I. PENDAHULUAN
1
Sri Sultan Hamengkubuwana VII, 4 Februari 1839 – 30 Desember 1921) adalah raja Kesultanan
Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877-1921. Dia juga dikenal dengan sebutan Sinuwun
Behi dan Sultan Ngabehi (Sultan Sugih).
2
Sebutan “distrik” (kepanjen, Jawa) adalah istilah yang dipakai oleh Belanda untuk menamai sebuah wilayah
di bawah regentschap (kabupaten), yang pada tahun 1926 diubah namanya menjadi kawedanan yang
dikepalai oleh seorang wedana. Sedangkan onderdistrict adalah sebutan wilayah di bawah distrik yang
dikepalai oleh seorang asisten panji yang kemudian diubah menjadi asisten wedana dan akhirnya diubah lagi
menjadi panewu. (Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, hal. 151)
3
Kalurahan dimaksud di sini masih Kalurahan Lama, Margokaton dulunya terdiri dari Kalurahan Susukan,
Kalurahan Planggok dan Kalurahan Bokong. District Djoemeneng yang terdiri dari Onderdistrict:
Djoemeneng, Watoekarong, Sajegan, Poendong, Ngidjon & Minggir. Ketiga Kalurahan tersebut masuk di
dalam wilayah Onderdistrict Sajegan, kabupaten Sleman.
4
Pada tahun 1917-1918 terjadi reorganisasi kewilayahan yaitu terjadi
penggabungan-penggabungan beberapa onderdistrik (kapanewon) namun dalam hal
ini Onderdistrik Seyegan masih berada di bawah Distrik Jumeneng, kabupaten
Sleman.
Terdapat dua periode pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta, yakni
periode (1755-1918) ketika desa menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan
tanah lungguh atau patuh. Pada periode ini sebagian tanah raja diserahkan kepada
abdi dalem dan sentono dalem. Tanah ini lazim disebut sebagai tanah lungguh.
Mereka yang diberi hak untuk menggunakan tanah ini disebut patuh. Tiap-tiap
patuh ini menunjuk wakil-wakilnya yang disebut bekel untuk merngurus dan
mengawasi usaha tanahnya serta menarik pajak di lingkungan kebekelannya. Tiap
asisten panji memerintah suatu daerah yang luasnya meliputi 20-30 kebekelan
(Suhartono, 1991: 58, yang dikutip Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa
Yogyakarta, 2022:153).
Pemerintah tidak banyak melakukan kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh
seorang asisten panji pada waktu itu karena memang tidak ada bawahan yang dapat
membantunya berhubungan dengan rakyat. Saluran satu-satunya adalah para bekel,
namun mereka tidak mempunyai tanggung jawab pemerintahan karena tugas
utamanya hanya mengumpulkan pajak untuk patuh. Selain itu tidak ada kepala desa
karena tiap masyarakat tidak diatur menjadi suatu pemerintahan. (Soemardjan,
2009:34, yang dikutip Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta,
2022:153)
Periode berikutnya, pemerintah desa di Kasultanan Yogyakarta terjadi
ketika dilakukannya reorganisasi agraria pada tahun 1918. Reorganisasi agraria
terjadi baik di Kasultanan Yogyakarta maupun di Puro Pakualaman yang berdasar
pada Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 6 dan Rijksblaad Pakualaman
Tahun 1918 Nomor 18. Sejak periode inilah muncul badan pemerintahan
desa/kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah. Keberadaan lurah ini secara
resmi menggantikan keberadaan bekel. Dengan kata lain, salah satu dampak dari
reorganisasi agraria pada tahun 1918 di Kasultanan Yogyakarta adalah
menghapuskan bekel. Sebagai badan hukum pemerintahan desa/kelurahan diberi
tanah yang kemudian disebut sebagai tanah kas desa/kelurahan. Tanah kas desa
pada periode awal ini kemudian digunakan untuk kas desa, pelungguh pamong, dan
pangarem-arem. (Kartikasari, 1997:35, yang dikutip Sejarah Pemerintahan Daerah
Istimewa Yogyakarta, 2022:153)
Reorganisasi ini kermudian berdampak juga terhadap organisasi
pemerintahan tingkat desa di Kasultanan Yogyakarta. Sebelumnya, sebuah
kabupaten terdiri atas beberapa distrik yang masing-masing dipimpin oleh seorang
panji (mulai tahun 1926 disebut Wedana)4. Setiap distrik kemudian dibagi menjadi
beberapa onderdistrik yang dipimpin oleh seorang asisten panji yang kemudian
disebut asisten Wedana, dan akhirnya disebut panewu. Sesuai reorganisasi agraria
tahun 1918 terjadi penggabungan desa-desa (tidak otonom) yang dipimpin oleh
seorang asisten panji, dan empat sampai enam onderdistrik digabung menjadi satu
distrik yang dipimpin oleh seorang panji. Selanjutnya beberapa distrik digabung
menjadi satu kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati.
Pada tahun 1918 itu pula diadakan perubahan hak pemakaian tanah, semula
petani mempunyai hak pakai tanah secara komunal, kemudian dijadikan hak pakai
perseorangan dan dapat diwariskan dan bahkan dijual. Dengan demikian tanah
lungguh dan kebekelan yang mengelola tanah lungguh itu juga ikut dihapuskan.
Kemudian dibentuklah Kelurahan dan pengaturan untuk pemungutan pajak. Oleh
4
Sebutan Wedana baru dipakai di Kasultanan Yogyakarta pada tahun 1926, meskipun sebutan Wedana
tersebut sudah dikenal sejak Pemerintahan Kasultanan Demak.
5
karena itu pada tahun itu pula kepemilikan tanah di Kasultanan Yogyakarta yang
sejak jaman Kerajaan Majapahit milik raja, maka sejak tahun itu rakyat bisa
mempunyai hak milik tanah.
7
Tentang Kadipaten Adikarto
Pada Maklumat Nomor 5 (lima) Pemerintah Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia Jogyakarta
menyebut-nyebut Kabupaten Adikarto, maka berikut ini penjelasannya. Pada tahun 1813 di wilayah
Kasultanan Yogyakarta berdiri Kadipaten Pakualaman dengan P Notokusumo (adik HB II) sebagai penguasa.
Wikayah Kadipaten Pakualaman ini adalah Kadipaten Pakualaman dan Adikarto (dulu terdiri dari wilayah
Kulonprogo bagian selatan: Wates, Galur, Panjatan dan Temon) kadipaten Pakualaman merupakan wilayah
yang merdeka lepas dari Kasultanan Yogyakarta. Dalam Maklumat No 5 tahun 1948 tersebut Kabupaten
Adikarta masih terpisah dari Kabupaten Kulonprogo. Baru pada tahun 1951 kedua kabupaten itu bergabung
dengan UU No. 15 Tahun 1950 RI.
8
Dengan Koorei angka 2 (dua) tanggal 8 April 1945 tersebut maka pulihlah status Sleman kembali menjadi
kabupaten, dalam hal ini salah satu diantara 17 kapanewon yang ada di Kabupaten Sleman adalah
Kapanewon Seyegan. Sedangkan ketiga kalurahan, yakni Kalurahan Susukan, Kalurahan Planggok dan
Kalurahan Bokong masih eksis, baru dengan Maklumat Nomor 5 (lima) 19 April 1948 Pemerintah Daerah
Istimewa Negara Republik Indonesia Jogyakarta ketiga kalurahan tersebut lebur menjadi Kalurahan
Margokaton yang tetap masuk ke dalam wilayah Kapanewon Seyegan bersama-sama dengan Kalurahan
Margoagung, Kalurahan Margodadi, Kalurahan Margomulyo dan Kalurahan Margoluwih.
7
Pemerintah Kalurahan. Maklumat ini khusus mengatur pembagian wilayah
Kapanewon Depok.
Maklumat Nomor 5 tahun 1948 tersebut membagi wilayah Pemerintah
Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia Jogyakarta (wilayah Kasultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman – bukan hanya wilayah Kasultanan saja dan
tidak mengatur wilayah kota. Pen) menjadi lima (5) kabupaten:
a. Kabupaten Sleman dulu dibagi menjadi 262 Kalurahan menjadi 86
Kalurahan
b. Kabupaten Bantul dulu dibagi menjadi 195 Kalurahan menjadi 60
Kalurahan
c. Kabupaten Gunungkidul dulu dibagi menjadi 168 Kalurahan menjadi 141
Kalurahan
d. Kabupaten Kulonprogo dulu dibagi menjadi 118 Kalurahan menjadi 41
Kalurahan
e. Kabupaten Adikarta dulu dibagi menjadi 53 Kalurahan menjadi 41
Kalurahan
6.
III. DEMOGRAFI
IV.
9
Tim Penyusun:
Anggit Bimanyu
Didik Harjunadi
Abeng Hisbullah
Siti Aminah
Agus Suprihono
Nuktoh Kafrawi Kurdi
Mei Anjar Wintolo
10
Referensi:
Sejarah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, 2022
Gegeven, 1926
Sejarah Kabupaten Sleman
Saejarah Kalurahan Trihanggo
Wikipedia Indonesia
Makam-Makam Tua di Somokaton dan Perkiraan Usia Kampung Oleh: M. Yaser Arafat,
2022
Narasumber:
Sukamto
Siswo Sarjono
11