Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Berdiri

Awalnya, di daerah Gowa terdapat sembilan negeri persekutuan yang masing-masing


diketuai oleh Raja Kecil. Kesembilan negeri ini antara lain Tombolo, Lakiung, Samata,
Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero. Persekutuan sembilan negeri
ini dipimpin oleh seorang bernama Paccallaya yang bertugas menjaga perdamaian di
antara mereka. Persekutuan sembilan negeri ini disebut Bate Salapang atau Sembilan
Bendera. Kesembilan negeri tersebut kemudian dengan berbagai cara, damai atau
paksaan, bersama-sama mendirikan Kerajaan Gowa pada abad ke-14.

Pada suatu waktu, Paccallaya dan kesembilan Raja Kecil murung karena tidak memiliki
seorang Raja. Maka dari itu, mereka meminta kepada Dewata untuk menurunkan
seorang raja untuk memerintah Kerajaan Gowa.

Pada masa itu masyarakat masih menganut kepercayaan animisme.

Kemudian, diangkatlah raja mereka yang bernama Tumanurung Bainea, yang


dipercaya sebagai “Putri yang turun dari kayangan” oleh masyarakat kala itu.
Tumanurung Bainea memimpin dari tahun 1320-1345.

Di bawah pemerintahan Tumanurung Bainea, kesembilan Raja Kecil tadi memiliki hak
kedaulatan di daerahnya masing-masing.

Seiring berjalannya waktu, pada abad ke-15, setelah masa pemerintahan Tonatangka
Lopi, Raja Gowa ke-6, berakhir, terjadi konflik saudara di Kerajaan Gowa sampai
kerajaan terbelah menjadi dua. Konflik ini disebabkan karena perebutan tahta antara
dua putra Tonatangka Lopi, Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero.

Perebutan tahta dimenangkan oleh Batara Gowa. Karaeng Loe ri Sero kemudian turun
ke muara sungai Tallo dan mendirikan Kerajaan Tallo.

Selama bertahun-tahun, kedua kerajaan ini tidak pernah akur.

Akhirnya, pada masa pemerintahan Raja Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi Kallona,
Raja Gowa ke-9, Kerajaan Gowa dan Tallo membuat kesepakatan perdamaian “dua
raja tetapi satu rakyat” pada tahun 1528.

Setelah berdamai, kedua kerajaan tersebut membentuk persekutuan menjadi satu


kerajaan, yang sekarang dikenal dengan nama Kerajaan Gowa-Tallo atau Kerajaan
Makassar.
Pada masa pemerintahan Tumapa’risi Kallona ini, terciptalah aksara Makassar yang
dibuat oleh Daeng Pamatte, seorang Sabannara’ atau pejabat bagian pembaharuan
internal kerajaan.

Pemimpin di Kerajaan Gowa-Tallo dipilih berdasarkan garis keturunan. Keturunan Gowa


dipilih menjadi Raja, sedangkan keturunan Tallo dipilih menjadi Perdana Menteri.

Kondisi Geografis

Posisi kerajaan Gowa-Tallo bisa dibilang sangat strategis. Kerajaan ini terletak di antara
wilayah barat, yaitu Malaka, dan timur Nusantara, yaitu Maluku. Hal ini menjadikan
Kerajaan Gowa-Tallo sebagai pusat perdagangan dari berbagai wilayah.

Karena menjadi bandar utama untuk memasuki wilayah timur yang kaya
rempah-rempah, kerajaan ini memiliki para pelaut tangguh yang siap memperkuat
barisan pertahanan laut Makassar.

Kerajaan Gowa-Tallo sangat cepat maju dan berkembang dalam bidang perdagangan
karena menguasai jalur perdagangan internasional

Berbicara soal pusat perdagangan, kondisi yang strategis ini juga berperan dalam
penyebaran Islam di Sulawesi karena banyak pedagang Islam yang datang.

Rakyat dari kerajaan ini berasal dari suku Makassar, mereka menempati wilayah ujung
selatan dan pesisir barat Sulawesi.

Ada sumber asing yang ditulis oleh Tome Pires, penulis asal portugis, yang
menceritakan tentang kemampuan pelayaran dan perdagangan rakyat Makassar.
"Orang-orang Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, negeri
Siam, dan juga semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam", katanya.

Kerajaan Gowa-Tallo kaya akan beras, bahan makanan, daging, dan kapur barus hitam.
Para pedagang dari kerajaan ini juga memasok banyak barang dagangan dari luar
negeri, seperti jenis pakaian dari Cambay, Bengal, dan Keling.

Di daerah Sulawesi Selatan juga ditemukan banyak peninggalan jenis keramik dari
masa Dinasti Sung dan Ming. Nah, apa artinya ini? Artinya Kerajaan Gowa-Tallo telah
menjalin hubungan dagang dengan Tiongkok.
Kehidupan Politik

Masa kekuasaan Sultan Muhammad Said (1639-1653) dan Sultan Hasanuddin


(1653-1669) merupakan masa puncak kejayaan Kerajaan Gowa-Tallo.

Kenapa dianggap masa puncak kejayaan? Karena kedua sultan tersebut membawa
Makassar sebagai daerah dagang yang maju. Bahkan wilayah kekuasaannya meluas
sampai ke Flores dan Pulau Solor di Nusa Tenggara.

Di bawah kepemimpinan Hasanuddin, Kerajaan Gowa-Tallo berhasil menguasai


kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Makassar, seperti Kerajaan Wajo, Bone, Luwu, dan
Sopeng.

Pada masa itu juga, Kerajaan Gowa-Tallo pernah terlibat perang besar dengan VOC,
atau serikat dagang Belanda. Perang ini dikenal dengan nama Perang Makassar, pada
tahun 1666-1669

Apa sih yang mendasari perang besar ini? Perang besar ini diakibatkan oleh cita-cita
Hasanuddin yang ingin menjadikan Makassar sebagai pusat perdagangan di Nusantara
bagian timur. Namun, hal ini berefek buruk pada Belanda. Cita-cita Hasanuddin
mengancam aktivitas ekonomi mereka.

Yang pertama, keberadaan Kesultanan atau Kerajaan Gowa-Tallo aja udah


mengancam lalu-lintas perdagangan Belanda dari Maluku ke Batavia.
Yang kedua, Hasanuddin mengancam eksistensi dan kekuasaan ekonomi mereka di
Maluku. Jadi Belanda ini merasa berkuasa atas Maluku karena Maluku adalah wilayah
sumber rempah-rempah. Nah, karena mereka merasa berkuasa atas Maluku, mereka
jadi nganggep kalo Makassar itu pelabuhan gelap karena ikut memperjual-belikan
rempah-rempah dari Maluku.

Selain cita-cita Hasanuddin untuk menjadikan Makassar sebagai pusat perdagangan,


mengutip dari buku berjudul “Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia” karya Daliman pada tahun 2012, latar belakang perang Gowa-Tallo melawan
VOC yaitu:
1. VOC menginginkan hak monopoli perdagangan di daerah Nusantara timur
2. VOC melakukan blokade terhadap kapal-kapal yang akan berlabuh di Somba
Opu, pelabuhan di Gowa-Tallo, untuk mengalahkan Makassar.
Hasanuddin melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan memperkuat
pasukannya, caranya dengan memerintahkan kerajaan-kerajaan Nusa Tenggara yang
udah dia kuasai tadi untuk mengirimkan pasukan mereka.
Sedangkan pihak VOC melakukan politik devide et impera, atau politik adu domba,
alhasil Sultan Kerajaan Bone, yaitu Aru Palaka berseteru dengan Hasanuddin. Aru
Palaka kemudian membantu VOC melawan Gowa-Tallo dengan alasan ingin membalas
kekalahannya atas Gowa-Tallo dan merebut kembali kemerdekaannya.

Pertempuran ini berlangsung sengit selama 4 bulan. Dalam perang ini, Hasanuddin
berhasil memorak-porandakan pasukan Belanda di Maluku, makanya Hasanuddin
dapet julukan “Ayam Jantan dari Timur”.

Belanda sempat terdesak, maka dari itu mereka berhasil memaksa Hasanuddin untuk
menyepakati Perjanjian Bongaya pada tahun 1667.

Apa sih isi Perjanjian Bongaya?


1. VOC memperoleh monopoli perdagangan di Makassar.
2. Belanda mendirikan benteng Rotterdam di Makassar sebagai markas komando
pertahanan, kantor pusat perdagangan, kediaman pejabat tinggi, dan pusat
pemerintahan.
3. Makassar melepas daerah jajahannya
4. Makassar mengakui Aru Palaka sebagai raja Kerajaan Bone.
5. Makassar harus membayar biaya perang dalam bentuk hasil bumi kepada VOC.

Perjanjian ini menjadi akhir dari Perang Makassar.

Tapi tidak sampai situ saja, pada tahun 1668, Hasanuddin membatalkan Perjanjian
Bongaya karena sangat merugikan pihak Gowa-Tallo dan isinya bertentangan dengan
hati nurani dan semboyan masyarakat Makassar. Nah, hal ini menyebabkan perang
antara Gowa-Tallo dan aliansi VOC yang dipimpin oleh Aru Palaka pecah lagi.

Kemudian Aru Palaka menyerang benteng Somba Opu pada tahun 1669

Kerajaan Gowa-Tallo tidak berdaya, alhasil VOC berhasil merebut benteng Somba Opu
dari Hasanuddin. Akibatnya, pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo kembali terpuruk dan
Sultan Hasanuddin turun tahta pada tahun 1669

Kemudian, pada tahun 1670, Sultan Hasanuddin meninggal di Gowa. Sultan


Hasanuddin meninggal karena terjangkit penyakit plasenta di usianya yang ke-39
tahun.
Kepemimpinan Kerajaan Makassar kemudian digantikan oleh putranya, Mapasomba
yang bergelar Sultan Muhammad Ali sebagai Raja Gowa ke-17. Sama seperti sifat
ayahnya, Mapasomba juga menentang kehadiran Belanda di Makassar, lebih keras
malahan.

Mapasomba ini udah diingetin sama Hasanuddin untuk menjalin kerja sama dengan
Belanda, biar eksistensi Kesultanan Makassar aman. Tapi Mapasomba ngeyel dan gigih
pada tekadnya untuk ngusir Belanda.

Akhirnya karena sifatnya yang keras dan ngeyel itu, Belanda mengerahkan Pasukan
besar-besaran.

Pada akhirnya, Kesultanan Makassar dikuasai penuh oleh Belanda. Ini menjadi akhir
atau masa runtuhnya Kesultanan Makassar.

Pada masa itu, nasib Mapasomba tidak diketahui secara pasti.

Kehidupan Agama

Pada abad ke-16, Kerajaan Gowa-Tallo berkembang menjadi pusat perdagangan di


kawasan Nusantara timur karena lokasinya yang strategis. Mulailah para saudagar
muslim berlayar ke wilayah ini.

Agama Islam mulai masuk di Sulawesi Selatan karena dakwah dari Datuk Ri Bandang
dan Datuk Sulaiman dari Minangkabau.

Kemudian pada akhir abad ke-16, Kerajaan Gowa-Tallo memasuki masa Islam dan
berubah menjadi Kesultanan.

Daeng Manrabia menjadi Raja Gowa-Tallo pertama yang memeluk agama Islam
dengan gelar Sultan Alauddin pada tahun 1605.

Daeng Manrabia memerintah dari tahun 1593-1639. Di bawah kepemimpinannya,


Kerajaan Gowa-Tallo menjadi wilayah maritim yang kuat. Pada masa ini pula
masyarakat mulai mengenal perahu layar lambo dan pinisi.

Rakyat Kerajaan Gowa-Tallo pun akhirnya ikut memeluk agama Islam.


Perkembangan Ekonomi

Berikut adalah beberapa perkembangan ekonomi kerajaan Goa-Tallo dari masa ke


masa:

Masa Kerajaan Goa-Tallo Pra-Islam (Abad ke-13-16)


Pada masa ini, ekonomi kerajaan Goa-Tallo didominasi oleh pertanian dan
perdagangan. Kerajaan ini memiliki wilayah yang subur dan kaya akan hasil
bumi, seperti padi, jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, dan rempah-rempah.
Selain itu, kerajaan Goa-Tallo juga memiliki pelabuhan yang strategis, sehingga
dapat memfasilitasi perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya.

Masa Kerajaan Goa-Tallo Islam Awal (Abad ke-16-17)

Setelah masuknya Islam ke Sulawesi, kerajaan Goa-Tallo juga mengalami


perubahan dalam bidang ekonomi. Kerajaan ini mulai mengembangkan sektor
perdagangan dengan negara-negara Islam di Asia Tenggara, seperti Malaka dan
Johor. Selain itu, kerajaan ini juga mulai mengembangkan industri perikanan,
terutama dalam produksi ikan asin.

Masa Kerajaan Goa-Tallo Islam Akhir (Abad ke-17-18)

Pada masa ini, kerajaan Goa-Tallo mengalami kemunduran ekonomi karena


adanya persaingan dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti Gowa dan Bone.
Namun demikian, kerajaan ini masih mampu mempertahankan perdagangan
dengan negara-negara asing, seperti Inggris dan Belanda.

Masa Penjajahan Belanda (Abad ke-18-19)

Setelah kerajaan Goa-Tallo ditaklukan oleh Belanda pada tahun 1824, ekonomi
kerajaan ini mengalami penurunan yang signifikan. Belanda tidak
memperhatikan pembangunan ekonomi di wilayah ini, sehingga sektor
perdagangan dan pertanian menjadi stagnan. Namun demikian, Belanda tetap
memanfaatkan kerajaan Goa-Tallo sebagai wilayah penghasil kayu dan hasil
bumi lainnya.

Masa Kemerdekaan (Abad ke-20)

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, kerajaan Goa-Tallo dihapuskan


dan wilayahnya digabungkan ke dalam kabupaten Maros. Namun demikian,
ekonomi di wilayah ini mulai bangkit kembali pada masa-masa selanjutnya. Pada
era Orde Baru, pemerintah Indonesia membangun sejumlah infrastruktur di
wilayah ini, seperti jalan raya dan bendungan, sehingga sektor pertanian dapat
berkembang dengan lebih baik. Selain itu, wilayah ini juga memiliki potensi
pariwisata yang cukup besar, terutama karena keindahan alamnya yang masih
alami.

Kondisi Sosial Budaya


Kerajaan Makassar atau Kerajaan Gowa Tallo sebagai negara maritim, oleh karena itu
sebagian besar masyarakat Makassar memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan
juga pedagang.

mereka sangat giat untuk melakukan usaha serta meningkatkan taraf kehidupannya,
bahkan tidak jarang masyarakat di antara mereka yang memilih untuk merantau guna
menambah penghasilan dan kemakmuran hidupnya.

Walaupun masyarakat Makassar memiliki kebebasan untuk berusaha guna mencapai


kesejahteraan hidupnya, akan tetapi kehidupan masyarakat Makassar sangat terikat
oleh norma dan juga adat istiadat yang dianggapnya sakral.

norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan juga agama Islam
yang biasa disebut PANGADAKKANG. Masyarakat Makassar juga sangat percaya
terhadap norma-norma yang telah ditetapkan tersebut.

Selain norma yang harus ditaati oleh masyarakatnya, masyarakat Makassar juga
mengenal berbagai jenis golongan sosial Al yang terdiri dari golongan atas yang berarti
golongan bangsawan dan keluarganya disebut sebagai \\\\\\\’Anakarung/Karaeng\\\\\\\”,

Sedangkan untuk golongan kedua atau rakyat kebanyakan disebut sebagai \\\\\\\”to
Maradeka\\\\\\\” dan untuk golongan bawah yang merupakan para hamba-sahaya
disebut sebagai golongan \\\\\\\”Ata\\\\\\\”.

Mengingat statusnya sebagai kerajaan maritim, sebagian besar kebudayaannya


bercorak maritim. Hasil kebudayaan yang terkenal adalah perahu pinisi. Perahu-perahu
ini berlayar tidak hanya di perairan Nusantara saja, melainkan hingga ke macanegara.

Anda mungkin juga menyukai