Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH TO’DO APPAKA DI DESA BANGKALA LOE

RIWAYAT SINGKAT TERBENTUKNYA KERAJAAN BINAMU

Sulawesi selatan termasuk pulau terbesar ke 4 di Indonesia setelah


Papua, Kalimantan dan Sumatra. Kekayaan alam menjadi alasan orang
eropa menduduki Sulawesi selatan saat itu, sekitar abad ke 15 perusahaan
dagang VOC mendatangi Sulawesi selatan salah satunya Jeneponto. Untuk
perdagangan rempah-rempah, Jeneponto adalah bagian 3 kerajaan yakni
Kerajaan Binamu, Kerajaan Bangkala, dan kerajaan Arungkeke yang
telah berdiri sekitar 153 tahun silam. Tanah bersejarah, kini Jeneponto
menjadi kabupaten di wilayah provinsi Sulawesi Selatan.

Bontoramba adalah kecamatan hasil pemekaran dari kecamatan


Tamalatea menjadi pusat Kerajaan Binamu Saat itu. Semua daerah kental
dengan adat istiadat seketika itu, Kerajaan Binamu sangat menentang
colonial belanda. Pada tahun 1983 terjadi pemekaran desa di berbagai
wilayah Kabupaten Jeneponto termasuk lingkungan poko’bulo yang ikut
memisahkan diri dari desa barumbungan menjadi desa persiapan yang
bernama Bangkalaloe. Bangkalaloe mempunyai cerita sejarah yang unik
salah satunya yaitu tentang To’do Appaka.

Pada masa pemerintahan pertama di Butta Turatea terbentuklah


pemerintahan “ KARE “. KARE diberikan kekuasaan oleh Raja Gowa
yang bernama SOMBAYYA RI GOWA, untuk mengatur pemerintahan di
Butta Turatea. Pada setiap tahun, mereka di haruskan atau di wajibkan
mengirimkan orang-orang ( Tau Ta’balakna ) ke Gowa untuk kerja bakti
( akkusiang ) yang merupakan “ Upeti “ atau sebagai tanda pengabdian
kepada Gowa yang diangkat menjadi kare pertama di layu, pada masa itu
adalah Indra Baji. Indra baji sendiri memiliki 3 saudara yaitu, Indra Dewa
(laki-laki) menjadi Kare di Kalimporo ( Tanah Towa ), Indra Bayu (laki-
laki) menjadi Kare di Tina’ro, Indra Baji (perempuan) menjadi Kare di
Layu’ (Butta Turatea). Di Butta Turatea terdapat beberapa bentuk
pemerintahann “KARE” Yaitu :

1. Kare Layu di layu


2. Kare Kalimporo di tanah Towa
3. Kare Tina’ro di Tina’ro
4. Kare Balang di Balang
5. Kare Manjangloe di Manjangloe
6. Kare Ballarompo di Ballarompo
7. Kare Tolo di Tolo

Namun para kare ini tidak diketahui asal-usul keberadaannya begitu pula
dengan kematiannya, sehingga masyarakat pada waktu itu menyebutnya
Tumanurunga. Akan tetapi, pada saat itu kuburan para kare tersebut
menghilang begitu saja di hadapan rakyatnya sehingga masyarakat
menyebutnya Tunasayanga Rikala’biranna.

Adapun yang dimaksud dengan To’do Appaka yaitu terdiri dari 4 dewan
adat di kerajaan Binamu, yaitu To’do Kare Layu, To’do Lentu, To’do
Batujala dan yang terakhir To’do Bangkala loe. Pada masanya, ke empat
To’do itu pernah terlibat pertikaian saat kemunculan jangang-jangang
bulaeng ( burung-burung emas). Keempat To’do tersebut sama-sama
mengklaim kepemilikan burung emas tersebut, dan akhirnya terjadilah
pertikaian yang cukup lama. Melihat konflik yang sudah banyak
mengorbankan rakyat, empat To’do tersebut pun berkumpul. Ke empat
To’do ini akhirnya sepakat untuk berdamai dengan menunjuk satu kepala
pemerintahan yaitu Raja Binamu dengan sebutan Kerajaan Binamu
Turatea. Raja pertama yang ditunjuk pada waktu itu bernama Maninggau
yang berkedudukan di desa Maero, dan sampai saat ini, desa Bangkala Loe
dipimpin oleh seorang perempuan bernama Syamsiah Saad.

Konon, To’do Appaka di bentuk pada tahun 1678 M oleh Raja


Binamu ke IV. Yaitu Datu Mutara, suami dari Lo’mo Sunni Dg. Memang (
adik ipar dari Paungga Dg. Gassing, Raja Binamu ke III . Lo’mo Sunni
yang merupakan putri dari Raja Binamu ke II yakni Bakiri Dg. Lalang ini,
menikah bilateral antara Kerajaan Binamu dengan Kerajaan Gowa, karena
Datu Mutara sendiri merupakan salah seorang dari keturunan Raja Gowa.

Pembentukan To’do Appaka ( Dewan Adat ) ini, bisa jadi


terinspirasi dari Dewan Adat Bate Salapang, yang sudah terbentuk jauh-
jauh sebelumnya di Butta Gowa. Atau pun bisa jadi karena memang
kondisi masyarakat Turatea pada saat itu, yang mengharuskan
dibentuknya sebuah lembaga untuk menyalurkan aspirasi masyarakat ke
rajanya, agar kebutuhan masyarakat dan masalah-masalah yang terjadi
dapat cepat terselesaikakan. Selanjutnya, To’do ini mempunyai wewenang
untuk membuat sejumlah aturan yang harus dijalankan oleh pihak
kerajaan, berhak menentukan dan memilih calon raja serta berkuasa
memberhentikan rajanya apabila melanggar aturan, dan tentu saja sebagai
wadah penyalur aspirasi rakyat untuk disampaikan kepada raja melalui
sidang.

Dalam menjalankan tugasnya, ke empat To’do ini ( diketahui oleh


To’do Layu ) lebih menitikberatkan perhatiannya pada pembangunan dan
kemajuan eksistensi kerajaan, stabilitas kehidupan masyarakat, keadilan,
peningkatan pendidikan dan agama, serta kesejahteraan masyarakt Butta
Turatea itu sendiri.

TEMPAT MAKAM RAJA-RAJA BINAMU

Termasuk Mangkubumi Kerajaan Binamu

Pemerintahan sebagai To’do Bangkalaloe dipegang oleh keluarga


Salamung, berhubung karena ayahnya (manurung) sudah tua, keluarga
manurung dianggap sebagai penasehat dari pemerintahan itu. Apapun
persoalan-persoalan yang mau diputuskan oleh keluarga salamung harus
diketahui terlebih dahulu oleh keluarga Ilanurung. Pada masa itu
pemerintahan mulailah berjalan dengan aman dan makmur. Dan yang
pertama kali menjadi Raja Karaeng Binamu hingga terbentuknya raja
sampai adanya To’do Bangkalaloe dipegang oleh keluarga salamung ialah
Ilaninggau menjadi raja satu kali dan berkedudukan di Kampung Ilaero.

Sejak Salamung menjalankan pemerintahan selaku ketua, beliau


sangat disegani oleh rakyat dan ditaati perintahnya, karena beliau adalah
orang yang tegas dan berani serta hormat kepada siapa saja. Sepeninggal
salamung, beliau di gantikan oleh cucunya yang bernama DG.Sarro, nama
sehari-harinya DG. Ada Cappi Mata yang diperkirakan pada tahun 1700
M, sebelum belanda berkuasa di Turaka Jeneponto. Berhubung oleh
karena pada saat belanda datang di Turaka Jeneponto, To’do Bangkalaloe
Pattiadangan mengetahui tindakan dan politik belanda yang sangat
bertentangan dengan prinsip kebijaksanaan yang di kehendaki oleh
patiadang, beliau dengan spontan meletakkan jabatannya sebagai To’do
secara hormat dan pimpinan pemerintahan To’do diserahkan kepada anak
kemenakannya sendiri yaitu, Radeng Kr. Nyitto, sampai 1 tahun 1800 M.
Kemudian pada masa pemerintahan Radeng Kr. Nyitto sebagai To’do
Bangkala, maka tanah perkampungan keluarga yang di kuasai nya di atur
sendiri oleh beliau hingga masa jabatan nya berakhir. Tanah
perkampungan keluarga besar ( yang termasuk tanah larik ) di perkirakan
seluas kurang lebih 5 Ha, mulai dari bagian timur tengah hingga barat.

Menyerahkan pemerintahan To’do Bangkalaloe kepada anak


kemanakannya H. Badi bin Tago sekitar tahun 1923, karena pada waktu
itu H. Badi masih berumur muda maka beliau di dampingi oleh H. Roko
bin Basunu ( iparnya ) sebagai wakil To’do Bangkalaloe. Pada masa
pemerintahan H.Badi maka kurang lebih Tahun 1927 di adakan upacara
pelantikan To’do Bangkalaloe yang di hadiri H. Loko sebagai wakil To’do
Bangkalaloe. Pada upacara pelantikan tersebut yang dilaksanakan secara
adat di saksikan dan di hadiri oleh Raja Raja dari distrik Binamu, unsur
unsur pemerintahan To’do Appaka juga di hadiri oleh Contralum under
Apdeling Jeneponto - Takalar . Demikian pula tanah perkampungan
keluarga di serahkan dan dipertanggung jawabkan oleh H. Badi dan
bersama – sama dengan H. Maddo demi memperlancar penagihan pajak
atas tanah tersebut. Kemudian oleh karena meningkatkan kebutuhan
pembangunan di Kampung Pokobulo, ibu kota To’do Bangkalaloe, maka
di adakanlah munsyawarah antara H. Maddo dan H.Badi sebagai To’do
Bangkalaloe dan atas izin H. Manggu maka sebagian tanah perkampungan
keluarga tersebut di alihkan menjadi tanah wakaf bangunan.

Setelah beliau ( Radeng Kr. Nyitto ) meninggal dunia maka To’do di


pimpin oleh anaknya sendiri bernama Tago bin Radeng yang berkisar
1900M. Dalam tahun tersebut di wilayah To’do Bangkalaloe merajaklah
kekacauan atau perampokan di kampung Karampuang oleh gerombolan
Tolo’ yang di singgahi oleh pemerintah Belanda, bahwa gerakan Tolo’
tersebut adalah kerjasama dengan Raja Binamu ( Kr.Lompo ). Dengan
peristiwa inilah sehingga Raja Binamu (Kr. Lompo) di asingkan oleh
pemerintah Belanda ke daerah pulau Sumatra tepatnya di Kepulauan Rias.
Demikian pada tanah perkampungan keluarga besar di alihkan pula kepada
Tago bin Radeng. Dengan meninggal nya Tago bin Radeng maka
perkampungan to’do di jabat oleh saudaranya bernama H. Manggu bin
Radeng. Tanah perkampungan tersebut di alihkan dan di pertanggung
jawabkan pula oleh Manggu, sebagai pemegang amanah secara turun
temurun. Semua tanah yang merupakan kekayaan kampung agar dapat
dipelihara dan di awasi dengan sebaik – baiknya dengan menjaga nama
baik kerukunan keluarga dan persatuan keluarga di dalam maupun di luar.

Pada saat Desa Bangkalaloe menjadi Desa persiapan, maka di


tetapkanlah Zainuddin Nuju sebagai kepala Desa Persiapan . ( 1983-
1986 ). Kemudian pada Tahun 1986 diadakanlah pemilihan Kepala Desa
dan terpilihlah Zainuddin Nuju sebagai Kepala Desa Bangkalaloe yang
defenitif ( Tgl 2 Juni 1986 ) dan Desa Bangkalaloe kembali dari Desa
persiapan menjadi Desa yang definitif pada masa pemerintahan Zainuddin
Nuju. Pembangungan di Desa Bangkalaloe semakin maju dan meningkat
baik di pembangunan bidang social, pendidikan dan agama. Dimana pada
waktu itu berdirilah SD Inspres di dusun linrungloe dan SLTP di dusun
pokobulo pembangunan masjid di linrungloe dan musholah di SLTPN
pokobulo. Karena bangkalaloe telah resmi menjadi desa yang definitive
maka di wajibkanlah oleh pemerintahan daerah bahwa setiap desa harus
mempunyai kantor. Maka pada tahun 1987 di dirikanlah kantor desa dalam
lokasi pasar pokobulo (disamping pasar). Pada tahun 1995 karena masa
jabatan zainuddin nuju telah berakhir maka di adakan lagi pemilihan
kepala desa di mana zainuddin nuju tetap terpilih sebagai kepala desa
sampai sekarang ini.

Pada masa pemerintahan zainuddin nuju (menantu dari H. Laho


Juhapid) sebagai kepala desa bangkalaloe telah banyak menunjukkan
prestasi dalam sebagai bidang. Seiring berjalannya waktu, Desa Bangkala
Loe dipimpin oleh seorang perempuan bernama Syamsiah Saad hingga
sampai saat ini.

Anda mungkin juga menyukai