Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Kerajaan Pajajaran

Dari segi geografisnya, Kerajaan Pajajaran ada


di Parahyangan Sunda dan Pakuan menjadi
ibukota Sunda sudah tercatat oleh Tom Peres
tahun 1513 M dalam The Suma Oriantal. Disini
tertulis jika ibukota Kerajaan Sunda memiliki
sebutan Dayo atau Dayeuh yang membutuhkan
waktu dua hari perjalanan dari Kalapa yang
sekarang menjadi Jakarta. Sebelum didirikannya
Kerajaan Pajajaran, ada beberapa kerajaan yang
sudah terlebih dahulu didirikan yakni Kerajaan
Tarumanegara, Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh
dan juga Kerajaan Kawali. Kerajaan Pajajaran ini tidak bisa dilepaskan dari beberapa Kerajaan
tersebut sebab Pajajaran merupakan Kerajaan lanjutan dari beberapa Kerajaan tersebut.

Dalam sejarah tertulis jika pada akhir tahun 1400-an, Majapahit kondisinya semakin lemah dan
pemberontakan serta perebutan kekuasaan diantara saudara terjadi berulang kali. Saat jatuhnya
Prabu Kertabumi [Brawijaya V], para pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit mengungsi
menuju ibukota Kerajaan Galuh yang berada di Kawali, Kuningan, Jawa Barat. Raden Baribin
yang merupakan saudara dari Prabu Kertabumi pun di terima dengan tangan terbuka oleh Raja
Dewa Niskala serta menikah dengan Ratna Ayu Kirana yang merupakan salah satu putri Raja
Dewa Niskala.

Raja juga menikah dengan salah seorang dari keluarga pengungsi rombongan Raden Barinbin
tersebut. Raja Susuktunggal yang berasal dari Kerajaan Sunda marah dengan pernikahan Dewa
Niskala tersebut. Dewa Niskala dianggap sudah melanggar aturan dan aturan tersebut sudah ada
sejak Peristiwa Bubat yang berisi jika orang Sunda-Galuh tidak boleh dan dilarang menikah
dengan orang yang berasal dari keturunan Majapahit. Peperangan hampir saja terjadi dari dua
raja yang merupakan besan tersebut.
Kedua raja ini menjadi besan sebab Jayadewata yang adalah putra dari Raja Dewa Niskala
adalah menantu dari Raja Susuktunggal. Peperangan tersebut tidak terjadi lantaran dewan
penasehat berhasil mendamaikan kedua raja tersebut dengan keputusan akhir jika kedua Raja
tersebut harus turun dari tahta mereka dan mereka berdua menyerahkan tahta mereka pada putra
mahkota yang sudah dipilih. Dewa Niskala memilih Jayadewata, anaknya, untuk meneruskan
kekuasaan, sementara Prabu Susuktunggal juga memilih orang yang sama sehingga akhirnya
Jayadewata mempersatukan kedua kerajaan tersebut. Jayadewata lalu diberi gelar Sri Baduga
Maharaja dan mulai memerintah Kerajaan Pajajaran di tahun 1482. Baca Artikel terkait lainnya
seperti Sejarah Kerajaan Majapahit, Asal Usul Nusantara, dan Sejarah Kerajaan Kutai
Kartanegara Lengkap.
Kehidupan Perekonomian Kerajaan Pajajaran
Masyarakat di jaman Kerajaan Pajajaran hidup dengan bercocok tanam khususnya menggarap
ladang  yang menghasilkan beras, buah-buahan, sayuran serta lada dan juga mengembangkan di
bidang pelayaran serta perdagangan. Kerajaan Pajajaran juga mempunyai 6 pelabuhan penting
yakni Sunda Kelapa [Jakarta], Pontang, Tamgara, Pelabuhan Banten, Cigede dan juga Cimanuk
[Pamanukan].

Kehidupan Sosial Kerajaan Pajajaran

Kehidupan sosial masyarakat di Kerajaan Pajajaran merupakan para seniman seperti penari,
pemain gamelan serta badut dan juga golongan petani serta perdagangan. Sementara untuk
golongan masyarakat yang tidak baik adalah tukang rampas, copet, perampok dan maling.

Kehidupan Budaya Kerajaan Pajajaran

Yang mempengaruhi kehidupan dari sektor budaya Kerajaan Pajajaran adalah agama Hindu serta
beberapa peninggalan seperti prasasti, jenis batik, Kitab Cerita Parahyangan dan juga Kitab
Sangyang Siskanda. Baca Artikel terkait lainnya Candi Peninggalan Agama Hindu, Sejarah Situs
Ratu Boko, Sejarah Kota Surabaya, Pahlawan Nasional Wanita.
Raja Raja Kerajaan Pajajaran

 Sri Baduga Maharaja [1482-1521], bertahta di Pakuan


 Surawisesa [1521-1535], bertahta di Pakuan
 Ratu Dewata [1535-1543[, bertahta di Pakuan
 Ratu Sakti [1543-1551], bertahta di Pakuan
 Ratu Nilakendra [1551-1567], pergi dari Pakuan sebab serangan Maulana Hasanuddin
 Raga Mula / Prabu Surya Kencana [1567-1579], bertahta di Pandegelang

Kehidupan Kerajaan Pajajaran

1. Kehidupan Politik Kerajaan Pajajaran

Pada masa pemerintahan Kerajaan Pajajaran sistem politik yang digunakan adalah feudal.
Dimana susunannya terdiri atas puncak tertinggi dipegang oleh seorang dengan gelar Prabu
atau raja. Kemudian di posisi kedua diduduki oleh seorang yang bergelar Putra Mahkota.
Sedangkan pada lapisan politik pemerintahan selanjutnya ditempati oleh golongan
mangkubumi, disusul mantra, Wado, dan Syahbandar.

Pada proses  pengelolaan dan pengaturan pemerintahannya dilakukan dengan  penunjukkan 


seorang kepala daerah oleh Raja yang berkuasa pada saat itu. Dimana tugasnya yaitu
mengurusi segala keperluan dan juga kendala yang  terjadi  pada tataran daerah-daerah di
bawah kekuasaannya.  Pertanggungjawaban  akan kinerja dari kepala daerah yang telah
ditunjuk disampaikan kepada golongan Mangkubumi serta Raja.
2. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Pajajaran

Kehidupan ekonomi pada zaman tersebut bergantung pada kegiatan agrarisnya. Kondisi
tersebut didasarkan pada keadaan wilayah di sekitar kerajaan yang memiliki karakteristik dari
tanah-tanah subur dan cocok untuk aktivitas pertanian serta peternakan.

Namun, sebagian  wilayahnya yang terletak di daerah pesisir memiliki kecenderungan berbeda
dari wilayah sebelumnya yaitu lebih kepada sektor maritimnya serta beberapa sektor
perdagangannya. Jual beli barang dilakukan dengan pulau-pulau terdekat dengan area tersebut
untuk menyokong kehidupan ekonominya. Begitulah gambaran dari perekonomian pada masa
Kerajaan Pajajaran.

3. Kehidupan Sosial Kerajaan Pajajaran

Sedangkan gambaran  sosial kehidupan pada masa itu ditandai dengan adanya suatu sistem
pelapisan masyarakat melalui fungsi dasar dari suatu kelompok tersebut. Dimana yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah lebih cenderung pada profesi utama yang dimiliki oleh
kalangan tersebut dalam pemenuhan kebutuhannya.

Sehingga bisa diklasifikasikan menjadi kelompok Pahuma yaitu orang yang menjadi seorang
petani di  ladang  milik pribadinya. Kemudian ada Palika yang merupakan lapisan masyarakat
dengan profesi atau fungsi sosial sebagai seorang nelayan. Marangguy, status atau sebutan
yang diberikan untuk pengukir, sedangkan masih banyak lagi lainnya seperti prajurit dan juga
pandita yaitu seorang pemuka agama.

4. Kehidupan Agama Kerajaan Pajajaran

Agama secara umum yang dianut pada masa kerajaan ini adalah Hindu Saiwa, dimana di
dalamnya terdapat penganut utama yaitu Raja-Raja. Dewa yang dipercaya sebagai Tuhan dan
disembah pada kepercayaan ini adalah Siwa dengan penempatan paling tinggi. Rekam jejak
akan aktivitas  keagamaan terkait telah terbaca dalam sebuah prasasti peninggalannya yaitu
Kawali, dan Sahyang Tapak.

Selain Hindu saiwa juga terdapat juga terdapat agama Hindu Waismawa dan juga Budha.
Dimana ketiganya berjalan beriringan. Raja sebagai penganut Hindu Saiwa tetap memberikan
ruang untuk menjalankan kehidupan dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya yang
berbeda kepercayaan. Sikap toleransi yang ditanamkan atas perbedaan tersebut dijunjung
tinggi dalam penerapannya.
5. Kehidupan Budaya Kerajaan Pajajaran

Terkait dengan kehidupan budayanya tentunya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan yang
dianut oleh raja dan  masyarakatnya secara mayoritas  yaitu Hindu. Setiap aspek kehidupannya
selalu  tidak pernah terlepas dari nilai-nilai  yang dalam ajaran agama tersebut. Sistem  sosial dan
juga perkembangan kebudayaan yang adapun tak luput  dari keberadaannya.

Mulai dari bahasa, tulisan, hingga beberapa bentuk peninggalan lainnya, terlihat dengan jelas
menonjolkan setiap nilai  yang ada  di agama Hindu.  Kitab-kitab yang ditinggalkannya seperti
Sangyang Siskanda, Carita  Parahyangan, dan juga beberapa kerajinan tangan yang dimilikinya.
Tentu hal ini menjadi satu gambaran besar akan kebudayaan yang berkembang pada masa itu.

Puncak Kejayaan Kerajaan Pajajaran

Di masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, Kerajaan Pajajaran mencapai masa kejayaannya
dan ini menjadi alasan yang sering dikatakan masyarakat Jawa Barat jika Sri Baduga atau
Siliwangi merupakan seorang raja yang tidak pernah purna dan selalu hidup abadi di hati serta
pikiran para masyarakat Jawa Barat. Maharaja tersebut membangun sebuah karya besar yakni
talaga dengan ukuran besar bernama Maharena Wijaya serta membuat jalan untuk menuju ke
Ibukota Pakuan serta Wanagiri. Ia juga memperkuat pertahanan ibukota  serta memberikan
Desa Perdikan untuk semua pendeta beserta pengikutnya sehingga bisa menyemangati
kegiatan beragama dan dijadikan penuntun kehidupan para rakyat.

Sang Maharaja juga kemudian membangun Kabinihajian atau kaputren, kesatriaan atau
asrama prajurit, menambah kekuatan angkatan perang, mengatur untuk pemungutan upeti dari
para raja dibawahnya dan juga menyusun undang-undang kerajaan. Pembangunan juga bisa
dilihat dalam prasasti Kabantenan dan juga Batutulis yang mengisahkan Juru Pantun dan juga
penulis Babad yang masih bisa dilihat hingga sekarang, sementara sebagian lagi sudah hilang.
Kedua prasasti dan juga Cerita Pantun serta kisah Babad tersebut diketahui jika Sri Baduga
sudah memberi pertintah untuk membuat wilayah perdikan, membuat Talaga Maharena
Wijaya, memperkuat ibukota, membuat pagelaran, membuat kabinihajian, membuat
kesatriaan, membuat pamington, memperkuat angkatan perang dan juga mengatur upeti untuk
para raja yang berada di bawahnya. Baca Artikel terkait lainnya Sejarah Kerajaan Islam di
Indonesia, Sejarah Minangkabau, Sejarah Islam di Indonesia, Sejarah Timor Timur.

Kehancuran Kerajaan Pajajaran


Kerajaan Pajajaran akhirnya hancur di tahun 1579 karena serangan Kerajaan Sunda lain yakni
Kesultanan Banten. Kerajaan Pajajaran berakhir dengan dibawanya Palangka Sriman Sriwacana
dari Pakuan Pajajaran menuju Keraton Surosowan yang berada di Banten oleh pasukan
Maulana Yusuf. Batu sebesar 200 x 160 x 20 cm tersebut dibawa menuju Banten sebab tradisi
politik membuat Pakuan Pajajaran tidak bisa menobatkan Raja yang baru dan menjadi pertanda
jika Maulana Yusuf merupakan penerus dari Kerajaan Sunda yang sah sebab buyut
perempuannya adalah Putri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana ini bisa dilihat di
depan bekas Keraton Surosowan di daerah Banten dan masyarakat Banten menyebutnya
dengan Watu Gilang yang berarti mengkilap dan memiliki arti yang sama dengan Sriman.

Raja-Raja Kerajaan Pajajaran

Semasa berdiri, Kerajaan Pajajaran hanya diperintah oleh enam raja sebelum akhirnya hancur.
Keenam raja tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi(1482 - 1521 M)


2. Surawisesa (1521 - 1535 M)
3. Ratu Dewata (1535 - 1543 M)
4. Ratu Sakti (1531 - 1551 M)
5. Ratu Nilakendra (1551 - 1567 M)
6. Raga Mulya (1567 - 1579 M)

Peninggalan Kerajaan Pajajaran

Sebagai salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Indonesia, Kerajaan Pajajaran
meninggalkan sejumlah jejak peninggalan. Peninggalan itu terdiri atas berbagai bentuk seperti
kitab, prasasti, dan tugu.

Berikut peninggalan Kerajaan Pajajaran yang masih bisa dilihat hingga saat ini.

Prasasti Cikapundung
Prasasti Pasir Datar
Prasati Sunda Portugis
Situs Karangmulyan

Anda mungkin juga menyukai