Anda di halaman 1dari 6

Kesultanan Ternate

Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah salah satu dari 4
kerajaan Islam di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua
di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kesultanan Ternate
memiliki peran penting di kawasan timur nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-19.
Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-
rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang mencakup
wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan
kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.

Asal usul pembentukan


Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13. Penduduk Ternate awal merupakan
warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing-masing
dikepalai oleh seorang momole (kepala marga). Merekalah yang pertama–tama mengadakan
hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah–rempah.
Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya
pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin
ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa Momole
Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih
kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai kolano (raja)
pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di kampung
Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh
penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau kampung besar (belakangan orang menyebut
Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga
kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi. Di bawah
pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan
yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar
di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.

Unifikasi Persekutuan Maluku


Lukisan pemandangan Pulau Ternate dengan Gunung Gamalama (sekitar tahun 1883-1889).
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 3 kerajaan lain yang memiliki pengaruh
yaitu Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan. Kerajaan–kerajaan ini
merupakan saingan Ternate dalam memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat perdagangan
rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan untuk memperkuat
hegemoninya di Maluku, Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan antipati dan
memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku yang memandang Ternate sebagai musuh
bersama hingga memicu terjadinya perang.
Demi menghentikan konflik yang berlarut–larut, sultan Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau
disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja–raja Maluku yang lain
untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian dikenal
sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain terjalinnya
persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena
pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan
Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).

Kedatangan Islam
Sigi Lamo, masjid peninggalan Kesultanan Ternate.
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku Utara khususnya
Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat Ternate telah
mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu.
Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka
maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa
keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui
memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah
puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal Abidin
adalah meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan sultan, Islam diakui
sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga kerajaan
sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti
kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang
pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru
pada Sunan Giri di pulau Jawa. Di sana dia dikenal sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih).

Kedatangan Portugal dan Perang Saudara


Peta terawal Kepulauan Maluku Utara karya seorang kartografer Belanda, Willem Janszoon
Blaeu, pada tahun 1630. Arah utara berada di sebelah kanan, dengan Pulau Ternate terletak di
ujung kanan, diikuti oleh Pulau Tidore, Mare, Moti dan Kepulauan Makian. Pada bagian bawah
adalah Gilolo (Jailolo atau Halmahera). Inset yang berada di atas menunjukkan Pulau Bacan.
Pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang,
rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang
diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Pada masa
ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema)
tahun 1506.
Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah
pimpinan Fransisco Serrao, atas persetujuan sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di
Ternate. Portugal datang bukan semata–mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai
perdagangan rempah–rempah, pala dan cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus
menaklukkan Ternate.
Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan,
permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali.
Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu
mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, Pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan
pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan
tahta bagi dirinya sendiri.
Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang
saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung
Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh
Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang
dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan.
Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang
ke Goa, India. Di sana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate
sebagai kerajaan Katolik dan vasal kerajaan Portugal, tetapi perjanjian itu ditolak mentah-mentah
oleh Sultan Khairun (1534-1570).

Pengusiran Portugal
Perlakuan Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad
mengusir Portugal dari Maluku. Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu ini juga menimbulkan
kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun. Sejak masa sultan
Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama
di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan Malaka pada tahun 1511.
Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal.
Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di
seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk
menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan
Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa
memohon damai kepada Sultan Khairun. Secara licik gubernur Portugal, Lopez de
Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam
membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.
Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk mengusir Portugal,
bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-
1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur. Setelah
peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya pada
tahun 1575. Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah
membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di
bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di bagian
selatan.
Sultan Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga menjadikan
Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di samping Aceh dan
Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga
kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah
bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme Barat.

Kedatangan Belanda
Setelah Sultan Baabullah meninggal, Ternate mulai melemah, Kerajaan Spanyol yang telah
bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan
menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina,
Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal,
bahkan Sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.
Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda pada tahun
1603. Ternate akhirnya berhasil menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal.
Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607 Sultan
Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda
melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang
merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate
menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah
Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja
Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan
perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah–rempah kepada
pedagang Jawa dan Makassar.

Perlawanan Rakyat Maluku dan Kejatuhan Ternate


Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada Ternate semakin kuat. Belanda dengan
leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan. Sikap Belanda
yang jahat dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan semua kalangan.
Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate
dan rakyat Maluku.
 Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot
Belanda memutuskan melakukan penebangan besar–besaran pohon cengkih dan pala di
seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten yang menyebabkan rakyat
mengobarkan perlawanan. Pada tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon, Salahakan
Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate, Hitu dan Makassar menggempur berbagai
kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan
dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu
dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
 Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon,
pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau
akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot
untuk menurunkan sultan. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran
Saidi, Majira dan Kalamata. Pangeran Saidi adalah seorang kapita laut atau panglima
tertinggi pasukan Ternate, Pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara Pangeran
Kalamata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di
Maluku Tengah sementara Pangeran Kalamata bergabung dengan raja Kesultanan
Gowa, Sultan Hasanuddin. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan Sultan Mandarsyah
dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655), tetapi berkat bantuan Belanda
kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi dkk
berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara Pangeran
Majira dan Kalamata menerima pengampunan sultan dan hidup dalam pengasingan.
 Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 –
1691) merasa gerah dengan tindak–tanduk Belanda yang semena-mena. Ia kemudian
menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, tetapi upayanya
untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena daerah–daerah strategis yang bisa
diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai
perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo.
Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya
menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa
Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan Ternate berikutnya tetap berjuang
mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena
selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya secara diam–diam. Yang
terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan
perlawanan rakyat di wilayah–wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah
pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.
Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil
menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk
Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan tetapi karena
keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut
berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji
Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan
keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan Haji
Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, dia dibuang
ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.
Pasca penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14
tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul
keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus Kesultanan Ternate namun niat itu
urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru
sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan
meskipun hanya sebatas simbol budaya.

Sultan yang berkuasa


Pada masa–masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk kerajaan
jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut kolano. Mulai pertengahan abad ke-
15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan
Zainal Abidin meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan gelar sultan.
Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan jogugu (perdana menteri) dan fala
raha sebagai para penasihat. Fala raha atau empat rumah adalah empat klan bangsawan yang
menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing–
masing dikepalai seorang kimalaha. Mereka yaitu Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi.
Pejabat–pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan–klan ini. Bila seorang sultan tak
memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan
lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji,
dll.

Anda mungkin juga menyukai