Sumber sejarah yang penting dalam sejarah tatar sunda adalah Carita Parahyangan
yang merupakan sumber yang berbahasa Sunda Kuno yang ditulis sekitar abad ke-
19. Di dalam carita parahyangan ini diceritakan bahwa Sanjaya adalah anak dari
Sena yang berkuasa di Galuh. Sanjaya disebutkan pula sebagai menantu raja Sunda
yang bernama Tarusbawa, dan bergelar Tohaan di Sunda (yang dipertuan di Sunda).
Diceritakan pula bahwa pada suatu saat terjadi perebutan kekuasaan oleh Rahyang
Purbasora, saudara seibu dari Raja Sena. Kemudian Sena dibuang ke Gunung
Merapi oleh keluarganya. Namun setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan
kepada saudara tua ayahnya. Sanjaya kemudian dapat mengalahkan Rahyang
Purbasora dan kemudian diangkat menjadi raja Galuh. Kerajaan ini terletak di
sebelah barat sungai Citarum.
Rahyang Ningrat mengantikan ayahnya yaitu Rahyang Niskala Wastu Kencana yang
dilanjutkan kemudian oleh Sri Baduga. Pada masa Sri Baduga terjadi peristiwa besar
yaitu perang Bubat yang membuat beliau, putrinya, serta utusan yang ikut serta ke
Majapahit tewas. Dengan meninggalnya Sri Baduga, maka pemerintahan dipegang
oleh Hyang Bunisora (1357-1371). Bunisora digantikan oleh Prabu Niskala Wastu
Kencana yang memerintah hampir 100 tahun lamanya yaitu dari (1371-1474).
Pada masa kerajaan Sunda diperintah oleh Prabu Surawisesa, agama Islam mulai
berkembang di Cirebon dan Banten. Hal tersebut membuat Prabu berusaha mencari
sekutu untuk memperkuat kedudukannya melawan Islam. Kemudian dia bersekutu
dengan Portugis yang sudah berhasil menguasai Malaka. Tindakan tersebut
membuat kerajaan Demak di bawah Sultan Trenggono harus mengambil tindakan
untuk menghentikan pengaruh Portugis di Jawa.
Oleh karena itu, beliau memerintahkan menantunya yaitu Fatahillah atau dipanggil
juga Wong Agung untuk menyerang Portugis di Sunda Kalapa dan menguasai
pelabuhan tersebut. Hal itu akan berdampak politik, karena akan semakin membuat
Kerajaan Sunda menjadi terisolir dan menghambat atau mungkin menghancurkan
kekuatan Portugis yang hendak menguasai Jawa.
Sebelum menguasai Sunda Kalapa, pasukan Demak dan Banten mulai menaklukkan
daerah-daerah sekitar Banten dan Sunda Kalapa. Pada pertempuran di Sunda
Kalapa antara Demak dan Portugis, Pasukan Fatahillah berhasil menghancurkan
Portugis. Lalu, Fatahillah mengubah kota Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Pada
masa Raja Nuisya Mulya, Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam, sehingga
berakhirlah Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang besar, sampai Majapahit pun
sulit dan tidak bisa untuk menaklukannya.
C. Kehidupan Sosial-Budaya
seperti keraton, candi atau prasasti. Candi yang paling dikenal dari Kerajaan Sunda adalah
Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa Barat.
KONDISI EKONOMI
Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui
bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat
Talaga Maharena Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan,
pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan
upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di
Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan
Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut
perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana
tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten.
Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama
artinya dengan kata Sriman.
Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan kraton
lalu menetap di wilayah yang mereka namakan Cibeo Lebak Banten. Mereka
menerapkan tata cara kehidupan lama yang ketat, dan sekarang mereka dikenal
sebagai orang Baduy.
Sumber :
Materisma.com
Sridanti.com
Nasional.okezone.com
Coinone.co.id