Batupake berasal dari dua kata, yaitu Batu dan Pake, Batu berarti Batu dan
Pake berarti dipahat. Batupake berarti Batu yang dipahat. Batupake merupakan
salah satu tradisi bangunan megalit dimana mayat leluhur dikubur dalam batu
sebagai wujud penghormatan arwah leluhur dan ditempatkan di atas puncak bukit.
Di atas puncak bukit gojeng itulah hidup sepasang suami istri yang bernama Toa
Sati ( I Puang) dan Toa Minne (I Karaeng). Keduanya digelar Puang Matinroe ri
Duninna, yang berarti Puang yang dikubur dalam gua.
Bayi itu dipelihara dan dibesarkan di puncak bukit Gojeng. Sewaktu kecil
Baso diayun (didojeng dalam bahasa bugis). la dihibur oleh bundanya Toa
Minne (I Karaeng) dengan lagu Cincing Manca sembari menikmati indahnya alam
dan sejuknya angin laut pantai Pulau Sembilan. Kata dojeng adalah cikal bakal
lahirnya nama Gojeng. Lagu Cincing Manca apabila dianalisa, isinya
berbahasakan dua bahasa, yaitu Bahasa Bugis dan Mandar. Dan berarti pula
bahwa antara Bugis dan Mandar adalah bersaudara. Yang konon pula raja pertama
di Mandar adalah putra Batupake yang bergelar Bari Cilampana Tana Menre
menjadi raja di Mandar (Majene). Sampai sekarang bekas telapak kaki dan tombak
kerajaan Batupake masih tertancap di batu hitam yang ada di Mandar Majene.
Sementara saudara yang lain yang bergelar Manu Barumpungna Batupake menjadi
raja di Segeri Mandalle (Pangkep). Sementara raja yang tinggal di Batupake
digelar lai-lainna (ayam jantan) menjadi raja di Batupake. (sumber: Volksways=
cerita rakyat setempat)
Sampai masuknya Islam yang dibawa oleh Ulama sekaligus Saudagar dari
Minangkabau yang bernama Abd Jawab Khatib Bungsu atau digelar Datok Di Tiro
mengislamkan Luwu, Bone, terus ke selatan. Tibalah di Lamatti dan meng-
Islamkan Lamatti sekaligus kawin dengan putri Puatta Lamatti. Dari perkawinan
dengan Putri Puatta Lamatti dikarunia sembilan orang anak, salah satu diantaranya
adalah Puang Botara, yang berarti Puang Yang Dicukur alias dibotak. Suatu acara
selamatan bayi yang baru lahir, rambutnya dicukur mengikuti sunnah Nabi sambil
pemberian nama atas bayinya yang baru lahir. Setelah meng-Islamkan Lamatti
terus ke Selatan tepatnya di Bonto Tiro, dan meninggal dan dimakamkan di Bonto
Tiro Kab. Bulukumba.
Sebagai kata akhir cerita yang mengandung nilai historis dapat kita
simpulkan bahwa:
1. Batupake tidaklah sekedar hanya suatu bangunan tradisi megalit, akan tetapi
lebih dari itu, Batupake pernah menjadi suatu kerajaan besar yang ada di
Sulawesi Selatan.
4. Awal adanya manusia di Sinjai, ada di puncak bukit, dalam masa geologi
(masih bersatunya antara daratan Asia dan Australia) adanya ditemukan suatu
kehidupan yang berangkat dari Zaman Batu, Hindu, Islam, dan pengaruh Eropa
ada di Sinjai. Itu berarti bahwa Batupake tidak dapat disepelehkan dalam
catatan sejarah kebudayaan Nusantara.