengan Prasasti Huludayeuh di Cirebon Djafar, H. (2011). Prasasti Batu Tulis
merupakan lahan rawan konflik. Daerah ini Bogor. Amerta: Jurnal Penelitian Dan
bersinggungan dengan pelabuhan besar dan Pengembangan Arkeologi, 29(1), 1–13.
kerajaan tetangga (Demak dan Majapahit), Djafar, H. (2014). Invasi Sriwijaya ke
sehingga menjadi ideal bagi berkembangnya Bhumijawa: Pengaruh Agama Buddha

167
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

Mahayana dan Gaya Seni Nalanda Pengembangan Arkeologi, 9 (2), 131–


di Kompleks Percandian Batujaya. 148.
Kalpataru: Majalah Arkeologi, 23(2), Kaplan, M. (1995). Panopticon in Poona: An
121–135. Essay on Foucault and Colonialism.
Djafar, H., Trigangga, Tejowasono, N. S., Cultural Anthropology, 10(1), 85–98.
Rahayu, A., Ambarwati, S., Chaidir, A., Kumar, M. (2015). Coolie Lines: A Bentham
& Wardhani, F. (2016). Prasasti Batu Panopticon Schema and Beyond.
Pembacaan Ulang dan Alih Aksara I. Proceedings of the Indian History
Museum Nasional Jakarta. Congress, 344–355.
Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: Lubis, N. H. (2013). Sejarah Kerajaan
The Birth of the Prison. Random House. Sunda. Yayasan Masyarakat Sejarawan
Griffiths, A. (2021). The Sanskrit Inscription Indonesia (YMSI) Cabang Jawa Barat
of Śaṅkara and Its Interpretation in dan MGMP IPS SMP Kabupaten
the National History of Indonesia. Purwakarta.
Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Maulana, R. (1994). Data Ikonologis dalam
Volkenkunde, 177, 1–26. prasasti Jawa Kuna (suatu uraian
Gunawan, A., & Griffiths, A. (2021). Old deskriptif).
Sundanese Inscriptions: Renewing McKenzie, N. (1977). Centre and Periphery:
the Philological Approach. Archipel: The Marriage of Two Minds. Acta
Études Interdisciplinaires Sur Le Sociologica, 20(1), 55–74.
Monde Insulindien, 101, 131–207. Mulia, R. (1977). Beberapa Catatan mengenai
Haryono, T. (1999). Sang Hyang Watu Teas Arca-arca yang disebut Arca Tipe
dan Sang Hyang Watu Kulumpang: Polinesia. Pertemuan Ilmiah Arkeologi
Perlengkapan Ritual Upacara I, 599–646.
Penetapan Sima pada Masa Kerajaan Munandar, A.A. (2017). Tradisi Pemerintahan
Mataram Kuna. Humaniora, 12, 14–21. dan Konsep Raja Ideal menurut
Hernawan, W., & Kusdiana, A. (2020). Pandangan Masyarakat Sunda Kuna
Biografi Sunan Gunung Jati: Sang abad ke-13-16 M. In A.A. Munandar
Penata Agama di Tanah Sunda. LP2M (Ed.), Siliwangi, Sejarah dan
Universitas Islam Negeri Sunan Kebudayaan Sunda Kuna (pp. 103–
Gunung Djati. 247). Wedatama Widyasastra.
Heryana, A. (2014). Jejak Kepemimpinan Munandar, Agus Aris, Fahrudin, D., Sujai, A.,
Orang Sunda: Pemaknaan dalam & Rahayu, A. (2011). Bangunan Suci
Naskah Carita Parahyangan (1580). Sunda Kuna. Wedatama Widyasastra.
Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah Niemeijer, H. E. (2015). Beberapa Catatan
Dan Budaya, 6(2), 163–178. untuk Rujukan ke Padjajaran di Arsip
Izza, N. A. (2019). Prasasti-prasasti Sapatha VOC yang Disimpan di ANRI. Makalah
Sriwijaya: Kajian Panoptisisme Yang Disajikan Dalam Acara Focus
Foucault. Titian: Jurnal Ilmu Group Discussion (FGD) Rekonstruksi
Humaniora, 3(1), 110–123. Situs Astana Gede Kawali Dengan
Izza, N. A., Sya’adah, N. A., & Melvidiani. Pendekatan Sejarah, Arkeologi,
(2020). Karakteristik Kepala Kala di Filologi, Dan Antropologi.
Sumatera: Tinjauan Arkeologi Seni. Noorduyn, J. (2019). Perjalanan Bujangga
Purbawidya: Jurnal Penelitian Dan Manik Menyusuri Tanah Jawa: Data

168
Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 153—169

Topografis dari Sumber Sunda Kuno. Sarup, M. (2008). Panduan Pengantar untuk
Ombak. Memahami Poststrukturalisme dan
Noorduyn, J., & Teeuw, A. (2009). Tiga Postmodernisme. Jalasutra.
Pesona Sunda. Pustaka Jaya. Sumardjo, J. (2019). Struktur Filosofis Artefak
Perdana, G. C., & Wahyudi, W. R. (2020). Sunda. Penerbit Kelir.
Rekonstruksi Lanskap Kabuyutan Tjandrasasmita, U. (2009a). Kesultanan
Bandung Utara. PURBAWIDYA: Cirebon: Tinjaun Historis dan Kultural.
Jurnal Penelitian Dan Pengembangan In Arkeologi Islam Nusantara (pp. 159–
Arkeologi, 9(1), 1–14. https://doi. 176). Kepustakaan Populer Gramedia
org/10.24164/pw.v9i1.317 dan EFEO.
Pleyte, C. M. (1915). Maharaja Cri Tjandrasasmita, U. (2009b). Melacak Jejak
Jayabuphati, Soenda’s Oudst Bekende Arkeologis Banten. In T. Hartimah,
Vorst. Tijdschrift Voor Indische Taal-. A. Chair, Testriono, O. Dahuri, &
Land-En Volkenkunde, 72, 201–218. S. Sulaiman (Eds.), Arkeologi Islam
Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. Nusantara (pp. 109–119). Kepustakaan
(2010). Sejarah Nasional Indonesia Populer Gramedia dan EFEO.
Jilid II: Zaman Kuna. Balai Pustaka. Trigangga. (2015). Prasasti & Raja-Raja
Ratnawati, L. D. (2001). Upacara Sraddha Nusantara. Museum Nasional Jakarta.
pada Masyarakat Tengger. Amerta: van Bemmelen, R. W. (1949). The Geology
Berkala Arkeologi, 21, 82–96. of Indonesia: General Geology of
Ridwan, S., & Abdulgani, F. (2012). Penulisan Indonesia and Adjacent Archipelagos
Cerita Budug Basu di Kalangan Keraton Vol.1a. Martinus Nijhoff.
Cirebon. Manuskripta, 2(1), 119–138. Zakaria, M. M. (2012). Sri Baduga Maharaja
Rosyandi, E., Satria, A., & Saharuddin. (2019). (1482-1521): Tokoh Sejarah yang
Strategi Aktor dalam Pemanfaatan memitos dan melegenda. Seminar Sri
Sumber Daya Laut di Pelabuhan Ratu Baduga Dalam Sejarah, Filologi, Dan
Jawa Barat. Sodality: Jurnal Sosiologi Sastra Lisan, 1–17.
Pedesaan, 7(2), 127–136. Zoetmulder, P. J. (1982). Kamus Bahasa Jawa
Rudini. (1992). Buku Profil Propinsi Republik Kuno. Gramedia Pustaka.
Indonesia. Yayasan Bhakti Wawasan
Nusantara dan Majalah TELSTRA.
Saptono, N., Widyastuti, E., & Radea, P.
(2020). Kajian Pendahuluan Temuan
Struktur Bata di Sambimaya,
Indramayu. Tumotowa, 3(2), 66–77.

169

Anda mungkin juga menyukai