Anda di halaman 1dari 11

SEJARAH MARGOKATON

I. PENDAHULUAN

Margokaton sebagai sebutan sebuah wilayah kelurahan untuk pertama kalinya,


dapat ditemukan dalam buku talak yang merupakan catatan ulu-ulu Margokaton tertanggal
4 Februari 1947. Catatan tersebut merupakan dokumen paling tua berkaitan dengan
keberadaan Kalurahan Margokaton. Keyakinan ini didasarkan pada dokumen lain, yaitu
catatan arsip pertanahan tertanggal 30 November 1946, yang menyebutkan bahwa
Kalurahan Susukan merupakan bagian dari Kalurahan Margokaton.
Berdasarkan temuan tersebut, diperkirakan pada akhir 1946 hingga awal 1947
terjadi proses penggabungan tiga kelurahan yaitu, Kelurahan Susukan, Kelurahan
Planggok, dan Kelurahan Bokong, menjadi Kelurahan Margokaton. Proses penggabungan
ini selesai sekitar awal tahun 1947 dan tanggal 4 Februari pada tahun tersebut, Kalurahan
Margokaton secara resmi berdiri. Meski telah resmi berdiri, namun diperkirakan pada masa
tersebut Kelurahan Margokaton belum memiliki pamong.
Kurang lebih setahun kemudian, barulah Kelurahan Margokatan melengkapi
struktur pemerintahannya dengan mengangkat pamong untuk memperlancar tugas-tugas
pemerintahan. Pengangkatan pamong ini merupakan bagian dari pelaksanaan Maklumat
No. 5 Tahun 1948 Pemerintah Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia Jogjakarta
(Kasultanan dan Pakualaman) Tentang Daerah-daerah Kalurahan dan Nama-namanya.

II. ALUR SEJARAH PERADABAN DI MARGOKATON


A. Masa Hindu Budha
Margokaton adalah sebuah wilayah yang menarik untuk digali lebih dalam.
Terutama terkait dengan peninggalan-peninggalan kuno yang sampai saat ini masih
dapat kita temukan. Baik berupa tradisi lisan seperti legenda, mitos, dan sejenisnya,
seni pertunjukan serta upacara-upacara tradisi, petirtan maupun benda-benda
purbakala di berbagai tempat di wilayah Margokaton.
Berdasarkan peninggalan-peninggalan tersebut, dapat diasumsikan bahwa
Margokaton adalah sebuah wilayah atau kawasan pemukiman kuno yang memiliki
kekuasaan atau pemerintahan yang tertata dengan baik. Sangat mungkin wilayah
pemerintahan ini sudah ada sejak masa Mataram Kuno (Medang). Sejauh ini
memang belum ditemukan referensi terkait sejarah Margokaton yang
mengaitkannya dengan keberadaan Mataram Kuno. Peninggalan-peninggalan yang
masih dapat kita temukan itulah yang menjadi panduan sehingga sampai pada
kesimpulan bahwa Margokaton merupakan sebuah wilayah pemerintahan kuno.
Melihat posisi Margokaton yang berada di daerah subur dengan air yang
melimpah, besar kemungkinan Margokaton sejak jaman dulu merupakan kawasan
yang makmur. Kesuburan tanah dan ketersediaan air yang melimpah membuat
penduduk di wilayah ini sejahtera sehingga kawasan tersebut berkembang dengan
cepat menjadi sebuah wilayah pemerintahan yang maju. Baik dalam pemerintahan,
perekonomian, maupun sosial budaya.
Sangat mungkin Margokaton merupakan bagian wilayah kekuasaan
Mataram Kuno. Dugaan ini dibangun berdasarkan peninggalan-peninggalan fisik
berupa penemuan reruntuhan candi bernuansa Hindu berupa lingga, yoni, makara,
kemuncak, arca durga, ganesa, nandi, dan sebagainya yang saat ini tersimpan di
Balai Penampungan Cagar Budaya Seyegan. Sebagian peninggalan serupa masih
terpendam di Padukuhan Susukan III, Padukuhan Seyegan, Pedukuhan Ngaran,
Padukuhan Somokaton juga di Padukuhan Grajegan.
Selain bernuansa Hindu, dapat juga kita temukan reruntuhan candi dengan
nuansa Budha seperti arca-arca Budha dalam berbagai posisi.
1
Berbagai peninggalan purbakala ini, terutama yang bernuansa Hindu,
mengganggu penalaran dan mengajak kita untuk mengaitkannya dengan Candi
Gunung Wukir. Sebuah kompleks percandian Hindu di puncak sebuah bukit di
wilayah Magelang.
Apa kaitannya wilayah Margokaton dengan Candi Gunung Wukir? Meski
belum ditemukan data bahwa usia peninggalan di kedua wilayah tersebut relatif
sama, tapi dari yang bisa dilihat peninggalan di kedua tempat ini memiliki nuansa
yang sama, yaitu pertama reruntuhan tempat suci umat Hindu. Kedua, jarak antara
Margokaton dan Gunung Wukir hanya sekitar 13 kilometer. Jarak tersebut memberi
gambaran bahwa pada masa lalu Margokaton dan Gunung Wukir merupakan dua
wilayah yang saling mempengaruhi. Atau bahkan keduanya berada dalam satu
wilayah pemerintahan yang sama.
Lalu apa pentingnya Candi Gunung Wukir? Candi ini mungkin tidak jauh
beda dengan tempat pemujaan umat Hindu lain. Titik penting dari keberadaan
peninggalan Gunung Wukir tampaknya ada pada sebuah batu bertulis atau yang
lebih dikenal sebagai Prasasti Canggal yang ditemukan di sekitar kompleks Candi
Gunung Wukir pada tahun 1879. Prasasti bertahun bertahun 732 Masehi tersebut
dibuat Raja Sanjaya sebagai sebuah maklumat bahwa ia telah membangun kembali
kerajaan dan bertahta lagi setelah mengalahkan musuh-musuhnya.
Prasasti tersebut juga menguraikan bahwa raja sebelumnya yaitu Raja Sanna
adalah pemimpin yang memerintah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Setelah Sanna wafat, Sanjaya yang merupakan anak dari Sannaha, saudara
perempuan Sanna, menggantikan peran Sanna.
Pusat pemerintahan Medang disebut-sebut berada di Medari (Medang Ri).
Jika ditarik garis lurus ke arah barat dari Medari ke Gunung Wukir, jarak kedua
tempat tersebut sekitar 13 kilometer. Sedangkan letak wilayah Margokaton dari
Medari sekitar tujuh kilometer ke arah selatan. Data tersebut menjadi pertimbangan
bahwa di Margokaton (pada masa tersebut) memang telah terbentuk sebuah
peradaban yang maju.
Akan tetapi keberadaan pusat pemerintahan Medang yang berada di Medari
ini masih terdapat silang pendapat antarpara sejarawan. Karena nama Medang dan
Ri (kemudian diutak-atik menjadi Medari) lebih bersdifat cocokologi.
Dibandingkan dengan wilayah Margokaton yang alamnya lebih makmur dengan
peradaban maju, maka lebih tepat jika wilayah Margokaton yang dipilih oleh Raja
Sanna sebagai pusat pemerintahan Medang sekaligus pusat peradaban Jawa pada
waktu itu.
Pada tahun 1006 letusan Gunung Merapi memporak-porandakan sebagian
besar wilayah kerajaan Medang, sehingga kerajaan Medang digeser ke sebelah
timur Pulau Jawa. Letusan pada tahun itu memberi sumbangan lahar hingga ke
selatan sampai ke Padukuhan Susukan, Somokaton, dan Bantulan. Lokasi yang
sekarang terdapat bangunan irigasi Selokan Mataram. Lahar itu pula yang
menghancurkan beberapa peradaban di kaki Merapi hingga ke wilayah Caturharjo
di sebelah selatan. Sehingga di wilayah sekitar itu baru terbentuk kembali
padukuhan-padukuhan dan peradaban baru pada masa Perang Diponegoro pada
tahun 1830-1835 yang juga disebut Perang Jawa terbesar sebelum Perang
Kemerdekaan.

B. Masa Mataram Islam


Pada masa pemerintahan Mataram Islam peradaban di Margokaton dapat
dilacak di makam Somokaton dengan kijing yang bercorak tahun 1500 sampai
1600-an, juga di Makam Krambilan dengan corak sama. Nisan dan kijing seperti ini
sangat mudah ditemukan dan ditilik di pasarean Girilaya, Imagiri, Bantul,
2
Yogyakarta. Ia merupakan tanda bagi tokoh-tokoh yang hidup dan meninggal dari
tahun 1500 awal sampai 1600 awal di Jawa. Nisan yang ada di makam Somokaton
berlanggam Demak, Pajang, dan Sultan Agung. Sementara itu di makam Krambilan
nisan paling tua berlanggam era Sultan Agung (M. Yaser Arafat, 2022)
Pada nisan di makam-makam tersebut tidak terdapat nama orang yang
dimakamkan. Hal ini sebagai upaya menyembunyikan identitas jenazah yang
dimakamkan merupakan ciri khas era Mataram Islam, apalagi kaum priyayi dan
ulama. Biasanya mereka menggunakan nama samaran, untuk menghindari
pembunuhan atau perang suksesi. Sangat jarang sebuah nisan bertuliskan nama
orang yang dimakamkan di era Mataram Islam. Biasanya nama jenazah
disembunyikan dalam kijing yang dimasukkan ke dalam tanah.
Pada masa Mataram Islam ini sudah terbentuk sebuah pemerintahan sebagai
warisan dari Pemerintahan Majapahit. Pada masa itu ditanamkan keyakinan bahwa
tanah di wilayah kerajaan adalah milik raja dan dipergunakan untuk lungguh para
nayaka, para pembesar daerah dan para pegawainya. Rakyat hanya mempunyai hak
menggarap atas tanah-tanah lungguh tersebut. Sebagai penggarap, rakyat berhak
atas sebagian dari hasil pertanian. Sedangkan sebagian lainnya harus diserahkan
kepada pejabat pemilik tanah lungguh, kepada bekel (kepala desa), demang, bupati,
dan kas kraton sebagai pajak.

C. Masa Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta


Kasultanan Yogyakarta lahir dari tercapainya perdamaian antara Susuhunan
Pakubuwono III dan Pangeran Mangkubumi (yang kemudian bergelar Sri Sultan
Hamengkubuwono I). Kesepatakan yang berlangsung di Desa Gianti pada tanggal
13 Februari 1755 itu disebut dengan Palihan Nagari (atau Perjanjian Giyanti.)
Dengan terbaginya Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta ini berdampak pada timbulnya suasana dan corak baru.
Demikian pula dalam bidang pemerintahan, kebudayaan, dan kesenian.
Penataan kewilayahan Kasultanan Yogyakarta menyatakan bahwa
Kasultanan terdiri atas tiga daerah, yaitu:
1. Nagoro, adalah daerah pusat pemerintahan sekaligus tempat tinggal sultan dan
para pembesar kerajaan. Daerah ini pada masa sekarang lebih dikenal sebagai
Daerah Ibukota Kerajaan.
2. Nagoro Gung, adalah daerah yang merupakan tanah lungguh para pembesar
Kerajaan. Sleman termasuk di dalam daerah Negoro Gung. (Kelak yang diminta
Sri Sultan HB IX sebagai wilayah DIY sewaktu menyatakan Nagari
Ngayogyakarta Hadiningrat bergabung dengan NKRI hanya wilayah ini saja)
3. Monco Nagoro, adalah daerah yang merupakan pemajengan Dalem, dikuasai
oleh para bupati. Daerah yang termasuk dalam Monco Nagoro ini antara lain
Kedu, Purworejo, Kutoarjo, Kebumen, dan Banyumas. (Wilayah ini dirampas
oleh Belanda pasca Perang Diponegoro 1830).
Pada masa awal Kerajaan Kasultanan Yogyakarta, sebagai tindak lanjut dari
Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi memulai kegiatannya membangun
kasultanan Yogyakarta berbasis di Pesanggrahan Ambarukmo. Seiring perjalanan
waktu Pangeran Mangkubumi berpindah dari Ambarukmo ke Ambarketawang.
Dari pesanggrahan di Ambarketawang ini Pangeran Mangkubumi mengatur
wilayah dan menyiapkan sarana dan prasarana kraton termasuk tempat tinggal
sultan dan para pembesar kerajaan di Hutan Beringan (lokasi Keraton Kasultanan
Yogyakarta pada saat ini).
Sebagai hasil Perjanjian Giyanti maka pada Kamis Kliwon 20 Jumadilakir
tahun Jawa 1680 atau 1755 M, Kanjeng Pangeran Mangkubumi diwisuda menjadi
raja di Ngayogyakarta Hadiningrat bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan
3
Hamengkubuwana Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama
Ingkang Jumeneng Kaping Sepisan.
Pada masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuana I sampai dengan Sri
Sultan Hamengkubuwana VII, para nayaka, pembesar daerah, dan pegawai diberi
gaji berupa hak anggadhuh tanah yang kemudian disebut sebagai tanah lungguh.
Para nayaka dan pegawai tersebut juga mendapat uang tetempuh dari Pemerintahan
Hindia Belanda.
Salah satu contoh pejabat kerajaan yang memiliki tanah lungguh adalah
pepatih dalem. Pepatih Dalem dan para pegawainya memiliki tanah lungguh yang
terletak di daerah Mentawis, yaitu tanah yang terletak di antara Kali Progo (batas
Barat) dan Kali Opak (Batas Timur).
Peraturan pemberian gaji oleh Kerajaan berupa tanah lungguh dan
pemberian uang tetempuh oleh Pemerintahan Hindia Belanda berlaku sampai
dengan Tahun 1914 yaitu pada waktu “Apanange Stelsel” dihapus dan dibentuk
kalurahan-kalurahan sebagai badan hukum.

D. ALUR SEJARAH KALURAHAN MARGOKATON


1. Periode 1916-1945
Alur sejarah Margokaton dimulai dari sejarah perubahan nama Kabupaten
Sleman dari Kabupaten Sulaiman yang dapat dilacak pada Rijksblad no. 11 tahun
1916 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan HB VII1 (Rijksblad adalah publikasi resmi
pemerintah Belanda yang berisi undang-undang, peraturan, keputusan, dan
pengumuman dari pemerintah. Publikasi ini pertama kali diterbitkan pada tahun
1814 dan masih diterbitkan hingga sekarang dengan nama yang berbeda-beda) yang
membagi wilayah Kasultanan Yogyakarta (Mataram) dalam tiga Kabupaten, yakni
Kalasan, Bantul, dan Sulaiman (yang kemudian disebut Sleman), dengan seorang
bupati sebagai kepala wilayahnya. Secara hirarki, Kabupaten membawahi distrik
yang dikepalai seorang panji. Kemudian, distrik membawahi onderdistrik yang
dikepalai oleh seorang asisten panji.2
Dalam Rijksblad tersebut juga disebutkan bahwa kabupaten Sulaiman terdiri
dari 4 (empat) distrik yakni : Distrik Mlati (terdiri 5 (lima) onderdistrik dan 46
kalurahan), Distrik Klegoeng (terdiri enam onderdistrik dan 52 kalurahan), Distrik
Joemeneng (terdiri enam onderdistrik dan 58 kalurahan), Distrik Godean (terdiri
delapan onderdistrik dan 55 kalurahan)3.
Pada tahun yang sama, berturut-turut dikeluarkan Rijksblad No.12/1916,
yang menempatkan Gunung Kidul sebagai kabupaten keempat wilayah Kasultanan
Yogyakarta. Kemudian disusul dengan Rijksblad no. 16/1916 yang mengatur
keberadaan Kabupaten Kota. Sedangkan Rijksblad 21/1916 mengatur keberadaan
kabupaten Kulon Progo. Dengan demikian, pada tahun tersebut wilayah Kasultanan
Yogyakarta berkembang dari 3 kabupaten menjadi 6 Kabupaten.

1
Sri Sultan Hamengkubuwana VII, 4 Februari 1839 – 30 Desember 1921) adalah raja Kesultanan
Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877-1921. Dia juga dikenal dengan sebutan Sinuwun
Behi dan Sultan Ngabehi (Sultan Sugih).
2
Sebutan “distrik” (kepanjen, Jawa) adalah istilah yang dipakai oleh Belanda untuk menamai sebuah wilayah
di bawah regentschap (kabupaten), yang pada tahun 1926 diubah namanya menjadi kawedanan yang
dikepalai oleh seorang wedana. Sedangkan onderdistrict adalah sebutan wilayah di bawah distrik yang
dikepalai oleh seorang asisten panji yang kemudian diubah menjadi asisten wedana dan akhirnya diubah lagi
menjadi panewu. (Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, hal. 151)
3
Kalurahan dimaksud di sini masih Kalurahan Lama, Margokaton dulunya terdiri dari Kalurahan Susukan,
Kalurahan Planggok dan Kalurahan Bokong. District Djoemeneng yang terdiri dari Onderdistrict:
Djoemeneng, Watoekarong, Sajegan, Poendong, Ngidjon & Minggir. Ketiga Kalurahan tersebut masuk di
dalam wilayah Onderdistrict Sajegan, kabupaten Sleman.
4
Pada tahun 1917-1918 terjadi reorganisasi kewilayahan yaitu terjadi
penggabungan-penggabungan beberapa onderdistrik (kapanewon) namun dalam hal
ini Onderdistrik Seyegan masih berada di bawah Distrik Jumeneng, kabupaten
Sleman.
Terdapat dua periode pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta, yakni
periode (1755-1918) ketika desa menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan
tanah lungguh atau patuh. Pada periode ini sebagian tanah raja diserahkan kepada
abdi dalem dan sentono dalem. Tanah ini lazim disebut sebagai tanah lungguh.
Mereka yang diberi hak untuk menggunakan tanah ini disebut patuh. Tiap-tiap
patuh ini menunjuk wakil-wakilnya yang disebut bekel untuk merngurus dan
mengawasi usaha tanahnya serta menarik pajak di lingkungan kebekelannya. Tiap
asisten panji memerintah suatu daerah yang luasnya meliputi 20-30 kebekelan
(Suhartono, 1991: 58, yang dikutip Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta, 2022:153).
Pemerintah tidak banyak melakukan kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh
seorang asisten panji pada waktu itu karena memang tidak ada bawahan yang dapat
membantunya berhubungan dengan rakyat. Saluran satu-satunya adalah para bekel,
namun mereka tidak mempunyai tanggung jawab pemerintahan karena tugas
utamanya hanya mengumpulkan pajak untuk patuh. Selain itu tidak ada kepala desa
karena tiap masyarakat tidak diatur menjadi suatu pemerintahan. (Soemardjan,
2009:34, yang dikutip Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta,
2022:153)
Periode berikutnya, pemerintah desa di Kasultanan Yogyakarta terjadi
ketika dilakukannya reorganisasi agraria pada tahun 1918. Reorganisasi agraria
terjadi baik di Kasultanan Yogyakarta maupun di Puro Pakualaman yang berdasar
pada Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 6 dan Rijksblaad Pakualaman
Tahun 1918 Nomor 18. Sejak periode inilah muncul badan pemerintahan
desa/kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah. Keberadaan lurah ini secara
resmi menggantikan keberadaan bekel. Dengan kata lain, salah satu dampak dari
reorganisasi agraria pada tahun 1918 di Kasultanan Yogyakarta adalah
menghapuskan bekel. Sebagai badan hukum pemerintahan desa/kelurahan diberi
tanah yang kemudian disebut sebagai tanah kas desa/kelurahan. Tanah kas desa
pada periode awal ini kemudian digunakan untuk kas desa, pelungguh pamong, dan
pangarem-arem. (Kartikasari, 1997:35, yang dikutip Sejarah Pemerintahan Daerah
Istimewa Yogyakarta, 2022:153)
Reorganisasi ini kermudian berdampak juga terhadap organisasi
pemerintahan tingkat desa di Kasultanan Yogyakarta. Sebelumnya, sebuah
kabupaten terdiri atas beberapa distrik yang masing-masing dipimpin oleh seorang
panji (mulai tahun 1926 disebut Wedana)4. Setiap distrik kemudian dibagi menjadi
beberapa onderdistrik yang dipimpin oleh seorang asisten panji yang kemudian
disebut asisten Wedana, dan akhirnya disebut panewu. Sesuai reorganisasi agraria
tahun 1918 terjadi penggabungan desa-desa (tidak otonom) yang dipimpin oleh
seorang asisten panji, dan empat sampai enam onderdistrik digabung menjadi satu
distrik yang dipimpin oleh seorang panji. Selanjutnya beberapa distrik digabung
menjadi satu kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati.
Pada tahun 1918 itu pula diadakan perubahan hak pemakaian tanah, semula
petani mempunyai hak pakai tanah secara komunal, kemudian dijadikan hak pakai
perseorangan dan dapat diwariskan dan bahkan dijual. Dengan demikian tanah
lungguh dan kebekelan yang mengelola tanah lungguh itu juga ikut dihapuskan.
Kemudian dibentuklah Kelurahan dan pengaturan untuk pemungutan pajak. Oleh
4
Sebutan Wedana baru dipakai di Kasultanan Yogyakarta pada tahun 1926, meskipun sebutan Wedana
tersebut sudah dikenal sejak Pemerintahan Kasultanan Demak.
5
karena itu pada tahun itu pula kepemilikan tanah di Kasultanan Yogyakarta yang
sejak jaman Kerajaan Majapahit milik raja, maka sejak tahun itu rakyat bisa
mempunyai hak milik tanah.

2. Alur Sejarah Yang Sering Ditutur


Pembagian wilayah Kasultanan Yogyakarta tersebut ternyata pada tahun
1927 mengalami penyederhanaan melalui munculnya Rijksblad no. 1/1927 (masa
Pemerintahan Sri Sultan HB VIII)5. Enam Kabupaten yang terdapat di wilayah
kasultanan disederhanakan menjadi empat kabupaten yakni: Kabupaten
Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul. Dalam
hal ini, Kabupaten Sleman mengalami penurunan status menjadi distrik (bagian
wilayah) Kabupaten Yogyakarta.6 Pada tahun 1932 Pemerintahan Kolonial Belanda
memperkenalkan kemantren sebagai nama lain dari onderdistrik di wilayah
kabupaten kota. Pada tahun tersebut Onderdistrik (Kapanewon) Seyegan sebagai
bagian dari Distrik (Kawedanan) Sleman termasuk dari bagian Kabupaten Kota,
sehingga Kapanewon Seyegan waktu itu bernama Kemantren Seyegan yang
dipimpin oleh seorang mantri.
Pada tahun 1940, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami reorganisasi
dengan munculnya Rijksblad Van Jogjakarta no. 13/1940 tanggal 18 Maret 1940
yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Rijksblad tersebut
membagi wilayah kasultanan Yogyakarta tetap dalam empat kabupaten dengan
pemampatan pada kawedanan masing-masing kabupaten.
a. Kabupaten Yogyakarta, terdiri 2 (dua) kawedanan (kawedanan
Kota dan Kawedanan Sleman).
b. Kabupaten Bantul yang terdiri 4 (empat) Kawedanan (Kawedanan
Bantul, Kawedanan Kotagede, Kawedanan Godean dan Kawedanan Pandak.
c. Kabupaten Kulon Progo terbagi 2 (dua) kawedanan.
d. Kabupaten Gunung Kidul terbagi 3 (tiga) kawedanan.
Dengan munculnya Rijksblad Van Jogjakarta no. 13/1940 tanggal 18 Maret
1940 tersebut kewilayahan kapanewon mengalami reorganisasi yakni kemantren
Seyegan masuk dalam wilayah Kawedanan Godean Kabupaten Bantul.
Pembagian wilayah tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun
1942 dengan Jogjakarta Kooti atas kehendak Bala Tentera Jepang maka Kasultanan
Yogyakarta lebih memerinci wilayahnya sebagai berikut:
Kabupaten Yogyakarta dengan Bupati KRT. Harjodiningrat. Kabupaten
Yogyakarta dibagi menjadi 3 (tiga) Kawedanan, yakni kawedanan Sleman dengan
penguasa R. Ng. Pringgo Sumadi dan Kawedanan Kalasan dengan penguasa R. Ng.
Pringgo Biyono.
Kabupaten Bantul (Ken) dengan Bupati KRT. Dirjokusumo dan wilayahnya
dibagi menjadi 4 (empat) kawedanan yakni Bantul, Kotagede, Godean dan Pandak.
Kabupaten Gunung Kidul dengan Bupati KRT. Djojodiningrat dan
wilayahnya terbagi menjadi 3 (tiga) kawedanan yakni Wonosari, Playen dan
Semanu.
Kabupaten Kulon Progo dengan Bupati KRT. Pringgohadingrat, dengan
wilayah yang terbagi menjadi 2 (dua) kawedanan yaitu Nanggulan dan Sentolo.
Pada tanggal 8 April 1945 (4 bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI)
Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan penataan kembali wilayah Kasultanan
5
Sri Sultan Hamengkubuwana VIII (3 Maret 1880 – 22 Oktober 1939, lahir dengan nama Gusti Raden
Mas Sujadi) adalah salah seorang raja di Kesultanan Yogyakarta tahun 1921-1939.
6
Dengan penurunan status dari kabupaten menjadi distrik ini, maka Onderdistrik Sajegan (yang kemudian
disebut Kermantren Seyegan), Kawedanan Jumeneng bergabung dengan Kawedanan Sleman dan masuk
dalam wilayah Kabupaten Yogyakarta.
6
Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei angka 2 (dua). Dalam Koorei tersebut
dinyatakan wilayah Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi lima Kabupaten yakni
Kabupaten Kota Yogyakarta (Yogyakarta), Kabupaten Sleman (Sleman),
Kabupaten Bantul (Bantul), Kabupaten Gunung Kidul (Gunung Kidul) dan
Kabupaten Kulon Progo (Kulon Progo).7
Penataan ini menempatkan Sleman pada status semula, sebagai wilayah
Kabupaten yang terdiri atau membawahi 17 kapewon yang terdiri dari 262
kalurahan. Ibu kota kabupaten berada di wilayah utara, yang saat ini dikenal sebagai
desa Triharjo (Kapanewon Sleman).8 Dengan Jogjakarta Koorei angka 2 (dua) ini
pula sebutan kawedanan dihapus dan kemudian hanya menyisakan kapanewon
menjadi pemerintahan administrative. Kalau wilayah di luar Kasultanan Yogyakarta
penghapusan kawedanan itu baru pada tahun 1963 melalui Perpres No.22 Tahun
1963 tentang Penghapusan Keresidenan dan Kewedanaan tertanggal 25 Oktober
1963, maka untuk wilayah DIY Sri Sultan HB IX sudah melakukannya sejak 1945.
Dengan pulihnya status Sleman menjadi kabupaten, maka wilayah Kabupaten
Sleman yang semula masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bantul, kembali ke
wilayah Kabupaten Sleman, termasuk dalam hal ini Kapanewonm Seyegan.
Pada Tahun 1946, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan
Maklumat Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Penggabungan Daerah-
Daerah Kelurahan yang bertujuan untuk menggabungkan beberapa desa kecil
menjadi satu desa yang cukup besar agar otonomi pemerintahan desa dapat
dijalankan dengan biaya dari kas desa itu sendiri. Proses penggabungan kelurahan
tersebut dikenal dengan istilah blengketan. Proses penggabungan tersebut baru
selesai pada tahun 1948 maka pada tanggal 19 April 1948 terbitlah Maklumat
Nomor 5 Pemerintah Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia Jogyakarta yang
diantaranya berisi penggabungan 262 Kalurahan se Kabupaten Sleman menjadi 86
Kalurahan, termasuk dalam hal ini Kalurahan Margokaton. Oleh karena itu
keberadaan Kalurahan Margokaton yang semula terdiri dari tiga kalurahan menjadi
satu mengacu pada maklumat tersebut di atas.
Beberapa kalurahan yang ada di DIY menggunakan Jogjakarta Koorei
angka 2 yang terbit pada 8 April 1945 sebagai acuan hari jadi mereka. Diantaranya
bisa disebutkan: Kalurahan Sumberrahayu Moyudan, Margoagung, Margomulyo,
Margoluwih dsb. Kalurahan Margoagung mengacu pada masa jabatan Lurah
Pertama tahun 1946 yang menjabat sejak 1946 sebagai Lurah Ngino, sebelum
Kalurahan Ngino, Kalurahan Gentan dan Kalurahan Watukarung digabung menjadi
Kalurahan Margoagung. Kalurahan Condong Catur berpedoman pada Maklumat
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 26 Desember 1946 Bab

7
Tentang Kadipaten Adikarto
Pada Maklumat Nomor 5 (lima) Pemerintah Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia Jogyakarta
menyebut-nyebut Kabupaten Adikarto, maka berikut ini penjelasannya. Pada tahun 1813 di wilayah
Kasultanan Yogyakarta berdiri Kadipaten Pakualaman dengan P Notokusumo (adik HB II) sebagai penguasa.
Wikayah Kadipaten Pakualaman ini adalah Kadipaten Pakualaman dan Adikarto (dulu terdiri dari wilayah
Kulonprogo bagian selatan: Wates, Galur, Panjatan dan Temon) kadipaten Pakualaman merupakan wilayah
yang merdeka lepas dari Kasultanan Yogyakarta. Dalam Maklumat No 5 tahun 1948 tersebut Kabupaten
Adikarta masih terpisah dari Kabupaten Kulonprogo. Baru pada tahun 1951 kedua kabupaten itu bergabung
dengan UU No. 15 Tahun 1950 RI.
8
Dengan Koorei angka 2 (dua) tanggal 8 April 1945 tersebut maka pulihlah status Sleman kembali menjadi
kabupaten, dalam hal ini salah satu diantara 17 kapanewon yang ada di Kabupaten Sleman adalah
Kapanewon Seyegan. Sedangkan ketiga kalurahan, yakni Kalurahan Susukan, Kalurahan Planggok dan
Kalurahan Bokong masih eksis, baru dengan Maklumat Nomor 5 (lima) 19 April 1948 Pemerintah Daerah
Istimewa Negara Republik Indonesia Jogyakarta ketiga kalurahan tersebut lebur menjadi Kalurahan
Margokaton yang tetap masuk ke dalam wilayah Kapanewon Seyegan bersama-sama dengan Kalurahan
Margoagung, Kalurahan Margodadi, Kalurahan Margomulyo dan Kalurahan Margoluwih.
7
Pemerintah Kalurahan. Maklumat ini khusus mengatur pembagian wilayah
Kapanewon Depok.
Maklumat Nomor 5 tahun 1948 tersebut membagi wilayah Pemerintah
Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia Jogyakarta (wilayah Kasultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman – bukan hanya wilayah Kasultanan saja dan
tidak mengatur wilayah kota. Pen) menjadi lima (5) kabupaten:
a. Kabupaten Sleman dulu dibagi menjadi 262 Kalurahan menjadi 86
Kalurahan
b. Kabupaten Bantul dulu dibagi menjadi 195 Kalurahan menjadi 60
Kalurahan
c. Kabupaten Gunungkidul dulu dibagi menjadi 168 Kalurahan menjadi 141
Kalurahan
d. Kabupaten Kulonprogo dulu dibagi menjadi 118 Kalurahan menjadi 41
Kalurahan
e. Kabupaten Adikarta dulu dibagi menjadi 53 Kalurahan menjadi 41
Kalurahan

3. Keberadaan Kalurahan Margokaton


Sedangkan keberadaan Kalurahan Margokaton menurut catatan Ulu-ulu
Margokaton yang termuat di dalam Buku Catatan Talak yang dalam buku tersebut
bertuliskan “Mulai Tanggal 4 Februari 1947”, disimpulkan sementara bahwa
Pemerintah Kalurahan Margokaton mulai bekerja pada tanggal 4 Februari 1947.
Sebab pada tanggal 30 November 1946 wilayah yang sekarang bernama Kalurahan
Margokaton tersebut masih terdiri dari tiga kalurahan sesuai dengan catatan Petikan
Dewan No. 3 Kalurahan Susukan No. 210 tanggal 30 Nopember 1946. Oleh karena
itu jangka waktu antara 30 November 1946 sampai dengan 4 Februari 1947
dimungkinkan pembentukan Kalurahan Margokaton. Sedangkan pengisian pamong
desa baru dilaksanakan sesudah tanggal 19 April 1948 dengan mengadakan
pelbagai rapat yang dihadiri oleh ketiga wakil dari bekas kalurahan lama.
Mengacu pada Maklumat No. 5 tahun 1948 tersebut maka pada tahun itu
pula kemudian dibangun gedung perkantoran untuk melaksanakan kegiatan
pengadministrasian Kalurahan Margokaton. Sementara sebelum selesai
pembangunan, kantor Kalurahan Margokaton menempati bekas Kalurahan Susukan
rumah milik Sosro Yuwono di Susukan. Pembangunan gedung perkantoran
kalurahan tersebut selesai tahun 1950, dan pada tahun itu pula kemudian Kalurahan
Margokaton menempati gedung baru sebagai pusat pemerintahan kalurahan di Jalan
Kebonagung KM 17 Susukan III Margokaton Seyegan Sleman.

4. Pembangunan Selokan Mataram yang Melintasi Margokaton


Masa Pendudukan Jepang di Margokaton yang paling menggores dalam
ingatan masyarakat Margokaton adalah Pembangunan Selokan Mataram. Karena
pembangunan Selokan Mataram inilah peran Sri Sultan HB IX sangat penting.
Pembangunan Selokan Mataram ini sebagai upaya Sri Sultan HB IX untuk
menghindari habisnya rakyat Yogyakarta dipekerjakan oleh Balan Tentara Jepang
sebagai romusha. Yakni kerja paksa untuk menyuplai kebutuhan perang Tentara
Jepang dalam menghadapi Sekutu dalam Perang Pasifik.
Romusha ini direkrut dari para petani desa, melalui lurah, camat dan bupati.
Mereka dikumpulkan di barak penampungan, kemudian dikirim ke tempat yang
dirahasiakan. Bahkan ada yang dikirim ke Myanmar (Burma) dan tempat lain di
luar negeri. Romusha ini dikeperjakan di pelbagai proyek pertahanan Jepang,
seperti proyek pembuatan benteng, jalan kereta api, jembatan, lapangan terbang dan
terowongan.
8
Sri Sultan HB IX mengetahui keinginan Jepang terhadap rakyat Yogyakarta.
Karena itu tidak hanya hasil bumi saja yang harus diserahkan ke Jepang, tetapi harta
milik rakyat berupa emas, berlian, ternak, padi, bahkan pekarangan rumah berpagar
jeruji besi dicabuti, rel-rel kereta api berjalur sepi juiga dicabuti untuk membuat
mesin perang.
Oleh karena itu Sri Sultan HB IX mengatakan kepada pihak Jepang bahwa
alam Yogyakarta tidak dapat mendukung politik Jepang tersebut. Data statistic dari
Jawatan Kependudukan dan sumber daya alam sengaja dibuat lebih rendah dari
yang sebenarnya. Pemerintah pendudukan Jepang dibuat yakin jika daerah
Yogyakarta merupakan daerah yang miskin. Hal ini akan dapat diubah dan
Yogyakarta akan mampu mendukung politik Jepang, jika segera diadakan
perbaikan. Jika diadakan pembangunan irigasi pertanian, maka tentu saja akan lebih
banyak lahan pertanian yang dapat menghasilkan panen melimpah. Sehingga
kontribusi rakyat Yogyakarta akan lebih besar kepada pihak Jepang.
Usulan itu ditanggapi positif oleh pemerintah pendudukan Jepang. Bahkan
pihak Jepang bersedia mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membangun
system irigasi dan penanggulangan banjir yang diusulkan Sultan. (Kuntoyo, 1997:
116-117, dikutip). Proyek ini dipimpin langsung oleh tentara Jepang. Kadang-
kadang mereka juga turut bekerja menggali tanah. Tetapi lebih banyak mereka
hanya mengawasi saja. Jika pengawas tentara Jepang sedang tidak ada, maka yang
menggantikannya adalah para lurah. Pengawasan dalam proyek ini pun tidak begitu
ketat.
Proyek pengairan di Yogyakarta itu di dalam bahasa Jepang dinamai
Bendungan Gunsei Hasuiro dan Gunsei Yosuiro. Kedua kata tersebut memiliki arti
saluran irigasi yang digunakan untuk keperluan militer dan sarana pemasok bahan
pangan. Sedangkan rakyat Yogyakarta menamainya Selokan Mataram. Proyek ini
dimulai tahun 1942 dan selesai tahun 1944, sepanjang 30,8 kilometer, sedalam dua
meter melintasi dua kalurahan di Kapanewon Seyegan, enam padukuhan di
Kalurahan Margokaton yakni Susukan I, Susukan II, Susukan III, Somokaton,
Sonoharjo dan Bantulan. Merlintasi empat sungai kecil yang ada di wilayah
Margokaton. Aliran Selokan Mataram menghubungkan dua sungai besar yang ada
di wilayah Yogyakarta yakni Sungai Progo di sebelah barat dan Sungai Opak di
sebelah timur. Selokan Mataram mampu mengairi areal pertanian seluas 15.734
hektar.
Pembangunan Selokan Mataram tersebut dibiayai Jepang seharga 1,6 juta
gulden, melibatkan lebih dari 1,2 juta buruh yang diupah dan 68.000 pekerja.
Selokan Mataram juga disebut Kali Malang. Dengan dibangunnya Selokan
Mataram ini terhindarlah rakyat Yogyakarta dari romusha berkat pemikiran cerdas
Sri Sultan HB IX.
Pemilihan lokasi pembangunan Selokan Mataram di Marrgokaton menurut
berbagai sumber mengambil areal tanah yang berbatasan dengan aliran lahar
Merapi tahun 1006 di ujung paling selatan.

5. Sukro Pahlawan Perang Kemerdekaan Yang Tinggal di Margokaton

6.

III. DEMOGRAFI
IV.

9
Tim Penyusun:
Anggit Bimanyu
Didik Harjunadi
Abeng Hisbullah
Siti Aminah
Agus Suprihono
Nuktoh Kafrawi Kurdi
Mei Anjar Wintolo

10
Referensi:
Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2022
Gegeven, 1926
Sejarah Kabupaten Sleman
Saejarah Kalurahan Trihanggo
Wikipedia Indonesia
Makam-Makam Tua di Somokaton dan Perkiraan Usia Kampung Oleh: M. Yaser Arafat,
2022

Narasumber:
Sukamto
Siswo Sarjono

11

Anda mungkin juga menyukai