KERAJAAN TERNATE
Kelompok 5:
1. Fuza Noer Illahi
2. Khadijah Putri Burmelli
3. Lulu Aini’Arpa Amiliyah
4. M. Royan Albadi
5. Nurrachman Alfarizi Hidayat
B. Sejarah
2. Persekutuan Maluku
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 3 kerajaan lain yang memiliki
pengaruh yaitu Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan.
Kerajaan–kerajaan ini merupakan saingan Ternate dalam memperebutkan hegemoni
di Maluku. Berkat perdagangan rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi
yang mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di Maluku, Ternate mulai
melakukan ekspansi. Hal ini menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan
kerajaan lain di Maluku yang memandang Ternate sebagai musuh bersama hingga
memicu terjadinya perang.
Demi menghentikan konflik yang berlarut–larut, sultan Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya
atau disebut juga Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja–raja
Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah membentuk persekutuan.
Persekutuan ini kemudian dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir
penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan adalah penyeragaman
bentuk kelembagaan kerajaan di Maluku. Oleh karena pertemuan ini dihadiri 4 raja
Maluku yang terkuat maka disebut juga sebagai persekutuan Moloku Kie Raha
(Empat Gunung Maluku).
3. Kedatangan Islam
Tak ada sumber yang jelas mengenai kapan awal kedatangan Islam di Maluku Utara
khususnya Ternate. Namun diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate
masyarakat Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya pedagang Arab yang
telah bermukim di Ternate kala itu. Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan
nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk
Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga kerajaan Ternate
resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja pertama yang
diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti
Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah
yang diambil Sultan Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar kolano dan
menggantinya dengan sultan, Islam diakui sebagai agama resmi kerajaan, syariat
Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan
melibatkan para ulama. Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di
Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga mendirikan madrasah yang
pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan
berguru pada Sunan Giri di pulau Jawa. Di sana dia dikenal sebagai Sultan Bualawa
(Sultan Cengkih).
5. Pengusiran Portugal
Perlakuan Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram
dan bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu
ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan
Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga
kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan
Demak setelah kejatuhan Malaka pada tahun 1511. Ketiganya membentuk Aliansi
Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran
Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng
dan kantong kekuatan di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu–sekutu suku
pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan
Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal di Maluku
kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa memohon damai kepada Sultan
Khairun. Secara licik gubernur Portugal, Lopez de Mesquita mengundang Sultan
Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam membunuh sultan yang
datang tanpa pengawalnya.
Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk mengusir
Portugal, bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan
Sultan Baabullah (1570-1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur
Indonesia digempur. Setelah peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal
meninggalkan Maluku untuk selamanya pada tahun 1575. Di bawah pimpinan Sultan
Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah membentang dari Sulawesi
Utara dan Tengah di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari
Filipina Selatan di bagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di bagian selatan.
Sultan Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga
menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di
samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala
itu. Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau
tidak dikesampingkan dalam sejarah bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama
yang membendung kolonialisme Barat.
6. Kedatangan Belanda
Setelah Sultan Baabullah meninggal, Ternate mulai melemah, Kerajaan Spanyol yang
telah bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba menguasai kembali
Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan kekuatan baru Spanyol memperkuat
kedudukannya di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk
menghalau Spanyol namun gagal, bahkan Sultan Said Barakati berhasil ditawan
Spanyol dan dibuang ke Manila.
Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan
Belanda pada tahun 1603. Ternate akhirnya berhasil menahan Spanyol namun
dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya secara perlahan-lahan
menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607 Sultan Ternate menandatangani
kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan
Spanyol. Pada tahun 1607 pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang
merupakan benteng pertama mereka di nusantara.
Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan
Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate.
Diantaranya adalah Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon yang juga
merupakan mantan wali raja Ternate ini memimpin oposisi yang menentang
kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda
dengan menjual rempah–rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.
Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang
merosot Belanda memutuskan melakukan penebangan besar–besaran pohon
cengkih dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi
Tochten yang menyebabkan rakyat mengobarkan perlawanan. Pada tahun 1641,
dipimpin oleh raja muda Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu pasukan
gabungan Ternate, Hitu dan Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda
di Maluku Tengah. Salahakan Luhu kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi
mati bersama seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu
dilanjutkan oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga
1646.
Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan
Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan tindak–tanduk Belanda yang semena-
mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa
Mindanao, tetapi upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena
daerah–daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis perlawanan terlanjur
jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya.
Ia kalah dan terpaksa menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori
terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai
kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai
negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan Ternate berikutnya tetap
berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan
yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan
rakyatnya secara diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad
Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah–wilayah
kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola
namun gagal.
Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau
berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas
termasuk Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan
tetapi karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki
Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita Banau ditangkap dan
dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat
dalam pemberontakan ini oleh karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia
Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan Haji Muhammad Usman Syah
dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, dia dibuang ke Bandung
tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.
Pasca penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong
selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan
kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus
Kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi
keras yang bisa memicu pemberontakan baru sementara Ternate berada jauh dari
pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih
tetap bertahan meskipun hanya sebatas simbol budaya.