Anda di halaman 1dari 5

Kerajaan- Kerajaan Islam Di Sulawesi

1. Kesultanan Buton
Kesultanan Buton adalah salah satu kerajaan bercorak Islam di Indonesia yang berada di Sulawesi
Tenggara. Berdirinya kerajaan ini tidak lepas dari peranan orang-orang Melayu yang datang ke wilayah Buton
pada akhir abad ke-13 M.
Ada empat tokoh melayu yang terkenal, yaitu Sipanjongan, Sijawangkati, Simalui, dan Sitamanajo.
Keempat orang asal Semenanjung Melayu itu datang ke Buton secara terpisah bersama dengan pengikutnya
masing-masing.
Setelah melakukan interaksi yang cukup lama di wilayah Buton, akhirnya mereka membangun sebuah
desa, yang berdiri dengan pemerintahannya masing-masing. Di sisi lain, wilayah Buton ketika itu dihuni oleh
beberapa komunitas adat, seperti Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todangan, dan Batauga. Pada 1332, desa-desa
bentukan bangsa Melayu dan komunitas-komunitas adat itu melebur menjadi satu, sehingga berdirilah Kerajaan
Buton. Raja pertama kerajaan Buton adalah seorang perempuan, bergelar Rajaputri Wa Kaa Kaa.
Sebelum menjadi kerajaan bercorak Islam, pemerintahan di Buton diduga kuat dipengaruhi oleh ajaran
Hindu dan Budha. Diperkirakan ajaran Hindu Budha di Buton berasal dari kerajaan Majapahit. Hal itu diperkuat
oleh keterangan di kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca, yang menyebutkan istilah Butuni untuk
menjelaskan Pulau Buton yang ketika itu menjadi salah satu wilayah taklukan Gadjah Mada.
Kerajaan Buton beralih menjadi kesultanan sejak masa pemerintahan raja ke-6, yakni La Kilaponto atau
Raja Murhum (1491-1537). Ada beberapa pendapat mengenai masuk dan berkembangnya agama Islam di
Buton. Pertama, pendapat yang mengatakan penyebaran ajaran Islam di Buton dilakukan oleh kesultanan Bone
di Sulawesi Selatan.
Kedua, pendapat yang mengatakan ajaran Islam masuk ke Buton dibawa oleh ulama dari Timur Tengah,
bernama Sayid Jamaluddin al-Kubra pada 1412. Kemudian dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani berasal dari Johor, yang berhasil mengislamkan Raja Marhum. Ketiga, pendapat yang
mengatakan ajaran Islam di Buton berasal dari kesultanan Ternate, yang dibawa oleh Sultan Zainal Abidin.
Agama Islam berkembang sangat pesat di wilayah kesultanan Buton, ajarannya banyak diamalkan oleh
pemerintahan, maupun masyarakatnya. Peraturan undang-undang di kesultanan Buton disebut Murtabat Tujuh,
yang sangat erat dengan tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi, dan kedudukan kesultanan secara
formal.
Pada masa kejayaannya, kesultanan Buton menjalin hubungan baik dengan seluruh kerajaan di Sulawesi,
bahkan hingga ke pulau Jawa. Hubungan diplomatik itu membuat perekonomian di wilayah kesultanan Buton
menjadi baik, terutama karena hubungan perdagangannya.
Pada abad ke-17, pemerintahan Buton sudah mengembangkan sistem perpajakan yang sangat baik jika
dibandingkan kerajaan lain di Sulawesi. Ksultanan Buton pun memiliki alat pertukaran atau mata uang yang
disebut kampua. Alat tukar ini terbuat dari kain yang ditenun.
Dalam praktek hukum, kesultanan Buton memiliki sistem yang sangat baik. Hukum ditegakkan secara
setara bagi seluruh masyarakat Buton tanpa pandang bulu. Siapapun yang melakukan kesalahan secara hukum,
baik itu rakyat jelata ataupun pejabat istana, akan dijatuhi hukuman yang setimpal. Sepanjang sejarahnya,
teradpat 12 sultan Buton yang pernah dihukum karena melanggar aturan.
Kesultanan Buton membangun sebuah benteng pertahanan untuk melindungi kerajaan dari berbagai
ancaman. Benteng itu dibuat pada 1634, masa pemerintahan Sultan La Buke. Benteng dibangun sepanjang 2.740
meter untuk melindungi area seluas 401.900 meter persegi. Tembok benteng memiliki ketebalan 2 meter
dengan ketinggan antara 2 sampai 8 meter. Benteng ini pun dilengkapi dengan 16 bastion atau menara pengintai,
dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah perbukitan, kurang lebih 3 kilometer dari pantai.
Kesultanan Buton memiliki hubungan yang cukup baik dengan VOC. Pada 1612, VOC mengimkan
utusannya ke wilayah Buton, dan pada 1613 dilakukan perjanjian antara VOC dan Buton. Isi perjanjian itu
antara lain VOC akan membantu melindungi Buton dari berbagai serangan musuh, sementara VOC diberikan
izin menetap di wilayah Buton. Namun VOC jelas memiliki niat buruk terhadap pulau yang posisinya sangat
stategis untuk menguasai jalur perdagangan di wilayah timur itu. Buton memang menjadi salah satu pusat
perdagangan rempah-rempah di wilayah timur Indonesia sehingga Belanda sangat menginginkannya.
Hubungan keduanya mulai retak pada 1637, hingga terjadilah perang yang berlangsung selama setahun.
Perang menimbulkan banyak korban berjatuhan di kedua pihak. Namun sampai perang berakhir, VOC tidak
berhasil menjatuhkan dan merebut benteng kesultanan Buton.
Perang kembali terjadi pada 1752, 1755, dan 1776, karena VOC melakukan kecurangan dalam
perdagangan rempah-rempah di wilayah Buton yang sangat merugikan. Di bawah pimpinan Sultan La
Karambau, Buton berhasil mengatasi Belanda. Namun, muncul konflik internal di lingkungan kerajaan yang
memperlemah kekuatan kesultanan Buton. Berbagai ancaman terus menyelimuti Buton hingga akhirnya
Indonesia merdeka pada 1945. Kesultanan Buton pun masuk dalam pemerintahan Indonesia, wilayah
administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara.
2. Kesultanan Banggai
Kerajaan Banggai adalah sebuah kerajaan Islam di Sulawesi yang letak tepatnya berada di semenanjung
timur Pulau Sulawesi dan Kepulauan Banggai. Kerajaan ini berdiri sejak abad 16 Masehi dan tetap ada hingga
saat ini. Pada masa kejayaan Majapahit, kerajaan Banggai pernah ditaklukan oleh Majapahit dan menjadi
wilayah kekuasaannya. Kendati demikian, setelah pengaruh Majapahit mulai runtuh dan seiring perkembangan
Islam di Sulawesi, Kerajaan Banggai kemudian berdiri sebagai kerajaan bercorak Islam yang independen.
Kerajaan Banggai sudah dikenal sejak abad ke 13, sebagaimana termuat dalam buku Negara Kertagama yang
ditulis oleh Empu Prapancan pada tahun saka 1478/1365 M. Saat ini keraton Raja Banggai keadaannya masih
terpelihara dengan baik. Kerajaan ini tidak dikenal mengenal putera mahkkota.
Siapapun bisa diangkat menjadi Raja atas keputusan Basalo Sangkap. Terbentuknya Basalo Sangkep
berawal dari empat kerajaan kecil di Pulau Banggai, yaitu Kerajaan Babolau,Singgolok,Kookini dan Katapen.
Kerajaan Banggai pada awalnya hanya meliputi wilayah Banggai Kepulauan namun kemudian oleh Adi Cokro,
panglima perang kesultanan Ternate yang berasal dari Jawa, kemudian menyatukan keempat Raja Banggai,
kerajaan itu menjadi Kerajaan Banggai. Keempat rajanya kemudian dijadikan Basalo Sangkap yang terdiri dari
Basalo Dodung (Raja Babolau), Basalo Gong - gong (Raja Singgolok),Basalo Bonunungan (Raja Kookini) dan
Basalo Mongosong (Raja Katapean). Setelah Adi Cokro menyatukan keempat kerajaan itu bahkan memperluas
wilayahnya sampai ke Banggai Daratan ia kemudian kembali ke Jawa sehingga terjadilah kekosongan
kepemimpinan.
Basalo Sangkap lantas memilih  Abu Kasim,putera Adi Cokro hasil perkawinan dengan Nurussapa-puteri
Raj Singgolok menjadi raja Banggai. Namun, sebelum dilantik Abu Kasim tewas terbunuh oleh bajak laut
dalam sebuah pelayaran.  Basalo Sangkap kemudian memilih Maulana Prins Mandapar, anak Adi Cokro yang
lain, hasil perkawinannya dengan seorang puteri Portugis. Basalo Sangkap ini pula yang melantik Mandapar
menjadi raja Banggai pertama dan berkuasa tahun 1600 - 1625. 
Pelantikan Mandapar dan raja - raja selalu dilakukan diatas sebuah batu yang dipahat menyerupai tempat
duduk. Sampai saat ini batu tersebut masih ada di kota tua Banggai Lalongo, sekitar lima kilometer dari Kota
Banggai. Setelah Mandapar dilantik, kerajaan Banggai mulai ditata sedemikian rupa sehingga pemerintahan
maupun kehidupan rakyatnya berjalan dengan selaras.
Untuk membantu raja, dibentuklah dewan menteri atau yang dikenal dengan komisi empat. Komisi empat
itu terdiri dari Mayor Ngopa atau Raja Muda, Kapitan Laut atau Kepala Angkatan Perang, Jogugu atau Menteri
Dalam Negeri dan Hukum Tua atau Pengadilan .
Komisi empat masing - masing memiliki sejumlah pembantu. Pembantunya dipilih dan diangkat langsung
oleh raja dengan persetujuan Basalo Sangkap. Raja juga mengangkat staf pribadi untuk urusan pemerintahan
dan rumah tangga kerajaan.

3. Kerajaan Gowa Tallo


Kerajaan Gowa dan Tallo adalah dua kerajaan Islam di Sulawesi yang membentuk federasi (persatuan)
menjadi satu kerajaan besar. Gowa menguasai daerah dataran tinggi, sementara Tallo menguasai pesisir.
Kerajaan ini pernah menjadi sebuah kerajaan yang sangat berpengaruh terhadap jalur perdagangan di wilayah
Timur Nusantara. Berdiri pada awal abad ke 13 Masehi, kerajaan ini kemudian bergabung ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1946 dengan Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan
Muhammad Abdul Kadir Aidudin sebagai raja terakhirnya.
Pada abad ke-15 di Sulawesi berdiri beberapa kerajaan, diantaranya adalah dari suku bangsa Makassar
(Gowa dan Tallo) dan Bugis (Luwu,Bone, Soppeng dan Wojo). Gowa dan Tallo merupakan kerajaan yang
memiliki hubungan baik.
Kerajaan ini juga dikenal dengan sebutan kerajaan Makassar. Kerajaan Gowa dan Tallo terletak di daerah
Sulawesi Selatan. Secara geografis daerah Sulawesi Selatan ini memilik posisi yang sanagat bagus. Karena
dekat dengan jalur pelayaran perdagangna Nusantara.
Selain itu, Makassar juga menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang dari jalur Barat maupun
Timur. Hal ini mengakibatkan kerajaan Makassar berkembang menjadi besar dan berkuasa atas jalur
perdagangan Nusantara. Kerajaan Gowa Tallo memiliki pengaruh dalam kerajaan Islam di Indonesia.
Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lain yang ada di
Sulawesi Selatan. Seperti dengan kerajaan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu
dengan Wajo dikalahkan oleh Kerajaan Gowa-Tallo.
Ketiga Kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng melaksanakan persatuan. Untuk mempertahankan
kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellum Pocco, sekitar tahun 1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai
kerajaan bercorak Islam pada tahun 1605, Gowa meluaskan pengaruh politiknya.
Kerajaan-kerajaan yang patuh kepada Kerajaan Gowa-Tallo, antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, dan
Bone pada 23 Nopember 1611. Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan dilakukan oleh para mubaligh yang
disebut dengan Dato’ Tallu.
Antara lain Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’
Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu). Itulah para Dato’ yang
mengislamkan raja-raja kerajaan Islam di Sulawesi pada waktu itu.
Yaitu raja Luwu Dato’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad. Beliau masuk
islam pada tanggal 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605 M). Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng
Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo).
Beliau masuk islam pada Jumat sore, tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan
gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’ Rangi Daeng Manrabbia. Beliau masuk Islam pada
Jumat, tanggal 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M.
Dalam sejarah kerajaan Gowa, Perjuangan sultan Hasanuddin dalam mempertahankan kedaulatannya
melawan penjajah VOC sangat gencar. Peristiwa peperangan melawan VOC terus berjalan dan baru berhenti
sekitar tahun 1637-1678 M. Perang ini berhenti setelah terjadi perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Dan
perjanjian ini sangat merugikan bagi pihak Gowa dan Tallo.

4. Kerajaan Bone
Kesultanan Gowa dan Tallo memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kerajaan-kerajaan kecil di
sekitarnya, termasuk juga bagi Kerajaan Bone. Kerajaan Bone akhirnya resmi menjadikan Islam sebagai agama
kerajaan akibat penyebaran Islam yang dilakukan Sultan Alauddin (Sultan Gowa). Islam masuk di Bone pada
masa kepemimpinan Raja Bone XI atau sekitar tahun 1611 Masehi dan sejak saat itu pengaruhnya semakin
meluas karena penyebarannya yang dapat dengan mudah diterima masyarakat.
Kerajaan Bone terbentuk pada awal abad ke XIV atau pada tahun 1330, namun sebelum Kerajaan Bone
terbentuk, sudah ada kelompok-kelompok dan pemimpinnya digelar Matoa.
Dengan datangnya TO MANURUNG Mata Silompo’E, maka terjadilah penggabungan kelompok-
kelompok tersebut, termasuk Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan TO
MANURUNG Mata Silompo’E, menjadi Raja Bone, Rakyat Bone bersumpah sebagai pertanda kesetiaan
Rakyat kepada Raja, sekaligus sebagai pencerminan sifat Pemerintahan Kerajaan diawal berdirinya.
Proses Islamisasi Kerajaan Bone tidak terlepas dari Islamisasi Kerajaan Gowa. Sultan Alauddin (raja ke-
14 Gowa) melakukan penyebaran islam secara damai. Pertama-tama yang beliau lakukan adalah dakwah islam
terhadap kerajaan-kerajaan tetangga.
Islam Masuk di Bone pada masa raja La Tenri Ruwa pada tahun 1611 M, dan dia hanya berkuasa selama
tiga bulan. Karena, Beliau telah menerima islam sebagai agamanya. Padahal dewan adat Ade Pitue bersama
rakyatnya menolak ajaran agama Islam.
Perlu diketahu, bahwa sebelum Sultan Adam Matindore Ri Bantaeng dan La Tenri Ruwa masuk Islam.
Ternyata sudah ada rakyat Bone yang telah berislam lebih duluan. Bahkan, Raja sebelumnya yaitu We Tenri
Tuppu karena mendengar sidendreng masuk agama islam. Beliau pun tertarik belajar agama Islam dan akhirnya
wafat disana. Sehingga, beliau diberi gelar Mattinroe Ri Sidendren.
Kesultanan / Kerajaan Bone atau sering juga dikenal dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan
kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan
sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Terbentuknya kerajaan Bone dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang
mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa. Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri
Toro melahirkan La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. Saudara perempuannya menikah
dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga.Di
masanya, kerajaan Bone semakin luas berkat keberaniannya.
Perluasan kerajaan Bone ke utara bertemu dengan kerajaan Luwu yang berkedudukan di Cenrana, muara
sungai WalennaE. Terjadi perang antara Arumpone La Tenrisukki dengan Datu Luwu Dewaraja yang berakhir
dengan kemenangan Bone dan Perjanjian Damai Polo MalelaE ri Unynyi. Dinamika politik militer diera itu
kemudian ditanggapi dengan usulan penasehat kerajaan yaitu Kajao Laliddong pada Arumpone La Tenrirawe
BongkangngE yaitu dengan membangun koalisi dengan tetangganya yaitu Wajo dan Soppeng. Koalisi itu
dikenal dengan Perjanjian TellumpoccoE.
Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk Islam. Namun Islam diterima
secara resmi dimasa Arumpone La Tenripale Matinroe ri Tallo Arumpone keduabelas. Sebelumnya yaitu La
Tenrirua telah menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade Pitue sehingga dia hijrah ke
Bantaeng dan meninggal disana. Ketika Islam diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone berubah.
Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan
tetap dipertahankan.
Bone berada pada puncak kejayaannya setelah Perang Makassar, 1667-1669. Bone menjadi kerajaan
paling dominan dijazirah selatan Sulawesi. Perang Makassar mengantarkan La Tenritatta Arung Palakka Sultan
Saadudin sebagai penguasa tertinggi. Kemudian diwarisi oleh kemenakannya yaitu La Patau Matanna Tikka dan
Batari Toja. La Patau Matananna Tikka kemudian menjadi leluhur utama aristokrat di Sulawesi Selatan.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di
Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814
ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah
perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun
Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi
bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé.

5. Kerajaan Konawe
Kerajaan Konawe adalah kerajaan Islam di Sulawesi Tenggara yang awalnya adalah sebuah kerajaan
bercorak Hindu. Masuknya Islam di abad ke 18 Masehi ke Konawe membuat kerajaan ini ikut mengalami
perubahan sistem kepemerintahan. Pada perkembangannya, kerajaan ini juga ikut meleburkan diri ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan dibacakan.
Islam Masuk di Kerajaan Konawe pada akhir abad ke 16. Dan kurang lebih 16 tahun setelah kesultanan
Buton menerima Islam. Islam masuk di kerajaan Konawe secara tidak resmi pada masa pemerintahan Tebowo.
Islam masuk didaerah-daerah pesisir Pantai, yang langsung berhubungan dengan pedagang-pedagang dari luar.
Tapi, agama Islam yang dibawa oleh para pedagang belum dapat diterima secara luas oleh masyarakat kerajaan
Konawe. Karena masyrakat pada umumnya masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme.
Pada masa pemerintahan Mokole Lakidende (raja Lakidende II) sekitar abad ke -18 M. Agama Islam
mulai diterima secara luas oleh masyarakat kerajaan Konawe. Mokole Lakidende ini mendapat gelar Sangia
Ngginoburu, karena beliau sebagai raja Konawe yang memeluk Islam pertama kali. Pada saat pemerintahan
ayahnya, Maago Lakidende sudah belajar agama Islam dipulau Wawonii. bahkan ketika beliau diangkat menjadi
raja di konawe beliau tidak berada di tempat kerajaan, tetap sementara di pulau Wawonii.
Setelah selesai belajar di Wawonii, beliau melanjutkan memperdalam seni baca Al-Qur’an di Tinanggea.
Selama memperdalam pengetahuan agama Islam. Pelaksana sementara raja Konawe dialihkan ke Pakandeate
dan Alima Kapita Anamolepo. Mereka menjadi pejabat sementara pada abad yang sama (Ke-18). Kemudian
dilanjutkan oleh Latalambe, Sulemandara merangkap pelaksana sementara raja Konawe. Dan We Onupe
menjadi pejabat sementara, masing-masing pada abad ke-19.
Setelah Wekoila diangkat diangkat sebagai Mokolele, segera melaksanaan penataan sistem pemerintahan
secara teratur dengan mengangkat seorang wati dan beberapa orang Toono motuo (orang yang dituakan).
Wilayah kekuasaannya terdiri dari beberapa kampung yang disebut O’kambo, yang dibantu oleh tomalaki
(panglima perang), O’tadu (ahli siasat perang), Tolea (penghulu perjodohan), pabitara (juru bicara adat),
Mbuakoy (ahli kesehatan), Mbusehe (ahli perdamaian), Posudoho (logistik/ perlengkapan). Ia juga mulai
memperkenalkan sistem pembagian kekuasaan berdasarkan sistem kasta dengan membagi masyarakat dalam
tiga tingkatan golongan atau struktur sosial yaitu :
1. Golongan bangsawan (anakia) yaitu Mokolele dan keluarganya, yang berhak untuk diangkat menjadi
pemegang kekuasaan memerintah.
2. Golongan menengah yang berfungsi sebagai aparat pelaksana kekuasaan raja (penyelenggara
pemerintahan yang disebut golongan Too mootuo (Muslimin Su’ud, 1990: 146) termasuk Toono ongapa
orang kebanyakan (Monografi, 1992: 118). Golongan Toono ongapa inilah oleh penulis memasukkan
mereka sebagai rakyat biasa yang berfungsi sebagai rakyat pelaksana pemerintah raja yang disebut
Toono dadio.
3. Dan golongan budak yang disebut O’ata. Hirarkis masyarakat di atas sekaligus disimbolkan melalui
simbol adat Kalosara sebagai perlambang tiga golongan diterapkan sistem kekuasaan pemerintah
berlandaskan atas azas kesatuan dan persatuan yang utuh dan terintegrasi antara tiga unsur disimbolkan
lilitan rotan berjumlah tiga buah yang dipertemukan kedua ujungnya dalam ikatan simpul tertentu.
Untuk mengatur tata kehidupan masyarakat kerajaan dan menjamin supremasi hukum maka ditetapkan
hukum adat negeri (sara wonua) yang berlaku pada seluruh wilayah kekuasaan negeri, sara wonua
berupa hukum adat di bidang perkawinan (sara ine perapua), hukum adat pertanahan (sara ine wuta atau
hohowi ine wuta), hukum ada waris (sara ine petiari’a) dan sebagainya.
Di zaman pemerintahan Mokole More (ratu) Wekoila Kerajaan Konawe telah memiliki wilayah kekuasaan
dengan batas :
 Sebelah Utara berbatasan dengan Towori dan Mokolele Baebunta (Luwu) dengan tapal batas dari Barat
ke Timur, Matana (Matano/sampai laut Banda termasuk Wacya/Pulau Salabangka (Banggai).
 Sebelah Timur berbatasan dengan laut Banda dan laut Maluku termasuk Menui, kecuali Wawonii belok
dari Utara ke Selatan masuk Selat Wawonii terus ke Utara Pulau Muna dan Tiworo.
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Tiworo dan Pulau Towea.
 Sebelah Barat berbatasan dengan teluk Bone, Kolumba, Tolala, Watusemba, dan Nuha tembus Matana
serta Kerajaan Luwu dan Mekongga
6. Kerajaan Wajo
Menurut sumber sejarah kerajaan Wajo yang terdapat di hikayat Lontara Sukkuna Wajo. Menceritakan
bahwa Kerajaan Wajo ini didirikan oleh tiga orang anak raja dari Kampung tetangga Cinnotta’bi. Yang
berasaal dari keturunan dewa yang mendirikan Kampung Cinnotta’bi. Dan menjadi raja-raja dari ketiga bagian
bangsa Wajo. Antra lain, Batempola, Talonlereng dan tua.
Kepala keluarga mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo. Sejak saat itu, raja-raja
di Wajo tidak lagi turun temurun. Namun, melalui pemilihan dari seorang keluarga raja menjadi arung matoa
(raja utama ).
Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas dengan tiga pa’betelompo (pendukung
panji). 30 arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta. Sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang,
mereka itulah yang memutuskan segala perkara. Kerajaan Wajo memperluas daerah kekuasaannya sehingga
menjadi Kerajaan Bugis yang sangat besar.
Kerajaan Wajo pernah ditaklukan oleh kerajaan Gowa dalam upaya memperluas agama Islam, dan tunduk
pada tahun 1610. Diceritakan juga pada hikayat tersebut bahwa bagaiman Dato’ Ribandang dan Dato’ Sulaeman
mengajarkan agama Islam, terhadap raja-raja Wajo dan rakyatnya. Dato’ Ribandang dan Dato’ Sulaeman
memberikan pelajaran tentang masalah kalam dan fikih.
Pada tahun 1643, 1660 dan 1667, kerajaan Wajo sering membantu kerajaan Gowa pada peperangan baru
dengan kerajaan Bone. Kerajaan Wajo juga pernah di taklukan oleh kerajaan Bone. Tetapi karena didesak, maka
kerajaan Bone takluk kepada kerajaan Gowa dan Tallo.
Sumber sejarah Kerajaan Wajo terdapat pada sumber hikayat lokal Lontara Sukkuna Wajo. Di hikayat
lokal tersebut ada cerita yang menghubungkan tentang pendirian kampung Wajo yang didirikan oleh tiga orang
anak raja dari kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu berasal dari keturunan dewa yang mendirikan kampung dan
menjadi raja-raja dari ketiga bagian (limpo) bangsa Wajo: Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala keluarga
dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo.
Sejak saat itu raja-raja di Wajo tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dari seorang keluarga
raja menjadi arung-matoa artinya raja yang pertama atau utama. Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-
praja diperluas dengan tiga pa’betelompo (pendukung panji), 30 arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta,
sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah yang memutuskan segala perkara. Kerajaan
Wajo memperluas daerah kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar. 
Kerajaan Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk
pada 1610. Diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa bagaimana Dato’ ri Bandang dan Dato’ Sulaeman
memberikan pelajaran agama Islam terhadap raja-raja Wajo dan rakyatnya dalam masalah kalam dan fikih.
Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama 1612 sampai 1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa.
Kerajaan Wajo sering pula membantu Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone pada 1643,
1660, dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi karena didesak maka Kerajaan
Bone sendiri takluk kepada Kerajaan Gowa-Tallo. Perang besar-besaran antara Kerajaan Gowa-Tallo di bawah
Sultan Hasanuddin melawan VOC pimpinan Speelman yang mendapat bantuan dari Aru Palaka dari Bone
berakhir dengan perjanjian Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan Kerajaan Gowa pada VOC dan
disusul pada 1670 Kerajaan Wajo yang diserang tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota Kerajaan
Wajo yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur. Arung-matoa penggantinya terpaksa menandatangani
perjanjian di Makassar tentang penyerahan Kerajaan Wajo kepada VOC.

Anda mungkin juga menyukai