Anda di halaman 1dari 11

13 Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Beserta

Gambarnya (#Lengkap)
Sponsors Links

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang dicatat dalam sejarah Dinasti Tang dikatakan jika di abad
ke-7, pantai Timur Sumatera Selatan sudah berdiri Kerajaan Sriwijaya atau She-li-fo-she dan
sumber ini diperoleh dari 6 buah prasasti yang ditemukan tersebar di wilayah Sumatera bagian
Selatan dan juga Pulau Bangka dan Belitung. Dalam sumber asing dijelaskan banyak sekali
tentang Kerajaan Sriwijaya seperti dari Prasasti Ligor yang di bangun pada tahun 775 Masehi di
Pantai Timur Thailand bagian Selatan, Prasasti Nalanda pada abad pertengahan ke-9 dan juga
prasasti Tanjore pada 1030 Masehi di India.

Artikel terkait:

 Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara Lengkap


 Sejarah Kerajaan Majapahit
 Sejarah Kerajaan Islam di Indonesia
 Asal Usul Nusantara

Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Di sekitar tahun 425, agama Buddha sudah diperkenalkan di Sriwijaya lebih tepatnya di
Palembang dan sudah banyak para peziarah serta peneliti dari berbagai negara di Asia seperti
pendeta Tiongkok I Ching yang berkunjung ke Sumatera dalam perjalanan studinya ke
universitas Nalanda. Ia menulis jika Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha. Berikut
ini kami berikan ulasan mengenai peninggalan Kerajaan Sriwijaya secara lengkap, silahkan
dilihat dibawah ini.

1. Prasasti Kota Kapur


Prasasti Kota Kapur yang merupakan peninggalan
Kerajaan Sriwijaya ini ditemukan di Pulau Bangka bagian Barat yang ditulis dengan memakai
bahasa Melayu Kuno serta aksara Pallawa. Prasasti ini ditemukan oleh J.K Van der Meulen
tahun 1892 dengan isi yang menceritakan tentang kutukan untuk orang yang berani melanggar
titah atau pertintah dari kekuasaan Raja Sriwijaya. Prasasti ini kemudian diteliti oleh H.Kern
yang merupakan ahli epigrafi berkebangsaan Belanda yang bekerja di Bataviaasch Genootschap
di Batavia. Awalnya ia beranggapan jika Sriwijaya merupakan nama dari seorang raja. George
Coedes lalu mengungkapkan jika Sriwijaya adalah nama dari Kerajaan di Sumatera abad ke-7
Masehi yang mrupakan Kerajaan kuat dan pernah berkuasa di bagian Barat Nusantara,
Semenanjung Malaya serta Thailand bagian Selatan.

Sampai tahun 2012, Prasasti Kota Kapur ini masih ada di Rijksmuseum yang merupakan
Museum Kerajaan Amsterdam, Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional
Indonesia. Prasasti Kota Kapur ini ditemukan lebih dulu sebelum prasasti Kedukan Bukit serta
Prasasti Talang Tuwo. Dari Prasasti ini Sriwijaya diketahui sudah berkuasa atas sebagian
wilayah Sumatera, Lampung, Pulau Bangka dan juga Belitung. Dalam Prasasti ini juga dikatakan
jika Sri Jayasana sudah melakukan ekspedisi militer yakni untuk menghukum Bhumi Jawa yang
tidak mau tunduk dengan Sriwijaya. Peristiwa ini terjadi hampir bersamaan dengan runtuhnya
Taruma di Jawa bagian Barat dan juga Kalingga atau Holing di daerah Jawa bagian Tengah yang
kemungkinan terjadi karena serangan dari Sriwijaya. Sriwijaya berhasil tumbuh serta memegang
kendali atas jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut
Jawa serta Selat Karimata.

Artikel terkait:

 Sejarah Minangkabau
 Sejarah Candi Kalasan
 Sejarah Candi Cetho
 Candi Peninggalan Budha

2. Prasasti Ligor
Prasasti Ligor ditemuan di Nakhon Si
Thammarat, wilayah Thailand bagian Selatan yang memiliki pahatan di kedua sisinya. Pada
bagian sisi pertama dinamakan Prasasti Ligor A atau manuskrip Viang Sa, sementara di sisi
satunya merupakan Prasasti Ligor B yang kemungkinan besar dibuat oleh raja dari wangsa
Sailendra yang menjelaskan tentang pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana untuk Sri
Maharaja. Prasasti Ligor A menceritakan tentang Raja Sriwijaya yang merupakan raja dari
semua raja di dunia yang mendirikan Trisamaya Caitya untuk Kajara. Sedangkan pada Prasasti
Ligor B yang dilengkapi dengan angka tahun 775 dan memakai aksara Kawi menceritakan
tentang nama Visnu yang memiliki gelar Sri Maharaja dari keluarga Śailendravamśa dan
mendapatk julukan Śesavvārimadavimathana berarti pembunuh musuh yang sombong sampai
tak tersisa.

Artikel terkait:

 Candi Peninggalan Agama Hindu


 Sejarah Islam di Indonesia
 Sejarah Kota Surabaya
 Sejarah Situs Ratu Boko

Sponsors Link

3. Prasasti Palas Pasemah

Prasasti Palas Pasemah ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan,
Lampung yang ditulis dengan memakai bahasa Melayu Kuno aksara Pallawa dan terdiri dari 13
baris tulisan. Isi dari prasasti ini menjelaskan tentang kutukan dari orang yang tidak mau tunduk
dengan kekuasaan Sriwijaya. Jika dilihat dari aksara, Prasasti Palas Pasemah ini diduga berasal
dari abad ke-7 Masehi.

4. Prasasti Hujung Langit

Prasasti Hujung Langit merupakan Prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada sebuah
desa bernama Desa Haur Kuning, Lampung dan juga ditulis dalam bahasa Melayu Kuno serta
aksara Pallawa. Isi dari prasasti ini tidak terlalu jelas sebab kerusakan yang terjadi sudah cukup
banyak, namun diperkirakan berasal dari tahun 997 Masehi dan isinya tentang pemberian tanah
Sima.

5. Prasasti Telaga Batu


Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya
adalah prasasti telaga batu. Prasasti Telaga Batu ditemukan di kolam Telaga Biru, Kelurahan 3
Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Kota Palembang tahun 1935 yang berisi tentang kutukan untuk
mereka yang berbuat jahat di kedautan Sriwijaya dan kini disimpan pada Museum Nasional
Jakarta. Di sekitar lokasi penemuan Prasasti Telaga Batu ini juga ditemukan Prasasti Telaga Batu
2 yang menceritakan tentang keberadaam sebuah vihara dan pada tahun sebelumnya juga
ditemukan lebih dari 30 buah Prasasti Siddhayatra yang juga sudah disimpan di Museum
Nasional Jakarta. Prasasti Telaga Batu dipahat di batu andesit dengan tinggi 118 cm serta lebar
148 cm.

Pada bagian atas prasasti ada hiasan 7 buah kepala ular kobra serta di bagian tengah terdapat
pancuran tempat mengalirnya air pembasuh. Tulisan pada prasasti ini memiliki 28 baris dengan
huruf Pallawa dan memakai bahasa Melayu Kuno. Secara garis besar, isi dari tulisan ini adalah
tentang kutukan untuk mereka yang berbuat kejahatan di kedatuan Sriwijaya dan tidak mematuhi
perintah dari datu. Casparis lalu mengemukakan pendapat jika orang yang termasuk berbahaya
dan juga bisa melawan kedatuan Sriwijaya perlu untuk disumpah yakni putra raja (rājaputra),
menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), Pembesar/tokoh lokal terkemuka
(nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua
pekerja/buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli
senjata (vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko
(kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja
(marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji).

Prasasti ini menjadi prasasti kutukan lengkap sebab juga dituliskan nama pejabat pemerintahan
dan menurut dugaan beberapa ahli sejarah, orang yang terulis di dalam prasasti juga tinggal di
Palembang yang merupakan ibukota kerajan. Sedangkan Soekmono beranggapan jika tidak
mungkin Sriwijaya berasal dari Palembang sebab adanya kutukan kepada siapa pun yang tidak
patuh pada kedatuan dan juga mengusulkan Minanga seperti yang tertulis pada prasasti Kedukan
Bukit yang diasumsikan berada di sekitar Candi Muara Tikus ibukota Sriwijaya.

Artikel terkait:

 Sejarah Candi Mendut


 Sejarah Kota Semarang
 Sejarah Wali Songo
 Sejarah Runtuhnya Bani Ummayah

ads

6. Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan tanggal 29


November 1920 oleh M. Batenburg di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang,
Sumatera Selatan, lebih tepatnya di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti
ini memiliki ukuran 45 cm x 80 cm memakai bahasa Melayu Kuno dan aksara Pallawa. Isi dari
prasasti ini menceritakan tentang seorang utusan Kerajaan Sriwijaya yakni Dapunta Hyang yang
mengadakan Sidhayarta atau perjalanan suci memakai perahu. Dalam perjalanan tersebut, ia
didampingi dengan 2000 pasukan dan berhasil menaklukan beberapa daerah lainnya dan prasasti
tersebut kini juga tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

Di baris ke-8 prasasti ini ada unsur tanggal, akan tetapi pada bagian akhir sudah hilang yang
seharusnya diisi dengan bulan. Berdasarkan dari data fragmen prasasti No. D.161 yang
ditemukan pada situs Telaga Batu, J.G de Casparis serta M. Boechari diisi dengan nama bulan
Asada sehingga penangalan prasasti tersebut menjadi lengkap yakni hari e-5 paro terang bulan
Asada yang bertepatan dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi. George Cœdès berpendapat jika
siddhayatra memiliki arti ramuan bertuah namun juga bisa diartikan lain. Dari kamus Jawa Kuno
Zoetmulder tahun 1995 berarti sukses dalam perjalanan dan bisa disimpulkan jika isi prasasti
adalah Sri Baginda yang naik sampan untuk melaksanakan penyerangan sudah sukses melakukan
perjalanan tersebut.

Dari Prasasti Kedukan Bukit ini diperoleh data yakni Dapunta Hyang yang berangkat dari
Minanga lalu menaklukan kawasan dimana ditemukan prasasti tersebut yakni Sungai Musi,
Sumatera Selatan. Dengan kemiripan bunyi, maka ada juga yang beranggapan jika Minanga
Tamwan merupakan Minangkabau yaitu eilayah pegunungan di hulu Sungai Batanghari.
Sebagian lagi berpendapat jika Minanga tidak sama seperti Melayu dan kedua wilayah tersebut
berhasil ditaklukan oleh Dapunta Hyang. Sedangkan Soekmono beranggapan jika Minanga
Tamwan berarti pertemuan 2 sungai sebab tawan memiliki arti temuan yaitu pertemuan dari
Sungai Kampar Kanan dengan Sungai Kampar Kiri di Riau yang merupakan wilayah di sekitar
Candi Muara Tikus.

Sebagian lagi berpendapat jika Minanga berubah tutur menjadi Binanga yakni sebuah kawasan
yang ada di hilir Sungai Barumun, Sumatera Utara, sedangkan pendapat lainnya beranggapan
jika armada yang dipimpin Jayanasa berasal dari luar Sumatera yaitu Semenanjung Malaya.
Dalam bukunya, Kiagus Imran Mahmud menuliskan jika Minanga tidak mungkin berarti
Minangkabau sebab istilah ini baru ada sesudah masa Sriwijaya dan ia juga berpendapat jika
Minanga yang dimaksud merupakan pertemuan dari 2 sungai di Minanga yaitu Sungai Komering
dan juga Lebong, Tulisan Matayap memang tidak terlalu jelas sehingga mungkin yang dimaksud
adalah Lengkayap yakni sebuah daerah di Sumatera Selatan.

Artikel terkait:

 Sejarah Candi Gedong Songo


 Sejarah Kerajaan Tarumanegara
 Sejarah Kerajaan Singasari
 Sejarah Perang Kamang

7. Prasasti Talang Tuwo

Pada kaki Bukit Seguntang tepi bagian utara


Sungai Musi, Louis Constant Westenenk yang merupakan seorang residen Palembang
menemukan sebuah Prasasti pada 17 November 1920. Prasasti yang disebut dengan Talang
Tuwo ini berisi tentang doa dedikasi yang menceritakan aliran Budha yang dipakai pada masa
Sriwijaya kala itu merupakan aliran Mahayana dan ini dibuktikan dengan penggunaan kata khas
aliran Budha Mahayana seperti Vajrasarira, Bodhicitta, Mahasattva serta
annuttarabhisamyaksamvodhi.

Prasasti ini masih dalam keadaan yang baik dan ditulis pada bidang datar berukuran 50 cm x 80
cm berangka 606 Saka atau 23 Maret 684 Masehi berbahasa Melayu Kuno dan ditulis dengan
aksara Pallawa. Prasasti ini memiliki 14 baris kalimat dan sarjana pertama yang sudha berhasil
menerjemahkan prasasti tersebut adalah Van Ronkel serta Bosh yang sudah dimuat pada Acta
Orientalia. Prasasti ini kemudian disimpan pada Museum Nasional Jakarta mulai tahun 1920.
Prasasti ini menceritakan tentang pembangunan taman oleh Raja Sriwijaya yakni Sri Jayanasa
yang dibuat untuk rakyat pada abad ke-7. Dalam prasasti tertulis jika taman berada di tempat
dengan pemandangan sangat indah dan lahan yang dipakai memiliki bukit serta lembah. Pada
dasar lembah juga mengalir sungai menuju Sungai Musi. Taman ini dinamakan Taman Sriksetra
yang juga ada dalam prasasti.

Dalam Prasasti Talang Tuwo ini dituliskan niat dari Baginda yakni, Semoga yang ditanam di
sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan,
demikian pula bambu haur, waluh, dan pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-
tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya
berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang
tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan.” “Jika mereka
lapar waktu beristirahat atau dalam perjalanan, semoga mereka menemukan makanan serta air
minum. Semoga semua kebun yang mereka buka menjadi berlebih (panennya). Semoga suburlah
ternak bermacam jenis yang mereka pelihara, dan juga budak-budak milik mereka.” “Semoga
mereka tidak terkena malapetaka, tidak tersiksa karena tidak bisa tidur. Apa pun yang mereka
perbuat, semoga semua planet dan rasi menguntungkan mereka, dan semoga mereka terhindar
dari penyakit dan ketuaan selama menjalankan usaha mereka.” Dan juga semoga semua hamba
mereka setia pada mereka dan berbakti, lagi pula semoga teman-teman mereka tidak
mengkhianati mereka dan semoga istri mereka bagi istri yang setia. Lebih-lebih lagi, di mana
pun mereka berada, semoga di tempat itu tidak ada pencuri, atau orang yang mempergunakan
kekerasan, atau pembunuh, atau penzinah dan seterusnya.

Artikel terkait:

 Sejarah Candi Panataran


 Sejarah Patung Pancoran
 Pertempuran Medan Area
 Sejarah Timor Timur

8. Prasasti Leiden

Prasasti Leiden juga menjadi peninggalan bersejarah Kerajaan Sriwijaya yang ditulis pada
lempengan tembaga dalam bahasa Sansekerta serta Tamil dan pada saat ini Prasasti Leiden ada
di museum Belanda dengan isi yang menceritakan tentang hubungan baik dari dinasti Chola dari
Tamil dengan dinasti Sailendra dari Sriwijaya, india Selatan.

9. Prasasti Berahi
Prasasti Berahi ditemukan oleh Kontrolir L.M.
Berhout tahun 1904 di tepi Batang Merangin, Dusun Batu Bersurat, Desa Karang Berahi,
kecamatan Pamenang, Merangin, Jambi. Seperti pada Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur
dan juga Prasasti Palas Pasemah dijelaskan tentang kutukan untuk mereka yang melakukan
kejahatan dan tidak setia dengan Raja Sriwijaya. Prasasti ini tidak dilengkapi dengan tahun, akan
tetapi bisa diidentifikasi memakai aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dengan isi mengenai
kutukan untuk orang yang tidak setia dan tidak tunduk dengan Driwijaya seperti pada Prasasti
Gunung Kapur dan Prasasti Telaga Batu.

Pak Natsir mengemukakan pendapat jika Prasasti Karang berahi ditemukan pada lokasi
berdekatan dengan struktur bata kuno yang sekarang digunakan sebagai lokasi pemakaman. Dari
cerita di Dusun Batu Bersurat, dulu Prasasti Karangberahi ditemukan oleh cucu Temenggung
Lakek pada tahun 1727 yang dimana pada masa tersebut, Dusun Batu Bersurat disebut dengan
Dusun Tanjung Agung. Anak Temenggung Lakek yang bernama Jariah lalu membawa batu
Prasasti Karangberahi ke masjid Asyobirin di dekat aliran Batang Merangin dan pada masa
Belanda, Batu Prasasti dipindahkan ke Kota Bangko dan ditempatkan di halaman kantor residen
yang saat ini digunakan sebagai Kantor Dinas Budpar Kabupaten Merangin. Saat masa
penjajahan Jepang, masyarakat Karang Berahi minta agar batu tersebut dikembalikan ke Desa
Karang Berahi dan dikabulkan oleh Jepang yang kemudian dikembalikan ke lingkungan masjid
Asobirin di tepi Batang Merangin.

Artikel terkait:

 Perkembangan Nasionalisme Indonesia


 Penyebab Terjadinya Pertempuran Ambarawa
 Sejarah Kota Pontianak
 Pahlawan Nasional Wanita

Sponsors Link

10. Candi Muara Takus


Peninggalan Kerajaan Sriwijaya selanjutnya
adalah Candi Muara Takus. Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus Kecamatan XIII
Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia yang dikelilingi dengan tembok 74 x 74 meter terbuat
dari batu putih ketinggian lebih kurang 80 cm. Candi ini sudah ada sejak jaman keemasan
Kerajaan Sriwijaya dan menjadi salah satu pusat pemerintahan Kerajaan tersebut. Candi ini
terbuat dari batu pasir, batu bata dan batu sungai yang berbeda dengan candi kebanyakan di Jawa
yang terbuat dari batu andesit. Bahan utama membuat Candi Muara Takus ini adalah tanah liat
yang diambil dari desa Pongkai. Dalam kompleks ini terdapat sebuah stupa berukuran besar
dengan bentuk menara yang sebagian besar terbuat dari batu bata dan batu pasir kuning dan di
dalam bangunan Candi Muara Takus juga terdapat bangunan candi yakni Candi Bungsu, Candi
Tua, Palangka dan juga Stupa Mahligai.

Arsitektur dari Candi Muara Takus ini sangat unik sebab tidak ditemukan pada wilayah
Indonesia yang lain dan memiliki kesamaan bentuk dengan Stupa Budha di Myanmar, Vietnam
serta Sri Lanka sebab pada stupa mempunyai ornamen roda serta kepala singa yang hampir
ditemukan juga di semua kompleks Candi Muara Takus.

11. Candi Muaro Jambi

Kompleks Candi Muaro Jambi merupakan


kompleks candi terluas di Asia Tenggara yakni seluas 3981 hektar dan kemungkinan besar
adalah peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya serta Kerajaan Melayu. Candi Mauaro Jambi terletak
di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro nJambi, Jambi, indonesia di tepi Batang Hari.
Kompleks candi ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh letnan inggris bernama S.C.
Crooke saat melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk keperluan militer. Kemudian pada
tahun 1975, pemerintah Indonesia melakukan pemugaran serius dipimpin oleh R. Soekmono.
Dari aksara Jawa Juno yang terdapat dari beberapa lempengan yang juga ditemukan, seorang
pakar epigrafi bernama Boechari menyimpulkan jika candi tersebut merupakan peninggalan dari
abad ke-9 sampai 12 Masehi.

Dalam kompleks candi ini terdapat 9 buah candi yang baru mengalami proses pemugaran yakni
Gedong Satu, Kembar Batu, Kotomahligai, Gedong Dua, Tinggi, Gumpung, Candi Astano,
Kembang Batu, Telago Rajo dan juga Kedaton. Dalam kompleks Candi Muaro Jambi tidak
hanya ditemukan beberapa buah candi saja, namun juga ditemukan parit atau kanal kuno buatan
manusia, kolam penampungan air dan juga gundukan tanah yang pada bagian dalamnya terdapat
struktur bata kuno. Dalam kompleks candi ini setidaknya terdapat 85 buah menapo yang dimiliki
oleh penduduk setempat.

12. Candi Bahal

Candi Bahal, Candi Portibi atau Biaro Bahal


merupakan kompleks candi Buddha dengan aliran Vajrayana yang ada di Desa Bahal, kecamatan
Padang Bolak, Portibi, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara.

Candi ini terbuat dari material bata merah yang pada bagian kaki candi terdapat hiasan berupa
papan berkeliling dengan ukiran tokoh yaksa berkepala hewan yang sedang menari. Wajah
penari tersebut memakai topeng hewan seperti upacara di Tibet dan diantara papan tersebut ada
hiasan berupa ukiran singa yang sedang duduk.

Candi ini juga sangat cocok untuk dijadikan destinasi saat anda berkunjung ke sumatera karena
keindahannya yang sangat mencolok. Selain itu anda juga dapat melestarikan budaya di
indonesia.

13. Gapura Sriwijaya


Gapura Sriwijaya terletak di Dusun Rimba, Kecamatan Dempo Tengah, Kota Pagar Alam,
Sumatera Selatan. Dalam situs Gapura Sriwijaya ini terdapat 9 Gapura akan tetapi sampai saat
ini baru ditemukan sebanyak 7 gapura saja. Keadaan gapura pada situs ini sudah dalam keadaan
roboh karena kemungkinan disebabkan oleh faktor alam seperti erosi, gempa dan lainnya.
Reruntuhan Gapura Sriwijaya ini berbentuk bebatuan segi lima memanjang dengan tanda
cekungan bentuk oval ke dalam pada salah satu bagian sisi batu. Tanda cekungan ini merupakan
pengunci supaya batu bisa disatukan atau ditempel.

Anda mungkin juga menyukai