Anda di halaman 1dari 7

Masuknya Islam di Lembah Palu

May 22, 2017

A. PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA ISLAM DI LEMBAH PALU


Proses masuknya islam di sulawesi tengah khususnya di palu, secara umum hampir
sama dengan daerah-daerah lainnya di indonesia yaitu menggunakan jalur laut kemudian melalui
darat yang tentunya diawali untuk mencari tempat berdagang. Mengenai pembawanya, disebut-
sebut adalah orang Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Arab.[1] Seperti semua daerah lainnya yang
ada di indonesia diketahui bahwa islam masuk ke indonesia secara damai, begitu juga dengan
masyarakat Palu yang menerima ajaran ini tanpa paksaan. Penyebaran agama islam juga pertama
kali dilandasi untuk melakukan perdagangan di wilayah indonesia yang seperti kita ketahui
bahwa di Asia Tenggara sudah menjadi pusat dari perdagangan internasional terutama di
Indonesia yang dikenal dengan selat malakanya dan juga hasil-hasil bumi yang sangat melimpah.
Seperti juga para pelayar atau pedagang lainnya yang masih menggunakan kapal layar yang
bergantung pada arah angin yaitu angin musim barat dan angin musim timur maka para
saudagar-saudagar muslim itu yang entah dari Arab, Gujarat ataupun Persia juga harus berhenti
disuatu tempat untuk menunggu angin agar bisa berpindah ketempat tujuan lainnya. Oleh karena
itu, tentunya secara otomatis akan terjadi interaksi antara para saudagar muslim itu dengan
penduduk asli yang ada di indonesia. Interaksi itu akhinya menyebabkan mereka saling
menganal sehingga terjadinya pertukaran budaya entah disengaja maupun tidak disengaja. Selain
itu dengan adanya hubungan itu kemudian dimanfaatkan sebagai suatu momentum untuk
menyebarkan atau mengajarkan agama islam secara damai kepada penduduk-penduduk disana
terutama yang berada dipesisr pantai, sehingga dapat dikatakan bahwa penyebaran islam yang
pertama itu dilakukan dari masyarakat lapisan bawah.
Proses Islamisasi di kepulauan Indonesia tidak berjalan dalam pola yang seragam. Jika
Sumatera dan Jawa menggunakan pola yang hampir sama, tetapi di luar kedua pulau tersebut
terjadi perbedaan yang mencolok. Sebaiknya pemahaman terhadap masuknya Islam di suatu
daerah, merujuk pada tiga pendapat tentang masuknya Islam pada suatu daerah yang dilihat dari
(1) Adanya seorang yang beragama Islam dari luar, masuk ke daerah tersebut. (2) Adanya orang
(penduduk asli) di daerah tersebut yang memeluk Agama Islam. (3) Setelah ajaran agama Islam
di terima sebagai agama kerajaan, sehingga agama Islam melembaga, kemudian di ikuti dengan
proses Islamisasi.[2] Sehingga pada saat agama dan kebudayaan islam mulai masuk ke
indonesia, sistem pemerintahan, ekonomi dan sosial budaya masyarakat indonesia masih
beraneka ragam. Sistem sosial masyarakat di daerah pedalaman cenderung bersifat statis karena
belum banyak berhubungan dengan bangsa atau daerah lainnya. sebaliknya masyarakat yang
tinggal disekitar kota pelabuhan memiliki corak kehidupan yang lebih dinamis dan lebih mudah
menerima pengaruh yang baru karena sering berhubungan dengan berbagai bangsa dan budaya
asing. Masyarakat yang tinggal di sekitar daerah pelabuhan sering berhubungan dengan para
pedagang asing baik para pedagang islam ataupun para pedagang lainnya.(Herimanto, 2009: 59)
Para pedagang islam itu di antaranya berasal dari Arab, Persia, Gujarat, Bengali, dan malaya.
Pada awalnya para pedagang itu hanya berdagang dengan penduduk pribumi. Akan tetapi,
lambat laun para pedagang itu ada yang tinggal dan menetap. Tempat tinggal para pedagang
tersebut akhirnya semakin berkembang menjadi sebuah perkampungan. Perkampungan para
pedagang muslim ini disebut pekojan, yang berasal dari kata khoja (pedagang). Dari sinilah
kemudian Islam selain disebarkan melalui perdagangan juga disebarkan melalui perkawinan
yaitu para saudagar muslim kawin dengan wanita-wanita Nusantara (Indonesia), sehingga
dengan perkawinan ini proses Islamisasi-pun terjadi. Bila seorang pedagang beragama Islam
menikah dengan seorang perempuan pribumi, tentulah si perempuan akan mengikuti agama
suaminya. Setelah itu, menyusul pula anggota keluarganya yang lain. Perkawinan ini juga
dilakukan dengan para bangsawan-bangsawan sehingga bila seorang raja di suatu daerah masuk
Islam, akan segera menyusul pula para bawahannya.

Wilayah Sulawesi Tengah yang pertama kali dimasuki oleh ajaran Islam adalah Buol dan
Banggai (Banggai Kepulauan). Kedua daerah tersebut menerima ajaran Islam diperkirakan
terjadi pada pertengahan abad ke-16. Sebab kedua kerajaan tersebut merupakan daerah pengaruh
kesultanan Ternate, sedangkan kesultanan ini menerima Islam sekitar abad ke-15 (paling
lambat). Ajaran Islam yang telah lama disyiarkan di Kesultanan Ternate kemudian disebarkan ke
berbagai daerah kekuasaannya. Hal tersebut dapat dilihat dari Raja Eato Muhammad Tahir
(1540-1595) Raja Kerajaan Buol yang bergelar sultan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa
selambat-lambatnya pada pemerintahan sultan inilah ajaran Islam masuk ke Buol dari Ternate.
Sultan Eato Muhammad Tahir memiliki hubungan persahabatan dengan penguasa-penguasa di
Kesultanan Ternate, seperti Sultan Khairun (1550-1570) dan Sultan Baabullah (1570-1584).
Berarti, mula ajaran Islam diterima oleh Raja Buol, kemudian diikuti oleh rakyatnya dalam artian
para pembawa islam ini sudah mulai masuk kedalam tingkatan bangsawan untuk mempermudah
penyebaran agama islam tersebut.
Dalam buku Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, disebutkan bahwa pengaruh Ternate
juga meliputi Gorontalo dan daerah pesisir Teluk Tomini. Dari tradisi lisan masyarakat Lambunu
dikatakan bahwa Islam datang ke daerah itu berasal dari Ternate yang dapat dibuktikan dengan
keberadaan sebuah gulungan kertas tua yang bertuliskan huruf arab yang disebut-sebut sebagai
khotbah pertama ketika Islam masuk di Kerajaan Lambunu. Khotbah itu merupakan kiriman
Sultan Ternate. Pembawa khotbah (sebagai tanda persahabatan) tersebut adalah Bikokong
seorang Kapitan Raja Benda Kerajaan Ternate. Kemudian di daerah Tomini dikatakan bahwa
orang Tomini mendapatkan ajaran Islam melalui Gorontalo. Daerah ini memiliki seorang
penyebar Islam yang bernama Ukum seorang pengembara dari Gorontalo. Jasa orang ini adalah
mengkhitan orang-orang Islam di pesisir pantai Tomini.
Selain itu, di wilayah bagian timur Sulawesi Tengah, dimulai dari Moutong, Tomini,
Tinombo, Sigenti, Kasimbar, Parigi, Sausu, Tojo, Una-una, Kepulauan Togean, hingga Bungku,
penyebaran Islam dilakukan oleh orang-orang Ternate pada masa pemerintahan Sultan Khairun
(1550-1570). Tahun 1563, Sultan Khairun bermaksud mengislamkan Sulawesi Utara, Gorontalo,
Mooeton (Moutong), Tomini, Tinombo, Sigenti, Kasimbar, Parigi, Sausu, Todjo, Ampana, serta
Kepulauan Una-una dan Togean. Namun maksud tersebut mengalami hambatan yang dilakukan
oleh tentara Portugis ketika mengirimkan seorang Misionaris yang bernama Peter Magelhaens.
Sultan selanjutnya yaitu Sultan Baabullah yang berkuasa antara 1570-1580, berhasil membangun
kekuatan maritim mampu menguasai wilayah Sulawesi dan Kepulauan Philipina.
Sementara orang yang menyebarkan Islam di daerah Bungku yang datang dari
Ternate bernama Syekh Maulana atau Datu Maulana Bajo Johar. Sedangkan yang menganut
agama Islam pertama adalah Raja Bungku yang pertama, bernama Sangia Kinambuku. Di
Kerajaan Tojo, proses pengislaman dilakukan oleh para mubaligh dari Ternate dengan cara dari
rumah ke rumah juga dibantu oleh imam lokal yang sangat gigih yaitu Pabemba (Imam Tua),
Bunae, Langke Mawo, dan Mangge Moho.
Di daerah Lembah Palu sendiri, proses Islamisasi mendapat pengaruh dari
Minangkabau yang kemudian dilanjutkan oleh orang-orang Bugis/Makassar dan Mandar lewat
perdagangan dan pelayaran. Sementara berdasarkan teori sufi, Islam masuk ke Lembah Palu
melalui para mubaligh yang berasal dari Minangkabau dari Hadramaut di Arab Selatan (Yaman)
antara lain Syekh Abdullah Raqie (Dato Karama) dan Sayed Idrus bin Salim Al-Jufri. Islam
masuk ke Lembah Palu melalui tiga periode yaitu periode mitos (rasionalisasi Islam) pada abad
ke-17, periode ideologi (periode Bugis/Makassar) pada abad ke-18, dan periode ilmu
pengetahuan (Al-Khairaat) pada abad ke 19. Islam masuk ke Lembah Palu sekitar abad ke-17
dibawa oleh seorang mubaligh yang berasal dari Minangkabau bernama Abdullah Raqie atau
yang lebih dikenal dengan Dato Karama. Beliau membawa serta istrinya yang bernama Ince
Jille, iparnya yang bernama Ince Saharibanong, dan anaknya yang bernama Ince Dingko. Mereka
datang dengan alat-alat kebesarannya seperti Bendera Kuning, Panji Orang-Orangan, Puade,
Jijiri, Bulo, Gong, dan Kakula (Kulintang). Azis Muhammad mengatakan bahwa Dato Karama
datang ke Lembah Palu dengan menggunakan perahu layar (kora-kora), melaju deras di tengah
ganasnya ombak besar menggunung dan kencangnya angin. Tak mampu bertahan di tengah laut,
akhirnya perahu yang ditumpangi oleh Dato Karama terdampar di tepi pantai Talise atau di
sekitar Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata, Jl. Suharso. Tempat terdamparnya kapal
disebut karampe, sedangkan layarnya terpental jauh dan jatuh di daerah yang disebut Masomba
sekarang.
Suku asli yang mendiami lembah palu adalah suku kaili. Masyarakat suku ini
mendiami sebagian besar wilayah sulawesi tengah meliputi Kota Palu, Wilayah kabupaten
Donggala, Kabupaten Kulawi, Parigi dan Ampana, Sebagian Kabupaten poso dan sejumlah kecil
mendiami kabupaten lainnya seperti Kabupaten Buol dan kabuaten Toli-toli. Ada beberapa
pendapat yang mengemukakan etimologi dari katakaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata
yang menjadi nama suku orang palu ini berasal dari nama pohon dan buah kaili, yang umumnya
tumbuh dihutan-hutan dikawasan daerah ini. Kepercayaan mereka sebelum masuknya islam
yaitu masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.[3]
Dari kedatangan Dato Karama di Lembah Palu ternyata disambut dengan baik oleh
masyarakat Lembah Palu bahkan kedatangannya disambut oleh dua bangsawan Lembah Palu
saat Itu yaitu Parasila atau Pue Njidi dan I Moili atau Pue Bongo. Parasila atau Pue Njidi
merupakan raja Kabonena. Pue Njidi dan Pue Bongo kemudian memeluk Islam diikuti oleh
masyarakat Lembah Palu. Metode syiar Dato Karama menurut penelusuran beberapa literatur
diketahui menggunakan pola yang sama dengan yang digunakan di Kesultanan Aceh. Hal ini
dilihat dari kenyataan bahwa Dato Karama merupakan utusan Sultan Iskandar Muda dari
Kesultanan Aceh untuk mengislamkan masyarakat di Pulau Sulawesi bersama dengan Datuk Ri
Tiro dan Datuk Ri Bandang. Proses Islamisasi yang dilakukan oleh Dato Karama berpusat pada
sebuah mesjid yang didirikan atas dukungan masyarakat (penduduk) di sekitar masjid tersebut.
Masjid ini diberi nama masjid Jami dan berada di wilayah kelurahan Kampung Baru
sekarang.dengan kedatangan dari Dato Karama ini maka masyarakat di Lembah Palu dan
sekitarnya yang dahulunya memeluk kepercayaan animisme menjadi beragama yaitu islam.
Pada periode selanjutnya tepatnya abad ke-18, Islam di Lembah Palu mengalami
transformasi dari periode mitos ke periode ideologi. Di dalam periode ideologi ini, peran orang-
orang Bugis/Makassar dan Mandar sangat signifikan terutama dalam proses Islamisasi di
Lembah Palu. Hal ini ditandai dengan munculnya sistem mengaji yang mengikuti model mengaji
Bugis Makassar. Islamisasi yang dilakukan oleh orang-orang Bugis Makassar yang bermigrasi ke
Sulawesi Tengah dimulai dengan penanaman Ideologi sebagai akibat dari ditandatanganinya
Perjanjian Bongaya oleh Raja Gowa yang menyebabkan bangsawan-bangsawan Bugis Makassar
kehilangan status kebangsawananya dan berupaya mencari hegemoni di tempat lain. Mereka
membentuk mitos-mitos agar dapat diterima di masyarakat lokal dan mencari legitimasi agar
mereka leluasa berdagang sekaligus menyiarkan Islam.
Hal ini dibuktikan dengan munculnya model mengaji huruf ugi yang mengikuti pola
mengaji Bugis Makkasar serta munculnya mitos-mitos seperti mitos Tana Sanggamu (Tanah
Segenggam) yang diambil dari proses penciptaan manusia menurut Islam. Selain itu, tradisi yang
berasal dari periode ini yang dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat Lembah Palu sampai
sekarang yaitu Barasanji.
Pada periode selanjutnya, sekitar abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, Islam
di Lembah Palu masuk ke dalam periode ilmu pengetahuan yang ditandai dengan didirikannya
Perguruan Islam Al-Khairaat oleh Sayed Idrus bin Salim Al-Jufri. Sayed Idrus bin Salim Al-Jufri
merupakan seorang mubaligh yang berasal dari Taris, Hadramaut di Arab Selatan. Beliau bekerja
sama dengan Magau Tjatjo Idjazah beserta masyarakat Lembah Palu untuk mendirikan Al-
Khairaaat yang bisa kita lihat sampai sekarang. Dalam perkembangannya, Al-Khairaat menjadi
perguruan Islam yang memiliki banyak murid bukan hanya dari Palu tetapi dari beberapa daerah
di kawasan Timur Indonesia dan daerah di sekitar Palu. Sehingga, dari sinilah agama islam dapat
berkembang tidak hanya di daerah pesisir pantai tetapi juga sudah masuk ke pedalaman.
B. BUKTI PENINGGALAN SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI LEMBAH PALU
Masuknya islam di lembah palu meninggalkan jejak-jejak sejarah yang berupa
benda-benda peninggalan yang dapat memberikan gambaran mengenai masuknya islam itu
sendiri. Seperti keberadaan sejumlah Alquran tua, kumpulan Lontara, hingga lembaran Kutika.
Benda-benda bersejarah yang kini tersimpan rapi di Museum Sulteng. Salah satu benda sejarah
peninggalan Islam masa lampau di Lembah Palu adalah Alquran tua. Alquran tulisan tangan
yang diperkirakan berumur 200-an tahun. Alquran tersebut berukuran sekitar 30 centimeter x 40
centimeter dengan tebal kira-kira 10 centimeter. Uniknya Alquran tersebut, juga berisikan
ukiran-ukiran yang bersifat floral atau tumbuh-tumbuhan yang digambar di setiap sisi lembaran
ayat.
Pada setiap peralihan juz dalam Alquran tersebut, juga ditemukan satu halaman
penuh yang berukiran flora khas Sulteng sebagai halaman penanda. Ukiran floral tersebut
diwarnai dengan tiga warna dasar, yakni merah, kuning dan hijau yang memakai tinta Cina.
Kombinasi warna dan ukiran floral tersebut, menimbulkan suatu keindahan tersendiri. Menurut
Staf Seksi Teknis Museum Sulteng, Drs. Iksam M.hum, Alquran tua tersebut telah diteliti oleh
Libang Departemen Agama. Dari penelitian itu diketahui bahwa ratusan lembar Alquran yang
diperkirakan dibuat pada akhir abad ke 18 itu, dibuat dari kulit kayu beringin. Sementara
sampulnya dibuat dari kulit binatang. Selain Alquran yang berusia 200-an tahun itu, terdapat
pula 20 hingga 30 Alquran peninggalan abad 19 dan abad 20. Alquran dari zaman itu, terang
Iksam, sudah menggunakan kertas hasil produksi pabrik dari Eropa. Hal itu ditandai dengan
adanya cap air atau watermark pabrik kertas yang ada di setiap lembaran Alquran. Meski begitu,
ayat-ayat Alquran masih ditulis dengan menggunakan tangan. "Kalau diterawang, kelihatan
watermark-nya," jeles Iksam. Keberadaan sejumlah Alquran tua tersebut, ditengarai datang dari
masa periode sesudah syiar Islam yang dilakukan oleh Datokarama, yakni pada periodesasi syiar
Islam oleh para mubalig bugis, makassar, dan mandar hingga periodesasi mubalig
arab/Yaman.[4]
Selain Alquran ada juga sejumlah naskah yang hadir di tengah masyarakat lembah
Palu bersamaan dengan masuknya Islam. Naskah tersebut di antaranya berupa naskah Kutika dan
naskah Lontara. Islam menjadi satu-satunya agama tauhid yang bersentuhan langsung dengan
masyarakat di Lembah Palu pada abad ke 17. Masuknya Islam di lembah Palu, bukan hanya
mengubah agama masyarakat asli saat itu. Namun juga mempengaruhi secara kuat wajah
peradaban masyarakat di Lembah Palu. Masyarakat menjadi sangat akrab dengan ajaran serta
kebudayaan Islam. Di antaranya, mempengaruhi cara masyarakat dalam perhitungan hari, bulan,
dan tahun, yakni dengan menggunakan kalender Hijriah. Berbeda dengan masa kini, yang
menggunakan kalender Masehi. Salah satu bukti pengunaan kalender Hijriah dapat dilihat dari
naskah Kutika yang dimiliki oleh Museum Sulteng. Naskah Kutika tersebut ditenggarai berasal
dari abad ke 17. Artinya, Kutika yang terbuat dari lembaran kulit kayu itu sudah berumur sekitar
400-an tahun, sehingga kuat dugaan berasal dari periode syiar Islam yang sama dengan masa
Datokarama berdakwah.
“Ada tiga naskah Kutika. Satu berukuran besar dan dua lainnya berukuran lebih
kecil. Ketiganya punya fungsi yang sama namun cara hitungnya berbeda,” ujar staf Seksi Teknis
Museum Sulteng, Drs Iksam, M.Hum. Iksam menjelaskan, naskah Kutika tersebut digunakan
sebagai panduan untuk melihat hari-hari baik berdasarkan perhitungan bulan Islam. Misalnya
melihat hari-hari apa saja yang baik dalam bulan Muharram untuk melakukan kegiatan yang
berkaitan dengan rezeki. Seperti perkawinan, bercocok-tanam, membuat peralatan, pindah
rumah, potong rambut, dan lain sebagainya. Karena itu jangan heran menemukan 12 bulan
Hijriah dan tujuh nama hari dalam sebutan Hijriah (al-Ahad, al-Itsnayn, ats-Tsalaatsa‘, al-
Arba‘aa, al-Khamiis, al-Jum‘aat, as-Sabt) dalam naskah Kutika.
Menurut Iksam, tidak semua orang dapat melakukan perhitungan dengan naskah
Kutika. Ada orang tertentu yang pandai membacanya. Dalam masyarakat Kaili, orang itu disebut
dengan Tona Na Tau atau orang pandai. Namun jangan salah mengartikannya dengan dukun
atau sando. Menurut Iksam, ahli Kutika sama sekali berbeda dengan dukun. ”Bukan hanya
masyarakat Kaili saja yang menggunakan Kutika saat itu, orang Bugis-Makassar yang tinggal di
Lembah Palu juga menggunakannya sebagai panduan. Sampai sekarang saja masih ada yang
menggunakan Kutika, seperti di Dolo, Biromaru, Lasoani, Kawatuna, Balaroa, dan Donggala
Kodi,” ungkap Iksam.
Selain naskah Kutika, naskah tua lainnya yang berhubungan dengan masuknya Islam
ke Lembah Palu adalah keberadaan naskah Lontara. Naskah yang berisikan petuah serta
tatakrama dalam berkehidupan itu ditulis dengan aksara Lontara yang dimiliki oleh orang Bugis-
Makassar dan Mandar, sehingga ditenggarai masuknya naskah Lontara ke Lembah Palu
bersamaan dengan masuknya para mubaliq Bugis-Makassar dan Mandar ke Lembah Palu. Iksam
menuturkan, naskah Lontara umumnya dimiliki oleh para mubaliq Bugis-Makassar dan Mandar
yang menyebarkan syiar Islam di Lembah Palu. Periodesasi syiar mubaliq asal selatan itu
ditengarai pada masa sesudah Datokarama atau pada abad ke 18 dan 19.
“Dulunya, syiar Islam Datokarama diteruskan oleh guru-guru mengaji serta mubaliq
asal Bugis-Makassar dan Mandar. Mereka juga membawa naskah Lontara yang mengajarkan
bagaimana tatakrama dalam berkehidupan, di samping yang utama tentunya mengajarkan nilai-
nilai dalam Alquran. Dulu diajarkan di rumah-rumah karena belum mengenal sekolah,” papar
Iksam yang juga menjabat sebagai Sekretaris II Dewan Pembina dan Pengembang Budaya Kaili
ini.
Iksam lantas mejelaskan, naskah Lontara tua yang dimiliki oleh Museum Sulteng
terbilang cukup banyak. Sedikitnya ada 50 naskah Lontara tua yang berbetuk buku dan dalam
kondisi yang terawat. Menurut Iksam naskah Lontara tersebut tidak hanya berasal dari Lembah
Palu saja, namun juga berasal dari Kabupaten Poso, Kabupaten Parigi Mautong, Kabupaten
Donggala, hingga Kabupateb Banggai.[5]
Jadi perkembangan islam disetiap daerah dapat dikatakan sangat pesat di Sulawesi
Tengah dan diterima sangat baik oleh masyarakatnya. Dengan masuknya agama islam di
sulawesi tengah ini juga membuka suatu pencerahan bagi masyarakatnya untuk bisa hidup dalam
naungan agama. Antusias dari masyarakatnya untuk mempelajari agama islam ini ternyata juga
sangat tinggi yaitu dengan banyaknya ditemukan peninggalan-peninggalan berupa Alquran yang
ditulis.
DAFTAR PUSTAKA

Herimanto. 2009. Pembelajaran sejarah interaktif. Jakarta: Platinum.

[1] http://jefriantogie.blogspot.com/2012/12/proses-masuknya-islam-di-sulawesi.html, diakses


tanggal 11 Maret 2013.
[2] http://haritsazmizanki9.blogspot.com/2013/02/islam-di-lembah-palu-sebuah-napak-tilas.html,
diakses tanggal 25 Maret 2013.
[3] http://dmnsmegha.blogspot.com/2013/02/sejarah-lembah-palu.html, diakses tanggal 25 Maret
2013.
[4] http://wa-iki.blogspot.com/2010/11/melihat-jejak-sejarah-islam-di-lembah.html, diakses tanggal
25 Maret 2013.
[5] http://ryanrealistic.blogspot.com/2010/11/naskah-islam-kuno-sulteng.html, diakses
tanggal 25 Maret 2013.

http://gustishare.blogspot.co.id/2017/05/masuknya-islam-di-lembah-palu.html

Anda mungkin juga menyukai