Anda di halaman 1dari 13

HUBUNGAN SEJARAH JAWA BARAT

DENGAN SEJARAH DEPOK


DAN MASUKNYA ISLAM KE DEPOK

MAKALAH
Makalah disampaikan dalam Seminar Penelusuran Arsip Sejarah Depok
Diselenggarakan oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Depok, 18 Oktober 2012
di Aula Lantai I Balaikota Depok Jalan Margonda Raya Nomor . 54 Depok

oleh

Mumuh Muhsin Z.

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2012
HUBUNGAN SEJARAH JAWA BARAT
DENGAN SEJARAH DEPOK
DAN MASUKNYA ISLAM KE DEPOK1

oleh
Mumuh Muhsin Z.2

ABSTRAK

Sejarah pemerintahan Depok diwarnai oleh perubahan yang sangat dinamis.


Dinamika ini sangat terkait dengan posisi geografis Depok yang berbatasan
dengan DKI Jakarta sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia. Kedekatan letak
geografis ini berpengaruh terhadap pertumbuhan dan keragaman aspek
demografis. Dengan demikian, meskipun Depok termasuk wilayah Jawa Barat
namun etnis dan kuturnya sangat bervariasi, Sunda tidak lagi sebagai etnis dan
kultur dominan. Bagaimana hubungan sejarah Jawa Barat dengan Depok dan
bagaimana masuknya Islam ke Depok menjadi bahasan utama makalah ini.

I. Pengantar

Salah satu persoalan elementer dalam sejarah adalah ruang/tempat atau spasial
(space). Ruang atau tempat berkaitan dengan pertanyaan where sebuah peristiwa
sejarah terjadi. Pertanyaan elementer lainnya adalah when, what, who, why, dan
how. Depok adalah ruang atau tempat peristiwa sejarah terjadi. Demikian juga
Jawa Barat.
Akan tetapi berbeda dengan Jawa Barat yang diketahui kapan istilah itu
muncul sebagai nama wilayah geografis, nama Depok tidak. Belum diketahui
sejak kapan nama Depok digunakan untuk menyebut wilayah geografis. Yang

1
Makalah disampaikan dalam Seminar Penelusuran Arsip Sejarah Depok; diselenggarakan oleh
Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Depok, 18 Oktober 2012 di Aula Lantai I Balaikota Depok
Jalan Margonda Raya Nomor . 54 Depok.
2
Staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah,Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Alamat korepondensi: mumuhmz@unpad.ac.id.
2
pasti adalah dalam realitas kekinian Depok adalah ruang geografis yang
mempunyai status administratif kota. Depok sediri sekarang ini termasuk bagian
wilayah administratif Provinsi Jawa Barat.
Masalah utama yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana
latar belakang sejarah Kota Depok menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu terlebih dahulu dibahas sejarah Provinsi
Jawa Barat.

Provinsi Jawa Barat

Berkait dengan identifikasi wilayah geografis bagian barat Pulau Jawa ini secara
historis muncul tiga peristilahan, yaitu Sunda, Priangan, dan Jawa Barat. Di mata
awam, istilah Sunda, Priangan, dan Jawa Barat seringkali diidentikkan. Bahkan
ada yang mengatakan bahwa “Sunda adalah Jawa Barat, Jawa Barat adalah
Sunda”. Demikian juga dengan Priangan. Sejatinya, ketiga istilah tersebut
memiliki latar sejarahnya sendiri-sendiri. Perkembangan selanjutnya pun berjalan
masing-masing.

2.1 Sunda

Secara etimologis, kata sunda berasal dari bahasa Sanskerta sund atau suddha
yang berarti bersinar, terang, putih. Dalam bahasa Kawi dan bahasa Bali pun
terdapat kata sunda yang berarti: bersih, suci, murni, tak bernoda, air, tumpukan,
pangkat, dan waspada. Ptolemaues (90 – 168 M.), ahli geografi berkebangsaan
Yunani, dianggap sebagai orang pertama yang menyebut Sunda sebagai nama
tempat. Kata ini digunakannya untuk menunjuk suatu wilayah yang terletak di
sebelah timur India.
Terinspirasi oleh Ptolemaeus, para geolog Eropa generasi-kemudian
menamai Sunda untuk suatu dataran bagian barat-laut India Timur, sedangkan
bagian tenggaranya dinamai Sahul. Selanjutnya, sejumlah pulau yang terbentuk di

3
dataran Sunda diberi nama “Kepulauan Sunda Besar” dan “Kepulauan Sunda
Kecil”. Istilah yang pertama mengacu pada himpunan pulau yang berukuran besar
yang terdiri atas pulau-pulau Sumatera, Jawa. Madura, dan Kalimantan. Istilah
yang kedua mengacu pada gugusan pulau-pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba,
Flores, dan Timor.
Selanjutnya, Sunda menjadi nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa,
Kerajaan Sunda. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Sunda berdiri pada abad ke-7 dan berakhir pada tahun 1579 M. Sejak
tahun 1482 Kerajaan Sunda beribu kota di Pakuan Pajajaran (Bogor, sekarang);
sebelumnya beribu kota di Galuh dan Kawali. Salah satu pelabuhan penting –
yang juga menjadi nama kerajaan vassal dari Kerajaan Sunda – yang ada di
wilayah Kerajaan Sunda adalah Sunda Kalapa (kemudian nama Sunda Kalapa
berubah menjadi Jayakarta 1527-1619, Batavia 1619-1942, Jakarta 1942-
sekarang).
Sejak keruntuhan kerajaan itu, nama Sunda terutama yang mengacu pada
pengertian geografis tidak begitu menonjol. Istilah Sunda mengemuka lagi pada
awal abad ke-20 melalui kelahiran organisasi Paguyuban Pasundan (1914).
Perkumpulan ini bertujuan meningkatkan derajat, harkat, martabat, dan
kesejahteraan orang Sunda.

2.2 Priangan

Kata priangan berasal dari kata parahyangan. Akar kata parahyangan adalah
hyang atau rahyang kemudian mendapat awal “para-“ dan akhiran “-an” atau
awalan “pa-“ dan akhiran “-an”. Pengertian kata ini adalah “daerah yang menjadi
tempat tinggal tuhan atau dewa (hyang) yang harus dihormati” atau “daerah yang
menjadi tempat tinggal leluhur yang harus dihormati” (Ayatrohaedi, 1969). Selain
itu, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata priangan itu berasal dari kata
prayangan, yang berarti ”menyerah dengan hati yang tulus”. Pengertian yang
kedua ini dikaitkan pada peristiwa sejarah, yaitu menyerahnya Pangeran

4
Suriadiwangsa (Raja Sumedanglarang) kepada Sultan Agung Mataram pada tahun
1620.
Pada pendapat yang kedua ini terdapat kelemahan, karena ia mengesankan
bahwa kata priangan baru muncul pada tahun 1620. Padahal jauh sebelum itu,
yakni pada akhir abad-ke 16, kata “priangan” sudah muncul dan menjadi judul
sebuah naskah “Carita Parahyangan”. Naskah ini disusun sekitar akhir abad ke-16,
pada masa akhir Kerajaan Sunda. Dalam naskah ini diceritakan sejarah Kerajaan
Sunda sejak awal hingga akhir. Di dalamnya dikemukakan daftar raja Sunda
berikut lama masa pemerintahannya dan peristiwa-peristiwa yang terjadi serta
masalah yang muncul pada masa pemerintahan tiap-tiap Raja Sunda. Isi naskah
ini diakhiri oleh cerita mengenai kemunduran Kerajaan Sunda dan masuknya
pengaruh Islam ke wilayah kerajaan.
Akan tetapi, memang, nama parahyangan yang menjadi judul naskah
tersebut tidak menunjukkan nama wilayah geografis. Oleh karena itu, boleh jadi,
pemberian nama priangan untuk wilayah geografis bekas Kerajaan Sunda itu
terilhami oleh judul naskah itu. Priangan sebagai nama wilayah geografis di
bagian barat Pulau Jawa ini terjadi pada tahun 1620. Selanjutnya, nama Priangan
terus digunakan pada periode-periode berikutnya.
Nama Priangan resmi menjadi nama keresidenan terjadi pada tahun 1815
sewaktu Pulau Jawa dikuasai oleh Pemerintahan Interregnum Inggris pimpinan
Thomas Stamford Raffles (1811 – 1816). Pada periode ini Keresidenan Priangan
meliputi lima kabupaten: Cianjur, Bandung, Sumedang, Sukapura, dan
Parakanmuncang. Batas-batas administratif wilayah Keresidenan Priangan waktu
itu adalah sebelah utara Keresidenan Batavia dan Cirebon, sebelah timur
Keresidenan Cirebon dan Banyumas, sebelah selatan dan barat daya adalah
Samudera Hindia, dan sebelah barat adalah Keresidenan Banten. Batas-batas alam
wilayah ini adalah sebelah utara rangkaian pegunungan Salak-Gede dan
Burangrang-Tangkubanparahu; sebelah timur Sungai Citanduy; sebelah barat
adalah Pelabuhanratu (Wijnkoopsbaai) dan Ciletu (Zandbaai), sebelah tenggara
Selat Pananjung, dan di sebelah selatan dan tenggara adalah Cilauteureun.

5
Setelah kemerdekaan, Keresidenan Priangan meliputi lima kabupaten dan
satu kotapraja, yaitu: Kabupaten Bandung, Garut, Sumedang, Tasikmalaya,
Ciamis, dan Kotapraja Bandung. Pada tahun 1964 status keresidenan dihapus, dan
diganti dengan istilah wilayah. Provinsi Jawa Barat terdiri atas lima wilayah, salah
satunya adalah Wilayah V Priangan.

2.3 Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat dibentuk tanggal 1 Januari 1926. Pembentukan provinsi ini
dituangkan dalam Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1925 Nomor 378 tanggal
14 Agustus. Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang pertama kali dibentuk.
Kemudian menyusul dibentuk Provincie Oost Java (Provinsi Jawa Timur) pada
tahun 1928, dan Provincie Midden Java (Provinsi Jawa Tengah) tahun 1929.
Provinsi Jawa Barat pada awal pembentukannya meliputi lima keresidenan dan
enam kotapraja (stadsgemeente). Kelima keresidenan itu adalah Banten, Batavia
(Jakarta), Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon; dan keenam kotaptaja itu
adalah: Batavia, Meester Cornelis, Buitenzorg, Bandung, Cirebon, dan
Sukabumi. Dalam perkembangan selanjutnya, Batavia keluar dari Provinsi Jawa
Barat (1959), disusul oleh Banten pada tahun 2000.
Dengan demikian, hubung kait antara Sunda, Priangan, dan Jawa Barat
dapat dijelaskan sebagai berikut. Sunda lebih merupakan identitas kultural dengan
ciri-cirinya tersendiri, lepas dari aspek administratif-geografis. Priangan menunjuk
pada ciri kultural dan administratif-geografis. Melekat pada kata Priangan adalah
ciri kultur kesundaan dan sekaligus menjadi salah satu keresidenan di Provinsi
Jawa Barat. Sedangkan Jawa Barat adalah nama yang merujuk pada aspek
geografis-administratif. Secara geografis, Jawa Barat terletak di bagian barat
Pulau Jawa; secara administratif Jawa Barat merupakan level pemerintahan
provinsi. Memang, secara historis dan realitasnya etnis mayoritas penghuni
Provinsi Jawa Barat adalah Sunda, kultur dominannya pun Sunda. Akan tetapi,
Jawa Barat tidak identik dengan Sunda atau Priangan.

6
II. Depok

Memang belum diketahui sejak kapan nama Depok digunakan sebagai nama
tempat untuk wilayah geografis yang kemudian sekarang dikenal dengan nama
Kota Depok. Namun, sekedar untuk menduga-duga, hal itu bisa dilacak secara
toponomis.
Pertama ada yang berpendapat bahwa nama Depok itu merupakan
singkatan dari De Eerste Protestants Onderdaan Kerk. Nama ini sejalan dengan
sebutan untuk daerah otonom milik Cornelis Chastelein sebagai Het Gemeente
Bestuur van Het Particuliere Land Depok. Sebutan ini terjadi pada akhir abad
ke-17 ketika saudagar berkebangsaan Belanda ini membeli tanah seluas 12,44 km
persegi. Berdasarkan kenyataan di atas muncul kemungkinan bahwa daerah
tersebut dinamai Depok terjadi pada akhir abad ke-17. Akan tetapi dugaan
tersebut lemah, mengingat nama “Depok” itu umum dan terdapat di banyak
tempat. Misalnya, di Kabupaten Bandung, Garut dan Sumedang ada tempat yang
bernama Depok.
Kedua, dilihat dari segi bahasa, kata depok (bahasa Sunda kuna) berarti
“perkampungan” atau “pertapaan” (LBSS, 2007: 108; Danadibrata, 2006: 164).
Daerah ini disebut “depok” kemungkinan karena sejak zaman kuna daerah ini
menjadi tempat pemukiman atau tempat pertapaan. Kedua-duanya sangat
memungkinkan karena di daerah ini (Bogor) menjadi pusat Kerajaan Sunda
Pajajaran. Dengan demikian, Depok digunakan sebagai nama tempat sudah terjadi
setidaknya sejak abad ke-15.
Bila Depok sebagai wilayah dilihat dari ruang sejarah, secara kronologis
bisa dikatakan demikian:
1. Depok menjadi bagian dari Kerajaan Tarumanagara (sampai abad ke-7)
2. Depok menjadi bagian dari Kerajaan Sunda Pajajaran (abad ke-7 s.d. abad ke-
16).

7
3. Depok bagian dari kekuasaan VOC3 (abad ke-16 s.d. abad ke-18)
4. Depok bagian dari Pemerintah Hindia Belanda (termasuk Keresidenan
Buitenzorg) (abad ke-19 s.d. 1942)
5. Depok bagian dari Pemerintah Pendudukan Jepang (1942 s.d. 1945)
6. Depok bagian dari Pemerintah Republik Indonesia (sejak 1945)
6.1 Depok menjadi bagian dari Parung;
6.2 Parung menjadi bagian dari Kabupaten Bogor;
6.3 Kabupaten Bogor menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat.
Tahun 1981 Depok menjadi Kota Administratif berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 43 tahun 1981 yang peresmiannya pada tanggal 18 Maret
1982. Berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 1999, status Depok ditingkatkan
menjadi Kotamadya Daerah Tk. II Depok yang ditetapkan pada tanggal 20 April
1999, dan diresmikan tanggal 27 April 1999.

III. Masuknya Islam ke Depok

Mengenai masuknya dan berkembangnya Islam ke Depok sementara ini,


sepengetahuan penulis, belum banyak terungkap. Untuk itu harus ada penelitian
khusus. Akan tetapi, sementara ini akan diuraikan sedikit tentang masuknya Islam
ke Cirebon, Banten, dan Sunda Kalapa karena daerah-daerah ini menjadi sentral
setting spasial masuk dan berkembangnya Islam di Jawa Barat pada masa-masa
awal.
Secara geografis Cirebon terletak di pesisir utara Jawa, atau di tepi pantai
sebelah timur ibu kota Pajajaran. Penduduknya mempuyai mata pencaharian
menangkap udang dan membuat terasi. Cirebon memiliki muara-muara sungai
yang berperan penting bagi pelabuhan yang dijadikannya sebagai tempat
menjalankan kegiatan pelayaran dan perdagangan lokal, regional, dan bahkan
internasional. Pada tahun 1513, Tome Pires menceritakan bahwa pelabuhan
Cirebon tiap hari disinggahi tiga atau empat buah kapal (junk) untuk berlabuh.
3
Sejak 1695 Cornelis Chastelein membeli tanah yang kemudian dikenal nama Depok dari seorang
tuan tanah Cina bernama Tio Tiong Ko. Tanah ini kemudian berstatus sebagai tanah partikelir.
Tanah partikelir Depok dihapus pada 1952 (Purwoto, 2003).
8
Dari pelabuhan ini diekspor beras, jenis-jenis makanan, dan kayu dalam jumlah
banyak sebagai bahan membuat kapal. Penduduknya berjumlah sekitar 1.000
orang (Cortesoa, 1944: 183; Ekadjati, 2005: 78). Cirebon sebagai kota pelabuhan
sudah berlangsung sejak lama, yakni sejak Cirebon menjadi vassal Kerajaan
Sunda (Tjandrasasmita, 2009: 159).
Dalam sumber-sumber lokal, Babad Cirebon (edisi Brandes) dan Carita
Purwaka Caruban Nagari misalnya, diceritakan bahwa Cirebon dulunya sebagai
dukuh yang diperintah oleh seorang juru labuan (syahbandar), kemudian menjadi
desa yang dipimpin oleh seorang kuwu. Pelabuhannya berlokasi di Muara
Amparan Jati yang berada di Dukuh Pasambangan. Yang menjadi kepala atau juru
labuhannya ialah Ki Gedeng Kasmaya, Ki Gedeng Sedangkasih, kemudian
diganti oleh Ki Gedeng Tapa, selanjutnya diganti lagi oleh Ke Gedeng Jumajan
Jati. Konsekuensi sebagai vassal Kerajaan Sunda, setiap tahun Cirebon
menyerahkan upeti berupa garam dan terasi (Tjandrasasmita, 2009: 159).
Sebelum tempat yang sekarang menjadi kota Cirebon dihuni orang, tidak
jauh di sebelah utara tempat itu terdapat kehidupan masyarakat. Masyarakat yang
tinggal di tempat itulah yang merupakan cikal bakal penduduk kota Cirebon. Di
situ terdapat pelabuhan Muhara Jati dan Pasambangan. Di sebelah utaranya
terdapat negeri Singapura di sebelah timurnya terdapar negeri Japura, sedangkan
di sebelah selatan di bagian pedalaman terdapat Caruban Girang. Pada perempat
pertama abad ke-14 Masehi saudagar-saudagar yang berasal dari Pasai, Arab,
India, Parsi, Malaka, Tumasik (Singapura), Palembang, Cina, Jawa Timur, dan
Madura datang berkunjung ke Pelabuhan Muhara Jati dan Pasar Pasambangan
untuk berniaga dan memenuhi keperluan pelayaran lainnya. Kedatangan mereka,
yang telah memeluk Islam, di Pelabuhan Muhara Jati dan Pasar Pasambangan
memungkinkan penduduk setempat berkenalan dengan agama Islam.
Banten, merupakan pelabuhan yang penting bila dilihat dari sudut geografi
dan ekonomi karena letaknya yang strategis dalam penguasaan Selat Sunda, yang
menjadi matarantai pula dalam pelayaran dan perdagangan melalui lautan
Indonesia di bagian selatan dan barat Sumatera. Pentingnya Banten lebih

9
dirasakan terutama waktu Selat Malaka berada di bawah pengawasan politik
Portugis di Malaka (Tjandrasasmita, 1993: 20).
Banten disebut pertama kali dalam Babad Cirebon (edisi Brandes) sebagai
tempat singgah Syarif Hidayatulloh ketika ia baru tiba di Pulau Jawa sepulangnya
dari Tanah Arab. Di Banten waktu itu telah ada yang menganut agama Islam,
walaupun masih merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Pajajaran. Penduduk
Banten diislamkan oleh Demak dan Cirebon tanpa peperangan. Menurut Carita
Purwaka Caruban Nagari, pada waktu Syarif Hidayatulloh singgah di Banten,
tempat itu telah menjadi kota pelabuhan. Menurut Tome Pires, Banten pada tahun
1513 merupakan pelabuhan dagang milik Kerajaan Sunda (Cortesao, 1944: 166;
170-171). Empat belas tahun kemudian (1627) orang Portugis lain bernama
Barros mendapatkan Banten sebagai kota pelabuhan besar sejajar dengan Malaka
dan Sumatera. Pada tanggal 22 Juni 1596 rombongan orang Belanda yang pertama
datang di Banten dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Ia mendapatkan Banten
sebagai pusat kekuasaan Islam, di samping sebagai kota pelabuhan besar. Di
pelabuhan itu banyak berniaga saudagar dari Cina, Persi, Arab, Turki, India, dan
Portugis.
Eksistensi Sunda Kalapa disaksikan dan diceritakan oleh Tome Pires tahun
1513, J. De Barros tahun 1527, dan Cornelis de Houtman tahun 1598 (Cortesao,
1944; Hageman, 1866; Vlekke, 1967). Ketiga orang itu menyatakan bahwa Sunda
Kalapa merupakan kota pelabuhan yang indah dan ramai dikunjungi para
pedagang. Pada mulanya kota pelabuhan ini merupakan pelabuhan utama
Kerajaan Sunda, kemudian diduduki oleh pasukan Islam dari Demak dan Cirebon
di bawah pimpinan Faletehan (1527). Setelah dikuasai pasukan Islam, Sunda
Kalapa berubah nama menjadi Jayakarta.
Depok secara geografis berada di tengah-tengah antara ketiga wilayah itu
(Cirebon, Banten, dan Sunda Kalapa). Oleh karena itu, masuknya Islam ke Depok
bisa jadi setelah ketiga wilayah itu diislamkan. Dengan demikian diduga bahwa
Islam sudah mulai masuk wilayah Depok sejak abad ke-17/18. Edi S. Ekadjati
(1975: 104) memetakan rute yang ditempuh penyebaran Islam di Jawa Barat ialah
sebagai berikut:
10
1. Cirebon – Kuningan – Talaga – Ciamis.
2. Cirebon – Kadipaten – Majalengka – Darmaraja – Garut.
3. Cirebon – Sumedang – Bandung.
4. Cirebon – Talaga – Sagalaherang – Cianjur.
5. Banten - Jakarta – Bogor – Sukabumi.
6. Banten – Banten Selatan – Bogor – Sukabumi.
Dengan demikian, masuknya Islam ke Depok diperkirakan melalui rute
nomor 5 dan 6.

IV. Simpulan

Hubungan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat dengan Depok memiliki akar dan
latar belakang sejarah yang panjang. Perjalanan sejarah ini melegitimasi
keberadaan Depok sebagai bagian dari Provinsi Jawa Barat.
Masuk, berkembang, dan pengaruh Islam di Depok sementara ini belum
banyak terungkap secara komprehesif. Akan tetapi secara asumsi patut diduga
bahwa Islam sudah masuk ke wilayah Depok sejak abad ke-17/18.

11
Daftar Sumber

Atja. 1968.
Carita Parahiangan. Bandung: Yayasan Kebudayaan Nusalarang.

-------. 1972.
Carita Purwaka Caruban Nagari. (Sejarah Mula Jadi Cirebon). Jakarta:
Proyek Pengenbangan Permuseuman Jawa Barat.

Atja dan Saleh Danasasmita. 1981.


Sang Hyang Siksakanda Ng Karesian (Naskah Sunda Kuno Tahun 1518).
Bandung: Ikatan Karyawan Mseum.

Cortesao, Armando. 1944.


The Suma Oriental of Tome Pires; an Account of the East from the Red
Sea to Japan; Written in Malacca and in India in 1512-1515. 2 jilil.
London: Hakluyt Society.

Danadibrata, R.A. 2006.


Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat.

Djajadiningrat, R.A. Husein. 1983.


Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten; Sumbangan bagi Pengenalan
Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Djambatan KITLV.

Ekadjati, Edi S. 1975.


“Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat”, dalam Teguh Asmar et al.
Sejarah Jawa Barat; dari Masa Pra-Sejarah hingga Masa Penyebaran
Agama Islam. Bandung: Proyek Penunjang Penigkatan Kebudayaan
Nasional Provinsi Jawa Barat, hlm. 82 – 107.

-------. 2005.
Sunan Gunung Jati; Penyebar dan Penegak Islam di Tatar Sunda. Jakarta:
Pustaka Jaya.

LBSS. 2007.
Kamus Basa Sunda. Bandung: Tarate.

Muhsin Z., Mumuh. 2010.


Penyebaran Islam di Jawa Barat. Makalah disampaikan dalam Saresehan
Nasional “Sejarah Perjuangan Syaikhuna Badruzzaman (1898 – 1972)“
Diselenggarakan pada tanggal 13 Juni 2010 di Pondok Pesantren al-Falah,
Mekargalih, Tarogong Kidul, Kabupaten Garut. Jatinangor: Program Studi
Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

12
Muhsin Z., Mumuh. T.th.
“Sunda, Priangan dan Jawa Barat” dalam
http://blogs.unpad.ac.id/mumuhmz/2009/11/19/sunda-priangan-dan-jawa-
barat/ (17 Oktober 2012).

Purwoto, Anggoro. 2003,


Penghapusan Tanah Partikelir Depok dan Dampaknya bagi Warga Depok
Asli (1947-1952). Skripsi Tidak Diterbitkan. Jatinangor: Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Tjandrasasmita, Uka ed. 1993.


“Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia”, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Cetakan ke-18.
Jakrta: Balai Pustaka.

…….. 2009.
Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG bekerja sama dengan EFEO dan
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatulloh.

13

Anda mungkin juga menyukai