Anda di halaman 1dari 4

AWAL MULA KERAJAAN BATUPAKE GOJENG SEBAGAI CIKAL BAKAL

LAHIRNYA KERAJAAN TELLU LIMPOE DI KABUPATEN SINJAI

Batupake berasal dari dua kata, yaitu Batu dan Pake, Batu berarti Batu dan
Pake berarti dipahat. Batupake berarti Batu yang dipahat. Batupake merupakan
salah satu tradisi bangunan megalit dimana mayat leluhur dikubur dalam batu
sebagai wujud penghormatan arwah leluhur dan ditempatkan di atas puncak bukit.
Di atas puncak bukit gojeng itulah hidup sepasang suami istri yang bernama Toa
Sati ( I Puang) dan Toa Minne (I Karaeng). Keduanya digelar Puang Matinroe ri
Duninna, yang berarti Puang yang dikubur dalam gua.

Disamping bercocok tanam, Toa Sati pun kesehariannya mencari ikan di


laut dengan memasang bubuh ikan, Bubuh ikan yang terbuat dari sebilah bambu
atau wawo (bahasa bugis) yang dibuat sebagai perangkap atau penangkap ikan.
Sebagai nelayan, pekerjaan itu dilakoninya dengan penuh kesabaran dan ketulusan.
Pada suatu ketika Toa Sati tidak menemukan apa-apa dari hasil tangkapannya di
laut. Bubuh yang dipasangnya di pantai Takkalala tak menghasilkan apa-apa
dibawa pulang dan di simpannya di bilik kamar. Sepulang dari melaut, istrinyapun
selalu menyambutnya dengan hati yang gembira walau suaminya tak membawa
apa-apa pulang ke rumah. Pada suatu tengah malam, Toa minne mendengar ada
tumpahan air terdengar dari bilik kamar. Peristiwa itu dilaporkan kepada suaminya
Toa Sati. Toa Sati langsung menuju ke tempat yang dimaksud. Bukan main
terkejutnya, Toa Sati melihat ada seorang bayi yang lahir dari sebilah bambu.
Ternyata bubuh yang disimpannya tadi siang berubah menjadi anak bayi yang
tampan. Pemuda itulah yang bakal menjadi raja Batupake yang pertama atau yang
diberi nama Baso Mallarangeng alias Baso Batupake atau digelar puang
manurungnge di wawo lonrong. yang berarti pula Puang yang lahir di belahan
bambu (Ulo-Uloe), sebagai cikal bakal lahirnya istilah Bulo-Bulo.

Bayi itu dipelihara dan dibesarkan di puncak bukit Gojeng. Sewaktu kecil
Baso diayun (didojeng dalam bahasa bugis). la dihibur oleh bundanya Toa
Minne (I Karaeng) dengan lagu Cincing Manca sembari menikmati indahnya alam
dan sejuknya angin laut pantai Pulau Sembilan. Kata dojeng adalah cikal bakal
lahirnya nama Gojeng. Lagu Cincing Manca apabila dianalisa, isinya
berbahasakan dua bahasa, yaitu Bahasa Bugis dan Mandar. Dan berarti pula
bahwa antara Bugis dan Mandar adalah bersaudara. Yang konon pula raja pertama
di Mandar adalah putra Batupake yang bergelar Bari Cilampana Tana Menre
menjadi raja di Mandar (Majene). Sampai sekarang bekas telapak kaki dan tombak
kerajaan Batupake masih tertancap di batu hitam yang ada di Mandar Majene.
Sementara saudara yang lain yang bergelar Manu Barumpungna Batupake menjadi
raja di Segeri Mandalle (Pangkep). Sementara raja yang tinggal di Batupake
digelar lai-lainna (ayam jantan) menjadi raja di Batupake. (sumber: Volksways=
cerita rakyat setempat)

Wilayah kekuasaan Raja Batupake meliputi Kajang (Bulukumba), sebagian


Bone sampai Kahu, Raja, Patimpeng dan Salomekko. Raja Batupake pada zaman
Hindu sampai masuknya Islam berkedudukan di Gojeng yang bergelar Puang Ri
Gojeng.

Pada abab ke-16 kerajaan Batupake mulai runtuh, maka dilantiklah


Patimang Dg Tappajeng sebagai raja pertama Kerajaan Bulu Bulo. dan muncullah
tiga kerajaan besar, yaitu Lamatti yang awalnya berkedudukan Sarajae di Bongo
yang digelar Puatta Pitue atau Matojo Atie, Tondong yang berkedudukan di Data,
dan Bulo-Bulo berkedudukan Di Gojeng. Setelah perjanjian Topekkong pada tahun
seribu enam ratusan, Ketiga kerajaan tersebut beraliansi membentuk satu kerajaan
dengan nama Kerajaan Tellu Limpoe. Nama kerajaan Tellu Limpoe sebagai cikal
bakal lahirnya nama Sinjai. Pada saat perjanjian Topekkong yang dihadiri oleh tiga
raja, yaitu raja Tunipallangga Tomaparisi Kallonna mewakili Raja Gowa, La Tenri
Rawe Bonkangnge mewakili raja Bone, dan Lamappasoko mewakili raja Bulo-
Bulo menandatangani perjanjian Topekkong yang salah satu isinya, adalah:
Musunna Gowa, Musunna Bone, Makkumuto musunna Bullo-Bulo. Sirui Menre,
Tessirui No, Mali Siparappe, Tuwo Sipatokong, Mabbulo Sipeppa palleppui anu
majekkoe, bangungngi pabbanuae.

Setelah kedatangan bangsa Belanda di Sinjai, mereka mendirikan pusat


pemerintahan yang berkedudukan di Gojeng, sampai sekarang masih ada puing-
puing peninggalan Belanda masih diketemukan di Gojeng, seperti sumur, lapangan
tenis, penjara, kantor bupati (petoro), kantor pengadilan (safiri) serta bangunan
lainnya. Kini bangunan tersebut tinggallah puing- puing belaka, dibakar dan
dirusak oleh gerakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar.
Setelah Belanda berkuasa di Sinjai, Pangeran Mangkubumi atau Sullehatang
kerajaan Bulo-Bulo La Makkarodda alias Lampe Uttu, pindah di Kalakkarae atau
kalaka (yang tidak jauh dari gojeng) yang digelar Baso yang berkedudukan di
Kalakkarae atau Baso Kalaka. Karena tidak mau tunduk kepada pemerintah
Belanda, maka Baso Kalaka pindah ke Tanete Bulukumba, dan menjadi raja di
Tanete. Pada saat pemerintahan Belanda, Sinjai dibagi menjadi tujuh district di
bawah naungan Onder Offdeling Bonthaeng. Setiap Distrik dikepalai oleh raja
yang digelar dengan nama Puatta. Puatta Lamatti, Puatta Tondong yang
awalnya berkedudukan di Data kemudian pindah tahta ke Kampala, Puatta
Bulo-Bulo Timur berkedudukan di Gojeng pindah di Lompu, Puatta Bulo-
Bulo Barat yang berkedudukan di Bikeru, Puatta Maniangpahoi, Puatta Pao
Turungeng Baji, Puatta Suka Bala Suka.

Sampai masuknya Islam yang dibawa oleh Ulama sekaligus Saudagar dari
Minangkabau yang bernama Abd Jawab Khatib Bungsu atau digelar Datok Di Tiro
mengislamkan Luwu, Bone, terus ke selatan. Tibalah di Lamatti dan meng-
Islamkan Lamatti sekaligus kawin dengan putri Puatta Lamatti. Dari perkawinan
dengan Putri Puatta Lamatti dikarunia sembilan orang anak, salah satu diantaranya
adalah Puang Botara, yang berarti Puang Yang Dicukur alias dibotak. Suatu acara
selamatan bayi yang baru lahir, rambutnya dicukur mengikuti sunnah Nabi sambil
pemberian nama atas bayinya yang baru lahir. Setelah meng-Islamkan Lamatti
terus ke Selatan tepatnya di Bonto Tiro, dan meninggal dan dimakamkan di Bonto
Tiro Kab. Bulukumba.

Sementara Datok Ri Bandang meng-Islamkan Raja Tallo Karaeng


Matoayya. dan Raja Gowa Karaeng Manrabia yang digelar dengan nama Sultan
Awalul Islam atau Sultan Alauddin.

Sebagai kata akhir cerita yang mengandung nilai historis dapat kita
simpulkan bahwa:

1. Batupake tidaklah sekedar hanya suatu bangunan tradisi megalit, akan tetapi
lebih dari itu, Batupake pernah menjadi suatu kerajaan besar yang ada di
Sulawesi Selatan.

2. Adanya Bangunan Belanda, membuktikan bahwa Batupake pernah jaya sampai


ribuan tahun, seperti kerajaan lainnya yang ada di Nusantara. Dianalogikan
bahwa tidak semua daerah ada kantor pemerintahan milik Belanda,
mengindikasikan pula bahwa Belanda memperhitungkan kerajaan Batupake
sebagai suatu kawasan yang sangat strategis dalam kancah percaturan
hubungan dunia international.

3. Lontara asli silsilah kerajaan Batupake ada di negeri Belanda.

4. Awal adanya manusia di Sinjai, ada di puncak bukit, dalam masa geologi
(masih bersatunya antara daratan Asia dan Australia) adanya ditemukan suatu
kehidupan yang berangkat dari Zaman Batu, Hindu, Islam, dan pengaruh Eropa
ada di Sinjai. Itu berarti bahwa Batupake tidak dapat disepelehkan dalam
catatan sejarah kebudayaan Nusantara.

5. Dibangunnya suatu taman Sejarah Purbakala Batupake Gojeng


mengindikasikan bahwa ada bukti sejarah, benda-benda sejarah mulai dari
zaman batu sampai masuknya Islam ditemukan di Gojeng setelah diadakan
eskavasi (penggalian) tahun 1982 pada situs sejarah yang diperkuat oleh
pendapat para ahli sejarah dan arkeologi dari berbagai perguruan tinggi,
menandakan bahwa kerajaan yang pertama di Kabupaten Sinjai adalah
kerajaan Batupake.

Anda mungkin juga menyukai