Anda di halaman 1dari 7

Kesultanan Ternate Tidore

Dikutip dari buku 'Mengenal Kerajaan-kerajaan Nusantara', Kerajaan Ternate Tidore


terdiri dari dua kesultanan yang berdiri pada abad ke-14. Kerajaan ini juga sangat dikenal
akan hasil rempah-rempahnya, seperti pala, lada, dan sejenisnya.
1. Negara Makmur
Dua kerajaan ini diketahui hidup dengan penuh kemakmuran karena memiliki
rempah-rempah yang berharga. Pasalnya, dahulu negara-negara Eropa sangat
membutuhkan rempah-rempah dan membelinya dengan harga tinggi.
Pada abad ke-15, kerajaan ini semakin berkembang karena perdagangannya yang
kuat. Tak hanya dari bangsa Eropa, pedagang dari Jawa, Melayu, Arab, dan China
datang untuk membeli rempah-rempah
Sebaliknya, para pedagang yang datang juga membawa beras, tenunan, perak,
gading dan barang-barang lain. Hubungan kerajaan semakin akrab sehingga
memudahkan proses penyebaran agama Islam ke kesultanan Ternate dan Tidore

2. Raja-raja
Di masa kejayaan, Ternate dipimpin oleh raja Zainal Abidin (1465-1486) yang
berganti nama menjadi Sultan Marhum. Sedangkan, Tidore dipimpin oleh Cirililiyah
yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Jamaluddin.
Selanjutnya, kepemimpinan kerajaan beralih ke penerusnya, yakni Sultan Ben
Acorala untuk Kerajaan Ternate dan Sultan Almancor untuk Kerajaan Tidore. Hanya
saja, di masa ini muncul perpecahan yang berakibat pada perebutan kekuasaan.

3. Perpecahan
Akibat perebutan kekuasaan itu, muncul dua kubu yakni Uli Lima dari Ternate
yang membawahi Ambon, Bacan, Obi, dan Seram, serta kubu Uli Siwa dari Tidore
yang membawahi Makean, Halmahera, Kai, dan pulau-pulau kecil dari Papua Barat.
Perselisihan semakin panas akibat dua kerajaan bersekutu terhadap bangsa
Eropa, yakni Ternate terhadap Portugis dan Tidore bersama Spanyol. Ternyata,
kedatangan Portugis memperburuk keadaaan sehingga Sultan Hairun dari Ternate
melakukan perlawanan.
Pertempuran tersebut berlangsung dari tahun 1550 hingga 1570 dengan
ditangkapnya Sultan Hairun. Kemudian, ia dilepaskan namun malah dibunuh saat
berkunjung membawa pesan damai ke benteng Portugis.
Mengetahui hal itu, putra Sultan Hairun, Sultan Baabullah semakin gencar
melakukan perlawanan ke Portugis hingga akhirnya negara tersebut menyerah karena
kekurangan makanan. Benteng Portugis jatuh di tangan Sultan Baabullah di tahun
1575.
Kesultanan Ternate pun mencapai masa kejayaan di bawah pimpinan Sultan
Baabullah. Sedangkan Kesultanan Tidore di bawah pimpinan Sultan Nuku. Kerajaan
Ternate Tidore pun sepakat untuk mengusir Portugis dari Maluku karena menyadari
akal politik adu domba mereka.
Kerajaan Islam Ternate
Sejarah Kerajaan Ternate
Melansir buku Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia oleh Amarseto Binuko, Kerajaan
Ternate bermula dari keberadaan empat kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang
kepala marga atau disebut Momole.
Kemudian empat kampung tersebut sepakat membuat kerajaan tetapi kala itu raja dan
rakyatnya belum diketahui agamanya. Setelah dilakukan musyawarah, para Momole sepakat
menunjuk Momole Ciko sebagai raja. Momole Ciko resmi menjadi raja pertama Kerajaan Ternate
dengan gelar Baab Mashur Malamo sejak 1257 M.
Mengutip buku Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara oleh Deni Prasetyo, pada abad ke-
14 di daerah Maluku Utara berdiri Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore. Kedua kerajaan ini
terkenal akan hasil rempahnya dan harganya yang tinggi membuat rakyat di Maluku makmur. Pada
pertengahan abad ke-15, kegiatan perdagangan rempah-rempah di Maluku makin ramai. Banyak
pedagang Jawa, Melayu, Arab, dan China datang ke Maluku untuk membeli rempah-rempah.
Hubungan pedagang-pedagang di Maluku dan pedagang-pedagang Jawa makin akrab. Hal
ini yang kemudian memudahkan proses penyebaran agama Islam ke kesultanan Ternate dan Tidore.
Pada awalnya, kesultanan yang dulunya bernama Kerajaan Gapi ini belum bercorak Islam. Agama
Islam mulai menyebar pada abad ke-14, keluarga kerajaan baru memeluk Islam pada masa
pemerintahan Raja Kolano Marhum (1432-1486 M).
Saat Kolano Mahrum berkuasa, datang seorang dari Jawa bernama Maulana Husein yang
mengajarkan membaca Al Quran dan menulis huruf Arab. Hal ini yang membuat raja, keluarga
kerajaan, dan masyarakat Ternate tertarik untuk memeluk Islam. Kolano Marhum menjadi Raja
Ternate pertama yang memeluk Islam. Putranya yakni Zainal Abidin yang berkuasa pada 1486-
1500 M mulai memberlakukan hukum-hukum Islam. Setelah bertransformasi menjadi kesultanan
Islam, gelar kolano atau raja kemudian diganti menjadi sultan.
Kerajaan Ternate mulai mengalami kemunduran setelah Sultan Baabullah wafat pada 1583
M. Tak lama kemudian, Spanyol melakukan serangan dan berhasil merebut Benteng Gamulamu
pada 1606 M. Sejak saat itu, VOC memegang hak atas monopoli perdagangan dan mulai
mendirikan benteng di Ternate. Menjelang akhir abad ke-17, Kerajaan Ternate sepenuhnya berada
di bawah kendali VOC.

Letak Kerajaan Ternate


Kerajaan Ternate terletak di sebelah barat Pulau Halmahera, Maluku Utara. Ternate
termasuk kota yang terhitung tua karena sudah berdiri sebelum abad pertengahan dan menjadi pusat
peradaban Islam terbesar di Nusantara Timur pada zamannya. Kota Ternate juga pernah
mendapatkan julukan Al Mullukiah, sebab selain menjadi pusat peradaban Islam juga menjadi pusat
pemerintahan dan pusat perdagangan.
Peninggalan Kerajaan Ternat
1. Berikut sejumlah peninggalan dari Kerajaan Ternate.
2. Istana Kesultanan Ternate
3. Masjid Jami Kesultanan Ternate
4. Kompleks Pemakaman Sultan Ternate
5. Benda-benda peninggalan di Museum Kesultanan Ternate, seperti alat perang, singgasana raja,
hingga Al Quran tulisan raja.
Kesultanan Jambi
Kesultanan Jambi adalah kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Provinsi
Jambi pada abad ke-17 hingga awal abad ke-20. Sebelum berubah menjadi kesultanan,
namanya dikenal dengan Kerajaan Melayu Jambi. Kerajaan Jambi didirikan oleh Datuk
Paduko Berhalo bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak, pada 1460. Pada 1615,
kerajaan ini resmi menjadi kesultanan setelah Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan
gelar Sultan Abdul Kahar. Di bawah Sultan Abdul Kahar pula, Kesultanan Jambi mencapai
masa kejayaan, di mana Jambi menjadi salah satu perniagaan utama di Sumatera. Setelah
berkuasa hampir empat abad, kerajaan runtuh setelah raja terakhir dari Kesultanan Jambi,
Sultan Thaha Syaifuddin, wafat di tangan Belanda pada 1904.
Sejarah berdirinya
Sejak dikuasai Kerajaan Sriwijaya, Jambi telah dianggap memiliki peluang yang baik
dalam bidang perdagangan. Kerajaan Sriwijaya pun diakui sebagai penguasa sukses,
khususnya dalam membangun hubungan perdagangan. Pada 1460, Datuk Paduko Berhalo,
yang konon berasal dari Turki, mendirikan Kerajaan Melayu Jambi bersama istrinya, Putri
Selaras Pinang Masak.
Meski letak Kerajaan Jambi berada di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi,
tetapi keberadaannya tidak luput dari jangkauan Kerajaan Majapahit. Kala itu, Kerajaan
Jambi berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang berpusat di Jawa Timur. Pada
akhir abad ke-16, Kerajaan Majapahit runtuh, bersamaan dengan tersiarnya agama Islam di
Jambi. Kerajaan Jambi secara resmi berubah menjadi kesultanan saat Pangerah Kedah naik
takhta pada 1615 dengan gelar Sultan Abdul Kahar.
Raja-raja Kesultanan Jambi
1. Datuk Paduko Berhalo dan Putri Selaras Pinang Masak (1460-1480)
2. Orang Kayo Pingai (1480-1490)
3. Orang Kayo Kedataran (1490-1500)
4. Orang Kayo Hitam (1500-1515)
5. Pangeran Hilang diair (1515-1540)
6. Panembahan Rengas Pandak (1540-1565)
7. Panembahan Bawah Sawo (1565-1590)
8. Panembahan Kota Baru (1590-1615)
9. Sultan Abdul Kahar (1615-1643)
10. Pangeran Depati Anom/Sultan Abdul Djafri/Sultan Agung (1643-1665)
11. Raden Penulis/Sultan Abdul Mahji/Sultan Ingologo (1665-1690)
12. Raden Tjakra Negara/Pangeran Depati/Sultan Kiyai Gede (1690-1696)
13. Sultan Mochamad Syah (1696-1740)
14. Sultan Sri Ingologo (1740-1770)
15. Sultan Zainuddin/Sultan Anom Sri Ingologo (1770-1790)
16. Mas’ud Badaruddin/Sultan Ratu Sri Ingologo (1790-1812)
17. Sultan Mahmud Muhieddin/Sultan Agung Sri Ingologo (1812-1833)
18. Sultan Muhammad Fakhruddin bin Mahmud (1833-1841)
19. Sultan Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud (1841-1855)
20. Sultan Thaha Syaifuddin bin Muhammad Fakhruddin (1855-1858)
21. Sultan Ahmad Nazaruddin bin Mahmud (1858-1881)
22. Sultan Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman (1881-1885)
23. Sultan Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad (1885-1899)
24. Sultan Thaha Syaifuddin bin Muhammad Fakhruddin (1900-1904)
25. Sultan Abdurrachman Thaha Syaifuddin (sebagai simbol adat) (2012-2021)

Masa kejayaan 
Sejak pertengahan abad ke-16, para penguasa Jambi mengadakan perdagangan lada
yang menguntungkan dengan bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda. Kegiatan perdagangan
itu juga melibatkan bangsa China, Melayu, Makassar, dan Jawa.
Kehidupan ekonomi Kesultanan Jambi yang makmur akibat kegiatan perdagangan
inilah yang mampu membawa kerajaan menuju masa kejayaan di bawah Sultan Abdul Kahar.
Sultan Kesultanan Jambi yang pertama ini berhasil membawa kerajaannya menjadi makmur
berkat monopoli perdagangan lada dan pengenaan bea ekspor. Bahkan, pada 1616, ibu kota
Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera, setelah Aceh.
Berdasarkan data VOC, Sultan Jambi meraup keuntungan 30-35 persen dari lada yang
terjual. Sultan Abdul Kahar juga dikatakan sebagai penguasa yang kuat, bahkan tidak takut
dengan tuntutan Raja Johor dan tidak pernah mau bekerja sama dengan VOC.
Keruntuhan Kesultanan Jambi
Pada 1643, Sultan Abdul Kahar memilih turun takhta dan kedudukannya digantikan
oleh Pangeran Depati Anom atau Sultan Agung. Hal ini dilakukan setelah VOC
menyodorkan perjanjian dagang kepada Kesultanan Jambi, dengan tujuan melakukan
monopoli. Sultan Abdul Kahar menolak perjanjian tersebut dan memilih mengundurkan diri
dari takhta kerajaan. Setelah Pangeran Depati Anom, perjanjian pertama Kesultanan Jambi
dengan VOC pun dilakukan, yang perlahan membawa kemunduran bagi kerajaan.
Pada 1680-an, Jambi mulai kehilangan kedudukannya sebagai pelabuhan lada utama
setelah pertempuran dengan pihak Johor. Selain itu, adanya penyelundupan dan utang, juga
menjadi penyebab runtuhnya Kesultanan Jambi, yang diperparah dengan campur tangan
Belanda dalam politik kerajaan.
Ketika berada di bawah jeratan Belanda, intrik di dalam kerajaan semakin membuat
Jambi terpuruk dan rakyatnya dilanda kemiskinan. Baca juga: Kerajaan Lamuri, Cikal Bakal
Kesultanan Aceh Darussalam Pada 1855, Sulyam Mazaruddin wafat dan kedudukannya
sebagai sultan digantikan oleh putranya, Taha Safiuddin. Berbeda dari penguasa sebelumnya,
Sultan Taha menolak keras perjanjian dengan Belanda.
Bahkan, utusan Belanda yang beberapa kali datang untuk menyodorkan perjanjian
kepadanya, selalu dihindari. Akibatnya, Belanda marah dan melayangkan serangan pada
1858, hingga berhasil menguasai istana. Dalam serangan itu, Sultan Taha melarikan diri,
sehingga Pangeran Prabu kemudian diangkat oleh Belanda menjadi penguasa baru di
Kesultanan Jambi dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin.
Ketika Sultan Taha dalam pelarian, Kesultanan Jambi sempat dipimpin oleh beberapa
sultan di bawah pengaruh Belanda. Kesempatan datang ketika terjadi kekosongan kekuasaan
pada 1899, setelah Sultan Zainuddin dicopot oleh Belanda.
Namun, Belanda masih berkuasa dengan menempatkan seorang residen untuk
menempati posisi sultan. Riwayat Kesultanan Jambi benar-benar berakhir saat Sultan Taha
dibunuh oleh Belanda di persembunyiannya pada 1904. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan
oleh pemerintah Hindai Belanda pada 1906. Kemudian, pada 2012, Sultan Abdurrachman
Thaha Syaifuddin dinobatkan sebagai penerus Kesultanan Jambi, tetapi hanya sebagai simbol
adat dan tidak memiliki kekuatan politik
Peninggalan Kesultanan Jambi
1. Makam Taman Rajo-Rajo
2. Masjid Agung Al-Falah Jambi
3. Istana Abdurrahman Thaha Saifuddin
4. Rumah Batu Olak Kemang
Kerajaan Islam di Sumatera
1. Kerajaan Jeumpa
Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu kerajaan yang disebut-sebut sebagai
kerajaan Islam pertama di Indonesia. Namun hal ini masih harus dikaji lebih dalam
karena tidak ada peninggalan yang kuat untuk membuktikan Jeumpa sebagai kerajaan
Islam pertama.
Dikutip dari buku Catatan Pinggir Sejarah Aceh (2014) oleh Dien Majid,
Kerajaan Jeumpa dipimpin oleh Maharaj Syahriar Salman (Salman Al-Parisi),
pangeran dari negeri Persia yang datang ke tanah Aceh pada abad ke-7. Dia
dijodohkan dengan putri raja Jeumpa yang bernama Mayang Selundang. Di bawah
kepemimpinan Syahriar Salman, Kerajaan Jeumpa menjadi kerajaan Islam. Keturunan
Salman dan Mayang di kemudian hari menjadi raja dari Kesultanan Perlak.
2. Kerajaan Perlak
Dari penelitian lain, disebutkan bahwa Kesultanan Perlak atau Peureulak
adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Dikutip dari buku Sejarah Islam
Nusantara (2016) oleh Rizem Aizid, Kesultanan Perlak berkuasa pada masa 840-1292
Masehi. Islam masuk melalui jalur perkawinan dari seorang saudagar keturunan
ulama Arab dengan wanita Aceh. Sultan pertamanya adalah Sultan Alauddin Syed
Maulana Abdul Aziz Syah.
Kerajaan ini menjadi pelabuhan dagang yang sangat maju karena lokasinya
yang strategis sehingga disinggahi kapal-kapal dari Arab dan Persia. Hasil buminya
berupa kayu perlak yang bagus untuk pembuatan kapal.
Beberapa peninggalan yang pernah diteliti dan diyakini sebagai bukti Kerajaan
Perlak sebagai kerajaan Islam pertama, antara lain mata uang, stempel kerajaan dan
makam raja dengan nisan bertuliskan huruf Arab di tepi Sungai Trenggulon.
3. Kerajaan Samudra Pasai
Dalam buku sejarah pada umumnya, kerajaan Islam pertama di Indonesia
adalah Kesultanan Samudra Pasai. Hal ini disebabkan karena Samudra Pasai lebih
banyak temuan catatan sejarahnya daripada Kerajaan Jeumpa maupun Perlak.
Beberapa catatan sejarah tentang Samudra Pasai yakni Hikayat Raja-Raja Pasai, kitab
Abu Abdullah Ibnu Batutah (1304-1368), berita Marco Polo, hingga Sejarah Melayu.
Kerajaan Samudra Pasai berdiri pada tahun 1267 M. Pusat pemerintahannya
berada di antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai
Pasai), Aceh Utara. Raja pertama Samudra Pasai adalah Marah Silu atau Meurah Silu,
yang bergelar Sultan Malik as-Saleh.
Keberadaan Kesultanan Samudra Pasai ini sangat penting bagi perkembangan
Islam di Nusantara. Banyak ulama berasal dari Pasai dan menyebarkan Islam ke
berbagai daerah, termasuk Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga yang merupakan
Wali Songo. Maka dari itu, tak heran jika banyak sumber yang menilai Samudra Pasai
sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia.
4. Kerajaan Aceh
Setelah Kesultanan Samudra Pasai runtuh, dinasti Islam selanjutnya di Aceh
adalah Kesultanan Aceh Darussalam. Kesultanan Aceh sudah berdiri sejak 1496 dan
berhasil merebut wilayah Pasai yang runtuh pada 1521.
Pendiri Kerajaan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah. Puncak kejayaan
Kerajaan Aceh ini dialami pada masa Sultan Iskandar Muda yang memerintah pada
1607-1636 Masehi. Kerajaan ini mampu bertahan hingga empat abad karena Islam
sudah diterima baik di Aceh.
Kemunduran Kerajaan Aceh mulai dirasakan sejak meninggalnya Sultan
Iskandar Muda. Hingga puncaknya ketika Aceh diserang oleh Inggris dan Belanda
pada abad ke-19. Beberapa peninggalan kerajaan ini masih dapat ditemui, seperti
Makam Sultan Iskandar Muda hingga Masjid Baiturrahman.
5. Kerajaan Siak
Kerajaan Siak berpusat di Buantan, Riau. Kerajaan ini dipimpin oleh Sultan
Abdul Jalil Rahmat Syah pada tahun 1723 M. Kerajaan ini memiliki komoditas
berupa padi, tanaman obat, madu, kayu gaharu, hingga emas. Kerajaan Siak
mengalami kemunduran setelah dikuasai oleh VOC secara politik dan ekonomi.
6. Kerajaan Palembang
Palembang dulunya merupakan pusat dari Kerajaan Sriwijaya yang menganut
agama Buddha. Jauh setelah itu, berdirilah Kerajaan Palembang yang berdiri pada
masa abad ke-17 hingga ke-19.
Dilansir dari jurnal FKIP Universitas PGRI Palembang, kerajaan ini didirikan
oleh Sri Susuhunan Abdurrahman. Keberadaan Kesultanan Palembang ini berawal
dari Kerajaan Palembang pada abad ke-15 yang merupakan dampak atas penaklukan
oleh Majapahit.
Salah satu tokoh Islam yang muncul dari Kerajaan Palembang adalah Sultan
Mahmud Badaruddin II yang berkuasa sejak tahun 1804. Sultan Badaruddin II turut
serta dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda.
7. Kerajaan Sekala Brak
Di Lampung yang merupakan Sumatra bagian selatan, terdapat kerajaan
bernama Sekala Brak. Dilansir dari itb.ac.id, Sekala Brak berdiri sejak abad ke-3,
namun masih menganut agama Hindu. Pendirinya adalah Raja Buay Tumi yang
merupakan pemimpin orang-orang Suku Tumi.
Kerajaan Sekala Brak bertahan sangat lama dan sempat berada dalam
kekuasaan kerajaan lain, seperti Sriwijaya dan Majapahit. Pada abad ke-16 M, empat
pangeran dari Pagaruyung datang dan mengalahkan Kerajaan Sekala Brak sehingga
digantikan dengan pemerintahan Islam dengan istilah Kepaksian.
Dilansir dari laman Kemdikbud, istana Sekala Brak disebut dengan Lamban
Gedung yang berbentuk panggung. Atap Lamban Gedung bentuknya runcing dengan
satu pusat di tengah. Istana ini dihiasi dengan ornamen ukiran berupa tumbuhan dan
hewan. Nah itulah tadi 7 kerajaan Islam di Sumatra, dari bagian utara hingga selatan,
yang bersejarah dalam perkembangan Islam di Indonesia. Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai