Anda di halaman 1dari 2

NAMA : IKMAL.

J
KELAS : XI AK 2
BIOGRAFI Bardan Nadi

Bardan Nadi
Lahir Sutrisno Sastrokusumo
1912
Meninggal 17 April 1947
Sungai Jawi, Pontianak
Kebangsaan Indonesia
Pekerjaan Bekerja di instansi Belanda.
Bersama dengan Surya Wirawan,
ia membuat Partai Indonesia Raya
Dikenal karena Perjuangan melawan Belanda
di Ngabang

Sutrisno Sastrokusumo (1912-17 April 1947) atau lebih dikenal dengan Bardan Nadi adalah seorang
pejuang Kalimantan Barat.

Masa kecil dan karier awal


Sutrisno Sastrokusumo lahir di Magelang, Jawa Tengah pada tahun 1912. Ayahnya bernama Raden
Suratman Nadi Sastrosasmito dari Solo dan ibunya bernama Sarifah dari Sedayu. Keluarga Nadi
tinggal di lingkungan keraton Solo. Ayahnya Bardan Nadi direkrut oleh Belanda sebagai kepala
pasukan.
Nadi dan ayahnya sering berpindah tempat dari Magelang, Semarang, Aceh, Bogor,
Jakarta, Pontianak dan Ngabang.
Pertama-tama, ia bersekolah di HIS, kemudian dilanjutkan di Sekolah Pertama. Sifat dan tata krama
Bardan Nadi yang sangat berbeda dengan anak-anak lainnya membuat orangtua teman sepermainannya
memberikan nama tambahan “Bardan” kepadanya. Bardan dalam bahasa Arab berarti sejuk.
Pada 1936, ia bersama pemuda Landak yang bernama Surya Wirawan membuat sebuah partai
bernama Parindra.

GUGUR DI HADAPAN REGU TEMBAK: PEJUANG KEMERDEKAAN KALBAR


Pada 10 Oktober 1946, PRI yang berubah nama menjadi Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM)
melakukan serangan terhadap Belanda dengan sasaran tangsi militer Belanda, rumah kontrolir Ngabang
dan pos polisi Belanda (NICA).
Dalam serangan ini, pasukan GERAM dibagi dua daerah operasi. Pertama, daerah Ngabang, Air Besar,
Menyuke dan sekitarnya dipimpin Gusti Lagum. Sedangkan operasi kedua di daerah Sengah Temila
dan sekitarnya dipimpin langsung oleh Bardan Nadi.
Setelah operasi dilancarkan, Bardan Nadi berhasil merebut dan menduduki Kantor Demang Desa
Sepatah. Selanjutnya Bardan Nadi dan anak buahnya bergabung dengan pasukan GERAM dari Air
Besar dan Menyuke.
NAMA : IKMAL. J
KELAS : XI AK 2
Pada 11 Oktober 1946, GERAM melancarkan serangan lagi ke tangsi militer Belanda di Ngabang.
Pasukan Belanda membalas serangan hingga pasukan GERAM terdesak. Setelah mendapat bantuan
dari Pontianak, pasukan Belanda melakukan pengejaran terhadap pasukan GERAM sampai 28 Oktober
1946.
Hari berikutnya, 29 Oktober 1946, terjadi pertempuran hebat di Sidas. Pasukan Indonesia saat itu
dipimpin oleh Bardan Nadi dan Panglima Adat Pak Kasih. Dalam pertempuran itu, Pak Kasih dan 22
orang pejuang lainnya, gugur bersimbah darah. Merasa terdesak dan kehilangan beberapa pasukannya,
Bardan Nadi dan pasukan tersisa memilih mundur dan bersembunyi di hutan. Pasukan Belanda terus
melakukan pengejaran terhadap Bardan Nadi yang diaangap sebagai aktor penggerak perlawanan
tersebut dan beberapa pertempuran sebelumnya.
5 November 1946, pasukan Belanda menemukan dan mengepung tempat persembunyian Bardan Nadi
beserta keluarganya. Bardan Nadi melawan dan berakibat tewasnya Paini Trisnowati, anak ketiga
Bardan Nadi, karena terkena peluru pasukan Belanda. Setelah salah seorang anaknya tewas, Bardan
Nadi akhirnya menyerah. Namun sebelum ditangkap, ia sempat mengeluarkan sehelai kertas dari saku
bajunya dan menelannya.
Hal tersebut dilakukan agar kertas dokumen (berisi perintah dari dokter Soedarso selaku pimpinan
organisasi PPRI di Pontianak, untuk terus melakukan perlawanan) itu tidak jatuh ke tangan Belanda.
Bardan Nadi ditangkap dengan tangan diikat. Ia meminta izin kepada pasukan Belanda untuk
mengubur jenazah putrinya.
Bardan Nadi kemudian dibawa ke tangsi militer Belanda di Ngabang dan menjalani penyiksaan hingga
beberapa hari dirawat di poliklinik militer Belanda di Ngabang. Kemudian dipindahkan ke penjara
Sungai Jawi Pontianak dan dimasukkan dalam sel yang berdampingan dengan dokter Soedarso.
Dalam masa penahanannya, Bardan Nadi kembali mengalami penyiksaan. Setelah beberapa kali
diperiksa, akhirnya Mahkamah Pengadilan Militer Belanda di Pontianak menjatuhkan hukuman mati
pada tanggal 17 April 1947.
Sebelum ditembak mati, Bardan Nadi meminta kepada Kepala Penjara Sungai Jawi untuk
mengeluarkan semua tahanan dari sel masing-masing dan selanjutnya dikumpulkan di halaman penjara
untuk bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dipimpinnya sendiri.
Usai menyanyikan lagu Indonesia Raya, dengan suara lantang dan bersemangat, ia memekikkan
“Merdeka, Merdeka, Merdeka”. Pekikkan itu disambut hangat para tahanan yang berkumpul di
halaman penjara. Mereka kagum atas tekad dan semangat Bardan Nadi.
Tepat pukul 07.00 WIB, Bardan Nadi menjalani hukuman mati di hadapan regu tembak pasukan
Belanda. Darahnya membasahi bumi pertiwi dan ia gugur sebagai pahlawan bangsa sejati. Jenazah
Bardan Nadi dimakamkan di kompleks penjara Sungai Jawi Pontianak. Setelah Belanda mengakui
kemerdekaan Indonesia, pada 14 April 1950, atas prakarsa bekas pejuang kemerdekaan, kerangka
jenazah Bardan Nadi dipindahkan ke Kota Ngabang. Ia dimakamkan kembali di dekat makam ayah dan
ibunya di kompleks pemakaman Islam, Hilir Kantor.

Anda mungkin juga menyukai