Kapan tepatnya berdiri kerajaan pun tak ada data sejarah yang mengabarkan.
Menurut Prof Ahmad M Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI
Sampai Abad XVII, Kerajaan Gowa diperkirakan berdiri pada abad ke-14.
Gowa dan Tallo pra-Islam merupakan kerajaan kembar milik dua bersaudara.
Berawal di pertengahan abad ke-16, pada masa pemerintahan Gowa IV
Tonatangka Lopi, ia membagi wilayah Kerajaan menjadi dua bagian untuk dua
putranya, Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Hal ini dikarenakan kedua
putranya sama-sama ingin berkuasa.
Batara Gowa melanjutkan kekuasaan sang ayah yang meninggal dunia dengan
memimpin Kerajaan Gowa sebagai Raja Gowa VII. Sedangkan adiknya,
Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru bernama Tallo.
Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar.
Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah
ibukota Gowa yang dulu disebut sebagai Ujungpandang. Secara geografis
Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur
pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat
persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur
maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan
letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi
kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. Berikut adalah
peta Sulawesi Selatan pada saat itu.
Era baru pun dimulai ketika Gowa dan Tallo bersatu. Inilah masa ketika
kerajaan mulai bangkit menjadi kekuatan besar di Sulawesi Selatan. Merle
Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 menyebutkan,
Gowa memiliki sebuah sistem wewenang ganda yang timbul akibat aliansi
politik antara Kesultanan Gowa dan Tallo. Para sultan berasal dari garis
keturunan Gowa, sedangkan perdana menterinya berasal dari garis Tallo. Sistem
ketatanegaraan dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak menghilangkan sama
sekali kekuasaan Raja Tallo. Sejak saat itu, orang sering menyebut Gowa Tallo
secara bersama-sama sebagai Kerajaan Makassar.
1| Letaknya strategis.
Ketika kerajaan Gowa – Tallo memperluas wilayah dan pada saat yang sama
banyak pedagang dari kepulauan nusantara yang menetap di Makassar. Mereka
terdiri atas pedagang Melayu dari Pahang, Patani, Johor, Campa, Minangkabau,
dan Jawa.
Meski telah ada permukiman Muslim dan masjid di sana, Islam baru benar-
benar tampak saat Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam. Menurut Sewang, para
pemukim dari Melayu berinisiatif mendakwahkan Islam kepada para raja.
Mereka pun kemudian mengundang tiga ulama dari Kota Tengah
(Minangkabau) untuk mengislamkan Kerajaan Gowa-Tallo.
Para mubaligh yang datang ke Makassar disebut dengan Dalto Tallu (Tiga
Dato) atau sumber lain menyebut Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua
(Makassar). Ketiganya bersaudara dan berasal dari Kota Tengah, Minangkabau.
Mereka, yakni Dato’ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal), Dato’ri
Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), Dato’ri Tiro (Abdul Jawad
alias Khatib Bungsu).
Prof Andi Zainal dalam Sejarah Sulawesi Selatan menuturkan, ketiga ulama
tersebut tidak datang serta-merta langsung mendakwahkan Islam kepada para
raja. Mereka terlebih dahulu mempelajari kebudayaan Bugis-Makassar di Riau
dan Johor.Pasalnya, di dua tempat tersebut banyak etnis Bugis-Makassar
bermukim. Baru setelah sampai di Makassar, mereka menemui para pedagang
Melayu yang tinggal di sana. Dari keterangan merekalah diketahui bahwa raja
yang paling dihormati adalah Datuk Luwu’, sedangkan yang paling kuat dan
berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa. Maka, tiga raja itulah yang
menjadi objek dakwah para ulama Melayu tersebut.
Kepada yang menolak itu dikirimkan peringatan. Namun setiap kali ada pesan,
setiap itu pula ditolak. Dengan alasan mereka itu mau membangkang dan
melawan, maka terpaksa Gowa mengangkat senjata menundukkan mereka.
Namun, angkatan perang Gowa-Tallo yang terkenal sangat tangguh itu pun
berhasil mengalahkan mereka. Satu per satu kerajaan Bugis dapat ditaklukkan.
Dimulai pada 1609 M, tentara Gowa dikirim ke pedalaman untuk
mengislamkan kerajaan Bugis dari yang terkecil, yakni Ajatappareng (Suppak,
Sawitto, Rappang, dan Sidenreng).
Baru kemudian pada tahun yang sama, mereka bergerak ke Kerajaan Soppeng
dan berhasil. Tahun berikutnya, Kerajaan Wajo pun menerima Islam, lalu pada
1611 M Kerajaan Bone memeluk Islam.
Menurut Sewang, terlepas dari motivasi Sultan Alaudin untuk berperang dengan
kerajaan tetangga tersebut, perang itu sendiri justru sangatlah menguntungkan
dari segi Islamisasi di Sulawesi Selatan. Hal tersebut karena raja-raja yang
ditaklukkan kemudian memeluk Islam. “Raja Bone merupakan raja terakhir dari
aliansi Tellunpoccoe yang menerima Islam setelah ia mengalami kekalahan
dalam perang pada 1611 M. Dengan masuknya Islam Raja Bone, sebagian
besar wilayah Sulawesi Selatan telah memeluk Islam, kecuali Tana Toraja,”
ujarnya.
Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi
asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan
oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia
(pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya
kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara
Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan.
Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone)
yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya
membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa.
Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja
Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya
pada abad XVIII kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun
berjuang menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun
mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang,
setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah
bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan
perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa
terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.
TOKOH TERKENAL
Sultan Alaudin
Sultan Hasanuddin
Sampai sekarang kapal pinisi dari Sulawesi Selatan masih menjadi salah satu
kebanggan bangsa Indonesia. Disamping itu, masyarakat kerajaan Makassar
juga mengembangkan seni sastra, yaitu kitab Lontara.