Semua tanggapan:
1,9 rbRobiah Al Adawiyah dan 1,9 rb lainnya
52 komentar
203 Kali dibagikan
ASAL USUL DESA PUTAT
Ing jaman rumiyin Putat namung sawah ing pinggir dalan Semarang lan kali
Lusi.Banjur teko wong tua sing bertapa ing ngisor wit putat sing pinggirane
Ono sumurre,mbah tua mau akhirre dadi warga sing sepisan mbukak desa
Iki.Sawise berkembang desane dadi rame,Amarga dheweke bersemedi ing
Ngisor wit putat banjur dadi desa sing jenenge Desa Putat.Simbah kuwi
Saiki dipunsebat Mbah Sendang,situs panggonan iku akhirre dikeramatkan
Lan didadekke panggonan kanggo sedekah bumi tekan saiki.Sumur lan wit
Iku isih dilestarikake lan arep didadekake taman Desa Putat.
Masjid Kauman
a. J. Kats, I, 1950: Punika Pepethikan saking Serat-serat Jawi Ingkang Tanpa
Sekar. (Hal. 3-5).
Nyai Randa wicanten dhateng Aji Saka, "Negara kene wis misuwur yen ana
Brahmana sekti mandraguna, bagus isih enom, limpad ing ngelmu panitisan,
pingangkane saka Sabrang anga jawa". Aji Saka gumujeng amangsuli, "Dora
ingkang awartos puniko, angindhakaken ing kayektosanipun. Wondene ingkang
kawartos puniko inggih kula".
b. Primbon Jayabaya, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931: (hal. 10;27)
Jangaran jaman Kala Dwapara ... Prabu Sindula, Galuh turun kapindho, jejuluk Sri
Dewata Cengkar, angedhaton ing Mendhang Kamulan. Iku Ratu luwih niyaya,
mangsa padha manungsa. Tan antara lama kasirnakake prajurit saka tanah Ngarab
jejuluk Empu Aji Saka ... Karsaning Pangeran Sang Aji Saka jumeneng Nata ing
Sumedhang Purwacarita, jejuluk Sri Maha Prabu Lobang Widayaka.
c. Serat Jangka Jagad, Kwa Giok Jing, Kudus, 1957 : hal. 51.
Lha ing kono tanah Jawa banjur ana kang jumeneng nata kang karen mangan
daging manungso, yaitu Ratu Dewata Cengkar, nata ing Medhang Kamulan. Ora
lawas banjur ketekan sawijining Brahmana saka ing tanah Ngarab, juluk Aji Saka.
Brahmana sekti mandraguna kang bisa ngasorake Prabu Dewata Cengkar ...
d. RNG. Ronggowarsito, Serat Witoradyo, III. Surakarta: Albert Rusche & Co,
1922: hal. 11-23.
Diceritakan, bahwa di tanah Lampung berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya
Prabu Isaka berasal dari tanah Hindu. Sang Prabu Isaka turun takhta dan digantikan
oleh Patihnya bernama Patih Balawan. Kemudian dengan empat orang
pengiringnya, Sang Isaka yang telah menjadi seorang Brahmana pergi ke tanah
Jawa dan tiba di Ujung Kulon (Kulon ?). Di situ mendirikan perguruan dan dia
sebagai gurunya dengan gelar Sang Mudhik Bathara Tupangku. Muridnya
bertambah banyak. Di dalam perguruan itu diajarkan ilmu kesusastraan, ilmu
penitisan (inkarnasi), dan ilmu keagamaan. Beberapa lama di Ujung Kulon, dia
pergi ke Galuh dan kemudian terus mengembara ke tanah timur. Sampailah di
negara Medhang Kamulan yang rajanya bernama Prabu Dewata Cengkar.
Dari kutipan di atas, kita ketahui bahwa Aji Saka adalah seorang raja yang
kemudian meninggalkan takhta kerajaannya dan menjadi seorang Brahmana.
Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan untuk Brahmana. Berarti
dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan untuk Brahmana agama Budha
adalah bhiksu. Tetapi dari data historis tokoh Aji Saka tidak pernah ada (hidup).
Dengan demikian tokoh ini merupakan tokoh bayangan. Dia diadakan untuk
menunjukkan adanya pengaruh Hinduisme dalam masyarakat Jawa. Kebetulan
pada waktu itu keadaan masyarakat Mendhang Kamulan sedang resah.
Kesempatan ini digunakan oleh Aji Saka (baca umat Hindu) untuk menyebarkan
agama Hindu di masyarakat Mendhang Kamulan. Hal ini dikiaskan dalam lambang
"desthar" (ikat kepala). Tradisi Jawa menggunakan ikat kepala. Sedang kepala
adalah tempat otak, pikir, nalar. Di otak itulah tersimpan segala macam ilmu
pengetahuan manusia. Ikat kepala tadi ketika ditebarkan (di jereng) dapat menutupi
seluruh Wilayah Mendhang Kamulan. Di sinilah pengikut Prabu Dewata Cengkar
harus mengakui kekalahan berebut pengaruh, dan harus menyingkir dari negeri
Medhang (dikiaskan dengan menyeburkan diri ke laut menjadi seekor buaya
putih).
Ketika Aji Saka menjadi raja, ditandai dengan sengkalan "nir wuk tanpa jalu" yang
menunjukkan angka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Tahun Saka diciptakan
berdasarkan peringatan penobatan Prabu Kanishka di India pada tahun 79 M = 1
Saka. Tahun Saka mengikuti peredaran Matahari. Di Jawa terdapat tradisi
penggunaan sengkalan tersebut. Apabila menggunakan perhitungan tahun
Matahari, disebut Surya Sengkala, dan bila menggunakan perhitungan peredaran
Bulan di sebut Candra Sangkala. Lahirnya Candra Sangkala adalah sejak masa
Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) menciptakan Tahun Jawa dengan
perhitungan peredaran Bulan (sejak 1555 Saka atau tahun 1633 Masehi).
Sengkalan adalah perhitungan tahun yang diujudkan dalam bentuk rangkaian kata
menjadi kalimat atau berupa gambar yang menunjukkan angka tahun. Kalimat itu
harus menggambarkan keadaan pada waktu tahun itu. Tujuan untuk memperingati
suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia dalam masyarakat dan
bernegara.
Sengkalan dalam bentuk kalimat disebut Sengkalan Lamba, sedang sengkalan yang
diujudkan dalam bentuk gambar atau benda, disebut Sengkalan Memet. Tiap kata
dalam kalimat atau gambar diberi nilai yang berbeda-beda antara 0 (nol) sampai
angka 9 (sembilan) dengan mengingat akan adanya guru dasanama, guru karya,
guru jarwa, dan sebagainya.
Bledug Kuwu
Pendopo Kabupaten
3. Masa Mataram
Makam Ki Ageng Selo di Ds. Selo, Kec. Tawang Harjo 10 Km timur Kota
Purwodadi
Sebagai pengganti Patih maka diangkat Adipati Notokusumo, seorang yang juga
anti kepada Belanda. Di bawah tanah di bekerja dengan Demang Urawan (putera P
Purboyo yang kemudian di tawan dan mati di Batavia) dan T. martopuro (BPH
Buminoto, 1958:29)
Untuk membulatkan tekad dan pendapat, maka T. Martopuro mengadakan rapat.
Dalam rapat diiputuskan, bahwa mereka harus mempengaruhi hati Sunan agar
menyerbu ke Semarang dan membantu China. Sunan dapat dipengaruhi. Hasilnya:
Adipati Notokusumo diperintahkan menyerbu Semarang dengan dibantu oleh
Bupati-bupati Pasisir: Demak, Pati, Juana, Grobogan, dan pasukan Tionghoa.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1741 (Raffles, 1978:215-217).
Ketika terjadi pemberontakan Cina di Batavia 1740 sikap Sunan tidak tegas, tetapi
setelah dapat dipengaruhi oleh Adipati Jayaningrat dengan kawan-kawannya, sikap
Sunan jelas membantu China. Keadaan ini segara berubah, setelah usaha Adipati
Notokusumo menyerbu Semarang gagal (November 1741). Sikap Sunan berubah
sama sekali. Dia berpihak kepada Belanda. Bahkan Adipati Notokusumo ditangkap
ditangkap dan dibuang ke Sailan.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, ini, T. Martopuro tidak enak
hatinya, maka dia pulang ke Grobogan. Di Grobogan, dia mengangkat diri sebagai
Adipati Puger dan bekerja sama dengan orang-orang Tionghoa di Kartosuro.
Sementara itu tindakan Sunan semakin kejam. Pangeran Teposono dibunuh tanpa
dosa. P. Haryo Mangkunegoro, kakak iparnya dibuang ke Afrika Selatan, tanpa
dosa, dan beberapa sentana serta abdi dalem yang lain diturunkan pangkat dan dan
jabatannya. Sudah barang tentu keadaan ini memberi angin baik kepada orang-
orang Tionghoa untuk menghancurkan Kartosuro yang rajanya tidak tetap
pendiriannya itu. Demikian juga dengan terang-terangan Adipati Puger atau
Adipati Martopuro membantu orang-orang Tionghoa.
Atas dorongan dan bantuan Kapitan Sepanjang, Bupati Pati, T. Mangunoneng, dan
Bupati Grobogan: Adipati Martopuro Puger, maka Raden Mas Garendi, putera P.
Teposono, dan salah seorang cucu Sunan Amangkurat III, diangkat menjadi raja
Kartosuro dengan gelar Susuhunan Kuning.
Raden Mas Garendi inggih punika putranipun Pangeran Teposono ingkang dipun
uyun-uyun dening Cina, kajumenengan nata ajejuluk Sunan Kuning, dipun aturi
nggepuk kartosuro. Adipati Martopuro anggenipun gadhah pikajeng makaten wau,
boten melikaken dhateng karaton, namung kabekto saking kakening manahipun,
ngantos kawedal wicantenipun dhateng Cina, "Ratu kang cidra iku mangsa
amalatana, getaken wae, amesthi kabur". Ing ngriku Adipati Martopuro sampun
sagolong kaliyan Cina, sumedya mbedah nagari Kartosuro (Panambangan,
1976:43).
Keraton Kartosuro diserbu dan 30 Juni 1742 istana dapat diduduki. Sunan Paku
Buwono II terpaksa menyingkir ke Lawiyan kemudian terus ke Ponorogo dengan
diikuti oleh para pangeran yang masih setia kepada Sunan, Pangeran Adipati
Anom, dan kapten Hogendorp. Lolosnya Sunan dari istana ditandai dengan
sengkalan, "Swara karungu Obahing Bumi" (1667 Jawa = 1742 M) (Giyanti I:
1932: 14). Dalam pelarian itu Sunan membuat kontrak Ponorogo. Isi kontrak
antara lain; Seluruh pantai utara Jawa menjadi milik Kumpeni Belanda; dan
pemilihan serta pengangkatan Patih harus mendapatkan persetujuan Kumpeni
Belanda. Sebagai imbalannya Kumpeni harus dapat mengembalikan takhta
Kartosuro kepada Sunan.
Akhirnya atas bantuan pasukan Cakraningrat dari Madura, Kartosuro dapat direbut
kembali (Desember 1742). dan pada tanggal 24 Desember 1742 Sunan Paku
Buwono II kembali ke Kartosuro dan menduduki takhta kerajaan kembali. Sunan
Kuning melarikan diri ke timur dan akhirnya menyerah di Surabaya (Oktober
1743). (MD Sumarto, 1952: 114-115). Perlawanan diteruskan oleh kaum
pemberontak yang tidak mau berdamai dengan Sunan maupun Kumpeni Belanda.
Mereka itu ialah : Adipati Martopuro di Grobogan; RM Sahid atau RM
Suryokusumo di Nglaroh; P. Singosari di Keduwang, P. Buminoto di Wiraka dan
lain-lain.
Karena Kartosuro sudah tidak aman lagi, maka Sunan ingin pindah dari Kartosuro.
Ada yang mengusulkan di desa Kadipolo, di desa Sonosewu, dan di desa Sala.
Yang terpilih adalah desa Sala. Setelah pembangunan istana selesai, maka Sunan
pindah ke Sala, dan digantinya namanya menjadi Surakarta Hadiningrat. (Tus
Pajang, 18). Pemetaan calon istana dan kota serta pengukurannya dilakukan oleh
Mayor Hogendrorp, Patih R A Pringgoloyo, Kyai T. Pusponegoro, Kyai T
Honggowongso, Kyai Y. Mangkuyudo, Kyai T Tirtowiguno, Pangeran Wijil, Kyai
Khalifah Buyut, Kyai Ng. Yosodipuro I serta Kyai Tohjoyo. (Giyanti 1:19).
Desa Sala yang terpilih menjadi istana diratakan. Pembangunan istana dilakukan
oleh: Undagi Kyai Prabasena dibantu oleh Kyai Kartosono, Kyai Rajegpuro, Kyai
Srikuning ditambah tenaga dari mancanagari (Pawarti Surakarta, 1939 : 23). Awal
pembangunan ini ditandai dengan sengkalan "Jalma Sapta Amayang Bhuwana"
(1670 Jawa = 1744 M). Setelah selesai maka keraton kartosuro dipindah ke Sala
atau Surakarta Hadiningrat yang ditandai sengkalan "Kombuling Puja Aryarsa ing
Ratu (1670 jawa = 1745 M) pada hari Rabu Pahing, 17 Sura, Je, 1670. (Pawarti,
1939: 16-17).
Rehning Ratu iku mesthine nganggo Patih, saiki ingkang dadi karsaningsun, kaki
PH Mangkunagoro ingsun sengkakake ing ngaluhur dadiya Pepatihingsun, sarta
abdiningsun Jayasanta dadiya Jeksa. Apadene Adipati Puger dadiya Bupati
Grobogan angerahna: Demak, Santenan, Cengkal Sewu, Wirosari, Sesela, Teras
Karas, Blora lan Jipang. T. Suryanagara ingsun ganjar lemah 1500 karya. Sastra
anjunjung anakingsun dadi Pangeran Adipati Anom, Jejuluk KGPHH
Mangkunagoro. Apadenen maneh kangmas BPH Hadiwijaya, adhimas GPH
Singasari, adhimas BPH Rangga, adhimas BPH Prabu Jaka; Adhimas BPH
Panular salin jeneng BPH Mangkukusuma. Sarta junjung putraningsun dadi
pangeran iya iku jeneng Pangeran Hangabehi. Kabeh wae yen ana ingkang ora
ngrujuki matura ing dina iki. (Buminata: 20 ; Panambangan:93).
Selanjutnya pada hari kamis Kliwon, 29 Rabingulakir, Be, 1680 atau 13 Pebruari
1755 diadakan perjanjian di desa Giyanti, wilayah Lebak Jatisari antara Sunan
Surakarta dengan Sunan Kabanaran. Naskah perjanjian disahkan pada 1 Sapar,
Jumakir, 1682. (Panambangan, 1918 : 137).
Dalam perjanjian tersebut Kumpeni meminta agar daerah Pesisir dan Madura tidak
dibagi, sebab sudah diserahkan kepada Kumpeni berdasarkan perjanjian dengan
Sunan Paku Buwono II (1749) dan Sunan Paku Buwono III (1751). Daerah-daerah
yang dibagi "Sigar semangka" ialah daerah-daerah di Nagoro Agung. Sedang
daerah-daerah yang dibagi sedaerah-daerah atau sedesa-desa adalah daerah
Monconagari Kilen dan Wetan. Daerah Monconagari ada 30 daerah/kota yang
dapat dibagi, tidak termasuk daerah-daerah Pajang, Sukowati, dan Mataram bagian
Selatan (Sukanto : 21 - 23; Buminata : 57 - 58; Giyanti XIII : 76-78 : Serat
perjanjian Dalem Nata : 57-58).
Dari hasil pembagian daerah-daerah Monconagari ini Sunan memperoleh 32.350
cacah (Karya) dan Sultan (Sunan Kabana¬ran) memperoleh 33.950 cacah (karaya).
Sultan mendapatkan lebih luas karena daerahnya agak tandus, sedangkan daerah
Sunan merupakan daerah subur. Dengan demikian maka dae¬rah - daerah Salatiga,
Grobogan, wilayah Semarang, Jipang, Blora juga termasuk daerah pembagian.
Menurut catatan Hartingh (Dejonge, Opkomst, X : 374-375) hasil pembagian
negara adalah masing-masing Surakarta dan Yogjakarta memperoleh daerah seluas
53.100 cacah, yaitu berupa tanah lungguh, apanase sedesa atau sekumpulan desa
(ingkang dhawah seki lenipun Surakarta dipun palih sigar semangka) (Buminata,
1958 : 73).
Untuk jelasnya, maka secara garis besar pembagiannya adalah sebagai berikut :
Selanjutnya pada tanggal 14 Pebruari 1755, Sultan mengangkat para Abdi dalem
dan para "punggawa" dengan mengikuti pola yang ada di Kasunanan Surakarta
(Buminata: 71-72).
1. T. Suryonagoro diangkat menjadi Bupati Miji di Grobogan menggantikan
Adipati Puger yang sudah meninggal (1753) dengan nama T. Yudonegoro.
2. T. Yudonegoro (Bupati Banyumas) yang diminta dari Sunan, diangkat
menjadi Patih dengan nama Raden Adipati Danurejo.
3. T. Ronggo Wirosetiko diangkat Wedana Panumping dengan nama T.
Ronggo Prawirodirjo.
4. dan lain - lain masih banyak lagi yang diangkat menjadi Punggawa dan Abdi
dalem.
Selanjutnya PA Mangkunagoro juga diadakan perjanjian di Salatiga pada hari
Jumat Pon, 5 Jumadilakir, Be, Windu Adi, 1681 atau 25 Maret 1757. Sebagai
Pangeran Miji, dia memperoleh tanah lungguh 4000 karya, yang terdiri dari
daerah-daerah : Laroh, Sembuyan, Matesih, Wiraka, Keduwang. Ngawen, separoh
kota Surakarta, Karang Anyar, Baturetno, dan beberapa daerah kecil yang lain.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa daerah-daerah Kasultanan di daerah Grobogan
adalah Grobogan, Sesela, Teras Karas, Warung, Wirosari. Sedang sunan juga
memiliki daerah enclave di daerah Grobogan. Daerah enclave Sunan seluas 35000
karya di daerah Grobogan, dan beberapa daerah lain, yang berdasarkan perjanjian
antara Sunan dengan Belanda tanggal 6 Januari 1811 dan ditanda tangani oleh
Patih Raden Adipati Cokronegoro, diambil oleh Kumpeni belanda (Zaman
Daendels). Juga daerah-daerah Jepara, Semarang, Demak Selatan (Cengkal Sewu),
Salatiga, Blora, Jipang, dan Kedu Utara sampai perbatasan Kendal, diambil oleh
Kumpeni Belanda.
Prakawis 2
Kangjeng Gupermen Walandi samangke dipun sukani tatah Kedu kang kabawah
Kangjeng Susuhunan, punika plajengipun meh dumugi ing tanah pesisiran kang
ler.
Prakawis 4
Kalih Kangjeng Gupermen Walandi dipun sukani siti ingkang bawah Kangjeng
Susuhunan, siti becik ingkang wonten ing Semawis lan ing Demak, punapa dene
siti kang saupami (enclave) wonten ing Landresan, Jepanten, utawi ing liyanipun
punapa malih siti kang saupami (enclave) wonten Grobogan lan tanah ing Salatiga.
Prakawis 5
Kangjeng Gupermen Walandi dipun sukani siti ing Blora kang wonten saklering
pungkasaning wates ing Grobogan lan tanah ing Jipang.
(Perjanjian Dalem Nata : 84 - 85; Sukanto : 77).
Seseorang yang baru lahir, merasa bebas dari kungkungan perut ibunya. Namun di
alam bebas dia harus mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitarnya. Panas, dingin, lapar, dan dahaga harus dialaminya. Dia harus berjuang
agar tetap hidup. Dia mencoba dan berusaha menggunakan alat-alat tubuh yang
dimilikinya menurut kemampuannya untuk dapat bertahan hidup dan
keberadaannya.
Ibarat kelahiran seorang bayi tersebut, dapat pula kita terapkan pada kelahiran
suatu negara, daerah, kota, ataupun pemerintahan. Walaupun, masih sangat
sederhana, masih mengalami perubahan seiring dengan kebutuhan dan perubahan
lingkungan atau zaman, kelahiran sesuatu negara, daerah, kota ataupun
pemerintahan harus dipenuhi syarat-syarat, yaitu adanya wilayah, adanya rakyat
sebagai pendukung, dan pemerintahan sebagai arahan dalam usaha
mempertahankan kehidupan dan keberadaannya.
Kalau menurut pandangan "kejawen" kelahiran sesuatu negara, kota atau
pemerintahan didasarkan pada adanya pulung, cahya nurbuat, wahyu, andaru
ataupun impian-impian, seperti termuat dalam cerita-cerita di sumber-sumber
babad, maka secara rasional kelahiran sesuatu negara, daerah, kota atau
pemerintahan didasarkan pada kenyataan sejarah peristiwa yang berupa kegiatan
perjuangan manusia-manusia tokoh-tokoh penumbuh berdirinya kota, negara,
daerah atau pemerintahan tersebut. Misalnya : R. Wijaya (Mojopahit), R. Patah
(Demak), Mas Karebet (Pajang), P. Dayaningrat (Pengging), Sutowijoyo
(Mataram), P. Banjaransari (Pajajaran) dan lain-lain.
Dengan ketetapan tersebut maka seluruh Jawa ada sebutan Kabupaten Pangreh
Projo, termasuk Kabupaten Grobogan di Purwodadi. Perlu diketahui bahwa
struktur Pemerintahan Kabupaten Pangreh Praja adalah sebagai berikut :
1. Bupati, disebut Bupati Pangreh Praja.
2. Panewu Gunung disebut Wedono Pangreh Praja.
3. Panewu Sekretaris yang disebut Wedono Kondaning Bupati Pangreh Praja.
4. Mantri Gunung disebut Mantri Pangreh Praja.
5. Mantri Sekretaris yang disebut Panewu Kondhaning Wedanan Pangreh
Praja.
6. Mantri Polisi disebui Mantri Pangreh Praja.
Disamping itu juga ditetapkan struktur birokrasi dengan di tingkat Distrik
(Kawedanan) dan Onder Distrik (Kemantren) di daerah-daerah wilayah Kabupaten
Pangreh Praja. Jumlah Pejabat menurut Staatsblad V Ned Indie 1924 No. 18
dengan Rijksbald Surakarta 1924 No. 19 adalah sebagai berikut. Staatsbald V Ned
Indie 1924 No. 18 hal 40-41 Rijksblad 1924 No. 24 hal 41-42.
1. Para pembantu Sekretaris, pembantu Priyayi, termasuk Golongan Pangreh
Praja.
2. Para Carik serta Mantri di Kabupaten pra Carik Panewon dan Keonderan
Distrik serta uang diperbantukan di Algemene Polisi.
3. Para Priyayi yang memiliki Diploma Pangreh Projo Pemerintahan Jawa serta
Para Mantri Polisi.
4. Para Mantri Sekretaris Kabupaten.
5. Para Mantri Pembesar Onder Distrik.
6. Para Panewu Sekretaris.
7. Para Panewu Pembesar Distrik.
8. Bupati Anom Pangreh Praja.
9. Bupati Pangreh Praja.
Dari penjelasan diatas, setelah kita mengkaji perkembangan sejarah Grobogan
yang sekarang menjadi Kabupaten daerah Tingkat II Grobogan, untuk menetapkan
hari jadinya dapat di ajukan alternatif sebagai berikut :
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Hari Jadi Kabupaten Grobogan jatuh pada
hari SENEN KLIWON, 21 Jumadilakir, 1650 atau 4 MARET 1726. Pada saat
itu Susuhunan Amangkurat IV mengangkat seorang abdi yang berjasa kepada
Sunan, bernama Ng. Wongsodipo menjadi Bupati Monconegari Grobogan dengan
nama RT Martopuro. Dalam pengangkatan ini ditetapkan pula wilayah yang
menjadi daerah kekuasaannya, ialah ditetapkan pula wilayah yang menjadi daerah
kekuasaannya, ialah Sela, Teras, Karas, Wirosari, Santenan, Grobogan, dan
beberapa daerah di Sukowati bagian Utara Bengawan Sala. (Babad Pecina : 172-
174).
Oleh karena Kota Kartosuro pada waktu itu sedang dalam keadaan kacau, maka
RT Martopuro masih tetap di Kartosuro. Sedang pengawasan terhadap daerah
Grobogan diserahkan kepada kemenakan sekaligus menantunya : RT Suryonegoro
(Suwandi). Tugasnya menciptakan struktur pemerintahan Kabupaten Pangreh
Praja. Seperti adanya Bupati Patih, Kaliwon, Panewu, Mantri dan seterusnya
sampai jabatan Bekel di desa-desa.
Pengertian Monconagari ialah daerah taklukan Raja Daerah ini bukan daerah asli.
Pendudukan sebagai daerah yang berkewajiban "seba" kepada raja setahun sekali
yaitu pada hari besar "Gerebeg". Perlu diketahui bahwa sejak masa Kartosuro
sampai masa Surakarta awal, awal Kerajaan dibagi menjadi tiga kelompok daerah
yaitu :
1. Kuthogoro, yaitu tempat tinggal raja, keluarga raja dan pejabat tinggi
kerajaan. .
2. Negara Agung yaitu daerah asli kerajaan, daerah ini dibagi menjadi 8
Kabupaten Nayaka (dibawah Bupati Prajurit). Kedelapan Kabupaten tersebut
ialah : Kabupaten Bumi, Bumija, Bumi Gede Kiwa, Bumi Gede Tengan, Sewu
Numbak Anyar, Penumping, dan Panekar.
3. Monconagari, daerah ini merupakan daerah vasal yang terdiri dari daerah
Monconagari Kilen dan monconagari Wetan serta pengangkatan Ng. Wongsodipo
sebagai Bupati Grobogan dengan gelarnya RT. Martapura belum dapat dikatakan
sebagai waktu lahirnya Kabupaten Grobogan, sebab sebelum memenuhi
persyaratan dasar bagi sebuah Kabupaten.
Dari penjelasan di muka, jelas bahwa pangangkatan Bupati Grobogan atas diri Ng.
Wongsodipo atau RT Martopuro atau Adipati Puger disertai dengan penyerahan
kekuasaan atas daerah-daerah yang menjadi wilayahnya. Ini berarti, bahwa
pengangkatan Bupati di sini adalah sebagai Bupati Kepala Daerah. Sebagai Bupati
Patih adalah RT Suryonegoro. Dalam perkembangan selanjutnya sebagai Bupati
Kepala Daerah, Adipati Puger menguasai daerah-daerah Demak, Santenan,
Cengkal Sewu, Wirosari, Sela, Teras, Karas, Blora dan Jipang, serta daerah-daerah
di Sukowati bagian utara Bengawan Sala. Sedang sebutan Adipati merupakan
sebutan bagi seorang Bupati Monconagari yang memiliki kedaulatan atas daerah-
daerah yang dikuasainya.
Penataan administrasi wilayah sudah barang tentu dilakukan secara bertahap dan
baru pada masa pembentukan Kabupaten Pangreh Praja (1847) sistem administrasi
Kabupaten sudah boleh dikatakan mendekati sempurna, seperti Kabupaten Daerah
Tingkat II sekarang. Di samping itu Adipati Puger atau RT Martopuro menjabat
Bupati Grobogan sampai meninggalnya (1753), dan nantinya dia digantikan oleh
menantunya : RT Suryonagoro dengan gelarnya RT Yudonagoro.
Dari penjelasan di atas, maka tanggal 4 Maret 1726 dapat ditetapkan sebagai Hari
Jadi Kabupaten Grobogan telah ada dan jelas memiliki perangkat yang
diisyaratkan bagi adanya sebuah Kabupaten, yaitu adanya : wilayah, rakyat, dan
pemerintahan, walaupun belum sempurna (Senin Kliwon, 21 Jumadilakir, 1650).
Selanjutnya sebagai akhir uraian dari bab ini perlu disebutkan para Bupati yang
pernah memerintah di Kabupaten Grobogan. Menurut data yang ada Kabupaten
Grobogan dengan ibu kota Grobogan pindah ke kota Purwodadi terjadi pada tahun
1864. Peristiwa ini hanyalah merupakan perpindahan pusat pemerintahan
Kabupaten Grobogan. Jadi tidak terjadi perubahan status daerah tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya kita ketahui bahwa pada 1928 (Staatbald, 1928
No. 117) Kabupaten Grobogan mendapatkan tambahan dua distrik (Kawedanan)
dari Kabupaten Demak, yaitu :
1. Kawedanan distrik Manggar dengan ibukotanya di Godong.
2. Kawedanan distrik Singen Kidul dengan ibukotanya di Gubug.
Maka Jumlah desa di dalam wilayah Kabupaten Grobogan dengan tambahan dua
Kawedanan tersebut yang semula terdiri atas 129 desa menjadi 280 desa sampai
sekarang. Pada tanggal 1 Januari 1930 (Staatblad 1930, No. 3) berdirilah Regent
Schapsraad (Dewan Katapaten) Grobogan sebagai badan ekonomi dimana Regent
(Bupati) sebagai ketuanya.
Pada Bulan April 1932 asistenan Karangasem Kawedanan Wirosari dihapus dan
dalam Bulan September 1933, asistenan Gadoh Kawedanan Manggar juga dihapus
(Staatblad 1932, No. 16; Staatblad 1933, No. 51). Kemudian mendapatkan
tambahan asistenan Klambu Distrik Undaan Kabupaten Kudus.
Pada bulan Maret 1942 di masa Perang Dunia II daerah Grobogan juga tidak luput
dari pendudukan tentara Jepang. Pada waktu itu Bupati Grobogan R. Adipati Ario
Soekarman Martohadinagoro meninggalkan kota (Purwodadi) dan mengungsi di
Pesanggrahan Argomulyo (milik Perhutani). Tetapi tidak lama kemudian oleh
Jepang diserahkan kembali ke Purwodadi dengan ditetapkan sebagai Kentyo
(Bupati) Grobogan. Pada tahun 1944 Bupati Ario Soekarman di pindah ke
Semarang, digantikan oleh R Soegeng sampai tahun 1946.
Untuk jelasnya nama-nama Bupati yang pernah memerintah Kabupaten Grobogan
sejak Adipati Martopuro tahun 1726 adalah sebagai berikut :
Sengkalan
KOMBULING CIPTO HANGROSO JATI
bernilai angka tahun Jawa 1650.
Sengkalan
KRIDHANING HANGGA HAMBANGUN PRAJA
Bernilai angka tahun Masehi 172
Sumber: www.grobogan.go.id
Diposting oleh noenk CAHAYA di Selasa, September 28, 2010
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke
FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Indonesia
8 komentar:
1.
nyimak dulu....
Balas
4.
mantep gan,,,
jempol 4 dech buat agan,,, buat info tentang grobogan tyus gan, biar
semakin banyak yang singgah dsana, semoga k depan grobogan
menjadi kabupaten yang paling tertata dan lebih maju. amin.
by : www.beringintua.blogspot.com
Balas
5.
uapik kang..
Balas
7.
8.