D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
KELOMPOK III
1. NADIYA VEGA
2. KHAERUNNISA
3. SUWAEDAH
4. ANDIKA PRATAMA
5. M. H. D. DANIS HAIKAL
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu
menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas makalah Agama Islam
(Penyebaran Islam di Sulawesi dan Nusa Tenggara )
Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat
dikaji melalui berbagai sudut pandang. Islam sebagai agama yang telah
berkembang selama empat belas abad lebih menyimpan banyak masalah
yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran keagamaan
maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-
kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang kaitan
perkembangan islam di daerah Sulawesi, yang kami sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di
susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri
penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca. Saya sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dsaya meminta
masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan
datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Islam di Sulawesi menarik untuk dibahas, karena akan menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan yang luas. Dengan membahas proses masuk dan
berkembangnya Islam di Sulawesi kita dapat mengetahui kerajaan-kerajaan dan raja
yang berpengaruh terhadap perkembangan Islam, tradisi dan bukti perkembangan
Islam di Sulawesi, beserta cara agama Islam masuk ke Sulawesi. Perkembangan
agama Islam di Sulawesi tidak sepesat perkembangan agama Islam di Jawa dan
Sumatera. Sebab pertentangan Islam terhadap kerajaan yang belum menganut
agama Islam dilakukan demi kepentingan politik. Bersamaan dengan perkembangan
agama Islam maka berdirilah kerajaan Islam di Indonesia yaitu Demak, Pajang,
Mataram, Banten, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
Pada dasarnya secara geografis dan kondisi alam wilayah Sulawesi lebih
bersahabat dibandingkan wilayah Klaimantan, karena wilayah Sulawesi hampir
sama seperti kondisi Jawa. Meskipun hubungan antar suku di wilayah Sulawesi
kurang harmonis, namun dakwah tetap berkembang baik di wilayah Sulawesi
Selatan. Kubu yang terkadang bertentangan adalah Bosowa atau Bone Soppeng,
Wajo dengan suku Makasar. Perkembangan Islam di wilayah Sulawesi selain
Sulawesi Selatan seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara
masih perlu ditingkatkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keadaan masyarakat Sulawesi sebelum dan sesudah datangnya
Islam?
2. Bagaimana proses masuknya Islam di Sulawesi?
3. Apa saja bukti-bukti peninggalan sejarah Islam di Sulawesi?
4. Siapakah penyebar Islam di Nusa Tenggara?
5. Apa nama salah satu kerajaan Islam di Nusa Tenggara?
6. Bagaimanakah cara penyebaran Islam di Nusa Tenggara?
BAB II
PROSES MASUKNYA ISLAM DI SULAWESI
A. Melalui Pedagang
Kalau kita melihat dari sumber sejarah, bahwa penyebaran Islam di Indonesia
khususnya di Sulsel dilakukan oleh parah saudagar Muslim yang mengadakan
kontak dagang antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun dengan
dagang antarnegara. Dapatlah dipahami bahwa yang mula-mula membawa
agama Islam ke Sulsel adalah pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-
saudagar India, dan Iran. Selanjutnya Islam disiarkan oleh pedagang-pedagang dari
Melayu dan dari Jawa. Berdasarkan kajian sejarah Islam sudah berpengaruh di
Jawa sekitar tahun 1500-1550 M yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan
Demak. Pengaruh Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis
pada tahun 1511 M. Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin
banyak kerajaan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai
di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan pedagang-
pedagang Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di pesisir
Pulau Jawa sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan didahului
oleh proses islamisasi yang berkesinambungan di kalangan masyarakat.
B. Pengaruh Tionghoa
Sebagaimana dicatat dalam sumber sejarah bahwa, Islam di Jawa juga disiarkan
oleh seorang pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan
yang membawa seorang pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik,
dan Surabaya, daerah di pesisir utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa
di wilayah pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 855 M telah memeluk Islam
dan orang-orang pribumi yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti
orang Tionggoa itu. Kesadaran orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan
berkembang di Sulsel tidak lepas dari aktivitas perdagangan yangberlangsung
sampai ke kepulauan nusantara terutama di Maluku.Seorang Muslim dari Persi yang
pernah mengunjungi belahan timur Indonesia memberikan informasi tentang
masuknya Islam di Sulsel. Ia mengatakan bahwa di Sula (Sulawesi) terdapat orang-
orang Islam pada waktu itu kira-kira pada akhir abad ke-2 Hijriah. Dia juga yang
mengabarkan tentang kehadiran Islam di kalangan masyarakat Sulsel. Menurut dia,
Islam di Sulsel juga dibawa sayyid Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari
Aceh lewat Jawa (Pajajaran). Sayyid Jamaluddin datang atas undangan raja yang
masih beragama Budha, Prabu Wijaya yang memerintah Pajajaran pada tahun
1293-1309. Sayyid Jamaluddin Akbar Al Husaini melanjutkan perjalanan ke Sulsel
bersama rombongannya 15 orang. Mereka masuk ke daerah Bugis dan menetap di
Ibu Kota Tosorawajo dan meninggal di sana sekitar tahun 1320 M. Inilah suatu bukti
bahwa jauh sebelum Islam diterima secara resmi sebagai agama kerajaan di Sulsel
pemahaman Islam sudah ada di masyarakat lewat interaksi sosial dan hubungan
dagang antar individu maupun berkelompok.
C. Hak Istimewa
Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, di Sulsel pernah menetap seorang dari
Jawa bernama Anakoda Bonang yang membawa saudagar melayu Muslim
yang memimpin perdagangan dari Pahang, Patani, Johor, Campa, dan
Minangkabau. Rombongan Anakoda Bonang ini diberi hak istimewa oleh raja. Pada
masa itu Sulsel sudah menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Sumatera,
Jawa, Malaka, dan Hindia. Di Makassar, pada masa itu, sudah ada koloni dagang
orang-orang asing dari daerah itu. Sehubungan dengan strategi orang-orang Melayu
yang mendirikankerajaan-kerajaan yang berpaham Islam di sekitar Pulau Jawa,
dalam lontara di jelaskan, Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo
(1565-1590) bersahabat baik dengan raja-raja di Pulau Jawa bagian barat. Raja
Gowa memberikan fasilitas kepada para saudagar Muslim untuk menetap di
sekitar Istana Kerajaan Gowa.Islam di Sulsel mencapai puncak keemasannya
sekitar awal abad ke-18 yang ditandai dengan berlakunya syariat Islam dalam
berinteraksi sosial.
1. Kerajaan Gowa-Tallo
Baik sumber-sumber asing maupun sumber-sumber naskah-naskah kuno bahwa
kehadiran agama Islam sudah ada sejak abad sebelum kedatangan Tome Pries
(1512-1515), karena ia menceritakan bahwa Makassar sudah melakukan hubungan
perdagangan dengan Malaka, Kalimantan, dan Siam, akan tetapi Tome Pries
mengatakan bahwa penguasa-penguasa lebih dari 50 negeri di pulau itu mesih
menganut berhala, maksudnya belum Islam. Pemberitahuan Tome Pries tersebut
mungkin lebih menitikberatkan kepada sebuah kerajaan di Sulawesi belum resmi
memaluk agama Islam, karena secara resmi kedua raja Gowa dan Tallo memeluk
masuk agam Islam pada tanggal 22 Septembar 1605 M. Negara tersebut kaya akan
beras putih dan bahan-bahan makanan lainnya, banyak dagingdan juga banyak
kapur barus hitam. Mereka memasok barang dagangan dari luar, antara lain jenis
pakaian dari Cambai, Bengal, dan Kelling. Mengingat jaringan perdaganga dari Cina
sudah lama, barang-barang berupa keramik juga diimpor dan hal itu juga dibuktikan
dengan banyaknya temuan keramik dari masa dinasti Sung dan Ming dari daerah
Sulawesi selatan.
B. Kerajaan Selaparang
Diperkirakan sejak abad ke-16 Islam masuk di daerah Nusa Tenggara (Lombok),
Islam di Lombok diperkenalkan oleh Sunan Perapen (putra Sunan Giri).
Kemungkinan masuknya Islam ke Sumbawa ini dengan melalui Sulawesi, yaitu
melalui dakwah para mubalig dari Makasar antara tahun 1540-1550. Kemudian
berkembang kerajaan Islam di Lombok, salah satunya adalah Kerajaan
Selaparang.Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat (2002) mencatat tiga
pendapat tentang asal mula salah satu kerajaan yang bernama kerajaan
Selaparang.
Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak
senang. Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke
Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi menemui kegagalan.
Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik
memaanfaatkan situasai untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya
membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang
subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim
Dangkiang Nirartha untuk memasukkan faham baru berupa singkretisme Hindu-
Islam. Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat
memengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama
Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang
terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami stagnasi dan
kelemahan di sana-sini.
Selain di Bayan, masjid kuno juga ada di Gunung Pujut, di Desa Rembitan dan
Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk dalam kawasan Desa Sekarbela. Meski
punya ciri yang sama, situs dan budaya di tempat-tempat itu memiliki perbedaan
yang menjadi tanda Islam masuk Lombok di beberapa tempat sekaligus. Islam
masuk Lombok melalui Jawa, Gowa, dan Bima. Mengenai Bayan, masuknya dari
Jawa.
Masjid Ar Raisiyah, Masjid yang termasuk dalam kawasan Desa Sekarbela ini telah
mengalami renovasi beberapa kali. Renovasi yang pertama dilakukan setelah Masjid
terbakar akibat peperangan antara masyarakat Sekarbela yang menuntut kematian
Tuan Guru Padang Reak dengan penguasa saat itu. Saat itu, bentuk masjid
Sekarbela berbentuk empat persegi dengan dinding bedek, atap rumbia, lantai tanah
dan yang menjadi ciri khas adalah empat soko guru.
Setelah kebakaran, Masjid dibangun kembali oleh TGH Mustafa dan TGH Moh.
Toha. Bentuk Masjid masih sederhana dengan empat soko guru. Dari peninggalan
yang ada yakni sebuah kaligrafi tertulis angka 1350 H. Saat itu bangunan Masjid
sudah lebih baik dari sebelumnya namun masih sederhana. Kemudian pada tahun
1890 M, atas prakarsa TGH M Rais, masjid direnovasi dengan memanfaatkan atap
dari genteng. Jamaah yang semakin banyak menginspirasikan penerus selanjutnya,
yakni TGH Muktamat Rais anak dari TGH Muhamaad Rais, untuk membangun
kembali Masjid pada tahun 1974 dengan kontruksi beton. Namun dikarenakan
jamaah yang semakin banyak dan kompleknya kegiatan, pada tahun 2001 Masjid
direnovasi kembali dengan desain Timur Tengah dan berlantai tiga.
Satu yang mungkin bisa direka-reka yakni Sunan Prapen melakukan pelayaran
dalam upaya penyebaran Islam ke wilayah timur nusantara dari Gresik lewat pantai
utara Jawa. Dia tidak berlabuh ke Pulau Bali, tapi langsung ke Bayan. Dari letak
geografisnya, Bayan berada di tepi pantai utara Lombok sehingga sangat mungkin
Sunan Prapen melempar sauh di sini. Belakangan, Sunan Prapen diperkirakan
barulah ke Pulau Bali (meski misinya gagal) setelah dari Sumbawa dan Bima.
“Di setiap pantai, penyebaran itu memang ada. Penyebaran dilakukan oleh
pedagang-pedagang dari Arab dan Jawa. Kebanyakan datangnya dari Jawa,” kata
budayawan setempat, Ahmad JD, kepada Republika, tentang asal muasal
penyebaran Islam di Lombok melalui pantai utara. “Yang monumental adalah
peninggalan kebudayaan tulis dari Jawa. Ini menunjukkan adanya jejak wali dari
Jawa, yakni Sunan Prapen,” lanjutnya.
Selain bukti arkeologi, Anggun juga menemukan bukti lain, yakni dalam bidang seni
sastra, baik itu seni tabuh, seni suara, maupun seni tulisan. Dalam penelitian ini juga
me nun jukkan bahwa agama Islam da pat ber kembang di Lombok, selain karena
peranan para penyebar agama Islam seperti Sunan Prapen, juga adanya peranan
dari rajaraja yang ada di Lom bok sendiri. Pada perkembang an selanjutnya, agama
Islam berkembang di Lombok lebih diprakarsai oleh adanya Tuan Guru.
Penyebaran agama Islam di Lombok disebutkan juga datang dari Gowa (Sulawesi
Selatan) dan Bima. “Memang ada dua versi mengenai masuknya penyebaran
agama Islam di Pulau Lombok. Versi pertama mengatakan datang dari Jawa,
sementara versi satunya lagi yakni dari Sulawesi atau Makassar,” kata Dr Akhyar
Fadli, dosen dan peneliti sejarah Islam di Lombok dari Institut Agama Islam Qomarul
Huda, Praya, Lombok Tengah. “Juga banyak versi tentang masuknya abad ke
berapa,” tambahnya.
Menurut Akhyar, penyebaran yang datang dari Jawa dibawa oleh Sunan Pengging
(nama lain Sunan Prapen) sekitar abad ke-14. Pada saat itu, Sunan Prapen
bersama para pengikutnya berlabuh di Labuhan Carik, dekat Bayan, Lombok Utara.
“Menurut sejarah yang saya temukan, Sunan Pengging memang pertama kali
menginjakkan kakinya di Bayan untuk menyebarluaskan ajaran Islam,” jelasnya.
Jejak yang seakan membenarkan mula penyebaran Islam di Lombok melalui Bayan
adalah terbentuknya komunitas/masyarakat adat Islam wetu telu di sana. Ini adalah
komunitas Islam tua yang sampai sekarang masih ada di Lombok dengan pusatnya
di Bayan. Mereka menjalani ajaran Islam dengan tidak meninggalkan ritual adat
leluhurnya.
Dari Bayanlah kemudian penyebaran itu menuju ke sebelah barat, tengah, serta
timur. Jejaknya adalah terdapatnya komunitas wetu telu di wilayah-wilayah tersebut.
Di Lombok Barat, mereka ada di Narmada dan Sekotong. Di Lombok Tengah,
komunitas ini ada di Pegadang, Pujut, dan Rambitan. Sedangkan, di Lombok Timur
tidak begitu banyak.
Tidak banyaknya komunitas wetu telu di Lombok Timur terjawab dengan versi
penyebaran Islam melalui Sulawesi. Penyebaran ini dibawa oleh para pedagang dan
nelayan Sulawesi Selatan melalui Labuhan Kayangan, Lombok Timur pada abad ke-
14. Jejaknya adalah banyaknya komunitas nenek moyangnya berasal dari Makassar
di sepanjang pantai di Lombok Timur. “Mereka lebih dikenal dengan sebutan Islam
Suni. Ada juga yang menyebutnya wetu lima,” kata Akhyar, yang menulis buku Islam
Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak pada 2008.
Diperkirakan pengaruh Sunan Prapen di Lombok Timur tidak besar karena sudah
ada penyebar agama Islam dari para pedagang dan nelayan Makassar tersebut.
Diduga, Sunan Pra penatau pengikutnya meninggal kan la dang dakwah yang sudah
dimasuki oleh para pedagang dan nelayan itu. Dalam sejumlah catatan, Sunan Pra
penmemang disebutkan tidak begitu lama menetap di Lombok, dia kemudian
menyerahkan tugas penyebar an Islam di pulau ini kepada dua orang
kepercayaannya, Raden Sumu liya dan Raden Salut. Setelah itu, Sunan Pra pen
menuju Pulau Sum bawa dan Bima.
Namun, Akhyar punya analisis tersendiri. Ada yang bilang dia ke Sumbawa, ada
juga yang bilang dia kembali ke Jawa. Setelah saya lacak yang di Pulau Sumbawa
ini banyak jejak kerajaan dari Makassar. Menurut saya, Sunan Prapen langsung
kembali ke Jawa, tidak berlayar ke Sumbawa, ujarnya.
Tenggara Barat mayoritas pendu duk nya adalah Islam. Dari sekitar 4,4 juta jiwa
penduduknya, sekarang ini 80 persen adalah pemeluk Islam. Sisanya adalah Hindu,
Budha, dan Kristen. Tentu saja Sunan Prapen, para muridnya, serta para pedagang
Arab dan Makassar perannya dalam penyebaran Islam di kedua pulau ini tak bisa
diabaikan.
Namun sejak tahun 1950-an saat peralihan pemerintahan dari Kesultanan menjadi
Pemerintahan Swapraja, kegiatan ini terhenti dan tidak mampu sepenuhnya
dihidupkan kembali. Tapi melihat kemauan dan masih tersisanya keluarga kerjaan di
bima maka proses adat ini masih bisa terlaksana dari tahun 1980-an, 1990-an
sampai saat ini masih ada kayaknya (soalnya saya ikut hanya 2003 lalu). Acara Ua
Pua ini sendiri selain untuk memperingati hari kelahiran nabi muhammad saw, juga
masih merupakan bentuk penghormatan Sultan Abdul Kahir Ma Ntau Bata Wadu
(sultan Kerajaan Bima pertama) menganugerahkan sebidang tanah yang cukup luas
kepada keduanya (Sebagai penghormatan atas jasa Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro
dalam pengusiran ). Kelak, tanah pemberian Sultan Bima ini dijadikan sebagai
tempat tinggal kerabat dan keluarga mereka. Seiring dengan perkembangan
masyarakat, penghuni kampung tersebut kian bertambah ramai. Dan, akhirnya
perkampungan tersebut diberi nama Kampung Melayu yang hingga saat ini masih
ada di bima dan sekarang masuk kota bima (kalau kampung ini dekat dengan
kampung sarae.
Bima merupakan salah satu Kerajaan islam tersohor di Indonesia bagian Timur.
Kesohorannya hingga pernah berstatus swapraja selama kurun waktu 5-6 tahun dan
hingga kini masih didapati bukti dan peninggalannya. Beragam tradisi dan budaya
terlahir dan masih dipertahankan rakyatnya. Salah satu yang hingga kini masih kekal
bahkan terwarisi adalah budaya rimpu, sebuah identitas kemusliman yang hingga
kini nyaris kehilangan makna. Rimpu merupakan busana adat harian tradisional
yang berkembang pada masa kesultanan, sebagai identitas bagi wanita muslim di
Bima. Rimpu mulai populer sejak berdirinya Negara Islam di Bima pada 15 Rabiul
awal 1050 H bertepatan dengan 5 Juli 1640.
Sebuah masjid tertua di Bima hingga kini masih bediri di Kelurahan Melayu
Kecamatan Asakota, Kota Bima. Hanya saja, kondisi cagar budaya itu tak terurus
dan hanya berfungsi sebagai Tempat Pendidikan Qur’an (TPQ) oleh warga
setempat. Bahkan sejumlah benda bernilai sejarah tinggi raib. Pantauan Suara NTB,
mesjid yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu dan beratap seng itu masih
berdiri kokoh diantara rumah penduduk. Konon masjid itu dibangun dua utusan
Sultan Goa Sulawesi Selatan untuk mensyi’arkan Agama Islam di Bima.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan