Anda di halaman 1dari 16

Adinegoro

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Djamaluddin Adinegoro (lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 14


Agustus 1904 – meninggal di Jakarta, 8 Januari 1967 pada umur 62 tahun) adalah
sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan STOVIA (1918-1925) dan
pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik
di Jerman dan Belanda (1926-1930).

Nama aslinya sebenarnya bukan Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Maradjo


Sutan. Ia adalah adik sastrawan Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi
lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman gelar Baginda Chatib dan ibunya
bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin adalah Rohimah. Ia memiliki
seorang istri bernama Alidas yang berasal dari Sulit Air, X Koto Diatas, Solok, Sumatera
Barat.

Masa muda
Adinegoro terpaksa memakai nama samaran karena ketika bersekolah di STOVIA ia tidak
diperbolehkan menulis. Padahal, pada saat itu keinginannya menulis sangat tinggi. Maka
digunakan nama samaran Adinegoro tersebut sebagai identitasnya yang baru. Ia pun bisa
menyalurkan keinginannya untuk mempublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang bahwa
Adinegoro itu adalah Djamaluddin gelar Datuk Madjo. Oleh karena itulah, nama Adinegoro
sebagai sastrawan lebih terkenal daripada nama aslinya, Djamaluddin.

Adinegoro sempat mengenyam pendidikan selama empat tahun di Berlin, Jerman. Ia


mendalami masalah jurnalistik di sana. Selain itu, ia juga
mempelajari kartografi, geografi, politik, dan geopolitik. Tentu saja, pengalaman belajar di
Jerman itu sangat banyak menambah pengetahuan dan wawasannya, terutama di bidang
jurnalistik. Adinegoro, memang, lebih dikenal sebagai wartawan daripada sastrawan.

Ia memulai kariernya sebagai wartawan di majalah Caya Hindia, sebagai pembantu tetap.
Setiap minggu ia menulis artikel tentang masalah luar negeri di majalah tersebut. Ketika
belajar di luar negeri (1926—1930), ia nyambi menjadi wartawan bebas pada surat
kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Batavia).

Setelah kembali ke tanah air, Adinegoro memimpin majalah Panji Pustaka pada
tahun 1931. Akan tetapi, ia tidak bertahan lama di sana, hanya enam bulan. Sesudah itu, ia
memimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan (1932—1942). Ia juga pernah memimpin
Sumatra Shimbun selama dua tahun. Kemudian, bersama Prof. Dr. Supomo, ia memimpin
majalah Mimbar Indonesia (1948—1950). Selanjutnya, ia memimpin Yayasan Pers Biro
Indonesia (1951). Terakhir, ia bekerja di Kantor Berita Nasional (kemudian menjadi LKBN
Antara). Sampai akhir hayatnya Adinegoro mengabdi di kantor berita tersebut.

Ia ikut mendirikan Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta dan Fakultas Publisistik dan
Jurnalistik Universitas Padjadjaran. Ia juga pernah menjadi Tjuo Sangi In (semacam Dewan
Rakyat) yang dibentuk Jepang (1942-1945), anggota Dewan Perancang Nasional, anggota
MPRS, Ketua Dewan Komisaris Penerbit Gunung Agung, dan Presiden Komisaris
LKBN Antara.

Karya-karyanya
Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928), yang
membuat namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya,
adalah Asmara Jaya dan Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia (1982), mengatakan bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang
berani melangkah lebih jauh menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam
kedua romannya Adinegoro bukan hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga
dengan berani memenangkan pihak kaum muda yang menentang adat kuno itu yang
dijalankan oleh pihak kaum tua.

Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat,
yang merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada
tahun 1930.

Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935.
Esainya, yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul "Kritik atas Kritik"
terhimpun dalam Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977).
Dalam esainya itu, Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-
pindahkan karena pada tiap bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak
dapat ditiru oleh orang lain. Ia memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu
pohon rambutan tidak akan menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya.

Pada tahun 1950, atas ajakan koleganya Mattheus van Randwijk, Adinegoro membuat atlas
pertama berbahasa Indonesia. Atlas tersebut dibuat dari Amsterdam, Belanda bersama
Adam Bachtiar dan Sutopo. Dari mereka bertiga, terbitlah buku Atlas Semesta Dunia pada
tahun 1952. Inilah atlas pertama yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia sejak Indonesia
merdeka. Pada tahun yang sama setelah atlas itu muncul, mereka juga menerbitkan Atlas
Semesta Dunia untuk sekolah lanjutan.[1]

Buku

 Revolusi dan Kebudayaan (1954)


 Ensiklopedia Umum dalam Bahasa Indonesia (1954),
 Ilmu Karang-mengarang
 Falsafah Ratu Dunia
Novel

 Darah Muda. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1931


 Asmara Jaya. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1932.
 Melawat ke Barat. Jakarta : Balai Pustaka. 1950.
Cerita pendek

 Bayati es Kopyor. Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961, hlm. 3—4, 32.
 Etsuko. Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961. hlm. 2—3, 31
 Lukisan Rumah Kami. Djaja. No. 83. Th. Ke-2. 1963. hlm. 17—18.
 Nyanyian Bulan April. Varia. No. 293. Th. Ke-6. 1963. hlm. 2-3 dan 31—32.
B. M. Diah
Dari Wikipedia

Burhanuddin Mohammad Diah (lahir di Kutaraja, yang kini dikenal sebagai Banda Aceh, 7


April 1917 – meninggal di Jakarta, 10 Juni 1996 pada umur 79 tahun) adalah seorang tokoh
pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia.

Masa kecil

Nama asli B.M. Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin. Nama ayahnya adalah
Mohammad Diah, seorang pegawai pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi
penerjemah. Burhanuddin kemudian menambahkan nama ayahnya kepada namanya
sendiri.

Ibunya, istri pertama Diah, Siti Sa'idah, adalah seorang ibu rumah tangga. Burhanuddin,
anak bungsu dari 8 bersaudara, juga mempunyai dua orang saudara tiri dari istri kedua
ayahnya.

Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di lingkungannya. Namun
hidupnya boros, sehingga ketika ia lahir Burhanuddin tidak dapat menikmati kekayaan
ayahnya. Ditambah lagi karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia.
Ibunya kemudian mengambil alih tanggung jawab memelihara keluarganya. Untuk itu ia
terjun ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun delapan tahun kemudian
Siti Sa'idah pun berpulang, sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya, Siti
Hafsyah.

Burhanuddin belajar di HIS, kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di Medan. Keputusan


ini diambilnya karena ia tidak mau belajar di bawah asuhan guru-guru Belanda.

Melanjutkan sekolah dan bekerja


Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jakarta dan belajar di Ksatriaan Instituut
(sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr. E.E. Douwes Dekker. Burhanuddin
memilih jurusan jurnalistik, namun ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan dari
pribadi Douwes Dekker.

Burhanuddin sesungguhnya tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun melihat


tekadnya untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus belajar dan bahkan memberikan
kesempatan kepadanya menjadi sekretaris di sekolah itu.

Setelah tamat belajar, Burhanuddin kembali ke Medan dan menjadi redaktur harian Sinar
Deli. Ia tidak lama bekerja di sana, karena satu setengah tahun kemudian ia kembali
ke Jakarta dan bekerja di harian Sin Po sebagai tenaga honorer. Tak lama kemudian ia
pindah ke Warta Harian. Tujuh bulan kemudian, koran itu dibubarkan karena dianggap
membahayakan keamanan. Burhanuddin kemudian mendirikan usahanya sendiri,
bulananPertjatoeran Doenia.

Setelah tentara Jepang datang dan menjajah Indonesia, Burhanuddin bekerja di


Radio Hosokyoku sebagai penyiar siaran bahasa Inggris. Namun pada saat yang sama ia
pun merangkap bekerja di Asia Raja. Ketika ketahuan bahwa ia bekerja juga di tempat lain,
Burhanuddin pun dijebloskan ke penjara selama empat hari.

Menikah dan mendirikan "Merdeka"


Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu dengan Herawati, seorang
penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat. Mereka berpacaran, dan tak
lama kemudian, pada 18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini
dihadiri pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta.

Pada akhir September 1945, setelah diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik


Indonesia, Diah bersama sejumlah rekannya seperti Joesoef Isak dan Rosihan Anwar,
mengangkat senjata dan berusaha merebut percetakan Jepang "Djawa Shimbun", yang
menerbitkan Harian Asia Raja. Meskipun Jepang telah menyerah kalah, teman-teman Diah
ragu-ragu, mengingat Jepang masih memegang senjata. Namun kenyataannya malah
sebaliknya. Tentara Jepang yang menjaga percetakan tidak melawan, bahkan menyerah.
Percetakan pun jatuh ke tangan Diah dan rekan-rekannya.

Pada 1 Oktober 1945 B.M. Diah mendirikan Harian Merdeka. Diah menjadi pemimpin


redaksi, Joesoef Isak menjadi wakilnya, dan Rosihan Anwar menjadi redaktur. Diah
memimpin surat kabar ini hingga akhir hayatnya, meskipun belakangan ia lebih banyak
menangani PT Masa Merdeka, penerbit Harian "Merdeka".

Ketika baru berdiri Diah menjadi Pemimpin Redaksi, Isak sebagai Wakil, dan Rosihan
sebagai Redaktur. Belakangan Joesoef Isak, seorang Soekarnois, terpaksa diberhentikan
atas desakan pemerintah Orde Baru. Sementara Rosihan Anwar mendirikan surat kabarnya
sendiri, Harian "Pedoman".

Pada April 1945, bersama istrinya Herawati, Diah mendirikan koran


berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Ia dinilai sebagai penulis editorial yang baik,
seorang nasional pro-Soekarno dan menentang militerisme. Ia pernah bertolak pandangan
dengan pihak militer setelah Peristiwa 17 Oktober, sehingga ia terpaksa berpindah-pindah
tempat untuk menghindari kejaran petugas-petugas militer.

Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan untuk mengubah sebutan "Tionghoa" menjadi


"Cina" dan "Republik Rakyat Tiongkok" menjadi "Republik Rakyat Cina", Harian "Merdeka"
-- bersama Harian "Indonesia Raya" -- dikenal sebagai satu-satunya pers yang gigih tetap
mempertahankan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok".

Mengabdi negara dan menjadi pengusaha


Setelah Indonesia merdeka, pada 1959, B.M. Diah diangkat menjadi duta besar
untuk Cekoslowakia dan Hongaria. Dari sana kemudian ia dipindahkan ke Inggris, lalu
ke Thailand - semuanya untuk jabatan yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh
Presiden Soeharto menjadi menteri penerangan. Belakangan Diah diangkat menjadi
anggota DPR dan kemudian anggota DPA.

Pada usia tuanya, Diah mendirikan sebuah hotel di Jakarta, Hyatt Aryadutta, di tempat yang
dulunya merupakan rumah orangtua Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah
sebagai Presiden Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel Prapatan-
Jakarta.
Keluarga
B.M. Diah meninggalkan dua orang istri, Herawati dan Julia binti Abdul Manaf, yang
dinikahinya diam-diam ketika ia bertugas di Bangkok, Thailand. Dari Herawati, ia
memperoleh dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki, sementara dari istri
keduanya ia memperoleh dua orang anak: laki-laki dan perempuan.

]Penghargaan

Karena perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara, Diah dianugerahi tanda-tanda


penghargaan berikut:

 Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto (10 Mei 1978)


 Piagam penghargaan dan Medali Perjuangan Angkatan '45 dari Dewan Harian
Nasional Angkatan '45 (17 Agustus 1995)
B.M. Diah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Dja Endar Moeda
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dja Endar Moeda adalah perintis pers berbahasa Melayu kelahiran Padang Sidempuan, 1861. Dididik sebagai
guru di sekolah pengajaran guru di Padang Sidempuan, kariernya di dunia pers dimulai sebagai redaktur untuk
jurnal bulanan Soeloeh Pengadjar pada 1887.

Sepulangnya dari naik haji tahun 1893 Dja Endar Moeda memutuskan untuk bermukim di Kota Padang. Di
sana selain mendirikan sekolah swasta dia menjadi redaktur Pertja Barat, yang didirikan oleh Lie Bian Goan.
Pada tahun 1905, Dja Endar Moeda membeli Pertja Barat.

Dja Endar Moeda juga mendirikan beberapa media cetak lain di Medan dan Kutaraja (sekarang Banda
Aceh. Pemberita Atjeh didirikan pada 1906. Dengan rekan-rekannya di Sjarikat Tapanuli dia
menerbitkan Pewarta Deli, dengan dirinya sebagai pemimpin redaksi. Pada 1911 setelah keluar dari Pewarta
Deli, Dja Endar Moeda menerbitkan Bintang Atjeh.
Djawoto
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Djawoto (lahir 10 Agustus 1906 di Tuban, Jawa Timur, meninggal dunia 24 Desember 1992 di Amsterdam)


berasal dari keluarga pangreh praja.

Menjadi guru

Setelah menamatkan sekolah menengahnya, Djawoto mengikuti kursus guru dan kemudian ia menjadi guru di
berbagai sekolah swasta antara lain di Taman Siswa yang dipimpin Ki Hadjar Dewantara,Pamong
Putra dan Tjahaja Kemadjuan, di Kepu, Jakarta. Ia mengabdikan dirinya sebagai guru selama 15 tahun.

Terjun ke dunia politik

Pada tahun 1927 ia tinggal di Makassar dan menjadi sekretaris PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) yang
dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto cabang Makassar. Namun tak lama kemudian ia pindah dan bergabung
dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Makassar.

Terjun ke dunia pers

Djawoto adalah seorang otodidak. Ia menguasai bahasa Belanda, Inggris dan ia menekuni ilmu ekonomi dan
politik. Djawoto juga belajar sendiri untuk menjadi wartawan dengan membaca setiap hari. Bukunya "Jurnalistik
dalam Praktek" adalah hasil pengalaman pekerjaannya sehari-hari.

Sejak tahun 1928 Djawoto sudah mulai menulis sebagai wartawan sampai kedatangan tentara pendudukan
Jepang. Selama Perang Dunia II Djawoto bekerja sama dengan Adam Malik di Kantor Berita "Domei", satu-
satunya kantor berita yang diizinkan hidup selama pendudukan Jepang.
Pada tahun 1945 Kantor Berita "Antara" dibuka kembali dan Djawoto kembali bekerja untuk kantor berita
tersebut. Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia, kantor berita ini pun pindah ke Yogyakarta
dan Djawoto dipilih menjadi pemimpin Redaksi.

Bergabung di kubu Sosialis

Ketika PNI dibubarkan oleh Mr. Sartono, Djawoto bergabung dengan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) di
bawah pimpinan Sjahrir. Dan setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan Partai Sosialis yang dipimpin
oleh Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Ia menjabat sebagai Kepala Departemen Pendidikan dari partai tersebut.
Ketika Partai Sosialis pecah pada bulan Februari 1948, kelompok Sjahrir membentuk Partai Sosialis
Indonesia (PSI) sementara kelompok Amir Sjarifuddin membentuk Partai Sosialis. Djawoto tidak memilih salah
satu dari keduanya, melainkan memusatkan perhatian dan tenaganya pada Kantor Berita Antara.

Perjuangan

Pada masa revolusi kemerdekaan, Djawoto ikut aktif berjuang bersama-sama dengan para pemuda lainnya. Ia
termasuk salah seorang yang bersama-sama dengan Adam Malik, Chaerul Saleh,Sukarni, B.M. Diah, Anwar
Tjokroaminoto, Harsono Tjokroaminoto, Pandu Karta Wiguna, Wikana, Supeno, Trimurti,
Dr. Muwardi, Sudiro ("mBah"), Sutomo ("Bung Tomo"), Chailid Rasjidi, Maruto Nitimihardjo, dll. terlibat dalam
"Peristiwa Rengasdengklok", yang memaksa Bung Karno dan Bung Hatta mengumumkan kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Karier Djawoto sebagai wartawan terus menanjak. Pada tahun 1950-an ia terpilih sebagai Ketua Persatuan
Wartawan Indonesia. Ia dipilih kembali untuk jabatan tersebut pada kongres PWI di Makassar, 26 Mei 1961.
Sebagai anggota Dewan Kehormatan PWI, Djawoto bersama H. Agus Salim menyusun untuk pertama kalinya
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI.

Kiprah di dunia internasional

Pada tahun 1950-an Djawoto memimpin Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok. Sebagai ketua PWI
pusat, pada 1962 Djawoto mengemukakan kepada Presiden Soekarno usul penyelenggaraanKonferensi
Wartawan Asia Afrika di Bandung. Konferensi ini terselenggara pada 1965, sementara gagasan awalnya telah
tercetus sejak Konferensi Asia Afrika pada 1955. Sebelumnya, pada 24 April1963 ia terpilih menjadi Sekretaris
Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA).

Menjadi anggota DPR-GR dan MPRS

Djawoto diangkat menjadi anggota DPR-GR, anggota MPRS, anggota Pengurus Besar Front Nasional dan


juga anggota Dewan Pertimbangan Pers (1963). Pada tahun 1964 ia diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi
Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat Cina dan Republik Rakyat Mongolia yang berkedudukan
di Beijing.

Terdampar di Beijing

Ketika G30S meletus, Djawoto dan keluarganya tidak kembali ke Indonesia karena khawatir keselamatan
nyawanya terancam. Karena itu Djawoto dan keluarganya menetap di Beijing.

Setelah peristiwa G30S itu, Soekarno tersingkir dan terjadilah pembersihan besar-besaran di Indonesia atas
semua orang yang pernah terlibat dalam pemerintahan Soekarno dan mereka yang dicurigai sebagai anggota
atau simpatisan PKI dan ormas-ormasnya. Pada 16 April 1966 Djawoto sendiri kemudian melepaskan
jabatannya sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Republik Rakyat Tiongkok dan
Republik Rakyat Mongolia. Pada tanggal 20 April 1966 memimpin sidang Sekretariat Persatuan Wartawan
Asia-Afrika di Beijing.

Setelah menetap di Tiongkok selama sekitar 15 tahun, Djawoto beserta keluarganya pindah
ke Belanda pada 1979, hingga ia meninggal dunia pada 24 Desember 1992.

Keluarga

Djawoto menikah dengan Hasnah Sutan Diatas (meninggal dunia 4 November 2005), yang berasal
dari Minangkabau dan dikaruniai empat orang anak: Djoko Martono, Ratna Aprilia, Ratni Utami, dan Ratni
Lestari.
Panda Nababan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Panda Nababan (lahir di Siborong-borong, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 13


Februari 1944; umur 67 tahun) adalah seorang wartawan Indonesia dan politikus dari Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

Kedua orangtuanya, yaitu Jonathan Laba Nababan dan Erna Intan Dora Lumbantobing,
bekerja sebagai guru.

Pendidikan
Nababan belajar di SMP Nasrani di Medan lulus pada 1959 kemudian melanjutkan ke SMA
di lembaga pendidikan yang sama dan lulus pada 1962. Selesai dari SMA, ia melanjutkan
ke Universitas Nommensen di Pematangsiantar hingga 1963, lalu pindah ke Jakarta dan
masuk ke Universitas Bung Karno hingga 1966. Ia pindah lagi dan masuk ke Perguruan
Tinggi Publisistik, Jakarta (1968-1969). Pada 1979 ia memperoleh kesempatan untuk
mendalami studi Jurnalistik di NRC Handelsblaad, Rotterdam.

Pekerjaan
Nababan pernah bekerja sebagai wartawan di Harian Umum Warta Harian (1969-1970),
Redaktur Harian Umum Sinar Harapan, (1970-1987), Wakil Pemimpin Umum Harian
Umum Prioritas(1987-1988) dan Kepala Litbang Media Indonesia (1988-1989).

Salah satu puncak prestasinya sebagai wartawan ialah ketika ia memperoleh penghargaan
jurnalistik Hadiah Adinegoro pada 1976.
Organisasi, dunia politik
Sejak masih menjadi mahasiswa, Nababan telah aktif dalam kegiatan organisasi.
Pada 1963 ia menjadi anggota Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Ia kemudian
menjabat ketua Departemen Organisasi dari Gerakan Mahasiswa Bung Karno di Jakarta
(1963-1966). Sebagai wartawan, ia menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (1970-
1975).

Pada 1993 Nababan mulai aktif dalam dunia politik ketika ia bergabung dengan Partai


Demokrasi Indonesia. Ketika pada 1998 PDI dilanda kemelut kepemimpinan, Nababan
memilih bergabung dengan PDI-P hingga sekarang, dan menjadi anggota DPR Republik
Indonesia dari Fraksi PDI-P.

Keluarga
Nababan menikah dengan Ria Purba dan mempunyai tiga orang anak, yaitu Putri, Putra,
dan Anggi.
Tirto Adhi Soerjo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880–1918) adalah seorang tokoh pers
dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran
dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S..

Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri


Hindia (1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai
surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia),
dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya
adalah pribumi Indonesia asli.

Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan
pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap
pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan
dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara).
Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia
pada 17 Agustus 1918.

Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta


Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula.

Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3


November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no
85/TK/2006.[1]
Pandangan
Takashi Shiraishi lewat buku Zaman Bergerak menyebut Tirto Adhi Soerjo sebagai
orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan
Prijaji.

Tirto Adhi Soerjo juga mendapat tempat yang banyak pula dalam laporan-laporan pejabat-
pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes. Ini disebabkan karena Tirto
memegang peranan pula dalam pembentukan Sarekat Dagang
Islam di Surakarta bersama Haji Samanhudi, yang merupakan asal mula Sarikat Islam yang
kemudian berkembang ke seluruh Indonesia. Anggaran Dasar Sarikat Islam yang pertama
mendapat persetujuan Tirto Adi Soerjo sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan sebagai
redaktur suratkabar Medan Prijaji di Bandung.

Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatat


tentang diri Tirtohadisoerjo sebagai berikut: "Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi
Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan
tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama
Tirtohadisoerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur
harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan
Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik."

Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November


1958) menggambarkan Tirtohadisoerjo sebagai seorang pemberani. "Dialah wartawan
Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat
umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan
menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap
tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa,
dibuang ke Pulau Bacan," tulis Tjokrosisworo.

Anda mungkin juga menyukai