Anda di halaman 1dari 21

KERAJAAN KEDIRI

Disusun Oleh:

Ade Fayyadh S. S. (01)

Amanda Dwi Safitri (06)

Elvira Vindiarta P. (15)

Fransiska Nur S. (19)

Hafudh M. Ahnaaf (20)

Ryan Hayden Prakoso (31)

Azuwa Azzuwa (28)

SMA NEGERI 1 DRIYOREJO

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat-Nya sehingga makala ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa pula
kami mengucapkan terimakasih atas segala bantuan dari berbagai pihak yang telah
berkontribusi di dalam memberikan sumbangan baik materi ataupun pikirannya
dalam penyelesaian tugas ini.

Makala ini kami buat untuk memenuhi tugas biologi. Dan kami harap
semoga dengan laporan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kami
terutama tentang Kerajaan Kediri dan kehidupan masyarakat pada masanya.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin


masih ada kekurangan di dalam makala ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi sebuah
kesempurnaan tugas ini.

Akhir kata, kami berharap semoga makala ini bisa memberikan informasi
dan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Kami juga mengucapkan terimakasih
kepada para pembaca yang membaca karya ilmiah ini hingga akhir.

Gresik, 7 Februari 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................iii

BAB I.........................................................................................................................1

PENDAHULUAN......................................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2

BAB II........................................................................................................................4

PEMBAHASAN........................................................................................................4

A. Kehidupan Politik...........................................................................................4
B. Kehidupan Sosial Budaya..............................................................................
C. Kehidupan Ekonimo.......................................................................................
D. Kehidupan Agama..........................................................................................

BAB III.......................................................................................................................8

PENUTUP..................................................................................................................8

A. Kesimpulan....................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................v
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada akhir abad ke-10, Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahan
Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Medang, Jawa Timur. Alasan dari
perpindahan ini diduga karena letusan gunung Merapi atau mendapat serangan
dari Sriwijaya. Sejak saat itu Mataram Kuno lebih dikenal sebagai Kerajaan
Medang. Berlanjut ke masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh, yang
merupakan keturunan dari Mpu Sindok, Kerajaan Medang mendapat serangan
mendadak dari Kerajaan Sriwijaya bersama dengan Raja Wurawari. Serangan
itu dilancarkan saat Istana Wwatan tengah melaksanakan pesta pernikahan
Airlangga dengan putri dari Raja Dharmawangsa Teguh. Dharmawangsa
Teguh sendiri tewas dalam serangan tersebut, sedangkan keponakannya yang
bernama Airlangga dan putri Dharmawangsa berhasil lolos ditemani
pembantunya, Mpu Narotama.
Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta  (saudari Dharmawangsa
Teguh) dengan Udayana rajadari Kerajaan Bendahulu, Bali. Ia lolos bersama
putri Dharmawangsa ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama.
Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai petapa di hutan.
Perwakilan rakyat dan para adipati yang masih setia mendatangi
Airlangga, meminta dirinya agar mengembalikan kejayaan kerajaan Medang.
Atas dukungan para pendeta dan kaum brahmana, Airlangga mendirikan
ibukota baru bernama Watan Mas.
Ibu kota baru bernama Watan Mas terletak di sekitar gunung
penanggungan. Lama-kelamaan Airlangga menakhlukkan kembali daerah
yang memisahkan diri dari Medang, hingga pada akhir tahun 1032, Airlangga
berhasil memperluas wilayah kerajaan Medang hingga mencakup hampir
seluruh Jawa Timur.
tahun 1032, Airlangga membangun ibu kota baru bernama Kahuripan yang
berpusat didaerah Kabupaten Sidoarjo sekarang. Pada tahun 1042,
berdasarkan prasasti Pamwatang dan Serat Calon Arang, pada masa akhir
pemerintahannya Airlangga memindahkan ibukotanya ke Daha.
Pada akhir tahun 1042, terjadi perebutan kekuasaan antara kedua anak
Airlangga. Putri mahkota yang sesungguhnya bernama Sanggramawijaya
Tunggadewi menyerahkan tahta kerajaan dan lebih memilih untuk menjalani
kehidupan suci sebagai petapa, sehingga menimbulkan perebutan kekuasaan
antara dua anak Airlangga yang lainnya, yang bernama Sri Samarawijaya dan
Mapanji Garasakan. Dua saudara beda ibu ini saling tidak mau mengalah.
Demi menghindari pertikaian Airlangga membagi wilayah kekuasaannya
menjadi dua bagian. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapat kerajaan
bagian barat yang bernama panjalu dengan Daha sebagai pusat kerajaan, dan
putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapat kerajaan bagian timur yang
bernama Janggala dengan Kahuripan sebagai pusatnya. Pembagian kerajaan
ini tertulis dalam prasasti Pada Lapik Arca Buddha Aksobhya, prasasti wurara,
kitab Nagarakertagama dan kitab calon arang
Kerajaan Panjalu atau yang biasa disebut sebagai Kerajaan kediri, berdiri
antara tahun 1019-1222 M. Pada masa pemerintahan Raja Bameswara, ibu
kota panjalu di pindahkan dari Daha ke Kediri, sehingga kerajaan ini lebih
dikenal sebagai kerajaan Kediri. "Kediri" sendiri berasal dari kata "Kadiri"
dalam bahasa jawa kuno yang berarti berdiri sendiri, mandiri, atau berdiri
tegak, seperti yang tertera pada prasasti ceker tahun 1107 saka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kehidupan politik pada masa Kerajaan Kediri?
2. Bagaimana kehidupan sosial budaya pada masa Kerajaan Kediri?
3. Bagaimana kehidupan perekonomian pada masa Kerajaan Kediri?
4. Bagaimana kehidupan Keagamaan pada masa Kerajaan Kediri?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kehidupan Politik
Semenjak terbentuk, yakni pada pemerintahan Samarawijaya, kerajaan
panjalu selalu terjadi konflik dengan kerajaan Jenggala. Kurang lebih 60
tahun, tidak ada kejelasan mengenai kedua kerajaan tersebut, hingga masa
pemerintahan Raja Bameswara. Ia memindahkan ibukota Daha ke Kediri. Raja
Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring diatas
bulan sabit yang disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turuh tahta, ia
digantikan oleh Jayabaya. Selama ini Panjalu selalu dibayang-bayangai oleh
Jenggala, namun pada pemerintahan Jayabaya ini, Panjalu dapat dipersatukan
dengan Jenggala. Kondisi kerajaan Kediri semakin diperkuat dengan raja
penerus Jayabaya, yakni Kameswara, yang menikah dengan putri keturunan
Jenggala, bernama Candrakirana.
Kerajaan Panjalu atau kediri diketahui pernah dipimpin oleh beberapa raja.
Adapun raja-raja tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sri Samarawijaya
Samarawijaya merupakan raja pertama kerajaan Panjalu, Menjadi
raja tepat setelah pembagian kerajaan Medang. Ia merupakan putra
dari Airlangga bersama putri Dharmawangsa. Memiliki gelar
abhiseka lengkapnyaialah SriSamarawijaya Dharmasuparnawahana
Teguh Uttunggadewa. Pada masanya, tidak ada bukti peninggalan
prasasti, sehingga kurang diketahui bagaimana kondisi saat masa
pemerintahannya. Sejarah kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan
adanya prasasti Sirah Kleting 1126 saka, yang mengisahkan Raja
Jayawarsa. Raja sebelum Jayawarsa hanya Samarawijaya yang
diketahui, sehingga seringkali Jayawarsa lah yang dianggap sebagai
raja pertama.
2. Sri Jayawarsa
Sejarah tentang Jayawarsa dapat diketahui dari prasasti Mruwak
1108 saka dan prasasti Sirah Kleting 1126 Saka, memiliki gelar
abhiseka Sri Maharaja Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu, tidak
diketahui dengan pasti kapan Jayawarsa naik tahta. Pada prasasti Sirah
Kleting dikisahkan, Jayawarsa memberikan hadiah kepada rakyat desa
sebagai tanda penghargaan, karena rakyat telah berjasa kepada raja.
Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar
perhatiannya terhadap masyarakat dan berupaya meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya.
3. Sri Bameswara
Sri Bameswara memerintah sekitar tahun 1112-1135 M. Nama
gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara
Sakalabhuwana Tustikarana Sarwaniwariwirya Parakrama Digjaya
Uttunggadewa. Pada masa pemerintahan Bameswara sendiri, telah
meninggalkan sekurangnya sepuluh prasasti tentang perkembangan
Jawa bagian timur. Bameswara memindahkan ibukota panjalu dari
Daha ke Kediri, sehingga membuat kerajaan Panjalu lebih dikenal
dengan sebutan Kerajaan Kediri.
4. Prabu Jayabaya
Jayabaya memiliki gelar abhiseka Sri Maharaja Sang Mapanji
Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita
Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Jayabaya dikisahkan dalam
prasasti Hantang, prasasti Talang 1057 Saka, prasasti Jepun 1066 Saka,
serta kitab Bharatayuda 1079 Saka. Pada masa pemerintahan Jayabaya,
Kerajaan Panjalu mengalami masa keemasan. Pada masa ini juga
Panjalu dan Janggala dapat dipersatukan setelah puluhan tahun
mengalami konflik seperti yang dijelaskan para kitab Bharatayuda.
Dalam masa pemerintahan Prabu Jayabaya, Terdapat peraturan
yang mirip undang-undang dan norma, yang disebut hukum positif dan
budaya simbolik. Hukum positif merupakan hukum yang berlaku
berdasar peraturan tertulis yang disepakati bersama. Pelanggaran
hukum dan dendanya pun diatur secara detail.
Di samping hukum positif, dalam menata masyarakatnya Prabu
Jayabhaya menggunakan pendekatan budaya simbolik. Untuk
menunjang keberhasilan program ini, maka diperintahkanlah para
pujangga untuk menulis karya cipta. Tujuannya agar aparat dan rakyat
patuh pada norma susila. Hanya saja apabila terjadi pelanggaran maka
hukuman dan sangsinya bersifat ghaib spiritual. Pujangga yang diberi
tugas menulis kitab spiritual itu di antaranya adalah Empu Sedah dan
Empu Panuluh.
Selama Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata
praja, Nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di kawasan Asia
Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Beliau berhasil mewujudkan
negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh
Kuncarane, Ampuh Kawibawane. Masyarakat merasakan negara yang
Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja. Konsep
Saptawa, dijadikan sebagai program utama yaitu :
a) Wastra (sandang)
b) Wareg (pangan)
c) Wisma (papan)
d) Wasis (pendidikan)
e) Waras (kesehatan)
f) Waskita (keruhanian)
g) Wicaksana (kebijaksanaan).

Masyarakat Jawa percaya bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap


arif dan bijaksana serta menjunjung hukum yang berlaku. Semua
golongan masyarakat bersatu padu mendukung pemerintahannya.
Refleksi kearifan warisan para leluhur raja Jawa dijadikan referensi
untuk membawa kebesaran Nusantara.
Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Kediri, di samping faktor
kepemimpinan rajanya yang selalu mengutamakan kepentingan umum,
juga didukung oleh kejeliannya dalam menyusun Undang-undang
dasar yang mengikat sekalian warganya. Kepatuhan pada konstitusi
telah membuat ketertiban di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri. Aparat
kerajaan yang terdiri dari pejabat sipil dan militer bekerja sesuai
dengan amanat konstitusi, sehingga segala kebijakan kerajaan
membuahkan kemakmuran dan ketentraman rakyat.

5. Sri Sarweswara
Sarweswara dikisahkan pada prasasti Pandelegan II 1081 Saka dan
prasasti Kahyunan 1123 Saka. Nama gelar abhisekanya ialah Sri
Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardanawatara Wijaya
Agrajasama Singhadani Waryawirya Parakrama Digjaya
Uttunggadewa. Ia dikenal sebagai raja yang taat agama dan berbudaya,
dengan prinsip "tat wam asi", yang berarti "dikaulah itu, dikaulah
(semua) itu, semua makhluk adalah engkau".
6. Sri Aryeswara
Berdasarkan prasasti Angin 1093 Saka, Aryeswara adalah raja
Kediri yang memerintah sekitar tahun 1171 M. Nama gelar
abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara
Madhusudanawatara Arijamuka. Lambang Kerajaan Kediri pada saat
itu Ganesha.
7. Sri Gandra
Sri Gandra memiliki gelar abhiseka Sri Maharaja Koncaryadipa
Handabhuwanapadalaka Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa
Sri Gandra. Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui dari
prasasti Jaring 1103 Saka, yaitu tentang penggunaan nama hewan
dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo, dan tikus. Nama-
nama tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang
dalam istana.
Pada prasasti Jaring, juga diceritakan tentang penduduk Jaring
yang telah menghadap raja dengan perantara Senapati Sarwwajala
(panglima angkatan laut), untuk memberitahukan bahwa mereka telah
memperoleh anugrah dari raja yang terdahulu (sang atita prabhu) yang
belum terkabulkan. Permohonan ini akhirnya dikabulkan Raja Gandra.
Hal ini menandakan bahwa adanya aspek demokrasi yang memungkin
kan rakyat memohon pada raja.
8. Sri Kameswara
Kameswara memerintah sekitar tahun 1182-1194 M,
dengan abhiseka bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara
Triwikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama Digjayotunggadewa.
Kameswara disebut dalam Prasasti Ceker 1107 Saka dan Kakawin
Smaradhana. Pada masa pemerintahannya dari tahun 1182-1194 M,
seni sastra mengalami perkembangan sangat pesat.
9. Sri Kertajaya
Kertajaya merupakan raja terakhir dari Kerajaan Panjalu, memiliki
gelar abhiseka Paduka Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara
Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa, atau juga dikenal
sebagai "Dandhang Gendhis". Ia dikisahkan pada kakawin
Nagarakretagama (1356 M) karya Mpu Prapanca, prasasti Sapu Angin
1112 Saka, prasasti Galunggung 1123 Saka, prasasti Kamulan 1116
Saka, prasasti Palah 1119 Saka, prasasti Biri dan prasasti Lawadan
1124 Saka. Pada masa pemerintahan Kertajaya kerajaan Panjalu
mengalami masa kemunduran. Kondisi ini terjadi dikarenakan
Kertajaya berusaha mengambil hak-hak kaum Brahmana.
Kerajaan Kediri runtuh pada masa pemerintahan Raja Kertawijaya.
Ia berusaha untuk mengambil hak-hak kaum Brahmana. Kertawijaya
menunjukkan kesaktian di depan kaum Brahmana, lalu meminta kaum
Brahmana menyembahnya selayaknya dewa, bagi yang tidak menuruti
titahnya akan disiksa. Kaum Brahmana yang ketakutan melarikan diri
dari ibukota, dan pergi ke wilayah Tumapel (malang).
Mengetahui hal itu pemimpin Tumapel, yakni Ken Arok, memberi
perlindungan kepada kaum Brahmana. Dengan dukungan kaum
Brahmana Tumapel memisahkan diri dari Panjalu dan merdeka. Raja
Kertajaya yang mengetahui hal itu, mengirim pasukan untuk
menyerang Tumapel. Ken Arok dengan dukungan Brahmana bergerak
melakukan serangan ke kerajaan Panjalu. Kedua pasukan tersebut
bertemu di dekat desa Ganter.
Pada kitab Nagarakretagama dikisahkan secara singkat, bahwa
Kertajaya mengalami kekalahan. Disebutkan bahwa Kertajaya
melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (alam tempat dewa).
Setelah kekalahan tersebut Panjalu menjadi wilayah Kerajaan
Tumapel, atau yang biasa disebut sebagai kerajaan Singasari.

B. Kehidupan Sosial Budaya


Kehidupan masyarakat kediri sudah teratur, pada kitab ling-wai-tai-ta
diterangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang memakai kain
sampai bawah lutut, rambutnya diurai. Rumah-rumah mereka bersih dan
teratur, lantainya ubin berwarna kuning dan hijau. Dalam perkawinan,
keluarga pengantin wanita menerima mas kawin berupa emas. Orang-orang
yang sakit memohon kesembuahn kepada dewa dan buddha. Rajanya
berpakaian sutera, memakai sepatu dan perhiasan emas. Rambutnya disanggul
keatas. kalau bepergian, raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500
sampai 700 prajurit.
Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada
kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu.
Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta
bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat
menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat
leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Sistem peradilan dan hukum juga sudah diterapkan dengan rapih. Dengan
adanya kepastian hukum, maka hak dan kewajiban semua warga kerajaan
dapat dijamin. Keseimbangan antara hak dan kewajiban warga kerajaan telah
membuktikan serta membuahkan ketentraman lahir dan batin. Pada kerajaan
juga terdapat aparat yang menjaga kedamaian dan ketentraman masyarakat.
Semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama Raja yang disebut
Sang Amawabhumi artinya orang yang mempunyai atau menguasai negara.
Dalam soal pengadilan, Raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa.
Seorang Adidarma Dyaksa Kasiwan dan seorang Adidarma Dyaksa Kabudan,
yakni kepala agama Siwa dan kepala agama Buda dengan sebutan Sang
Maharsi, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam Kerajaan
Kadiri dan segala Perundang-undangan didasarkan agama.
Budaya yang menonjol pada zaman Kediri adalah pertunjukan wayang, di
Kediri dikenal sebagai wayang panji. Karya sastra juga berkembang pesat.
Banyak karya sastra yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja
pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab
Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu
dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut
beberapa kali sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun
dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama 1079 Saka. Selain
itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa.
Berikut adalah karya-karya yang tercipta selama masa Kerajaan Kediri:

1. Kitab Baratayuda, ditulis pada masa Raja Jayabaya, untuk memberikan


gambaran tentang terjadinya perang saudara antara panjalu melawan
jenggala. Perang saudara tersebut, pada kitab Baratayuda, digambarkan
seperti perang Kurawa dengan Pandhawa yang masing-masing merupakan
keturunan Barata.
2. Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair
yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
3. Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja.
Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama.
Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah
Dahana.
4. Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah
Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena
pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke
surga.
5. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna
sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan
sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
6. Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan
Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.

Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. candi
peninggalan kerajaan kediri diantaranya:

1. Candi Mirigambar, berlokadi di Sumbergempol, Tulungagung. Bangunan


candi yang dibangun pada 1214 Saka ini memiliki relief unik dengan
ukiran berbentuk sosok perempuan dan laki-laki. Selain kedua candi
tersebut, terdapat Candi Tondowongso dan Candi Gurah sebagai
peninggalan Kerajaan Kediri. Kitab peninggalan Kerajaan Kediri
Kebudayaan Kerajaan Kediri mengalami perkembangan pesat, terutama
dalam bidang sastra. 
2. Candi Penataran, terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok,
Kabupaten Blitar. Dibanding candi-candi di Jawa Timur lainnya, kompleks
Candi Penataran merupakan yang terluas dan terlengkap unsur-unsurnya.
Kompleks candi seluas 1,5 hektar ini terdiri dari tiga halaman. Pada
halaman ketiga, terdapat bangunan candi induk dengan ukuran terbesar. Di
sebelah selatan candi induk ini terdapat prasasti yang dikeluarkan oleh Raja
Srengga dari Kerajaan Kediri. Isi prasasti tersebut adalah tentang peresmian
sebuah perdikan untuk kepentingan Sira Paduka Batara Palah (Candi
Penataran).
3. Candi Penataran, merupakan candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini
terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada
ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi
diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan
Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan sampai masa
pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun
1415.
4. Candi Gurah, terletak di kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Pada tahun
1957 pernah ditemukan sebuah candi yang jaraknya kurang lebih 2 km dari
Situs Tondowongso yang dinamakan Candi Gurah namun karena
kurangnya dana kemudian candi tersebut dikubur kembali.
5. Candi Tondowongso, merupakan situs temuan purbakala yang ditemukan
pada awal tahun 2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs
seluas lebih dari satu hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk
periode klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak
penemuan Kompleks Percandian Batujaya), meskipun Prof.Soekmono
pernah menemukan satu arca dari lokasi yang sama pada tahun 1957.
Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya sejumlah arca oleh sejumlah
perajin batu bata setempat.Berdasarkan bentuk dan gaya tatahan arca yang
ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan masa Kerajaan Kediri
awal (abad 11), masa-masa awal perpindahan pusat politik dari kawasan
Jawa Tengah ke Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari
sejumlah karya sastra namun tidak banyak diketahui peninggalannya dalam
bentuk bangunan atau hasil pahatan.
6. Candi Tuban, pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965 melanda
Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yaitu aksi menghancurkan ikon-ikon
kebudayaan dan benda yang dianggap berhala terjadi. Candi Mirigambar
luput dari pengrusakan karena adanya petinggi desa yang melarang
merusak candi ini dan kawasan candi yang dianggap angker.Massa pun
beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena candi ini terletak di
Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten
Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar.
Candi Tuban sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini
dipendam dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan
bebek.Menurut Pak Suyoto, jika warga mau kembali menggalinya, maka
kira-kira setengah sampai satu meter dari dalam tanah, pondasi Candi
Tuban bisa tersingkap dan relatif masih utuh. Pengrusakan atas Candi
Tuban juga didasari legenda bahwa Candi Tuban menggambarkan tokoh
laki-laki Aryo Damar, dalam legenda Angling Dharma dan jika sang laki-
laki dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai kemenangan.

Adapun kisah yang ditulis dalam bentuk prasasti. Prasasti peninggalan


Kerajaan Kediri diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan


Panjalu  atas Jenggala.
2. Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada masa
Jayabaya.
3. Prasasti Sirah Keting (1104 M), memuat pemberian hadiah tanah kepada  
rakyat desa oleh Jayawarsa.
4. Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah    
keagamaan ,  berasal dari raja Bameswara.
5. Prasasti Ngantang (1135M), menyebutkan raja Jayabaya  yang
memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang sebidang tanah yang
bebas dari pajak.
6. Prasasti Jaring (1181M), dari raja Gandra yang memuat sejumlah nama
pejabat dengan menggunakan nama hewan seperi Kebo Waruga dan Tikus
Jinada.
7. Prasasti Kamulan (1194M) , memuat masa pemerintahan Kertajaya ,
dimana Kediri berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi istana
Katang-Katang.
8. Prasasti Galunggung, memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm,
lebar bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di
sekeliling prasasti Galunggung banyak terdapat tulisan memakai huruf
Jawa kuno. Tulisan itu berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa
dilihat mata. Sedangkan di sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang
lantaran rusak dimakan usia. Di bagian depan, ada sebuah lambang
berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi
panjang dengan beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di salah satu
sisi prasasti.
9. Prasasti Panumbangan, pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja
Bameswara mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang permohonan
penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas
daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan
desa Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja sebelumnya yang
dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti
ini diperkirakan adalah Sri Jayawarsa.
10. Prasasti Talan, terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti ini
berangka tahun 1058 Saka (1136 Masehi). Cap prasasti ini adalah
berbentuk Garudhamukalancana pada bagian atas prasasti dalam bentuk
badan manusia dengan kepala burung garuda serta bersayap.Isi prasasti ini
berkenaan dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah
Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan cap
kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara Guru pada
tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan menetapkan Desa Talan
sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak
sehingga mereka memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas batu
dengan cap kerajaan Narasingha.Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan
warga Talan karena kesetiaan yang amat sangat terhadap raja dan
menambah anugerah berupa berbagai macam hak istimewa.

Adapun sebuah peninggalan dari kerajaan Kediri yang berupa arca, yakni
arca buddha Vajrasattva peninggalan Kediri yang kini merupakan Koleksi
Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
C. Kehidupan Perekonomian
Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya
memang sangat mengagumkan (Gonda, 1925 : 111). Kerajaan yang
beribukota di Dahanapura bawah kaki Gunung Kelud ini tanahnya amat subur,
sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Pertanian dan
perkebunan hasilnya berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai
Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga
makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi.
Hasil bumi itu kemudian diangkut ke Kota Jenggala, dekat Surabaya,
dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar
sehingga Kerajaan Kadiri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang
Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja.
Dalam kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian Kediri
bersumber atas usaha  perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal
sebagai penghasil beras,menanam kapas dan memelihara ulat sutra. Dengan
demikian dipandang dariaspek ekonomi, kerajaan Kediri sudah cukup
makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan
tetap kepada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi.
Demikian keterangan yang diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan
kitab Ling-wai-tai-ta.
Untuk menopang  penghasilan kerajaan, diberlakukan sistem pajak.
Komoditas dagang berupa beras, emas, perak, daging,  dan kayu cendana.
Adapun bentuk pajak berupa beras, kayu, dan palawija.
Kerajaan Panjalu yang berkuasa di Jawa bersama dengan Kedatuan
Sriwijaya yang berbasis di Sumatera sepanjang abad ke 12 hingga ke-13,
tampaknya telah mempertahankan hubungan perdagangan
dengan Tiongkok dan sampai batas tertentu dengan India. Catatan Cina
mengidentifikasi kerajaan ini sebagai Tsao-wa atau Chao-wa (Jawa), sejumlah
catatan Tiongkok menandakan bahwa penjelajah dan pedagang Cina sering
mengunjungi kerajaan ini. Hubungan dengan India adalah hubungan budaya,
karena sejumlah Rakawi (penyair atau sarjana) Jawa menulis literatur yang
diilhami oleh mitologi, kepercayaan, dan
epos Hindu seperti Mahabharata dan Ramayana.

D. Kehidupan Keagamaan
Agama yang berkembang di Kediri adalah agama hindu aliran Waisnawa
(Airlangga titisan Wisnu). Dalam bidang spiritual di Kerajaan Kediri juga
sangat maju. Tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru kebatinan
mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang Prabu sendiri kerap
melakukan tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau suka bermeditasi di tengah
hutan yang sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling,
mengurangi makan tidur.
Hal ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila
Prabu Jayabhaya ngerti sadurunge winarah (Tahu sebelum terjadi) yang bisa
meramal owah gingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan untuk membaca
tanda-tanda jaman saat in
Prabu Jayabaya memerintah antara 1130 – 1157 M. Dukungan spiritual
dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak
tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan
menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa. Kalau rakyat
kecil hingga saat ini ingat pada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada
masanya berkuasa tindakannya selalu bijaksana dan adil terhadap rakyatnya.
Kehidupan beragama sudah diatur juga dalam Undang-undang. Tiap bab
memuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga ada sistematika dalam penyusunan.
Sudah pasti bahwa susunannya semula menganut suatu sistem. Kitab hukum
per Undang-undangan itu disusun sebagai berikut :

Bab I : Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan diplomasi,


aliansi,   konstribusi dan  sanksi.

Bab II : Astadusta, berisi tentang sanksi delapan kejahatan


(penipuan, pemerasan,  pencurian, pemerkosaan,
penganiayaan, pembalakan,

Bab III : Kawula, berisi tentang hak-hak dan kewajiban masyarakat


sipil.

Bab IV : Astacorah, berisi tentang delapan macam penyimpangan 


administrasi  kenegaraan.

Bab V : Sahasa, berisi tentang sistem pelaksanaan transaksi yang


berkaitan pengadaan barang dan jasa.

Bab VI : Adol-atuku, berisi tentang hukum perdagangan.

Bab VII : Gadai atau Sanda, berisi tentang tata cara pengelolaan
lembaga  pegadaian.

Bab VIII : Utang-apihutang, berisi aturan pinjam-meminjam

Bab IX : Titipan, berisi tentang sistem lumbung dan penyimpanan

Bab X : Pasok Tukon, berisi tentang hukum perhelatan.

Bab XI : Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan.

Bab XII : Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak asusila.

Bab XIII : Drewe kaliliran, berisi tentang sistem pembagian warisan.

Bab XIV : Wakparusya, berisi tentang sanksi penghinaan dan


pencemaran  nama baik.

Bab XV : Dendaparusya, berisi tentang sanksi pelanggaran


administrasi

Bab XVI : Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian yang


menyebabkan  kerugian publik.
Bab XVII : Atukaran, berisi tentang sanksi karena menyebarkan
permusuhan.

Bab XVIII : Bumi, berisi tentang tata cara pungutan pajak

Bab XX : Dialek, berisi tentang sanksi karena melakukan kebohongan


publik

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerajaan Kediri atau Panjalu yang merupakan kerajaan hasil bagi dari
kerajaan Medang di Jawa Timur pada masa raja. Kerajaan yang berada di
sekitar wilayah Kediri (sekarang) ini mengalami masa puncak kejayaan pada
masa raja Jayabaya yang sangat terkenal dengan ilmu dan keahliannya dalam
membaca masa depan atau meramal. Tak hanya cakap dalam meramal, bahkan
raja Jayabaya yang membawa kemakmuran bagi Kediri telah mampu
mengelola dan memimpin kerajaannya dengan sangat baik.
Hal ini terbukti dari berbagai peninggalan sejarah yang telah
direkonstruksikan dan memberitahukan kepada pembaca sekarang bahwa pada
zaman kerajaan Kediri telah muncul berbagai sastra dan budaya yang sangat
luar biasa, mulai dari kitab Bharatayudha, Hariwangsa sampai Gatotkacasraya.
Kerajaan Kediri pada masa itu merupakan kerajaan yang mandiri dan makmur,
yang secara ekonomi mengalami kecukupan dengan mendayagunakan
pertanian, perdagangan, dan peternakan.
Kehidupan yang makmur membuat masyarakat dalam aspek sosial
mengalami hal yang senada. Karena dipimpin raja yang bijak, tak urung
kemajuan dari masyarakat yang berkecukupan dalam hal sandang, pangan dan
papan. Tak hanya dalam hal fisik yang mencoba dibangun oleh raja Jayabaya 
pada saat itu juga telah diberlakukan ketertiban dan hukum yang jelas dank
eras bagi seluruh rakyat Kediri. Walaupun kemakmuran tersebut tidak
berlangsung lama karena kemudian kegelapan mengganti masa-masa jaya
kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya (1222 M).
Kerincuhan dan selisih paham yang berlaku dan terjadi antara Kertajaya
dan kaum brahmana ternyata membawa akhir bagi kerajaan Kediri. Brahnama
yang tidak sepahan meminta bantuan Ken Arok yang pada saat itu juga sedang
gencar-gencarnya melakukan usaha ekspansionis untuk mendirikan sebuah
kerajaan yang pada akhirnya bernama Singasari.
Namun, keberadaab kerajaan Kediri merupakan sebuah bukti eksistensi
dan kemakmuan salah satu kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus dinasti
Isyana. Dengan sistem pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budaya, dan
agama yang mengalami kemajuan secara gilang-gemilang.

Anda mungkin juga menyukai