Anda di halaman 1dari 11

Kerajaan Islam Gowa & Tallo

Sebelum Islam datang, Kerajaan Gowa telah berdiri dengan Tomanurung


sebagai raja pertama. Namun, tak banyak catatan sejarah yang menyebutkan
perjalanan kerajaan tersebut.

Kapan tepatnya berdiri kerajaan pun tak ada data sejarah yang mengabarkan.
Menurut Prof Ahmad M Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI
Sampai Abad XVII, Kerajaan Gowa diperkirakan berdiri pada abad ke-14.

Sebelum kerajaan tersebut berdiri, kawasannya sudah dikenal dengan nama


Makassar dan masyarakatnya disebut dengan suku Makassar. Wilayah ini pun
pernah menjadi bagian kekuasaan Majapahit.

Gowa dan Tallo pra-Islam merupakan kerajaan kembar milik dua bersaudara.
Berawal di pertengahan abad ke-16, pada masa pemerintahan Gowa IV
Tonatangka Lopi, ia membagi wilayah Kerajaan menjadi dua bagian untuk dua
putranya, Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Hal ini dikarenakan kedua
putranya sama-sama ingin berkuasa.

Batara Gowa melanjutkan kekuasaan sang ayah yang meninggal dunia dengan
memimpin Kerajaan Gowa sebagai Raja Gowa VII. Sedangkan adiknya,
Karaeng Loe ri Sero, mendirikan kerajaan baru bernama Tallo.

Dalam perjalanannya, dua kerajaan bersaudara ini dilanda peperangan bertahun-


tahun. Hingga kemudian pada masa Gowa dipimpin Raja Gowa X, Kerajaan
Tallo mengalami kekalahan. Kedua kerajaan kembar itu pun menjadi satu
kerajaan dengan kesepakatan “Rua Karaeng se’re ata” (dua raja, seorang
hamba).

Sejak keduanya menyepakati perjanjian maka siapa pun yang menjabat


sebagai Raja Tallo, menjabat sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa. Para
sejarawan kemudian menamakan kedua kerajaan Gowa dan Tallo dengan
Kerajaan Makassar

LETAK KERAJAAN GOWA-TALLO

Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar.
Kerajaan ini terletak di daerah Sulawesi Selatan. Makassar sebenarnya adalah
ibukota Gowa yang dulu disebut sebagai Ujungpandang. Secara geografis
Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur
pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar menjadi pusat
persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur
maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan
letak seperti ini mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi
kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. Berikut adalah
peta Sulawesi Selatan pada saat itu.

KERAJAAN GOWA-TALLO / KERAJAAN MAKASSAR

Era baru pun dimulai ketika Gowa dan Tallo bersatu. Inilah masa ketika
kerajaan mulai bangkit menjadi kekuatan besar di Sulawesi Selatan. Merle
Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 menyebutkan,
Gowa memiliki sebuah sistem wewenang ganda yang timbul akibat aliansi
politik antara Kesultanan Gowa dan Tallo. Para sultan berasal dari garis
keturunan Gowa, sedangkan perdana menterinya berasal dari garis Tallo. Sistem
ketatanegaraan dibentuk sedemikian rupa sehingga tidak menghilangkan sama
sekali kekuasaan Raja Tallo. Sejak saat itu, orang sering menyebut Gowa Tallo
secara bersama-sama sebagai Kerajaan Makassar.

Setelah dua kerajaan bersatu, tepatnya pada masa Tonipalangga (1546-1565 M)


dengan perdana menteri dari Tallo, Nappakata’tana Daeng Padulung, ditetapkan
sebuah program politik ekspansi untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan
tetangga. Politik itu pun berjalan baik. Pedalaman Bugis dan perairan Bone
mampu dikuasai Gowa-Tallo.

Kebesaran Kerajaan Gowa-Tallo / Makassar tidak lain terjadi karena beberapa


faktor, antara lain:

1| Letaknya strategis.

2| Memiliki Pelabuhan yang baik.

3| Jatuhnya Malaka pada tahun 1511 ke tangan Portugis yang menyebabkan


pedagang Islam pindah ke Makassar.

MASA PEMELUKAN ISLAM, MENJADI KESULTANAN MAKASSAR

Ketika kerajaan Gowa – Tallo memperluas wilayah dan pada saat yang sama
banyak pedagang dari kepulauan nusantara yang menetap di Makassar. Mereka
terdiri atas pedagang Melayu dari Pahang, Patani, Johor, Campa, Minangkabau,
dan Jawa.

Berdasarkan Lontara Pattorioloang (Lontara Sejarah), pada masa pemerintahan


Raja Gowa X Tonipalangga, terdapat sebuah perkampungan Muslim di
Makassar. Penduduk kampung Muslim terdiri atas para pedagang Melayu
tersebut. Bahkan, pada masa pemerintahan raja berikutnya, Tonijallo (1565-
1590 M), berdiri sebuah masjid di Manggallekanna, tempat para pedagang itu
bermukim.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah


Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di
Indonesia menuturkan, baik sumber asing maupun naskah kuno memaparkan,
kehadiran Islam di Makassar telah ada sejak abad sebelum kedatangan Tome
Pires (1512-1515 M).

Pasalnya, penjelajah Barat itu menceritakan bahwa Makassar sudah melakukan


hubungan perdagangan dengan Malaka, Kalimantan, dan Siam. Akan tetapi,
penguasa-penguasa lebih dari 50 negeri di Pulau Sulawesi saat itu masih
menganut berhala atau belum Islam.

Meski telah ada permukiman Muslim dan masjid di sana, Islam baru benar-
benar tampak saat Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam. Menurut Sewang, para
pemukim dari Melayu berinisiatif mendakwahkan Islam kepada para raja.
Mereka pun kemudian mengundang tiga ulama dari Kota Tengah
(Minangkabau) untuk mengislamkan Kerajaan Gowa-Tallo.

Inisiatif untuk mendatangkan mubaligh khusus ke Makassar sudah ada sejak


Anakkodah Bonang (Nahkodah Bonang 3), seorang ulama dari Minangkabau
sekaligus pedagang, berada di Gowa pada 1525. Akan tetapi, baru berhasil
setelah memasuki awal abad 17 dengan kehadiran tiga orang mubaligh yang
bergelar datuk dari Minangkabau.

Para mubaligh yang datang ke Makassar disebut dengan Dalto Tallu (Tiga
Dato) atau sumber lain menyebut Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua
(Makassar). Ketiganya bersaudara dan berasal dari Kota Tengah, Minangkabau.
Mereka, yakni Dato’ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal), Dato’ri
Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), Dato’ri Tiro (Abdul Jawad
alias Khatib Bungsu).
Prof Andi Zainal dalam Sejarah Sulawesi Selatan menuturkan, ketiga ulama
tersebut tidak datang serta-merta langsung mendakwahkan Islam kepada para
raja. Mereka terlebih dahulu mempelajari kebudayaan Bugis-Makassar di Riau
dan Johor.Pasalnya, di dua tempat tersebut banyak etnis Bugis-Makassar
bermukim. Baru setelah sampai di Makassar, mereka menemui para pedagang
Melayu yang tinggal di sana. Dari keterangan merekalah diketahui bahwa raja
yang paling dihormati adalah Datuk Luwu’, sedangkan yang paling kuat dan
berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa. Maka, tiga raja itulah yang
menjadi objek dakwah para ulama Melayu tersebut.

Pada awalnya para mubaligh tersebut berhasil mengislamkan Raja Luwu,


yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada
15-16 Ramadhan 1013 H atau 4-5 Februari 1605 M. Kemudian, mereka pun
berhasil mengislamkan Kerajaan Gowa-Tallo.

Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri


(Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014
H atau 22 September 1605 M. Ia pun kemudian bergelar Sultan Abdullah.
Selanjutnya, Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan
syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M. Secara resmi,
raja dari kerajaan Gowa-Tallo memeluk agama Islam.

Maka, dengan Islamnya kerajaan tersebut, dakwah Islam pun kemudian


menyebar dengan pesat. Jika Aceh merupakan “Serambi Makkah” Indonesia,
Gowa-Tallo adalah “Serambi Madinah”-nya. Karena di Gowa-Tallo, syariat
Islam diterapkan kemudian didakwahkan ke timur Indonesia.Setelah Kerajaan
Gowa-Tallo memeluk Islam, penyebaran Islam di Sulawesi dan bagian timur
Indonesia sangat pesat. Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menorehkan tinta emas
sejarah peletakan dasar dan penyebaran Islam di bagian timur negeri ini.

Prof DR Ahmad M Sewang MA dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI


sampai abad XVII menuturkan, peristiwa masuk Islamnya Raja Gowa-Tallo
merupakan tonggak sejarah dimulainya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.

Pasalnya, terjadi konversi Islam secara besar-besaran pascaperistiwa tersebut.


Penerimaan Islam dimulai dari sebuah dekrit yang dikeluarkan pemimpin
Gowa-Tallo, Sultan Alauddin, pada 9 November 1607 M. Dekrit tersebut
menyatakan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan agama masyarakat.
Saat dekrit dikeluarkan, dakwah Islam masih berlangsung dengan damai.
Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan Gowa-Tallo pra-Islam pun dengan sukarela
menerima agama Allah ini. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan kecil di
sekitarnya.

Namun, hambatan dakwah mulai muncul ketika Raja Gowa-Tallo menyerukan


Islam ke tiga kerajaan Bugis. Ketiga kerajaan yang tergabung dalam aliansi
Tellunpoccoe menolak seruan tersebut. Maka, terjadilah perang antara Kerajaan
Makassar yang terdiri atas Kerajaan Gowa dan Tallo dan Kerajaan Bugis yang
terdiri atas Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo.

Menurut artikel Islam di Kerajaan Gowa-Tallo; Menelusuri Jejak-jekak Islam


dalam Kaitannya dengan Penyebaran Islam di Sulawesi di laman Wacana
Nusantara, kerajaan yang menolak dakwah Gowa-Tallo merupakan kerajaan
Bugis dan Mandar yang secara pemerintahan telah kuat.

Mereka khawatir Gowa-Tallo akan menjajah mereka. Faktor penolakan lain


juga karena mereka sukar meninggalkan kegemaran makan babi, minum tuak,
sabung ayam dengan berjudi, dan kebiasaan negatif lain.

Kepada yang menolak itu dikirimkan peringatan. Namun setiap kali ada pesan,
setiap itu pula ditolak. Dengan alasan mereka itu mau membangkang dan
melawan, maka terpaksa Gowa mengangkat senjata menundukkan mereka.

Namun, angkatan perang Gowa-Tallo yang terkenal sangat tangguh itu pun
berhasil mengalahkan mereka. Satu per satu kerajaan Bugis dapat ditaklukkan.
Dimulai pada 1609 M, tentara Gowa dikirim ke pedalaman untuk
mengislamkan kerajaan Bugis dari yang terkecil, yakni Ajatappareng (Suppak,
Sawitto, Rappang, dan Sidenreng).

Baru kemudian pada tahun yang sama, mereka bergerak ke Kerajaan Soppeng
dan berhasil. Tahun berikutnya, Kerajaan Wajo pun menerima Islam, lalu pada
1611 M Kerajaan Bone memeluk Islam.
Menurut Sewang, terlepas dari motivasi Sultan Alaudin untuk berperang dengan
kerajaan tetangga tersebut, perang itu sendiri justru sangatlah menguntungkan
dari segi Islamisasi di Sulawesi Selatan. Hal tersebut karena raja-raja yang
ditaklukkan kemudian memeluk Islam. “Raja Bone merupakan raja terakhir dari
aliansi Tellunpoccoe yang menerima Islam setelah ia mengalami kekalahan
dalam perang pada 1611 M. Dengan masuknya Islam Raja Bone, sebagian
besar wilayah Sulawesi Selatan telah memeluk Islam, kecuali Tana Toraja,”
ujarnya.

Mengutip Noorduyn, De Islamisering van Makassar, Islamisasi Sulawesi


Selatan terbagi atas tiga tahap. Pertama, datangnya orang-orang Islam untuk
pertama kalinya di suatu daerah.Kedua, masuknya agama Islam yang berarti
penduduk setempat telah memeluk agama Islam. Ketiga, penyebaran Islam,
yaitu setelah Islam mulai disebarkan ke dalam masyarakat atau disebarkan ke
luar daerah di mana Islam pertama kali diterima.

KONDISI SOSIAL BUDAYA KERAJAAN GOWA TALLO

Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah


nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf
kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk
menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat Makasar memiliki
kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi
dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka
anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat
dan agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar
sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.Di samping norma tersebut,
masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan
atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan
“Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka”
dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan
golongan “Ata”.

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-


benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai
pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan
nama Pinisi dan Lombo.Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat
Makasar dan terkenal sampai mancanegara.

KONDISI EKONOMI KERAJAAN GOWA TALLO

Kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat


perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor :

a. Letak yang strategis,

b. Memiliki pelabuhan yang baik

c. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak


pedagang-pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.

Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan


internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti
Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di
Makasar.

Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan


internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti
Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di
Makasar.

Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang


disebut dengan ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE,
sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar
menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat.

Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena


Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi
Selatan.

KONDISI POLITIK KERAJAAN GOWA TALLO

Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Robandang/Dato’


Ri Bandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang
pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam.
Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Sultan Alaudin.
Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai
kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja
Muhammad Said (1639 – 1653).

Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa


pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya
Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai
daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan
perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan
Bone.Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.
Daerah kekuasaan Makasar luas, seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur
dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti
kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli
yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan
antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi
oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul
pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan
terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.

Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri


pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku.
Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan
Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam
Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan
Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan
kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang
merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka
bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.

KERUNTUHAN KERAJAAN GOWA-TALLO / MAKASSAR

Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi
asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan
oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia
(pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya
kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara
Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan.
Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku.
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone)
yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya
membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa.

Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri


pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku.
Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan
Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam
Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan
Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan
kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang
merasa dijajah oleh Makasar mengadakan persetujuan kepada VOC untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka
bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.

Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota


kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui
kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya
tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.

Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:

• VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.

• Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.

• Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan


pulau-pulau di luar Makasar.

• Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.

Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap


Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu
Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan
Belanda.Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan
pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai
sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang
begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah. Sebagai tanda
jasa atas perjuangan Sultan Hasanuddin, Pemerintah Republik Indonesia atas
SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 10 November 1973 menganugerahi
beliau sebagai Pahlawan Nasional.

Demikian Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja
Gowa pertama, Tumanurung (abad 13) hingga mencapai puncak keemasannya
pada abad XVIII kemudian sampai mengalami transisi setelah bertahun-tahun
berjuang menghadapi penjajahan. Dalam pada itu, sistem pemerintahanpun
mengalami transisi di masa Raja Gowa XXXVI Andi Idjo Karaeng Lalolang,
setelah menjadi bagian Republik Indonesia yang merdeka dan bersatu, berubah
bentuk dari kerajaan menjadi daerah tingkat II Otonom. Sehingga dengan
perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa
terakhir dan sekaligus Bupati Gowa pertama.

TOKOH TERKENAL

Sultan Alaudin

Sultan Alauddin dengan nama asli Karaeng Ma’towaya Tumamenanga ri


Agamanna. Ia merupakan Raja Gowa Tallo yang pertama kali memeluk agama
islam yang memerintah dari tahun 1591 – 1638. dibantu oleh Daeng Manrabia
(Raja Tallo) bergelar Sultan Abdullah.

Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 163


meninggal diMakassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun)
adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan
nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan
Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan
Sultan Hasanuddin saja. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het
Oosten oleh Belandayang artinya Ayam Jantan/Jago dari Benua Timur. Ia
dimakamkan di Katangka, Makassar.

PENINGGALAN KERAJAAN GOWA TALLO / KESULTANAN


MAKASSAR

Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah


nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf
kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk
menambah kemakmuran hidupnya.

Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam


mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat
terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan
masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut
Besok hari apa? . Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-
norma tersebut.

Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan


sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan
keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat
kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para
hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-


benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai
pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan
nama Pinisi dan Lombo.

Sampai sekarang kapal pinisi dari Sulawesi Selatan masih menjadi salah satu
kebanggan bangsa Indonesia. Disamping itu, masyarakat kerajaan Makassar
juga mengembangkan seni sastra, yaitu kitab Lontara.

Mereka juga mengembangkan kebudayaan lainnya, seperti seni bangunan dan


seni suara. Namun, sayang karya itu tidak banyak diketahui karena kurangnya
peninggalan yang sampai kepada kita.

Anda mungkin juga menyukai