Anda di halaman 1dari 57

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan


dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok,
dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal
tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di
Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari
Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.

Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu
kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.

Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada
masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di
Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun
670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan
Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa
Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil
memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta
hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi
hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita
Ramayana.

Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan


bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan Demak di
Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan
Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era ini.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia?

3. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui sejarah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha
di Indonesia.

4. Manfaat

Adapun manfaat dari makalah ini adalah untuk mengetahui sejarah kerajaan-kerajaan
Hindu-Budha di Indonesia.

1
BAB 2 PEMBAHASAN

1. Kerajaan-kerajaan masa Hindu-Budha di Indonesia

1. Kerajaan Kutai

A. Sejarah Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai (Martadipura) merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia.


Kerajaan Kutai diperkirakan muncul pada abad 5 M atau ± 400 M. Kerajaan ini
terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur (dekat kota Tenggarong), tepatnya di
hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti
yang menggambarkan kerajaan tersebut. Nama Kutai diberikan oleh para ahli karena
tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini. Karena memang
sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh akibat kurangnya sumber sejarah.

Keberadaan kerajaan tersebut diketahui berdasarkan sumber berita yang


ditemukan yaitu berupa prasasti yang berbentuk yupa / tiang batu berjumlah 7 buah.
Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa sansekerta tersebut, dapat
disimpulkan tentang keberadaan Kerajaan Kutai dalam berbagai aspek kebudayaan,
antara lain politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Adapun isi prasati tersebut
menyatakan bahwa raja pertama Kerajaan Kutai bernama Kudungga.

Ia mempunyai seorang putra bernama Asawarman yang disebut sebagai


wamsakerta (pembentuk keluarga). Setelah meninggal, Asawarman digantikan oleh
Mulawarman. Penggunaan nama Asawarman dan nama-nama raja pada generasi
berikutnya menunjukkan telah masuknya pengaruh ajaran Hindu dalam Kerajaan
Kutai dan hal tersebut membuktikan bahwa raja-raja Kutai adalah orang Indonesia asli
yang telah memeluk agama Hindu.

B. Raja-Raja Kerajaan Kutai

1. Maharaja Kudungga

Raja pertama yang berkuasa di kerajaan kutai. Nama Maharaja Kudungga


oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum
terpengaruh dengan nama budaya India.Dapat kita lihat, nama raja tersebut masih
menggunakan nama lokal sehingga para ahli berpendapat bahwa pada masa
pemerintahan Raja Kudungga pengaruh Hindu baru masuk ke wilayahnya. Kedudukan
Raja Kudungga pada awalnya adalah kepala suku. Dengan masuknya pengaruh Hindu,
ia mengubah struktur pemerintahannya menjadi kerajaan dan mengangkat dirinya
sebagai raja, sehingga penggantian raja dilakukan secara turun temurun.

2
2. Maharaja Asmawarman

Prasasti yupa menceritakan bahwa Raja Aswawarman adalah raja yang cakap
dan kuat. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kutai diperluas lagi. Hal ini
dibuktikan dengan dilakukannya Upacara Asmawedha pada masanya. Upacara-
upacara ini pernah dilakukan di India pada masa pemerintahan Raja Samudragupta
ketika ingin memperluas wilayahnya. Dalam upacara itu dilaksanakan pelepasan kuda
dengan tujuan untuk menentukan batas kekuasaan Kerajaan Kutai ( ditentukan dengan
tapak kaki kuda yang nampak pada tanah hingga tapak yang terakhir nampak disitulah
batas kekuasaan Kerajaan Kutai ). Pelepasan kuda-kuda itu diikuti oleh prajurit
Kerajaan Kutai.

3. Maharaja Mulawarman

Raja Mulawarman merupakan anak dari Raja Aswawarman yang menjadi


penerusnya. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh
bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Raja Mulawarman adalah raja
terbesar dari Kerajaan Kutai. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Kutai mengalami
masa kejayaannya. Rakyat-rakyatnya hidup tentram dan sejahtera hingga Raja
Mulawarman mengadakan upacara kurban emas yang amat banyak.

4. Maharaja Irwansyah
5. Maharaja Sri Aswawarman
6. Maharaja Marawijaya Warman
7. Maharaja Gajayana Warman
8. Maharaja Tungga Warman
9. Maharaja Jayanaga Warman
10. Maharaja Nalasinga Warman
11. Maharaja Nala Parana Tungga
12. Maharaja Gadingga Warman Dewa
13. Maharaja Indra Warman Dewa
14. Maharaja Sangga Warman Dewa
15. Maharaja Singsingamangaraja XXI
16. Maharaja Candrawarman
17. Maharaja Prabu Nefi Suriagus
18. Maharaja Ahmad Ridho Darmawan
19. Maharaja Riski Subhana
20. Maharaja Sri Langka Dewa
21. Maharaja Guna Parana Dewa
22. Maharaja Wijaya Warman
23. Maharaja Indra Mulya
24. Maharaja Sri Aji Dewa
25. Maharaja Mulia Putera
26. Maharaja Nala Pandita
27. Maharaja Indra Paruta Dewa
3
28. Maharaja Dharma Setia

C. Bukti Sejarah Peninggalan Kerajaan Kutai

Peninggalan Sejarah Kerajaan Kutai Di abad 21 sekarang ini, beberapa


peninggalan sejarah Kerajaan Kutai masih bisa kita temukan di Museum Mulawarman
yang letaknya ada di Kota Tenggarong, Kutai Kartanegara. Jika Anda suatu saat
berkunjung ke kota itu, sempatkanlah diri Anda untuk menengok bukti kebesaran dari
kerajaan kutai. Saya sendiri beberapa waktu lalu berkunjung ke sana. Dengan tiket
masuk Rp. 2.000, saya telah berhasil menikmati bukti eksotika masa lampau dengan
melihat beberapa penginggalan kerajaan kutai. Apa saja peninggalannya yaitu sebagai
berikut :

1. Prasasti Yupa

Prasasti Yupa adalah salah satu peninggalan sejarah kerajaan kutai yang
paling tua. benda bersejarah satu ini merupakan bukti terkuat adanya kerajaan hindu
yang bercokol di atas tanah Kalimantan. Sedikitnya ada 7 prasasti yupa yang hingga
kini masih tetap ada.

2. Ketopong Sultan

Ketopong adalah mahkota Sultan Kerajaan Kutai yang terbuat dari emas.
Beratnya 1,98 kg dan saat ini disimpan di Musium Nasional di Jakarta. Ketopong
sultan kutai ditemukan pada 1890 di daerah Muara Kaman, Kutai Kartanegara. Di
Musium Mulawarman sendiri, ketopong yang dipajang adalah ketopong tiruan.

3. Kalung Ciwa

Kalung Ciwa adalah peninggalan sejarah kerajaan Kutai yang ditemukan


pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Penemuan terjadi pada
tahun 1890 oleh seorang penduduk di sekitar Danau Lipan, Muara Kaman. Kalung
Ciwa sendiri hingga saat ini masih digunakan sebagai perhiasan kerajaan dan dipakai
oleh sultan saat ada pesta penobatan sultan baru.

4. Kalung Uncal

Kalung Uncal adalah kalung emas seberat 170 gram yang dihiasi liontin
berelief cerita ramayana. Kalung ini menjadi atribut kerajaan Kutai Martadipura dan
mulai digunakan oleh Sultan Kutai Kartanegara pasca Kutai Martadipura berhasil di
taklukan. Adapun berdasar penelitian para ahli, kalung uncal sendiri diperkirakan
berasal dari India (Unchele). Di dunia, saat ini hanya ada 2 kalung uncal, satu berada
di India dan satunya lagi ada di Museum Mulawarman, Kota Tenggarong.

4
5. Kura-Kura Emas

Peninggalan sejarah kerajaan kutai yang menurut saya cukup unik adalah
kura-kura emas. Benda ini sekarang ada di Musium Mulawarman. Ukurannya sebesar
setengah kepalan tangan. Dan berdasarkan label yang tertera di dalam etalasenya,
benda unik ini ditemukan di daerah Long Lalang, daerah yang terletak di hulu sungai
Mahakam. Adapun berdasar riwayat, benda ini diketahui merupakan persembahan dari
seorang pangeran dari Kerajaan di China bagi sang putri raja Kutai, Aji Bidara Putih.
Sang Pangeran memberikan beberapa benda unik pada kerajaan sebagai bukti
kesungguhannya yang ingin mempersunting sang putri.

6. Pedang Sultan Kutai

Pedang Sultan Kutai terbuat dari emas padat. Pada gagang pedang terukir
gambar seekor harimau yang sedang siap menerkam, sementara pada ujung sarung
pedang dihiasi dengan seekor buaya. Pedang Sultan Kutai saat ini dapat Anda lihat di
Museum Nasional, Jakarta.

7. Tali Juwita

Tali juwita adalah peninggalan kerajaan kutai yang menyimbolkan 7 muara


dan 3 anak sungai (sungai Kelinjau, Belayan dan Kedang Pahu) yang dimiliki sungai
mahakam. Tali juwita terbuat dari benang yang banyaknya 21 helai dan biasanyan
digunakan dalam upacara adat Bepelas.

8. Keris Bukit

Kang Keris bukit kang adalah keris yang digunakan oleh Permaisuri Aji Putri
Karang Melenu, permaisuri Raja Kutai Kartanegara yang pertama. Berdasarkan
legenda, permaisuri ini adalah putri yang ditemukan dalam sebuah gong yang hanyut
di atas balai bambu. Dalam gong tersebut, selain ada seorang bayu perempuan, di
dalamnya juga terdapat sebuah telur ayam dan sebuah keris, keris bukit kang.

9. Kelambu Kuning

Ada beberapa benda peninggalan kerajaan yang dipercaya memiliki kekuatan


magis oleh masyarakat adat Kutai hingga saat ini. benda-benda ini ditempatkan dalam
kelambu kuning untuk menghindari tuah dan bala yang bisa ditimbulkannya. Beberapa
benda peninggalan sejarah kerajaan kutai tersebut antara lain kelengkang besi, tajau,
gong raden galuh, gong bende, arca singa, sangkoh piatu, serta Keliau Aji Siti
Berawan.

10. Singgasana Sultan

Singgasana sultan merupakan peninggalan sejarah kerajaan kutai yang masih


tetap terjaga hingga kini. Benda tersebut terletak di Museum Mulawarman. Dahulu
5
Setinggil / Singgasana ini digunakan oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sultan Aji
Muhammad Parikesit, dan raja-raja kerajaan kutai sebelumnya. Singgasana ini juga
dilengkapi dengan payung, umbul-umbul, dan peraduan pengantin Kutai Keraton.

11. Meriam Kerajaan kutai

Merupakan kerajaan yang dilengkapi dengan sistem pertahanan kuat. Hal ini
dibuktikan oleh banyaknya peninggalan sejarah berupa meriam dan beberapa alat bela
diri lainnya. Adapun meriam, kerajaan kutai memiliki 4 yang hingga kini masih
terjaga dengan rapi. Keempat meriam tersebut antara lain Meriam Sapu Jagat, Meriam
Gentar Bumi, Meriam Aji Entong, dan Meriam Sri Gunung.

12. Tombak Kerajaan Majapahit

Tombak-tombak tua yang berasal dari Kerajaan Majapahit juga merupakan


peninggalan sejarah kerajaan kutai. Ya, tombak-tombak tersebut telah ada di Muara
Kaman sejak dulu. Ini membuktikan jika kerajaan kutai dan Kerajaan Majapahit pada
masa silam memiliki hubungan yang sangat erat.

13. Keramik Kuno Tiongkok

Ratusan keramik kuno yang diperkirakan berasal dari berbagai dinasti di


kekaisaran Cina tempo dulu yang sempat ditemukan tertimbun di sekitar danau Lipan
membuktikan bahwa kerajaan kutai dan kekaisaran china telah melakukan hubungan
perdagangan yang erat pada masa silam. Ratusan keramik kuno yang menjadi
peninggalan sejarah kerajaan Kutai itu kini tersimpan di ruang bawah tanah musium
mulawarman di Tenggarong, Kutai kartanegara.

14. Gamelan Gajah Prawoto

Di Museum Mulawarman saat ini juga terdapat seperangkat gamelan.


Gamelan-gamelan ini diyakini berasal dari pulau Jawa. Tak hanya itu, beberapa
topeng, keris, pangkon, wayang kulit, serta barang-barang kuningan dan perak yang
ada sebagai peninggalan sejarah kerajaan kutai tempo silam juga membuktikan bahwa
telah ada hubungan erat antara kerajaan-kerajaan di Jawa dengan Kerajaan Kutai
Kartanegara

D. Kehidupan Politik Kerajaan Kutai

Kehidupan politik yang dijelaskan dalam yupa bahwa raja terbesar Kutai
adalah Mulawarman, putra Aswawarman dan Aswawarman adalah putra Kudungga.
Dalam yupa dijelaskan bahwa Aswawarman disebut sebagai Dewa Matahari dan
pendiri keluarga raja. Hal ini berarti Aswawarman sudah menganut agama Hindu dan
dipandang sebagai pendiri keluarga. Berikut adalah penjelasan mengenai raja – raja di
Kutai.

6
Raja Kudungga adalah raja pertama yang berkuasa di Kerajaan Kutai. Tetapi,
apabila dilihat dari nama Raja yang masih menggunakan nama Indonesia, para ahli
berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Raja Kudungga berpendapat bahwa pada
masa pemerintahan Raja Kudungga pengaruh Hindu baru masuk ke wilayahnya.
Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah kepala suku.

Aswawarman adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia


juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar
Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putra
dan salah satunya adalah Mulawarman.

Mulawarman kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta jika dilihat dari cara
penulisannya. Mulawarman adalah raja terbesar dari Kerajaan Kutai. Di bawah
pemerintahannya, Kerajaan Kutai mengalami masa yang gemilang. Dari Yupa
diketahui bahwa masa pemerintahan Mulawarman, kerajaan Kutai mengalami masa
keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan
Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur

E. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kutai

Kehidupan ekonomi di kutai disebutkan dalam salah satu prasasti bahwa Raja
Mulawarman telah mengadakan upacara korban emas dan menghadiahkan 20.000 ekor
sapi untuk golongan Brahmana. Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi
tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi tersebut didatangkan dari tempat lain, bisa
disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah melakukan kegiatan dagang.

F. Kehidupan Sosial Dan Budaya Kerajaan Kutai

Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan yang harmonis antara Raja


Mulawarman dengan Kaum Brahmana, seperti yang dijelaskan dalam Yupa, bahwa
Raja Mulawarman memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada Kaum Brahmana di
dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara. Istilah Waprakeswara tempat suci
untuk memuja Dewa Siwa.

Dalam kehidupan budaya Kerajaan Kutai sudah maju. Hal ini dibuktikan
melalui upacara penghinduan yang disebut Vratyastoma. Pada masa Mulawarman
upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta Brahmana dari orang Indonesia
asli. Adanya kaum Brahmana asli orang Indonesia membuktikan bahwa kemampuan
intelektualnya tinggi, terutama penguasaan terhadap bahasa Sanskerta.

G. Kejayaan Kerajaan Kutai

Masa kejayaan Kerajaaan Kutai berada pada massa pemerintahan Raja


Mulawarman. Hal ini karena beliau begitu bijaksana dan royal bagi hal-hal yang
religius. Para brahmana dihadiahi emas, tanah, dan ternak secara adil, pengadaan

7
upacara sedekah di tempat yang dianggap suci atau Waprakeswara. Dan dibuktikan
juga dengan pemberian sedekah kepada kaum Brahmana berupa 20.000 ekor sapi.
Jumlah 20.000 ekor sapi ini membuktikan bahwa pada masa itu kerajaan Kutai telah
mempunyai kehidupan yang makmur dan telah mencapai massa kejayaannya.

H. Runtuhnya Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma
Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran
Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda
dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai
Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam
sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam
yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

2. Kerajaan Tarumanegara

A. Sejarah Kerajaan Tarumanegara

Pada abad ke 4 sampai dengan abad ke 7 masehi, kerajaan ini menguasai


wilayah bagian barat pulau Jawa, nama Tarumanagara diambil dari dua kata yaitu
Tarum dan Nagara, bagi Anda yang belum tahu, Tarum ialah nama sungai yang
sekarang ini dikenal dengan nama sungai Citarum, sementara Nagara artinya adalah
kerajaan atau negara.

Kerajaan Tarumanagara mencatat bahwa kerajaan Tarumanagara adalah


kerajaan Hindu paling tua ke dua di Indonesia,posisi pertama kerajaan hindu tertua di
indonesia di tempati oleh Kerajaan Kutai dan kerajaan Tarumanagara dikenal juga
dengan sebutan Kerajaan Tarum.

Kerajaan Tarumanegara memulai kegiatan perekonomian dari peternakan dan


pertanian, kegiatan ekonomi ini diketahui dari adanya Prasasti Tugu yang di dalamnya
berisi tentang pembangunan saluran Gomati dengan panjang 12 km atau 6112 tombak,
pembangunan ini dikerjakan selama 21 hari, Selain dari hal itu, banyak dari
masyarakat Kerajaan Tarumanagara yang bekerja sebagai pedagang, hal ini dilihat dari
lokasinya yang dekat dengan selat Sunda.

Sejarah Lengkap Kerajaan Tarumanagara mencatat bahwa puncak masa


kejayaan Kerajaan Tarumanagara adalah saat dipimpin oleh Raja Purnawarman,
pasalnya pada masa tersebut, Kerajaan Tarumanagara bersiasat untuk memperluas
daerah kekuasaannya, dari catatan sejarah, diketahui bahwa luas Kerajaan
Tarumanagara hampir seluas daerah Jawa Barat saat ini, tak hanya itu, Raja
Purnawarman diketahui juga menyusun pustaka seperti peraturan angkatan perang,
undang-undang kerjaan, silsilah dinasti Warman dan siasat perang.

8
B. Silsilah Kerajaan Tarumanegara

Berikut adalah silsilah dan yang pernah memerintah kerajaan tarumanegara:

1. Jayasingawarman (358 – 382)


2. Dharmayawarman (382 – 395)
3. Purnawarman (395 – 434)
4. Wisnuwarman (434-455)
5. Indrawarman (455-515)
6. Candrawarman (515-535)
7. Suryawarman (535 – 561)
8. Sudhawarman (628-639)
9. Hariwangsawarman (639-640)
10. Nagajayawarman (640-666)
11. Linggawarman (666-669)
12. Kertawaman (561 – 628)
C. Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

Peninggalan kerajaan tarumanegara mencatat bahwa peninggalan kerajaan


tarumanegara memiliki beberapa benda yaitu di antara lain nya:

1. Prasati Ciaruteun

Benda ini ditemukan di tepi Sungai Ciarunteun, yaitu didekat Sungai


Cisadane Bogor, yang disebut dengan nama Tarumanegara, Raja Purnawarman,
menemukan sepasang lukisan dengan gambar telapak kaki dengan di klaim sebagai
telapak kai Dewa Wisnu, akan halnya gamabar sepasang telapak kaki yang berada di
prasasti tersebut melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut dan kedudukan
Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu yang dianggap sebagai penguasa
sekaligus pelindung rakyat, prasasti yang ditulis menggunakan huruf Pallawa dan
bahasa Sanskerta 4 baris tersebut juga dikenal dengan Prasasti Ciampea.

2. Prasasti Kebon Kopi

Prasasti kebon kopi yang berbentuk batu yang bergambar bekas dua tapak
kaki gajah yang di identikkan dengan gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan Dewa
Wisnu, prasasti yang ditemukan di Kampung Muara Hilir, Kecamatan Cibungbulang
juga ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta.

3. Prasasti Tugu

Prasasti Tugu terdiri dari 5 baris yang ditulis dengan aksara Pallawa dan
bahasa Sanskerta yang ditemukan di Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
Prasasti Tugu berisi tentang Raja Purnawarman yang memerintah untuk menggali

9
saluran air Gomati dan Chandrabaga sepanjang 6.112 tombak yang selesai dalam 21
hari.

4. Prasasti Jambu

Prasasti jambu yang ditemukan di bukit Koleangkak Bogor yang berisi


tentang sanjungan kebesaran, kegagahan, dan keberanian Raja Purnawarman, Prasasti
Jambu terukir sepasang telapak kaki dan terdapat keterangan puisi dua baris dengan
aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta

5. Prasasti Muara Cianten

Prasasti ini ditemukan di Bogor dengan aksara ikal, akan tetapi prasasti
Muara Cianten tersebut belum dapat dibaca.

6. Prasasti Cidanghiyang

Prasasti Cidanghiyang ditemukan di kampung Lebak, pinggir Sungai


Cidanghiang, Pandeglang-Banten, prasasti yang baru ditemukan pada tahun 1947
berisi “Inilah tanda keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguh-
sungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman, yang menjadi panji sekalian
raja”, Prasasti Cidanghiang juga disebut Prasasti lebak ditulis dengan huruf Pallawa
dan bahasa Sansekerta.

7. Prasasti Pasir Awi

Ditemukan di Leuwiliang dengan aksara Ikal yang belum dapat dibaca. Pada
prasasti ini terdapat pahatan gambar dahan dengan ranting, dedaunan serta buah-
buahan, dan gambar sepasang telapak kaki.

D. Letak kerajaan Tarumanegara

Letak kerajaan Tarumanegara adalah bagian di sekitar Jawa Barat, Wilayah


tersebut meluas seiring perkembangan kerajaan ini setelah dipimpin oleh Raja
Purnawarman, Raja Purnawarman, seperti yang dijelaskan dalam Prasasti Ciaruteun,
Prasasti Kebon Kopi, dan beberapa prasasti lainnya ialah sosok raja yang sangat
pandai berperang.

Kini berhasil melakukan ekspansi atau perluasan kawasan lalu berperang dan
penaklukan terhadap Kerajaan Salakanagara yang sebelumnya juga ikut berkuasa di
tanah Sunda, melalui ekspansi itu, wilayah dan letak Kerajaan Tarumanegara semakin
meluas bahkan hingga daerah Jakarta (Tanjung Priok) dan Banten.

10
E. Agama Kerajaan Tarumanegara

Agama kerajaan tarumanegara adalah Hindu yang berkembang di wilayah


Kerajaan Tarumanegara adalah Hindu Waesnawa atau Hindu Wisnu, bukti ini terdapat
dalam prasasti Ciaruteun yang dibuat dengan meninggalkan jejak kaki Purnawarman
dengan adanya lambang penjelmaan Dewa Wisnu, dalam agama ini Dewa Wisnu
dianggap sebagai Dewa tertinggi, agama ini hanya berkembang di wilayah istana atau
keluraga kerabat besar kerajaan, sementara itu masyarakat Tarumanegara sebagian
besar menganut kepercayaan asli yaitu animisme dan dinamisme.

F. Kehidupan Politik Kerajaan Tarumanegara

Berdasarkan tulisan-tulisan yang berada pada prasasti diketahui bahwa raja


yang pernah memerintah di tarumanegara hanyalah raja purnawarman, Raja
purnawarman adalah raja besar yang telah berhasil memberikan kemakmuran
kehidupan rakyatnya, hal ini dibuktikan dari prasasti tugu yang menyatakan raja
purnawarman telah memerintah untuk menggali sebuah kali, penggalian sebuah kali
ini sangat besar artinya, karena pembuatan kali ini merupakan pembuatan saluran
irigasi untuk memperlancar pengairan sawah-sawah pertanian rakyat.

G. Kehidupan Sosial

Kehidupan sosial kerajaan tarumanegara sudah tertata dengah rapih, hal ini
terlihat dari upaya raja purnawarman yang terus berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraan kehidupan rakyatnya, Raja purnawarman juga sangat memperhatikan
kedudukan kaum brahmana yang dianggap penting dalam melaksanakan setiap
upacara korban yang dilaksanakan di kerajaan sebagai tanda penghormatan kepada
para dewa.

H. Kehidupan Ekonomi

Prasasti tugu menyatakan bahwavraja purnawarman memerintahkan


rakyatnya untuk membuat sebuah terusan sepanjang 6122 tombak, pembangunan
terusan ini memiliki arti ekonomis yang besar bagi masyarakat sekitar wilayah
tersebut, karena dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencegah banjir dan sarana
lalu-lintas pelayaran perdagangan antar daerah di kerajaan tarumanegara dengan dunia
luar, Juga perdagangan dengan daera-daerah di sekitarnya, imbasnya kehidupan
perekonomian masyarakat kerajaan tarumanegara sudah banyak kemajuan

I. Kehidupan Budaya

Dilihat dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti-prasasti yang
ditemukan sebagai bukti kebesaran kerjaan tarumanegara, telah diketahui bahwa
tingkat kebudayaan masyarakat pada saat itu sudah besar, selain sebagai peninggalan

11
budaya, keberadaan prasasti-prasasti tersebut menunjukkan telah berkembangnya
kebudayaan tulis menulis di kerajaan tarumanegara.

Masa keruntuhan kerajaan Tarumanegara dialami setelah kerajaan ini


dipimpin oleh raja generasi ke 13, yang bernama Raja Tarusbawa, keruntuhan
kerajaan Hindu pertama di Pulau Jawa ini karena tidak ada kepemimpinan lantaran
Raja Tarusbawa lebih menginginkan memimpin kerajaan kecilnya di hilir sungai
Gomati, selain itu, gempuran beberapa kerajaan lain di nusantara pada masa itu, lebih-
lebih kerajaan Majapahit pula memegang andil penting dalam keruntuhan Kerajaan
Tarumanegara itu.

Pada kepemimpinan Sudawarman, tarumanegara sudah mulai nampak


mengalami kemunduran terdapat dari beberapa faktor penyebab kemunduran atau
keruntuhan kerajaan tarumanegara, contoh pertama adalah memberikan ekonomi pada
raja-raja di bawah kerajaan tarumanegara yang di berikan kepada raja sebelum nya,
sudawarwan secara emosional juga tidak menguasai persoalan di tarumanegara, beliu
dari kecil tinggal di kanci, wilayah palawa, hal tersebut sehingga tidak peduli masalah
yang menimpa di kerajaan tersebut.

3. Kerajaan Kalingga

A. Sejarah Kerajaan Kalingga

Kalingga atau Ho-ling “sebutan dari sumber Tiongkok” merupakan sebuah


kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Yang
letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara
Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang.

Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan
diperoleh dari sumber catatan Tiongkok, tradisi kisah setempat dan naskah Carita
Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung
secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh.

Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari
sumberu-sumber Tiongkok, kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima yang
dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri akan dipotong tangannya.

B. Berdirinya Kerajaan Kalingga

Awal berdirinya Kerajaan Kalingga diperkirakan dimulai pada abad ke-6


hingga abad ke-7, nama Kalingga sendiri berasal dari kerajaan India kuno yang bernama
Kaling, mengidekan bahwa ada tautan antara India dan Indonesia. Bukan hanya lokasi
pasti ibu kota dari daerah ini saja yang tidak diketahui, tapi juga catatan sejarah dari
periode ini amatlah langka.

12
Salah satu tempat yang dicurigai menjadi lokasi ibu kota dari kerajaan ini
ialah Pekalongan dan Jepara. Jepara dicurigai karena adanya kabupaten Keling di pantai
utara Jepara, sementara Pekalongan dicurigai karena masa lalunya pada saat awal
dibangunnya kerajaan ini ialah sebuah pelabuhan kuno. Beberapa orang juga memiliki
ide bahwa Pekalongan merupakan nama yang telah berubah dari Pe-Kalinga-an.

Pada tahun 674 kerajaan Kalingga dipimpin oleh Ratu Shima yang terkenal
akan peraturan kejamnya terhadap pencurian dimana hal tersebut memaksa orang-orang
Kalingga menjadi jujur dan selalu memihak pada kebenaran. Menurut cerita-cerita yang
berkembang di masyarakat pada suatu hari seorang raja dari negara yang asing datang
dan meletakkan sebuah kantung yang terisi dengan emas pada persimpangan jalan di
Kalingga untuk menguji kejujuran dan kebenaran dari orang-orang Kalingga yang
terkenal.

Dalam sejarahnya tercatat bahwa tidak ada yang berani menyentuh kantung
emas yang bukan milik mereka, paling tidak selama tiga tahun hingga akhirnya anak
dari Shima, sang putra mahkota secara tidak sengaja menyentuh kantung tersebut
dengan kakinya. Mendengar hal tersebut, Shima segera menjatuhkan hukuman mati
kepada anaknya sendiri. Mendengar hukuman yang dijatuhkan oleh Shima, beberapa
orang memohon agar Shima hanya memoptong kakinya karena kakinya lah yang
bersalah. Dalam beberapa cerita orang-orang tadi bahkan meminta Shima hanya
memotong jari dari anaknya.

Dalam salah satu kejadian pada sejarah kerajaan Kalingga, terdapat sebuah
titik balik dimana kerajaan ini terislamkan. Pada tahun 651, Ustman bin Affan
mengirimkan beberapa utusan menuju Tiongkok sambil mengemban misi untuk
memperkenalkan Islam kepada daerah yang asing tersebut. Selain ke Tiongkok, Ustman
juga mengirim beberapa orang utusannya menuju Jepara yang dulu bernama Kalingga,
kedatangan utusan yang terjadi pada masa setelah ratu Shima turun dan digantikan oleh
Jay Shima ini menyebabkan sang raja memeluk agama Islam dan juga diikuti jejaknya
oleh beberapa bangsawan Jawa yang muali meninggalkan agama asli mereka dan
menganut Islam.

Seperti kebanyakan kerjaan lainnya di Indonesia kerajaan Kalingga juga


mengalami ketertinggalan saat kerajaan tersebut runtuh. Dari seluruh peninggalan yang
berhasil ditemukan ialah 2 candi bernama candi Angin dan candi Bubrah. Candi Angin
dan Candi Bubrah merupakan dua candi yang ditemukan di Keling tepatnya di desa
Tempur, Candi Angin mendapatkan namanya karena memiliki letak yang tinggi dan
berumur lebih tuas dari Candi Borobudur, Candi Bubrah di lain sisi merupakan sebuah
candi yang baru setengah jadi, tapi umurnya sama dengan candi Angin.

C. Catatan Dari Zaman Dinasti Tang

Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang “618 M-906 M” memberikan tentang
keterangan Ho-ling sebagai berikut:
13
 Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan, di sebelah utaranya terletak Ta
Hen La “Kamboja” disebelah timurnya terletak Po-Li “Pulau Bali” dan disebelah barat
terletak Pulau Sumatera. Ibu kota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari
tonggak kayu.
 Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem dan
singgasananya terbuat dari gading.
 Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa.
 Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.

Dengan catatan dari berita cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674,
rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Hsi-mo “Shima” ia adalah seorang ratu yang sangat
adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan
tentram.

4. Kerajaan Sriwijaya

A. Sejarah Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha yang berdiri pada abad ke-7
dibuktikan dengan adanya prasasti kedukan Bukit di Palembang (682), Sriwijaya
menjadi salah satu kerajaan yang kuat di Pulau Sumatera. Nama Sriwijaya berasal dari
bahasa Sanskerta berupa “Sri” yang artinya bercahaya dan “Wijaya” berarti
kemenangan sehingga dapat diartikan dengan kemenangan yang bercahaya atau
gemilang.

Pada catatan perjalanan I-Tsing, pendeta Tiongkok yang pernah mengunjungi


Sriwijaya pada tahun 671 selama 6 bulan menerangkan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya
berada pada kawasan Candi Muara Takus “Provinsi Riau sekarang”, Kerajaan Sriwijaya
dipimpin oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai raja pertama.

B. Kejayaan Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya berjaya pada abad 9-10 Masehi dengan menguasai jalur
perdagangan maritim di Asia Tenggara. Sriwijaya telah menguasai hampir seluruh
kerajaan Asia Tenggara, diantaranya, Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand,
Kamboja, Vietnam dan Filipina. Sriwijaya menjadi pengendali rute perdagangan lokal
yang mengenakaan bea cukai kepada setiap kapal yang lewat. Hal ini karena Sriwijaya
menjadi penguasa atau Selat Sunda dan Malaka. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya juga
mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang
melayani pasar Tiongkok dan India.

C. Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan ketika Raja Rajendra Chola


penguasa Kerajaan Cholamandala menyerang dua kali pada tahun 1007 dan 1023 M
14
yang berhasil merebut bandar-bandar kota Sriwijaya. Peperangan ini disebabkan karena
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cholamandala bersaing pada bidang perdagangan dan
pelayaran.

Dengan demikian tujuan dari serangan Kerajaan Cholamandala tidak untuk


menjajah melainkan untuk meruntuhkan armada Sriwijaya. Hal ini menyebabkan
ekonomi Kerajaan Sriwijaya semakin melemah karena para pedagang yang biasanya
berdagang di Kerajaan Sriwijaya terus berkurang. Dan tidak hanya itu, kekuatan militer
Sriwijaya juga semakin melamah sehingga banyak daerah bawahannya yang
melepaskan diri. Akhirnya Kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad ke-13.

D. Raja-Raja Kerajaan Sriwijaya

Adapun raja-raja kerajaan sriwijaya yang diantaranya yaitu:

1. Dapunta Hyang Sri Jayanasa


2. Sri Indravarman
3. Rudra Vikraman
4. Maharaja Wisnu Dharmmatunggadewa
5. Dharanindra Sanggramadhananjaya
6. Samaragrawira
7. Samaratungga
8. Balaputradewa
9. Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
10. Hie-tche (Haji)
11. Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
12. Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi
13. Sumatrabhumi
14. Sangramavijayottungga
15. Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
16. Rajendra II
17. Rajendra III
18. Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
19. Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
20. Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali
Warmadewa
E. Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya meninggalkan beberapa prasasti diantaranya:

1. Prasasti Kedukan Bukit

Prasati ini ditemukan di Palembang pada tahun 605 SM/683M. Isi dari
prasasti tersebut yakni ekspansi 8 hari yang dilakukan Dapunta Hyang dengan 20.000

15
tentara yang berhasil menaklukkan beberapa daerah sehingga Sriwijaya menjadi
makmur.

2. Prasasti Talang Tuo

Prasasti yang ditemukan pada tahun 606 SM/684 M ini ditemukan di sebelah
barat Palembang. Isinya tentang Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang membuat Taman
Sriksetra demi kemakmuran semua makhluk.

3. Prasasti Kota Kapur

Prasasti bertuliskan tahun 608 SM/686 M yang ditemukan di Bangka, isinya


mengenai permohonan kepada Dewa untuk keselamatan Kerajaan Sriwijaya beserta
rakyatnya.

4. Prasasti Karang Birahi

Prasasti yang ditemukan di Jambi ini isinya sama dengan prasasti Kota Kapur
tentang permohonan keselamatan. Prasasti Karang Birahi ditemukan pada tahun 608
SM/686 M.

5. Prasasti Talang Batu

Prasasti ini ditemukan di Palembang, namun tidak ada angka tahunya,


Prasasti Talng Batu berisi tentang kutukan terhadap pelaku kejahatan dan pelanggar
perintah raja.

6. Prasasti Palas Di Pasemah

Prasasti ini juga tidak berangkat tahun, ditemukan di Lampung Selatan yang
berisi tentang keberhasilan Sriwijaya menduduki Lampung Selatan.

7. Prasasti Ligor

Ditemukan pada tahun 679 SM/775 M di tang genting Kra, menceritakan


bahwa Sriwijaya di bawah kekuasaan Darmaseta.

5. Kerajaan Mataram Kuno

A. Sejarah Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah dengan intinya yang sering
disebut Bumi Mataram. Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan dan gununggunung,
seperti Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung
Merapi-Merbabu, Gunung Lawu, dan Pegunungan Sewu. Daerah ini juga dialiri oleh

16
banyak sungai, seperti Sungai Bogowonto, Sungai Progo, Sungai Elo dan Sungai
Bengawan Solo. Itulah sebabnya daerah ini sangat subur.

Kerajaan Mataram Kuno atau juga yang sering disebut Kerajaan Medang
merupakan kerajaan yang bercorak agraris. Tercatat terdapat 3 Wangsa (dinasti) yang
pernah menguasai Kerjaan Mataram Kuno yaitu Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra
dan Wangsa Isana. Wangsa Sanjaya merupakan pemuluk Agama Hindu beraliran
Syiwa sedangkan Wangsa Syailendra merupakan pengikut agama Budah, Wangsa
Isana sendiri merupakan Wangsa baru yang didirikan oleh Mpu Sindok.

Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya yang juga merupakan
pendiri Wangsa Sanjya yang menganut agama Hindu. Setelah wafat, Sanjaya
digantikan oleh Rakai Panangkaran yang kemudian berpindah agama Budha beraliran
Mahayana. Saat itulah Wangsa Sayilendra berkuasa. Pada saat itu baik agama Hindu
dan Budha berkembang bersama di Kerajaan Mataram Kuno. Mereka yang beragama
Hindu tinggal di Jawa Tengah bagian utara, dan mereka yang menganut agama
Buddha berada di wilayah Jawa Tengah bagian selatan.

Wangsa Sanjaya kembali memegang tangku kepemerintahan setelah anak


Raja Samaratungga, Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan yang menganut
agama Hindu. Pernikahan tersebut membuat Rakai Pikatan maju sebagai Raja dan
memulai kembali Wangsa Sanjaya. Rakai Pikatan juga berhasil menyingkirkan
seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa yang merupakan saudara
Pramodawardhani. Balaputradewa kemudian mengungsi ke Kerajaan Sriwijaya yang
kemduian menjadi Raja disana.

Wangsa Sanjaya berakhir pada masa Rakai Sumba Dyah Wawa. Berakhirnya
Kepemerintahan Sumba Dyah Wawa masih diperdebatkan. Terdapat teori yang
mengatakan bahwa pada saat itu terjadi becana alam yang membuat pusat Kerajaan
Mataram Hancur. Mpu Sindok pun tampil menggantikan Rakai Sumba Dyah Wawa
sebagai raja dan memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dan
membangun wangsa baru bernama Wangsa Isana.

Pusat Kerajaan Mataram Kuno pada awal berdirinya diperkirakan terletak di


daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan
Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan
Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada
zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram. Mpu Sindok kemudian
memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang

B. Raja-Raja Kerajaan Mataram Kuno

Daftar raja-raja Medang menutur teori Slamet Muljana adalah sebagai berikut:

1. Sanjaya, (merupakan pendiri Kerajaan Medang)

17
2. Rakai Panangkaran, (awal berkuasanya Wangsa Syailendra)
3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra
4. Rakai Warak alias Samaragrawira
5. Rakai Garung alias Samaratungga
6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, (awal kebangkitan Wangsa Sanjaya)
7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8. Rakai Watuhumalang
9. Rakai Watukura Dyah Balitung
10. Mpu Daksa
11. Rakai Layang Dyah Tulodong
12. Rakai Sumba Dyah Wawa
13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
14. Sri Lokapala (merupaka suami dari Sri Isanatunggawijaya)
15. Makuthawangsawardhana
16. Dharmawangsa Teguh, (berakhirnya Kerajaan Medang)

Pada daftar diatas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan
raja sesudahnya memakai gelar Sri Maharaja.

C. Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

Dari hasil budaya dan peninggalanya kerajaan ini meningalkan berbagai


prasasti dan hasil budaya yang sampai sekarang masih ada :

1. Candi-Candi Dan Prasasti Peninggalan Mataram Kuno

Mataram kuno terdiri dari dua Dinasti besar yang masih berhubungan, yaitu
dinasti Sanjaya dan dinasti Sailendra. Banyak peninggalan-peninggalan yang
bersejarah dari dua kerajaan tersebut. Beberapa candi yang terkenal bercorak Hindu
dan Buddha. Bukan hanya candi saja bukti sejarah kerajaan mataram dinasti sanjaya
dan dinasti sailendra tetapi juga bukti-bukti penemuan prasasti.

 Candi-Candi Bercorak Hindu,Peninggalan bangunan suci dari keduanya antara


lain ialah Candi Gedong Songo, kompleks Candi Dieng, Candi Siwa, Candi
Brahma, Candi Wisnu, Candi Sukuh, Candi Boko dan kompleks Candi
Prambanan yang berlatar belakang Hindu.
 Candi-Candi Bercorak Buddha, Adapun yang berlatar belakang agama Buddha
antara lain ialah Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu,
dan Candi Plaosan, Candi Sojiwan, Candi Pawon, Candi Sari.

2. Prasasti Peninggalan Mataram Kuno

 Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dengan berangka tahun berbentuk
Candrasengkala berbunyi Srutiindriyarasa atau tahun 654 Saka 732 M berhuruf

18
Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Isi pokok Prasasti Canggal adalah pendirian
sebuah lingga di Bukit Stirangga buat keselamatan rakyatnya.
 Prasasti Balitung yang berangka tahun 907 M disebutkan nama keluarga raja-raja
keturunan Sanjaya memuat nama Panangkaran. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pada waktu itu Dinasti Sanjaya dan Sailendra sama-sama
berperan di Jawa Tengah. Dinasti Sanjaya dibagian utara dengan mendirikan
candi Hindu seperti Gedong Sanga di Ungaran, Candi Dieng di DataranTinggi
Dieng. Adapun Dinasti Sailendra dibagian selatan dengan mendirikan candi
Buddha, seperti Borobudur, Mendut, dan Kalasan.
 Prasasti Kelurak (di daerah Prambanan) tahun 782 disebutkan tentang pembuatan
Arca Manjusri sebagai perwujudan Buddha, Dharma, dan Sanggha yang dapat
disamakan dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Mungkin sekali bangunan sucinya
ialah Candi Lumbung yang terletak di sebelah utara Prambanan. Raja yang
memerintah pada waktu itu ialah Indra. Pengganti Indra yang terkenal ialah
Smaratungga yang dalam pemerintahannya mendirikan Candi Borobudur tahun
824.
 Prasasti Mantyasih atau Prasasti Kedu yang dibuat oleh Raja Balitung. Prasasti itu
menyebutkan bahwa sanjaya adalah raja pertama (Wangsakarta) dengan ibu kota
kerajaannya di Medangri Poh Pitu.

D. Kehidupan Politik Kerajaan Mataram Kuno

Untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya, Mataram Kuno menjalin


kerjasama dengan kerajaan tetangga, misalnya Sriwijaya, Siam dan India. Selain itu,
Mataram Kuno juga menggunakan sistem perkawinan politik. Misalnya pada masa
pemerintahan Samaratungga yang berusaha menyatukan kembali Wangsa Sailendra
dan Wangsa Sanjaya dengan cara anaknya yang bernama Pramodyawardhani (Wangsa
Sailendra) dinikahkan dengan Rakai Pikatan (Wangsa Sanjaya). Wangsa Sanjaya
merupakan penguasa awal di Kerajaan Mataram Kuno, sedangkan Wangsa Sailendra
muncul setelahnya yaitu mulai akhir abad ke-8 M. Dengan adanya perkawinan politik
ini, maka jalinan kerukunan beragama antara Hindu (Wangsa Sanjaya) dan Buddha
(Wangsa Sailendra) semakin erat.

E. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Mataram Kuno

Pusat kerajaan Mataram Kuno terletak di Lembah sungai Progo, meliputi


daratan Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Daerah itu amat subur
sehingga rakyat menggantungkan kehidupannya pada hasil pertanian. Hal ini
mengakibatkan banyak kerajaan-kerajaan serta daerah lain yang saling mengekspor
dan mengimpor hasil pertaniannya. Usaha untuk meningkatkan dan mengembangkan
hasil pertanian telah dilakukan sejak masa pemerintahan Rakai Kayuwangi.

Usaha perdagangan juga mulai mendapat perhatian ketika Raja Balitung


berkuasa. Raja telah memerintahkan untuk membuat pusat-pusat perdagangan serta
penduduk disekitar kanan-kiri aliran Sungai Bengawan Solo diperintahkan untuk
19
menjamin kelancaran arus lalu lintas perdagangan melalui aliran sungai tersebut.
Sebagai imbalannya, penduduk desa di kanan-kiri sungai tersebut dibebaskan dari
pungutan pajak. Lancarya pengangkutan perdagangan melalui sungai tersebut dengan
sendirinya akan menigkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Mataram Kuno.

F. Kehidupan Sosial Dan Budaya Kerajaan Mataram Kuno

1. Kehidupan Sosial

Kerajaan Mataram Kuno meskipun dalam praktik keagamaannya terdiri atas


agama Hindu dan agama Buddha, masyarakatnya tetap hidup rukun dan saling
bertoleransi. Sikap itu dibuktikan ketika mereka bergotong royong dalam
membangun Candi Borobudur. Masyarakat Hindu yang sebenarnya tidak ada
kepentingan dalam membangun Candi Borobudur, tetapi karena sikap toleransi
dan gotong royong yang telah mendarah daging turut juga dalam pembangunan
tersebut.

Keteraturan kehidupan sosial di Kerajaan Mataram Kuno juga dibuktikan


adanya kepatuhan hukum pada semua pihak. Peraturan hukum yang dibuat oleh
penduduk desa ternyata juga dihormati dan dijalankan oleh para pegawai istana.
Semua itu bisa berlangsung karena adanya hubungan erat antara rakyat dan
kalangan istana.

2. Kehidupan Kebudayaan

Semangat kebudayaan masyarakat Mataram Kuno sangat tinggi. Hal itu


dibuktikan dengan banyaknya peninggalan berupa prasasti dan candi. Prasasti
peniggalan dari Kerajaan Mataram Kuno, seperti prasasti Canggal (tahun 732 M),
prasasti Kelurak (tahun 782 M), dan prasasti Mantyasih (Kedu). Selain itu, juga
dibangun candi Hindu, seperti candi Bima, candi Arjuna, candi Nakula, candi
Prambanan, candi Sambisari, candi Ratu Baka, dan candi Sukuh. Selain candi
Hindu, dibangun pula candi Buddha, misalnya candi Borobudur, candi Kalasan,
candi Sewu, candi Sari, candi Pawon, dan candi Mendut. Mereka juga telah
mengenal bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Selain itu, masyarakat kerajaan
Mataram Kuno juga mampu membuat syair.

G. Kejayaan Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan


Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya, daerah-daerah di sebelah timur
Mataram berhasil ditaklukkannya. Oleh karena itu, daerah kekuasaan Mataram
semakin luas, yang meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang (Jawa Timur).

20
Penyebab kejayaan kerajaan Mataram Kuno:

 Naik tahtanya Sanjaya yang sangat ahli dalam peperangan


 Pembangunan sebuah waduk Hujung Galuh di Waringin Sapta (Waringin Pitu)
guna mengatur aliran Sungai Berangas, sehingga banyak kapal dagang dari
Benggala, Sri Lanka, Chola, Champa, Burma, dan lain-lain datang ke pelabuhan
itu.
 Pindahnya kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur yang didasari oleh:
o Adanya sungai-sungai besar, antara lain Sungai Brantas dan Bengawan Solo
yang sangat memudahkan bagi lalu lintas perdagangan.
o Adanya dataran rendah yang luas sehingga memungkinkan penanaman padi
secara besar-besaran.
o Lokasi Jawa Timur yang berdekatan dengan jalan perdagangan utama waktu
itu, yaitu jalur perdagangan rempah-rempah dari Maluku ke Malaka.

H. Runtuhnya Kerajaan Mataram Kuno

Hancurnya Kerajaan Mataram Kuno dipicu permusuhan antara Jawa dan


Sumatra yang dimulai saat pengusiaran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan.
Balaputradewa yang kemudian menjadi Raka Sriwijaya menyimpan dendam terhadap
Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan
turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga
bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.

Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan


ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur,
pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang
(sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.

Runtuhnya Kerajaan Mataram ketika Raja Dharmawangsa Teguh yang


merupakan cicit Mpu Sindok memimpin. Waktu itu permusuhan antara Mataram
Kuno dan Sriwijaya sedang memanas. Tercatat Sriwijaya pernah menggempur
Mataram Kuno tetapi pertempuran tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa.
Dharmawangsa juga pernah melayangkan serangan ke ibu kota Sriwijaya. Pada tahun
1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan
putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang
diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut,
Dharmawangsa tewas.

6. Kerajaan Kediri

1. Sejarah Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Wangsa Isyana


(Kerajaan Medang Kamulan). Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah
21
kerajaan yang bercorak Hindu terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222.
Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang.
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha
merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam
prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042.

Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir
pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan,
melainkan pindah ke Daha. Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua kerajaan
pecahan Kahuripan pada tahun 1045 Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan
Kerajaan Kahuripan.

Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah


kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Putra yang
bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang
berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan
mendapatkan kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu
Kahuripan.

Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi
beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima
bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu
Kediri (Panjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat
ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Panjalu atau
dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri Dalam
perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar,
sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala
ditaklukkan oleh Kediri.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan


yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi,
Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama
kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota
Janggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari
pada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh
raja-raja Kediri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam
kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).

Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.Tak


banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara
(1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan
demikian, berakhirlah Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi

22
kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana,
yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji.

Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata “Kedi” yang artinya
“Mandul” atau “Wanita yang tidak berdatang bulan”.Menurut kamus Jawa Kuno Wojo
Wasito, ‘Kedi” berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang
Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama “Kedi
Wrakantolo”.Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di
Gua Selomangleng, “Kedi” berarti Suci atau Wadad. Disamping itu kata Kediri
berasal dari kata “Diri” yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja
(bahasa Jawa Jumenengan).

Untuk itu dapat kita baca pada prasasti “WANUA” tahun 830 saka, yang
diantaranya berbunyi :

” Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake
panaraban”, artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake
Panaraban.

Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa
Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon
Arang.Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti :
Prasasti Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa
Sukoanyar Kecamatan Mojo.Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker
berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan”.

Dalam prasasti itu tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi


Kadiri” artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi
Kadiri.Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat
tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194.Pada prasasti itu
juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur.

“Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo”, sehingga raja meninggalkan


istananya di Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang
deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).

Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake


Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.Nama Kediri semula
kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya
terkenal hingga sekarang.

2. Raja-Raja Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri yang termasyhur pernah diperintah 8 raja dari awal


berdirinya sampai masa keruntuhan kerajaan ini. Dari kedelapan raja yang pernah

23
memerintah kerajaan ini yang sanggup membawa Kerajaan Kediri kepada masa
keemasan adalah Prabu Jayabaya, yang sangat terkenal hingga saat ini.

Adapun 8 raja Kediri tersebut urutannya sebagai berikut :

1. Sri Jayawarsa

Sejarah tentang raja Sri Jayawarsa ini hanya dapat diketahui dari prasasti
Sirah Keting (1104 M). Pada masa pemerintahannya Jayawarsa memberikan hadiah
kepada rakyat desa sebagai tanda penghargaan, karena rakyat telah berjasa kepada
raja. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya
terhadap masyarakat dan berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

2. Sri Bameswara

Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti seperti yang ditemukan di


daerah Tulung Agung dan Kertosono. Prasasti seperti yang ditemukan itu lebih banyak
memuat masalah-masalah keagamaan, sehingga sangat baik diketahui keadaan
pemerintahannya.

3. Prabu Jayabaya

Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu


Jayabaya. Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya
memang sangat mengagumkan. Kerajaan yang beribu kota di Dahono Puro, bawah
kaki Gunung Kelud, ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman
tumbuh menghijau.

Hasil pertanian dan perkebunan berlimpah ruah. Di tengah kota membelah


aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga
makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi.

Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan
naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar, sehingga
Kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh
Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”.

Prabu Jayabaya memerintah antara tahun 1130 sampai 1157 Masehi.


Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan
pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke
depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa.

Jika rakyat kecil hingga saat ini ingat kepada beliau, hal itu menunjukkan
bahwa pada masanya berkuasa tindakan beliau yang selalu bijaksana dan adil terhadap
rakyat.

24
4. Sri Sarwaswera

Sejarah tentang raja ini didasarkan pada prasasti Padelegan II (1159) dan
prasasti Kahyunan (1161). Sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya, Sri
Sarwaswera memegang teguh prinsip “tat wam asi”, yang berarti “dikaulah itu,
dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau”.

Menurut Prabu Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang terakhir adalah
moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah
sesuatu yang menuju arah kesatuan, sehingga segala sesuatu yang menghalangi
kesatuan adalah tidak benar.

5. Sri Aryeswara

Berdasarkan prasasti Angin (1171), Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang
memerintah sekitar tahun 1171. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake
Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka.

Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Aryeswara naik tahta. peninggalan
sejarahnya berupa prasasti Angin, 23 Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri pada saat
itu Ganesha. Tidak diketahui pula kapan pemerintahannya berakhir. Raja Kediri
selanjutnya berdasarkan prasasti Jaring adalah Sri Gandra.

6. Sri Gandra

Masa pemerintahan Raja Sri Gandra (1181 M) dapat diketahui dari prasasti
Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama
gajah, kebo, dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat
seseorang dalam istana.

7. Sri Kameswara

Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui dari Prasasti Ceker
(1182) dan Kakawin Smaradhana. Pada masa pemerintahannya dari tahun 1182
sampai 1185 Masehi, seni sastra mengalami perkembangan sangat pesat, diantaranya
Empu Dharmaja mengarang kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya
juga dikeal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.

8. Sri Kertajaya

Berdasarkan prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti


Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton,
pemerintahan Sri Kertajaya berlangsung pada tahun 1190 hingga 1222 Masehi.

25
Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan “Dandang Gendis”. Selama masa
pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Kertajaya ingin
mengurangi hak-hak kaum Brahmana.

Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di


Kerajaan Kediri waktu itu semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan
minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok.

Mengetahui hal ini Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk


menyerang Tumapel. Sementara itu Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana
melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter
(1222 M).

3. Kitab Perundang-undangan

Sistem Perundang-undangan Kerajaan Kediri disusun oleh para ahli hukum


yang tergabung dalam Dewan Kapujanggan Istana. Sebelum menjalankan tugasnya
para pakar hukum tadi senantiasa melakukan studi banding dalam hal penyusunan
hukum serta konstitusi dari negeri lain. Produk hukum yang telah dihasilkan oleh
dewan tersebut yaitu Kitab Darmapraja. Kitab ini merupakan karya pustaka yang
berisi Tata Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam soal
pengadilan, Raja selalu mengikuti Undang-undang ini, sehingga adil segala keputusan
yang diambilnya, membuat puas semua pihak (Brandes, 1896:88).

Pada pasal-pasal kitab tersebut, kata “agama” dapat ditafsirkan sebagai


Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan. Kadang yang berbeda ini
perumusannya saja, yang satu lebih panjang daripada yang lain dan merupakan
kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek. Kitab Perundang-
undangan Agama adalah terutama Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun di
samping Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat juga Undang-undang Hukum
Perdata.

Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk


dalam Undang-undang Hukum Perdata (Hazeu, 1987:87). Memang pada zaman Kadiri
belum ada perincian tegas antara Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata.
Menurut sejarah per Undang-undangan Hukum Perdata tumbuh dari Hukum Pidana,
jadi percampuran Hukum Perdata dan Hukum Pidana dalam Kitab Perundang-
undangan Agama di atas bukan suatu keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum.

4. Sistem Peradilan Kerajaan

Sistem peradilan Kerajaan Kediri bertujuan untuk mencapai kepastian hukum


dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kerajaan (Stutterheim, 1930:254). Dengan
adanya kepastian hukum, maka hak dan kewajiban semua warga kerajaan dapat
dijamin. Keseimbangan antara hak dan kewajiban warga kerajaan telah membuktikan

26
serta membuahkan ketentraman lahir dan batin. Aparat dan rakyat menghormati
hukum atau darma semata-mata demi terjaganya kepentingan bersama.

Semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama Raja yang disebut
Sang Amawabhumi artinya orang yang mempunyai atau menguasai negara. Dalam
Mukadimah Darmapraja ditegaskan demikian:

Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya


denda, jangan sampai salah trap. Jangan sampai orang yang bertingkah salah, luput
dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau mengharapkan
kerahayuan negaranya (Moedjanto, 1994:56).

Dalam soal pengadilan, Raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa.
Seorang Adidarma Dyaksa Kasiwan dan seorang Adidarma Dyaksa Kabudan, yakni
kepala agama Siwa dan kepala agama Buda dengan sebutan Sang Maharsi, karena
kedua agama itu merupakan agama utama dalam Kerajaan Kadiri dan segala
Perundang-undangan didasarkan agama.

Kedudukan Adidarma Dyaksa boleh disamakan dengan kedudukan Hakim


Tinggi. Mereka itu dibantu oleh lima Upapati artinya : pembantu dalam pengadilan
adalah pembantu Adidarma Dyaksa. Mereka itu biasa disebut Pamegat atau Sang
Pamegat artinya : Sang Pemutus alias Hakim. Baik Adidarma Dyaksa maupun Upapati
bergelar Sang Maharsi. Mula-mula jumlahnya hanya lima yakni : Sang Pamegat
Tirwan, Sang Pamegat Kandamuhi, Sang Pamegat Manghuri, Sang Pamegat Jambi,
Sang Pamegat Pamotan.

Mereka itu semuanya termasuk golongan Kasiwan, karena agama Siwa


adalah agama resmi negara Kadiri dan mempunyai pengikut paling banyak. Pada
zaman pemerintahan Prabu Jayabhaya jumlah Upapati ditambah dua menjadi tujuh.
Keduanya termasuk golongan Kabudan, sehingga ada lima Upapati Kasiwan dan dua
Upapati Kabudan. Perbandingan itu sudah layak mengingat jumlah pemeluk agama
Buda kalah banyak dengan jumlah pemeluk agama Siwa. Dua Upapati Kabudan itu
ialah Sang Pamegat Kandangan Tuha dan Sang Pamegat Kandangan Rare.

Ketika Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang, beliau dihadap oleh pelbagai


pembesar, di antaranya Dyaksa, Upapati dan Para Panji yang paham tentang Undang-
undang (Rassers, 1959:243). Dari uraian itu nyata bahwa Para Panji adalah pembantu
para Upapati dalam melakukan pengadilan di daerah-daerah. Pangkat Panji masih
dikenal di kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1940. Para Panji di Kesultanan Yogya
diserahi tugas pengadilan. Jadi tidak berbeda dengan Para Panji pada zaman Kadiri.

Lembaga peradilan kerajaan ini bertanggung jawab kepada Raja secara


langsung. Akan tetapi silang sengketa yang menyangkut kepenting¬an Raja dan
keluarganya, menggunakan peradilan khusus, sehingga kontaminasi dan intervensi

27
terhadap hasil putusan dapat dihindari. Dalam hal ini Raja mempunyai staf hukum
yang mumpuni, profesional dan tidak diragukan lagi integritas serta kredibilitasnya.

5. Hukum Positif dan Budaya Simbolik

Dalam masa pemerintahan Prabu Jayabaya, prinsip pelaksanaan kenegaraan


terbagi menjadi dua yakni hukum positif dan budaya simbolik. Hukum positif
merupakan hukum yang berlaku berdasar peraturan tertulis yang disepakati bersama.
Biasanya hukum ini bersifat praktis, teknis dan mikro. Semua transaksi dan lika-liku
kehidupan yang menyang kut jual beli, dagang, ekonomi, politik, karier, birokrasi,
organisasi dan perkawinan diatur secara rinci. Pelanggaran hukum dan dendanya pun
diatur secara detail.

Di samping hukum positif, dalam menata masyarakatnya Prabu Jayabhaya


menggunakan pendekatan budaya simbolik. Untuk menunjang keberhasilan program
ini, maka diperintahkanlah para pujangga untuk menulis karya cipta. Tujuannya agar
aparat dan rakyat patuh pada norma susila. Hanya saja apabila terjadi pelanggaran
maka hukuman dan sangsinya bersifat ghaib spiritual. Pujangga yang diberi tugas
menulis kitab spiritual itu di antaranya adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.

Empu Sedah adalah penyusun Kakawin Baratayudha pada tahun 1079 Saka
atau 1157 Masehi, dengan sengkalan berbunyi Sangha Kuda Suddha Candrama.
Hanya saja, Empu Sedah keburu meninggal sebelum karyanya selesai. Kakawin
Baratayudha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya,
Jayabhaya Laksana atau Sri Warmeswara.

Tingkat kecerdasan rakyat memang berbeda-beda. Hukum positif yang disusun


oleh elit negara, kadang kala kurang bisa dipahami oleh rakyat awam. Keadaan ini
disadari oleh para Raja Kadiri. Oleh karena itu demi terciptanya susasana yang
harmonis, lantas diciptakan nasehat-nasehat simbolis berbau mistis. Kenyataannya
pesan-pesan spitirual Prabu Jayabhaya yang dibungkus dengan ramalan ghaib tadi
dipercaya oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai pelengkap dan pengiring hukum
positif, maka budaya simbolik tersebut dapat digunakan untuk mencapai ketertiban
sosial.

Prabu Jayabaya adalah raja besar laksana Dewa Keadilan yang angejawantah
ing madyapada. Sikap hidupnya benar-benar bijaksana. Kewibawaannya telah
membuat ketentraman dan kemuliaan jagat raya, yang membuat Kerajaan Kadiri
mencapai masa kejayaan dan keemasan.

Selama Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata praja,


Nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah
dan Asia Selatan. Beliau berhasil mewujudkan negara yang Gedhe Obore, Padhang
Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane. Masyarakat

28
merasakan negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja.
Konsep Saptawa, dijadikan sebagai program utama yaitu :

1. Wastra (sandang)

2. Wareg (pangan)

3. Wisma (papan)

4. Wasis (pendidikan)

5. Waras (kesehatan)

6. Waskita (keruhanian), dan

7. Wicaksana (kebijaksanaan).

Masyarakat Jawa percaya bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif dan
bijaksana serta menjunjung hukum yang berlaku. Semua golongan masyarakat bersatu
padu mendukung pemerintahannya. Refleksi kearifan warisan para leluhur raja Jawa
dijadikan referensi untuk membawa kebesaran Nusantara.

Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Kediri, di samping faktor kepemimpinan


rajanya yang selalu mengutamakan kepentingan umum, juga didukung oleh
kejeliannya dalam menyusun Undang-undang dasar yang mengikat sekalian warganya.
Kepatuhan pada konstitusi telah membuat ketertiban di seluruh kawasan Kerajaan
Kadiri. Aparat kerajaan yang terdiri dari pejabat sipil dan militer bekerja sesuai
dengan amanat konstitusi, sehingga segala kebijakan kerajaan membuahkan
kemakmuran dan ketentraman rakyat.

I. Peninggalan Kerajaan Kediri

Sumber sejarah kerajaan Kediri dapat di telusuri dari beberapa prasasti dan
berita asing di antaranya :

 Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atas


Jenggala.

 Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya.

 Prasasti Sirah Keting (1104 M), memuat pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa
oleh Jayawarsa.

 Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah keagamaan ,


berasal dari raja Bameswara.

29
 Prasasti Ngantang (1135M), menyebutkan raja Jayabaya yang memberikan hadiah
kepada rakyat desa Ngantang sebidang tanah yang bebas dari pajak.

 Prasasti Jaring (1181M), dari raja Gandra yang memuat sejumlah nama pejabat
dengan menggunakan nama hewan seperi Kebo Waruga dan Tikus Jinada.

 Prasasti Kamulan (1194M) , memuat masa pemerintahan Kertajaya , dimana Kediri


berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi istana Katang-Katang.

 Candi Penataran : Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng
barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Dari
prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa
Raja Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan
sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun
1415.

 Candi Gurah : Candi Gurah terletak di kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Pada tahun
1957 pernah ditemukan sebuah candi yang jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs
Tondowongso yang dinamakan Candi Gurah namun karena kurangnya dana kemudian
candi tersebut dikubur kembali.

 Candi Tondowongso : Situs Tondowongso merupakan situs temuan purbakala yang


ditemukan pada awal tahun 2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs
seluas lebih dari satu hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode
klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak penemuan Kompleks
Percandian Batujaya), meskipun Prof.Soekmono pernah menemukan satu arca dari
lokasi yang sama pada tahun 1957. Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya
sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata setempat.Berdasarkan bentuk dan gaya
tatahan arca yang ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan masa Kerajaan
Kediri awal (abad XI), masa-masa awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa
Tengah ke Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari sejumlah karya sastra
namun tidak banyak diketahui peninggalannya dalam bentuk bangunan atau hasil
pahatan.

 Arca Buddha Vajrasattva : Arca Buddha Vajrasattva ini berasal dari zaman Kerajaan
Kediri (abad X/XI). Dan sekarang merupakan Koleksi Museum für Indische Kunst,
Berlin-Dahlem, Jerman.

 Prasasti Galunggung : Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas
80 cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di
sekeliling prasasti Galunggung banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno.
Tulisan itu berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata. Sedangkan di
sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak dimakan usia. Di bagian
30
depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada
gambar persegi panjang dengan beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di salah
satu sisi prasasti.

 Candi Tuban : Pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965 melanda
Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yaitu aksi menghancurkan ikon – ikon kebudayaan
dan benda yang dianggap berhala terjadi. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan
karena adanya petinggi desa yang melarang merusak candi ini dan kawasan candi
yang dianggap angker.Massa pun beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian
karena candi ini terletak di Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir,
Kabupaten Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar.
Candi Tuban sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini dipendam
dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan bebek.

Menurut Pak Suyoto, jika warga mau kembali menggalinya, maka kira – kira setengah
sampai satu meter dari dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif
masih utuh. Pengrusakan atas Candi Tuban juga didasari legenda bahwa Candi Tuban
menggambarkan tokoh laki – laki Aryo Damar, dalam legenda Angling Dharma dan
jika sang laki – laki dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai kemenangan.

 Prasasti Panumbangan : Pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja Bameswara


mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang permohonan penduduk desa
Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas daun lontar ditulis ulang di
atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra
oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang
dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah Sri Jayawarsa.

 Prasasti Talan : Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar.
Prasasti ini berangka tahun 1058 Saka (1136 Masehi). Cap prasasti ini adalah
berbentuk Garudhamukalancana pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan
manusia dengan kepala burung garuda serta bersayap.Isi prasasti ini berkenaan dengan
anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah Panumbangan
memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha yang
telah mereka terima dari Bhatara Guru pada tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi)
dan menetapkan Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban
iuran pajak sehingga mereka memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas batu
dengan cap kerajaan Narasingha.

Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan karena kesetiaan yang amat
sangat terhadap raja dan menambah anugerah berupa berbagai macam hak istimewa.

J. Peninggalan Kitab Kerajaan Kediri

Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat sehingga banyak karya
sastra yang dihasilkan. Karya sastra tersebut adalah sebagai berikut :
31
 Kitab Wertasancaya karangan Empu Tan Akung yang berisi petunjuk tentang cara
membuat syair yang baik.

 Kitab Smaradhahana yang digubah oleh Empu Dharmaja dan berisi pujian kepada raja
sebagai titisan Dewa Kama. Kitab ini juga menyebutkan bahwa nama ibu kota
kerajaannya adalah Dahana.

 Kitab Lubdaka karangan Empu Tan Akung yang berisi kisah Lubdaka sebagai seorang
pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia
ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.

 Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak
nakal, tetapi dikasihi setiap orang karean suka menolong dan sakti.

 Kitab Samanasantaka karangan Empu Monaguna yang mengisahkan Bidadari Harini


yang terkenal untuk Begawan Trenawindu.

 Kitab Baharatayuda yang diubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh.

 Kitab Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa yang diubah oleh Empu Panuluh.

K. Kehidupan Politik Dan Pemerintahan Kerajaan Kediri

Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji


Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri
Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu
menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan
tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.

Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga
kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara
menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang
biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya
yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut
raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.

Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan.


Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah
kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat
pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang
Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga
memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan
Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.

32
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri
Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi
pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari
perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan
ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi
upaya tersebut mengalami kegagalan.

Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan
yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang-
bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan
suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran
dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan
jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.

L. Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri

Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya


memang sangat mengagumkan (Gonda, 1925 : 111). Kerajaan yang beribukota di
Dahanapura bawah kaki Gunung Kelud ini tanahnya amat subur, sehingga segala
macam tanaman tumbuh menghijau. Pertanian dan perkebunan hasilnya berlimpah
ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak
hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi.

Hasil bumi itu kemudian diangkut ke Kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan
naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar sehingga Kerajaan
Kadiri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata
Tentrem Karta Raharja.

Dalam kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian Kediri bersumber


atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil
beras,menanam kapas dan memelihara ulat sutra. Dengan demikian dipandang
dariaspek ekonomi, kerajaan Kediri sudah cukup makmur. Hal ini terlihat dari
kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya
walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi. Demikian keterangan yang diperoleh
berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.

Untuk menopang penghasilan kerajaan , diberlakukan sistem pajak.


Komoditas dagang berupa beras, emas, perak, daging, dan kayu cendana. Adapun
bentuk pajak berupa beras, kayu, dan palawija.

M. Kehidupan Agama dan Spiritual Kerajaan Kediri

Agama yang berkembang di Kediri adalah agama hindu aliran Waisnawa (


Airlangga titisan Wisnu). Dalam bidang spiritual di Kerajaan Kediri juga sangat maju
(Pigeaud, 1924:67). Tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru kebatinan

33
mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang Prabu sendiri kerap melakukan tirakat,
tapa brata dan semedi. Beliau suka bermeditasi di tengah hutan yang sepi. Laku
prihatin dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur.

Hal ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu
Jayabhaya ngerti sadurunge winarah (Tahu sebelum terjadi) yang bisa meramal owah
gingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan untuk membaca tanda-tanda jaman saat
ini.

Prabu Jayabaya memerintah antara 1130 – 1157 M. Dukungan spiritual dan


material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-
tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya
layak dikenang sepanjang masa. Kalau rakyat kecil hingga saat ini ingat pada beliau,
hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakannya selalu bijaksana dan
adil terhadap rakyatnya.

Kehidupan beragama sudah diatur juga dalam Undang-undang. Tiap bab


memuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga ada sistematika dalam penyusunan. Sudah
pasti bahwa susunannya semula menganut suatu sistem. Kitab hukum per Undang-
undangan itu disusun sebagai berikut :

 Bab I : Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan diplomasi, aliansi,


konstribusi dan sanksi.
 Bab II : Astadusta, berisi tentang sanksi delapan kejahatan (penipuan,
pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan, penindasan dan
pembunuhan)
 Bab III : Kawula, berisi tentang hak-hak dan kewajiban masyarakat sipil.
 Bab IV : Astacorah, berisi tentang delapan macam penyimpangan
administrasi kenegaraan.
 Bab V : Sahasa, berisi tentang sistem pelaksanaan transaksi yang
berkaitan pengadaan barang dan jasa.
 Bab VI : Adol-atuku, berisi tentang hukum perdagangan.
 Bab VII : Gadai atau Sanda, berisi tentang tata cara pengelolaan lembaga
pegadaian.
 Bab VIII : Utang-apihutang, berisi aturan pinjam-meminjam
 Bab IX : Titipan, berisi tentang sistem lumbung dan penyimpanan barang.
 Bab X : Pasok Tukon, berisi tentang hukum perhelatan.
 Bab XI : Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan.
 Bab XII : Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak asusila.
 Bab XIII : Drewe kaliliran, berisi tentang sistem pembagian warisan.
 Bab XIV : Wakparusya, berisi tentang sanksi penghinaan dan pencemaran
nama baik.
 Bab XV : Dendaparusya, berisi tentang sanksi pelanggaran administrasi

34
 Bab XVI : Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian yang menyebabkan
kerugian publik.
 Bab XVII : Atukaran, berisi tentang sanksi karena menyebarkan permusuhan.
 Bab XVIII : Bumi, berisi tentang tata cara pungutan pajak
 Bab XX : Dwilatek, berisi tentang sanksi karena melakukan kebohongan
publik.

N. Kehidupan Sosial Dan Budaya

Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain


sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam
perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-
orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.

Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab
Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi
rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi
berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan
menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan
aktivitas kehidupan sehari-hari.

Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang
dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada
Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena
tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama
Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka
tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau
1157 M). Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan
Hariwangsa.

Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain
sebagai berikut:

 Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik.
Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.

 Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu
berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga
menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
 Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai
seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa,
ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.

Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada
zaman Kediri, antara lain sebagai berikut.
35
Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai
anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna
akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.

Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari


Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.

Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya,
cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan
Kunjarakarna.

O. Karya di Bidang Hukum Tata Negara

Empu Triguna hidup pada masa pemerintahan Prabu Jayawarsa di Panjalu pada
tahun 1026 Saka atau 1104 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 18). Prabu Jayawarsa ini
juga menjadi patron bagi para pujangga dalam mengembangkan dinamika ilmu hukum
dan tata praja. Para cendekiawan yang berbakat diberi fasilitas untuk
mengaktualisasikan idealismenya.

Pernyataan ini didukung, sebenarnya sudah digarisbawahi oleh pujangga kita


dahulu. Karya hukum dan tata praja yang telah diciptakan oleh Empu Triguna adalah
Kakawin Kresnayana. Kakawin Kresnayana berisi tentang ilmu hukum dan
pemerintahan. Prabu Jayawarsa juga amat peduli dengan kehidupan ilmu pengetahuan,
sebagai tanda bahwa beliau juga seorang humanis. Empu Manoguna adalah rekan
seangkatan Empu Triguna. Keduanya merupakan pujangga istana jaman Prabu
Jayawarsa di Kerajaan Kadiri.

Menilik nama Empu Manoguna dan Triguna ada bagian yang sama,
kemungkinan besar dapat diduga keduanya masih ada hubungan kerabat atau
seperguruan. Yang jelas kedua Empu ini adalah konsultan dan penasehat utama Prabu
Jayawarsa.

Karya hukum dan tata praja ciptaan Empu Manoguna adalah Kakawin
Sumanasantaka, cerita yang bersumber dari Kitab Raguwangsa karya pujangga besar
dari India, Sang Kalisada. Pengaruh India ke dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno
memang besar, baik yang bersifat Hindu maupun Buda. Hal ini tampak dengan
ungkapan bahasa Sansekerta yang masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan Jawa
Kuno. Sumanasantaka berasal dari kata sumanasa = kembang dan antaka = mati.
Artinya adalah mati oleh kembang. Serat Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan
seorang raja dalam memimpin rakyatnya.

Karya hukum dan tata praja Empu Dharmaja yang terkenal adalah Kakawin
Smaradahana dan Kakawin Bomakawya. Kitab Smaradahana menceritakan Batara
Kamajaya yang punya sifat keagungan. Kitab Bomakawya menurut Teeuw (1946:97)
menceritakan cara memimpin yang berdasarkan pada nilai keadilan dan perdamaian.

36
Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu
Jayabaya. Sukses gemilang Kerajaan Kediri didukung oleh tampilnya cendekiawan
terkemuka Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna dan Empu
Manoguna. Mereka adalah jalma sulaksana, manusia paripurna yang telah
memperoleh derajat oboring jagad raya. Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabhaya,
Kerajaan Kadiri mencapai puncak peradaban, terbukti dengan lahirnya kitab-kitab
hukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun dalam karya-karya Kakawin
Bharatayuda oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh , Gathotkacasraya dan Hariwangsa
oleh Empu Panuluh yang hingga kini merupakan warisan ruhani bermutu tinggi.

P. Kejayaan Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan ketika masa pemerintahan Raja


Jayabaya. Daerah kekuasaannya semakin meluas yang berawal dari Jawa Tengah
meluas hingga hampir ke seluruh daerah Pulau Jawa. Selain itu, pengaruh Kerajaan
Kediri juga sampai masuk ke Pulau Sumatera yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Kejayaan pada saat itu semakin kuat ketika terdapat catatan dari kronik Cina yang
bernama Chou Ku-fei pada tahun 1178 M berisi tentang Negeri paling kaya di masa
kerajaan Kediri pimpinan Raja Sri Jayabaya. Bukan hanya daerah kekuasaannya saja
yang besar, melainkan seni sastra yang ada di Kediri cukup mendapat perhatian.
Dengan demikian, Kerajaan Kediri semakin disegani pada masa itu.

Q. Runtuhnya Kerajaan Kediri

Kerajaan Panjalu / Kediri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya yang juga
lebih dikenal dengan sebutan Dandang Gendis., dan dikisahkan dalam ”Pararaton” dan
”Nagarakretagama”. Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum
brahmana. Selama pemerintahannya, keadaan Kediri menjadi tidak aman.
Kestabilannya kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai
maksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana.
Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.

Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu
diperintah oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum Brahmana
banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan pasukannya untuk
menyerang Tumapel. Sementara itu, Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana
melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Genter ,
sekitar Malang (1222 M). Dalam pertempuran itu pasukan Kediri berhasil
dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri.

37
7. Kerajaan Singasari

A. Sejarah Kerajaan Singasari

Berdasarkan prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singasari yang


sesungguhnya ialah Kerajaan Tumapel, menurut Nagarakretagama, yang ketika
pertama kali didirikan tahun 1222 ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja. Pada
tahun 1253 Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama Kertanagara
sebagai yuwaraja dan mengganti nama ibu kota menjadi Singasari. Nama singasari
yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama
Tumapel, maka Kerajaan Tumapel pun terkenal pula dengan nama Kerajaan Singasari.
Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Cina dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-
ma-pan.

Menurut Pararaton Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan


Kadiri, yang menjabat sebagai akuwu “setara camat” Tumapel saat itu ialah Tunggul
Ametung. Ia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh pengawalnya sendiri yang
bernama Ken Arok yang kemudian menjadi akuwu baru. Ken Arok juga yang
mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Ken Arok kemudian
berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kerajaan Kadiri.

Pada tahun 1254 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kerajaan Kadiri
melawan kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok
yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang
Amurwabhumi. Perang melawan Kerajaan Kadiri meletus di desa Ganter yang
dimenangkan oleh pihak Tumapel.

Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan


Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok, dalam naskah itu,
pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang berhasil
mengalahkan Kertajaya raja Kerajaan Kadiri. Prasasti Mula Malurung atas nama
Kertanagara tahun 1255 menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel ialah Bhatara
Siwa, mungkin nama ini ialah gelar anumerta dari Rangga Rajasa, karena dalam
Nagarakretagama arwah pendiri Kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa.
Selain itu Pararaton juga menyebutkan bahwa sebelum maju perang melawan
Kerajaan Kadiri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.

B. Silsilah Wangsa Rajasa

Wangsa Rajasa yang didirikan oleh Ken Arok, keluarga kerajaan ini menjadi
penguasa Singasari dan berlanjut pada kerajaan Majapahit. Terdapat perbedaan antara
Pararaton dan Nagarakretagama dalam menyebutkan urutan raja-raja Singasari.

38
Versi Pararaton

 Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222-1247)


 Anusapati (1247-1249)
 Tohjaya (1249-1250)
 Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250-1272)
 Kertanagara (1272-1292)

Versi Nagarakretagama

 Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222-1227)


 Anusapati (1227-1248)
 Wisnuwardhana (1248-1254)
 Kertanagara (1254-1292)
C. Kejayaan

Kertanagara ialah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singasari (1272-
1292), ia ialah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun
1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan Sumatra sebagai
benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa mongol. Saat itu penguasa
Sumatra ialah Kerajaan Dharmasraya “kelanjutan dari Kerajaan Malayu”, Kerajaan ini
akhirnya dianggap telah ditundukkan, dengan dikirimkannya bukti arca Amoghapasa
yang dari Kertanagara, sebagai tanda persahabatan kedua negara.

Pada tahun 1284 Kertanagara juga mengadakan ekspedisi menaklukan Bali,


pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singasai meminta agar
Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh
Kertanagara. Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singasari di luar
Jawa pada masa Kertanagara antara lain Melayu, Bali, Pahang, Gurun dan Bakulapura.

D. Keruntuhan

Kerajaan Singasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa


akhirnya mengalami keropos di bagian dalam, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan
Jayakatwang bupati Gelanggelang yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus
besan dari Kertanagara sendiri, dalam serangn itu Kertanegara mati terbunuh. Setelah
runtuhnya Singasari Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di
Kerajaan Kadiri, riwayat Kerajaan Tumapel-Singasari pun berakhir.

8. Kerajaan Majapahit

A. Sejarah Kerajaan Majapahit

Pada saat terjadi serangan Jayakatwang, Raden Wijaya yang bertugas


menghadang di bagian utara, ternyata serangan yang terjadi lebih besar justru
39
dilancarkan dari selatan. Maka setelah Raden Wijaya kembali ke Istana, ia melihat
Istana Kerajaan Singasari sudah hampir habis dilalap api serta mendengar Kertanegara
telah terbunuh bersama dengan pembesar-pembesar lainnya. Akhirnya ia melarikan
diri bersama sisa-sisa tentaranya yang masih setia serta dibantu penduduk desa
Kugagu. Setelah merasa aman ia pergi ke Madura untuk meminta perlindungan dari
Aryawiraraja. Berkat bantuannya itu ia berhasil menduduki tahta, dengan
menghadiahkan daerah tarik kepada Raden Wijaya sebagai daerah kekuasaannya.
Ketika tentara Mongol datang ke Jawa dibawah pimpin Shih-Pi, Ike-Mise, serta Kau
Hsing dengan bertujuan menghukum Kertanegara, maka Raden Wijaya memanfaatkan
situasi tersebut untuk bekerja sama menyerang Jayakatwang. Setelah Jayakatwang
terbunuh, tentara Mongol berpesta pora merayakan kemenanganya. Kemudian
Kesempatan tersebut juga dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk berbalik melawan
tentara Mongol, sehingga tentara Mongol terusir dari Jawa serta pulang ke negrinya.
Maka di tahun 1293 Raden Wijaya naik tahta serta bergelar Sri Kertajasa
Jayawardhana.

B. Raja-raja Majapahit

1. Kertajasa Jawardhana (1293 – 1309)

Ialah merupakan pendiri kerajaan Majapahit, di masa pemerintahannya, Raden


Wijaya dibantu oleh mereka yang turut berjasa dalam merintis berdirinya Kerajaan
Majapahit, dan karena Aryawiraraja yang sangat besar jasanya diberikanlah kekuasaan
atas sebelah Timur meliputi daerah Lumajang, Blambangan. Raden Wijaya kemudian
memerintah dengan sangat baik serta bijaksana. Susunan pemerintahannya tidak
berbeda dengan susunan pemerintahan Kerajaan Singasari.

2. Raja Jayanegara (1309-1328)

Kala Gemet naik tahta setelah menggantikan ayahnya dengan mempunyai gelar
Sri Jayanegara. Pada Masa pemerintahannnya ditandai dengan adanya pemberontakan-
pemberontakan. Misalnya pada pemberontakan Ranggalawe 1231 saka,
pemberontakan Lembu Sora 1233 saka, pemberontakan Juru Demung 1235 saka,
pemberontakan Gajah Biru 1236 saka, Pemberontakan Nambi, Lasem, Semi, Kuti
dengan peristiwa Bandaderga. Pemberontakan Kuti ialah pemberontakan yang
berbahaya, hampir meruntuhkan Kerajaan Majapahit pada saat itu. tetapi semua itu
dapat diatasi. kemudian Raja Jayanegara dibunuh oleh tabibnya sendiri yang bernama
Tanca. Tanca dibunuh pula oleh Gajah Mada.

3. Tribuwana Tunggadewi (1328 – 1350)

Raja Jayanegara meninggal tanpa meninggalkan seorang putrapun, Oleh karena


itu yang seharusnya menjadi raja ialah Gayatri, tetapi karena ia telah menjadi seorang
Bhiksu maka digantikan oleh putrinya Bhre Kahuripan dengan gelar sebagai
Tribuwana Tunggadewi, dan dibantu oleh suaminya yang bernama Kartawardhana. Di
40
tahun 1331 timbulah pemberontakan yang dilakukan oleh daerah Sadeng dan Keta
(Besuki). Pemberontakan ini kemudian berhasil ditumpas oleh Gajah Mada yang pada
saat itu menjabat sebagai Patih Daha. Atas jasanya ini kemudian Gajah Mada diangkat
sebagai Mahapatih Kerajaan Majapahit menggantikan Pu Naga. Gajah Mada
kemudian berusaha untuk menunjukkan kesetiaannya, dan ia bercita-cita menyatukan
wilayah Nusantara yang dibantu oleh Mpu Nala serta Adityawarman. Pada tahun
1339, Gajah Mada bersumpah tidak makan Palapa sebelum wilayah Nusantara bersatu.
Sumpahnya itu dikenal dengan nama Sumpah Palapa,adapun isi dari sumpah palapa
ialah sebagai berikut :

:”Lamun luwas kalah nusantara isum amakti palapa, lamun kalah ring Gurun,
ring Seram, ring Sunda, ring Palembang, ring Tumasik, samana sun amukti palapa”.

Kemudian Gajah Mada melakukan penaklukan-penaklukan.

4. Hayam wuruk

Hayam Wuruk naik tahta pada usia yang sangat muda ialah 16 tahun serta
bergelar Rajasanegara. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk yang didampingi oleh
Mahapatih Gajah Mada , pada saat itu Majapahit mencapai keemasannya. Dari Kitab
Negerakertagama lah maka dapat diketahui bahwa daerah kekuasaan pada masa
pemerintahan Raja Hayam Wuruk,ialah hampir sama luasnya dengan wilayah
Indonesia yang sekarang, bahkan pengaruh kerajaan Majapahit sampai pada negara-
negara tetangga. Satu-satunya daerah yang tidak tunduk kepada kekuasaaan Majapahit
ialah kerajaan Sunda yang saat itu dibawah pimpinan Sri baduga Maharaja. Hayam
Wuruk kemudian bermaksud mengambil putri Sunda untuk dijadikan permaisurinya.
Setelah putri Sunda (Diah Pitaloka) serta ayahnya Sri Baduga Maharaja bersama
dengan para pembesar Sunda berada di Bubat, Gajah Mada melakukan tipu muslihat,
Gajah Mada tidak mau perkawinan Hayam Wuruk serta putri Sunda dilangsungkan
begitu saja. Ia menghendaki agar putri Sunda itu dipersembahkan kepada Majapahit
(sebagai upeti). Maka terjadilah perselisihan paham serta akhirnya terjadinya perang
Bubat. Banyak korban dikedua belah pihak, Sri Baduga gugur, putri Sunda bunuh diri.

Pada tahun 1364 Gajah Mada meninggal, Kerajaan Majapahit kehilangan


seorang mahapatih yang tak ada duanya. Untuk dapat memilih penggantinya bukan
suatu pekerjaan yang sangat mudah. Dewan Saptaprabu yang sudah beberapa kali
mengadakan sidang untuk dapat memilih pengganti Gajah Mada akhirnya
memutuskan bahwa Patih Hamungkubhumi Gajah Mada ialah tidak akan diganti
“untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan pemerintahan diangkat Mpu Tandi
sebagai Wridhamantri, Mpu Nala sebagai menteri Amancanegara serta patih dami
sebagai Yuamentri. kemudian Raja Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389.

41
5. Wikramawardhana

Putri mahkota Kusumawardhani yang kemudian naik tahta menggantikan


ayahnya bersuamikan Wikramawardhana. Dalam prakteknya Wikramawardhanalah
yang menjalankan roda pemerintahannya. Sedangkan Bhre Wirabhumi anak Hayam
Wuruk dari selir, dikarenakan Bhre Wirabhumi (Putri Hayam Wuruk) dari selir maka
ia tidak berhak menduduki tahta kerajaan walaupun demikian ia masih diberi
kekuasaan untuk dapat memerintah di Bagian Timur Majapahit , yaitu daerah
Blambangan. Perebutan kekuasaan antara Wikramawardhana dengan Bhre Wirabhumi
disebut dengan nama perang Paregreg.

Wikramawardhana kemudian meninggal tahun 1429, pemerintahan raja-raja


berikutnya berturut-turut ialah Suhita, Kertawijaya, Rajasa Wardhana, Purwawisesa
dan Brawijaya V, yang tidak luput ditandai perebutan kekuasaan.

C. Sumber Sejarah

Sumber sejarah mengenai berdiri serta berkembangnya kerajaan Majapahit


ini yakni :

 Prasasti Butok (1244 tahun).

Prasasti ini dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah Raden Wijayaberhasil


naik tahta kerajaan. Prasasti ini kemudian memuat peristiwa keruntuhan kerajaan
Singasari serta perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan kerajaan

 Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama,

kedua kidung ini menceritakan Raden Wijaya yang ketika menghadapi musuh
dari kediri serta tahun-tahun awal perkembangan Majapahit

 Kitab Pararaton,

menceritakan tentang pemerintahan raja-raja Singasari serta Majapahit

 Kitab Negarakertagama,

menceritakan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Jawa Timur.

D. Kehidupan Politik

Majapahit selalu dapat menjalankan politik bertetangga yang baik dengan


kerajaan asing, seperti Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa serta Kamboja. Hal itu
terbukti sekitar tahun 1370 – 1381, saat itu Majapahit telah beberapa kali mengirim
utusan persahabatan ke Cina. Hal itu diketahui dari berita berita kronik Cina dari
Dinasti Ming.
42
Raja kerajaan Majapahit sebagai negarawan ulung juga sebagai politikus-
politikus yang baik. Hal tersebut dibuktikan oleh Raden Wiajaya, Hayam Wuruk, serta
Maha Patih Gajahmada dalam usahanya mewujudkan kerajaan besar, tangguh serta
berwibawa.

Struktur pemerintahan di pusat pemerintahan Majapahit :

1. Raja

2. Yuaraja atau Kumaraja (Raja Muda)

3. Rakryan Mahamantri Katrini

a. Mahamantri i-hino

b. Mahamantri i-hulu

c. Mahamantri i-sirikan

4. Rakryan Mahamantri ri Pakirakiran

a. Rakryan Mahapatih (Panglima atau Hamangkubhumi)

b. Rakryan Tumenggung (panglima Kerajaan)

c. Rakryan Demung (Pengatur Rumah Tangga Kerajaan)

d. Rakryan Kemuruhan (Penghubung dan tugas-tugas protokoler) dan

e. Rakryan Rangga (Pembantu Panglima)

5. Dharmadyaka yang diduduki oleh 2 orang, yang masing-masing dharmadyaka


dibantu oleh sejumlah pejabat keagamaan yang biasa disebut Upapat. Pada masa
hayam Wuruk ada 7 Upapati.

Selain pejabat-pejabat yang telah disebutkan diatas , dibawah raja ini adalah
sejumlah raja daerah (paduka bharata) yang masing-masing memerintah pada suatu
daerah. Disamping raja-raja daerah adapula pejabat-pejabat sipil ataupun militer. Dari
susunan pemerintahannya kita dapat melihat bahwa sistem pemerintahan serta
kehidupan politik kerjaan Majapahit sudah sangat teratur.

E. Kehidupan Sosial Ekonomi dan Kebudayaan

Hubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tentangga itu sangatlah


mendukung dalam bidang perekonomian (pelayaran serta perdagangan). Wilayah

43
kerajaan Majapahit terdiri atas pulau serta daerah kepulauan yang dapat menghasilkan
berbagai sumber barang dagangan.

Barang dagangan yang dipasarkan antara lain ialah seperti beras, lada,
gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh, pala, kapas serta kayu cendana.

Dalam dunia perdagangan, kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang


terpenting , yaitu sebagai :

 Kerajaan Produsen – Majapahit mempunyai wilayah yang sangat luas dengan kondisi
tanah yang juga sangat subur. Dengan daerah subur itulah maka kerajaan Majapahit
ialah produsen barang dagangan.
 Sebagai Kerajaan Perantara – Kerajaan Majapahit membawa hasil bumi dari daerah
satu ke daerah yang lainnya. dalam Keadaan masyarakat yang teratur mendukung
terciptanya karya-karya budaya yang bermutu.

Bukti-bukti perkembangan dalam kebudayaan di kerajaan Majapahit juga


dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan berikut ini :

 Candi : Antara lain candi Penataran (Blitar), Candi Tegalwangi dan candi Tikus
(Trowulan).
 Sastra : Hasil sastra zaman Majapahit dapat kita bedakan menjadi

Sastra Zaman Majapahit Awal

 Kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca


 Kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular
 Kitab Arjunawiwaha, karangan Mpu Tantular
 Kitab Kunjarakarna
 Kitab Parhayajna

Sastra Zaman Majapahit Akhir

Hasil sastra zaman Majapahit akhir ditulis dalam bahasa Jawa Tengah,
diantaranya ada yang ditulis dalam bentuk tembang (kidung) dan yang ditulis dalam
bentuk gancaran (prosa).

Hasil sastra terpenting antara lain :

 Kitab Prapanca, isinya menceritakan raja-raja Singasari dan Majapahit


 Kitab Sundayana, isinya tentang peristiwa Bubat
 Kitab Sarandaka, isinya tentang pemberontakan sora
 Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe
 Panjiwijayakrama, isinya menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai menjadi
raja
44
 Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan
Aryadamar, pemindahan Keraton Majapahit ke Gelgel dan penumpasan raja
raksasa bernama Maya Denawa.
 Kitab Usana Bali, isinya tentanng kekacauan di Pulau Bali.
 Kitab Paman Cangah, Tantu Pagelaran, Calon Arang, Korawasrama,
Babhulisah, Tantri Kamandaka serta Pancatantra

9. Kerajaan Buleleng dan Dinasti Warmadewa di Bali

A. Sejarah Kerajaan Buleleng dan Dinasti Warmadewa di Bali

Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali, kerajaan ini


berkembang pada abad IX-XI Masehi. Kerajaan Buleleng diperintah oleh Dinasti
Warmadewa, keterangan mengenai kehidupan masyarakat kerajaan Bulelengh pada
masa Dinasti Warmadewa dapat dipelajari dari beberapa prasasti seperti prasasti
Belanjong, Panempahan dan Melatgede.

Kerajaan Buleleng ialah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar
pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini
dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan cara
menyatukan seluruh wilayah-wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan
nama Den Bukit.

B. Kehidupan Politik

Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa, berdasarkan


prasasti Belanjong, Sri Kesari Warmadewa merupakan keturunan bangsawan
Sriwijaya yang gagal menaklukan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kegagalan
tersebut menyebabkan Sri Kesari Warmadewa memilih pergi ke Bali dan mendirikan
sebuah pemerintahan baru diwilayah Buleleng.

Pada tahun 989 hingga 1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana
Warmadewa, Udayana memiliki tiga putra yakni Airlangga, Marakatapangkaja dan
Anak Wungsu, kelak Airlangga akan menjadi terbesar Kerajaan Medang kemulan di
Jawa Timur. Menurut prasasti yang terdapat di pura batu Madeg, Raja Udayana
menjalin hubungan erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini dilakukan
karena permaisuri Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan
Mpu Sindok, kedudukan Raja Udayana digantikan putranya yakni Marakatapangkaja.

Rakyat Buleleng menganggap Marakatapangkaja sebagai sumber kebenaran


hukum karena ia selalu melindungi rakyatnya, Marakatapangkaja membangun
beberapa tempat peribadatan untuk rakyat. Salah satu peninggalan Marakatapangkaja
ialah kompleks candi di Gunung Kawi “Tampaksiring”. Pemerintahan
Marakatapangkaja digantikan oleh adikanya, Anak Wungsu. Anak Wungsu
merupakan raja terbesar dari Dinasti Warmadewa. Anak Wungsu berhasil menjaga
45
kestabilan kerajaan dengan menaggulangi berbagai gangguan baik dari dalam maupun
luar kerajaan.

Dalam menjalankan pemerintahan, Raja Buleleng dibantu oleh badan


penasihat pusat yang disebut pakirankiran I Jro makabehan. Badan ini terdiri atas
senapati dan pendeta Siwa serta Buddha. Badan ini berkewajiban memberi tafsiran dan
nasihat kepada raja atas berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat,
Senapati bertugas di bidang kehakiman dan pemerintahan, sedangkan pendeta
mengurusi masalah sosial dan agama.

C. Kehidupan Sosial Budaya

Para ahli memperkirakan keadaan masyarakat Buleleng pada masa Dinasti


Warmadewa tidak begitu jauh berbeda dengan masyarakat pada saat ini. Pada masa
pemerintahan udayana masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah yang
disebut wanua. Sebagian besar penduduk yang tinggal di wanua bermata pencaharian
sebagai petani. Sebyah wanua dipimpin seorang tetua yang dianggap pandai dan
mampu mengayomi masyarakat.

Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi


dua kelompok besar yakni golongan caturwarna dan golongan luar kasta “jaba”,
pembagian ini didasarkan pada kepercayaan Hindu yang dianut masyarakat Bali. Raja
anak Wungus juga mengenalkan sistem penamaan bagi anak pertama, kedua, ketiga
dan keempat dengan nama pengenal sebagai berikut.

 Anak pertama dinamakan wayan, kata wayan berasal dari wayahan yang
berarti tua.
 Anak kedua dinamakan made, kata made berasal dari madya yang berarti
tengah.
 Anak ketiga dinamakan nyoman, kata nyoman berasal dari nom yang berarti
muda.
 Anak keempat dinamakan ketut, kata ketut berasal dari tut yang berarti
belakang.

Selama pemerintahan Anak Wungsu peraturan dan hukum ditegakkan dengan


adil, masyarakat diberi kebebasan berbicara. Jika masyarakat ingin menyampaikan
pendapat mereka didampingi pejabat desa untuk menghadap langsung kepada raja.
Kebebasan tersebut membuktikan Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib
rakyat yang dipimpinnya.

Masyarakat Buleleng sudah mengembangkan berbagai kegiatan kesenian,


kesenian berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja Udayana, pada masa ini
kesenian dibedakan menjadi dua yakni seni keraton dan seni rakyat. Dalam seni
keraton dikenal penyanyi istana yang disebut pagending sang ratu, selain penyanyi
dikenal pula kesenian petapukan “topeng”, pemukul “gamelan”, banwal “gadelan” dan
46
pinus “lawak”. Adapun jenis kesenian yang berkembang di kalangan rakyat antara lain
awayang ambaran “wayang keliling”, anuling “peniup suling”, atapukan (permainan
topeng”, parpadaha “permainan genderang” dan abonjing “permainan angklung”.

D. Kehidupan Ekonomi

Kegiatan ekonomi masyakarat Buleleng bertumpu pada sektor pertanian,


keterangan kehidupan ekonomi masyarakat Buleleng dapat dipelajari dari prasasti
bulian. Dalam prasasti bulian terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan
sistem bercocok tanam seperti sawah, parlak “sawah kering”, gaga ” ladang”, kebwan
“kebun”, mmal ” ladang di pegunungan” dan kasuwakan “pengairan sawah”.

Pada masa pemerintahan Marakatapangkaja kegiatan pertanian berkembang


pesat, perkembangan tersebut erat kaitannya dengan penemuan urut-urutan menanam
padi yakni mbabaki “pembukaan tanah”, mluku “membajak”, tanem “menanam padi”,
matun “menyiang”, ani-ani “menuai padi” dan nutu “menumbuk padi”. Dari
keterangan tersebut sangat jelas bahwa pada masa pemerintahan Marakatapangkaja
penggarapan tanah sudah maju dan tidak jauh berbeda dengan pengolahan tanah pada
masa ini.

Perdagangan antarpulau di Buleleng sudah cukup maju, kemajuan ini ditandai


dengan banyaknya saudagar yang bersandar dan melakukan kegiatan perdagangan
dengan penduduk Buleleng. Komoditas dagang yang terkenal dari Buleleng ialah
kuda. Dalam prasasti Lutungan disebutkan bahwa Raja Anak Wungsu melakukan
transaksi perdagangan tiga puluh ekor kuda dengan saudagar dari Pulau Lombok.
Keterangan tersebut membuktikan bahwa perdagangan pada saat itu sudah maju sebab
kuda merupakan binatang besar sehingga memerlukan kapal besar pula untuk
mengangkutnya.

E. Kehidupan Agama

Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat Buleleng, akan


tetapi tradisi megalitik masih mengakar kuat dalam masyarakat Buleleng. Kondisi ini
dibuktikan dengan penemuan beberapa bangunan pemujaan seperti punden berunduk
disekitar pura-pura Hindu. Pada masa pemerintahan Janasadhu Warmadewa “975-
983” pengaruh Buddha mulai berkembang di Buleleng. Agama Buddha berkembang
di beberapa tempat di Buleleng seperti Pejeng, Bedulu dan Tampaksiring,
perkembangan agama Buddha di Buleleng ditandai dengan penemuan unsur-unsur
Buddha seperti arca Buddha di gua Gajah dan stupa dipura Pegulingan.

Agama Hindu dan Buddha mulai mendapatkan peranan penting pada masa
Raja Udayana. Pada masa ini pendeta Syiwa dan Brahmana Buddha diangkat sebagai
salah satu penasihat raja. Sesuai dengan kepercayaan Hindu, raja dianggap penjelmaan
“inkarnasi” dewa. Bukti ini menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu dan rakyat
Buleleng merupakan penganut waisnawa yakni pemuja Dewa Wisnu. Selain agama
47
Hindu dan Buddha di Buleleng berkembang sekte-sekte kecil yang menyembah dewa-
dewa tertentu, misalnya sekte Ganapatya “penyembah Dewa Gana” dan Sora
“penyembah dewa Matahari”.

10. Kerajaan Tulang Bawang

Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di daerah


Lampung adalah kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang. Berita Cina tertua
yang berkenaan dengan daerah Lampung berasal dari abad ke-5, yaitu dari kitab Liu-
sungShu, sebuah kitab sejarah dari masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420–479). Kitab
ini di antaranya mengemukakan bahwa pada tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak
di wilayah Nusantara bagian barat bernama P’u-huang atau P’o-huang mengirimkan
utusan dan barang-barang upeti ke negeri Cina. Lebih lanjut kitab Liu-sung-Shu
mengemukakan bahwa Kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang
diperdagangkan ke Cina. Hubungan diplomatik dan perdagangan antara P’o-huang dan
Cina berlangsung terus sejak pertengahan abad ke-5 sampai abad ke-6, seperti halnya dua
kerajaan lain di Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li. Untuk memahami
lebih lanjut kamu dapat membaca buku Marwati Djoened Poesponoro. Sejarah Nasional
Indonesia jilid II; dan Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan, Indonesia Sejarah
Daerah Bali.

Dalam sumber sejarah Cina yang lain, yaitu kitab T’ai-p’inghuang-yu-chi


yang ditulis pada tahun 976–983 M, disebutkan sebuah kerajaan bernama T’o-lang-p’p-
huang yang oleh G. Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang
yang terletak di daerah pantai tenggara Pulau Sumatera, di selatan sungai Palembang
(Sungai Musi). L.C. Damais menambahkan bahwa lokasi T’o-lang P’o-huang tersebut
terletak di tepi pantai seperti dikemukakan di dalam Wu-pei-chih, “Petunjuk Pelayaran”.
Namun, di samping itu Damais kemudian memberikan pula kemungkinan lain mengenai
lokasi dan identifikasi P’o-huang atau “Bawang” itu dengan sebuah nama tempat
bernama Bawang (Umbul Bawang) yang sekarang terletak di daerah Kabupaten
Lampung Barat, yaitu di daerah Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara Liwah. Tidak
jauh dari desa Bawang ini, yaitu di desa Hanakau, sejak tahun 1912 telah ditemukan
sebuah inskripsi yang dipahatkan pada sebuah batu tegak, dan tidak jauh dari tempat
tersebut dalam waktu beberapa tahun terakhir ini masih ditemukan pula tiga buah
inskripsi batu yang lainnya. Keberadaan nama Kerajaan Tulang Bawang (To-La P’o-
Hwang) sempat di kenal di tanah air. Meski tidak secara terperinci menjelaskan, dari
sejumlah riwayat sejarah maupun catatan penziarah asal daratan Cina, mengungkap akan
keberadaan daerah kerajaan ini. Prasasti (batu bertulis) Kedukan Bukit yang ditemukan
di Palembang menyebut, saat itu Kerajaan Sriwijaya (Che-Li P'o Chie) telah berkuasa
dan ekspedisinya menaklukkan daerah-daerah lain, terutama dua pulau yang berada di
bagian barat Indonesia. Sejak saat itu, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang
yang sempat berjaya akhirnya lambat laun meredup seiring berkembangnya kerajaan
maritim tersebut. Sejarah Indonesia dan keyakinan masyarakat Lampung menyatakan
pada suatu masa ada sebuah kerajaan besar di Lampung. Kerajaan itu sudah terlanjur
menjadi identitas Provinsi Lampung dalam konteks Indonesia modern. Pertanyaan-
48
pertanyaan yang selanjutnya mengemuka adalah bagaimana asal mula Kerajaan Tulang
Bawang, di mana pusat kerajaannya, siapa raja yang memerintah dan siapa pula pewaris
tahtanya hingga sekarang. Banyak sejarawan, antropolog maupun arkeolog, bahkan
pemerintah Provinsi Lampung pun, berusaha keras untuk menemukan kembali rangkaian
sejarah yang 'hilang' tersebut.

Meski hingga kini situs Kerajaan Tulang Bawang belum dapat dilacak
keberadaannya, namun usaha-usaha untuk meneliti dan menggali jejak-jejak
peninggalannya perlu terus dilakukan. Dalam perjalanan dan perkembangan sejarah
kebudayaan dan perdagangan di Nusantara digambarkan, Kerajaan Tulang Bawang
merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia. di samping Kerajaan Melayu,
Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara. Bahkan, Kerajaan Tulang Bawang yang pernah ada
di Pulau Sumatera (Swarna Dwipa) ini tercatat sebagai kerajaan tertua di Tanah Andalas.
Hal itu dibuktikan dari sejumlah temuan-temuan, baik berupa makam tokoh-tokoh serta
beberapa keterangan yang menyebut keberadaan kerajaan di daerah selatan Pulau
Sumatera ini. Kebudayaan Tulang Bawang adalah tradisi dan kebudayaan lanjutan dari
peradaban Skala Brak. Karena dari empat marganya, yaitu Buai Bulan, Buai Tegamoan,
Buai Umpu dan Buai Aji, di mana salah satu buai tertuanya adalah Buai Bulan, yang jelas
bagian dari Kepaksian Skala Brak Cenggiring dan merupakan keturunan dari Putri Si
Buai Bulan yang melakukan migrasi ke daerah Tulang Bawang bersama dua marga
lainnya, yakni Buai Umpu dan Buai Aji. Dengan demikian, adat budaya suku Lampung
Tulang Bawang dapat dikatakan lanjutan dari tradisi peradaban Skala Brak yang
berasimilasi dengan tradisi dan kebudayaan lokal, yang dimungkinkan sekali telah ada di
masa sebelumnya atau sebelum mendapatkan pengaruh dari Kepaksian Skala Brak.

Kebudayaan Tulang Bawang yang merupakan penyimbang punggawa dari


Kepaksian Skala Brak adalah satu kesatuan dari budaya-budaya dan etnis Lampung yang
lainnya, seperti Keratuan Semaka, Keratuan Melinting, Keratuan Darah Putih, Keratuan
Komering, Sungkai Bunga Mayang, Pubian Telu Suku, Buai Lima Way Kanan, Abung
Siwo Mego dan Cikoneng Pak Pekon. Pembagian dan pengaturan wilayah kekuasaannya
diatur oleh Umpu Bejalan Diway berdasarkan daerah-daerah yang dialiri oleh
sungai/way. Secara harfiah Bu-Way atau Buay berarti pemilik sungai/way atau pemilik
daerah kekuasaan yang wilayahnya dialiri oleh sungai.

Semasanya, daerah ini telah terbentuk suatu pemerintahan demokratis yang di


kenal dengan sebutan marga. Marga dalam bahasa Lampung di sebut mego/megou dan
mego-lo bermakna marga yang utama. Di mana pada waktu masuknya pengaruh Devide
Et Impera, penyimbang marga yang harus ditaati pertama kalinya di sebut dengan
Selapon. Sela berarti duduk bersila atau bertahta. Sedangkan pon/pun adalah orang yang
dimulyakan.

Ketika syiar ajaran agama Hindu sudah masuk ke daerah Selapon, maka
mereka yang berdiam di Selapon ini mendapat gelaran Cela Indra atau dengan istilah
yang lebih populer lagi di kenal sebutan Syailendra atau Syailendro yang berarti bertahta
raja. Mengenai asal muasal kata Tulang Bawang berasal dari beberapa sumber.
49
Keberadaan Tulang Bawang, dalam berbagai referensi, mengacu pada kronik perjalanan
pendeta Tiongkok, I Tsing. Disebutkan, kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-
713). Seorang biksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India dan
kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tinggal
di Chang’an. Dia menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam
bahasa Cina Berdasarkan catatan dari I Tsing, seorang penziarah asal daratan Cina
menyebutkan, dalam lawatannya ia pernah mampir ke sebuah daerah di Tanah Chrise. Di
mana di tempat itu, walau kehidupan sehari-hari penduduknya masih bersipat tradisional,
tapi sudah bisa membuat kerajinan tangan dari logam besi yang dikerjakan pandai besi.
Warganya ada pula yang dapat membuat gula Aren yang bahannya dari pohon Aren.

Sewaktu pujangga Tionghoa I Tsing datang melawat dan singgah melihat


daerah Selapon, dari I Tsing inilah kemudian di sebut lahirnya nama Tola P’o-Hwang.
Sebutan Tola P’o-Hwang dari ejaan Sela-pon. Sedangkan untuk mengejanya, kata
Selapon ini di lidah I Tsing berbunyi So-la-po-un. Berhubung orang Tionghoa itu berasal
dari Ke’, seorang pendatang negeri Cina yang asalnya dari Tartar dan dilidahnya tidak
dapat menyebutkan sebutan so, maka I Tsing mengejanya dengan sebutan to. Sehingga
kata Selapon/Solapun disebutnya To-La P’o-Hwang (Suara Pembangunan, 2005).
Memang hingga kini belum banyak catatan sejarah yang mengungkapkan perkembangan
kerajaan ini. Namun catatan Cina kuno menyebutkan pada pertengahan abad ke 4 masehi
seorang penziarah agama Budha bernama Fa-Hien (337-422) pernah melawat ke
Sumatera. Waktu itu, ketika Fa-Hien melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, tapi ia
justru terdampar dan singgah di sebuah kerajaan bernama To-Lang P'o-Hwang (Tulang
Bawang), tepatnya di pedalaman Chrise (Sumatera). Catatan Fa-Hien tersebut
menjelaskan akan keberadaan wilayah Kerajaan Tulang Bawang. Namun dia tidak
menyebut di mana persisnya letak pusat pemerintahan kerajaan ini.

Menurut riwayat turun temurun yang dituturkan, mengenai penamaan Tulang


Bawang salah satu sumber menyebutkan bahwa sesuai dengan Kerajaan Tulang Bawang
yang hingga kini belum di dapat secara mutlak, baik keraton maupun rajanya, demikian
juga peninggalan-peninggalannya, bahkan abad berdirinya pun tidak dapat dipastikan,
sipat-sipat ini sama halnya dengan sipat bawang. Bentuk bawang, dikatakan bertulang di
mana tulangnya. Semakin dicari semakin hilang (kecil), sampai habis tak bertemu dengan
tulangnya. Riwayat kedua, menurut cerita-cerita dahulu raja Tulang Bawang ini banyak
musuh. Semua musuh-musuhnya itu harus dibunuh. Karena tempat pembuangan mayat
ini di bawang atau lebak-lebak yang akhirnya tertimbunlah mayat-mayat tersebut
didalamnya, sampai tinggal tumpukan tulang-tulang manusia memenuhi bawang/lebak-
lebak di sungai ini, maka di sebut Sungai Tulang Bawang. Riwayat ketiga, pada zaman
raja Tulang Bawang yang pertama sekitar abad ke IV masehi, dikisahkan permaisuri raja
menghanyutkan bawang di sungai, yang sekarang di kenal dengan sebutan Way (Sungai)
Tulang Bawang. Kemudian Permaisuri itu menyumpah-nyumpah “Sungai Bawang” lah
ini. Semenjak itu, sungai tersebut dinamakan Sungai Tulang Bawang atau Kerajaan
Tulang Bawang (Hi. Assa’ih Akip, 1976). Bila menggunakan pendapat Yamin, maka
penamaan Tolang P’o-Hwang akan berarti ”Orang Lampung” atau ”Utusan dari

50
Lampung” yang datang ke negeri Cina dalam abad ke 7 masehi. Yamin mengatakan,
perbandingan bahasa-bahasa Austronesia dapat memisahkan urat kata untuk menamai
kesaktian itu dengan nama asli, yaitu tu (to, tuh), yang hidup misalnya dalam kata-kata
tu-ah, ra-tu, Tu-han, wa-tu, tu-buh, tu-mbuhan dan lain-lain.

Berhubung dengan urat kata asli tu (tuh-to) menunjukkan zat kesaktian


menurut perbandingan bahasa-bahasa yang masuk rumpun Austronesia, maka baiklah
pula diperhatikan bahwa urat itu terdapat dalam kata-kata seperti to (orang dalam bahasa
Toraja), tu (Makasar dan Bugis). Dengan demikian, To-Lang P’o-Hwang berarti To=
orang dan Lang P’o-Hwang= Lampung. Sejak itu, orang-orang menyebut daerah ini
dengan sebutan Lampung (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lampung,
1977/1978). Menurut tuturan rakyat, Kerajaan Tulang Bawang berdiri sekitar abad ke 4
masehi atau tahun 623 masehi, dengan rajanya yang pertama bernama Mulonou Jadi.
Diperkirakan, raja ini asal-usulnya berasal dari daratan Cina. Dari namanya, Mulonou
Jadi berarti Asal Jadi. Mulonou= Asal/Mulanya dan Jadi= Jadi. Raja Mulonou Jadi pada
masa kemudiannya oleh masyarakat juga di kenal dengan nama Mulonou Aji dan
Mulonou Haji. Walaupun sudah sejak 651 masehi utusan dari Khalifah Usmar bin Affan,
yaitu Sayid Ibnu Abi Waqqas sudah bertransmigrasi ke Kyang Chou di negeri Cina dan
meskipun dikatakan utusan Tulang Bawang pernah datang ke negeri Cina dalam abad ke
7 masehi, namun rupanya orang-orang Lampung kala itu belum beragama Islam. Setelah
memerintah kerajaan, berturut-turut Raja Mulonou Jadi digantikan oleh putra mahkota
bernama Rakehan Sakti, Ratu Pesagi, Poyang Naga Berisang, Cacat Guci, Cacat Bucit,
Minak Sebala Kuwang dan pada abad ke 9 masehi kerajaan ini di pimpin Runjung atau
yang lebih di kenal dengan Minak Tabu Gayaw. Runjung (Minak Tabu Gayaw) memiliki
3 putra mahkota, masing-masing bernama Tuan Rio Mangku Bumi, Tuan Rio Tengah
dan Tuan Rio Sanak. Tuan Rio Mangku Bumi pewaris tahta kerajaan di Pedukuhan
Pagardewa, dengan hulubalang Cekay di Langek dan Tebesu Rawang. Sedangkan Tuan
Rio Tengah mempertahankan wilayah Rantaou Tijang (Menggala) dan Tuan Rio Sanak
mempertahankan wilayah daerah Panaragan dengan panglimanya Gemol (Minak Indah).
Dalam tuturan itu dikatakan juga, untuk mengawasi daerah perbatasan, seperti Mesuji,
Teladas, Gedung Meneng, Gunung Tapa, Kota Karang Mersou, Gedung Aji, Bakung dan
Menggala, masing-masing tempat tersebut di jaga oleh para panglimanya guna
mengamankan wilayah dari serangan musuh, baik dari luar maupun dalam negeri sendiri.

Pada masa Minak Patih Pejurit (Minak Kemala Bumi) terlihat benar susunan
struktur pertahanan ini. Tiap-tiap kampung dijaga oleh panglima-panglimanya. Seperti di
Kampung Dente Teladas, dijaga Panglima Batu Tembus dan Minak Rajawali, dengan
tugas pos pertahanan pertama dari laut. Arah ke hulu, Kampung Gedung Meneng,
Gunung Tapa dan Kota Karang, dengan panglimanya bernama Minak Muli dan Minak
Pedokou. Untuk pertahanan, tempat ini dijadikan pusat pertahanan kedua. Sementara,
Kampung Meresou atau Sukaraja, dijaga Panglima Minak Patih Ngecang Bumi dan
Minak Patih Baitullah, yang bertugas memeriksa (meresou) setiap musuh yang masuk.
Minak Kemala Bumi atau di kenal Haji Pejurit merupakan keturunan raja Kerajaan
Tulang Bawang yang telah beragama Islam. Ia lahir dan wafat pada abad ke 16 masehi.

51
Minak Kemala Bumi salah satu penyebar agama Islam di Lampung dan keturunan ke
sepuluh dari Tuan Rio Mangku Bumi, raja terakhir yang masih beragama Hindu. Haji
Pejurit atau Minak Patih Pejurit atau Minak Kemala Bumi mendalami ajaran agama Islam
berguru dengan Prabu Siliwangi (Jawa Timur). Lalu ia memperistri putri Prabu Siliwangi
bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Anak cucu dari keturunan mereka selanjutnya
menurunkan Suku Bujung dan Berirung. Selain catatan dan riwayat, bukti adanya
Kerajaan Tulang Bawang, diantaranya terdapat makam raja-raja seperti Tuan Rio
Mangku Bumi yang dimakamkan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah dimakamkan di
Meresou dan Tuan Rio Sanak dimakamkan di Gunung Jejawi Panaragan. Selain itu, ada
pula makam para panglima yang berada di sejumlah tempat. Tuturan rakyat lain
mengatakan, raja Kerajaan Tulang Bawang bernama Kumala Tungga. Tak dapat
dipastikan dari mana asal raja dan tahun memerintahnya. Namun diperkirakan Kumala
Tungga memerintah kerajaan sekitar abad ke 4 dan 5 masehi (Sumber: Drs. Dafryus FA,
Menggala, 2009). Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan pusat Kerajaan
Tulang Bawang. Tapi ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan, pusat kerajaan ini
terletak di hulu Way Tulang Bawang, yaitu antara Menggala dan Pagardewa, kurang
lebih dalam radius 20 kilometer dari pusat ibukota kabupaten, Kota Menggala. Meski
belum di dapat kepastian letak pusat pemerintahan kerajaan ini, namun berdasarkan
riwayat sejarah dari warga setempat, pemerintahannya diperkirakan berpusat di
Pedukuhan, di seberang Kampung Pagardewa. Kampung ini letaknya berada di
Kecamatan Tulang Bawang Tengah, yang sekarang tempat itu merupakan sebuah
kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat, pemekaran dari Kabupaten Tulang
Bawang.

Mengenai pusat pemerintahan kerajaan ini, pada sekitar tahun 1960 terjadi
peristiwa mistis yang dialami salah seorang warga Kampung Pagardewa bernama Murod.
Kejadian yang dialaminya itu seakan menjadi sebuah ‘petunjuk’ akan keberadaan
kerajaan yang sampai kini letak pusat pemerintahannya belum juga ditemukan secara
pasti. Waktu itu, Murod tengah mencari rotan di Pedukuhan. Kemudian ia ‘tersesat’ ke
sebuah tempat yang masih asing baginya. Di tempat tersebut, Murod melihat rumah yang
atapnya terbuat dari ijuk dan dipekarangannya terdapat taman. Di dalam rumah itu,
dilihatnya ada kursi kerajaan terbuat dari emas, gong serta perlengkapan lainnya. (Hi.
Assa’ih Akip, 1976 dan Hermani, SP, Pagardewa, 2009). Meningkatnya kekuasaan
Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke 7 masehi, di sebut dalam sebuah inskripsi batu
tumpul Kedukan Bukit dari kaki Bukit Seguntang, di sebelah barat daya Kota Palembang
mengatakan bahwa pada tahun 683, Kerajaan Sriwijaya telah berkuasa, baik di laut
maupun di darat. Dalam tahun tersebut berarti kerajaan ini sudah mulai meningkatkan
kekuasaannya. Pada tahun 686, negara tersebut telah mengirimkan para ekspedisinya
untuk menaklukkan daerah-daerah lain di Pulau Sumatera dan Jawa. Oleh karenanya,
diperkirakan sejak masa itu Kerajaan Tulang Bawang sudah dikuasai oleh Kerajaan
Sriwijaya, atau daerah ini tidak berperan lagi di pantai timur Lampung. Seiring dengan
makin berkembangnya Kerajaan Che-Li P'o Chie (Sriwijaya), nama dan kebesaran
Kerajaan Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin pudar. Akhirnya, dengan
bertambah pesatnya kejayaan Sriwijaya yang di sebut-sebut pula sebagai kerajaan

52
maritim dengan wilayahnya yang luas, sulit sekali untuk mendapatkan secara terperinci
prihal mengenai catatan sejarah perkembangan Kerajaan Tulang Bawang. Sumber lain
menyebutkan, Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara Kerajaan
Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan Sriwijaya,
pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang tidak dapat menerima
ajaran tersebut menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang
menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih
eksis. Pada abad ke 7 masehi, nama Tola P'ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung,
yang kemudian di kenal dengan nama Lampung.

11. Kerajaan Kota Kapur

Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka,
pada tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk tentang kemungkinan adanya sebuah pusat
kekuasaan di daerah itu sejak masa sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya. Pusat
kekuasaan ini meninggalkan temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan
candi Hindu (Waisnawa) terbuat dari batu bersama dengan arca-arca batu, di antaranya
dua buah arca Wisnu dengan gaya seperti arca-arca Wisnu yang ditemukan di Lembah
Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar
abad ke-5 dan ke-7 Masehi. Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan
sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686
Masehi), telah ditemukan pula peninggalan-peninggalan yang lain di antaranya sebuah
arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini.

Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di


Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat.Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah
peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar
terbuat dari timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter
dengan ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan
masa antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah
dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 M tersebut agaknya telah berperan pula dalam
menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7 M.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan Temuan piring di situs Kota
Kapur dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka
(=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya.

Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan


peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia
Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686
maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.

53
BAB 3 PENUTUP

1. Kesimpulan

 Agama hindu-budha datang ke Indonesia melalui para pedagang yang hendak pergi ke
China. Para pedagang tersebut singgah cukup lama di Indonesia untuk menunggu
angin ke arah utara.

 Selama mereka singgah di Indonesia mereka mengajarkan agama Hindu.

 Lama kelamaan munculah berbagai kerajaan Hindu di Indonesia, seperti Kerajaan


Kutai, Tarumanagara, Kalingga, Sriwijaya Mataram Kuno, Kediri, Singasari,
Majapahit, Buleleng, Tulang Bawang, dan Kota Kapur.

 Kerajaan Kutai, adalah kerajaan Hindu pertama di Indonesia yang letaknya di


Kalimantan Timur dengan Raja Kudungga sebagai pendirinya, dan Raja Mulawarman
sebagai Raja yang paling terkenalnya. Peninggalannya berupa Prasasti Yupa.

 Kerajaan Tarumanegara, adalah kerajaan hindu yang terletak di Bekasi dengan


Raja Purnawarman sebagai rajanya yang paling terkenal. Prasasti yang paling
terkenalnya adalah Prasasti Ciaruteun dengan terukirnya telapak kaki Raja
Purnawarman yang begitu besar.

 Kalingga atau Ho-ling “sebutan dari sumber Tiongkok” merupakan sebuah kerajaan
bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Yang letak
pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara
Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang.

 Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha yang berdiri pada abad ke-7
dibuktikan dengan adanya prasasti kedukan Bukit di Palembang (682), Sriwijaya
menjadi salah satu kerajaan yang kuat di Pulau Sumatera. Nama Sriwijaya berasal dari
bahasa Sanskerta berupa “Sri” yang artinya bercahaya dan “Wijaya” berarti
kemenangan sehingga dapat diartikan dengan kemenangan yang bercahaya atau
gemilang.

 Kerajaan Mataram Kuno, adalah kerajaan yang letaknya di Jawa Tengah dan
sempat dipindahkan ke Jawa Timur, alasan perpindahannya telah dijelaskan pada
Teori Van Bamellen. Pernah terjadi pertikaian antara Dinasti Sanjaya (Samaratungga)
dengan Dinasti Syailendra (Pramodhawardani) yang akhirnya membuat
Pramodhawardani melarikan diri ke Sumatra. Terdapat peristiwa bersejarah yang
disebut Peristiwa Mahapralaya di mana Kerajaan ini hancur diserang
Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan Wurawari ketika sedang diadakan
pesta pernikahan.

 Kerajaan Kediri, adalah kerajaan yang telah berhasil merebut kekuasaan Kerajaan
Mataram Kuno. Pernah terjadi pelarian kaum Brahmana ke wilayah Tumapel karena
54
mereka tidak dihargai di Kerajaan Kediri. Pelarian Brahmana tersebut membuat
Kerajaan Kediri mencetuskan peperangan dengan pasukan Tumapel dan menuai
kekalahan.

 Kerajaan Singasari, adalah kerajaan yang awalnya adalah daerah Tumapel yang
kemudian berhasil membuat Kerajaan Kediri tunduk, dan dikuasai. Kerajaan ini
terkenal dengan kasus bunuh membunuh antarkeluarga, yang dipicu oleh keinginan
Ken Arok untuk memperistri Ken Dedes. Kerajaan ini akhirnya dapat direbut kembali
oleh Kerajaan Kediri yang memanfaatkan kasus penyerangan pasukan Kubilaikhan ke
Kerajaan ini.

 Kerajaan Majapahit, adalah Kerajaan Hindu terbesar dan terakhir di Indonesia.


Dengan Raden Wijaya sebagai pendirinya. Awalnya kerajaan ini hanya sebuah desa
kecil pemberian Jayakatwang, dari Kerajaan Kediri yang telah berhasil merebut
kekuasaan Kerajaan Singasari. Namun, berkat kecerdikan Raden Wijaya, akhirnya
Kerajaan Kediri dapat dikalahkan Majapahit dengan siasat bekerjasama
dengan pasukan Kubilaikhan dari Cina. Raja Majapahit yang paling terkenal adalah
Raja Hayam Wuruk bersama patihnya, Gajah Mada. Dengan sumpah palapa, Gajah
Mada beserta rajanya, Hayam Wuruk berhasil menyatukan nusantara, kecuali untuk
sebuah kerajaan kecil, yaitu kerajaan Sunda. Berakhirnya Kerajaan Majapahit, adalah
dengan meninggalnya Raja Hayam Wuruk karena patah hati tidak bisa menikahi
putri cantik dari kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka. Dyah Pitaloka bunuh diri karena
keluarganya mati dibunuh pasukan Majapahit yang diperintahkan Gajah mada atas
sebuah kesalahpahaman.

 Dengan berakhirnya kekuasaan Majapahit, maka berakhir pula kekuasaan kerajaan


hindu di Indonesia. Maka mulai bermunculanlah Kerajaan Islam.

 Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali, kerajaan ini berkembang pada
abad IX-XI Masehi. Kerajaan Buleleng diperintah oleh Dinasti Warmadewa,
keterangan mengenai kehidupan masyarakat kerajaan Bulelengh pada masa Dinasti
Warmadewa dapat dipelajari dari beberapa prasasti seperti prasasti Belanjong,
Panempahan dan Melatgede.

 Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa, berdasarkan prasasti


Belanjong, Sri Kesari Warmadewa merupakan keturunan bangsawan Sriwijaya yang
gagal menaklukan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kegagalan tersebut
menyebabkan Sri Kesari Warmadewa memilih pergi ke Bali dan mendirikan sebuah
pemerintahan baru diwilayah Buleleng.

 Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di daerah Lampung
adalah kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang. Berita Cina tertua yang
berkenaan dengan daerah Lampung berasal dari abad ke-5, yaitu dari kitab Liu-
sungShu, sebuah kitab sejarah dari masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420–479).

55
 Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada
tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk tentang kemungkinan adanya sebuah pusat
kekuasaan di daerah itu sejak masa sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya. Pusat
kekuasaan ini meninggalkan temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah
bangunan candi Hindu (Waisnawa) terbuat dari batu bersama dengan arca-arca batu,
di antaranya dua buah arca Wisnu dengan gaya seperti arca-arca Wisnu yang
ditemukan di Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang
berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 Masehi.

2. Saran

Kita harus menjaga kelestarian dan budaya-budaya yang ditinggalkan agama Hindu-
Budha.

56
DAFTAR PUSTAKA

https://www.gurupendidikan.co.id/kerajaan-kutai-sejarah-raja-dan-bukti-peninggalan/

https://fokussatu.com/kerajaan-tarumanegara/

https://www.gurupendidikan.co.id/kerajaan-kalingga-sejarah-masa-kejayaan-runtuhnya/

https://www.gurupendidikan.co.id/kerajaan-sriwijaya-sejarah-kejayaan-keruntuhan-
peninggalan/

https://www.gurupendidikan.co.id/kerajaan-mataram-kuno-sejarah-raja-dan-peninggalan-
beserta-kehidupan-politiknya-secara-lengkap/

https://www.gurupendidikan.co.id/kerajaan-kediri-sejarah-raja-dan-peninggalan-beserta-
kehidupan-politiknya-secara-lengkap/

https://www.gurupendidikan.co.id/kerajaan-singasari-sejarah-awal-berdiri-silsilah-kejayaan-
keruntuhan/

https://www.gurupendidikan.co.id/sejarah-kerajaan-majapahit-terlengkap/

https://www.gurupendidikan.co.id/kerajaan-buleleng-sejarah-kehidupan-politik-sosial-
budaya-ekonomi-agama/

https://www.gurusejarah.com/2017/07/sejarah-lengkap-kerajaan-tulang-bawang.html

https://www.gurusejarah.com/2017/07/sejarah-lengkap-kerajaan-kota-kapur.html

57

Anda mungkin juga menyukai