Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH KERAJAAN KOTA KAPUR

D
I
S
U
S
U
N
Oleh :

Nama Kelompok : 1. Aris Setiawan

2. Sari Reski

3. Putri Indah

Kelas : X Akutansi 3

Guru Pembimbing : Suryadi. Spd

Pelajaran : Sejarah Indonesia

SMK SETIA DARMA PALEMBANG


TAHUN AJARAN 2018 / 2019
SEJARAH KERAJAAN KOTA KAPUR
Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Desa Kota Kapur Kecamatan Mendo,
Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, pada tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk
tentang kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah itu sejak masa sebelum
munculnya Kerajaan Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan
dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 saka (686
masehi), yang isinya mengidentifikasi dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan
Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangka sebagai
pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak
dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal
yang ada di Pulau Bangka.

PEMIMPIN PADA MASA KERAJAAN KOTA KAPUR


Raja yang memimpin pada masa Kerajaan Kota Kapur masih belum diketahui secara pasti
bahkan di situs prasasti Kota Kapur tidak dijelaskan mengenai raja Kerajaan Kota Kapur.
Namun, ada beberapa orang yang mengatakan yaitu Maharaja Javaka dan Raja Khmer, tetapi
masa pemerintahannya belum diketahui.

PENINGGALAN PADA MASA KERAJAAN KOTA KAPUR


Pusat kekuasaan ini meninggalkan temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah
bangunan Candi Hindu (Waisnawa) terbuat dari batu bersama dengan arca-arca batu,
diantaranya dua buah arca Wisnu dengan gaya seperti arca-arca Wisnu yang ditemukan di
Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa
sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.

Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan
Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan-
peninggalan yang lain, diantaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga
Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut, nampaknya
kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di
Kerajaan Tarumanegara, Jawa Barat.

Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng
pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah,
masing-masing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2-3
meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 Masehi
sampai 870 Masehi. Benteng pertahanan terebut yang telah dibangun sekitar pertengahan
abad ke-6 agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau
Bangka menjelang akhir abad ke-7.
Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang batu bersurat yang ditemukan di pesisir
barat Pulau Bangka, disebuah dusun kecil yang bernama Kota Kapur. Tulisan pada prasasti
ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunaka bahasa Melayu Kuno, serta merupakan
salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu.

Prasati ini dilaporkan penemuannya oleh J.K van der Meulen pada bulan Desember 1892, dan
merupakan prasati pertama yang ditemukan mengenai Sriwijaya.

Orang pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa
Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mulanya ia
menganggap “Sriwijaya” adalah nama seorang raja. George Coedes yang kemudian berjasa
mengungkapkan bahwa “Sriwijaya” adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera pada abad ke-
7 Masehi, suatu kerajaan yang kuat dan pernah menguasai bagian barat Nusantara,
Semenanjung Malaya, dan Thailand bagian selatan.

Hingga tahun 2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijkmuseum (Museum Kerajaan)
Amsterdam, negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia.

Isi prasasti
Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari lima buah batu prasasti kutukan yang dibuat oleh
Dapunta Hyang, seorang penguasa dari Kadatuan Sriwijaya. Inilah isi lengkap dari Prasarti
Kota Kapur, seperti yang ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Coedes :
Siddha titam hamba nvari I avai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lavan tandrun luah
makamatai tandrun luah vinunu paihumpaan hakairum muah kayet ni humpa unai tunai.
(“Keberhasilan!” = disertai mantra persumpahan yang tidak dipahami artinya).

Umentern bhakti ni ulun haraki. Unai tunai kita savanakta devata mahardika sannidhana.
Manraksa yan kadatuan crivijaya. Kita tuvi tandrun luah vanakta devata mulana yan
parsumpahan. (“Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul melindungi
Kadatuan Sriwijaya ini, kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali pemulaan segala
sumpah”).

Paravis kadadhi yan uran didalanna bhami pravis hanun. Samavuddhi lavan drohaka,
manujari drohaka, niujari drohaka talu din drohaka. Tida ya. (“Bilamana di pedalaman semua
daerah yang berada di bawah Kadatun ini akan ada orang yang memberontak yang
bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang
mendengarkan kata pemberontak”).

Marppadah tida ya bhakti. Tida yan tatvarjjawa diy aku. Dngan diiyan nigalarku sanyasa
datua. Dhava vuathana uran inan nivunuh ya sumpah nisuruh tapik ya mulan parvvanda datu
criwi. (“Yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang
tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang
yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi
untuk melawannya seketika dibawah pimpinan datu atau beberapa datu Sriwijaya, dan biar
mereka”).

Jaya Talu muah ya dnan gotrasantanana. Tathapi savankna yan vuatna jahat. Makalanit uran.
Makasuit. Makagila. Mantra gada visaprayoga. Udu tuwa. Tamval. (“Dihukum bersama
marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti mengganggu
:ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra,
racun, memakai racun upas dan tuba, ganja.

Sarambat. Kasihan. Vacikarana. Ityevamadi. Janan muah ya sidha. Pulan ka iya muah yan
dosana vuatna jahat inan tathapi nivunuh yan sumpah talu mauah ya mulam yam manu.
(“Saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga
perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan
perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang
menghasut orang”).

Ruh marjjahati. Yan vat nipratishta ini tuvi nivunuh ya sumpah talu, muah ya mulan.
Saranbhana uran drohaka tida bhakti thatvarjjava diy aku, dhava vua. (“Supaya merusak,
yang merusak batu yang diletakkan ditempat ini, mati juga kena kutuk; dan dihukum
langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada
saya, biar pelaku perbuatan tersebut”).

Tna niwunuh ya sumpah ini gran kadachi iya bhakti tatvjjava diy aku. Dngan di yam
nigalarku sanyasa dattua. Canti muah kavuatana. Dngan gotrasantanana. (“Mati karena kutuk.
Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saya diangkat
sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan keluarganya”).

Samrddha svasthi niroga nirupadrava subhiksa muah vanuana paravis chakravarsatita 608 din
pratipada cuklapaksa vulan vaichaka. Tatkalana. (“Dengan keberhasilan, kesentosaan,
kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segalanya untuk semua negeri mereka!
Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha 28 Februari 686 Masehi, pada
saat itulah”).

Yan manman sumpah ini. Nipahat di velana yan vala crivijaya kalivat manapik yan bhumi
java tida bhakti ka crivijaya. (“Kutukan ini diucapkan; pematahannya berlangsung ketika
balai tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang bhumi jawa yang tidak takluk
kepada Sriwijaya.

Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran
tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak.
Prasaati Kota Kapur.
Prasasti Kota Kapur adalah prasasti Sriwijaya yang pertama kali ditemukan, jauh sebelum
Prasasti Kedukan Bukit yang baru ditemukan di Palembang pata tanggal 29 November 1920,
dan Prasasti Talang Tuwo yang ditemukan beberapa hari sebelumnya yaitu pada tanggal 17
November 1920. Berdasarkan prasasti ini, Sriwijaya diketahui telah menguasai bagian selatan
Sumatera, Pulau Bangka dan Belitung hingga Lampung.
Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk
menghukum “Bhumi Jawa” yang tidak berbakti (tidak mau tunduk) kepada Sriwijaya.
Peristiwa ini cukup bersamaan waktunya dengan perkiraan runtuhnya Taruma di Jawa bagian
barat dan Holing (Kalingga) di Jawa bagian Tengah. Ada kemungkinan hal tersebut akibat
serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan
maritime di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

KEHIDUPAN MASYARAKAT PADA MASA KERAJAAN KOTA KAPUR


Kehidupan politik.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi
Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (686 Masehi), yang isinya
mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya.

Kehidupan sosial.
Aspek kehidupan sosial masyarakat Kota Kapur sampai saat ini masih diteliti dan dikaji,
sehingga belum ada keterangan tentang kehidupan sosial masyarakat Kota Kapur.

Kehidupan ekonomi.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini agakanya berkaitan dengan peranan Selat
Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu
itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah
kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.

Kehidupan agama.
Di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya
yang berangka tahun 608 Saka (686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan-peninggalan
lain yatu diantaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah Arca Durga Mahisasuramardhini. Dari
peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya keuasaan di Pulau Bangka pada
waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa
Barat.

Bagaimana Tradisi Asia Tenggara di Kota Kapur


Temuan papan perahu kuno di situs Kota Kapur segera dapat diidentifikasi lewat
teknik pembuatannya. Lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta
lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan merupakan
teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank
and lushed plug technique).
Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat
papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arenga pinnata). Tali ijuk
dimasukkan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang
ditemukan di Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam
lubang. Biasanya, penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.
Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti
tertua penggunaan teknik gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa
perahu di situs Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5
Masehi.
Penelitian Sriwijaya yang intensif di Sumatera tahun 1980-1990 juga menemukan banyak
sisa perahu kuno tradisi Asia Tenggara seperti yang ditemukan di lokasi situs prasasti kota
kapur ini. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs Samirejo,
Mariana (Kabupaten Banyuasin), di situs Kolam Pinisi (Palembang), dan di situs Tulung
Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu sejenis di
situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung Timur).
Selain papan-papan perahu, ditemukan pula kemudi perahu dari kayu besi yang diduga
bagian dari teknologi tradisi Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan situs
Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin).
Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium
dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi
menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs
Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).
Sisa-sisa perahu kuno situs Kota Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan
masa perahu di situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya
di situs Kota Kapur menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni oleh komunitas yang telah
mapan sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi, kemudian berkembang menjadi salah
satu ke-"datu"-an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Permukiman kuno itu terus berlanjut
pada abad ke-10 hingga ke-15 Masehi.
Pada bagian dalam benteng tanah di kota kapur ini terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi
yang menempati dataran yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal dan hunian di situs prasasti
kota kapur ini terdapat pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo dan
Sungai Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan
tembikar kasar dengan hiasan sederhana mirip tembikar masa prasejarah.

Anda mungkin juga menyukai