Anda di halaman 1dari 28

KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI

NAMA : RIZQY MASDARUL HAQ


NO ABS : 33
KELAS : X MIPA 6

A. Kerajaan Gowa Tallo


1. Sejarah Awal
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan
nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa :
Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili.
Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk
membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung
sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang
mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan
saudaranya Gambar di bawah merupakan peta Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan pada
abad 16 terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan
Sidenreng.

Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan


masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan
pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan
kerajaan Makasar.

2. Kerajaan Gowa-Tallo
Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil, seperti
Goa, Tello, Sopeng dan Bone. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian muncul
sebagai kerajaan besar ialah Goa dan Tello keduanya lebih dikenal dengan nama Kerajaan
Makasar.
Di daerah Sulawesi Selatan, proses islamisasi makin mantap dengan adanya para
mubalig yang disebut Dato’ Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri bandang (Abdul Makmur
atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), dan
Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari
Kolo Tengah, Minangkabau. Para Mubalig itulah yang mengislamkan Raja Luwuw yaitu
Datu’La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16
Ramadhan 103H (4-5 Februari 1605 M). Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu
Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng
Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September
1605 M dengan gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya, Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng
Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607
M.
Peristiwa masuknya Islam Raja Gowa merupakan tonggak sejarah dimulainya
penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, karena setelah itu, terjadi konversi ke dalam Islam
secara besar-besaran. Konversi itu ditandai dengan dikeluarkannya sebuah dekrit Sultan
Alauddin pada tanggal 9 Nopember 1607 sebagai agama kerajaan dan agama masyarakat.
Setelah Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi kerajaan Islam dan raja-rajanya telah
memperoleh gelar Sultan, maka kerajaan itu juga yang menjadi pusat pengislaman di
seluruh Sulawesi Selatan, agar mereka juga menerima Islam. Seruan ini juga berdasarkan
perjanjian Gowa dengan kerajaan lain, yang menyatakan bahwa siapa yang menemukan
suatu jalan yang lebih baik, maka ia akan memberitahukan jalan itu kepada raja—raja yang
lain.
Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-
baiknya bahkan ajaran sufisme Khalwatiyah dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga tersebar
di Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke 17. Karena banyaknya
tantangan dari kaum bangsawan Gowa, maka ia meninggalkan Sulawesi Selatan dan pergi
ke Banten ia diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa bahkan dijadikan menantu dan diangkat
sebagai mufti di kesultanan.
Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang sejarah perjuangan Sultan
Hassanudin dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik dan
ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VPC tidak menaruh perhatian terhadap
Kerajaan Gowa-Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Berita
tentang pentingnya Kerajaan Gowa-Tallo didapat setelah kapal Portugis dirampas oleh
VOC pada masa Gubernur Jendral J.P. Coen di dekat perairan Malaka. Di dalam kapal
tersebut terdapat orang Makassar. Dari orang Makassar tersebut itulah ia mendapat berita
tentang pentingnya Pelabuhan Somba Opu sebagai pelabuhan transit terutama untuk
mendatangkan rempah-rempah dari Maluku. Pada 1634 VOC memblokir kerajaan Gowa
tetapi tidak berhasil. Perisriwa peperangan dari waktu ke waktu terus berjalan dan baru
berhenti antara 1637-1638. Sempat tercipta perjanjian damai namun tidak kekal karena
pada 1638 terjadi perampokkan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu cendana dan
muatannya dijual kepada orang Portugis. Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti setelah
terjadi perjanjian Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa Tallo.

3. Perkembangan Ekonomi
Pada abad ke-11 di Sulawesi Selatan terdapat kerajaan Gowa, Tallo, Wajo, Soppeng,
dan Luwu. Perkembangan kerajaan-kerajaan itu tidak sama karena masing-masing
mempunyai potensi yang berbeda. Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi besar karena letaknya
strategis, yaitu berada di jalur perdangan sehingga sering menjadi tempat persinggahan
pedagang dari Ternate dan Tidore yang akan berdagang ke Malaka atau Jawa. Kerajaan
Gowa Tallo berkembang pesat dan menjadi penghubung antara Malaka, Jawa dan Maluku.
Gowa-Tallo (Makassar) tumbuh menjadi pelabuhan yang ramai karena letaknya
berada di tengah antara Maluku, Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Malaka. Pertumbuhan
Makassar makin cepat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), sedangkan Maluku
dikuasai oleh Portugis dan Belanda. Banyak pedagang dari Malaka, Aceh, dan Maluku
yang pindah ke Makassar. Para pedagang Makassar membawa beras dan gula dari Jawa
dan daerah Makassar sendiri ke Maluku yang ditukarkan dengan rempah-rempah. Rempah-
rempah itu lalu dijual ke Malaka dan pulangnya membawa dagangan, seperti kain dari
India, sutra dan tembikar dari Cina, serta berlian dari Banjar.
Untuk menunjang Makasar sebagai pelabuhan transito dan untuk mencukupi
kebutuhannya, maka kerajaan ini menguasai daerah-daerah sekitarnya. Di sebelah timur
ditaklukanlah Kerajaan Bone; sedangan untuk memperlancar dan memperluas jalan
perdagangan, Makasar mengusai daerah-daerah selatan, seperti pulau Selayar, Buton
demikian juga Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian jalan
perdagangan waktu musim Barat yang melalui sebelah Utara kepulauan Nusa Tenggara
dan jalan perdagangan waktu musim Timur yang melalui sebelah selatan dapat
dikuasainya.
Makasar berkembang sebagai pelabuhan Internasional, sehingga banyak pedagang
Asing seperti Portugis, Inggris, dan Denmark berdagang di Makasar. Dengan jenis perahu-
perahunya seperti Pinisi dan Lambo, pedagang-pedagang Makasar memegang peranan
penting dalam perdagangan di Indonesia. Hal ini menyebabkan mereka berhadapan dengan
Belanda yang menimbulkan beberapa kali peperangan. Pihak Belanda yang merasa
berkuasa atas Maluku sebagai sumber rempah-rempah, menganggap Makasar sebagai
pelabuhan gelap; sebab di Makasar diperjualbelikan rempah-rempah yang berasal dari
Maluku.
Untuk mengatur pelayaran dan perniagaan dalam wilayahnya disusunlah hukum
niaga dan perniagaan yang disebut Ade Allopioping Bicarance Pabbalu'e dan sebuah
naskah lontar karya Amanna Gappa. Kerajaan Gowa-Tallo berkembang pesat karena
alasan-alasan berikut :
1. Letaknya strategis
2. Banyak pedangang dari Malakan,Aceh dan Maluku yang pindah ke Makasar
3. Banyak disinggahi para pedagang asing
4. Kepemerintahan / Politik
Sebetulnya ada banyak kerajaan di sekitar Makassar. Misalnya Gowa, Tallo, Bone,
Soppeng, Wajo, dan Sidenreng. Namun, hanya Gowa dan Tallo yang menggabungkan diri
menjadi satu kekuatan dengan nama Makassar. Raja Makassar yang pertama masuk Islam
adalah Karaeng Matoaya dengan gelar Sultan Alaudin (1593– 1639). Penguasa selanjutnya
adalah Malekul Said (1639–1653), berhasil membuat Kerajaan Makassar menjadi kerajaan
maritim. Puncak kegemilangan Kerajaan Makassar terjadi saat Sultan Hasanuddin
memegang tampuk kekuasaan. Di tangannya, Kerajaan Makassar berkembang menjadi
sebuah kerajaan dengan jaringan perdagangan yang kuat dan pengaruh yang luas.
Sultan Hasanuddin adalah seorang raja yang antimonopoli, sehingga ketika
Belanda datang ingin menguasai jaringan perdagangan yang telah lama terbentuk, ia
menentang dengan keras. Keinginan VOC untuk memonopoli perdagangan di Indonesia
bagian timur jelas tidak bisa diterima oleh sultan. Konflik terjadi dan Hasanuddin berhasil
menghalau pasukan VOC dari kawasan Maluku. Namun, upaya Belanda untuk menguasai
jaringan perdagangan di kawasan Indonesia bagian timur itu tidak pernah surut. Dengan
siasat adu domba, Belanda berhasil memanfaatkan Aru Palaka (Raja Bone) untuk
memasukkan pengaruhnya. Saat itu, Kerajaan Bone masuk dalam kekuasaan Kerajaan
Makassar. Akhirnya, pada tahun 1667 Sultan Hasanuddin harus menandatangani
Perjanjian Bongaya dengan Belanda. Isi perjanjian itu antara lain VOC diperbolehkan
memonopoli perdagangan dengan mendirikan benteng, Makassar melepaskan wilayah-
wilayah kekuasaannya, dan Aru Palaka dirajakan di Bone.
Kehidupan politik Kerajaan Gowa Tallo dapat dilihat dari raja-raja yang
memerintah, wilayah kekuasaan, dan hubungannya dengan pihak luar negeri.
a. Raja yang memerintah
1) Karaeng Matoaya
Karaeng Matoaya, lengkapnya Karaeng Matoaya I Malingkang Daeng
Manyonri' Karaeng Katangka atau Sultan Abdullah, adalah seorang raja Kerajaan
Tallo (memerintah 1593-1623) sekaligus perdana menteri Kesultanan Makassar,
yang sangat berpengaruh pada abad ke-17. Ia melantik Sultan Alauddin sebagai raja
Kerajaan Gowa, menggantikan saudaranya Tunipasulu. Hubungan yang erat antara
Karaeng Matoaya dan Sultan Alauddin kemudian berhasil meningkatkan kejayaan
Kesultanan Makassar sehingga menjadi kekuatan militer dan perdagangan yang
disegani di wilayah timur Nusantara. Karaeng Matoaya merupakan raja Tallo yang
merangkap sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa, dan bergelar Sultan Abdullah
dengan julukan Awalul Islam.
2) Sultan Alaudin
Sultan Alaudin merupakan raja Gowa yang memiliki nama asli Daeng
Manrabia. Nama lengkapnya yaitu I Mangakrangi Daeng Manrakbia. Raja Gowa
dan Tallo disebut penguasa dwitunggal.
I Mangakrangi Daeng Manrabia dilantik menjadi Raja Gowa XIV ketika baru
berusia tujuh tahun.Menurut hukum adat Gowa-Tallo bahwa selama raja belum
dewasa, maka Tumabbicara Butta atau mangkubumi yang harus menjalankan
pemerintahan.Kebetulan yang menjadi mangkubumi waktu itu ialah pamannya
sendiri bernama I Mallingkaang Daeng Nyonrik, Karaeng Katangka, (kemudian
jadi Raja Tallo).
Sultan Alauddin adalah raja pertama yang melakukan jihad.Selain mengajarkan
bagaimana melaksanakan Ibadah, juga mengajarkan bagaimana berjihad di jalan
Allah.Waktu itu Belanda sudah masuk ke Kerajaan Gowa. Kedatangannya
pertama-tama hanya ingin melakukan perdagangan, tapi selanjutnya ia
mengembangkan misi lainnya, selain menyebarkan Agama Kristen juga berusaha
untuk monopoli perdagangan rempah-rempah dari Maluku.
3) Sultan Muhammad Said
Sultan Muhammad Said adalah pengganti Sultan Alauddin. Ia meneruskan
perjuangan ayahnya. Kerajaan Gowa bertambah maju dan disegani dunia luar pada
masa pemerintahan raja Gowa ke XV I Manuntungi Daeng Mattola yang bergelar
Sultan Muhammad Said atau Malikussaid, dari tahun 1639-1653. Raja ini
didampingi oleh mangkubuminya yang terkenal yang bernama Karaeng
Pattingaloang. Pada masa inilah, kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaan,
mempunyai wilayah yang luas dan besar pengaruhnya.
4) Sultan Hassanudin

Nama aslinya adalah Muhammad Bakir atau I Mallambosi yang dikenal


dengan nama Sultan Hassanudin. Ia lahir di Makassar, 12 Januari 1631. Setelah
Sultan Hassanudin naik tahta, ia menggabungkan beberapa kerajaan kecil Indonesia
bagian timur untuk bersama-sama melawan Belanda. Lalu di tahun 1660
meletuslah perang antara Gowa dan Belanda yang diakhiri dengan perdamaian.
Karena di dalam perdamaian tersebut banyak merugikan Gowa maka di tahun 1666
Sultan Hasanuddi kembali menggencarkan perlawanan terhadap Belanda. Dalam
peperangan ini Belanda dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang dapat dipengaruhi.
Perlawanan terus berlangsung akhirnya pada tanggal 18 Nopember 1667 diadakan
perjanjian Bongaya yang mengakhiri perang tersebut.
Namun perjanjian Bongaya ini tidak berhasil memelihara perdamaian
dalam waktu yang lama, dan Sultan Haanuddin tertekan oeh isis perjanjian itu. Pada
bulan April 1667 Sultan Hasanuddin kembali melancarkan serangan terhadap
Belanda.
Tanggal 24 Juni 1668, pertahanan terkuat kerajaan Gowa yaitu benteng
Sobaupo jatuh ke tangan Belanda. Dengan jatuhnya benteng tersebut ke tangan
Belanda, maka kekuatan Sultan Hasanuddin melemah. Beberapa hari kemudian
Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan ia tetap tidak mau
bekerja sama dengan Belanda. Sultan Hasanuddin meninggal dunia tanggal 12 Juni
1670 karena keberaniannya, Belanda menjulukinya “Ayam Jantan dari Timur”.
5) I Mappasomba
Ia merupakan pengganti Sultan Hassanudin. Ketika ia menjadi raja, ia masih
berusia 13 tahun. I Mappasomba Daeng Nguraga Karaeng Katangka bergelar
Sultan Ali adalah putra mahkota Kerajaan Gowa. Sebagai putra mahkota Kerajaan
Gowa, I Mappa- nama panggilan kecilnya di kerajaan ditugasi sebagai kepala staf
gabungan militer sekaligus kepala koordinasi pemerintahan Kerajaan Gowa.
Sering menggantikan ayahnya untuk menjalankan tugas-tugas kenegaraan, I
Mappa tergolong gigih menentang kompeni.

b. Wilayah Kekuasaan

Kerajaan Gowa-Tallo atau Makassar adalah salah satu Kerajaan terbesar yang
pernah ada di Nusantara. Wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar pada pertengahan abad
XVII dapat meliputi sebagian besar kepulauan Nusantara bagian Timur, seluruh
Sulawesi, Sula, Dobo,Buru-Kepulauan Aru Maluku di sebelah timur, termasuk Sangir,
Talaud, Pegu, Mindanao di bagian utara, Timor, Sumba, Flores, Sumbawa, Lombok-
Nusa Tenggara di sebelah selatan, serta Kutai dan Berau di Kalimantan Timur sebelah
Barat bahkan sampai Marege-Australia Utara.
Makassar sudah dikenal dan tercantum dalam lembaran Syair 14 (4) dan (5) Kitab
Negarakertagama karangan Prapanca (1364) sebagai Daerah ke-VI Kerajaan Majapahit
di Sulawesi. Kemunduran Kerajaan Majapahit akibat adanya kekacauan politik serta
perang saudara di dalam kerajaan membuat wilayah-wilayah jajahannya terbengkalai.
Banyak wilayah jajahan Majapahit melepaskan diri sepenuhnya dari Majapahit dan
menjadi Kerajaan tersendiri.
Kerajaan Makassar merupakan kerajaan yang berdiri di Sulawesi. Kerajaan
Makassar merupakan gabungan dari kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kerajaan Gowa
dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu
kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Sebelumnya Kerajaan
Gowa dan Tallo pernah berada dalam kekuasaan Kerajaan Siang. Menurut catatan
Portugis dari Abad XVI, Tallo pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan Gowa
sendiri mengakui Kerajaan Siang sebagai kerajaan yang “lebih besar” dan lebih kuat
dari mereka. (Andaya, 2004). Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang menurun
pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai barat dengan pelabuhannya
yang lebih strategis, Pelabuhan Somba Opu. Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang
mulai gencar melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan Karaeng Tumapakrisika
Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa petaka bagi Siang,
sampai akhirnya mati dan terlupakan, di penghujung Abad XVI.
Kerajaan Makassar mulai berkembang sejak Tumapa'risi Kallona memperluas
daerah kerajaannya dengan menaklukkan beberapa kampung atau kerajaan kecil.
Tumapa'risi Kallonna memerintahkan pula membangun beberapa benteng di pesisir
pantai yang merupakan benteng pertahanan memanjang dari utara ke selatan. Pada masa
itu Makassar mempunyai belasan benteng pertahanan, dan benteng Somba Opu
merupakan yang paling besar. Bahkan Ilmuwan Inggris, William Wallace, menyatakan,
Benteng Somba Opu adalah benteng terkuat yang pernah dibangun orang nusantara.

c. Hubungan dengan luar negeri


Pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya, meskipun kerajaan Gowa-Tallo ini
bercorak Islam, akan tetapi diberitakan adanya hubungan baik dengan bangsa Portugis
yang datang dengan membawa agama Kristen-Katolik. Kerajaan ini bahkan memberi
bantuan dan menanam sahah dalam perdagangan orang-orang Portugis (Francisco Viera
yang menjadi utusan kerajaan Gowa ke Batavia dan Banten).
Hubungan erat Gowa-Tallo dengan orang Portugis dalam bidang perdagangan ini
mungkin disebabkan adanya ancaman dari VOC Belanda yang berusaha memonopoli
perdagangan rempah-rempah Maluku.

5. Perkembangan Agama
Agama yang berkembang di kerajaan Gowa Tallo adalah agama islam.
Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya
bahkan ajaran Sufisme Khalwatiyah dari kaum Syeikh Yusuf al-Makasari juga tersebar di
kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17 Masehi. Akan tetapi,
karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa, ia meninggalkan Sulawesi
Selatan pergi ke Banten yang kemudian diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa.

6. Perkembangan sosial dan Budaya


Sudah sejak lama suku bangsa Bugis dikenal sebagai bangsa pelaut yang ulung.
Salah satu hasil budayanya yang mengagumkan adalah perahu pinisi. Dengan
menggunakan perahu itu, mereka mengarungi lautan lepas dan membangun jaringan
pelayaran dan perdagangan antarpulau bahkan antarkawasan. Para penguasa Gowa sudah
sejak lama menerapkan prinsip mare liberum atau laut bebas. Meskipun begitu, mereka
sangat terikat dengan dengan norma adat yang ketat. Norma yang dianut masyarakat
Makassar biasa disebut pangadakkang bersumber dari ajaran agama Islam. Bahkan hingga
kini, masyarakat Makassar terkenal dengan penghormatannya yang kuat pada norma-
norma adat. Struktur sosial masyarakat Makassar meliputi golongan bangsawan yang
disebut karaeng, rakyat kebanyakan yang disebut to maradeka dan hamba sahaya yang
disebut ata.
Walaupun masyarakat Makassar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam
mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat
dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makassar
diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Pangadakkang. dan masyarakat
Makassar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.
Di samping norma tersebut, masyarakat Makassar juga mengenal pelapisan sosial
yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya
disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to
Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan
golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makassar banyak menghasilkan benda-
benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat
kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makassar dikenal dengan nama Pinisi dan
Lombo.

7. Peninggalan
a. Benteng Fort Rotterdam

b. Batu Pallantikang

c. Masjid Katangka
d. Kompleks Makam Katangka

e. Makam Syekh Yusuf

B. Kerajaan Wajo
1. Sejarah Awal
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai
kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara
Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung.
Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat,
berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak
diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung
dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang
baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke
Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba
seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli.
Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang
hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke
datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La
Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi
II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La
Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat
La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu,
Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan
membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah
sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu
kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan
baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga
sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui
perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali
diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar
Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi
Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola
pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi
Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi
Paddanreng Tuwa.

2. Kerajaan Wajo
Berita tentang tumbuh dan berkembangnya kerajaan Wajo terdapat pada sumber
hikayat lokal. Di hikayat lokal tersebut ada cerita yang menghubungkan tentang pendirian
Kampung Wajo yang didirikan oleh tiga orang anak raja dari kampung tetangga
Cinnotta’bi yaitu berasal dari keturunan dewa yang mendirikan kampung dan menjadi raja-
raja dari ketiga bagian (limpo) bangsa Wajo : Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala
keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo. Batara Wajo
yang ketiga dipaksa turun tahta karena kelakuannya yang buruk dan dibunuh oleh tiga
orang Ranreng. Menarik perhatian kita bahwa sejak itu raja-raja di Wajo tidak lagi turun
temurun tetapi melalui pemilihan dari seorang keluarga raja menjadi arung-matoa artinya
raja yang pertama atau utama.
Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas dengan tiga
pa’betelompo (pendukung panji) 30 arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta, sehingga
jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah yang memutuskan segala
perkara. Kerajaan Wajo mempeluas daerah kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan
Bugis yang besar. Wajo pernah bersekutu dengan Kerajaan Luwu dan bersatu dengan
Kerajaan Bone dan Soppeng dalam perjanjian Tellum Poco pada 1582. Wajo pernah
ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk pada 1610.
Di samping itu diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa Dato’ ri Bandang dan Dato’
Sulaeman memberikan pelajaran agama Islam terhadap raja-rajaWajo dan rakyatnya dalam
masalah kalam dan fikih. Pada waktu itu di Kerajaan wajo dilantik pejabat-pejabat agama
atau syura dan yang menjadikadi pertama di Wajo ialah konon seorang wali dengan
mukjizatnya ketika berziarah ke Mekkah. Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama
1612 sampai 1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa. Persekutuan dengan Gowa
pada suatu waktu diperkuat dengan memberikan bantuan dalam peperangan tetapi berulang
kali Gowa juga mencampuri urusan pemerintah Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula
membantu Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone pada 1643, 1660,
dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi karena didesak
maka Kerajaan Bone sendiri takluk kepada kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan
Hasanuddin melawan VOC pimpinan Speelman yang mendapat bantuan dari Aru Palaka
dari Bone berakhir dengan perjanjian Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan
Kerajaan Gowa pada VOC dan disusul pada 1670 Kerajaan Wajo yang diserang tentara
Bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota Kerajaan Wajo yaitu Tosora. Arung-matoa to
Sengeng gugur. Arung-matoa penggantinya terpaksa menandatangani perjanjian di
Makassar tentang penyerahan Kerajaan Wajo kepada VOC.
Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi
tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat
monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional.
Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung.
Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone
sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La
Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama
Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan
sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke
Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669)
disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan
posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin.
Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian
Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru
yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan
banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial
ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang
Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini
dikenal sebagai Samarinda.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, ia
membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan
melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La
Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat
perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-
kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan
membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor),
dan Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari
perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone membuat
keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda
melancarkan politik pasifikasi untuk memaksa semua kerajaan di Sulawesi Selatan tunduk
secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo
sehingga Wajo harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte
Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.
Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur,
berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo
bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-
1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan
DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya
kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi
kabupaten.

3. Raja-Raja yang Memerintah

Zaman sebelum islam :

1) La Tenri Bali Batara Wajo I (akhir abad ke XIV)


2) La Mataesso Batara Wajo II (awal abad ke XV)
3) La Pateddungi To Samallangi Batara Wajo III (1436-1456)
4) La Palewo To Palippu Batara Wajo IV (1456-1466)
5) La Obbi’ Settiware’ Batara Wajo V (1466-1469)
6) La Tenri Umpu’ To Langi Arung Matoa Wajo (1474-1482)
7) La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo (1482-1487)
8) La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo (1487-1491)
9) La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo (1491-1521)
10) La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo (1524-1535)
11) La Temmasonge Arung Matoa Wajo (1535-1538)
12) La Warani To Temmagiang Arung Matoa Wajo (1538-1547)
13) La Mallagenni Arung Matoa Wajo (1547/ hanya 2 bulan)
14) La Mappapuli To Appamadeng Ar
15) ung Matoa Wajo (1547-1564)
16) La Pakoko To Pabbele Arung Matoa Wajo (1564-1567)
17) La Mungkace To Addamang Arung Matoa Wajo (1567-1607)

Zaman islam :

1 L a Sangkuru Patau’ Mulajaji Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo Matinroe
ri Allepparenna (1607-1610)
2 La Mappepulu To Appamole Arung Matoa Wajo (1612-1616)
3 La Samalewa To Appakiu Arung Matoa Wajo (1616-1621)
4 La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo (1621-1626)
5 La Mappasaunge’ Arung Matoa Wajo (1627-1628)
6 La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo (1628-1636)
7 La Tenri Lai To Addumemang Arung Matoa Wajo (1636-1639)
8 La Isigajang To Bunne Arung Matoa Wajo Matinroe ri Batana (1639-1643)
9 La Makkaraka To Patemmui Arung Matoa Wajo Matinroe ri Panggaranna (1643-
1648)
10 La Temmasonge Puanna Daeli Petta Pallinge Arung Matoa Wajo (1648-1651)
11 La Paremma To Rewo Arung Matoa Wajo Matinroe ri Passirinna (1651-1658)
12 La Tenri Lai To Sengngeng Arung Matoa Wajo Matinroe ri Sale’kona (1658-1670)
13 La Pallili To Mallu Arung Matoa Wajo (1670-1679)
14 La Pariusi Daeng Manyampa Arung Matoa Wajo Matinroe ri Buluna (1679-1699)
15 La Tenri Sessu Tomoe/ To Denra Arung Matoa Wajo (1699-1702)
16 La Mattaone La Sakke Daeng Paguling Puanna Larumpang Arung Matoa Wajo
(1702-1703)
17 La Galigo To Sunnia Arung Matoa Wajo (1703-1712)
18 La Tenri Werung Arung Peneki Arung Matoa Wajo (1712-1715)
19 La Salewangeng To Tenriruwa Arung Matoa Wajo (1715-1736)
20 La Maddukellang Puangna La Tombong Arung Peneki Arung Singkang Sultan Pasir
Arung Matoa Wajo (1736-1754)
21 La Maddanaca Arung Matoa Wajo (1754-1755)
22 La Passaung Puangna La Omo Arung Matoa Wajo (1758-1761)
23 La Mappajung Puangna Salewong Arung Matoa Wajo (1764-1767)
24 La Malliungeng To Alleong Arung Alitta Arung Matoa Wajo (1767-1770)
25 La Mallalengeng (La Cella’ Puangna To Appamadeng Arung Matoa Wajo (1795-
1817)
26 La Mamang To Appamadeng Radeng Gallong Arung Matoa Wajo (1821-1825)
27 La Paddengngeng Puangna Palaguna Arung Matoa Wajo (1839-1845)
28 La Pawellangi Pajungperot Arung Matoa Wajo (1854-1859)
29 La Ciccing (Akil Ali) Karaeng Mangeppe Datu Pammana Pilla Wajo Arung Matoa
Wajo (1859-1885)
30 La Koro Batara Wajo Arung Padali Arung Matoa Wajo (1885-1891)
31 La Passamula Datu Lompulle Arung Matoa Wajo (1892-1897)

Zaman pengaruh belanda :

1. Ishak Manggabarani Karaeng Mangepe Arung Matoa Wajo (1900-1916)


2. La Tenri Oddang Arung Larompong Arung Peneki Arung Lowa Arung Matoa Wajo
(1926-1933)
3. Andi Mangkona Arung Mariori Wawo (1933-1949) / Arung Matoa terakhir

4. Kehidupan ekonomi
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun
Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan
pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng
kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada
zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di
sulsel.

5. Kehidupan sosial budaya


Kehidupan sosial budaya Kerajaan Wajo berkaitan erat dengan perkembangan Islam.
Kondisi tersebut ditunjukkan dengan banyaknya peninggalan bangunan bercorak Islam
seperti masjid Tosora, musala, gaddong (gedung bunga), dan makam – makam Islam kuno.

6. Peninggalan
a. Masjid Kuno Tosora
b. Makam-makam kuno

c. Goa Nippon

d. Geddongnge (Gedung Mesiu)

e. Saoraja Mallangga

C. Kesultanan Buton
1. Sejarah awal
Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh
kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo,
Sijawangkati yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada
akhir abad ke – 13.

Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada
dalam wilayah Kota Bau-Bau serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan
menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa
dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih
dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala
wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja.
Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil
seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona,
kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu
kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara
seorang turunan bangsawan Kerajaan Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah
mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (saat ini hampir sama dengan
lembaga legislatif).

Dalam periodisasi Sejarah Buton telah mencatat dua Fase penting yaitu masa
Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke – 16 dengan
diperintah oleh 6 (enam) orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa
dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum
perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua
adalah masa Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton
pada tahun 948 Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan dilantiknya Laki La Ponto sebagai
Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada
Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang berakhir tahun 1960.

2. Kepemerintahan
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang
perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu
Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja Tuarade,
Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama Islam, maka
Raja Murhum bergelar Sultan Murhum.

Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang
datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya.
Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok
ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang
menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-
kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan
bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan
berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan
Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi
berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.

3. Perekonomian
Wilayah kerajaan/kesultanan Buton sangat strategis. Pedagang dari India, Arab,
Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai
kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan
Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di
sana. Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara
Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua.
Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah
diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan
statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan
pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini
hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).

4. Sosial budaya
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-
nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang
dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai
kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan
tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok
diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat
Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para
penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena
perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat
mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau
Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan
gamelan yang terdapat di Jawa.
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka
menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau
sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang
berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung.
Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra
dari Jayanegara.
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-
nya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga Kerajaan
Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan
dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman.
Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan
menetap.

5. Keruntuhan
Ancaman luar yang terus menerus dirasakan Buton adalah perlombaan pengembangan
kuasa dari dua buah kerajaan besar jirannya: Ternate dan Makassar. Oleh itu, Sultan
Muhyiuddin tetap bekerjasama dengan Belanda, penaung utama yang sejak dahulu lagi
telah melindungi mereka. Sultan Muhyiuddin juga tidak lupa mengingatkan Kompeni agar
jangan mengabaikan Buton, baik dalam masa damai atau dalam keadaan terancam.
Ancaman luar juga datang dari orang-orang Seram (ditulis “Seran”) dan Papua.
Sepanjang pemerintahan Kesultanan Buton, selain mendapat tekanan dari luar,
juga mendapat tekanan dari dalam. Aksi pemberontakan dan makar serta kerusuhan
menghiasi perjalanan roda pemerintahan diantaranya kerusuhan di Wasongko dan
Lasadewa akibat kasus Sapati Kapolangku yang menimbulkan terjadinya kesalah pahaman
antara Ternate Buton tahun 1669.
Sultan ke-26 La Koporu (Muhyiuddin Abdul Gafur; 1791-1799) menghadapi banyak
masalah politik, ada yang bersifat dalaman dan luaran. Antara masalah dalaman itu adalah
pemberontakan di Kalincusu dan Wowoni yang banyak memakan korban dan
menghabiskan senjata Buton, sehingga Sultan memohon kepada “Gurnadur Jenderal” agar
dapat menjual peralatan perang agar Buton dapat mempertahankan kedaulatannya ke atas
kedua wilayah itu.
Jadi, banyak Pemberontakan yang terjadi di Kerajaan Buton seperti
1. Perang Buton dengan Armada kapal La Bolontio (akhir abad ke -15!)
2. Perang Buton – Ternate (1580!)
3. Perang Buton – Belanda . (1637 – 1638)
4. Perang Buton - Makassar di Teluk Buton (1666-1667)
5. Perang Makassar (1966 – 1969)
6. Perang Buton Belanda tahun 1752 dan 1755 - 1776
7. Perang Buton – Papua dan Seram 1796-1799!
8. Perang Buton melawan Bajak Laut tahun 1824
9. Pemberontakan Dalam Pemerintaha Kesultanan Buton
Karena begitu banyak pemberontakan yang silih berganti dikarenakan Letaknya
strategis diujung tenggara Sulawesi, maka sejak dulu Pulau Buton merupakan jalur lintas
niaga. Letak Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara, tepatnya di kota Baubau serta
kurangnya hubungan antara Belanda disebabkan penghianatan yang dilakukan oleh
pendahulu-pendahulu Raja Buton.
6. Peninggalan
a. Benteng Keraton Buton

b. Masjid Kesultanan Buton

c. Batu Popaua

d. Tiang bendera setinggi 21 meter


D. Kerajaan Konawe
1. Sejarah awal
Munculnya kerajaan Konawe berawal dari pengelompokkan-
pengelompokkan di sebuah kampung, yang saat itu dipimpin oleh seorang yang
dihormati dan dituakan, sebagai toono motuo (orang tua) dan dibantu seorang
Posudo, Tolea, Mbuowai, Mbusehe, Tamalaki, dan Otudo. Setelah beberapa
tahun lamanya atas dasar kesepakatan yang mufakat, maka dibentuklah sebuah
wilayah dengan mengangkat seorang raja disebut Mokole. Pada abad ke 10
kerajaan Konawe benar-benar terbentuk dan Wekoila ditunjuk sebgai raja
pertama.
Kemunculan Wekoila sebagai raja dikerajaan Konawe pada abad 10 atau
sekitar tahun 948-968 M dengan pusat pemerintahan di Inolubu Ngadue atau
yang dikenal dengan nama kecamatan Unaaha, berhasil menggabungkan
kerajaan-kerajaan kecil untuk meleburkan diri menjadi satu kerajaan konawe.
Selain itu, Wekoila berhasil mebentuk sistem pemerintahan yang teratur dan
terorganisir.

2. Perekonomian
Sebagai daerah yang sangat strategis bagi pelayaran, Sulawesi Tenggara
berkembang cukup pesat. Sebagian besar masyarakat konawe bermata
pencaharian sebagai nelayan.

3. Sosial budaya
Penduduk asli yang mendiami Kerajaan Konawe adalah suku Tolaki.
Untuk mengetahui asal usul persebarannya. Menurut Prof. Drs. Rustam E.
Tamburaka, M.A. (1989), bila dilihat dari ciri-ciri antropologisnya baik
Chepaliks index, mata, rambut, maupun warna kulit, suku Tolaki memiliki
kesamaan dengan ras Mongoloid. Diduga berasal dari Asia Timur, mungkin
dari Jepang dan kemudian disebarkan keselatan melalui kepulauan Riukyu,
Taiwan, Philipina. Ada juga yang mengatakan bahwa perpindahan pertama
berasal dari Yunan (RRC) ke selatan Philipina, Sulawesi Utara ke pesisir timur
Halmahera. Pada saat memasuki daratan Sulawesi Tenggara masuk melalui
muara sungai Lasolo dan Konawe yang dinamakan Andolaki.
Kerajaan konawe wilayah yang terletak di jazirah daratan sulawesi
tenggara, pada zaman mokole more mowila bersama suaminya ramandalangi
menyatukan negeri-negeri sekitarnya sehingga membentang luas. Kerajaan
konawe berpusat di Unaaha (yang sekarang kabupaten Konawe)
Orang-orang Tolaki diangkat sebagai penduduk asli di Daerah Kendari
karena merekalah yang termasuk penduduk tertua di daerah tersebut. Mereka
itulah memenuhi pelosok-pelosok desa serta mendominisir kebudayaan Daerah
Kabupaten Kendari sejak dahulu hingga sekarang ini.
Di dalam mereka berpola serta berinteraksi antara sesama telah
melahirkan kelompok-kelompok masyarakat dan tumbuh serta berkembang di
desa mana mereka berada. Karena manusia dalam usahanya tidak pernah
terlepas dari kodratnya, ternyata antara individu maupun kelompok terdapat
penonjolan- penonjolan sosial yang tidak merata.

4. Kepemerintahan
Pada masa dahulu kala yang dikenal adalah seluruh Wilayah Kerajaan
Konawe yaitu Kabupaten Kendari (Sekarang Kabupaten Konawe) yang
sekarang ini. Pemberian nama Konawe ini adalah didasarkan pada diri pribadi
Raja Konawe yang pertama yaitu seorang wanita bernama “Wekoila”. Secara
etimologis kata “Konawe” berasal dari akar kata “Kona” yang berarti “Lemah
Lembut” di tambah dengan “We” yang berarti pula “Tingkah laku, Budi Pekerti
dan secara kebetulan pula “Wekoila” seorang wanita yang mempunyai ciri khas
tersendiri dengan kecantikannya serta perangainya yang lemah lembut,
sehingga dengan demikian Kerajaan yang dipimpinnya dinamakan Kerajaan
Konawe dengan Wilayah di Sebelah Timur Daratan Sulawesi Tenggara. (Dulu
Kabupaten Kendari sekarang menjadi Kabupaten Konawe). Penduduk yang
mendiami Daerah ini disebut Suku Tolaki. Didalam Periode Pemerintahan
Kerajaan Konawe merupakan suatu Negara yang berbentuk Kerajaan yang di
perintah sejak Mokole (Raja) pertama sampai Beberapa Mokole/Raja. Pusat
Kerajaan ialah di unaaha yang sekarang telah menjadi Kecamatan yang
merupakan Ibu kota Kabupaten Konawe (Dahulu Kabupaten Kendari) yang
jaraknya kurang lebih 60 Km dari Kota Kendari (Ibu kota Provinsi Sulawesi
Tenggara) sekarang ini.
Dari beberapa Raja/Mokole – Mokole tersebut maka pada periode
Pemerintahan Raja/Mokole “Rebi” yang sangat terkenal dalam menjalankan
Pemerintahan Kerajaan Konawe dengan sistem Pemerintahannya yang disebut
Siwole Mbato Hu. “Siwole” sama dengan dasar, “Mbato” sama dengan Empat.
“Hu” sama dengan Sudut. Ini berarti bahwa dasar dasar Pemerintahan yang
bersegi empat. Yang dimaksud dengan “Siwole Mbato Hu” adalah pembagian
Wilayah Kerajaan Konawe atas 4 (Empat) Daerah Daerah otonom.
Masing masing Daerah diperintah oleh penguasa yang terdiri dari
saudara saudara kandung Mokole Rebi . Adapun pembagian pembagianya
aderah berdasarkan “Siwole Mbato Hu” adalah sebagai berikut.
1. Tambo Ilosoano Oleo (pintu pertahanan sebelah timur) dipegang oleh
“Sorumba” yang menguasai Daerah Ranomeeto dengan gelar “Sapati
Ranomeeto”.
2. Tambo Itepuliano Oleo (pintu pertahanan sebelah barat) di pegang oleh
“Buburanda” dengan Wilayah didaerah Latoma. Dengan gelar “Sabandara
Latoma”.
3. Barata Ihana (sayap kanan) di pegang oleh “Palewo” yang mengusai Daerah
Tongauna dan bergelar “Ponggawa Tongauna”.
4. Barata Imoeri (sayap kiri) dipegang oleh “Mbanahi” dengan Wilayah
kekuasaanya di Daerah Asaki dengan gelar “Inowa”.

5. Keruntuhan
Pada abad ke-18 M, Raja Lakidende wafat dan jenazahnya dikebumikan
seperti layaknya pada jenazah umat islam lainnya, karna hal tersebut Raja
Lakidende disebut Sangia Ngginoburu yang bermakna dewa yang dikuburkan.
Dengan kematian Raja Lakidende maka kesultanan Konawe berakhir, tetapi
masyarakat sekitar percaya bahwa mereka selalu diawasi oleh Rajanya. Oleh
karena itu masyarakat juga percaya bahwa kerajaan Konawe masih ada, yaitu
di alam barjah.

6. Peninggalan
a. Cerek tua

b. Bendera kerajaan Konawe

c. Makam Raja Lakidende

d. Al-quran gede

Anda mungkin juga menyukai