Anda di halaman 1dari 12

KEBUDAYAAN ISLAM DI SULAWESI

KELOMPOK 3
A Muh Jaelani Angga Gunawan M (F021221030)
Andi Alif Nabhaan Marwan (B011221076)
Citra Lestari (B011221077)
Mudmainnah Meinawir. H (B011221078)
Dhini Maulidya R.Noch (B011221079)
Muh. Zulkifli Nur Hariru ( B011221080 )
DAFTAR ISI
BAB I

PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Masuknya Islam pertama kali pada Indonesia masih banyak diperdebatkan
asal-usulnya, ada yang menyebutkan orang Arab yang pertama menyebar Islam di
Indonesia dan ada juga yang berpendapat bahwa orang India yang
menyebarkannya terlebih dahulu. Menurut Snouck Horgounje, orang Indialah
yang pertama kali membawa Islam ke Indonesia menjelang akhir abad ke-13
Masehi. Pendapat ini sekaligus menjawab dari daerah mana Islam berasal.
Pendapat ini didukung oleh Van Bonkel seorang Profesor asal Belanda dengan
menunjukkan adanya pengaruh bahasa Tamil dalam bahasa Indonesia yaitu
adanya istilah “lebai” yang berasal dari “labbai” atau “lappai” yang artinya
pedagang dalam bahasa Tamil. Meski sama-sama mendukung pendapat Snouck
Horgrounje, O’Sullivan tidak sepakat bahwa adanya istilah bahasa Tamil dalam
bahasa Melayu menjadi alasan bahwa orang Indialah yang membawa Islam ke
Indonesia.1
Menurut Tregonning sendiri, orang Arab berperan dalam pelayaran dan
perdagangan. Menurutnya, lama sebelum Islam datang, pedagang Arab telah
menguasai perdagangan hampir di semua pelabuhan India, dan dari pelabuhan
India inilah pedagang Arab menguasai perdagangan rempah-rempah dan
membawa Islam ke Asia Tenggara. Hal inilah yang membuatnya berpendapat
bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia melalui orang Arab.2
Di Pulau Sulawesi, Islam menyebar melalui hubungan Kerajaan-Kerajaan
setempat dengan para Ulama dari Mekkah dan Madinah, yang sebelumnya pula
sempat singgah di Hadramaut untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh
pelosok Nusantara. Selain itu, pengaruh dari para ulama Minang di wilayah
Selatan pulau Sulawesi turut mengantarkan Kesultanan Gowa dan Kesultanan
Bone untuk memeluk agama Islam.Sementara itu, pengaruh dari Kesultanan
Ternate turut berperan penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Sulawesi
bagian tengah dan Utara. Salah satu buktinya adalah eksistensi Kesultanan
Gorontalo sebagai salah satu Kerajaan Islam paling berpengaruh di Semenanjung
Utara Sulawesi hingga ke Sulawesi bagian Tengah dan Timur. Selain pengaruh
Kesultanan Ternate, Ulama-Ulama besar yang hijrah ke wilayah jazirah utara dan
tengah Sulawesi pun turut mempercepat penyebaran agama Islam di wilayah ini.3

1
Nasution, F. (2020). Kedatangan dan Perkembangan Islam ke
Indonesia. MAWAIZH JURNAL DAKWAH DAN PENGEMBANGAN SOSIAL
KEMANUSIAAN, 11(1), 26-46.
2
Ibid.
3
Mujib, A. (2021). Sejarah Masuknya Islam Dan Keragaman Kebudayaan Islam
Di Indonesia. Jurnal Dewantara, 11(01), 117-124.
Masuknya ajaran Islam ke Sulawesi tentunya menyebabkan adanya
dampak berupa perubahan, mulai dari sistem ekonomi, sistem bermasyarakat,
hingga kebudayaan asli yang di mana di antara kebudayaan-kebudayaan tersebut,
ada yang hilang atau berhenti dilakukan karena bertentangan dengan nilai agama
Islam dan ada juga yang melebur sehingga tetap mempertahankan nilai
kebudayaan aslinya dengan adanya nilai-nilai Islam yang dicampurkan ke
dalamnya.
Salah satu contoh kebudayaan pada Sulawesi yang muncul karena
masuknya ajaran Islam, dapat kita lihat dari Sulawesi Selatan antara lain perayaan
Hari Maulid Nabi Muhammad Saw. dan Barazanji yang dilaksanakan di hamper
seluruh acara yang dilakukan oleh masyarakat Bugis-Makassar yang beragama
Islam. Sebelumnya merupakan salah satu dari banyaknya kebudayaan-kebudayaan
yang muncul karena masuknya ajaran Islam, selanjutnya akan dibahas lebih
mendalam dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana masuknya ajaran Islam pada Pulau Sulawesi?
2. Bagaimana dampak masuknya ajaran Islam pada kebudayaan-kebudayaan yang
ada pada Pulau Sulawesi?
3. Bagiamana contoh kebudayaan Islam yang terbentuk pada Pulau Sulawesi?
C. Tujuan Makalah
1. Menjelaskan alur masuknya ajaran Islam pada Pulau Sulawesi
2. Menjelaskan dampak masuknya ajaran Islam pada kebudayaan-kebudayaan
yang ada pada Pulau Sulawesi
3. Menjelaskan contoh kebudayaan Islam yang terbentuk pada Pulau Sulawesi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masuknya Ajaran Islam di Sulawesi
Perkembangan Islam dinusantara bisa dilihat dari banyaknya kerajaan
yang berdiri dari pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi awal mula
masuknya Islam ini pastinya diawali dengan jalur perdagangan yang mengikat
kerja sama antara satu sama lain kondisi perkembangan Islam di Nusantara sangat
baik dari pada bangsa Melayu yang lainnya. Sebelum Islam datang ke Indonesia,
Bangsa India yang sudah lebih dulu menyebarkan agama Hindu Buddha. Setelah
itu, datanglah para pedagang dari arab yang menyebarkan dakwa dan ajaran
agama Islam sehingga masuk ke kawasan wilayah kerajaan.
Agama Islam masuk ke Sulawesi sejak abad ke-16, yang menjadi pusat
peradaban Islam di Sulawesi adalah Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa secara
geografis, terletak di daerah Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan saat ini.
Islam masuk ke dalam kerajaan tersebut pada saat masa kekuasaan Sombayya Ri
Gowa I Mangngarrangi Daeng Mangrabia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin
Awalul Islam raja Gowa ke-14. Sultan Alaudin al Awwal dan Perdana Menteri
atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa adalah orang kerajaan pertama yang
memeluk Islam pada tahun 1603.
Walaupun Sultan Alaudin Al Awwal baru memeluk Islam pada tahun 1603,
namun menurut catatan Company Dagang Portugis yang datang pada tahun 1540
saat datang ke Sulawesi, Pada tahun itu, di tanah Sulawesi sudah bisa ditemui
pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan
dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Gowa yang beribu
negeri di Makassar. Meski telah masuk sejak abad ke 16, Islam baru mengalami
perkembangan pesat pada abad ke-17 setelah raja-raja Gowa dan Tallo
menyatakan diri masuk Islam. Islam dinyatakan resmi sebagai agama kerajaan
Gowa pada tanggal 9 Jumadil Awal 1051 H / 20 September 1605 M.
Setelah menjadikan Islam agama resmi pada awal abad ke-17 M,
Kesultanan Gowa memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di wilayah
Sulawesi. Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menaklukkan beberapa kerajaan di Pulau
Sulawesi. Salah satu tujuannya untuk melakukan Islamisasi.
Menurut Lontara, catatan raja-raja Gowa-Tallo pada masa pemerintahan
Raja Gowa X (1546-1565), Tunipalangga, telah ditemukan sebuah perkampungan
Muslim di Makassar, yang penduduknya terdiri dari pedagang Melayu yang
berasal dari Campa, Patani, Johor, dan Minangkabau.
Berdasarkan catatan itu pula, pada masa pemerintahan Tunijallo (1565-
1590) telah didirikan sebuah masjid di Mangallekanna, tempat para pedagang itu
bermukim. Kehadiran para pedagang Muslim tersebut membawa pengaruh
terhadap penduduk setempat. Di antara mereka ada yang tertarik dengan ajaran
Islam. Berawal dari sinilah kemudian ajaran Islam berkembang luas di seluruh
wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo.
Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan, menurut Ensiklopedi Islam, melalui
dua tahapan. Pertama, secara tidak resmi penyebaran Islam terjadi melalui jalur
perdagangan. Banyak pedagang asal Sulawesi yang berdagang ke luar pulau dan
bertemu dengan para saudagar Muslim. Lewat pertemuan itu, para saudagar
Sulawesi memeluk Islam.
Selain itu, banyak pula pedagang Muslim dari luar Sulawesi yang berniaga
di wilayah itu. Mereka berdagang sambil melakukan syiar Islam. Dari proses ini,
banyak penduduk setempat yang akhirnya tertarik untuk belajar agama Islam dan
akhirnya menjadi Muslim.
Tidak hanya menyebar di pulau Sulawesi melalui hubungan dagang, Islam
juga menyebar melalui dakwah para Ulama Kerajaan Goa. Beberapa ulama
Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan
aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang,
datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para
ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal
Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang
melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng,
Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.

B. Dampak Masuknya Ajaran Islam pada Kebudayaan-Kebudayaan yang Ada


pada Pulau Sulawesi

Jauh sebelum datangnya Islam yang disebarkan melalui perdagangan,


sistem kepercayaan masyarakat di Sulawesi Selatan lebih menitikberatkan pada
keruhanian (Mappangara dan Abbas, 2003:35), seperti kepercayaan tradisional
yang meyakini adanya adanya sosok dewa yang tunggal (Dewata SewwaE).
Sistem kepercayaan yang dinamakan attorioloang atau yang berarti “anutan
leluhur” itu telah dipegang teguh selama berabad-abad oleh masyarakat Sulawesi
Selatan. Tidak jarang pula attorioloang digunakan sebagai agama masa lampau
aatau agama yang sudah kuno lalu setelahnya mulai menemukan kepercayaan atau
agama yang baru (Islam) sebagai agama modern.
Melihat pola penyebaran Islam di Sulawesi Selatan menggunakan
pendekatan politik sebagai saluran Islamisasi. Hal ini dapat dipahami, karena
walaupun telah satu abad atau lebih islam ke Sulawesi Selatan, namun belum
mampu diterima secara masif oleh masyarakat sebab faktor raja mereka tidsk
beragama Islam. Jalur perdagangan serta pendekatan kultural belum bisa dilihat
keefektivitasannya, sehingga pendekatan melalui politik menjadi penentu utama
keberhasilan Islamisasi di Sulawesi Selatan.
Dari proses Islamisasi melalui pendekatan politik itulah yang membuat
kehadiran Islam tampil sebagai pemersatu dari kerajaan-kerajaan untuk
selanjutnya mengintegrasikan diri ke dalam persekutuan masyarakat secara lebih
luas. Masyarakat Islam di kerajaan Bone, Luwu, Gowa serta kerajaan-kerajaan
lokal yang baru untuk bersatu di bawah naungan agama yang baru pula.
Islamisasi dalam pendekatan politik dan birokratis membawa konsekuensi
terhadap keharusan kompromi-kompromi. Yang pertama ialah dengan sistem
pemerintahan yng sedang diberlakukan, alu yang kedua ialah kompromi dengan
aspek-aspek pangngaddareng sebagai pranat, sistem sosial, serta budaya
masyarakat Sulawesi Selatan.
Proses penyebaran Islam dalam artian penerapan dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat Bugis-Masyarakat tidak seringkas penerimaannya kepada Islam
sebagai anutan formal. Proses syahadat tidak serta mengubah kepercayaan
maupun struktur sosial di masyarakat. Bahkan menurut Anthony Reid, mengutip
pendapat Kooreman, sampai abad ke-19 masyarakat Bugis-Makassar masih
menyembah arajang atau kalompoang lebih dari mereka menyembah Allah dan
Rasul-Nya (Ahmad, 2008:60). Dengan demikian proses penyebaran Islam masih
terus berlanjut bahkan saat Islam sebagai agama secara formal telah diterima
secara massif oleh masyarakat Bugis-Makassar.
Diterimanya Islam oleh masyarakat Sulawesi Selatan, maka beberapa
sendi kehidupan masyarakat mengalami warna baru yang dapat ditemukan dalam
pola-pola sosial, sistem budaya, hingga birokrasi kepemimpinan yang mengalami
perubahan. Kedatangan Islam sendiri memunculkan pemahaman yang baru bahwa
Islam datang untuk memperkuat adat yang baik serta merombak adat yang tercela.
Keseluruhan sendi kehidupan pribadi maupun sosial masyarakat, sedikit-
banyaknya mengalami pengaruh ajaran Islam.
Dalam hal paradigma kebudayaan, masyakata Bugis-Makassar menganut
konsep siri’. Konsep tersebut mngintegrasikan secara organis terhadap semua
unsur pokok dari pangngaerreng. Berdasarkan hasil penelitian para ahli ilmu
sosial, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep siri’ itu meliputi banyak aspek
dalam kehidupan bermasyarakat dan berkebudayaan dari masyarakat Bugis-
Makassar sendiri. Siri’ secara harfiah artinya malu, dalam artian malu sebagai
perasaan, keadaan, menyesali diri, noda, aib, atau harga diri (Rahim, 2011:139).
Siri’ ialah harga diri yang dijadikan esensi identitas kemanusiaan berdasarkan
budaya Sulawesi Selatan. Siri’ merupakan nilai dasar masyarakat Bugis-Makassar.
Maka siri’ dalam pandangan budaya di Sulawesi Selatan mampu disejajarkan
dengan nilai dasar moralitas kemanusiaan yang sifatnya universal. Dengan
masuknya Islam ke dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan, maka semakin
mempertegas makna dari siri’ sebagai nilai moral serta harga diri yang sudah
seharusnya dipertahankan dan dijunjung tinggi. Islam sendiri memberikan
justifikasi nilai teologis terhadap hakikat siri’ serta unsur-unsur normatif yang
juga sejalan dengan syariat Islam. Konsep dari siri’ mengalami penyesuaian
dengan konsep maupun nilai terdalam kemanusiaan menurut Islam.
Begitu kentalnya akulturasi Islam dan budaya sehingga apabila kita
membahas mengenai hal-hal metafisis maka akan sulit dibedakan antara sutifik
Islam dengan tradisi lokal pada tataran suatu ritual, oleh sebab itu akulturasi
tersebut akan nyata terlihat. Misalnya, ritual naik rumah baru pra Islam digantikan
oleh pembacaan Barzanji. Dalam tradisi lokal, telur memiliki makna yang
filosofis sebagai penanda kelahiran dan kehidupan. Akan tetapi, untuk
memperkenalkan masyarakat untuk lebih mengenal Nabinya melalui Maulid,
maka di tengah Mesjid dipasang telur yang telah dihias yang selanjutnya
diperebutkan dengan harapan memperoleh berkah dari Nabi.

C. KEBUDAYAAN ISLAM DI PULAU SULAWESI


Seiring masuk dan berkembangnya agama islam di pulau Sulawesi, budaya-
budaya yang hidup sejak zaman nenek moyang mulai mengalami akulturasi. diantaranya
ialah :
1. Mabbarasanji (barzanji)

Mabbarasanji adalah salah satu ritual yang sampai sekarang masih terjaga
di pulau Sulawesi. Mabbarasanji sendiri adalah pembacaan kitab barzanji
pada perayaan-perayaan tertentu seperti pada acara Mulid Nabi, aqiqah,
khitanan, ataupun pada acara-acara syukuran seperti syukuran rumah
baru, kepemilikan harta, dsb. Barzanji sendiri adalah kitab yang
menjelaskan mengenai sejarah perjalanan serta puji-pujian akan Nabi
Muhamaad SAW.

Sebelum masuknya islam ke Pulau Sulawesi, para nenek moyang telah


melaksanakan ritual pemanjatan syukur ataupun pada ritual-ritual sakral
yang serupa dengan barzanji, yaitu pembacaan kitab La Galigo. Namun,
kedatangan penyebar Islam ke Bugis saat itu menyebabkan perubahan
secara bertahap. Awalnya, pembacaan kitab La Galigo pada ritual-ritual
tetap dipertahankan dengan menyertakan kitab Barzanji. Namun, seiring
berkembangnya waktu pembacaan Barzanji benar-benar menggantikan
kitab La Galigo.
Resepsi masyarakat Bugis terhadap kitab barzanji yang menggntikan
kitab La Galigo bisa jadi karena adanya kemeripan dari kedua kitab
tersebut, dari segi estetika kedua kitab ini sama-sama memiliki nilai seni
yang tinggi dengan masing-masing karakter rima sebagai epos dan syair.
Juga keduanya bisa dijadikan Elong yaitu pembacaan dengan anda
tertentu yang bisa dinikmati.

2. Ma’Baca

Ma’Baca adalah tradisi pemanjatan atau ungkapan doa terhadap pada


arwah leluhur yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu misalnya pada
saat menyambut bulan ramadhan juga saat menyambut Hari Raya Idul
Fitri. Di beberapa daerah Pulau Sulawesi, Ma’baca sebelum Hari Raya
Idul Fitri juga dirangkaikan dengan penyerahan zakat kepada imam
masjid yang sekaligus dipercayai keluarga sebagai seseorang yang
memimpin doa.

3. Mappacci

Mappaci adalah salah satu rangkaian pelaksanaan pesta perkawinan yang


bermakna pensucian diri. Mappacci sendiri berarti mencusikan. Islam
pun mengehendaki adanya kesucian lahir batin dari kedua calon
pengantin, yakni dengan cara menamatkan bacaan Al-Qur’an. Hal ini
bertujuan agar masing-masing calon mempelai bisa meresapkan nilai-
nilai yang terkadung di dalam Al-Qur’an.

Peralatan-peralatan yang digunakan dalam prosesi Mappacci juga


memiliki nilai filosofis yang tinggi, seperti :
 Daun pisang, dimaknai sebagai buah yang kaya akan
manfaat yang berarti islam sangat memberikan tempat
kepada manusia yang berguna bagi sesama .
 Daun Nangka, memiliki arti simbolik “memiliki harapan
dan cita-cita” yang bermaksud bahwa Islam memberikan
apresiasi tinggi kepada manusia yang bercita-cita tinggi
dan selalu optimis dalam hidupnya.
 Sarung dimaknai sebagai simbol harapan untuk tetap
bersatu dan istiqamah.

Kebudayaan Islam pertama kali masuk ke Sulawesi pada abad ke-15 Masehi
melalui para pedagang Arab dan Persia yang melakukan perdagangan di wilayah
tersebut. Penyebaran agama Islam di Sulawesi kemudian dipercepat oleh ulama-
ulama dari berbagai daerah di Indonesia yang menyebarluaskan ajaran Islam dan
membentuk masyarakat muslim yang semakin berkembang di sana. Kebudayaan
Islam yang berkembang di Sulawesi memiliki ciri khas yang berbeda dengan
daerah lainnya, seperti adanya tradisi adat yang masih dipertahankan dalam
masyarakat muslim Sulawesi, misalnya upacara adat yang dilakukan saat
pernikahan atau upacara kematian yang masih diiringi dengan bacaan doa-doa
Islam. Selain itu, seni ukir dan seni sulam juga menjadi ciri khas kebudayaan
Islam Sulawesi yang terus dilestarikan hingga saat ini.
Selain itu, kebudayaan Islam di Sulawesi juga mempengaruhi bahasa dan
sastra di daerah tersebut. Bahasa Arab dan Melayu dipadukan dengan bahasa asli
Sulawesi dalam bahasa percakapan sehari-hari maupun dalam sastra, seperti puisi
atau lagu-lagu tradisional. Adapun literatur Islam di Sulawesi yang terkenal
adalah "La Galigo", sebuah epik yang ditulis dalam bahasa Bugis yang bercerita
tentang mitos penciptaan dunia dan kehidupan manusia. Kebudayaan Islam di
Sulawesi juga turut mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat, seperti adanya
aturan dalam hal berpakaian dan pergaulan yang mengacu pada ajaran Islam.
Meskipun begitu, kebudayaan Islam di Sulawesi masih mampu berbaur dengan
kebudayaan lokal yang ada, sehingga tercipta sebuah harmoni dalam keberagaman
budaya di Sulawesi.
Masuknya Islam ke Sulawesi juga membawa perubahan dalam sistem
pemerintahan. Sebelum Islam masuk, Sulawesi telah memiliki berbagai kerajaan,
seperti Kerajaan Gowa, Wajo, Bone, dan masih banyak lagi. Namun, setelah Islam
masuk, sistem pemerintahan di Sulawesi berubah menjadi sistem kesultanan, di
mana raja-raja di Sulawesi memeluk agama Islam dan diangkat menjadi sultan
yang memimpin wilayah mereka. Salah satu kesultanan Islam yang terkenal di
Sulawesi adalah Kesultanan Gowa-Tallo, yang didirikan pada abad ke-16 Masehi
dan bertahan hingga abad ke-19 Masehi. Kesultanan ini menjadi pusat
pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam di Sulawesi, di mana
terdapat lembaga pendidikan agama yang menghasilkan ulama-ulama terkemuka
di Indonesia, seperti Abdul Rauf Singkel dan Nuruddin al-Raniri.
Secara keseluruhan, masuknya Islam ke Sulawesi membawa pengaruh yang
signifikan dalam kebudayaan, sistem pemerintahan, dan kehidupan masyarakat di
sana. Kebudayaan Islam yang terus berkembang dan dijaga hingga saat ini
menjadi bukti bahwa Islam telah menjadi bagian dari keberagaman budaya
Sulawesi dan mampu berdampingan dengan kebudayaan lokal yang ada di sana.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Masuknya Islam pertama kali pada Indonesia masih banyak diperdebatkan
asal-usulnya, ada yang menyebutkan orang Arab yang pertama menyebar Islam di
Indonesia dan ada juga yang berpendapat bahwa orang India yang
menyebarkannya terlebih dahulu. Menurut Snouck Horgounje, orang Indialah
yang pertama kali membawa Islam ke Indonesia menjelang akhir abad ke-13
Masehi.
1. Sejarah Perkembangan Islam di Sulawesi
Agama Islam masuk ke Sulawesi sejak abad ke-16, yang menjadi pusat
peradaban Islam di Sulawesi adalah Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa secara
geografis, terletak di daerah Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan saat ini.
Islam masuk ke dalam kerajaan tersebut pada saat masa kekuasaan Sombayya Ri
Gowa I Mangngarrangi Daeng Mangrabia Karaeng Lakiung Sultan Alauddin
Awalul Islam raja Gowa ke-14.
Dalam perkembangan Islam di Sulawesi, diketahui bahwa ada tiga kerajaan
besar yang memeluk agama Islam di Sulawesi, yaitu Kerajaan Gowa, Bone, dan
Tallo. Ketiga kerajaan ini menjadi pusat penyebaran agama Islam di Sulawesi.
Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan, menurut Ensiklopedi Islam, melalui
dua tahapan. Pertama, secara tidak resmi penyebaran Islam terjadi melalui jalur
perdagangan. Banyak pedagang asal Sulawesi yang berdagang ke luar pulau dan
bertemu dengan para saudagar Muslim. Lewat pertemuan itu, para saudagar
Sulawesi memeluk Islam.

2. Budaya Islam di Sulawesi


Kebudayaan Islam di Sulawesi sangat beragam, mulai dari seni, musik, tari,
hingga arsitektur bangunan. Beberapa hal yang menjadi ciri khas dari kebudayaan
Islam di Sulawesi antara lain:

a. Mabbarasanji (barzanji)

Mabbarasanji adalah salah satu ritual yang sampai sekarang masih terjaga di
pulau Sulawesi
b. Ma’baca

Ma’Baca adalah tradisi pemanjatan atau ungkapan doa terhadap pada arwah
leluhur yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu misalnya pada saat
menyambut bulan ramadhan juga saat menyambut Hari Raya Idul Fitri.

c. Ma’pacci

Mappaci adalah salah satu rangkaian pelaksanaan pesta perkawinan yang


bermakna pensucian diri. Mappacci sendiri berarti mencusikan. Islam pun
mengehendaki adanya kesucian lahir batin dari kedua calon pengantin,
yakni dengan cara menamatkan bacaan Al-Qur’an.

3.2. Saran

Dalam mengembangkan kebudayaan Islam di Sulawesi, beberapa hal


yang perlu diperhatikan antara lain:

a. Menjaga Kelestarian Budaya Lokal


Dalam mengembangkan kebudayaan Islam di Sulawesi, perlu juga
menjaga kelestarian budaya lokal sebagai bentuk penghormatan terhadap
leluhur dan khasanah kebudayaan yang ada di Sulawesi.
b. Memperkenalkan Kebudayaan Islam di Sulawesi ke Masyarakat
Luas
Salah satu cara untuk mengembangkan kebudayaan Islam di
Sulawesi adalah dengan memperkenalkan kebudayaan tersebut kepada
masyarakat luas. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan
pariwisata dan promosi budaya di berbagai media.
c. Peningkatan Kualitas Pendidikan
Peningkatan kualitas pendidikan di Sulawesi menjadi hal yang
penting dalam mengembangkan kebudayaan Islam di daerah tersebut.
Dalam hal ini, pendidikan agama dan pesantren dapat menjadi bagian
penting dalam pengajaran dan penyebaran nilai-nilai kebudayaan
Islam di Sulawesi.

Anda mungkin juga menyukai