Anda di halaman 1dari 9

Kerajaan Gowa Tallo

Kerajaan Gowa Tallo merupakan kerajaan yang berasal dari 2 kerajaan bersaudara di Sulawesi.
Dimana kerajaan ini berasal dari sebuah kerajaan penyembah berhala di Sulawesi Selatan yang
berhasil mengadopsi agama Islam sebagai agama kerajaan. Lantas, bagaimana sejarah Kerajaan
Gowa Tallo ini? Yuk simak beberapa ulasan berikut.

Kisah Tentang Kerajaan Gowa Tallo 


Kerajaan Gowa Tallo yang terletak di Sulawesi Selatan ini berasal dari gabungan Kerajaan Gowa
dan Kerajaan Tallo. Sebelum menyatukan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Talo, wilayah ini pada
dasarnya berasal dari Tonangka Lopi, seorang Raja Gowa VI. Kemudian, raja tersebut membagi
2 wilayah untuk kediaman putranya yang bernama Batara Gowa dan Karaeng Loe Sero.

Batara Gowa melanjutkan masa pemerintahan ayahnya menjadi Raja Gowa VII setelah
Tonangka Lopi meninggal. Sedangkan Karaeng Loe Sero akhirnya mendirikan kerajaan baru
yang telah diberikan oleh ayahnya bernama Kerajaan Tallo. Kehadiran 2 saudara dalam satu
wilayah ini menghadirkan perseteruan yang terus berlanjut.

Namun, kekalahan Kerajaan Tallo menyebabkan 2 wilayah ini kembali disatukan. Kesepakatan
penyatuan kedua kerajaan ini dilakukan oleh Raja Gowa X yang bernama I Mariogau Daeng
Bonto Karaeng Lakiung Tonipalangga Ulaweng. 

Penyatuan kerajaan menjadi Kerajaan Gowa Tallo ini dilakukan pada akhir masa pemerintahan
Raja Gowa X sekitar tahun 1546 Masehi.

Sejarah Kerajaan Gowa Tallo yang telah diungkap lama seringkali diatasnamakan sebagai
Kerajaan Makassar. Meski demikian, nama Kerajaan Gowa Tallo menjadi cukup populer karena
menggambarkan kisah persatuan dua kerajaan yang selalu berseteru. 

Menariknya, persatuan dua kerajaan ini bahkan memiliki sistem pembagian kekuasaan yang
unik. Raja Gowa yang berhasil menang dalam pertempuran menjadikan garis keturunan Gowa
sebagai raja. 

Namun, garis keturunan Tallo juga ikut andil dalam sistem pemerintahan menjadi perdana
menteri. Persatuan kerajaan ini bahkan mampu melahirkan kekuatan besar yang berasal dari
Pulau Sulawesi.

Kerajaan Gowa Tallo pertama kali akhirnya dipimpin oleh Tunipalangga sebagai penerus Raja
Gowa X dengan Nappakata’tana Daeng Padulung sebagai perdana menteri yang berasal dari
kerajaan Tallo. 

Persatuan kerajaan ini bahkan mampu menghadirkan ekspansi kerajaan tetangga hingga
mencapai pedalaman Bugis dan perairan Teluk Bone.
Kerajaan ini bahkan selalu memiliki ambisi untuk menguasai wilayah lain dalam rangka
memekarkan wilayah. Meski demikian, sejarah Kerajaan Gowa Tallo melahirkan peperangan
dengan wilayah lain di Sulawesi bagian selatan. Beberapa daerah yang kerap bermusuhan
dengan kerajaan ini adalah Wajo, Soppeng, Bone dan Luwu.

Kerajaan Gowa Tallo Pada Masa Islam


Perubahan Kerajaan Gowa Tallo sebagai kerajaan Islam terjadi pada tahun 1607. Pasalnya
Daeng Manrabbia yang memeluk agama Islam sebagai pemimpin kerajaan ini mengubah bentuk
kerajaan menjadi Kesultanan Gowa Tallo. Masa ini bahkan menyebabkan ambisi untuk
menaklukan wilayah lain menjadi sistem penyebaran agama.

Meski demikian, kondisi ini sempat menjadi polemik yang terjadi di kalangan etnis Makassar
dan Bugis. Kerajaan tetangga seperti Wajo, Soppeng, Bone dan Luwu yang menolak ajakan
untuk memeluk agama Islam bahkan juga berhasil ditaklukan dengan mudah. 

Perubahan kerajaan menjadi Islam ini menghadirkan ketentraman di tanah Makassar dan Bugis.
Bahkan sejarah Kerajaan Gowa Tallo juga sempat memperoleh masa kejayaan, ketika kerajaan
ini dipimpin oleh Karaeng Bonto Mangape atau dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin. 

Keberanian dan tekad yang dikobarkan oleh Sultan Hasanuddin bahkan menghadirkan judulan
Ayam Jantan dari Timur. Kerajaan Gowa Tallo bahkan sempat menguasai jalur perdagangan di
Nusantara bagian timur.

Sayangnya kedatangan Belanda dengan menghadirkan sistem VOC telah mengusik ketentraman
yang terdapat di kerajaan ini. Peperangan yang terjadi di Makassar bahkan telah dimulai sejak
tahun 1654. 

Namun, serangan Belanda yang telus dilakukan membuat Kerajaan Gowa Tallo menjadi semakin
melemah. Peperangan yang terjadi hingga tahun 1667 membuat VOC yang dipimpin oleh
Belanda berhasil mengalahkan Sultan Hasanuddin. 

Peperangan tersebut bahkan melahirkan perjanjian Bongaya yang harus diterima padahal isi
perjanjian memiliki banyak pasal yang sangat merugikan Kerajaan Gowa Tallo. Kondisi ini
bahkan mengungkapkan sejarah Kerajaan Gowa Tallo yang mengalami kemunduran.

Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo


Perubahan agama yang dipeluk oleh Kerajaan Gowa Tallo menghadirkan peninggalan bercorak
islam di wilayah ini. Beberapa wilayah tersebut berada di Kabupaten Gowa dan Makassar. 

Pembubaran kerajaan hindu yang dianut sebelumnya bahkan tidak menyisakan peninggalan yang
berbau adat hindu.
Beberapa peninggalan Kerajaan Gowa Tallo yang masih tersimpan hingga saat ini adalah Istana
Balla Lompoa, Istana Tamalate, Masjid Katangka, Benteng Somba Opu dan Benteng Fort
Rotterdam. 

Beberapa peninggalan tersebut bahkan sangat berkaitan erat dengan kondisi yang pernah terjadi
pada masa pemerintahan Kerajaan Gowa Tallo.

Itulah beberapa kisah menarik yang harus anda ketahui terkait Kerajaan Gowa Tallo. Kondisi
kerajaan ini memperlihatkan betapa kerakusan dan upaya untuk mengakuisisi suatu wilayah
hanya akan menyebabkan peperangan. Meski demikian, Kerajaan Gowa Tallo pernah menjadi
kerajaan kuat yang berasal dari Sulawesi.
Kerajaan Ternate dan Tidore
Sejarah Kerajaan Ternate & Tidore, Masa kejayaan, Peninggalan, kesultanan. Gambar, Geografis
:adalah dua pulau kecil yang hampir sama besarnya. Kedua pulau ini saling berhadapan satu
sama lain dan dipancang gunung api yang muncul dari Laut Maluku.

Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13. Penduduk Ternate awal merupakan
warga eksodus dari Halmahera.

Kerajaan Gapi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kesultanan Ternate (mengikuti nama
ibukotanya) adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Maluku dan merupakan salah satu
kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada 1257. Kesultanan
Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-
17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke -16 berkat perdagangan
rempah-rempah dan kekuatan militernya

Di masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi utara, timur dan
tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di pasifik.
Masuknya Islam ke Maluku erat kaitannya dengan kegiatan perdagangan.

Pada abad ke-15, para pedagang dan ulama dari Malaka dan Jawa menyebarkan Islam ke sana.
Dari sini muncul empat kerajaan Islam di Maluku yang disebut Maluku Kie Raha (Maluku
Empat Raja) yaitu Kesultanan Ternate yang dipimpin Sultan Zainal Abidin (1486-1500),
Kesultanan Tidore yang dipimpin oleh Sultan Mansur, Kesultanan Jailolo yang dipimpin oleh
Sultan Sarajati, dan Kesultanan Bacan yang dipimpin oleh Sultan Kaicil Buko. Pada masa
kesultanan itu berkuasa, masyarakat muslim di Maluku sudah menyebar sampai ke Banda, Hitu,
Haruku, Makyan, dan Halmahera.

Kerajaan Ternate dan Tidore yang terletak di sebelah Pulau Halmahera (Maluku Utara) adalah
dua kerajaan yang memiliki peran yang menonjol dalam menghadapi kekuatan-kekuatan asing
yang mencoba menguasai Maluku. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kerajaan ini
bersaing memperebutkan hegemoni politik di kawasan Maluku. Kerajaan Ternate dan Tidore
merupakan daerah penghasil rempah-rempah, seperti pala dan cengkeh, sehingga daerah ini
menjadi pusat perdagangan rempah-rempah.

Wilayah Maluku bagian timur dan pantai-pantai Irian (Papua), dikuasai oleh Kesultanan Tidore,
sedangkan sebagian besar wilayah Maluku, Gorontalo, dan Banggai di Sulawesi, dan sampai ke
Flores dan Mindanao, dikuasai oleh Kesultanan Ternate. Kerajaan Ternate mencapai puncak
kejayaannya pada masa Sultan Baabullah, sedangkan Kerajaan Tidore mencapai puncak
kejayaannya pada masa Sultan Nuku..

Persaingan di antara kerajaan Ternate dan Tidore adalah dalam perdagangan. Dari persaingan ini
menimbulkan dua persekutuan dagang, masing-masing menjadi pemimpin dalam persekutuan
tersebut,yaitu:
Uli-Lima (persekutuan lima bersaudara)

dipimpin oleh Ternate meliputi Bacan, Seram, Obi, dan Ambon. Pada masa Sultan Baabulah,
Kerajaan Ternate mencapai aman keemasan dan disebutkan daerah kekuasaannya meluas ke
Filipina.

Uli-Siwa (persekutuan sembilan bersaudara)

dipimpin oleh Tidore meliputi Halmahera, Jailalo sampai ke Papua. Kerajaan Tidore mencapai
aman keemasan di bawah pemerintahan Sultan Nuku. Kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang
berkembang adalah Kesultanan Palembang yang didirikan oleh Ki Gedeng Suro, Kerajaan Bima
di daerah bagian timur Sumbawa, dengan rajanya La Ka’i, Siak Sri Indrapura yang didirikan oleh
Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, dan masih banyak lagi Kerajaan

Islam kecil lainnya di Indonesia.

Letak Geografis

Secara geografis kerajaan ternate dan tidore terletak di Kepulauan Maluku, antara sulawesi dan
irian jaya letak terletak tersebut sangat strategis dan penting dalam dunia perdagangan masa itu.
Pada masa itu, kepulauan maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar sehingga di
juluki sebagai “The Spicy Island”.

Rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam dunia perdagangan pada saat itu, sehingga
setiap pedagang maupun bangsa-bangsa yang datang dan bertujuan ke sana, melewati rute
perdagangan tersebut agama islam meluas ke maluku, seperti Ambon, ternate, dan tidore.
Keadaan seperti ini, telah mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya, baik dalam
bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya

Sistem Kehidupan Politik

Di Maluku yang terletak di antara Sulawesi dan Irian terdapat dua kerajaan, yakni Ternate dan
Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat pulau Halmahera di Maluku Utara. Kedua
kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate dan Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya
mencakup sejumlah pulau di kepulauan Maluku dan Irian.

Kerajaan Ternate sebagai pemimpin Uli Lima yaitu persekutuan lima bersaudara dengan
wilayahnya mencakup Pulau- Pulau Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Kerajaan Tidore
sebagai pemimpin Uli Siwa, artinya persekutuan Sembilan (persekutuan sembilan saudara)
wilayahnya meliputi Pulau-Pulau Makyan, Jailolo, atau Halmahera, dan pulau-pulau di daerah
itu sampai dengan Irian Barat. Antara keduanya saling terjadi persaingan dan persaingan makin
tampak setelah datangnya bangsa Barat.
Bangsa Barat yang pertama kali datang di Maluku ialah Portugis (1512) yang kemudian
bersekutu dengan Kerajaan Ternate. Jejak ini diikuti oleh bangsa Spanyol yang berhasil
mendarat di Maluku 1521 dan mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Tidore. Dua kekuatan
telah berhadapan, namun belum terjadi pecah perang.

Untuk menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol, maka pada tahun 1529 diadakan
Perjanjian Saragosa yang isinya bangsa Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan
kekuasaannya di Filipina dan bangsa Portugis tetap tinggal Maluku. Untuk memperkuat
kedudukannya di Maluku, maka Portugis mendirikan benteng Sao Paulo. Menurut Portugis,
benteng ini dibangun untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore.

Tindakan Portugis di Maluku makin merajalela yakni dengan cara memonopoli dalam
perdagangan, terlalu ikut campur tangan dalam urusan dalam negeri Ternate, sehingga
menimbulkan pertentangan. Salah seorang Sultan Ternate yang menentang ialah Sultan Hairun
(1550-1570). Untuk menyelesaikan pertentangan, diadakan perundingan antara Ternate (Sultan
Hairun) dengan Portugis (Gubernur Lopez de Mesquita) dan perdamaian dapat dicapai pada
tanggal 27 Februari 1570.

Namun perundingan persahabatan itu hanyalah tipuan belaka. Pada pagi harinya (28 Februari)
Sultan Hairun mengadakan kunjungan ke benteng Sao Paulo, tetapi ia disambut dengan suatu
pembunuhan.

Atas kematian Sultan Hairun, rakyat Maluku bangkit menentang bangsa Portugis di bawah
pimpinan Sultan Baabullah (putra dan pengganti Sultan Hairun). Setelah dikepung selama 5
tahun, benteng Sao Paulo berhasil diduduki (1575). Orang-orang Portugis yang menyerah tidak
dibunuh tetapi harus meninggalkan Ternate dan pindah ke Ambon.

Sultan Baabullah dapat meluaskan daerah kekuasaannya di Maluku. Daerah kekuasaannya


terbentang antara Sulawesi dan Irian; ke arah timur sampai Irian, barat sampai pulau Buton, utara
sampai Mindanao Selatan (Filipina), dan selatan sampai dengan pulau Bima (Nusa Tenggara),
sehingga ia mendapat julukan “Tuan dari tujuh pulau dua pulau”.

Pada abad ke-17, bangsa Belanda datang di Maluku dan segera terjadi persaingan antara Belanda
dan Portugis. Belanda akhirnya berhasil menduduki benteng Portugis di Ambon dan dapat
mengusir Portugis dari Maluku (1605). Belanda yang tanpa ada saingan kemudian juga
melakukan tindakan yang sewenang-wenang, yakni:

Melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi (rempahrempah) kepada VOC
(contingenten).

Adanya perintah penebangan/pemusnahan tanaman rempah-rempah jika harga rempah-rempah di


pasaran turun (hak ekstirpasi) dan penanaman kembali secara serentak apabila harga rempah-
rempah di pasaran naik/ meningkat.
Mengadakan pelayaran Hongi (patroli laut), yang diciptakan oleh Frederick de Houtman
(Gubernur pertama Ambon) yakni sistem perondaan yang dilakukan oleh VOC dengan tujuan
untuk mencegah timbulnya perdagangan gelap dan mengawasi pelaksanaan monopoli
perdagangan di seluruh Maluku.

Tindakan-tindakan penindasan tersebut di atas jelas membuat rakyat hidup tertekan dan
menderita, sebagai reaksinya rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata melawan VOC. Pada
tahun 1635-1646 rakyat di kepulauan Hitu bangkit melawan VOC dibawah pimpinan Kakiali dan
Telukabesi. Pada tahun 1650 rakyat Ambon dipimpin oleh Saidi. Demikian juga di daerah lain,
seperti Seram, Haruku dan Saparua; namun semua perlawanan berhasil dipadamkan oleh VOC.

Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan besar; akan tetapi pada akhir abad ke-18
muncul lagi perlawanan besar yang mengguncangkan kekuasaan VOC di Maluku. Jika melawan
Portugis, Ternate memegang peranan penting, maka untuk melawan VOC, Tidore yang
memimpinnya. Pada tahun 1780 rakyat Tidore bangkit melawan VOC di bawah pimpinan Sultan
Nuku.

Selanjutnya Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dengan Tidore. Setelah Sultan Nuku
meninggal (1805), tidak ada lagi perlawaan yang kuat menentang VOC, maka mulailah VOC
memperkokoh kekuasaannya kembali di Maluku. Perlawanan yang lebih dahsyat di Maluku baru
muncul pada permulaan abad ke-19 di bawah pimpinan Pattimura.

Ekonomi dan Sosial-Budaya

Kehidupan Ekonomi

Kehidupan rakyat Maluku yang utama adalah pertanian dan perdagangan. Tanah di kepulauan
Maluku yang subur dan diliputi oleh hutan rimba, banyak memberikan hasil berupa cengkih dan
pala.

Cengkih dan pala merupakan rempah-rempah yang sangat diperlukan untuk ramuan obat-obatan
dan bumbu masak, karena mengandung bahan pemanas. Oleh karena itu, rem-pah-rempah
banyak diperlukan di daerah dingin seperti di Eropa. Dengan hasil rempahrempah maka aktivitas
pertanian dan perdagangan rakyat Maluku maju dengan pesat.

Dan kedatangan Portugis di Maluku yang semula untuk berdagang dan mendapatkan rempah-
rempah, juga menyebarkan agama Katolik. Pada tahun 1534 missionaris Katolik, Fransiscus
Xaverius telah berhasil menyebarkan agama Katolik di Halmahera, Ternate, dan Ambon.

Telah kita ketahui bahwa sebelumnya di Maluku telah berkembang agama Islam. Dengan
demikian kehidupan agama telah mewarnai kehidupan sosial masyarakat Maluku. Dalam
kehidupan budaya, rakyat Maluku diliputi aktivitas perekonomian, maka tidak banyak
menghasilkan budaya. Salah satu karya seni bangun yang terkenal ialah Istana Sultan Ternate
dan Masjid kuno di Ternate.

Kehidupan Sosial

Kedatangan bangsa portugis di kepulauan Maluku bertujuan untuk menjalin perdagangan dan
mendapatkan rempah-rempah. Bangsa Portugis juga ingin mengembangkan agama katholik.
Dalam 1534 M, agama Katholik telah mempunyai pijakan yang kuat di Halmahera, Ternate, dan
Ambon, berkat kegiatan Fransiskus Xaverius.

Seperti sudah diketahui, bahwa sebagian dari daerah maluku terutama Ternate sebagai pusatnya,
sudah masuk agama islam. Oleh karena itu, tidak jarang perbedaan agama ini dimanfaatkan oleh
orang-orang Portugis untuk memancing pertentangan antara para pemeluk agama itu. Dan bila
pertentangan sudah terjadi maka pertentangan akan diperuncing lagi dengan campur tangannya
orang-orang Portugis dalam bidang pemerintahan, sehingga seakan-akan merekalah yang
berkuasa.

Setelah masuknya kompeni Belanda di Maluku, semua orang yang sudah memeluk agama
Katholik harus berganti agama menjadi Protestan. Hal ini menimbulkan masalah-masalah sosial
yang sangat besar dalam kehidupan rakyat dan semakin tertekannya kehidupan rakyat, Keadaan
ini menimbulkan amarah yang luar biasa dari rakyat Maluku kepada kompeni Belanda. Di
Bawah pimpinan Sultan Ternate, perang umum berkobar, namun perlawanan tersebut dapat
dipadamkan oleh kompeni Belanda.

Kehidupan rakyat Maluku pada zaman kompeni Belanda sangat memprihatinkan sehingga
muncul gerakan menentang Kompeni Belanda.

Kehidupan Budaya

Rakyat Maluku, yang didominasi oleh aktivitas perekonomian tampaknya tidak begitu banyak
mempunyai kesempatan untuk menghasilkan karya-karya dalam bentuk kebudayaan. Jenis-jenis
kebudayaan rakyat Maluku tidak begitu banyak kita ketahui sejak dari zaman berkembangnya
kerajaan-kerajaan Islam seperti Ternate dan Tidore.

Masa kejayaan Ternate & Tidore

Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah salah satu dari 4 kerajaan
Islam di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara.
Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257.

Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur Nusantara antara abad ke-13
hingga abad ke-19. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat
perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya
membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian
selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.

Struktur Kerajaan

Pada masa–masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan
jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut kolano. Mulai pertengahan abad ke-15,
Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan
Zainal Abidin meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan gelar sultan. Para ulama
menjadi figur penting dalam kerajaan.

Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan jogugu (perdana menteri) dan fala raha
sebagai para penasihat. Fala raha atau empat rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi
tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing–masing
dikepalai seorang kimalaha.

Mereka yaitu Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Pejabat–pejabat tinggi kesultanan
umumnya berasal dari klan–klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya
dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange
(Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji.

Anda mungkin juga menyukai