Anda di halaman 1dari 10

Makalah Kerajaan Islam di Pulau Sulawesi

KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Makalah Kerajaan Islam di Pulau Sulawesi ini
dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga
terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan
kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan Makalah Sejarah Indonesia yang berjudul Makalah Kerajaan Islam di
Pulau Sulawesi. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan
referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan
menjadi bahan makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga
penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari
masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Kerajaan Islam di Pulau
Sulawesi ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah
SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga Makalah Kerajaan
Islam di Pulau Sulawesi ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

11 September 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
 KATA PENGANTAR
 DAFTAR ISI
 BAB I PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang
 B. Rumusan Masalah
 BAB II PEMBAHASAN
 A. Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi
 B. Kerajaan Gowa-Tallo
 C. Kerajaan Bone
 D. Kerajaan Wajo
 E. Kesultanan Buton
 BAB III PENUTUP
 A. Kesimpulan
 B. Saran
 DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan,
pendidikan, dll. Tokoh penyebar Islam adalah walisongo antara lain; Sunan
Ampel, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan
Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Sampai
dengan abad ke-8 H/14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara
secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H/14 M, penduduk pribumi memeluk
Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya
penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat
itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai
dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh
Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya
pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini,
perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin
erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang
terbesar di antaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh
Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang
sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan
dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan
dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18
Masehi.
Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh
perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang
diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah, terutama Belanda
menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian
yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar
kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan umat Islam Nusantara
dengan umat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus
tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan umat Islam Nusantara
dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit
pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah masuknya awal Islam Sulawesi?
2. Apa saja kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi

Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari
pulau ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan
kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus
dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan company dagang
Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini
sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu
besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di
Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaudin al Awwal dan
Perdana Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603.
Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaudin yang
bernama Tonigallo dari Sultan Ternate yang lebih dulu memeluk Islam. Namun
Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa kerajaannya akan di bawah
pengaruh kerajaan Ternate. Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaudin
begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka.
Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang dan Datuk
ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar
datuk-datuk adalah para ulama dan mubalig asal Minangkabau yang
menyebarkan Islam ke Makassar. Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh
Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke
Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.
B. Kerajaan Gowa-Tallo

Pada awalnya, Kerajaan Gowa-Tallo yang lebih dikenal sebagai Kerajaan


Makassar terdiri dari beberapa kerajaan yang bercorak Hindu, antara lain, Gowa,
Tallo, Wajo, Bone, Soppeng, dan Luwu. Dengan adanya dakwah dari Dato’ ri
Bandang dan Dato’ Sulaiman, Sultan Alauddin (Raja Gowa) masuk Islam. Setelah
raja memeluk Islam, rakyat pun segera ikut memeluk Islam. Kerajaan Gowa dan
Tallo kemudian menjadi satu dan lebih dikenal dengan nama Kerajaan Makassar
dengan pemerintahannya yang terkenal adalah Sultan Hasanuddin (1653-1669).
Ia berhasil memperluas pengaruh Kerajaan Makassar sampai ke Matos,
Bulukamba, Mondar, Sulawesi Utara, Luwu, Butan, Selayar, Sumbawa, dan
Lombok.
Hasanuddin juga berhasil mengembangkan pelabuhannya dan menjadi
bandar transit di Indonesia bagian timur pada waktu itu. Hasanuddin mendapat
julukan “Ayam Jantan dari Timur”. Karena keberaniannya dan semangat
perjuangannya, Makassar menjadi kerajaan besar dan berpengaruh terhadap
kerajaan di sekitarnya. Faktor-faktor penyebab Kerajaan Makassar menjadi besar:

1. Letaknya strategis, baik sekali untuk pelabuhan.


2. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang menyebabkan pedagang Islam
pindah ke Makassar.
3. Perkembangan Makassar menyebabkan VOC merasa tersaingi. Makassar tidak
tunduk kepada VOC, bahkan Makassar membantu rakyat Maluku melawan
VOC. Kondisi ini mendorong VOC untuk berkuasa di Makassar dengan menjalin
kerja sama dengan Makassar, tetapi ditolak oleh Hasanuddin. Oleh karena itu,
VOC menyerang Makassar dengan membantu Aru Palaka yang telah
bermusuhan dengan Makassar. Akibatnya, banteng Borombong dan ibu kota
Sombaopu jatuh ke tangan musuh, Hasanuddin ditangkap dan dipaksa
menandatangani Perjanjian Bongaya (1667).
C. Kerajaan Bone

Kesultanan Bone atau sering dikenal dengan Akkarungeng ri Bone,


merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya
di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600
km2. Terbentuknya kerajaan Bone dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri
Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh
Matoa. Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan La
Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. Saudara perempuannya
menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan La Saliyu
Karampelua sebagai Arumpone ketiga.Di masanya, kerajaan Bone semakin luas
berkat keberaniannya.
Perluasan kerajaan Bone ke utara bertemu dengan kerajaan Luwu yang
berkedudukan di Cenrana, muara sungai WalennaE. Terjadi perang antara
Arumpone La Tenrisukki dengan Datu Luwu Dewaraja yang berakhir dengan
kemenangan Bone dan Perjanjian Damai Polo MalelaE ri Unynyi. Dinamika politik
militer diera itu kemudian ditanggapi dengan usulan penasehat kerajaan yaitu
Kajao Laliddong pada Arumpone La Tenrirawe BongkangngE yaitu dengan
membangun koalisi dengan tetangganya yaitu Wajo dan Soppeng. Koalisi itu
dikenal dengan Perjanjian Tellumpoccoe.
Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk
Islam. Namun Islam diterima secara resmi dimasa Arumpone La Tenripale
Matinroe ri Tallo Arumpone keduabelas. Sebelumnya yaitu La Tenrirua telah
menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade Pitue sehingga
dia hijrah ke Bantaeng dan meninggal disana. Ketika Islam diterima secara resmi,
maka susunan hadat Bone berubah. Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat
Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan tetap
dipertahankan.
Bone berada pada puncak kejayaannya setelah Perang Makassar, 1667-1669.
Bone menjadi kerajaan paling dominan dijazirah selatan Sulawesi. Perang
Makassar mengantarkan La Tenritatta Arung Palakka Sultan Saadudin sebagai
penguasa tertinggi. Kemudian diwarisi oleh kemenakannya yaitu La Patau
Matanna Tikka dan Batari Toja. La Patau Matananna Tikka kemudian menjadi
leluhur utama aristokrat di Sulawesi Selatan. Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa,
Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan
dan sekitarnya pada tahun 1666.
Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris
berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816
setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte. Pengaruh
Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap
Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam
perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat
proklamasi.

D. Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di
wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya
disebut “Raja Wajo”. Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu
Cinnotabi. Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah
terbentuknya Wajo, yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit
kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu
dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah
dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La
Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka
tanah di Cinnotabi.
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai
kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut
Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau
Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan,
timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh
seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri
Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui
tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau
Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya
hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair.
Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang
ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli.
Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke
datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi.
Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang
diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui,
putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi
sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat
La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu,
Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli
dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu Kajuru E.
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah
sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah
sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi
membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung
Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar
bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng
maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama
bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai
wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri
Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama.
La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi
Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala
menjadi Paddanreng Tuwa.

E. Kesultanan Buton
Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi
Tenggara) Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada zaman dahulu memiliki kerajaan
sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan
yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak
zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa,
menyebut nama Pulau Buton. Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton
di dalam bukunya, Kakawin Nagarakertagama. Sejarah yang umum diketahui
orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang
dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605
M.
Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton,
yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae
Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus
tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-
Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton
yang ke-6 sekitar tahun 948 H/1538 M. Dalam masa yang sama dengan
kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani, diriwayatkan
bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton,
didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari
Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal
dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama
sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walaupun bahasa
yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa
yang sama digunakan bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di
Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton. Orang-
orang Buton termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa
pemerintahan Raja Buton ke-6, yaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau
Halu Oleo. Bagindalah yang di-Islamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh
Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali
dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid
bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton.
Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah Raja Buton
memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh
Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain
menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton
pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan Buton pertama,
bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu Sultan
Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada abad ke 15 di Sulawesi berdiri beberapa kerajaan, di antaranya dari
suku bangsa Makassar (Gowa dan Tallo) dan Bugis (Luwu, Bone, Soppeng dan
Wajo). 2 kerajaan yang memiliki hubungan baik yaitu kerajaan Gowa dan Tallo.
Ibu kota kerajaannya adalah Gowa yang sekarang menjadi Makassar. Kerajaan ini
pada abad ke 16 sudah menjadi daerah Islam. Masuk dan berkembangnya Islam
di Makassar atas juga datuk Ribandang (Ulama adat Minangkabau). Secara resmi
kerajaan Gowa Islam berdiri pada tahun 1605 M.

B. Saran
Kita perlu mempelajari sejarah kerajaan-kerajaan Islam. Dan kita perlu
mengembangkan wawasan kita tentang sejarah. Karena itu termasuk hal penting.

DAFTAR PUSTAKA
Drs. Suwardi. 2006. LKS Merpati. Karanganyar: Graha Multi Grafika.

Nico Thamiend R.M.P.B. Manus. 2000. Sejarah. Jakarta: Yudhistira.

Siti Waridah Q, Dra. 2001. Sejarah Nasional dan Umum. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

http://id.wikipedia.org/wiki/kesultanan_Gowa

http://www.e-dukasi.met/mol/mo_full.php?moid=121&fname=sej107_10.htm

Anda mungkin juga menyukai