Anda di halaman 1dari 8

TUGAS SEJARAH ISLAM ASIA TENGGARA

DOSEN PENGAMPU : TASRIANI ,S.Ag.,M.Ag.

DISUSUN OLEH : NURHAFIZA (12170323695)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2022
A.PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN DAN SESUDAH KEMERDEKAAN

1. PADA MASA PENJAJAHAN

Pertanyaan tentang kapan tepatnya agama Islam masuk dan siapa orang yang pertama kali
membawa misi dakwah agama ini ke kepulauan pahami dari negri asalnya yang pertama. Masuknya
Islam ke Indonesia diperkirakan sudah terjadi pada masa kekhalifaan Umar bin Khattab, walau ada
pula yang berpendapat bahwa Islam masuk pada masa Daulah Abbasyiah. Oleh karena itu
pemahaman Islam pada masa itu diperkirakan sebagai pemahaman yang relatif utuh, yakni Islam
sebagai acuan aktifitas ritual, sosial bahkan kenegaraan. Itulah sebabnya Islam pada masa itu
mengilhami terbentuknya negara Islam Demak yang secara gradual menggeser dominasi kekuasaan
Majapahit sebagai kekuatan sosial kemasyarakatan Dari Seminar Sejarah Masuknya Islam ke
Indonesia di Medan pada tahun 1963, disimpulkan bahwa:

1. Menurut sumber-sumber yang kita ketahui bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad
pertama hijriah (abad 7/8 M) dan langsung dari Arab.

2. Daerah yang pertama didatangi oleh Islam ialah pesisir Sumatera, dan setelah terbentuknya
masyarakat Islam, maka raja Islam yang pertama berada di Aceh.

3. Dalam proses pengislaman selanjutnya orang-orang Indonesia ikut aktif ambil bagian.

4. Mubaligh-mubaligh Islam selain sebagai penyiar agama juga sebagai saudagar.

5. Penyiaran Islam di Indonesia dilakukan dengan damai.

6. Kedatangan Islam ke Indonesia itu, membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam
membentuk kepribadian bangsa Indonesia.

Menurut Hasan Muarif Ambary bahwa bukti-bukti arkeologi yang menunjuk pada bekas-bekas
kehadiran komunitas muslim tertua Nusantara antara lain adalah di Troloyo (1281- 1611 M), Barus
(1206 M), Pasai (1297 M), Leran (1082 M) dan sebagainya. Teori mengenai sosialisasi Islam ke
Indonesia terdapat banyak pendapat, khusunya dalam cara masuk dan pembawanya. Pendapat lama
mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke 13 M (J.J Krom dan Van Den
Berg).Pendapat yang lain menyebutkan antara abad ke-7-8 M. (T.W. Arnold, Hamka, Tyndrasasmita
dan Ambary). Sementara itu tentang asal kedatangan Islam ke Indonesia disebutkan dari India (C.
Snouck Hurgronye, H. Kraemer dan Van Den Berg), Persia (Husein Djadjadiningrat) atau langsung
dari Arab (Hamka).

Sementara itu menurut Uka Candrasasmita seperti yang dikutip pendapatnya oleh Badri Yatim
bahwa Islamisasi di Indonesia melalui beberapa jalur, antara lain melalui jalur perdagangan, jalur
perkawinan, jalur tasawuf, jalur pendidikan, jalur kesenian, dan jalur politik. Mengenai kondisi
pendidikan Islam di Indonesia pada mulanya didasarkan pada sistem kedaerahan dan tidak
terkordinir atau terpusat, karena tiap daerah berusaha menjalankan pendidikan didaerahnya sesuai
dengan keadaan daerah masing-masing. Keberhasilan Islam menyebar dan menyusup ketengah-
tengah masyarakat juga belum didukung oleh metode dakwah atau pun organisasi yang solid seperti
sekarang ini, malahan Islam disiarkan secara sembunyi-sembunyi dan dari rumah ke rumah agar
tidak dicurigai atau dianggap menentang norma-norma yang sudah kuat dipegang oleh penguasa
dan masyarakat.

(sumber: https://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/DT/article/downloadSuppFile/220/37; jurnal


ISLAM DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN, Duriana,hal 59- 61 )
Proses Islamisasi di daerah pantai berjalan dengan damai sesuai dengan prinsip dakwah dalam Islam
yaitu tidak ada paksaan untuk memeluk agama. Sehingga dengan pelan tapi pasti Islam dipeluk dan
diamalkan oleh penduduk pantai, mulai dari rakyat kecil sampai penguasa. Berbeda dengan daerah
pantai di pedalaman Islamisasi berjalan agak lamban dan memakan waktu agak lama karena orang
pedalaman masih kuat berpegang pada agama leluhurnya yaitu agama Hindu dan Budha. Meskipun
demikian antara kedua penduduk pantai dan pedalaman tidak ada pertentangan bahkan mereka
hidup damai. Demikianlah keadaan proses Islamisasi yang berjalan dengan damai tanpa kendala
yang berarti sampai datangnya penjajah ke Nusantara di mana misi kedatangannya disamping
berdagang juga membawa misi lain yaitu Kristenisasi. Inilah pangkal masalah di Nusantara yaitu
adanya pertentanganpertentangan baik antara penduduk pribumi akibat adu domba dari penjajah
maupun antara penduduk dengan penjajah karena apa yang dilakukan oleh penjajah sangat
merugikan penduduk baik dari segi kehidupan beragama maupun dari segi kegidupan sosial budaya
masyarakat yang sudah mapan. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa awal masuknya
Islam ke Indonesia belum diketahui dengan pasti. Yang jelas bahwa Islamisasi di Nusantara telah
berlangsung sejak abad-abad pertama hijriah dan berlangsung terus hingga masa kini dan juga masa
yang akan datang. Dalam proses Islamisasi terjadi interaksi antara budaya lokal sehingga corak Islam
dibeberapa tempat berjalan sesuai dengan tradisi dan budaya setempat tanpa mengurangi nilai
Islam yang sesungguhnya.

(sumber : https://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/DT/article/downloadSuppFile/220/37; jurnal


ISLAM DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN, Duriana hal 61)

2. sesudah kemerdekaan

Periode kerajaan Islam Demak tahun 1523 M. sampai dengan kerajaan Mataram (Sultan Agung
tahun 1645), merupakan pengulangan model pengembangan Islam di jazirah Arab paska Hijriah.
Sistem politik diaktifkan untuk melakukan dakwah Islamiah secara profesional melalui kegiatan para
pengemban, aparat pemerintahan, mujahid, termasuk wali dibawa naungan kekuasaan formal
(kesultanan Islam). Dengan demikian terjadilah perkembangan Islam yang luar biasa dimana hampir
semua penduduknya masuk Islam dalam waktu yang relatif singkat. Pada masa keemasan Islam di
Indonesia inilah para mujahid memperoleh dukungan penuh baik secara materil maupun moril.
Karena penguasa negara memiliki persepsi (keimanan) bahwa Islam itulah cara mengelola
masyarakat yang terbaik dan mampu menyelamatkan masyarakat dan dunia dari eksploitasi orang-
orang kafir yang serakah. Ada tiga tahap proses Islamisasi di Nusantara. Pertama, fase kehadiran
para pedagang Muslim (abad 1-4 H). Sejak permulaan abad ke 1 hijriah kapal-kapal dagang Arab
sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara. Namun data tentang apakah sudah ada penduduk
yang masuk Islam menurut Ambary, masih dalam dugaan, belum ada data yang otentik. 14
Selanjutnya Islam tersebar ke Sulawesi, ketika raja pertama yaitu Raja Tallo yang menjadi
mangkubumi di kerajaan Goa yang bernama I Mallengkaeng Daeng Nyonri Karaeng Katangka masuk
Islam pada 22 September 1605 M. I Mallengkaeng Daeng Nyonri Karaeng Katangka kemudian
bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Penyebar Islam ke daerah ini Kedua, fase terbentuknya
kerajaan Islam (13- 16 M). Pada fase ini ditandai dengan munculnya pusat-pusat kerajaan
Islam.Ketiga, fase pelembagaan Islam. Agama Islam yang berpusat di Pasai, meluas ke Aceh di pesisir
Sumatra, semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjarmasin dan Lombok. Bukti penyebaran
ditemukan cukup banyak seperti adanya kesamaan batu nisan yang terdapat dibeberapa tempat
seperti di Semenanjung Melayu, Aceh, Kuwin Banjarmasin, Demak dan Gresik.
Selanjutnya Islam tersebar ke Sulawesi, ketika raja pertama yaitu Raja Tallo yang menjadi
mangkubumi di kerajaan Goa yang bernama I Mallengkaeng Daeng Nyonri Karaeng Katangka masuk
Islam pada 22 September 1605 M. I Mallengkaeng Daeng Nyonri Karaeng Katangka kemudian
bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Penyebar Islam ke daerah ini adalah Abdul Makmur Khatib
Tunggal yang terkenal dengan nama Datuk Ribandang, seorang ulama yangberasal dari
Minangkabau. Para penyebar Islam dapat menduduki berbagai jabatan dalam struktur birokrasi
kerajaan dan diantara mereka ada yang kawin dengan penduduk setempat. Kemudian mereka
mendirikan Mesjid, mengadopsi kebudayaan lokal menjadi bermuatan Islam, mendidik kader ulama,
mengislamkan raja dan keluarganya dan pendekatan-pendekatan sosial lainnya sesuai dengan
kondisi dan situasi setempat. Dengan kata lain bahwa Islam menjadi kokoh di pusatpusat kekuasaan
Nusantara melalui jalur perdagangan, perkawinan dengan elit birokrasi dan ekonomi, diskusi
keagamaan, dan sosialisasi langsung dengan masyarakat bawah. Sayangnya proses perkembangan
Islam di Indonesia masa itu tidak didukung oleh kondisi umat Islam di pusat Islam sendiri yang sudah
porak poranda oleh serangan Kristen dalam perang Salib, demikian pula serangan bangsa Mongol
dan juga oleh penyelewengan kekuasaan oleh Dinasti Ottoman di Turki. Indonesia pada masa itu
praktis juga ikut terjebak pada kemelut kekuasaan. Datangnya penjajah Belanda dengan kedok
perdagangan dan mendirikan VOC pada tahun 1619 di Batavia yang kemudian secara bertahap
menguasai lahan dan daerah kekuasaan kesultanan di Jawa dan pulau lain dan mementahkan proses
pemantapan kualitas umat Islam. Penjajah secara licik mengadu domba pewaris kesultanan Banten,
Mataram dan berbagai kesultanan di Kalimantan, Sulawesi, Aceh dan lainnya. Maka praktis pada
masa itu kekuasaan kesultanan praktis luntur dari misi dakwah Islamiah, karena penjajah itupun
secara bertahap memisahkan kekuasaan formal (kenegaraan) dari misi dakwah agama Islam sebagai
salah satu persyaratan bantuan pada pihak pewaris kerajaan yang dibantunya.

(sumber : https://jurnal.iainambon.ac.id/index.php/DT/article/downloadSuppFile/220/37; jurnal


ISLAM DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN, Duriana, hal 62 – 63 )

Perkembangan Islam Indonesia Pasca Kemerdekaan


Sejarah kehidupan Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural,
tetapi Islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi Islam.
Sebagai kekuatan moral dan budaya, Islam diakui keberadaannya, tetapi tidak
pada kekuatan politik secara riil. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde
Lama, Islam telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi yang paradoks,
terutama dalam dunia politik. Sedangkan Orde Baru, tampaknya Islam diakui
sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa danNegara.
Pendiskriminasian Islam tersebut memang sudah diawali pada saat wajah
(ideologi) Indonesia akan ditentukan sehingga muncullah berbagai gerakan-
gerakan dan pertentangan-pertentang Islam anti pemerintah akibat kekecewaan
terhadap pembentukan Negara Pancasila sebagai dasar Negara
Indonesia.Gerakan DI/TII di IndonesiaNegara Islam Indonesia (NII) yang
kemunculannya oleh berbagai pihak dituding sebagai akibat dari merasa sakit
hatinya kalangan Islam, dan bersifat spontanitas, lahir pada saat terjadi vacum of
power di Republik Indonesia (RI). Sejak tahun 1926, telah berkumpul para ulama
di Arab dari berbagai belahan dunia termasuk H.O.S Tjokroaminoto guna
membahas rekonstruksi khilafah Islam yang runtuh pada tahun 1924 sayangnya,
isyuro para ulama tersebut tidak membuahkan hasil dan tidak berkelanjutan (Ira
M. Lapidus, 2000: 340). Oleh karena itu, muncullah gerakan yang disebut Darul
Islam. Darul Islamsecara harfiah berasal dari bahasa Arab dan Al-Islam yang
berarti rumah atau keluarga Islam, dunia atauwilayah Islam. Pengertian secara
istilah Darul Islam di Indonesia digunakan untuk menyatakan gerakan-gerakan
sesudah tahun 1945 yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-
cita Negara Islam (C.Van Dijk, 1983: 1). Gerakan kekerasan yang bernada Islam ini
terjadi di berbagai daerah di Indonesia di antaranya Jawa Barat pada 1949-1962,
Jawa Tengah pada 1965, Sulawesi berakhir 1965, di Kalimantan berakhir 1963 dan
di Aceh pada 1953 yang berakhir dengan kompromi pada tahun 1957. Gerakan-
gerakan Islam tersebut mendapat perlawanan kerasdari tentara republik
Indonesia karena mereka dianggap tidak patuh dan tunduk pada pemerintah serta
melakukan pemberontakan dimana-dimana di antaranya adalah Gerakan DI/TII
Jawa Barat yang dipimpin oleh Sekarmaji Kartosuwiryo, Gerakan DI/TII Jawa
Tengah yang dipimpin oleh Amir Fattah, Pemberontakan di Sulawesi Selatan yang
dipimpin oleh Kahar Muzakkar, Pemberontakan di Kalimantan Selatan yang
dipimpin Ibnu Hadjar dan Pemberontakan di Aceh yang dipimpin Daud Beureuh
(Ajid Thohir, 2004: 305-311).
( sumber : https://www.readcube.com/articles/10.24127%2Fhj.v3i2.84 ; Jurnal
HISTORIA Volume 3, Nomor 2, Tahun 2015, ISSN 2337-471375PERKEMBANGAN
ISLAM DI INDONESIA PASCA KEMERDEKAANBeti Yanuri Posha, S.Pd., M.Hum. hal
77-78)

B . Islam Masa Orde lama , Orde baru , Reformasi dan masa sekarang

1. Masa Orde Lama


Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) merupakan perwakilan daerah
seluruh kepulauan Indonesia. Dalam sidang PPKI, M. Hatta berhasil meyakinkan
bahwa tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam sila pertama Pancasila
“Ketuhanan yang maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dengan segala konsekuensinya dihapuskan dari konstitusi.
Namun hal yang sedikit melegahkan hati para nasionalis Islam adalah keputusan tentang
diadakannya Kementerian Agama yang akan menangani masalah keagamaan (lihat B.J.
Boland, Pergumulan Islam di Indonesia (Jakarta : Grafiti Preaa, 1985), h. 110; bandingkan
dengan Badri Yatim, op tit, h. 266). Meskipun Departemen Agama dibentuk, namun hal
tersebut tidak meredakan konflik ideologi pada masa setelahnya. Setelah dikeluarkannya
maklumat tentang diperkenankannya mendirikan partai partai politik, tiga kekuatan yang
sebelumnya bertikai muncul kembali, yaitu; Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) 7
November 1945 lahir sebagai wadah aspirasi umat Islam, Partai Sosialis yang mengkristalkan
falsafah hidup Marxis berdiri 17 Desember 1945, dan Partai Nasional Indonesia yang
mewadahi cara hidup nasionalis “sekuler” muncul pada 29 Januari 1946. Partai-partai yang
berdiri pada saat itu dapat dikategorikan dalam tiga aliran utama ideologi yang ada tersebut.
Sejak tahun 1950 sampai 1955 PNI dan Masyumi terlibat perselisihan mengenai peran Islam
dan peran komunis. Tetapi kalangan muslim sendiri saling berseberangan. Misalnya pada
tahun 1952 Nahdatul Ulama (NXJ) menarik diri dari Masyumi dan menjadi partai politik yang
mandiri. Terjadi pula perselisihan antara kaum tua dan kaum muda dan antara
Muhammadiyah dan NU mengenai. orientasi keagamaan. Pergolakan yang tidak
terselesaikan antara beberapa partai politik yang mengantarkan sebuah pemilihan nasional
(pemilu) tahun 1955 yang terbukti sebagai sebuah peristiwa yang menentukan dalam
sejarah Indonesia. Pemilihan umum tahun 1955 tersebut mengkonsolidasikan bentuk baru
ideologi Indonesia dan organisasi sosial, bahkan mengembangkan sebuah kelanjutan dari
masa lalu yang nyata Indonesia. Sejak masa itu sampai sekarang, beberapa partai muslim
telah berjuang. untuk menyadari bahwa meskipun Indonesia secara mayoritas dalam adalah
sebuah masyarakat muslim, namun partai muslim merupakan sebuah mirioritas politik.
Perdebatan mengenai hasil perundangan terakhir Piagam Jakarta terus berlanjut hingga
periode pasca kemerdekaan dan menjadi argumen bagi gerakangerakan separatis, sepetti
Darul Islam (Ainal dan Samsu Rizal Pangabean, 2004: 65) di Jawa Barat dari 1948 hingga
1962 dan juga di Sulawesi Selatan dan Aceh. Dalam Majelis Konstituante, sejak berakhirnya
pemilu 1955 yang dilaksanakan berdasarkan UUDS 1950, kalangan islamis melahirkan
tantangan lain bagi negara model Pancasila ini. Karena tidak ada satu pihak pun yang
memenuhi 2/3 suara yang dibutuhkan untuk pengesahan, Soekarno akhirnya membubarkan
Majelis Konstituante dengan mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Mi 1959 (lihat
Mohammad Atho Mudzar, Islam and Islamic Law in Indonesia: A Socio-Historical Approach).
Perkembangan Islam pada masa orde lama, (masa berlakunya UUD 1945, Konstitusi RIS 1949
dan UUDS 1950) berada pada tingkat pengaktualisasian ajaran agama untuk dijadikan
sebuah dasar dalam bernegara. Sehingga pergolakan ideologi antara golongan muslim dan
golongan nasionalis saling tarik ulur untuk memperjuangkan berlakunya rumusan ideologi
masing-masing. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin (1959 - 1966) golongan Islam
mendapat tekanan melalui dominasi peranan golongan komunis yang membonceng kepada
pemerintah.
2. Masa Orde Baru
Munculnya orde baru dianggap sebagai kemenangan bagi umat Islam karena ada andil
dalam pembentukannya. Sehingga umat Islam menarah banyak harapan pada pemerintah,
khususnya kesempatan untuk berkiprah di bidang poiitik. Namun realitasnya hal tersebut
tidak mendapat perhatian dari pemerintah rezim baru orde baru karena pemerintah orde
bara lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi. Hal ini semakin menguat lagi dengan
adanya campur tangan pemerintah terhadap partai politik, pemerintah menghendaki partai
politik diciutkan menjadi dua ditambah partai golkar. Partai Islam disatukan ke dalam Partai
Persatuan Pembangunan (PPP: 5 Januari 1973) dan partai-partai nasional serta partai Kristen
dan Katolik digabungkan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI: 10 Januari 1973) (lihat
Jamhari “Islam di Indonesia” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Dimamika Masa KM
Jilid 6 (Cet. Ill; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), h. 345.) Awal 1970-an merupakan
periode penting bagi perkembangan Islam di Indonesia. Menjelang diadakannya pemilihan
umum pertama pada masa orde bara, Nurcholis Madjid sebagai intelektual menggagas
perlunya pembaraan pemikiran dalam Islam. Gagasan Cak Nur tersebut rrtenunjukkan
secara jelas penolakan terhadap pandangan yang menjadikan Islam sebagai landasan
ideologi poiitik dengan jargon “Islam yes, partai Islam no”. Selain beliau, masih ada beberapa
pembaharu seperti Harun Nasution dan Abd Rahman Wahid juga berperan dalam gagasan
tersebut. Di samping perkembangan pemikiran keislaman oleh cendikiawan Muslim di
Lingkungan Islam seperti di IAIN, pesantren, organisasi Islam, corak pemikiran di IAIN mulai
pertengahan 1980-an sampai dengan pertengahan 1990-an, menjadi salah satu kiblat
perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Perkembangan pemikiran keagamaan di IAIN
ditandai dengan maraknya kajian keagamaan yang menggunakan pendekatan ilmu sosial
(lihat Jamhari “Islam di Indonesia” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Dimamika Masa
KM Jilid 6 (Cet. Ill; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), h. 345. Pada bidang pendidikan
Islam, pesantren merupakan institusi pendidikan keagamaan yang pertama di Indonesia.
Pada awalnya pesantren lebih merupakan lembaga keagamaan daripada lembaga
pendidikan agama. Seiring dengan perkembangan zaman pesantren berkembang menjadi
lembaga pendidikan agama yang mengajarkan materi keagamaan, namun pada
perkembangan selanjutnya pesantren mengadopsi sistem modern sehingga pesantren tidak
hanya mengajarkan ilmu keagamaan, tetapi juga pelajaran umum dengan menggunakan
teknologi maju. Pada masa ini pula, perkembangan yang perlu dicatat adalah munculnya ide
reformasi fiqh yang diusulkan oleh ulama Indonesia, misalnya Hasbi al-Shiddieqy dan
Hazairin, yang keduanya meninggal dunia pada 1975. Hasbi al-Shiddieqy mengajukan konsep
“Fiqh Indonesia” dan berusaha menekankan pentingnya merevisi fiqh tradisional yang tidak
mempertimbangkan karakteristik komunitas Islam di Indonesia. Sedangkan Hazairin
mengajukan konsep “Fiqh Mazhab Nasional” dengan rujuan agar lebih relevan dengan adat
dan budaya di Indonesia (lihat Nourouzzaman Shiddieqy, Fiqh Indonesia: Penggagas dan
Gagasannya (Jakarta: PustakaPelajar, 1997), h. 215). Selain itu konsep “Reaktualisasi Ajaran
Islam” juga disampaikan oleh Munawir Sjadzali sebagai upaya reinterpretasi terhadap
doktrin Islam. Menyusul konsep “ Fiqh Sosial” yang diajukan oleh Ali Yafie.
3. Masa Reformasi
Runtuhnya Orde baru pada 21 Mei 1998, bersamaan dengan munculnya berbagai gerakan
sosial. Isu Piagam Jakarta dan tuntutan untuk memperbesar peran syariah dalam negara
kembali muncul ke permukaan. Khusus untuk isu penerapan syariah, secara umum ada dua
tipe gerakan Islam yang berargumen tentang hal tersebut (An-Na'im, 2007: 399). Namun,
perubahan struktural yang dibawa oleh pengesahan otonomi daerah 1999 menambah
kerumitan siruasi ini karena kebijakan tersebut memberikan ruang bagi komunitas lokal
untuk menerapkan syariah di tingkat kabupaten dan provinsi, tanpa memperhatikan sikap
dan posisi pemerintahan pusat. Menyusul lengsernya rezim Soeharto, muncul kembali
seputar hubungan Islam, negara, masyarakat serta peran Islam dalam Indonesia Baru.
Banyak partai Islam seperti PPP dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang beipartisipasi dalam
Pemilu 1999, kembali mengusung isu Piagam Jakarta dalam sidang Tahunan MPR. Namun
usaha untuk mengamandemen UUD 1945 dengan memasukkan kembali tujuh kata dalam
Piagam Jakarta gagal diwujudkan karena seimia fraksi lain di MPR menolaknya (An-Na'im,
2007: 431). Selama periode ini pula sejumlah daerah di Indonesia menuntut penerapan
syaiiat Islam secara formal. Selain Aceh yang sudah diberikali hak otonomi untuk
menerapkan syariat Islam, provinsiprovinsi lain (misalnya provinsi Sulawesi Selatan, Riau,
Banten dan beberapa kabupaten lain) juga menyampaikan tuntutan untuk menerapkan
syariat Islam. Sekalipun tuntutan tersebut disuarakan dari waktu ke waktu, tidak terdapat
konsep yang jelas tentang syariat yang akan diberlakukan. Oleh karena itu, penerapan
syariat Islam pada faktanya bukanlah masalah yang sederhana. Di antara keramitan yang
muncul di dalamnya adalah kalangan umat Islam sendiri masih terjadi perdebatan sengit
mengenai apa yang dimaksud dengan syariat dan bagaimana bentuk konkrit rumusan
syariat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persoalan hubungan Islam, negara, dan
masyarakat yang mewarnai perkembangan Islam di Indonesia masih sangat kontroversial,
seringkali bersifat simbolik yang menyelubungi persoalan politik dan sosial lainnya, tanpa
adanya kejelasan sikap dan pandangan para tokohnya, yang mendasari penolakah terhadap
klaim dan penegasan pihak lain yang ditentangnya. Selain itu, meskipun Islam tidak pemah
menjadi agama resmi negara, diskursus keislaman mempengarulii dan dipengaruhi oleh
kebijakan negara, kendati masih adanya ambivalensi di kalangan kelompok Islam sendiri.
( sumber: file:///C:/Users/Useer/Downloads/3054-Article%20Text-5861-1-10-20171216.pdf ;
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA MASA KEMERDEKAAN (SUATU KAJIAN HISTORIS)
Abd. Rasyid Rahman Departemen Ilmu Sejarah, Universitas Hasanuddin hal 121 -124 )

Anda mungkin juga menyukai