Anda di halaman 1dari 14

Jalur Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia

Sejak awal abad Masehi, wilayah Indonesia telah banyak dikunjungi oleh para pedagang
dari berbagai negara. Hal ini karena Indonesia merupakan daerah penghubung perdagangan dan
pelayaran antara Asia Barat, Asia Selatan, dan Asia Timur (Cina). Daerah yang banyak
dikunjungi oleh para pedagang muslim adalah malaka yang letaknya sangat strategis di tengah-
tengah jalur perdagangan dan pelayaran internasional. Oleh karena itu, agama Islam berkembang
pesat di wilayah Malaka. Dari Malaka, agama Islam tersebar luas ke berbagai wilayah di
Indonesia, antara lain ke Pulau Jawa, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat.  Saat Kerajaan
Sriwijaya mengalami kemunduran pada abad ke- 11 M, agama Islam mengalami perkembangan
pesat. Sampai pada abad ke-18 M, hampir semua wilayah pantai Sumatra telah menerima
pengaruh Islam termasuk daerah pedalaman. Di Jawa, Islam mulai masuk pada abad ke-7 M.
Penyebaran agama Islam di Jawa mengalami perkembangan yang pesat ketika kekuasaan
Majapahit mengalami kemunduran pada abad ke- 15 M. Seluruh wilayah Pulau Jawa sampai
dengan abad ke- 18 M telah menerima pengaruh Islam.

Di Kalimantan, Islam mulai masuk pertama kali di Kalimantan Barat (Sukadana) pada
awal abad ke-16 M. Islam dibawa oleh para pedagang muslim dari wilayah Sumatra. Di
Kalimantan Selatan (Banjar), Islam mulai masuk pada tahun 1550 M dari Demak. Adapun
wilayah Kalimatan Tirnur (Kutai) menerima pengaruh Islam dari Makassar pada tahun 1575 M.
Daerah-daerah sepanjang pantai Pulau Kalimantan sämpai dengan abad ke- 18 M telah menerima
pengaruh Islam. Di Sulawesi, pengaruh Islam mulai muncul pada abad ke- 16 M. 

Wilayah pertama yang menerima pengaruh Islam adalah Gowa. Dari Gowa, Islam
menyebar ke wilayah Gorontalo. Adapun wilayah Sulawesi Tenggara mendapat pengaruh Islam
dari Ternate. Sampai dengan abad ke- 18 M, wilayah di Sulawesi yang mendapat pengaruh Islam
makin meluas. Hanya wilayah Sulawesi Tengah (Toraja) dan Sulawesi paling utara saja yang
belum terpengaruh Islam. Wilayah Maluku menerima pengaruh Islam dan Pulau Jawa, terutama
dari Gresik. Islam masuk wilayah Maluku pada pertengahan abad ke-15 M. Pengaruh Islam di
Maluku sampai dengan abad ke- 18 M makin meluas ke berbagai pulau. Namun, Pulau Seram
bagian timur dan pulau-pulau sebelah timurnya belum dipengaruhi oleh Islam. Dari Maluku,
agama Islam menyebar ke Nusa Tenggara. Agama Islam, masuk ke wilayah Nusa Tenggara
dibawa oleh para pedagang Bugis dan pedagang dari Jawa sejak abad ke-16 M. Perkembangan
Islam yang paling pesat terjadi di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Di Pulau Sumbawa telah
berdiri kerajaan Islam yang berpusat di Bima.
JALUR PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA MENURUT FASE NYA

 Fase perdagangan

Islam masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan di perkirakan abad ke-7 M sampai
dengan abad ke-11 M, begitu pula perkembangan Islam. Melalui para pedagang dari luar
Indonesia maupun pedagang Indonesia sendiri, Islam disebarkan di pelabuhan-pelabuhan
sepanjang jalur perdagangan, misalnya di sekitar selat Malaka, Samudra, Palembang, menyusul
Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, serta Indonesia Timur.
Agama Islam tersebar pertama kali di pulau Sumatera kira-kira abad ke-7 M (abad I H). Yang
mana disebabkan letak geografinya dan dalam alur pelayaran serta adanya pelabuhan alam yang
menjadi persinggahan para pedagang, baik untuk memasarkan atau untuk mencari barang
dagangan.
Penyebaran agama Islam di Sumatera secara intensif diperkirakan bersamaan waktunya dengan
kemunduran Sriwijaya dan berdirinya Kerajaan-Kerajaan Islam di Perlak dan Samudera Pasai.
Proses penyebaran agama Islam di daerah Minangkabau pada akhir abad ke-14 dan 15 M sudah
memperoleh pengikut yang amat banyak, sekalipun masih ada hambatan dari penguasa yang
masih beragama Hindu. Agama Islam terus menyebar ke daerah-daerah lain sampai ke daerah-
daerah yang dihuni oleh suku Batak, Daerah ini di-Indonesiakan oleh orang Aceh. Sedang orang-
orang Batak di daerah pesisir banyak yang masuk Islam karena pengaruh orang-orang suku
Melayu.
Untuk mengetahui lebih jauh, penduduk daerah pesisir yang secara ekonomi bergantung pada
perdagangan Internasional, cenderung menerima Islam dalam rangka mempertahankan para
pedagang muslim yang sudah berada di Nusantara sejak kurang lebih abad ke-7 M untuk tetap
mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka. Dengan masuk islam, penguasa
local pada batas tertentu mengadopsi aturan-aturan perdagangan Islam untuk digunakan dalam
masyarakat pelabuhan sehingga pada gilirannya akan menciptakan suasana yang mendukung
bagi perdagangan. Contoh kasus ini adalah Konversi penguasa Malaka, Prameswara, yang
agaknya menerima Islam demi menarik kedatangan para pedagang muslim ke pelabuhannya
yang baru di bangun.

 Fase perkawinan

Penyebaran agama Islam juga ditempuh melalui perkawinan. Cara ini ditempuh oleh para
penyebar sekitar abad ke-11 M sampai dengan abad ke-13 M. Para pedagang Gujarat, Benggala,
Arab, dan sebagainya kawin di Indonesia. Karena mereka orang-orang kaya dan terhormat maka
mereka memperistri orang-orang terhormat, raja-raja, pejabat-pejabat, dan sebagainya.
Cara ini ternyata cukup strategis, sebab wanita yang dikawin oleh para penyebar Islam itu di
Islamkan terlebih dahulu, dan ini merupakan modal pada usaha penyebaran Islam. Sekalipun
pendekatan lewat perkawinan ini tidak selalu berhasil, seperti Maulana Ishaq tidak berhasil
mengislamkan raja dan rakyat blambangan, tetapi pada umumnya usaha ini banyak dipakai oleh
para penyebar Islam maupun oleh para pedagang muslim, dan hasilnya diakui banyak keluarga-
keluarga pihak istri yang masuk Islam dan menjadi tulang punggung usaha penyebaran Islam
selanjutnya. Dalam cerita babad dikenal perkawinan antaara Sunan Ampel dengan Nyi Gede
Manila putri Tumenggung Wilatikta. Sayyid Abdurrahman seorang muslim Arab kawin dengan
Putri Raden Ariya Teja putri Aria Dikara (Bupati)Tuban, Sunan Gunung Jati kawin dengan Putri
Kawunganten serta Sunan Giri kawin dengan putri Ki Ageng Bungkul penguasa (bangsawan)
Majapahit di Surabaya. Banyak pedagang-pedagang muslim yang kawin dengan anak-anak
bangsawan atau wanita-wanita rakyat biasa. Usaha ini sering juga didukung dengan keahlian
menyembuhkan penyakit , seperti peristiwa Maulana Ishaq sendiri dan Syekh Nuruddin Ibrahim
dari Cirebon.

 Fese Akulturasi Budaya

Kurang lebih abad ke-12 M sampai dengan abad ke-14 M, cara akulturasi budaya
ditempuh untuk memberi kesan adanya persesuaian dan agar masyarakat tidak merasa adanya
keterpaksaan dalam memeluk agama Islam. Seperti cara para Sunan wali songo dalam
menyebarkan agama Islam melalui seni wayang, lagu-lagu, permainan dan lain sebagainya.
Menjelang masuknya Islam di Indonesia telah ada kebudayaan baru hasil akulturasi antara
budaya Indonesia dan budaya Hindu, yaitu melalui Akulturasi kebudayaan. Setelah islam masuk
dengan nilai-nilai budaya maka terjadi lagi akulturasi kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan
Islam. Akhirnya, lahirlah corak kebudayaan baru dalam kebudayaan Indonesia.
Segi bangunan, terutama sekali dalam bentuk bangunan masjid dengan corak baru beratap
tumpang yaitu atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil. Jumlah susunannyua ganjil,
tiga ada juga yang lima. Di Bali atap tumpang masih di pakai untuk kuil corak baru pada
bangunan masjid pada jaman Madya adalah tudak adanya menara (kecuali masjid Kudus dan
masjid Banten).
Segi makam, dalam perkembangannya bentuk makam islam masih terpengaruh pola lama
sebelum Islam, yaitu terletak pada tempat yang dianggap suci, agak tinggi atau kalau di tempat
yang latar diberi undak-undak seperti punden berundak di jaman pra sejarah. Makam biasanya
diberi cungkup (rumah), bagaikan menggantikan funsi candi dimasa sebelum Islam dalam
makam yang baru biasanya diberi atau dilengkapi masjid.

 Fase Kerajaan
Pada abad ke-13 M, di pesisir aceh sudah ada pemukiman muslim. Persentuhan antara
penduduk pribumi dengan pedagang muslim daari Arab, Persia, dan India memang pertama kali
terjadi di daerah ini. Karena itu, proses Islamisasi sudah berlangsung sejak persentuhan itu
terjadi. Dengan demikian, kerajaan Islam pertama berdiri di Kepulauan Nusantara di Aceh.
Kerajaan Samudera Pasai berdiri pada Abad ke-13 M. Setelah kerajaan Islam ini berdiri,
perkembangan masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke-
15 M, di daerah ini lahir Kerajaan Islam yang kedua di Asia Tenggara. Kerajaan ini cepat
berkembang, bahkan dapat mengambil alih dominasi pelayaran dan perdagangan dari kerajaan
Samudra Pasai yang kalah bersaing.
Dapat diketahui bahwa daerah-daerah di bagian pesisir Sumatera Utara dan Timur selat Malaka,
yaitu dari Aceh sampai Palembang sudah banyak terdapat masyarakat dan Kerajaan-kerajaan
Islam. Sementara di Jawa, proses Islamisasi sudah berlangsung, sejak Abad ke-11 M, meskipun
belum meluas, terbukti dengan diketemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik
yang berangka tahun 475 Hijriyah.
Berita tentang Islam di Jawa pada Abad ke-11 M memang masih langka. Akan tetapi,
sejak akhir Abad ke-13 M dan abad-abad berikutnya, terutama ketika majapahit mencapai
puncaknya, bukti-bukti adanya proses Islamisasi sudah banyak, dapat ditemukannya beberapa
puluh nisan kubur di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Bahkan di pusat Majapahit maupun di
pesisir, terutama di kota-kota pelabuhan, telah terjadi proses Islamisasi dan sudah pula terbentuk
masyarakat muslim.

 Fase para dewan wali sembilan (songo)

Banyak cerita tradisional mengenai para wali, yaitu orang yang saleh yang diduga telah
menyebarkan agama Islam di Jawa. Dikisahkan kehidupan, mukjizat, dan keyakinan mereka
dibidang mistik Islam dan Teologi. Wali-wali di Jawa kabarnya berpusat di masjid Demak,
masjid yang mereka dirikan bersama. Disitulah mereka agaknya mengadakan pertemuan untuk
bertukar pikiran tentang pengembangan ajaran agama Islam di Jawa. disamping oleh para
pedagang penyebaran agama Islam juga dilakukan oleh para wali atau utusan dengan melakukan
dakwah-dakwah (sekitar awal Abad ke-15 M). Selain para wali memiliki pengetahaun tentang
agama Islam, Ia juga dianggap memiliki pengetahuan tentang ilmu mujizat (ajaib atau yang dapat
menimbulkan keheranan).
Wali yang sembilan adalah dipercayai oleh orang Jawa sebagai peletak dasar batu pertama
ditanah Jawa. Meskipun pribadi para wali itu sudah di selimuti oleh berbagai dongeng, namun
cerita-cerita dongeng tersebut banyak memberikan pertolongan kepada kita didalam
membuktikan bahwasannya meskipun telah menerima Islam, orang Jawa belum sampai hati
membuang sama sekali sisa-sisa dari pada kepercayaan yang lama.
Adapun para wali tersebut adalah :
1) Maulana Malik Ibrahim, disebut juga Maulana Magribi atau jumadil kubro yang kabarnya
berasal dari Persia dan kemudian berkedudukan di Gresik.
2) Sunan Ampel, yang semula bernama Raden Rahmat berkedudukan di Ampel dekat Surabaya.
3) Sunan Bonang, yang semula bernama Makdum Ibrahim, putra Raden Rahmat dan
berkedudukan di Bonang, dekat Tuban
4) Sunan Drajat, yang semula bernama Munat yang merupakan anak dari Raden Rahmat
berkedudukan di Drajat dekat Sedayu, Surabaya.
5) Sunan Giri, yang semula bernama Raden Paku, murid Sunan Ngampel berkedudukan di bukit
Giri dekat Gresik.
6) Sunan Muria, yang berkedudukan di Gunung Muria di daerah Kudus.
7) Sunan Kudus yang semula bernama Udung berkedudukan di Kudus.
8) Sunan Kalijaga, yang semula bernama Joko Said berkedudukan di Kadilangu dekat Demak
9) Sunan Gunung Jati, yang semula bernama Fatahilah atau Faletehan yang berasal dari
Samudera Pasai dapat merebut Sunda Kelapa, Banten dan kemudian menetap di Gunung Jati
dekat Cirebon. 

F.       Proses Islamisasi di Jawa


Karena Indonesia memiliki titik-titik pangsa dagang yang amat diminati oleh para
pedagang, hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi sebuah perkumpulan dan perpaduan budaya-
budaya dunia yang dibawa oleh para pedagang. Pedagang-pedagang Islam khususnya, yang
berasal dari Arab, India ataupun Persia, telah menetap di Indonesia bahkan sebelum Islam
menjadi agama yang populer di kalangan masyarakat lokal. Pedagang-pedagang Islam dari Arab,
Persia, dan India sudah berdagang di Indonesia sejak abad ke-7 M, atau saat Islam mulai
berkembang di Timur Tengah.[5]
Masyarakat pribumi yang berada dalam kepulauan Indonesia mulai memeluk Islam pada
abad ke-13. Masyarakat Muslim tersebut telah tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Bukti-
bukti adanya masyarakat Muslim ini dapat ditemukan melalui prasasti-prasasti atau biasanya
nisan kubur dengan huruf Arab di atasnya.[6] Di Jawa, makam Fatimah binti Maimun di Leran
(Gresik) bertuliskan angka 475 H (1082 M). Para ahli sejarah berpendapat bahwa Fatimah binti
Maimun ini adalah istri dari seorang pedagang asing Muslim yang kebetulan sedang berdagang
di Jawa. Di bagian Utara Sumatera ke udian ditemukan nisan dari Sultan Sulaiman bin Abdullah
bin al-Basir yang diperkirakan merupakan bukti dari adanya suatu Kerajaan Islam di Aceh
sekaligus bukti dari hadirnya Islam di Indonesia pada abad 13.
Catatan dari Tome Pires (Portugis) dan Marcopolo (musafir Venesia), dalam catatannya
mengatakan bahwa adanya perkampungan Islam di bagian Utara Sumatera. Marcopolo sendiri
mengenal Perlak sebagai sebuah kota Islam. Seorang musafir Maroko, Ibn Battuta, dalam
perjalanannya menuju Cina saat melewati wilayah nusantara mendapati bahwa penguasanya
merupakan pengikut mazhab-fikih Syafi’i. Dalam bukunya Suma Oriental, Tome Pires
menyebutkan bahwa sebagian besar raja-raja di Sumatera telah beragama Islam, namun daerah
Jawa Barat yang saat itu masih dikuasai oleh kerajaan Hindu-Buddha yaitu Kerajaan Pajajaran,
malah memusuhi Islam.[7]
Makam-makam Islam yang berada di situs-situs Majapahit menunjukkan bahwa Islam
hadir ketika Majapahit sedang berada dalam puncak kejayaannya. Dan kemudian Islam
berkembang akibat hegemoni Majapahit yang mulai runtuh akibat perang perebutan kekuasaan
antara Wikramawhardana dan Bhre Wirabumi, sepeninggal Gajah Mada (1364 M) dan Hayam
Wuruk (1389 M). [8]
Di Jawa, penyebaran agama Islam dihadapkan kepada dua jenis lingkungan budaya
Kejawen, yaitu lingkungan  budaya istana (Majapahit) yang telah menyerap unsur Hinduisme
dan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih hidup dalam bayang-bayang animisme-
dinamisme, dan hanya lapisan luarya saja yang terpengaruh oleh Hinduisme. Disebutkan dalam
Babad Tanah Jawi bahwa raja Majapahit kala itu menolak kehadiran agama baru tersebut.
Sehingga kemudian para pendakwah menyebarkan Islam lebih menekankan dakwahnya kepada
masyarakat-masyarakat pedesaan.[9]
Islam sulit diterima oleh kalangan istana karena budaya Hindu mereka yang mengenal
kasta. Sedangkan Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat pedesaan karena mereka ingin
hidup terlepas dari kasta yang selama ini membelenggu mereka. Mereka yang disebut-sebut
sebagai kawula bisa diperlakukan sama dan setara dalam Islam. Penyebaran Islam pun bersifat
damai dan represif sehingga agama ini lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Islam dan penyebarannya datang dengan cara yang sangat damai. Jika di istana sedang
terjadi kericuhan, Islam dijadikan sebagai suatu senjata politik bagi kaum-kaum yang
berkehendak atas kekuasaan tersebut. Bagi mereka hal tersebut bukan semata hanya untuk
menyebarkan agama, tapi juga secara politis mereka ingin menguasai kerajaan di sekitar dan
melakukan ekspansi-ekspansi wilayah.
Uka Tjandrasasmita berpendapat bahwa ada enam saluran islamisasi yang berkembang di
Indonesia, yaitu saluran perdagangan, saluran perkawinan, saluran tasawuf, saluran pendidikan,
saluran kesenian, dan saluran politik.[10]
Uka Tjandrasasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim
di pesisir Pulau Jawa yang ketika itu penduduknya masih kafir. Lalu mereka membangun masjid-
masjid dan mendatangkan mullah-mullah sehingga para penduduk menjadi mudlim dan orang
Jawa yang kaya.
Para pedagang Muslim memiliki status ekonomi jauh lebih tinggi daripada penduduk
pribumi, sehingga mereka menikahkan putri-putri mereka kepada para pedagan tersebut dan
akhirnya mereka pun ikut masuk Islam. Sehingga kemudian timbulah kampung-kampung Islam
yang semakin meluas.
Para pengajar tasawuf atau sufi ada yang mengawini bangsawan setempat, sehingga
kemudian teosofi yang mereka ajarkan dengan bentuk Islam tersebut mudah dimengerti dan
diterima oleh masyarakat yang sebelumnya telah mengenal agama Hindu.
Islamisasi juga dilakukan dengan pendidikan. Setelah melalui pendidikan di pesantren
atau pondok-pondok mereka akan kembali ke kampung halaman masing-masing dan kemudian
turut menyebarkan agama Islam.
Dalam saluran kesenian, wayanglah yang paling terkenal. Sunan Kalijaga yang paling
mahir melakukan pertunjukkan, tidak meminta bayaran kepada para penontonnya, ia hanya
meminta mereka untuk mengucapkan syahadat sehingga secara resmi mereka telah masuk Islam.
Dari segi politik di Jawa ataupun Sumatera, yang terjadi setiap kerajaan Islam memerangi
kerajaan non-Islam dan kemudian kerjaan non-Islam tersebut kalah, maka mereka secara politis
telah membawa  kerajaan dan pengikutnya tersebut untuk memeluk Islam.

G.      Proses Islamisasi di Sumatera


Kondisi politik masing-masing daerah saat Islam masuk di tiap daerah berbeda-beda,
sebagai contoh sistem pemerintahan kerajaan Siak sebagai sistem pemerintahan lokal yang
otonom. Pemerintahan di Kerajaan Siak di pecah kedalam suku-suku kecil seperti Suku Batung,
Suku Berombong, Suku Delima dan lain-lain yang berjumlah 73 suku. Masing-masing suku
dipimpin oleh kepala suku yang di sebut Batin. Sultan tidak dapat ikut campur sesuka hatinya
apa lagi bentuk kehidupan masyarakat yang “Tradisi-Konvensional”.
Islam masuk di daerah Sriwijaya dapatlah dipastikan pada abad ke-7. Ini mengingat cerita
buku sejarah Cina yang menyebutkan bahwa Dinasti T’ang yang memberitakan utusan Tacher
(sebutan untuk orang arab) ke Lingga pada tahun 674 Masehi. Karena Sriwijaya sering di
kunjungi oleh pedagang arab dalam jalur perdagangan, maka Islam saat itu menrupakan proses
awal Islamisasi. Sesuai dengan berita Cina di zaman T’ang tersebut telah adanya pemukiman
kampung arab di pantai barat Sumatera.[11]Ini memberi keyakinan kepada kita bahwa dengan
kutipan di atas agama Islam telah masuk di daerah Sumatera Selatan pada masa kekuasaan
Dapunta Hyang Sriwijaya.
Sumatera merupakan wilayah pertama di Nusantara yang berinterkasi dengan Islam.
Disini, secara sederhana bisa dikatakan berawal dari komunitas masyarakat yang pada akhirnya
membukasebuah wilayah dan mengangkat seorang tokoh berpengaruh untuk kemudian menjadi
pemimpin komunitas masyarakat tersebut. Alasan mendasar mengapa wilayah Barat Nusantara
dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian adalah
hasil bumi yang dijual di daerah tersebut memiliki kemenarikan bagi para pedagang dan menjadi
daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu, pala dan cengkeh yang berasal dari
Maluku, dipasarkan di Sumatera, untuk kemudian di jual kepada pedagang asing. Hal ini menjadi
cikal bakal proses Islamisasi di Sumatera. Menurut J.C van Leur, berdasarkan berbagai cerita
perjalanan dapat diperkirakan bahwa sejak  674 M ada koloni-koloni Arab di barat laut
Sumatera, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur barus.[12]
Munculnya kekuasaan Islam telah dirintis pada periode abad 7-8 M, namun hal itu belum
terlalu signifikan dikarenakan hegemoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan
kerajaan Hindu di Jawa, seperti Singasari dan Majapahit. Pada masa ini para pedagang, ahli-ahli
dan mubaligh Islam membentuk komunitas-komunitas Islam. Mereka mengajarkan ajaran-ajaran
Islam yang menekankan persamaan dan toleransi antar sesama umat. Ajaran ini sungguh berbeda
dengan ajaran agama Hindu yang lebih menekankan adanya perbedaan derajad antar manusia.
Ajaran ini menarik perhatian masyarakat Indonesia pada masa itu, terlebih lagi Islam
disebarkaan dengan cara damai. Hal ini yang membuat ajaran agama Islam bisa berkembang
dengan cepat.[13]
Pada abad ke-7 sampai abad ke-10, kerajaan Sriwijaya meluaskan daerah kekuasaannya
ke daerah Semenanjung Malaka dampai Kedah. Datangnya orang-orang Muslim ke daerah
tersebut belum terlihat dampak-dampak politiknya, karena memang pada dasanya tujuan mereka
datang yakni untuk berdagang.  Keterlibatan orang Muslim terlihat pada abad ke-9 dengan
adanya peristiwa pemberontakan petani-petani terhadap kekuasaan Dinasti T’ang pada masa
pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889M). Akibat dari pemberontakan ini, banyak orang
Muslim yang dibunuh. Sebagian lainnya lari ke Kedah, wilayah yang masuk kekuasaan
Sriwijaya, bahkan ada yang ke Palembang dan membuat perkampungan musilim di daerah
tersebut[14].
Pada abad ke-13, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Hal tersebut dikarenakan
adanya ekspedisi Pamalayu yang dilakukan oleh kerajaan Singasari pada tahun 1275. Kelemahan
Sriwijaya dimanfaatkan pula oleh pedagang-pedagang muslim untuk mendapatkan keuntungan
politik dan perdagangan. Mereka mendukung daerah-daerah yang akan muncul dan menyataakan
diri sebagai kerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudra Pasai di pesisir Timur Laut Aceh. Daerah ini
sudah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad 7 dan abad ke-8. Hal itu membuktikan
bahwa proses islamisasi telah berjalan sejak saat itu. Kerajaan Samudra Pasai dengan segera
berkembang biak dalam bidang politik maupun perdagangan. 
Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan masyarakat Muslim di Malaka makin
lama makin meluas dan pada awal abad ke-15 M, di daerah ini lahir kerajaan Islam, yang
merupakan kerajaan Islam kedua di Asia Tenggara. Laju perkembangan masyarakat Muslim ini
berkaitan erat dengan keruntuhan Sriwijaya. Malaka merupakan pusat perdagangan yang paling
penting di kepulauan bagian barat, dan oleh karenanya menjadi pusat bagi orang-orang muslim
asing, dan tampaknya menjadi penopang penyebaran agama Islam[15]. Setelah Malaka jatuh ke
tangan Portugis (1511 M), Mata rantai pelayaran beralih ke Aceh, yakni kerajaan Islam yang
akan melanjutkan kejayaan Samudra Pasai[16]. Pada masa inilah dimulai proses Islamisasi di
Nusantara yang lebih cepat dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Menurut H.J de Graff, Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian wilayah
Aceh dan pergantian agama diperkirakan terjadi mendekati pertengahan abad ke-14. Menurutnya
kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Dar Al-
Kamal[17]. Untuk menghindari gangguan Portugis yang menguasai Malaka, untuk sementara
waktu kapal-kapal memilih berlayar menelusuri pantai Barat Sumatera. Aceh kemudian berusaha
melebarkan kekuasaannya ke Selatan sampai ke Pariaman dan Tiku. Dari pantai Sumatera,
kapal-kapal memasuki Selat Sunda.
Berdasarkan berita Tome Pires (1512-1515), dalam Suma Oriental, dapat diketahui
bahwa daerah-daerah  di sekitar pesisir Sumatra Utara dan timur Selat Malaka, yaitu dri Aceh
sampai Palembang sudah banyak terdapat masyarakat dari kerajaan-kerajaan Islam. Akan tetapi,
menurut berita itu, daerah-daerah yang belum Islam masih terhitung banyak juga. Proses
Islamisasi ke daerah-daerah pedalaman Aceh, Sumatera Barat, terutama terjadi sejak Aceh
melakukan ekspansi politiknya pada abad ke-16 dan 17 M. 
Adanya proses Islamisasi tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa bukti-bukti yang
ada. Menurut M.C.Riekliefs, petunjuk pertama tentang muslim Indonesia berkaitan dengan
bagian utara Sumatera. Di pemakaman Lamreh ditemukan ditemukan nisan Sultan Sulaiman bin
Abdullah bin Al-basir, yang wafat pada tahun 608 H/ 1211  M. Ini merupakan petunjuk pertama
tentang keberadaan kerajaan Islam di wilayah Indonesia. Pada waktu musafir Venesia, Marco
Polo, singgah di Sumatera dalam perjalanan pulangnya dari Cina pada tahun 1292, dia mengenal
Perlak sebagai sebuah kota Islam[18].
Selain itu, proses Islamisasi di Sumatera, juga dapat dibuktikan dengan adanya Hikayat
Raja-Raja Pasai. Hal itu merupakan salah satu sumber yang berbahasa Melayu, tetapi disalin di
Demak (Jawa Utara) pada tahun 1814. Legenda ini menceritakan bagaimana Islam masuk ke
Samudra. Dalam cerita ini disebutkan bahwa Khalifah Mekah mendengar tentang adanya
Samudra dan memutuskan untuk mengirim sebuah kapal ke sana untuk memenuhi rmalan Nabi
Muhammad bahwa suatu hari nanti akan ada sebuah kota besar di timur yang bernama Samudra,
yang akan menghasilkan banyak orang suci. Setelah itu, Sejarah Melayu juga salah satu hal yang
dapat digunakan untuk menggambarkan proses Islamisasi. Sejarah Melayumerupakan naskah
berbahasa Melayu. Satu naskah bertarikh 1021 H(1612 M), tetapi naskah ini hana ada dalam
salinan dari awal abad XIX. Bila Hikayat raja-raja Pasai bercerita tentang masuk Islamnya
Samudra, Sejarah Melayu berisi suatu kisah mengenai masuk Islamnya Raja Malaka. Raja ini
juga bermimpi bahwa Nabi menampakkan diri kepadanya, mengajarinya cara mengucapkan dua
kalimat syahadat, memberinya nama baru Muhammad, dan memberitahukannya bahwa pada hari
berikutnya akan tiba sebuah kapal dari negeri Arab yang mengangkut seorang ulama yang harus
dipatuhinya.
Ada empat hal utama yang ingin disampaikan historiografi tradisional lokal semacam ini.
Pertama, Islam di Nusantara di bawa langsung dari tanah Arab. Kedua, Islam diperkenalkan oleh
para guru atau Juru Dakwah ‘profesional”. Ketiga, orang-orang yang pertama kali masuk Islam
adalah para penguasa. Keempat, sebagian besar para juru dakwah “professional” datang di
Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Orang-orang Muslim dari luar memang telah ada di
Nusantara sejak abad pertama Hijriah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Arnorld dan
ditegaskan oleh kalangan ahli Melayu-Indonesia, tetapi jelas bahwa hanya setelah abad ke-12
pengaruh Islam dikepulauan Melayu menjadi lebih jelas dan kuat. Oleh karena itu, Islamisasi
tampaknya baru mengalami percepatankhususnya selama abad ke-12 sampai abad ke-16.
Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam itu, proses Islamisasi di Sumatera dapat dibagi
menjadi tiga fase, yakni
A.    Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Sumbernya adalah
berita luar negeri, terutama Cina,
B.     Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia. Sumbernya,
disamping berita-berita asing, juga makam-makam Islam, dan
C.     Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.
Dengan demikian bahwa perkembangan agama Islam di Indonesia dimulai dengan cara
damai melalui para bangsawan dan juga rakyat pada umumnya melalui kegiatan perdagangan
dan para pendakwah, namun apabila situasi politik di kerajaan-kerajaan itu tidak kondusif
dikarenakan oleh perebutan kekuasaan antar keluarga kerajaan sehingga menyebabkan
kekacauan dan lemahnya pemerintahan, Islam dijadikan alat politik bagi golongan bangsawan
dan raja-raja yang menghendaki kekuasaan. Mereka menghubungi saudagar-saudagar muslim
yang posisi ekonominya kuat karena penguasaan atas pelayaran dan perdagangan.
H.      Proses Islamisasi di Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke
pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan.
Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi.
Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang ke
Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum
terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa
yang beribu negeri di Makassar.
Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaidin al Awwal dan Perdana
Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam
telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaidin yang bernama Tonigallo dari Sultan Ternate
yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa
kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman
dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang
dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar
datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke
Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan
perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu
dan Paloppo.

D.      Proses Islamisasi di Kalimantan


            Menurut Tetek Tatum atau Talikawas[19], penduduk asli Kalimantan mempunyai tempat
tinggal di pesisir. Sampai pada akhirnya masuklah pengaruh-pengaruh dari pendatang sebagai
contoh pengaruh Hindu yang dibawa oleh kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14 M di daerah
Kayutangi (Martapura di daerah Kalimantan Selatan sekarang)[20]. Masuknya Majapahit di
wilayah Kalimantan ini telah menaklukkan kerajaan-kerajaan orang Dayak di pesisir.[21] Orang-
orang Dayak akhirnya mulai terpencar dan terdesak ke daerah pedalaman. Bagi kerajaan yang
dapat ditaklukkan oleh Majapahit, kerajaan tersebut akan menganut agama Hindu.
            Nansarunai adalah kerajaan orang Dayak yang dihancurkan oleh Majapahit. Masuklah
pengaruh Hindu ke Kalimantan pada tahun 1350 yang memunculkan kerajaan Hindu yang
bernama Nagara Dipa. Negara Dipa memiliki ikatan yang kuat dengan kerajaan Majapahit akibat
pernikahan putri dari Negara Dipa yang bernama Putri Jungjung Built dengan Pangeran
Suryanata dari kerajaan Majapahit.
            Sebelum masuknya Hindu, orang Dayak menganut agama primitif di mana agama
tersebut dikelompokkan ke dalam dinamisme, animisme, dan spiritualisme. Peneliti Belanda
zaman dahulu menyatakan bahwa orang-orang Dayak menganut kepercayaan kepada roh-roh
rendah dengan agama yang dinamakan agama Nelo atau agama dahulu yang kemudian
diumpamakan Heiden (orang-orang kafir). Agama tersebut kemudian diberi nama agama
Kaharingan oleh Y. Salilah yang kemudian direstui dan diterima semua pihak.[22]
            Masuknya Islam di Kalimantan ini adalah dengan masuknya orang-orang Melayu.
[23] Orang-orang Melayu itu datang baik untuk menyebarkan agama Islam, kepentingan politik
maupun keperluan perdagangan. Penyebaran Islam di Kalimantan sama halnya dengan
penyebaran Islam di Jawa dan Sumatera dimulai dari wilayah pesisir kemudian menyebar ke
wilayah pedalaman.
            Masuknya Islam yang diperkirakan pada tahun 1540, menyebabkan perpindahan di
kalangan orang Dayak kepedalaman karena beberapa dari mereka belum bisa memeluk Agama
Islam.[24] Setelah memeluk Islam, orang Dayak tidak lagi menyebut diri mereka orang Dayak
melainkan menyebut diri mereka orang Melayu.
            Proses Islamisasi Kalimantan  (yang diawali oleh masuknya Islam pada tahun 1540 di
wilayah Kalimantan) memiliki cara yang berbeda-beda di masing-masing wilayahnya. Proses
Islamisasi di tiap-tiap daerah juga dipengaruhi oleh situasi masing-masing kerajaan dan situasi
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa yang sedang melancarkan ekspansi kekuasaannya ke wilayah
Kalimantan.

a.      Proses Islamisasi di Wilayah Kalimantan Selatan


            Kerajaan Negara Dipa merupakan salah satu kerajaan Hindu terbesar di Kalimantan. Pada
masa pemerinthan Maharaja Sari Kaburungan atau  Raden Sekar Sungsang, dia memindahkan
wilayah kerajaan Negara Dipa ke daerah hilir pada percabangan anak sungai Bahan yaitu Muara
Hulak yang kemudian diganti namanya menjadi Negara Daha. Kerajaan yang tadinya berdiri
dengan nama Negara Dipa pun juga diganti namanya dengan Kerajaan Daha. Hal ini diakibatkan
karena Ibu kota kerajaan disebut dengan nama yang sesuai dengan penempatan letak ibukotanya.
Salah satu faktor penyebab pemindahan wilayah ibukota kerajaan tersebut dari Candi Agung
(sekarang wilayah Amuntai) ke Muara Hulak atau Negara Daha adalah karena Raden Sekar
Sungsang merasa wilayah Candi Agung telah kehilangan tuahnya sehingga apabila kerajaan
tidak dipindahkan, bala bencana akan menyerang kerajaan tersebut.[25]
            Pada masa pemerintahan Raden Sekar Sungsang inilah Islam datang ke daerah
Kalimantan yang berasal dari daerah Giri. Raden Sekar Sungsang pernah mengadakan perjalanan
ke Jawa dan menikahi putri dari Sunan Giri. Namun, Islam belum berkembang luas di wilayah
Kalimantan Selatan melalui peristiwa ini. Agama Islam berkembang pada masa pemerintahan
Sultan Suryanullah diakibatkan oleh faktor politik berupa perebutan takhta kerajaan sepeninggal
Maharaja Sukarama.
            Setelah Maharaja Sukarama meninggal, takhta kerajaan jatuh kepada Pangeran
Tumenggung, tetapi beberapa tahun kemudian timbullah perpecahan dengan Raden
Samudra . [26] Raden Samudra yang merupakan cucu dari Maharaja Sukarama merasa dirinya
lebih berhak menjadi raja. Muncullah kerajaan Banjar dengan Raden Samudra sebagai rajanya
yang dinobatkan oleh Patih Masih, Balit, Muhur, Kuwin, dan Balitung. Kerajaan ini
kemudian  menjadi saingan dari kerajaan Negara Daha.
            Untuk merebut takhta miliknya dari Pangeran Tumenggung, Raden Samudra menjalin
hubungan dengan kerajaan Demak di Jawa. Hal tersebut bertepatan dengan ekspansi yang
dilakukan Pati Unus untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Kalimantan sebelum menyerang
Portugis dan Malaka pada tahun 1521. Hal ini dimaksudkan untuk membendung ekpansi
Portugis yang sedang berusaha menguasai daerah-daerah antara Malaka dan Maluku.[27] Demak
melihat ini sebagai kesempatan politik, sehingga Demak memberikan bantuan kepada Raja
Samudra agar dia dapat merebut takhta kerajaan dari Pangeran Tumenggung dengan syarat saat
Raden Samudra telah mendapatkan takhtanya, dia beserta rakyatnya harus memeluk agama
Islam.
            Bala bantuan berupa tentara dari kerajaan Demak merupakan titik awal proses islamisasi
yang terjadi di wilayah Kalimantan Selatan. Kemenangan Raden Samudra telah memebuat
pangeran Tumenggung tunduk dan Raden Samudra akhirnya menguasai takhta. Kerajaan Negara
Daha telah dikalahkan oleh kerajaan Banjar dan kemudian kerajaan Banjar menjadi kerajaan
Islam yang berpengaruh di Kalimantan dengan Raden Samudra sebagai rajanya dengan gelar
Sultan Suryanullah. Sultan Suryanullah kemudian meluaskan kekuasaannya sampai Sambas,
Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan.[28] Sebagai imbalan
atas bala bantuan yang diberikan oleh kerajaan Demak atau bisa dikatakan kerajaan Banjar
sebagai wilayah perluasan kekuasaan kerajaan Demak, Sultan Suryanullah membayar upeti
secara rutin kepada kerajaan Demak.
            Kedatangan Islam dengan damai berubah saat Islam dijadikan sebagai alat politik untuk
mendapatkan kekuasaan oleh kaum bangsawan.[29] Proses islamisasi di wilayah Kalimantan
Selatan atau tepatnya di Banjarmasin terjadi sekitar tahun 1550.[30] Penduduk asli Kalimantan
Selatan yang pada awalnya merupakan suku Dayak, setelah mereka masuk Islam, mereka tidak
mau disebut orang Dayak lagi. Mereka lebih senang menyebut dirinya orang Melayu  (Banjar).
[31]

b.      Proses Islamisasi di Wilayah Kalimantan Timur


            Pada awal abad ke -13 M, berdirilah kerajaan  baru di Tepian Batu atau Kutai lama yang
bernama kerajaan Kutai Kertanegara dengan rajanya yang pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti
(1300-1325 SM).[32] Kerajaan ini mempunyai hubungan yang kurang baik dengan kerajaan
Kutai Martadipura yang terletak di wilayah Muara Kaman. Pada abad ke-16 terjadilh peperangan
di antara keduanya dan Kerajaan Kutai Kartanegara di bawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji
Mendapa akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan Kutai Martadipura dan mengganti namanya
mengganti Kerajaan Kuta Kartanegara Ing Martadipura.
            Sebelum kedatangan Islam, kerajaan Kutai Kartanegara adalah kerajaan bercorak Hindu,
dan penduduk lainnya di pedalaman masih menganut animisme dan dinamisme.[33] Pada
abad  ke- 16 M, tepat pada masa pemerintahan Aji Raja Mahkota Mulia Alam datanglah dua
orang mubaligh yang bernama Datori Bandang dan Tuan Tunggang Parangan.[34] Kedua
mubaligh tersebut datang setelah mengislamkan wilayah Makassar, tetapi Datori Bandang
kembali lagi ke Makassar dikarenakan orang-orang Makassar kembali menjadi orang kafir lagi.
Tuan Tunggang Parangan menetap di wilayah Kalimantan Timur berusaha mengislamkan
wilayah tersebut.
            Raja Aji Raja Mahkota Mulia Alam atau yang dikenal dengan sebutan Raja Mahkota
menyatakan dirinya mau masuk Islam dengan syarat Tuan Tunggang Parangan harus
mengalahkan dirinya melalui adu kesaktian. Akhirnya Raja Mahkota masuk Islam setelah ia
merasa kalah saat adu kesaktian.[35] Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura kemudian
menjadi kerajaan Islam dengan nama Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Islamisasi
di Kutai ini diperkirakan terjadi pada tahun 1575 M.[36] Kerajaan Kutai Kartanegara kemudian
menyebarkan pengaruh Islam hingga ke wilayah pedalaman di bawah pemerintahan Raja Aji di
Langgar.[37] Pada abad ke- 18 M,  Islam mulai bisa diterima masyarakat secara menyeluruh dan
sebutan raja kemudian diganti dengan sebutan Sultan. Sultan pertama yang menggunakan nama
Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris.[38]

E.       Proses Islamisasi di Maluku


Kepulauan Maluku yang terkenal kaya dengan hasil bumi yang melimpah membuat
wilayah ini sejak zaman antik dikenal dan dikunjungi para pedagang seantero dunia. Karena
status itu pula Islam lebih dulu mampir ke Maluku sebelum datang ke Makassar dan kepulauan-
kepulauan lainnya.
Kerajaan Ternate adalah kerajaan terbesar di kepulauan ini. Islam masuk ke wilayah ini
sejak tahun 1440. Sehingga, saat Portugis mengunjungi Ternate pada tahun 1512, raja ternate
adalah seorang Muslim, yakni Bayang Ullah. Kerajaan lain yang juga menjadi representasi Islam
di kepulauan ini adalah Kerajaan Tidore yang wilayah teritorialnya cukup luas meliputi sebagian
wilayah Halmahera, pesisir Barat kepulauan Papua dan sebagian kepulauan Seram.
Ada juga Kerajaan Bacan. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja
Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Di tahun yang sama berdiri pula Kerajaan
Jailolo yang juga dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam dalam pemerintahannya.

a. saluran Perdagangan

sejak abad ke 7 para pedagang muslim dari gujarat (india), persia dan arab telah ikut ambil bagian
dalam kegiatan perdagangan di Indonesia. Mereka berhubungan dengan penduduk setempat, dan
berhasil mempengaruhi penduduk sehingga tertarik untuk menganut agama Islam.

b. saluran Perkawinan

seorang penganut islam kawin dengan seorang penganut agama lain sehingga pasangannya masuk
Islam. Di antara wanita yang mereka nikahi adalah putri raja dan bangsawan berkat perkawinan itu
agama islam dapat berkembang dengan pesat
c. saluran Pendidikan

pendidikan agama islam di lakukan melalui lembaga pesantren (pondok pesantren), perguruan
khusus agama islam. perguruan ini mendidik para santri dari berbagai daerah. setelah tamat mereka
mendirikan lembaga atau Pondok Pesantren di daerahnya, dengan demikian agama islam
berkembang dan menyebar ke seluruh indonesia

d. saluran Kesenian

penyebaran agama islam melalui kesenian dapat di lakukan dengan pertunjukan seni gamelan
seperti yang terjadi di Solo, yogyakarta, dan cirebon. seni gamelan dapat mengundang masyarakat
untuk berkumpul dan kemudian di laksanakanlah dakwah-dakwah keagamaan

e. saluran Tasawuf

tasawuf adalah cara untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada tuhan. para ahli tasawuf
biasanya memiliki keahlian yang dapat membantu kehidupan masyarakat misalnya dalam
menyembuhkan penyakit.

f. saluran politik

pengaruh kekuasaan raja yang sangat besar perannya dalam proses islamisasi, misalnya bila raja
memeluk agama islam maka akan mempermudah rakyatnya masuk islam

Anda mungkin juga menyukai