Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

KERAJAAN TERNATE

Guru Mapel: Alghazali Noviansyah S.Pd.


A. Kerajaan kesultanan Ternate

Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi adalah salah satu dari 4 kerajaan
Islam di Kepulauan Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara.
Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran
penting di kawasan timur nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-19. Kesultanan
Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah
dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah
Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga
sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.

B. Sejarah

Asal usul pembentukan

Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13. Penduduk Ternate awal merupakan
warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 kampung yang masing-masing
dikepalai oleh seorang momole (kepala marga). Merekalah yang pertama–tama mengadakan
hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah–rempah.
Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu
dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan yang semakin ramai ditambah ancaman
yang sering datang dari para perompak maka atas prakarsa Momole Guna pemimpin Tobona
diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat
seorang pemimpin tunggal sebagai raja.

Tahun 1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai kolano (raja)
pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di
kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga
oleh penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau kampung besar (belakangan orang
menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate,
sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi.
Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang dari
sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang
berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya Maluku.

Persekutuan Maluku
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 3 kerajaan lain yang memiliki pengaruh
yaitu Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan. Kerajaan–kerajaan ini
merupakan saingan Ternate dalam memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat
perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, dan
untuk memperkuat hegemoninya di Maluku, Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini
menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan kerajaan lain di Maluku yang
memandang Ternate sebagai musuh bersama hingga memicu terjadinya perang.

Demi menghentikan konflik yang berlarut–larut, sultan Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau
disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja–raja Maluku yang lain
untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian
dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir penting dari pertemuan ini selain
terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku.
Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai
persekutuan Moloku Kie Raha (Empat Gunung Maluku).

Kedatangan Islam

Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku Utara
khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat
Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di
Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam
namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan.
Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan
abad ke-15.

Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang diketahui
memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum
adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan Zainal
Abidin adalah meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan sultan, Islam diakui
sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga
kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini
kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga
mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam
ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa. Di sana dia dikenal sebagai
Sultan Bualawa (Sultan Cengkih).

Kedatangan Portugal dan Perang Saudara


Pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang,
rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang
diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Pada
masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico
Varthema) tahun 1506.

Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan
Fransisco Serrao, atas persetujuan sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di
Ternate. Portugal datang bukan semata–mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai
perdagangan rempah–rempah, pala dan cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka
harus menaklukkan Ternate.

Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda
sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai
wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah
satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, Pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu)
dan pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese
menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.

Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah
perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese
didukung Portugal. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan
dibunuh Portugal. Gubernur Portugal bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan
pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran
Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia
difitnah dan dibuang ke Goa, India. Di sana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani
perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Katolik dan vasal kerajaan Portugal, tetapi
perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Khairun (1534-1570).

Pengusiran Portugal
Perlakuan Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan
bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu ini juga
menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun. Sejak
masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan
pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan
Malaka pada tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak
terjang Portugal di Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal.
Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong
kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa
dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus
mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala
bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada Sultan Khairun. Secara licik gubernur
Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya
dengan kejam membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.

Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk mengusir Portugal,
bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah
(1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur.
Setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk
selamanya pada tahun 1575. Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak
kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga
Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga kepulauan
Nusa Tenggara di bagian selatan.

Sultan Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga


menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di
samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu.
Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak
dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang
membendung kolonialisme Barat.

Kedatangan Belanda

Setelah Sultan Baabullah meninggal, Ternate mulai melemah, Kerajaan Spanyol yang telah
bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan
menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina,
Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol namun gagal,
bahkan Sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.

Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda pada
tahun 1603. Ternate akhirnya berhasil menahan Spanyol namun dengan imbalan yang amat
mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni
1607 Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan
bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng
Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.

Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate
menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah
Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja
Ternate ini memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia
mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah–rempah kepada
pedagang Jawa dan Makassar.

Perlawanan Rakyat Maluku dan Kejatuhan Ternate

Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada Ternate semakin kuat. Belanda
dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang merugikan rakyat lewat perintah sultan. Sikap
Belanda yang jahat dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan kekecewaan
semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan
bangsawan Ternate dan rakyat Maluku.

-Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot
Belanda memutuskan melakukan penebangan besar–besaran pohon cengkih dan pala di
seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten yang menyebabkan rakyat
mengobarkan perlawanan. Pada tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon, Salahakan
Luhu, puluhan ribu pasukan gabungan Ternate, Hitu dan Makassar menggempur berbagai
kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan
dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu
dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
-Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon,
pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau
akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot
untuk menurunkan sultan. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran
Saidi, Majira dan Kalamata. Pangeran Saidi adalah seorang kapita laut atau panglima
tertinggi pasukan Ternate, Pangeran Majira adalah raja muda Ambon sementara Pangeran
Kalamata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di
Maluku Tengah sementara Pangeran Kalamata bergabung dengan raja Kesultanan Gowa,
Sultan Hasanuddin. Mereka bahkan sempat berhasil menurunkan Sultan Mandarsyah dari
tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655), tetapi berkat bantuan Belanda
kedudukan Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi dkk
berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam hingga mati sementara Pangeran
Majira dan Kalamata menerima pengampunan sultan dan hidup dalam pengasingan.
-Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 –
1691) merasa gerah dengan tindak–tanduk Belanda yang semena-mena. Ia kemudian
menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao, tetapi upayanya
untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena daerah–daerah strategis yang bisa
diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai
perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo.
Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya
menjadikan Ternate sebagai kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa
Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan Ternate berikutnya tetap
berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang
terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan rakyatnya
secara diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-
1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah–wilayah kekuasaannya, bermula di
wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.

Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil
menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk
Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan tetapi karena
keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan
tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan
Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini oleh karenanya
berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47,
Sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita,
dia dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.

Pasca penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama
14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat
muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus Kesultanan Ternate namun
niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu
pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di
Batavia.

Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap
bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya.

Sultan yang berkuasa


Pada masa–masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole. Setelah membentuk
kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang disebut kolano. Mulai pertengahan
abad ke-15, Islam diadopsi secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam
diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan
gelar sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.

Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan jogugu (perdana menteri) dan fala
raha sebagai para penasihat. Fala raha atau empat rumah adalah empat klan bangsawan
yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada masa
lalu, masing–masing dikepalai seorang kimalaha. Mereka yaitu Marasaoli, Tomagola, Tomaito
dan Tamadi. Pejabat–pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan–klan ini. Bila
seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu klan.
Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua
Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji, dll.

Anda mungkin juga menyukai