Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ismun Thoyibatun Deby N

Nim : 201710040311239
Kelas : Jurnalisme F
TOKOH JURNALISME
1. Tirto Adhi Soerjo

Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880–1918) adalah seorang tokoh pers
dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dan dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran
dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat TAS. Tirto Adhi Soerjo
menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903- 1905), Medan Prijaji (1907) dan Poetri Hindia
(1908). Tirto Adhi Soerjo juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Pada 1973, Pemerintah
Indonesia mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada 3 November 2006, Tirto Adhi
Soerjo mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/ TK/2006
(Kawan Lama, “Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880-1918)”.
Tirto Adhi Soerjo juga terkenal dengan gerakan pers nasional. Pada Februari 1903,
berdiri harian Soenda Berita atas biaya sendiri dan dari bantuan Bupati Cianjur. Harian ini
merupakan terbitan pertama pribumi yang redaksinya bertempat di desa. Pada 1907, Tirto
Adhi Soerjo mendirikan Medan Prijaji yang kemudian dijadikan Tirto Adhi Soerjo sebagai
alat untuk memajukan bangsanya.Sayang koran ini hanya kuat bertahan lima tahun. Ketika
hendak memasuki tahun ke-6, Tirto Adhi Soerjo beberapa kali masuk penjara lantaran
laporan-laporannya yang diturunkan di Medan Prijaji yang beralamat di Jalan Naripan,
Bandung, yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK)
dinilai merugikan pemerintah Hindia. Selain itu, terbit harian gerakan wanita pertama Poetri
Hindia dengan nomor pertamanya pada 1 Juli 1908 yang dipimpin oleh Tirto Adhi Soerjo.
Tulisan-tulisan Tirto Adhi Soerjo menunjukkan gerakan politik yang dibawa terutama dalam
mengkritik kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda antara lain: “Geraknya Bangsa Cina di
Surabaya Memusuh Handelsvereninging Amsterdam”, “Bangsa Cina di Priangan”, “Pelajaran
buat Perempuan Bumiputera”, “Surat Orang-Orang Desa Bapangan”, “Persdelicht: Umpatan”,
“Satu Politik di Banyumas”, “Dreyfusiana di Madiun”, “Kekejaman di Banten”, “Turki Masa
Kini”, “Apa Yang Gubernemen Kata dan Apa yang Gubernemen Bikin”, dan “OlehOleh dari
Tempat Pembuangan”. Kesemuanya ini merupakan sebagian kecil dari tulisan-tulisan Tirto
Adhi Soerjo yang terbit di awal abad 19.

Source : Yacob, Dharwis Widya Utama. Syam, Firdaus. 2016. Jurnal Kajian Politik Dan
Masalah Pembangunan Vol. 12 No. 01 Gerakan Politik Tirto Adhi Soerjo.

2. Rohana Koeddoes
Rohana Koeddoes lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 20
Desember 1884- 1972 pada umur 87 tahun, merupakan wartawan Indonesia. Ia merupakan
pendiri surat kabar Perempuan pertama di Indonesia.
Eksistensi Rohana sekaligus menjadi sejarah, tonggak awal kehadiran perempuan dalam
praktik jurnalistik. Emansipasi perempuan yang diperjuangkan Rohana Koeddoes seakan
mencapai titik terangnya sekarang. Pada tanggal 10 Juli 1912, Rohana membuat sebuah
gebarakan baru dengan mendirikan surat kabar “Sunting Melayu” dimana mulai
dari pemimpin redaksi, redaktur, dan penulisnyaseluruhnya perempuan. Pada tanggal
22 Oktober 1916, Rohana pernah pula mendirikan “Rohana School” di Bukittinggi.
Source :
Fauzia, Amelia. 2004. Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan. Jakarta: Gramedia.
Academia.Pendidikan Perempuan Modern Dan Pionir Jurnalis (Rohana Koeddoes
“Pendidikan dan Wartawati Indonesia”)

3. Buya Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka merupakan seorang sastrawan,
sejarawan, dan ulama yang lahir pada tanggal 16 Februari 1908 bertepatan dengan tanggal 13
Muharam tahun 1326 H di Sumatera Barat. Pendidikan yang didapatkan Buya Hamka tidak
lama, oleh ayahnya Buya Hamka dimasukkan ke dalam “Madrasah Thawalib”. Pada tahun
1924 ia berangkat ke Yogyakarta. Dari Tanah Jawa inilah Buya Hamka mulai menerima ide-
ide gerakan sosial politik dari beberapa tokoh penting disana. Selain berpidato dan bertabligh,
gerakannya pun diwujudkan dalam bentuk kursus pidato. Hasilnya adalah kumpulan pidato
yang menjadi majalah cetakan yang berjudul Khatibbul Ummah. Ini merupakan majalahnya
yang pertama pada tahun 1925.
Pada tahun itu pula, Buya Hamka menerbitkan majalah “Tabligh Muhammadiyah” dan
duduk sebagai pimpinannya. Di Medan ia mendapat tawaran untuk memimpin majalah
mingguan Pedoman Masyarakat. Ketika Jepang datang, kondisinya jadi lain. Pedoman
Masyarakat dibredel, aktifitas masyarakat diawasi, dan bendera merah putih dilarang
dikibarkan. Kebijakan Jepang yang merugikan tersebut tidak membuat perhatiannya untuk
mencerdaskan bangsa luntur, terutama melalui dunia jurnalistik. Secara kronologis, karir
Hamka dalam bidang Jurnalistik antara lain :
1. Koresponden pelbagai majalah, seperti Pelita Andalas (Medan), Seruan Islam
(Tanjung Pura), Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah (Yogyakarta),
Pemandangan dan Harian Merdeka (Jakarta).
2. Pendiri Majalah al-Mahdi (Makassar, 1934)
3. Pimpinan majalah Pedoman Masyarakat (Medan, 1936)
4. Pendiri majalah Panji Masyarakat (1959), majalah ini dibrendel oleh pemerintah
karna dengan tajam mengkritik konsep demikrasi terpimpin dan memaparkan
pelanggaran-pelanggaran konstitusi yang telah dilakukan Soekarno. Majalah ini
diterbitkan kembali pada pemerintahan Soeharto.
Selain itu, berbagai tulisannya yang menjadi cetakan kurang lebih 103 buku. Pada usia 73
tahun Buya Hamka bukan saja sebagai pujangga, wartawan, ulama, dan budayawan, tapi juga
seorang pemikir pendidikan yang pemikirannya masih relevan dan dapat digunakan pada
zaman sekarang, itu semua dapat dilihat dari karya-karya peninggalan beliau.
Source : Repository.uinsu.ac.id. http://repository.uinsu.ac.id/581/4/BAB_III.pdf. diakses pada
tgl 2 Okt 2019.
4. Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 dan meninggal
di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu
pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan
lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Dalam karir
jurnalis nya, ia pernah menjadi bagian dari Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, 1964-1965.
Penghargaan dalam bidang Jurnalisti sendiri ia pernah menerima Ramon Mag Saysay di
bidang sastra dan jurnalistik yang diberikan oleh Yayasan penghargaan Ramon Mag Saysay
di Manila, Filipina pada Rabu (19/07/1995). Jika disinggung dalam hal ideologi, ia
mengatakan bahwa ia tak memihak ideologi apapun. Ia selalu mengatakan bahwa ia berpihak
pada ideologi keadilan,kebenaran dan kemanusiaan.

5. Mochtar Lubis
Lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Mochtar pernah menjadi guru sekolah
dasar di Pulau Nias, kemudian pindah ke Jakarta. Di zaman Jepang dia bekerja sebagai
anggota tim yang memonitor siaran radio sekutu di luar negeri untuk keperluan Gunseikanbu,
Kantor Pemerintah Bala Tentara Dai Nippon. Menjelang penyerahan kedaulatan pada tanggal
27 Desember 1949, dia menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Indonesia Raya. Tatkala
pertengahan tahun 1950 pecah Perang Korea, Mochtar meliput kegiatan itu sebagai
koresponden perang. Pada paruh pertama dasawarsa 1950-an pers di Jakarta dicirikan oleh
personal journalism dengan empat editor berteman dan berantem, yaitu Mochtar Lubis
(Indonesia Raya), BM Diah (Merdeka), S Tasrif (Abadi), dan Rosihan Anwar (Pedoman).
Yang paling militan di antara empat sekawan tadi ialah Mochtar Lubis. Setelah bebas lagi
bergerak pasca-G30S/PKI, Mochtar banyak aktif di berbagai organisasi jurnalistik luar
negeri, seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri dia mendirikan majalah sastra
Horison. Ia menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia yang menerbitkan buku-buku
bermutu. Karya jurnalistiknya: Perlawatan ke Amerika Serikat (1951), Perkenalan di
Asia Tenggara (1951), Catatan Korea (1951), Indonesia di Mata Dunia (1955)
6. Rosihan Anwar
Lahir di Kubang Nan Dua, Sirukam, Kabupaten Solok, 10 Mei 1922 – meninggal
di Jakarta, 14 April 2011 pada umur 88 tahun) adalah tokoh pers, sejarawan, sastrawan dan
budayawan Indonesia Rosihan merupakan salah seorang yang produktif menulis.Rosihan
merupakan anak keempat dari sepuluh bersaudara, pasangan Anwar Maharaja Sutan dan Siti
Safiah. Rosihan memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya pada masa
pendudukan Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan
Pedoman (1948-1961). Pada masa perjuangan, ia pernah disekap oleh
penjajah Belanda di Bukit Duri, Batavia (kini Jakarta). Kemudian pada tahun 1961, koran
Pedoman miliknya dibredel penguasa. Pada masa Orde Baru, ia menjabat sebagai Ketua
Umum Persatuan Wartawan Indonesia (1968-1974). Tahun 1973, Rosihan mendapatkan
anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama. Namun kurang dari
setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di lehernya, koran Pedoman
miliknya ditutup. Karir Reporter Asia Raya, (1943-1945), Redaktur harian Merdeka, (1945-
1946), Pendiri/Pemred majalah Siasat (1947-1957), Pendiri/Pemred harian Pedoman, (1948-
1961), Pendiri Perfini (1950), Pemred Citra Film (1981-1982), Kolumnis Business News,
(1963-2011), Kolumnis Kompas, KAMI, AB (1966-1968) Karya, Profil Wartawan
Indonesia, 1977,Kisah-kisah Jakarta setelah Proklamasi, 1977, Jakarta menjelang Clash ke-I,
1978, Ajaran dan Sejarah Islam untuk Anda, 1979, Bahasa Jurnalistik dalam Komposisi,
1979, Mengenang Sjahrir (editor, 1980)

7. Jakob Oetama
Dr (HC) Jakob Oetama lahir di Magelang, 27 September 1931. Dia adalah wartawan
dan salah satu pendiri Surat Kabar Kompas. Saat ini ia merupakan Presiden
Direktur Kelompok Kompas-Gramedia, Pembina Pengurus Pusat Persatuan Wartawan
Indonesia, dan Penasihat Konfederasi Wartawan ASEAN. Karier jurnalistik Jakob dimulai
ketika menjadi redaktur Mingguan Penabur tahun 1956 dan berlanjut dengan mendirikan
majalah Intisari tahun 1963 bersama P.K. Ojong, yang mungkin diilhami majalah Reader's
Digest dari Amerika. Dua tahun kemudian, 28 Juni 1965, bersama Ojong, Jacob
mendirikan harian Kompas yang dikelolanya hingga kini. Tahun 80-an Kompas Gramedia
Group mulai berkembang pesat, terutama dalam bidang komunikasi. Jakob Oetama juga ikut
mendirikan Jakarta Post, harian nasional Indonesia berbahasa Inggris. Ideologi yang
digunakan yaitu bekerja keras, selalu all out, kerja bersama dan sinergitas.
Karya Tulis yang dibuat oleh Jakoeb Oetama :

 Kedudukan dan Fungsi Pers dalam Sistem Demokrasi Terpimpin (skripsi di Fisipol UGM
tahun 1962)
 Dunia Usaha dan Etika Bisnis (Penerbit Buku Kompas, 2001)
 Berpikir Ulang tentang Keindonesiaan (Penerbit Buku Kompas, 2002).
 Bersyukur dan Menggugat Diri (Penerbit Buku Kompas, 2009)

8. Dahlan Iskan
Prof. Dr.(H.C.) Dahlan Iskan lahir di Magetan, Jawa Timur, 17 Agustus 1951, yang saat
ini berusia 68 tahun adalah mantan CEO surat kabar Jawa Pos dan Jawa Pos Group yang
bermarkas di Surabaya. Selain sebagai pemimpin Grup Jawa Pos,Pada tahun 1997 ia berhasil
mendirikan Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya, dan kemudian gedung
serupa di Jakarta. Pada tahun 2002, ia mendirikan stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, yang
kemudian diikuti Batam TV di Batam dan Riau TV di Pekanbaru. Dahlan juga merupakan
presiden direktur dari dua perusahaan pembangkit listrik swasta: PT Cahaya Fajar Kaltim
di Kalimantan Timur dan PT Prima Electric Power di Surabaya. Ia juga adalah Direktur
Utama PLN sejak 23 Desember 2009. Pada tanggal 19 Oktober 2011, berkaitan dengan
reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II, Dahlan Iskan diangkat sebagai Menteri Negara Badan
Usaha Milik Negara. Ideologiyang digunakan

9. Goenawan Soesatyo Mohamad


Goenawan Mohamad lahir di Batang, 29 Juli 1941 yang saat ini berusia 78 tahun
adalah seorang sastrawan Indonesia terkemuka.Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi
Majalah Berita Tempo, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair.dimulai
dari redaktur Harian KAMI (1969-1970), redaktur Majalah Horison (1969-1974), pemimpin
redaksi Majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin redaksi Majalah Swasembada (1985). Dan
sejak 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo,
sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Tempo dianggap sebagai
oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah, sehingga dihentikan penerbitannya
pada 1994.Ideologi dari Goenawan yaitu memiliki pandangan yang liberal dan terbuka.
Lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.
Goenawan mendukung inisiatif para jurnalis muda idealis yang mendirikan Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut
mendirikan Institusi Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan
terhadap dunia pers Indonesia. Setelah turunnya jabatan Soeharto, Tempo memperluas
usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian Koran Tempo.Selepas jadi pemimpin redaksi
majalah Tempo, Goenawan praktis berhenti sebagai wartawan. Bersama musisi Tony
Prabowo dan Jarrad Powel ia membuat libretto untuk opera Kali dimulai 1996 dan dengan
Tony, The King’s Witch (1997-2000). Selama 30 tahun di dunia pers Goenawan membagikan
karya puisinya yang diterbitkan dan diterjemahkan ke beberapa Bahasa negara. Karyanya
yang cukup terkenal yaitu Catatan Pinggir, yang telah menjadi ekspresi oposisi terhadap
pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot sejak dibentuk pada tahun 1970. Kumpulan esainya
berturut turut: Potret Seorang Peyair Muda Sebagai Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita
(1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata,
Waktu (2001), Eksotopi (2002).Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude
(1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap
1961-2001 (2001).

Anda mungkin juga menyukai