Anda di halaman 1dari 13

Biografi Mochtar Lubis - Satrawan Angkatan 1950-1960

 muhamad nurdin fathurrohman  Saturday, March 18, 2017  Sastrawan


angkatan 1950-1960

Biodata:
 Nama: Mochtar Lubis
 Tempat/Tgl. Lahir: Padang, 7 Maret 1922
 Meninggal: Jakarta, 2 Juli 2004 pada umur 82 tahun
 Agama : Islam
 Isteri: Halimah, 77 tahun, tutup usia pada 27 Agustus 2001
Karir :
 Sastrawan
 Wartawan KBN Antara
 Pemred Harian Indonesia Raya
 Pendiri majalah sastra Horison
 Direktur Yayasan Obor Indonesia
Pendidikan :
 HIS di Sungai Penuh
Organisasi :
 Press Foundation of Asia
Penghargaan :
 Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan
Novel :
 Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana
Dalam Rimba.

Mochtar Lubis adalah seorang penulis, jurnalis dan pengarang ternama asal
Indonesia. Ia dikelompokkan ke dalam Sastrawan Angkatan 1950-1960.

Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat, pada 7 Maret 1922 putra dari
Pandapotan Lubis, pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB) pemerintah
kolonial Hindia Belanda yang ketika pensiun pertengahan 1930-an menjabat sebagai
Demang atau Kepala Daerah Kerinci

Pendidikan dasar Mochtar Lubis diselesaikan di sekolah dasar berbahasa Belanda HIS
di Sungai Penuh, kemudian dia melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi partikelir di
Kayutanam. Pendidikan formalnya tidak sampai pada taraf AMS atau HBS.

Mochtar Lubis sempat menjadi guru sekolah di Pulau Nias, sebelum datang ke
Jakarta. Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran
radio Sekutu di luar negeri.

Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia turut


mendirikan Kantor Berita ANTARA, kemudian mendirikan dan memimpin harian
Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horizon
bersama-sama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia
dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan
pada tahun 1966. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan
Subversif (1980).
Pernah menjadi Presiden Press Foundation of Asia, anggota Dewan Pimpinan
International Association for Cultural Freedom (organisasi CIA), dan anggota World
Futures Studies Federation.

Novelnya, Jalan Tak Ada Ujung (1952 diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh A.H.


John menjadi A Road With No End, London, 1968), mendapat Hadiah Sastra BMKN
1952; cerpennya Musim Gugur menggondol hadiah majalah Kisah tahun 1953;
kumpulan cerpennya Perempuan (1956) mendapatkan Hadiah Sastra Nasional BMKN
1955-1956; novelnya, Harimau! Harimau! (1975), meraih hadiah Yayasan Buku
Utama Departeman P & K; dan novelnya Maut dan Cinta (1977) meraih Hadiah
Sastra Yayasan Jaya Raya tahun 1979. Selain itu, Mochtar juga menerima Anugerah
Sastra Chairil Anwar (1992).

Kehidupan pribadi

Mochtar Lubis menikah pada akhir tahun 1944 dengan gadis Sunda, Halimah, yang
bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja. (Halimah meninggal pada usia 77
tahun, 27 Agustus 2001).

Mochtar Lubis meninggal dunia di Jakarta, pada 2 Juli 2004 pada umur 82 tahun.

Bibliografi
 Tidak Ada Esok (novel, 1951)
 Si Jamal dan Cerita-Cerita Lain (kumpulan cerpen, 1950)
 Teknik Mengarang (1951)
 Teknik Menulis Skenario Film (1952)
 Harta Karun (cerita anak, 1964)
 Tanah Gersang (novel, 1966)
 Senja di Jakarta (novel, 1970; diinggriskan Claire Holt dengan judul Twilight
in Jakarta, 1963)
 Judar Bersaudara (cerita anak, 1971)
 Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972)
 Harimau! Harimau! (novel, 1975)
 Manusia Indonesia (1977)
 Berkelana dalam Rimba (cerita anak, 1980)
 Kuli Kontrak (kumpulan cerpen, 1982)
 Bromocorah (kumpulan cerpen, 1983)

Karya jurnalistik:
 Perlawatan ke Amerika Serikat (1951)
 Perkenalan di Asia Tenggara (1951)
 Catatan Korea (1951)
 Indonesia di Mata Dunia (1955)

Mochtar Lubis juga menjadi editor:


 Pelangi: 70 Tahun Sutan Takdir Alisyahbana (1979)
 Bunga Rampai Korupsi (bersama James C. Scott, 1984)
 Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta kepada Presiden
Soekarno (1986)

Terjemahannya:
 Tiga Cerita dari Negeri Dollar (kumpulan cerpen, John Steinbeck, Upton
Sinclair, dan John Russel, 1950)
 Orang Kaya (novel F. Scott Fitgerald, 1950)
 Yakin (karya Irwin Shaw, 1950)
 Kisah-kisah dari Eropa (kumpulan cerpen, 1952)
 Cerita dari Tiongkok (terjemahan bersama Beb Vuyk dan S. Mundingsari,
1953)

Studi mengenai Mochtar Lubis:


 M.S. Hutagalung, Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (1963)
 Henri Chambert-Loir, Mochtar Lubis, une vision de l'Indonésie
Contemporaine (diseertasi, Paris, 1974)
 David T. Hill, Mochtar Lubis: Author, Editor, and Political Actor (disertasi,
Canberra, 1989)
 David T. Hil, ‘Mochtar Lubis’, Inside Indonesia, Vol. 83, July-September
2005, p.23.
 David T. Hill, Journalism and Politics in Indonesia: A Critical Biography of
Mochtar Lubis (1922-2004) as Editor and Author, (Routledge, London & New York,
2010).

Sumber: 
 https://id.wikipedia.org/wiki/Mochtar_Lubis
 http://mochtarlubisaward.blogspot.co.id/2007/11/biografi-mochtar-lubis-figur-
publik.html

Biografi Mochtar Lubis (Figur Publik)


Biodata

Nama :
Mochtar Lubis

Tempat/Tgl. Lahir :
Padang, 7 Maret 1922

Agama : Islam

Isteri:
Halimah, 77 tahun, tutup usia pada 27 Agustus 2001

Karir :
* Sastrawan
* Wartawan KBN Antara
* Pemred Harian Indonesia Raya
* Pendiri majalah sastra Horison
* Direktur Yayasan Obor Indonesia

Pendidikan :
* HIS di Sungai Penuh

* Organisasi :
* Press Foundation of Asia

Penghargaan :
* Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan

Novel :
* Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam
Rimba.

* Alamat : Jakarta

Mochtar Lubis,
Pahlawan di Pentas Jurnalistik

Pemred mantan Harian Indonesia Raya ini pernah dipenjara karena karya-karya
jurnalistiknya. Wartawan senior ini lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922.
Setelah tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, dia melanjutkan
pelajaran di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Pendidikan formalnya tidak
sampai pada taraf AMS atau HBS.

Namun, putera Pandapotan Lubis, pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur
(BB) pemerintah kolonial Hindia Belanda yang ketika pensiun pertengahan 1930-an
menjabat sebagai Demang atau Kepala Daerah Kerinci, ini sempat menjadi guru
sekolah di Pulau Nias, sebelum datang ke Jakarta. Ia memang seorang otodidak tulen.
Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio
Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan untuk
disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Demi
sekuriti dan agar berita radio itu tidak tersebar ke dalam masyarakat, tim monitor
tinggal terpisah dalam kompleks perumahan di Jalan Timor, di belakang hotel milik
Jepang, di Jalan Thamrin sekarang. Dalam tim itu terdapat Dr. Janssen mantan
pegawai Algemene Secretarie di Bogor yang paham bahasa Jepang, J.H. Ritman
mantan Pemred Harian Bataviaasche Nieuwsblad, Thambu mantan wartawan Ceylon
yang melarikan diri dari Singapura setelah kota itu jatuh ke tangan Jepang dan
Mochtar Lubis. Pada masa itulah, akhir 1944, Lubis menikah dengan gadis Sunda,
Halimah, yang bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja. (Halimah meninggal
pada usia 77 tahun, 27 Agustus 2001).

Setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor berita Antara yang didirikan tahun 1937
oleh Adam Malik dkk muncul kembali. Mochtar Lubis bergabung dengan Antara.
Karena paham bahasa Inggris secara aktif, ia menjadi penghubung dengan para
koresponden asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi
Indonesia. Sosoknya yang tinggi 1.85 meter merupakan pemandangan familier di
tengah war correspondents yang bule-bule. Menjelang penyerahan kedaulatan dari
Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, ia bersama
Hasjim Mahdan mendapat ide untuk memulai surat kabar baru. Maka lahirlah harian
Indonesia Raya. Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ketika pertengahan 1950 pecah
Perang Korea, Lubis pergi meliput pertempuran di Korea Selatan. Lalu ia pun terkenal
sebagai koresponden perang. Pada parohan pertama dasawarsa 1950, ketika di zaman
liberal, demokrasi parlementer, sangat dominan adanya personal journalism. Maka,
Moctar Lubis adalah identik dengan Indonesia Raya, begitu pula sebaliknya. Surat
kabar dikenal oleh yang memimpinnya: B.M. Diah di Merdeka, S Tasrif di Abadi,
Rosihan Anwar di Pedoman.

Sebelum dikenai tahanan rumah pada 1957 dan tahanan penjara selama sembilan
tahun sampai 1966, menurut penuturan H. Rosihan Anwar, Mochtar Lubis membikin
masyarakat gempar dengan beberapa cerita/berita, yang disebut "affair". Pertama,
affair pelecehan seksual yang dialami Nyonya Yanti Sulaiman, ahli purbakala,
pegawai Bagian Kebudayaan Kementerian P & K. Bosnya di bagian itu bernama
Sudarsono tidak saja berusaha merayu, melainkan juga mengeluarkan kata-kata seks
serba "serem".
Tidak saja Indonesia Raya, melainkan juga Pedoman berhari-hari menyiarkan cerita
asyik tentang sang Don Juan Sudarsono. Kedua, affair Hartini ketika terungkap
hubungan Presiden Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga yang mengakibatkan
Nyonya Fatmawati berang dan kemudian meninggalkan istana.
Ketiga, affair Roeslan Abdulgani. Pada 13 Agustus 1956, CPM menangkap mantan
Menteri Penerangan dalam kabinet Burhanuddin Harahap, Syamsudin Sutan Makmur,
dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, karena urusan korupsi yang
melibatkan Lie Hok Thay yang lebih dulu ditahan. Hok Thay mengaku memberikan
uang satu setengah juta rupiah kepada Roeslan Abdulgani yang berasal dari ongkos
mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Roeslan yang telah menjadi Menteri Luar
Negeri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo hendak ditahan oleh CPM dua jam sebelum
keberangkatannya tanggal 14 Agustus ke London untuk menghadiri konferensi
internasional mengenai Terusan Suez. Presiden Mesir Nasser baru saja
menasionalisasikan Suez. Berkat intervensi PM Ali dan Kepala Staf Nasution,
penangkapan dibatalkan, dan Roeslan bisa berangkat ke luar negeri.

Dapat dimengerti apabila Presiden Soekarno yang tengah mewujudkan konsep


politiknya --kelak menjelma sebagai demokrasi terpimpin Orde Lama-- marah-marah
terhadap Lubis dan Indonesia Raya. Kolonel A.H. Nasution menjadi sekutu
terpercaya Soekarno. Di musim gugur 1956, International Press Institute
menyelenggarakan pertemuan para editor Indonesia dan editor Belanda di Zurich,
Swiss, untuk mendiskusikan hubungan kedua negara. Sehari sebelum keberangkatan
para editor, Mochtar dan Rosihan Anwar diinterogasi oleh CPM selama delapan jam
di markasnya mengenai "sesuatu pemberitaan". Mereka diminta untuk stand by terus,
namun tidak mereka indahkan.
Keesokan harinya, Mochtar dan Rosihan Anwar serta Diah, Tasrif, Wonohito, Adam
Malik naik pesawat KLM dari Kemayoran. Lebih dari sebulan mereka berada di luar
negeri menunggu situasi aman di Tanah Air. Kemudian mereka kembali dan di
bandara diberitahu, mereka tidak akan ditangkap oleh Jaksa Agung. Rosihan Anwar
memang tidak diapa-apakan, tetapi Mochtar tidak lama kemudian dikenai tahanan
rumah. Ia mencoba memimpin Indonesia Raya dari rumah, tapi makin hari makin sulit
situasinya. Pada 1961, ia dipindahkan ke penjara Madiun dan di sana ditahan bersama
mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid,
Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-
Permesta menggoyahkan stabilitas. Kebebasan pers sirna. Indonesia Raya, Pedoman,
Abadi dilarang terbit oleh Soekarno-Nasution.

Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai
pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan
menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang
penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di
Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay
Award untuk jurnalistik dan kesusastraan.
Setelah tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali, Lubis melancarkan
"perang salibnya" terhadap korupsi di Pertamina. Bos perusahaan negara itu, Letnan
Jenderal Ibnu Soetowo, disorot dengan tajam, namun sia-sia belaka. Ibnu boleh
mundur sebagai Direktur Utama Pertamina, akan tetapi posisinya tetap kokoh dan
harta yang dikumpulkannya tidak dijamah. Mochtar lubis memang menjadi pahlawan
di pentas jurnalistik, itulah yang amat disukainya. Apakah soalnya menyangkut
pencemaran lingkungan hidup atau pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), bisa
dijamin ia ada di sana sebagai pembela perjuangan untuk yang benar dan adil. "Hero-
complex"-nya menjadi motor pendorong dan motivasi penting dalam tindak-
tanduknya.
Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974 dan para mahasiswa beraksi mendemo
PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen, disulut oleh anak buah Ali
Moertopo, Presiden Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah
surat kabar, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Lubis sendiri ditahan
selama dua bulan. Setelah bebas lagi bergerak, Mochtar banyak aktif di pelbagai
organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri,
dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia
yang berprestasi menerbitkan buku-buku bermutu, baik yang dari luar negeri maupun
domestik. Usaha penerbitan itu bisa tinggal landas lantaran yayasan ini memperoleh
dana dari luar, seperti Ivan Kats dari Asia Foundation. Sesungguhnya, salah satu ciri
khas Mochtar Lubis ialah PR (public relations) yang kuat, keluwesan bergaul,
antusiasme terhadap sesuatu cause seperti ekologi, demokrasi, keadilan, dan hukum.
Pintu yang diketoknya menjadi terbuka dan soal pendanaan tak jadi masalah.

Pada saat acara HUT ke-80 Mochtar Lubis, 9 Maret 2002 lalu, seorang pembicara dari
LIPI, yaitu Dr. Mochtar Pabottinggi, menamakan Mochtar sebagai "person of
character", insan nan berwatak. Di negeri kita sekarang, makin langka "person of
character" itu. Bung Hatta di zaman Pendidikan Nasional Indonesia awal 1930-an
suka menyerukan agar tampillah manusia-manusia yang punya karakter. Ibu Pertiwi
tetap mengharapkan dan memerlukan banyak "person of character". Maka, tutur
wartawan senior H. Rosihan Anwar, dalam kolomnya di Majalah Gatra Nomor 17
Tahun ke VIII, 11 Maret 2002, yang menjadi sumber artikel ini: "Dalam cahaya, kita
menghormati wartawan Mochtar Lubis yang sudah sepuh. Sudah saatnya dia
dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra oleh Presiden RI."(Tokoh
Indonesia, dari berbagai sumber)

Mochtar Lubis, sastrawan Angkatan 1960-an, dikenal sebagai penulis novel, cerpen,
penerjemah, pelukis, dan seorang jurnalis ternama. Dia lahir di Padang, tanggal 7
Maret 1922 dari keluarga Batak Mandailing dan meninggal dunia di Jakarta pada
tanggal, 2 Juli 2004. Ayahnya bernama Marah Husin Gelar Raja Pandapotan Lubis
bekerja sebagai Kepala Distrik Kerinci pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dan
ibunya bernama Siti Madinah Nasution. Mochtar Lubis adalah anak keenam dari
sepuluh bersaudara dari keluarga beragama Islam. Mochtar Lubis pernah melihat
ayahnya memukuli seorang kuli kontrak yang mencoba melarikan diri. Dia tahu
bahwa ayahnya tidak tega bertindak seperti itu, tetapi tugasnya sebagai kepala distrik
di wilayah itu harus dijalankan, yaitu menghukum semua kuli kontrak yang melarikan
diri. Pengalaman itu oleh Mochtar Lubis ditulisnya menjadi cerita pendek dengan
judul "Kuli Kontrak". Dengan adanya peristiwa itu, ayahnya tidak mengizinkan anak-
anaknya bekerja di pemerintahan Belanda karena ada kalanya tugas yang dibebankan
oleh pemerintah Belanda bertentangan dengan hati nuraninya. Ayahnya mengajarkan
kedisiplinan dalam hidup dan ibunya mengajarkan agama dan kebenaran untuk tidak
berdusta kepada teman ataupun Tuhan. Mochtar Lubis dan saudara-saudaranya mulai
SD bersekolah di sekolah kebangsaan. Dia mengawali pendidikan di HIS Sungai
Penuh, Kerinci, Sumatra Tengah (kini masuk ke dalam Provinsi Jambi), tahun 1936.
Tahun 1940 ia melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Ekonomi di Kayutanam,
Sumatra Tengah. Semangat kemerdekaan muncul dalam hati Mochtar Lubis yang
belajar politik, sosial, dan berhasil dengan baik mempelajari beberapa bahasa asing,
seperti bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman pada masa pendidikannya itu. Dia ingin
melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran, tetapi ayahnya melarangnya.
Selanjutnya, ia belajar secara autodidak. Selain itu, ia pernah menempuh pendidikan
di Thomas Jefferson Fellowship (East-West Center, University of Hawaii, USA).
Mochtar Lubis menikah dengan Siti Halimah Kartawijaya (mantan sekretaris redaksi
harian Asia Raya) dari Jawa Barat. Pernikahannya dilaksanakan pada tanggal 2 Juli
1945, dikaruniai 3 orang anak, 2 laki-laki dan 1 perempuan, yakni Indrawan Lubis,
Arman Lubis, dan Yana Zamin Lubis, serta 8 cucu. Dia mulai gemar menulis sejak
masih duduk di sekolah dasar. Ibunya selalu menceritakan dongeng yang kemudian
oleh Mochtar Lubis diceritakannya kembali kepada teman-temannya di sekolah. Dia
kemudian menjadi penulis novel dan cerpen. Mochtar Lubis pernah bekerja sebagai
wartawan Kantor Berita Antara yang saat itu berpusat di Yogyakarta, 1945—1952.
Dia juga bekerja sebagai karyawan Bank Factory di Jakarta, guru sekolah dasar di
Pulau Nias, anggota tim monitoring radio sekutu untuk kepentingan Gunseikenbu,
tentara Jepang pada tahun 1943, redaktur majalah Masa Indonesia, penulis kolom
surat kabar mahasiswa Kami tahun 1975, Ketua Dewan Redaksi majalah Solidarity, di
Manila, penulis tajuk majalah Suara Alam di Jakarta, dan juri Festival Film Indonesia
tahun 1981. Setelah Kantor Berita Antara ditutup oleh pemerintah Belanda, ia bekerja
sebagai karyawan di surat kabar Harian Merdeka (1945) dan menjabat sebagai
pemimpin redaksi majalah Mutiara (1949—1950). Pada masa itulah Mochtar Lubis
berhubungan akrab dengan Chairil Anwar, Achdiat Karta Mihardja, Usmar Ismail,
dan Aoh K. Hadimadja. Tanggal 28 Desember 1949 ia mendirikan surat kabar Harian
Indonesia Raya dan ia sendiri menjadi pemimpin redaksinya, pada periode 1949—
1961 dan 1968—1974. Di masa pemerintahan Bung Karno, harian ini dianggap
sebagai harian yang paling keras mengritik penguasa dan para pejabatnya, sehingga
pemimpin umum dan pemimpin redaksinya, Mochtar Lubis, ditangkap dan
dipenjarakan di Madiun (dari 21 Desember 1956 sampai dengan Mei 1966) bersama
Mohamad Roem, Sutan Syahrir, dan beberapa tokoh politik lainnya. Setelah
dibebaskan dan aktif kembali pada masa awal Orde Baru, Indonesia Raya diberangus
kembali setelah peristiwa Malari 1974 bersama-sama beberapa media lain dan
Mochtar Lubis dipenjara kembali selama 2,5 bulan. Jabatan yang pernah
disandangnya ialah Wakil Ketua di Akademi Jakarta, Penanggung Jawab majalah
sastra Horison, Ketua Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Direktur Jenderal Press
Foundition of Asia di Manila, anggota Unesco Mc Bride Commission on
Communication and Information di Paris, anggota Internasional Press Institute (IPI)
London, anggota International Science Writers Association (ISWA), anggota Pen
Club, anggota Kelompok Pertemuan Sastra Asean, Ketua Dewan Penyantun Lembaga
Bantuan Hukum (LBH), anggota Monial Pour le Etudes Sur le Future, Wakil Ketua
Yayasan Pembinaan Pers Indonesia, dan aktif dalam kegiatan Yayasan Indonesia
Hijau. Mochtar Lubis menulis cerita anak dalam surat kabar Sinar Deli, kemudian
menulis cerita pendek yang diterbitkan majalah Siasat. Cerita-cerita pendeknya itu
kemudian dikumpulkan dan diterbitkannya dalam bentuk kumpulan cerpen yang
berjudul Si Jamal. Dia menulis novel Tidak Ada Esok dan Jalan Tak Ada Ujung. Dia
juga masih terus menulis cerita pendek yang kemudian dikumpulkannya dalam
kumpulan cerita pendeknya yang kedua berjudul Perempuan. Kekhasan karya-karya
Mochtar Lubis ialah banyaknya unsur humor di dalamnya. A. Teeuw menyatakan
bahwa karya Mochtar Lubis hampir sama dengan karya Somerset Maugham.
Persamaannya terletak pada struktur cerita, tekanan, dan putaran yang tak disangka-
sangka. Kadang-kadang pembaca merasa geli apabila membaca cerita-cerita pendek
Mochtar Lubis. Kekhasan yang lain dalam karya-karyanya terletak pada latar cerita,
yaitu berlatar revolusi, seperti dalam karyanya yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung,
Tidak Ada Esok, serta Maut dan Cinta. Mochtar Lubis juga terkenal sebagai
wartawan. Pandangannya terhadap perilaku para pemimpin amat tajam dan kritis.
Oleh karena itulah hampir semua tulisannya baik fiksi maupun nonfiksi, mengritik
para pemimpin. Para pemimpin itu justru para pejuang sendiri yang ikut
memperjuangkan kemerdekaan, tetapi lupa amanat perjuangan mereka setelah
Indonesia merdeka. Kepandaian Mochtar Lubis berbahasa asing sangat menunjang
pergaulannya dengan pengarang-pengarang asing. Dia menguasai beberapa bahasa
asing, seperti bahasa Spanyol, Perancis, Inggris, dan Jerman. Pengarang asing yang
berhubungan baik dengannya adalah A. Vicents Compinos, Manual Pacheco, dan
Alberto F. Orlandini. Mereka sering mengirimkan karya-karyanya kepada Mochtar
Lubis. Mochtar Lubis gemar melakukan perjalanan jauh yang kemudian
dibukukannya dalam Perlawatan ke Amerika, Perkenalan di Asia Tenggara, dan
Indonesia di Mata Dunia. Beberapa catatan perjalanan sebagai seorang wartawan juga
menjadi sumber inspirasinya, seperti yang dicurahkannya dalam Catatan Korea dan
Perlawatan ke Amerika. Pengalaman Mochtar Lubis yang berhubungan dengan
masalah revolusi ditulisnya menjadi sebuah karya sastra, baik yang berbentuk novel
maupun cerita pendek. Dia menulis kebejatan-kebejatan manusia agar hal itu dapat
disadari dan dimengerti oleh masyarakat. Dia mengatakan bahwa kriteria satu-satunya
bagi seorang sastrawan adalah hati nuraninya sendiri. Kebebasan harus digugat untuk
mengembalikan hak dan harkatnya sebagai manusia yang merdeka. Sikapnya yang
seperti itu pernah ditulisnya dalam cerita pendek "Bromocorah" (Horison, No. 7, Th
17, 1982). Tahun 1957 Mochtar Lubis ditahan oleh pemerintahan Bung Karno.
Selama dalam tahanan ia menulis karya sastra, melukis, belajar main biola, dan
memperdalam yoga. Karya sastra yang ditulisnya selama dalam tahanan itu antara lain
Senja di Jakarta, Tanah Gersang, Harimau! Harimau!, serta Maut dan Cinta. Tahun
1958 ketika masih dalam tahanan, ia mendapat penghargaan Magsaysay Journalism
and Literature Award dari Manila. Penghargaan itu baru diterimanya di Filipina
delapan tahun kemudian setelah ia dibebaskan dari tahanan. Penghargaan lain dari
luar negeri adalah Pena Emas untuk kemerdekaan pers dari Federation Internationale
Des Editeurs de Jounaoux et Publication (Federasi Penerbit Surat Kabar Internasional)
di Perancis. Penghargaan lain yang diterimanya adalah Hadiah Sastra Nasional
BMKN untuk Jalan Tak Ada Ujung, 1952, Hadiah dari majalah Kisah untuk cerpen
"Musim Gugur", 1953, Penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk
peliputan perang di Korea, 1953, Hadiah Sastra BMKN untuk kumpulan cerpen
Perempuan, 1955—1956, Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan untuk novelnya Harimau-Harimau, 1975, Hadiah Sastra Yayasan Jaya
Raya untuk novel Maut dan Cinta, 1979, Penghargaan Anugerah Sastra Chairil Anwar
dari Dewan Kesenian Jakarta, 1992, dan Penghargaan Bintang Mahaputera Utama
dari Pemerintah RI, 2004. Tanggal 17 Mei 1966 Mochtar Lubis bebas dari rumah
tahanan. Bulan Juli 1966 ia menerbitkan majalah sastra Horison dan ia sendiri sebagai
pemimpin redaksi. Majalah itu sampai sekarang masih terbit. Karya Mochtar Lubis,
antara lain, adalah berupa novel, sebagai berikut (1) Jalan Tak Ada Ujung (Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya, 1952), (2) Tak Ada Esok (Jakarta: UP Garuda, 1950, Jakarta dan
Pustaka Jaya, 1982 (I dan II), 1989 (III), (3) Tanah Gersang (Jakarta: PT
Pembangunan, 1964), (4) Senja di Jakarta (Jakarta: BP Indonesia Raya, 1970), (5)
Maut dan Cinta (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1977), (6) Harimau! Harimau! (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1978), berupa kumpulan cerita pendek, seperti (1) Perempuan
(kumpulan 18 cerpen, Tintamas, 1956), (2) Kuli Kontrak (kumpulan 18 cerpen, Sinar
Harapan, 1982), (3) Bromocorah (kumpulan 12 cerpen, Sinar Harapan, 1983), berupa
drama, seperti (1) "Pangeran Wiraguna" (Horison, No. 4 dan 5/Th.2, 1967), berupa
kumpulan puisi, seperti (1) Catatan dari Camp Nirbaya (kumpulan puisi), berupa
cerita anak, seperti (1) Harta Karun dan Bajak Laut (Jakarta, BP Indonesia Raya,
1964), (2) Sinbad Pelaut Bagdad; (Jakarta, Dunia Pustaka Jaya, 1976), (3) Kisah Judar
Bersaudara (saduran kisah "Seribu Satu Malam", Jakarta, Pustaka Jaya, 1971), (4)
Dua Belas Puteri yang Menari (terjemahan, Jakarta, Dunia Pustaka Jaya, 1977), (5) Si
Jamal (kumpulan 12 cerpen, Gapura, 1951), (6) Penyamun Rimba (Jakarta, Pustaka
Jaya, 1972), (7) Pemburu Muda (penceritaan kembali, Jakarta, Pustaka Jaya, 1977),
(8) Tiga Bersaudara (penceritaan kembali, Semarang, Selok Kencana, 1978), (9)
Berkelana Rimba (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Jaya, 1980), dan
berupa karya lain-Lain, seperti (1) Teknik Mengarang (Jakarta, Balai Pustaka, 1950),
(2) Teknik Mengarang Skenario Film (Jakarta, Balai Pustaka, 1953), (3) Manusia
Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban (Jakarta, Idayu Press, 1977), (4) Bangsa
Indonesia (Masa Lampau-Masa Kini-Masa Depan), (Jakarta, Yayasan Idayu, 1978),
(5) Catatan Subversif (Jakarta, Sinar Harapan, 1980), (6) Transformasi Budaya untuk
Masa Depan (Jakarta, DKJ, 1983), dan (7) Sastra dan Tekniknya (Jakarta, Yayasan
Obor Indonesia, 1997). Karyanya juga diterjemahkan ke berbagai bahasa, antara lain
Twilight in Jakarta (Senja di Jakarta, 1963, 1964, 1983), A Road with No End (Jalan
Tak Ada Ujung, 1982); Een Tiger valt aan (Harimau! Harimau!, 1982); The Outlaw
and Other Stories (Kumpulan cerpen Bromocorah, 1987), Danmerung in Jakarta
(Senja di Jakarta, 1990).

Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Mochtar_Lubis |
Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Hella Haassee

Perang Kemerdekaan Indonesia Novel Oeroeg Karya Hella S. Haasse .1 Riwayat


Hidup Hella S. Haasse
anaknya di rumah administratur perkebunan itu. Setelah menceraikan istrinya,
administratur tersebut tidak memelihara nyai yang berprofesi ganda sebagai
pembantu dan sebagai istri tidak sah, melainkan pergi ke Belanda untuk mencari
jodoh sebagai istri yang sah.
4.2.2.4.3 Perang Kemerdekaan Indonesia

Pendidikan barat yang diterima oleh Oeroeg memberi perubahan dalam


kepribadiannya. Oeroeg yang memperoleh pendidikan barat, bergaul dengan orang
barat, pada akhirnya mengalami benturan peradaban dengan lingkungan barunya.
Lingkungan terakhir yang menjadi tempat Oeroeg bergabung adalah lingkungan
pejuang kemerdekaan Indonesia. Hal ini ditandai oleh Oeroeg yang bersahabat
dengan Abdullah telah memasuki kehidupan kaum terpelajar Indonesia. Abdullah
yang Islam ternyata memiliki jaringan perjuangan kebangsaan yang bergerak secara
rahasia sehingga tidak diketahui oleh Belanda. Lingkungan baru ini, secara
psikososial, membuat Oeroeg mengalami apresiasi harga diri keindonesiaannya
menghadapi kebelandaan yang selama ini menjadi tempat perlindungan hidupnya.
Harga diri yang positif membuat orang dapat mengatasi kecemasan, kesepian, dan
penolakan sosial. Bahkan, ia merasa semakin diterima dan menyatu dengan
orang-orang di sekitarnya. Hal seperti ini tidak diperoleh Oeroeg selama mengikuti
orang tuanya menjadi jongos orang tua tokoh “aku” dan saat menjalani pendidikan di
Batavia. Bahkan, selama berada di Surabaya, Oeroeg berhasil mengubah pola pikir
kebelandaan Lida sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini.
Universitas Sumatera Utara
”Cara berpikir Lida sama dengan kami,” kata Oeroeg bangga. Hal yang satu menyusul
hal lainnya, lalu terjadilah debat di mana aku harus bersikap
defensif karena seluruh masalah ini terasa aneh bagiku. Aku tahun sedikit atau tidak
sama sekali tentang aliran-aliran nasionalisme, tentang sekolah-sekolah
liar, tentang proses munculnya keresahan yang terjadi di lapisan masyarakat pribumi.
Tanpa sepatah katapun aku menerima hujan tuduhan dan celaan yang
sekarang ditujukan Oeroeg dan Abdullah dengan berapi-api. Terhadap pemerintah,
terhadap orang Belanda, terhadap orang kulit putih pada
umumnya” Oe:118.
Pertemanan atau persahabatan mungkin masih ada dengan tidak ditembaknya tokoh
“aku”. Pertemuan terakhir antara dua orang yang bersahabat sejak kecil ini
menjadi antiklimaks kesetaraan ras. Mereka berada pada fokus perjuangan yang
berbeda. Tokoh “aku” yang ingin mempertahankan persahabatan antarbangsa tersebut
harus berhadapan dengan statusnya sebagai tentara Belanda dalam Agresi Militer
Belanda di Indonesia. Sebaliknya, tokoh “aku” berposisi sebagai pemuda Indonesia
yang mempertahankan kemerdekaannya. ”Pergi, katanya dalam bahasa Sunda, ”Pergi,
kalau tidak kutembak. Kau tak
punya urusan di sini.... Apa yang dapat kuketahui terlihat jelas. Secarik kain kotor
terikat di lengan kananya, lambang Palang Merah masih tampak di kain
itu. Keris di sabuknya, kain yang diikat dengan cara Sunda di kepalanya- celana
pendeknya yang berwarna khaki, bergaya Amerika, dan revolvernya,
mungkin warisan tentara Jepang- apalagi yang dibutuhkan untuk mengetahui tahap-
tahap yang telah ditempuhnya” Oe:128-129.
Peristiwa di atas menjadi jalan tengah persahabatan dalam konflik bangsa penjajah
dengan bangsa terjajah. Kedatangan tokoh “aku” dengan cara menjadi
anggota tentara Belanda dalam pasukan Sekutu menjadi titik nadir persahabatannya
dengan Oeroeg. Tokoh “aku” yang berseragam tentara mengingatkan superioritas
Belanda sebagai bangsa penjajah di Indonesia. Simbolisasi ini sudah merasuki pikiran
dan perasaan rakyat Indonesia, setidaknya sejak 1912. Menurut Riyanto 2003:20-
Universitas Sumatera Utara
21, pemerintah kolonial Belanda, pada 1912, ketika berada di puncak hegemoni
kekuasaan militernya memasang iklan lowongan pekerjaan menjadi serdadu Hindia
Belanda dalam bentuk papan reklame luar ruangan enamel atau outdoor billboard
yang dimuat pada Jurnal Boeatan Asli Indonesia. Iklan ini menawarkan gaji yang
sangat besar melebihi gaji pekerjaan kaum priyayi profesional. Warga pribumi yang
lolos tes diterima sebagai Vrijwilligers akan digaji 250 gulden per bulan dan diberi
tunjangan pensiun 14 gulden per bulannya. Hal yang menjadi persoalan adalah
tampilan iklan yang memperlihatkan ikon
zaman penjajahan di mana penindasan terhadap bumiputera dilakukan lewat kekuatan
senjata warga yang dapat dikooptasi dan dibeli oleh pemerintahan kolonial. Secara
deskriptif, Riyanto 2003:21 menggambarkan hegemoni pemerintahan Hindia Belanda
dengan ikon militerismenya sebagai-berikut:
Buju rayu itu dikemas dalam suatu tampilan visual yang sangat elok dan memikat
seiring dengan era semangat ”Mooi Indie” Hindia Molek acuan
kaum seniman terutama elukis zaman itu. Dalam komposisi penuh warna full colour
digambarkan dalam poster itu seorang komandan tentara Hindia
Belanda Indische Leger dengan kumis melintang dan secercah senyum dari wajah
indonya mengendarai sepeda berseragam warna biru tua lengkap
dengan atribut kepangkatan, bintang jasa, topi kebesaran, sabuk amunisi, sepatu lars,
dan senapan laras panjang yang menyilang di dadanya. Mengikuti
di belakangnya barisan pasukan bersepeda dengan atribut yang lebih kurang sama
berderet memenuhi ruas jalan raya sampai menghilang pada batas garis
cakrawala. Kepongahan pasukan Indische Leger sebagai bintang utama ruang
imajiner iklan itu didampingi figuran-figuran masa rakyat jelata kaum pribumi
yang sengaja ”dihadirkan” sebagai pengukuh kekuasaan kaum bersenjata sebagai
kelas penguasa. Kerumunan kaun jelata pribumi itu digambarkan
dalam raut ekspresi wajah yang menatap kosong, begong, putus asa, getir, seakan
tanpa harapan.
Universitas Sumatera Utara
Simbolisasi Hindia Molek yang berada dalam penampilan fisik tokoh “aku”
menjadikan mereka berada dalam dua kutub yang berbeda. Tokoh “aku” berada
dalam posisi bangsa penjajah yang ingin mengembalikan kejayaan Hindia Belanda di
Republik Indonesia yang baru merdeka. Sebaliknya, Oeroeg berada dalam simbolisasi
pemuda pejuang yang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari
serangan militer Belanda yang berada dalam pasukan Sekutu.
Peristiwa Agresi Militer Belanda ke Republik Indonesia menjadi akhir dari pertemuan
dan persahabatan tokoh “aku” dengan Oeroeg. Peristiwa tersebut
memberikan sebuah pertanda bahwa peradaban Barat yang terepresentasi dalam diri
bangsa penjajah berbeda dengan peradaban Timur yang terepresentasi dalam diri
bangsa terjajah. Pemaksaan kehendak untuk menjadikan orang Timur berkarakter
Barat telah gagal dalam pembetukan identitas diri Oeroeg. Bahkan, tokoh “aku”
menjadi cermin kepribadian Barat yang bersimpati terhadap kepribadian Timur dan
tokoh Lida menjadi cermin kepribadian Barat yang akhirnya menyatu dengan
kepribadian Timur.
4.3 Temuan Penelitian 4.3.1 Struktur Penceritaan Novel Hindia Belanda
Struktur penceritaan novel Hindia didasarkan pada pengalaman pengarang novel itu
sendiri. Pengarang menjadikan pengalamannya di Hindia Belanda sebagai
kerangka cerita novelnya. Bahkan, EDD yang menggunakan nama samaran Multatuli
menjadikan riwayat hidupnya sebagai dasar tindakan dan kejadian dalam penceritaan
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai