TOONDAE 1893
Dalam sejarah perang antar komunitas etnik di belantara Tana Poso, komunitas
Tonapu dan Toonda'e memiliki rekam jejak yang sangat menarik untuk diselidiki.
Banyak kisah-kisah heroik di muncul dari dinamika kritis ke dua komunitas ini.
Sebuah peristiwa heroik yang melegenda adalah Perang Buyu mbiro yang terjadi
tahun 1893. menelusuri jejak Buyu mbiro pada hari ini, terletak di sekitar
Kampung Didiri (sekitar 1 kilo meter sebelum tiba di Kampung Dididri dari arah
Tentena). Ini adalah perang terakhir antara komunitas di akhir abad 19 sekaligus
mengakhiri seluruh rangkaian perang antar etnik dan pintu gerbang masuknya
Injil di Tana Poso. Dua tokoh utama yang muncul dalam perang ini yaitu Umana
Soli (Ama) sebagai Panglima Perang dari lembah Pekurehua dan Mekoyuyu
Lateka sebagai Panglima Perang Toonda'e. Dalam Perang tersebut, dapat di
katakan bahwa Toonda'e mengalami kekalahan besar. Banyak prajurit mereka
yang tewas.
Akibat dari kekalahan Toonda'e dalam Perang Buyu Mbiro tersebut, prajurit-
prajurit Tonapu semakin menempatkan musuh bebuyutannya sebagai sasaran
sekaligus untuk menghancurkan benteng pertahanan terakhir mereka di Peladia.
Dan sebaliknya komunitas Toonda'e merasa telah berada dalam situasi yang
sangat terdesak (lemah). Beberapa tahun kemudian, Umana Soli kembali
merencanakan menyerang wilayah Onda'e dengan tujuan utama menghancurkan
Peladia, kampung dan benteng terakhir yang ditempati panglima dan prajurit-
prajurit tangguh Topamona.
Mendengar itu Umana Soli termenung sesaat, lalu menjawab dengan selarik
kayori:
Kudundeka i nTuana, Halalungku hai bara
Madotapa do balanja, Sei da ngkunawa nawa.
Secara harfiah bermakna :
Kudendangkan kidung orang orang besar, entahlah kita masih bersaudara
Konon masih mau berbelanja, kini sedang kurenungkan.
Kandungan maknanya :
Saya berbicara selaku tadulako, kepada entah saudara entah bukan
Semangat berperang masih berkobar, namun ajakan ini sedang kupertimbangkan.
Lanjutan dari pada diplomasi ini adalah tuntutan dari Umana Soli terhadap
Toondae yakni sejumlah 7 orang Ondae harus diserahkan untuk menjadi tumbal
perdamaian. Inilah jalan damai versi Umana Soli.
Diplomasi berlanjut, pada akhirnya Rangga mengambil alih pembicaraan bahwa ia
sanggup memberi hanya satu orang Ondae sebagai tumbal hadapan. Di tengah
agak ke ujung antara kedua jalur pondok dibangun sebuah panggung kecil
(lampaani) yang berlantai cukup tinggi kurang lebih 3 meter dari tanah. Sore
menjelang hari pelaksanaannya, seorang nenek dukun pribadi Magido dijemput
dari kebunnya dengan pesan :Komi ndapeboo i mpue (nenek diminta datang
oleh tuan). Tanpa banyak komentar nenek ini berkemas lalu berjalan pulang
beriringan dengan penjemputnya. Ketika dari ketinggian ia memandang dan
tampaklah perkemahan dari kedua pihak prajurit dengan sebuah panggung di
tengah tengahnya, maklumlah ia untuk apa ia dipanggil. Iapun berucap : Kurata
ndayamo puu pampeboo i mpue yaku (saya sudah paham tujuan pemanggilan
tuan pada saya). Hanya itu kata kata terakhir dari nenek, selanjutnya ia
bungkam seribu bahasa bahkan tak lagi ia menyentuh makan malamnya.
Esok paginya ketika matahari merangkak naik, nDoi Bungu (demikian panggilan
nenek itu) digiring menaiki panggung ditudungi selembar i n o d o (kain fuya)
berwarna hitam. Suasana hening mencekam ket. Umana Soli menggumuli masalah
ini dan pada akhirnya menyatakan setuju.
(Ada dugaan Umana Soli menerimanya karena pengaruh psikologi atas mimpi
yang dialaminya beberapa kali bahwa setiap kali akan memimpin penyerangan
atas kampung Peladia, ia didatangi oleh seorang yang berjubah putih memintanya
untuk menghentikan penyerangan).