Anda di halaman 1dari 54

MAKALAH SEJARAH

KELOMPOK 1

PENINGGALAN FISIK DAN NONFISIK PADA MASA


HINDU-BUDHA

DISUSUN
O
L
E
H

Nama anggota kelompok :


 EUNIKE JULIAN JEANNE BUGA
 FRANSISKUS RIVALDI DJOGO SEDA
 FREDERIKUS KODU
 APNERSIANUS ARIYANTO BOLE
 VINSENSIUS LERE

SMK DON BOSCO SUMBA


TAHUN AJARAN 2022/2023
Kata Pengantar
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 1

1.3. Tujuan Penulisan ............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Materi dan Perubahannya ................................................................ 2

2.2. Cahaya ............................................................................................ 4

2.3. Magnet ........................................................................................... 6

2.4. Udara .............................................................................................. 8

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan .................................................................................... 10

3.2. Saran .............................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 11
Sejarah Kerajaan Kalingga

Kerajaan Kalingga atau Keling adalah kerajaan di Jawa bagian tengah


yang sempat dipimpin oleh seorang wanita, Ratu Sima.Ia digambarkan
sebagai pemimpin wanita yang tegas dan taat terhadap peraturan
yang berlaku di kerajana tersebut. Kerajaan ini terkadang juga disebut
Kerajaan Holing.

Sumber sejarah utama dari kerajaan Kalingga adalah dari berita


Cina Dinasti Tang. Sumber lainnya adalah Prasasti Tuk Mas di
lereng Gunung Merbabu. Melalui peninggalan sejarahnya banyak
informasi yang dapat kita ketahui mengenai Kerajaan ini, mulai
dari lokasi kerajaan terlebih dahulu di bawah ini.

Letak/Lokasi Kerajaan Kalingga

Lokasi Kerajaan Kalingga diperkirakan terletak di Jawa bagian tengah.


Meskipun belum dapat dipastikan, tapi kebanyakan peneliti dan
sejarawan menyepakatinya. Berikut adalah runutan argumennya.

Menurut berita Cina, di sebelah timur Kalingga ada Poli (Bali sekarang),
di sebelah barat Kalingga terdapat To-po-Teng (Sumatra). Dari berita
tersebut tampak jelas bahwa Kalingga terletak di Jawa Tengah.

Kemudian, melanjutkan deskripsi lokasi Kalingga dalam berita Cina, di


sebelah utara Kalingga terdapat Chenla (Kamboja) dan sebelah selatan
berbatasan dengan samudra. Oleh karena itu, lokasi Kerajaan Kalingga
diperkirakan terletak di Kecamatan Keling, Jepara, Jawa Tengah atau di
sebelah utara Gunung Muria.

Peninggalan Kerajaan Kalingga


Sumber sejarah kerajaan kalingga dapat ditelusuri dari candi angin,
prasasti Tuk Mas, dan berita Cina Dinasti Tang. Namun, kebanyakan
peninggalannya tidak berisi informasi yang jelas dan hanya berupa
potongan informasi yang sulit untuk dirunut.

Contohnya, dari namanya saja, nama Kalingga berasal dari Kalinga,


sebuah kerajaan di India Selatan. Diperkirakan hal tersebut merupakan
salah satu bukti lain bahwa India dan Nusantara telah menjalin
hubungan diplomatik yang erat.

Namun, terdapat sumber yang mengatakan bahwa kerajaan ini


sejarahnya bahkan sama dengan Tarumanegara, yakni didirikan oleh
pengungsi India yang kalah perang di sana dan mencari perlindungan
di Nusantara.

Berikut adalah berbagai peninggalan dan sumber sejarah yang dapat


dicermati untuk mempelajari Kerajaan Kalingga.

Prasasti Tuk Mas (Tukmas)

Prasasti ini ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, di Dusun


Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah. Prasasti ditulis menggunakan huruf palawa
dalam bahasa Sanskerta.

Isi prasasti menjelaskan mengenai mata air yang amat bersih dan
jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut diibaratkan sama
dengan Sungai Gangga di India. Terdapat gambar-gambar lambang
Hindu seperti: keong, kendi, trisula, cakra, bunga teratai dan kapak di
dalam prasasti.
Prasasti Sojomerto

Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban,


Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti menggunakan aksara Kawi
dalam bahasa Melayu Kuno. Diperkirakan prasasti ini telah ada dari
sejak abad ke-7 masehi.

Prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya yakni Dapunta


Salendra, anak dari Santanu dan ibunya yang benama Bhadrawati.
Sementara istrinya bernama Sampula. Boechari () berpendapat bahwa
tokoh yang bernama Dapunta Sailendra adalah cikal-bakal raja-raja
keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Medang.

Kedua temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa dulunya, di


kawasan pantai utara Jawa tengah berkembang kerajaan bercorak
Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan adanya hubungan Kalingga
dengan Wangsa Sailendra dan Kerajaan Medang yang berkembang
kemudian di Jawa bagian Tengah Selatan.

Candi Angin

Candi Angin ditemukan di desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten


Jepara, Jawa Tengah. Karena letaknya yang sangat tinggi (berangin)
namun boleh dikatakan tidak roboh tertiup angin, maka candi ini
dinamakan Candi Angin.

Menurut para peneliti, Candi Angin bahkan lebih tua dari Candi
Borobudur. Beberapa Ahli malah berpendapat bahwa Candi ini
dibangun oleh manusia purba karena belum terdapat ornamen-
ornamen Hindu-Buddha.
Candi Bubrah

Candi Bubrah merupakan salah satu Candi Buddha yang berada dalam
kompleks Candi Prambanan. Tepatnya, di antara Percandian Rara
Jonggrang dan Candi Sewu. Candi ini ditemukan di Dukuh Bener, Desa
Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa
Tengah.

Candi ini diperkirakan sebetulnya memiliki ukuran 12 m x 12 m terbuat


dari batu andesit. Namun, yang tersisa dari candi ini hanyalah
reruntuhan setinggi 2 meter saja. Saat ditemukan terdapat beberapa
arca Buddha, namun wujudnya sudah tidak utuh lagi.

Disebut candi Bubrah karena Candi ini ditemukan dalam keadaan rusak
yang dalam bahasa Jawa adalah “bubrah”. Perkiraan para Ahli, Candi ini
dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno yang
masih berhubungan dengan Kerajaan Kalingga.

Situs Puncak Sanga Likur

Situs ditemukan di Puncak Gunung Muria, yakni Rahtawu, tidak jauh


dari Kecamatan Keling. Di area situs, ditemukan empat arca batu, yakni:

1. Arca Batara Guru


2. Narada
3. Togog
4. Wisnu

Hingga saat ini belum dapat dipastikan bagaimana keempat arca


tersebut dapat diangkut ke puncak gunung, mengingat medan
pendakian yang begitu berat. Selain keempat arca tersebut, Prasasti
Rahtawun juga ditemukan pada tahun 1990 oleh Prof. Gunadi dan
empat staffnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta.
Di kawasan situs juga ditemukan enam tempat pemujaan yang
letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak
gunung. Masing-masing diberi nama pewayangan: Bambang
Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto,
dan Kamunoyoso.
PeninggalanKerajaan Kalingga
Daftar Isi
 PeninggalanKerajaan Kalingga
o Prasasti
 1. Prasasti Tukmas
 2. Prasasti Sojomerto
o Candi dan SitusBersejarah
 1. Candi Angin
 2. Candi Bubrah
 3. Situs Puncak Sanga Likur
 Masa KejayaanKerajaan Kalingga
 Masa KehancuranKerajaan Kalingga
Sebagai salah satu kerajaan besar di Indonesia yang sebagian penduduknya
adalah pemeluk agama Hindu dan Budha, Kerajaan Kalingga memiliki
peninggalan bersejarah dengan corak agama penganutnya.

Terlebih lagi mulai abad ke-7, yakni ketika masa pemerintahan Ratu Shima,
kerajaan Ho-Iing sudah menjadi pusat kebudayaan Budha Hinayana.

Kerajaan Kalingga ini juga memiliki peninggalan berupa prasasti, candi dan
situs sejarah, diantaranya berikut.

Prasasti
Peninggalan berupa prasasti ada dua buah yang ditemukan di daerah pesisir
pantai utara pulau Jawa serta diyakini sebagai peninggalan Kalingga asli.

Dalam prasasti tersebut tersirat bukti jika memang pada zaman dahulu benar
adanya kerajaan besar yang berdiri di kawasan pesisir pantai utara Jawa, yakni
Kerajaan Kalingga.
1. Prasasti Tukmas

Prasasti Tukmas

Prasasti ini ditemukan di lereng sebelah barat Gunung Merapi tepatnya di


Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabak, Magelang Jawa Tengah.

Peninggalan Kerajaan Kalingga ini ditulis dengan menggunakan bahasa


Sansekerta serta memakai huruf Pallawa.

Aksara yang digunakan lebih muda jika dibandingkan dengan aksara yang
digunakan pada masa Purnawarman.

Prasasti yang dipahatkan pada sebuah batu besar alam yang lokasinya
berdekatan dengan sebuah mata air sekitar abad ke-7 M.

Pada prasastiTukmas ini gak ada gambar trisula, endi, cakra, kapak,
kalangsangka sertabungai teratai yang merupakan lambang hubungan antara
manusia dengan para dewaHindu.
2. Prasasti Sojomerto

Prasasti Sojomerto

Prasasti keduaini ditemukan di desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten


Batang, JawaTengah. Pada prasasti ini ditemukan jenis aksara Kawi dengan
bahasa Melayu Kunodan berasal dari abad ke-7 M.

Ukuran prasastiSojomerto pun cukup besar, yakni dibuat pada batu andesit
setinggi 78 cm denganpanjang 43 cm dan tebal 7 cm. Tulisan yang tertera
terdiri hingga 11 barisdengan sebagian barisnya sudah rusak terkikis usia.

Isi dari prasasti Sojomerto ini bersifat keagamaan Siwais yang memuat
keluarga dari tokoh utama yakni Dapunta. Seperti ibunya yang bernama
Bhadrawati, ayahnya yang bernama Santanu serta istrinya yang bernama
Sampula.
Tokoh utama Dapunta Salendra adalah cikal bakal dari raja-raja keturunan
angsa Syailendra yang pernah menguasai kerajaan Mataram Hindu.

Penemuan dua prasasti inilah yang menjadi bukti kuat jika di kawasan pantai
utara Jawa Tengah, Dulunya merupakan pusat berdirinya Kerajaan Kalingga,
sebuah kerajaan bercorak Hindu Siwais yang dipimpin oleh Ratu Shima.

Sosok ratu yang begitu disiplin dan memegang teguh seluruh peraturan yang
berlaku di dalam Kerajaan.

Candi dan SitusBersejarah


Kerajaan dengan latar Hindu-Budha ini memiliki peninggalan lain yang masih
dilestarikan hingga saat ini. Salah satunya yakni berupa candi dan berbagai
situs bersejarah lainnya.

Candi dan situs bersejarah ini sama-sama ditemukan pada area puncak Gunung
Muria. Semua candi dan situs tersebar di hampir seluruh puncak gunung.
Berikut beberapa peninggalan yang harus diketahui.
1. Candi Angin

Candi Anginmerupakan bangunan bersejarah yang ditemukan di Desa Tempur,


Kecamatan Keling,Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
2. Candi Bubrah

Candi Bubrahmerupakan bangunan bersejarah yang juga ditemukan di Desa


Tempur, KecamatanKeling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
3. Situs Puncak Sanga Likur

Situs peninggalan Kerajaan Kalingga lainnya yang terletak di Puncak Gunung


Muria berdekatan dengan kecamatan Keling.

Baca juga : Perundingan Linggarjati


Dalam kawasan ini, Anda bisa menjumpai empat arca batu yang biasa dikenal
dengan nama arca Wisnu, Togog, Narada, dan Batara Guru.

Hingga saat ini belum ada orang yang bisa menjelaskan bagaimana cara untuk
mengangkut arca tersebut sampai ke puncak gunung, mengingat medannya
yang begitu sulit.

Selain empat jenis arca tersebut, ala Arkeologi Yogyakarta juga berhasil


menemukan Prasasti Rahtawun.
Di sini Anda juga bisa melihat 6 tempat pemujaan yang tersebar dari arah
bawah sampai puncak gunung.
Keenam tempat pemujaan ini diberi nama tokoh pewayangan seperti Bambang
Sakri, Abiyoso, Onggrig Saloko, Seuktrem, Pandu Dewono dan Kamunoyoso.

Masa KejayaanKerajaan Kalingga

Kerajaan yang juga kerap disebut dengan nama Ho-Ing ini mengalami masa
keemasan pada saat kepemimpinan Ratu Shima yang terkenal dengan
kedisiplinannya.
Hal ini membuat kerajaan-kerajaan lain di tanah air merasa segan, hormat dan
kagum sekaligus penasaran dengan kepemimpinan Ratu Shima.

Pada kala ini, perkembangan segala macam budaya juga begitu pesat,
termasuk perkembangan agama Budha yang berjalan dengan harmonis dan
sangat rukun.

Keadaan inilah yang membuat wilayah kekuasaan Ratu Shima disebut


dengan DI Hyang yang artinya tempat bersatunya dua kepercayaan Budha dan
Hindu.
Dalam sektor pertanian, Ratu Shima mengadopsi suatu sistem dari kerajaan
kakak mertuanya yang diberi nama subak.

Dari kebudayaan baru inilah lahir istilah Tanibala yakni kelompok masyarakat
yang bermata pencaharian dengan bercocok tanam (bertani).

Menjadi kerajaan dengan corak Hindu di Jawa tengah, Kerajaan Kalingga


mempunyai pertalian yang begitu erat dengan kerajaan Galuh.

Sikap disiplin dan ketaatan inilah Ratu Shima berhasil membawa kemajuan dan
kejayaan pada Kalingga.

Kondisi ini menjadikan masyarakat Kalingga begitu makmur dan sejahtera,


sebab sang Ratu sangat memperhatikan perkembangan ekonomi
masyarakatnya.

Bukti nyata jikaRatu Shima selalu mengembangkan perekonomian


masyarakatnya ialah dengandibangunnya sistem irigrasi dan pertanian bagi
rakyatnya.

Masa KehancuranKerajaan Kalingga


Setelah lama mengalami perkembangan yang begitu pesat, Kerajaan Kalingga
akhirnya mengalami kemunduran. Kerajaan mengalami kemunduran sejak
adanya persaingan dagang dengan kerajaan Sriwijaya.
Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya bermula dari daerah pantai timur Sumatra yang


telah menjadi jalur perdagangan ramai dan banyak dikunjungi para
pedagang India dari sekitar awal tahun masehi. Karena keadaan
tersebut, mulai bermunculan pusat-pusat perdagangan pula di sekitar
sana. Lambat laun, pusat-pusat perdagangan tersebut berkembang
menjadi kerajaan-kerajaan kecil di sekitar abad ke-7 masehi.

Beberapa kerajaan kecil tersebut antara lain: Tulangbawang, Melayu,


dan Sriwijaya. Di antara ketiga Kerajaan tersebut yang berhasil
berkembang hingga masa kejayaannya adalah Sriwijaya. Sebetulnya,
kerajaan Melayu juga sempat berkembang pesat di Jambi, namun
berhasil ditaklukkan oleh Sriwijaya.

Letak Kerajaan Sriwijaya

Letak geografis kerajaan Sriwijaya diperkirakan terdapat di Palembang.


Namun, ada pula yang berpendapat di Jambi, bahkan di luar Indonesia.
Meskipun begitu, pendapat yang paling banyak didukung oleh para
ahli adalah bahwa lokasi Kerajaan Sriwijaya berada di Palembang.

Ada juga yang berpendapat bahwa Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan


maritim dan tidak memiliki sistem ketatanegaraan yang rapi. Mereka
lebih memilih untuk terus mengawasi kekuasaan mereka di laut dan
tidak terlalu memperhatikan pusat pemerintahan di darat.

Sehingga, pendapat tersebut menyatakan bahwa kerajaan ini adalah


kerajaan nomaden (selalu berpindah-pindah) dan tidak memiliki lokasi
pusat pemerintahan yang tetap.

Namun hingga saat ini hasil penelitian yang paling banyak mendapat
dukungan menunjukkan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya adalah di
Palembang. Hanya saja, ketika pusat kerajaan tersebut mengalami
kemunduran, pusat pemerintahan Sriwijaya pindah ke Jambi.

Berikut adalah gambar peta lokasi kerajaan sriwijaya.

Gambar peta lokasi (letak geografis) Kerajaan Sriwijaya.

Daerah Kekuasaan Sriwijaya

Sriwijaya berpusat di antara Sumatera selatan, sebagian Malaysia, dan


sebagian besar pulau Jawa. Ketika berjaya, daerah kekuasaan Kerajaan
Sriwijaya sangatlah luas bahkan membentang dari Kamboja, Thailand,
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimatan, dan Sulawesi.

Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat Saptika (2011, hlm. 33)


yang mengatakan bahwa Sriwijaya adalah salah satu Kemaharajaan
maritim yang kuat di Pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh
di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja,
Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan
Sulawesi.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Salah satu sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya adalah prasasti-prasasti


yang banyak ditemukan di sekitar wilayah Sumatera bagian selatan.
Selain itu terdapat pula beberapa prasasti yang ditemukan di pulau
Jawa, bahkan di mancanegara. Berikut adalah penjelasannya.

Prasasti Kerajaan Sriwijaya

Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya ditulis menggunakan aksara


palawa dalam bahasa Sanskerta. Sebagian prasasti ditulis dalam bahasa
Melayu Kuno. Beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya
tersebut adalah sebagai berikut.

Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat


Palembang. Prasasti ini berangka tahun 605 Saka (683 M). Isinya antara
lain menerangkan bahwa seorang bernama Dapunta Hyang
mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan menggunakan
perahu. Ia berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara
20.000 personel.

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang yang berada di


dekat Palembang. Prasasti ini berasal dan bahkan berangka tahun 605
Saka yang setara dengan tahun 683 masehi.
Gam
bar Prasasti Kedukan Bukit (Utomo, 2010).

Isinya menerangkan bahwa seseorang bernama Dapunta Hyang


mengadakan perjalanan suci atau disebut dengan siddhayatra  dengan
menggunakan perahu. Disebutkan bahwa Ia berangkat dari
Minangtamwan dengan membawa pasukan sejumlah 20.000 personel.

Kemungkinan “Minangtamwan” adalah “Minanga Tamwan” yang


berarti daerah yang terletak di antara dua sungai besar yang bertemu.
Poerbatjaraka & Soekmono mengungkapkan bahwa Minanga terletak
di hulu Sungai Kampar, tepatnya di pertemuan Sungai Kampar Kanan
dan Kampar Kiri.

Poerbatjaraka juga mengatakan bahwa kata Minangatamwan bisa jadi


merupakan nama lama dari Minangkabau. Sementara itu, Buchari
berpendapat bahwa Minanga berada di hulu Batang Kuantan.
Prasasti Talang Tuo

Diberi nama Prasasti Talang Tuo karena ditemukan di sebelah barat


Kota Palembang di daerah Talang Tuo. Prasasti ini berangka tahun 606
Saka atau setara dengan 684 masehi. Prasasti ini berhuruf Pallawa
namun berbahasa Melayu Kuno.

Prasasti
Talang Tuo

Isinya menyebutkan mengenai pembangunan sebuah taman yang


disebut Sriksetra, atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayagana, untuk
kemakmuran semua makhluk. Selain itu terdapat pula doa dan harapan
yang menunjukkan sifat agama Buddha.

Prasasti Telaga Batu

Prasasti ditemukan di kolam Telaga Biru (tidak jauh dari Sabokingking),


Kota Palembang. Prasasti ini tidak bertarikh atau tidak dituliskan angka
tahun pembuatannya. Diperkirakan prasasti ini berasal dari tahun yang
sama dengan prasasti Kota Kapur, yakni sekitar 686 M.
Pr
asasti Telaga Batu (Utomo, 2010).

Isinya mengenai kutukan-kutukan terhadap siapa saja yang melakukan


kejahatan dan tidak mengikuti peraturan Kerajaan atau perintah raja.
Prasasti ini juga memuat data-data mengenai penyusunan
ketatanegaraan Kerajaan Sriwijaya.

Prasasti Kota Kapur

Prasasti Kota Kapur ditemukan di desa Penangan, Mendo Barat, Pulau


Bangka. Bertarikh (berangka) tahun 608 Saka (656 M). Coedes (2014:65)
menduga bahwa material batu prasasti ini didatangkan dari luar,
karena jenis batunya tidak terdapat di Pulau Bangka.
Prasasti Kota Kapur
(Kemdikbud, 2019)

Isi utamanya adalah permintaan kepada para Dewa untuk menjaga


kesatuan Sriwijaya. Prasasti ini juga berisi kutukan-kutukan terhadap
mereka yang berbuat jahat, tidak tunduk kepada raja atau tidak patuh
terhadap Kerajaan akan celaka. Keterangan penting lain adalah
terdapat catatan usaha Sriwijaya untuk menaklukkan “bumi Jawa” yang
belum tunduk kepada Kerajaan Sriwijaya.

Prasasti Karang Berahi

Prasasti Karang Berahi ditemukan di Desa Karang Berahi, Jambi.


Prasasti ini berangka tahun 608 saka atau setara dengan 686 masehi.
Isinya kurang lebih mirip dengan Prasasti Kota Kapur dan Prasasti
Telaga Biru, yakni kutukan bagi yang tidak tunduk kepada Sriwijaya.
Ga
mbar peninggalan kerjaan sriwijaya: prasasti karang berahi

Sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya di Luar Indonesia

Selain prasasti yang ditemukan di Indonesia, beberapa prasasti yang


lain juga ditemukan di luar Indonesia. Misalnya, Prasasti Ligor yang
berangka tahun 775 M ditemukan di Ligor, Semenanjung Melayu, dan
Prasasti Nalanda (tidak berangka) ditemukan di India Timur.

Prasasti Tanjore (India)

Ditemukan di India, dalam prasasti ini disebutkan bahwa pada tahun


1017 pasukannya menyerang kerajaan Swarnabhumi (Sumatera;
Sriwijaya). Serangan itu diulang kembali pada tahun 1025, rajanya yang
bernama Sanggramawijayatunggawarman berhasil ditawan oleh
pasukan Cola, tetapi akhirnya Sanggramawijaya dilepaskan.

Prasasti Srilanka

Ditemukan di Srinlanka dan diperkirakan berasal dari abad XII, isinya


menyebutkan bahwa : Suryanaraya dari wangsa Malayupura
dinobatkan sebagai maharaja di Suwarnapura (Sriwijaya). Pangeran
Suryanarayana menundukkan Manabhramana.

Berita Cina mengenai Sriwijaya

Di samping prasasti-prasasti tersebut, berita Cina juga merupakan


sumber sejarah Sriwijaya yang penting. Misalnya berita dari I-tsing,
yang pernah tinggal di Sriwijaya.

Setelah berlayar selama 20 hari dari Guangzhou, I-Tsing tiba di Fo-tsi


(Sriwijaya) pada tahun 651 M. Ia tinggal dan belajar di Sriwijaya selama
enam bulan. Raja Sriwijaya membantunya untuk sampai ke Melayu dan
I-Tsing tinggal di sana selama dua bulan.

Sumber Cina yang lain menyebutkan pada tahun 1156 raja Srimaharaja
mengirim utusan ke Cina , juga pada tahun 1178.

Kronik Dinasti Sung

Tahun 988 M, datang seorang utusan dari Fo-tsi (Sriwijaya) di Cina.


Setelah tinggal selama dua tahun di Cina, ia pergi ke Kanton dan
mendengar bahwa negaranya diserang She-po. Maka, ia terpaksa
tinggal setahun lagi di Cina. Pada tahun 992 M, ia berlayar kembali ke
Campa, tetapi karena tidak ada kabar apa pun tentang negerinya, ia
kembali ke Cina dan meminta perlindungan kaisar Cina.
Perkembangan Kerajaan Sriwijaya

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kerajaan ini


berkembang. Faktor-faktor tersebut yakni:

1. Letak geografis dari Kota Palembang.


Di depan muara sungai Musi terdapat pulau-pulau yang dapat
berfungsi sebagai pelindung, sehingga ideal untuk kegiatan
pertahanan dan pemerintahan. Lokasi ini juga merupakan jalur
perdagangan internasional (terutama dari India dan Cina). Sungai
besar, peran laut juga cocok untuk penduduknya yang telah
memiliki bakat sebagai pelaut ulung.
2. Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam.
Kamboja telah menaklukan Funan di Vietnam, sehingga
memberikan kesempatan bagi Kerajaan Sriwijaya untuk cepat
berkembang sebagai negara maritim.

Sementara itu, keadaan politik dan pemerintahannya secara umum


akan dijelaskan pada uraian di bawah ini.

Perkembangan Politik dan Pemerintahan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-7 M. Pada awal


perkembangannya raja disebut sebagai Dapunta Hyang (Prasasti
Kedukan Bukit dan talang Tuo). Dapunta Hyang secara terus-menerus
melakukan usaha perluasan daerah kekuasaan Sriwijaya. Berikut adalah
runutan penguasaannya.

1. Tulang-Bawang yang terletak di daerah Lampung.


2. Daerah Kedah yang terletak di pantai barat Semenanjung
Melayu. Daerah ini sangat penting artinya bagi usaha
pengembangan perdagangan dengan India. Menurut I-tsing,
penaklukan Sriwijaya atas Kedah berlangsung antara tahun 682-
685 M.
3. Pulau Bangka yang terletak di pertemuan jalan perdagangan
internasiona. Daerah ini dapat dikuasai Sriwijaya pada tahun 686
M berdasarkan prasasti Kota Kapur.
4. Daerah Jambi terletak di tepi Sungai Batanghari. Daerah ini
memiliki kedudukan yang penting untuk memperlancar
perdagangan di pantai timur Sumatra. Penaklukan ini
dilaksanakan kira-kira tahun 686 M (Prasasti Karang Berahi).
5. Tanah Genting Kra merupakan tanah genting bagian utara
Semenanjung Melayu. Penguasaan Sriwijaya atas Tanah Genting
Kra dapat diketahui dari Prasasti Ligor yang berangka tahun 775
M.
6. Kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno. Menurut berita Cina,
diterangkan adanya serangan dari barat, sehingga mendesak
Kerajaan Kalingga pindah ke sebelah timur. Diduga yang
melakukan serangan adalah Sriwijaya.

Semua penguasaan tersebut berdasarkan jalur perdagangan yang


dianggap penting untuk mengembangkan perekonomian maritim
Kerajaan Sriwijaya.

Berkat perluasaan daerah tersebut, Sriwijaya menjadi kerajaan yang


besar. Untuk lebih memperkuat pertahanannya, pada tahun 775 M
Sriwijaya membangun pangkalan kerajaan di daerah Ligor atas perintah
raja Darmasetra.

Kehidupan Agama Sriwijaya

Kehidupan beragama di Sriwijaya sangatlah kuat dan semarak. Bahkan


Sriwijaya berhasil menjadi pusat agama Buddha Mahayana di kawasan
Asia Tenggara. I-tsing dalam catatannya menceritakan bahwa ribuan
pelajar dan pendeta agama Buddha tinggal di Sriwijaya.

Salah satu pendeta Buddha yang terkenal adalah Sakyakirti. Banyak


pelajar asing yang sengaja datang ke Sriwijaya untuk mempelajari
bahasa Sanskerta. Antara tahun 1011-1023 sempat datang seorang
pendeta agama Buddha dari Tibet yang bernama Atisa untuk
memperdalam pengetahuan agamanya.

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berhubungan dengan


perkembangan agama meliputi:

1. Candi Muara Takus, ditemukan di dekat Sungai Kampar di daerah


Riau.
2. Arca Buddha, ditemukan di daerah Bukit Siguntang.
3. Wihara Nagipattana, dibangun oleh Sriwijaya di Nagipattana,
India Selatan.

Suatu ketika Raja Balaputra menghadiahkan sebidang tanah kepada


Balaputradewa untuk pendirian sebuah asrama bagi para pelajar dan
siswa yang sedang belajar di Nalanda, yang dibiayai oleh
Balaputradewa, sebagai “dharma”.

Hal itu tercatat dengan baik dalam prasasti Nalanda, yang saat ini
berada di Universitas Nawa Nalanda, India. Bahkan bentuk asrama itu
mempunyai kesamaan arsitektur dengan candi Muara Jambi, yang
berada di Provinsi Jambi saat ini.

Hal tersebut menandakan Sriwijaya memperhatikan ilmu pengetahuan,


terutama pengetahuan agama Buddha dan bahasa Sanskerta bagi
generasi mudanya. Hal itu juga sesuai dengan pendapat Prasetya
(2010, hlm. 32) yang mengungkapkan bahwa Sriwijaya merupakan
kerajaan besar penganut agama Buddha yang telah mengembangkan
iklim kondusif untuk perkembangan agama Budha.

Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya

Awalnya, penduduk Sriwijaya kebanyakan hidup dengan bertani. Akan


tetapi, karena lokasi Sriwijaya yang terletak di tepi Sungai Musi yang
terhubung ke pantai, perdagangan menjadi cepat berkembang.
Kemudian, perdagangan akhirnya menjadi mata pencaharian pokok
Sriwijaya.

Perkembangan perdagangan itu tentunya dipicu oleh letak geografis


Kerajaan Sriwijaya yang strategis. Letaknya tepat berada di
persimpangan jalur perdagangan internasional. Para pedagang Cina
yang berlayar menuju India akan singgah terlebih dahulu di Sriwijaya,
begitu pula sebaliknya.

Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya semakin ramai dan berkembang


menjadi pusat perdagangan. Kerajaan ini juga mulai menguasai jalur
perdagangan nasional maupun internasional. Jalur perdagangan
Sriwijaya membentang dari Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda,
dan Laut Jawa hingga ke Asia Tenggara yang merupakan jalur
perdagangan internasional antara India dan Cina.

Selain mendapatkan keuntungan langsung dari perdagangan, Sriwijaya


juga mendapatkan keunggulan tidak langsungnya. Kapal-kapal yang
singgah dan melakukan bongkar muat diharuskan untuk membayar
pajak. Hal tersebut tentunya menambah kemakmuran bagi Kerajaan ini.

Hasil budaya kerajaan sriwijaya meliputi gading, kulit, beberapa jenis


binatang liar untuk kepentingan ekspor. Sementara itu mereka
cenderung banyak mengimpor beras, rempah-rempah, kayu manis,
kemenyan, emas, gading, dan binatang.

Silsilah Kerajaan Sriwijaya

1. Dapunta Hyang Sri Jayanasa (683 M)


Diperkirakan merupakan pendiri Kerajaan Sriwijaya, disebutkan
dalam Prasasti Keduka Bukit, Talang Tuo, dan Kota Kapur. Raja
menaklukkan Kerajaan Melayu dan Tarumanegara dalam masa
pemerintahannya.
2. Indravarman (702 M)
Indravarman sempat mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 702-
716 M, dan 724M.
3. Rudra Vikraman / Lieou-t`eng-wei-kong (728 M)
Rudra Vikraman sempat mengirim utusan ke Tiongkok pada
tahun 728-748M.
4. Dharmasetu (790 M)
5. Sangramadhananjaya / Wisnu/ Vishnu (775 M)
Selamakepemimpinannya, Raja yang membawa Sriwijaya
menaklukkan Kamboja Selatan.
6. Samaratungga (792 M)
Sriwijaya gagal mempertahankan kekuasaan di Kamboja Selatan
pada tahun 802 M.
7. Balaputra Sri Kaluhunan (Balaputradewa) (835M)
Raja yang membawa Kerajaan Sriwijaya ke masa keemasannya. Ia
juga memerintahkan pembuatan biara untuk Kerajaan Cola di
India dan meninggalkan Prasasti Nalanda.
8. Sri Udayadityawarman (960 M)
Sempat mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 960 M.
9. Sri Wuja atau Sri Udayadityan (961 M)
Mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 961-962 M.
10.Hsiae-she (980 M)
Selama kepemimpinannya, Raja Hsiae-she mengirimkan utusan
ke Tiongkok pada 980-983
11.Sri Cudamaniwarmadewa (988 M)
Saat Sriwijaya dibawah kekuasaannya, terjadi penyerangan dari
Jawa.
12.Sri Marawijayottunggawarman (1008 M)
Selama kepemimpinannya sempat mengirimkan utusan ke
Tiongkok pada tahun 1008
13.Sumatrabhumi (1017 M)
Pada masa kekuasaannya, Raja Sumatrabhumi mengirimkan
utusan ke Tiongkok pada tahun 1017
14.Sri Sanggramawijayottunggawarman (1025)
Sempat ditaklukan dan ditawan oleh Kerajaan Cola dari India,
kemudian dilepaskan.
15.Sri Deva (1028 M)
Sempat mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1028 M.
16.Dharmavira (1064 M)
17.Sri Maharaja (1156 M)
Pernah mengirimkan utusan ke Tiongkok pada 1156 M.
18.Trailokaraja Maulibhusana Varmadeva (1178 M)
Pada masa kekuasaannya mengirimkan utusan ke Tiongkok pada
1178 M.

Pada tahun 1402 pangeran terakhir dari Kerajaan Sriwijaya, yakni


Parameswara mendirikan Kesultanan Malaka di Semenanjung Malaysia.

Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya

Nama raja kerajaan Sriwijaya yang paling terkenal adalah


Balaputradewa. Ia memerintah sekitar abad ke-9 M. Pada masa
pemerintahannya, Sriwijaya berkembang pesat dan mencapai masa
kejayaan atau zaman keemasan.

Ia berhasil menumbuhkan perekonomian kerajaan ini dan memperluas


kekuasaan Sriwijaya hingga ke pulau di luar Indonesia. Balaputradewa
adalah keturunan dari Dinasti Syailendra, yakni putra dari Raja
Samaratungga dengan Dewi Tara dari Sriwijaya. Hal tersebut
diterangkan dalam Prasasti Nalanda.

Raja terkenal Kerajaan Sriwijaya ini (Balaputradewa) adalah seorang raja


yang besar di Sriwijaya. Raja Balaputradewa menjalin hubungan erat
dengan Kerajaan Benggala yang saat itu diperintah oleh Raja Dewapala
Dewa.

Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya

Faktor kemunduran Kerajaan Sriwijaya dipengaruhi oleh kerajaan yang


terlalu bergantung pada kehidupan perdagangan laut, sistem
ketatanegaraan yang tidak tertata dengan baik, dan kondisi kekuasaan
wilayah darat yang kurang diperhatikan akibat terlalu sibuk
mengembangkan kelautan.

Beberapa faktor kemunduran Kerajaan Sriwijaya lainnya (Kemdikbud,


2017, hlm. 109) meliputi:

1. Keadaan alam sekitar Sriwijaya yang berubah, tidak dekat lagi


dengan pantai. Hal tersebut disebabkan perubahaan aliran
sungai Musi, Ogan, dan Komering membawa banyak lumpur
sehingga tidak kondusif untuk perdagangan.
2. Banyak daerah kekuasaan yang memerdekakan diri dari Sriwijaya.
Hal ini diperkirakan disebabkan oleh melemahnya angkatan laut
Sriwijaya, sehingga pengawasan menjadi semakin sulit.
3. Sriwijaya mendapatkan serangan dari kerajaan-kerajaan lain.
Utamanya, serangan yang diluncurkan oleh Raja Rajendracola
dari Kerajaan Colamandala pada tahun 1017 M dan 1024 M.
Kemudian tahun 1275 Kartanegara dari Singhasari melakukan
ekspedisi Pamalayu yang menyebabkan daerah Melayu lepas dari
genggaman Sriwijaya.

Puncaknya keruntuhan kerajaan ini adalah pada tahun 1377, ketika


armada laut dari Kerajaan Majapahit menyerang dan berhasil
menaklukkan Kerajaan Sriwijaya.

Peninggalan Kerajaan Majapahit


Berikut beberapa peninggalan bersejarah dari kerajaan Majapahit yang masih ada
hingga sekarang.

1. Candi Sukuh
Candi Sukuh terletak di Desa Berjo,
Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah, 36 km dari Surakarta atau 20 km
dari Kota Karanganyar.Menurut perkiraan, Candi Sukuh ini dibangun pada tahun 1437
Masehi dan masuk kedalam jenis candi Hindu dengan bentuk piramid. Struktur
bangunan Candi Sukuh memiliki bentuk yang unik dan berbeda dengan candi
peninggalan Kerajaan Majapahit yang lain dan di sekitar reruntuhan Candi Sukuh ini
juga terdapat banyak objek Lingga dan Yoni yang melambangkan seksualitas dengan
beberapa relief serta patung yang memperlihatkan organ intim dari manusia. Candi ini
ditemukan pada tahun 1815 oleh residen Surakarta bernama Johnson yang ditugaskan
oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data dari bukunya yakni “The
History of Java”. Kemudian pada tahun 1842, candi ini juga sudah diteliti oleh
Arekolog dari Belanda bernama Van der Vlies dan kemudian dipugar pada tahun 1928.
Candi Sukuh kemudian diusulkan menjadi salah satu situs warisan dunia pada tahun
1995.
Desain sederhana dari candi ini membuat seorang arkeolog asal Belanda yakni W.F.
Stutterheim di tahun 1930 memberikan argumentasinya yakni pemahat dari Candi
Sukuh ini bukanlah dari seorang tukang batu namun seorang tukang kayu desa dan
bukan dari kalangan keraton. Candi ini juga dibuat dengan terburu-buru yang tampak
dari kurang rapihnya bangunan candi tersebut dan argumen terakhirnya adalah keadaan
politik di masa tersebut yakni saat menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit membuat
candi tersebut tidak bisa dibuat dengan mewah dan indah. Saat masuk ke pintu utama
dan melewati gapura besar, maka bentuk arsitektur khas tidak disusun secara tegak lurus
akan tetapi berbentuk sedikit miring trapesium lengkap dengan atap pada bagian
atasnya. Sedangkan warna bebatuan di candi ini berwarna sedikit merah sebab memakai
bebatuan andesit.

Artikel terkait:

 Sejarah Candi Kalasan


 Sejarah Candi Cetho
 Candi Peninggalan Budha
 Candi Peninggalan Agama Hindu
Pada teras pertama terdapat sebuah gapura utama yang lengkap dengan sengkala memet
dan tertulis dalam bahasa Jawa yaitu gapura buta aban wong dengan arti raksasa gapura
memangsa manusia dengan makna masing-masing9, 5, 3, 1 yang jika dibalik maka
diperoleh tahun 1359 [saka] atau 1437 Masehi. Angka ini kemudian diduga menjadi
tahun berdirinya Candi Sukuh. Di bagian sisi candi juga terdapat sengkala memet
dengan bentuk gajah memakai sorban yang sedang mengigit seekor ular dan dianggap
sebagai lambang bunyi gapura buta anahut buntut atau raksasa gapura mengigit ekor.
Pada bagian teras kedua, gapuranya sudah dalam keadaan yang rusak dan pada bagian
sisi kanan dan kiri gapura ada patung penjaga atau dwarpala kaan tetapi juga sudah
rusak dan tidak berbentuk lagi. Gapura ini juga sudah hilang bagian atapnya dan tidak
dilengkapi dengan patung pada terasnya. Pada gapura ini ada sebuah candrasangkala
yang ditulis dalam bahasa Jawa berbunyi gajah wiku anahut buntut dengan arti gajah
pendeta menggigit ekor dan terdapat makna 8, 7, 3, 1 yang jika dibalik maka dihasilkan
tahun 1378 Saka atau 1456 Masehi.

Pada bagian teras ketiga ada pelataran berukuran besar dengan candi induk serta
beberapa buah panel yang dilengkapi dengan relief di bagian kiri dan patung di bagian
kanan. Pada bagian atas candi utama di tengah ada sebuah bujur sangkar seperti tempat
untuk meletakkan sesaji dan terdapat juga bekas kemenyan, hio serta dupa yang dibakar
dan masih sering juga digunakan untuk sembahyang. Sedangkan pada bagian kiri candi
induk ada serangkaian panel lengkap dengan relief yang bercerita tentan mitologi utama
dari Candi Suku, Kidung Sudamala.

Artikel terkait:

 Sejarah Situs Ratu Boko


 Sejarah Candi Mendut
 Sejarah Candi Gedong Songo
 Sejarah Candi Kalasan
2. Candi Cetho

Candi Cethi terletak di Dusun Ceto, Desa


Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar, Jawa Tengah. Menurut perkiraan para
sejarawan, Candi Cetho ini berasal dari akhir keruntuhan Kerajaan Majapahit di sekitar
abad ke-15 Masehi dan candi ini baru ditemukan pada tahun 1842 karena tulisan dari
seorang arkeolog Belanda yakni Van de Vlies. Candi Cetho dibangun dengan
menggunakan corak Hindu yang seringkali dipakai warga serta peziarah Hindu untuk
tempat pemujaan. Tempat ini juga sering dijadikan tempat untuk bertapa untuk
masyarakat Kejawen asli Jawa. Penggalian pertama dilakukan pada tahun 1928 untuk
rekonstruksi oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda dan dari penelitian ditemukan jika
usia candi tersebut hampir sama dengan Candi Sukuh yang lokasinya tidak jauh dari
candi ini, akan tetapi terdapat perbedaan sebab candi ini dibuat di kompleks yang
berundak. Secara keseluruhan, Candi Cetho ini mempunyai 13 buah teras dan juga
banyak anak tangga yang juga dilengkapi dengan banyak archa serta punden di
sepanjang tangga tersebut. Diatas candi ini terdapat Puri yang disebut dengan Puri
Saraswati.
Candi Cetho ini ditemukan dalam keadaan reruntuhan dengan 14 teras atau punden
bertingkat dengan bentuk memanjang dari barat menuju ke timur dan sekarang hanya
tersisa 13 teras saja. Pemugaran sudah dilakukan pada kesembilan buah teras dan
struktur teras yang berundak ini diduga merupakan kultur asli Nusantara Hinduisme
yang semakin diperkuat dengan aspek ikonografi. Relief yang terdapat pada candi ini
berbentuk tubuh manusia seperti wayang kulit dengan muka menghadap samping
namun tubuh yang menghadap ke ara depan. Pemugaran juga dilakukan di akhir tahun
1970 yang dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi dari Suharto dan
ia mengubah begitu banyak struktur dari candi tersebut.

Pemugaran ini kemudian banyak mendapatkan krtikan dari pada arkeolog sebab
pemugaran pada situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa dipelajari dengan
mendalam, selain itu ada beberapa objek hasil dari pemugaran yang sudah dianggap
tidak asli yakni gapura mewah dan meagh di bagian depan kompleks, bangunan kayu
tempat bertapa, patung yang dinisbatkan sebagai Brawijaya V, Sabdapalon,
Nayagenggong dan phallus sera kubus di pucak punden

Artikel terkait:

 Asal Usul Nusantara


 Sejarah Candi Ratu Boko
 Sejarah Candi Panataran
 Sejarah Perang Kamang
3. Candi Pari

Candi Pari terletak di Desa Candi Pari,


Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Menurut perkiraan, Candi ini dibangun saat
masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk tahun 1350 sampai dengan 1389 Masehi.
Candi ini terletak di 2 km arah Barat Laut semburan pusat lumpur panas Lapindo
Brantas. Candi Pari ini juga dibangun dengan batu bata berbentuk persegi empat seperti
pura yang ada di Bali dan candi ini dibangun menghadap ke arah Barat. Diperkirakan,
Candi Pari ini dibangun pada tahun 1371 Masehi dan dari J.Knebel yang ditulis dalam
laporannya, Candi Pari dan juga Candi Sumur, dibangun untuk mengenang sekaligus
memperingati hilangnya adik angkat dan juga seorang sahabat dari salah satu putra
Prabu brawijaya yang menolak untuk tinggal di Keraton Kerajaan Majapahit. Diatas
pintu Candi Pari ini dulunya terdapat batu tua dan apabila dilihat dari arsitektur sangat
dipengaruhi dengan budaya Campa yakni kebudayaan dari Vietnam. Ini bisa terjadi
karena dulu Indonesia menjalin hubungan dagang dengan Vietnam dan disaat yang
bersamaan juga, perekonomian Vietnam hancur sehingga sebagian orang mengungsi ke
Jawa Timur.
4. Candi Jabung

Candi Jabung terletak di Desa Jabung,


Kecamatan Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Candi ini terbuat dari bata merah yang
disusun yang masih bertahan setelah sekian tahun. Di saat lawatan berkeliling Jawa
Timur tahun 1359, Raja Hayam Wuruk dikatakan pernah singgah pada Candi Jabung
tersebut. Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit dengan bercorak
bangunan Hindu, sedangkan struktur bangunannya terlihat hampir serupa dengan Candi
Bahal dari peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Utara.
Arsitektur Candi Jabung dibangun pada permukaan tanah dengan ukuran 35 meter x 40
meter dan pemugaran sudah dilakukan di tahun 1983 sampai 1987 sehingga penataan
lingkungan bertambah 20.042 meter yang terletak di ketinggian 8 meter dari permukaan
laut. Candi Jabung memiliki dua bangunan utama yang berukuran besar dan kecil yang
umumnya disebut dengan Candi Sudut. Sedangkan material yang digunakan adalah bata
merah kualitas bagus lengkap dengan ukiran berbentuk relief. Candi Jabung memiliki
panjang 13.13 meter, lebar 9.60 meter dan ketinggian mencapai 16.20 meter menghadap
ke arah Barat dan pada bagian sisi barat agak menjorok ke depan yang merupakan bekas
susunan tangga memasuki candi.

Pada bagian Barat Daya halaman candi terdapat candi kecil yang berguna sebagai
pelengkap Candi Jabung. Candi menara ini dibangun dengan material batu bata dengan
ukuran 2.55 meter serta tinggi 6 meter. Arsitektur Candi Jabung terdiri dari bagian
batur, kaki, tubuh dan juga atap dengan bentuk tubuh bulat yang berdiri diatas kaki
candi bertingkat 3 bentuk persegi. Sementara bagian atapnya berbentuk stupa namun
sudah runtuh di bagian puncak dan pada atap tersebut dilengkapi dengan motif suluran.
Pada bagian bilik candi ada lapik arca yang berdasarkan dari inskripsi pada gawang
pintu masuk Candi Jabung didirikan pada tahun 1276 Saka atau 1354 Masehi.

Artikel terkait:

 Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara Lengkap


 Sejarah Kerajaan Majapahit
 Sejarah Kerajaan Singasari
 Sejarah Kerajaan Sriwijaya
5. Gapura Wringin Lawang
Gapura Wringin Lawang terletak di Desa
Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini juga terbuat dari
bata merah seperti Candi Jabung dengan tinggi mencapai 15.5 meter berukuran 13 x 11
meter dan menurut perkiraan dibangun pada abad ke-14 Masehi.
Jika dilihat, gaya arsitektur dari Gapura Wringin Lawang ini hampir serupa dengan
Candi Bentar dan banyak pada ahli berpendapat jika bangunan ini adalah pintu gerbang
masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada dan juga pintu masuk ke berbagai
bangunan penting Ibu kota Majapahit.

6. Gapura Bajang Ratu

Gapura Bajang Ratu terletak di Desa


Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur dan menurut perkiraan dibangun
pada abad ke-14 Masehi. Di dalam Kitab Negarakertagama, gapura ini dikatakan
berguna untuk pintu masuk ke bangunan suci yang memperingati wafatnya Raja
Jayanegara. Menurut perkiraan, Gapura ini menjadi gapura terbesar di sepanjang masa
Kerajaan Majapahit. Sebelum Raja Jayanegara wafat, bangunan tersebut dipakai sebagai
pintu belakang Kerajaan Majapahit yang juga didukung dengan relief Sri Tanjung
dengan sayap gapura melambangkan pelepasan. Struktur bangunan dari Gapura Bajang
Ratu ini berbentuk vertikal dengan 3 bagian yakni kaki, badan dan juga atap, apabila
dilihat dari atas, candi ini berbentuk segi empat dengan panjang 11.5 x 10.5 meter dan
ketinggian mencapai 16.5 meter dan lorong 1.4 meter. Pada bagian kaki candi terdapat
bingkai bawah dan juga atas dan badan kaki serta terdapat juga relief Sri Tajung. Pada
masa itu, relief dipercaya sebagai penangkal dari bahaya, sementara di bagian sayap
kanan terdapat relief Ramayana.
Struktur Bangunan Bajang Ratu – Dari buku Drs. I.G Bagus L Arnawa, bentuk gapura
atau candi adalah bangunan pintu gerbang jenis paduraksa atau gapura beratap dan fisik
keseluruhan candi dibuat dengan material batu bata merah kecuali untuk area lantai
tangga serta pintu bawah dan atas yang dibuat menggunakan batu andesit. Secara
vertikal, bangunan ini memiliki 3 bagian yakni kaki, tubuh dan juga atap serta
dilengkapi dengan sayap dan pagar tembok pada kedua sisinya. Kaki gapura ini
memiliki panjang 2.48 meter dan strukturnya terdiri dari bingkai bawah, badan kaki
serta bingkai atas. Bingkai ini juga terdiri dari susunan pelipit rata serta berbingkai
dengan bentuk genta dan pada bagian sudut kakinya terdapat hiasan berbentuk
sederhana kecuali di sudut kiri depan yang dilengkapi dengan relief menceritakan Sri
Tanjung.

Sementara untuk bagian tubuh diatas pintu juga terdapat relief hiasan kala dan hiasan
suluran, sedangkan untuk bagian atap juag dilengkapi dengan relief berhias rumit yakni
kepala kala diapit dengan singa, relief matahari, naga berkaki, relief bermata satu atau
monocle cyclops dan juga kepala garuda. Relief ini dalam kepercayaan budata
Majapahit untuk pelindung dan penolak bahaya, sedangkan pada sayap kanan terdapat
relief yang menceritakan kisah Ramayana serta pahatan hewan bertelinga panjang.

Artikel terkait:

 Sejarah Kerajaan Tarumanegara


 Penyebab Terjadinya Pertempuran Ambarawa
 Sejarah Runtuhnya Bani Ummayah
 Sejarah Islam di Indonesia
7. Candi Brahu

Candi Brahu terletak di kawasan situs


arkeologi Trowulan di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan,
Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti ini dibuat oleh Mpu Sendok dan berguna sebagai
tempat pembakaran jenazah dari raja-raja Majapahit. Nama Brahu ini menurut perkiraan
berasal dari kata Wanaru atau Warahu yang didapatkan dari sebutan bangunan suci dan
terdapat pada prasasti Alasantan, Prasasti tersebut ditemukan pada lokasi yang tidak
jauh dari candi tersebut.
Candi ini dibangun dengan memakai gaya kultur Budha menghadap ke Utara dan
memakai batu bata merah dengan panjang 22.5 meter, lebar 18 meter dan ketinggian
mencapai 20 meter. Candi Brahu ini diperkirakan dibangun pada abad ke-15 Masehi,
meski banyak ahli yang juga memiliki perbedaan pendapat tentang hal tersebut. Ada
sebagian ahli yang mengatakan jika candi ini berusia lebih tua dibandingkan dengan
candi yang lain yang ada di Komplek Trowulan. Di dalam Prasasti, Candi Brahu disebut
sebagai tempat pembakaran jenazah para raja-raja Majapahit, akan tetapi pada
penelitian yang sudah dilakukan tidak bisa ditemukan bekas abu dari mayat pada candi
tersebut.
Struktur Bangunan Candi Brahu – Candi Brahu dibangun dengan menggunakan batu
bata merah menghadap ke Barat dengan ukuran panjang 22.5 meter, lebar 18 meter dan
tinggi 20 meter yang dibangun memakai kultur Buddha. Pada prasasti yang ditulis oleh
Mpu Sendok 9 September 939, candi ini adalah tempat pembakaran jenazah raja-raja
Majapahit. Menurut dugaan para ahli, ada banyak candi berukuran kecil di sekeliling
Candi Brahu ini akan tetapi sudah runtuh dan hanya tertinggal sisa reruntuhannya saja
yakni Candi Gedung, Candi Muteran, Candi Tengah dan juga Candi Gentong. Saat
dilakukan penggalian, banyak ditemuka benda kuno seperti alat upacara keagaan yang
terbuat dari logam, arca, perhiasan emas dan berbagai benda lainnya.

Artikel terkait:

 Sejarah Kota Surabaya


 Sejarah Kota Semarang
 Sejarah Kota Pontianak
 Sejarah Timor Timur
8. Candi Tikus

Seperti pada Candi Brahu, Candi Tikus


juga sama-sama berada di situs arkeologi Trowulan di Dukuh Jambu Mente, Desa
Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Candi ini masih terdapat di
dalam bawah tanah sebelum akhirnya ditemukan dan digali pada tahun 1914 dan
kemudian dilakukan pemugaran pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Candi ini
mendapat nama candi tikus sebab disaat penemuannya, banyak warga melihat bangunan
tersebut menjadi sarang tikus. Belum ada yang bisa memastikan siapa yang membangun
Candi Tiku ini, akan tetapi dengan adanya sebuah menara kecil, maka diperkirakan
dibangun pada abad ke-13 sampai dengan ke-14 Masehi sebab miniatur menara tersebut
merupakan ciri khas dari bangunan pada abad tersebut.
Candi Tikus ini bentuknya seperti sebuah petirtaan dan membuat banyak arkeoloh
berbeda pendapat. Sebagian arkeolog berpendapat jika candi ini adalah tempat
pemandian keluarga kerajaan dan sebagian lagi berpendapat jika bangunan ini adalah
tempat menampung air untuk keperluan masyarakat Trowulan. Sementara karena
adanya menara, maka beberapa ahli juga menduga tempat tersebut adalah tempat
pemujaan. Pada bagian kiri dan kanan tangga ada sebuah kolam berbentuk segi empat
berukuran 3.5 meter x 2 meter serta kedalaman mencapai 1.5 meter, sedangkan pada
dinding luar setiap kolam ada 3 buah pancuran berbentuk teratai atau padma yang
dibuat dari batu andesit. Sedangkan pada bagian anak tangga yang agak ke Selatan
terdapat sebuah bagunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 7.65 meter x 7.65
meter dan diatas banguan tersebut juga terdapat sebuah menara dengan ketinggian 2
meter dan atap berbentuk meru dengan puncak yang datar. Menara ini dikelilingi
dengan 8 buah menara serupa namun ukurannya lebih kecil dan di sekitar dinding kaki
bangunan ada 17 pancuran atau jaladwara dengan bentuk makara serta teratai.

Artikel terkait:

 Agresi Militer Belanda 2


 Pertempuran Medan Area
 Pahlawan Nasional Wanita
 Sejarah Istana Al Hamra
9. Candi Surawana

Candi Surawana terletak di Desa


Canggu, Kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur di 25 km Timur Laut Kota Kediri. Candi
ini memiliki nama asli Candi Wishnubhawanapura yang dibangun pada abad ke-14
Masehi. Candi ini dibangun untuk memuliakan Bhre Wengker yang merupakan seorang
raja Kerajaan Wengker yang ada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Candi ini
dibangun dengan corak Hindu yang keadaannya sudha tidak utuh lagi sekarang ini,
bagian dasarnya sudah mengalami rekonstruksi sedangkan untuk bagian badan serta
atap candi sudah hancur dan tak bersisa dan hanya kaki Candi dengan tinggi 3 meter
saja yang masih berdiri dengan tegak.
Struktur Bangunan Candi Surawana – Candi Surawana berukuran 8 meter x 8 meter
yang dibangun dengan material batu andesit dan merupakan candi Siwa. Semua bagian
tubuh candi ini sekarang sudah hancur dan hanay tertinggal kaki candi dengan tinggi 3
meter, untuk naik ke selasar atas kaki candi ada sebuah tangga berukuran sempit yang
ada di bagian Barat.

10. Candi Wringin Branjang


Candi Wringin Branjang terdapat di Desa
Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi ini memiliki
bentuk yang terlihat sederhana dan tidak dilengkapi dengan kaki candi namun hanya
atap dan badan candi saja.
Candi ini berukuran panjang 400 cm, lebar 300 cm dan tinggi 500 cm, sedangkan lebar
pintu masuk adalah 100 cm dan ketinggian mencapai 200 cm. Pada bagian dinding juga
tidak dilengkapi dengan relief seperti pada candi umumnya, namun terdapat lubang
ventilasi pada candi ini. Candi ini diperkirakan digunakan sebagai tempat penyimpanan
alat untuk upacara dan sejenisnya.
Kerajaan Majapahit
By

 Storyteller

Kerajaan Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa


Timur, Indonesia, yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga
1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi
kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas di Nusantara
pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350
hingga 1389.

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang


menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara
terbesar dalam sejarah Indonesia. Menurut Negarakertagama,
kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya,
Kalimantan, hingga Indonesia timur; Sumatra, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Sumbawa, Lombok dan Timor, meskipun wilayah
kekuasaannya masih diperdebatkan.

Orang Mongol mungkin paling dikenal sebagai salah satu penakluk


sejarah terbesar. Saat mereka memperluas perbatasan mereka,
banyak kerajaan hancur dan dinasti yang diganti. Mungkin yang
kurang terkenal adalah ekspedisi Mongol (di bawah Dinasti Kublai
Khan Yuan Cina) ke Jawa. Ekspedisi ini berakhir dengan kekalahan
Mongol dan memunculkan salah satu kekuatan besar terakhir di
kawasan Asia Tenggara, Kerajaan Majapahit.
Perebutan Kekuasaan
Kisah kerajaan Majapahit dimulai pada akhir abad ke 13 Masehi di
Kerajaan Singhasari dengan Raden Wijaya (pendiri kerajaan
Majapahit) dan Jayakatwang (penguasa terakhir Kerajaan
Singhasari). Ayah mertua Raden Wijaya adalah Kertanegara, yang
tahtanya dirampas oleh Jayakatwang.

Raden Wijaya, bagaimanapun, diampuni dan diberi Trowulan di Jawa


Timur. Situs ini nantinya akan berfungsi sebagai ibukota Kerajaan
Majapahit.

Menurut sumber-sumber dari China, sebelum pengkhianatan


Jayakatwang, Kertanegara telah menimbulkan kemarahan Kubilai
Khan. Kertanegara menolak memberikan penghormatan kepada
Dinasti Yuan, menganiaya utusan Yuan dan bahkan menantang
Kubilai Khan. Akibatnya, Kaisar memutuskan untuk menghukum
Kertanegara dengan mengirimkan 1000 kapal untuk menaklukkan
kerajaannya.

Sumber-sumber dari Jawa, bagaimanapun, melukis gambar


alternatif. Malah menggambarkan Kertanegara karena menolak
memberi penghormatan kepada orang-orang Mongol, raja tersebut
dikatakan telah menjadi orang bawahan yang ramah. Ekspedisi yang
dikirim oleh Kubilai Khan ke Jawa tidak dimaksudkan untuk
menghukum Kertanegara, namun untuk membantu Raden Wijaya. Ini
karena Raden Wijaya telah mengirim seorang utusan mendesak ke
Kaisar untuk meminta bantuan terhadap Jayakatwang. Selanjutnya,
Raden Wijaya juga berjanji untuk menawarkan Kubilai Khan puri putri
terindah di Kerajaan Singhasari.

Berdirinya Majapahit
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan
Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu
tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang bertepatan dengan
tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama
resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah.
Beberapa orang terpercaya Kertarajasa,
termasuk Ranggalawe, Sora dan Nambi memberontak melawannya,
meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Pemberontakan
Ranggalawe ini didukung oleh Panji Mahajaya, Ra Arya Sidi, Ra Jaran
Waha, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Gelatik dan Ra Tati. Semua ini
tersebut disebutkan dalam Pararaton.

Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang


melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang tepercaya
raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan.
Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha
ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati. Wijaya meninggal
dunia pada tahun 1309.

Putra dan penerus Wijaya


adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti
“penjahat lemah”. Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun
pemerintahan Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da
Pordenone mengunjungi keraton Majapahit di Jawa. Pada tahun
1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu
Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi
Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan
menjadi bhiksuni.

Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana


Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Pada tahun 1336,
Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih, pada saat
pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang
menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit
dan membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan
Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan
terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit
sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh
putranya, Hayam Wuruk.

Raja-raja Majapahit
Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit.
Penguasa ditandai dalam gambar ini.

Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan


Singhasari, yang dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa
Rajasa pada akhir abad ke-13. Berikut adalah daftar penguasa
Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara
pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana
yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan
keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.
Nama Raja Gelar Tahun

Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana 1293 – 1309

Kalagamet Sri Jayanagara 1309 – 1328

Sri Gitarja Tribhuwana Wijayatunggadewi 1328 – 1350

Hayam Wuruk Sri Rajasanagara 1350 – 1389

Wikramawardhana 1389 – 1429

Suhita Dyah Ayu Kencana Wungu 1429 – 1447

Kertawijaya Brawijaya I 1447 – 1451

Rajasawardhana Brawijaya II 1451 – 1453

Purwawisesa atau Girishawardhana Brawijaya III 1456 – 1466

Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa Brawijaya IV 1466 – 1468

Bhre Kertabumi Brawijaya V 1468 – 1478

Girindrawardhana Brawijaya VI 1478 – 1498

Patih Udara 1498 – 1518

Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan
pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki
kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-
pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:

 Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra


raja
 Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang
melaksanakan pemerintahan
 Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
 Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang
terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi.
Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-
sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan.
Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan
yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara
Saptaprabhu.

Kejayaan Dan Kekuatan Kerajaan Majapahit


Karena posisi strategisnya pada rute perdagangan rempah-
rempah, kerajaan Majapahit tumbuh sangat kaya dengan
mengenakan bea / pajak atas barang-barang yang dikirim melalui
wilayah kontrolnya. Masa keemasan kerajaan ini, bagaimanapun,
dikatakan terjadi pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, penguasa
keempat kekaisaran. Hayam Wuruk, yang memerintah dari tahun
1350 sampai 1389, dibantu oleh seorang perdana menteri yang sama
tangguhnya, Gajah Mada.

Selama masa jabatan perdana menteri, Gajah Mada berhasil


menambahkan Bali, Jawa dan Sumatra ke Kerajaan Majapahit. Meski
Gajah Mada meninggal sekitar 1364, ekspansi kekaisaran terus
berlanjut. Pada tahun 1365, seluruh kepulauan Melayu, kecuali Sri-
Vijaya dan dua koloninya, ditaklukkan oleh kerajaan Majapahit. Pada
tahun 1377, Palembang, ibu kota Sri-Vijaya, jatuh ke tangan tentara
Hayam Wuruk. Kerajaan Singapura, sebuah cabang dari Sri-Vijaya,
juga kemudian ditaklukkan. Meskipun demikian, saingan ini tidak
hancur total dan keturunannya kemudian kembali menimbulkan
masalah ke Majapahit.

Melemah Dan Jatuhnya Kerajaan Majapahit


Kerajaan Majapahit mulai melemah sesaat setelah kematian Hayam
Wuruk. Pada awal abad ke-15 Masehi, sebuah pecahnya perang
suksesi yang berlangsung selama empat tahun. Pada saat yang
sama, agama Islam menyebar di wilayah ini dan banyak kerajaan
masuk ke dalam iman ini. Di antaranya adalah meningkatnya
Kesultanan Malaka, yang didirikan oleh Raja Singapura terakhir.

Kerajaan ini tidak dapat bersaing dengan negara-negara tetangganya


yang telah memeluk Islam,dan terus terpecah, akhirnya runtuh di
tahun 1478 atau awal abad ke-16 Masehi.

Anda mungkin juga menyukai