A. Sejarah Awal
Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo,
Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan
sesuai dengan pilihan masing-masing.
Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528,
sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Nama
Makasar sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang masih digunakan sebagai
nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling
sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku
Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini
sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini
memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan
peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh
Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka.
Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan
Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar
adalah perang terbesar VOC yang pernah dilakukannya di abad ke-17.
Secara geografis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis, karena
berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makasar menjadi pusat
persinggahan para pedagang baik yang berasal dari Indonesia bagian Timur maupun yang berasal
dari Indonesia bagian Barat.
Dengan posisi strategis tersebut maka kerajaan Makasar berkembang menjadi kerajaan
besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. Maka untuk menambah pemahaman Anda
tentang perkembangan kerajaan Makasar tersebut, silahkan simak uraian materi berikut ini.
B. Letak Kerajaan
Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini
terletak di daerah Sulawesi Selatan. Secara geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang
penting, karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan daerah Makassar
menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur
maupun para pedagang yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini
mengakibatkan Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur
perdagangan Nusantara.
Mulanya, pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone,
Sopeng, Wajo dan Sidenreng. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai
dengan pilihan masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk
persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan
sebutan kerajaan Makasar. Nama Makasar sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan
sekarang masih digunakan sebagai nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Raja Alaudin Dalam abad ke-17 M, agama Islam berkembang cukup pesat di Sulawesi Selatan.
Raja Makassar yang pertama memeluk agama Islam bernama Raja Alaudin yang memerintah
Makassar dari tahun 1591-1638 M. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Makassar mulai terjun
dalam dunia pelayaran-perdagangan (dunia maritim). Perkembangan ini menyebabkan
meningkatnya kesejahteraan rakyat Kerajaan Makassar. Namun setelah wafatnya Raja Alauddin,
keadaan pemerintahan kerajaan tidak dapat diketahui dengan pasti.
Pada masa pemerintahannya, Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan
menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan
perdagangan Makasar. Ia berhasil menguasai Ruwu, Wajo, Soppeng, dan Bone. Perluasan daerah
Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.
Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan
pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang
dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.
. Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai
kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat
yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan
agama Islam yang disebut PANGADAKKANG. Dan masyarakat Makasar sangat percaya
terhadap norma-norma tersebut.Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal
pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan
keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to
Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan
golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda
budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis
kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan
Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.
G. Masa Keruntuhan
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap
berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin)
meneruskan perlawanan melawan Belanda.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya
secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan
Makasar mengalami kehancurannya.
1. Fort Rotterdam
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng
peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat
Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9
yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya
benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan
Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan
Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti
seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas
filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan
Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan. Nama asli benteng in i adalah Benteng
Ujung Pandang.
2. Masjid Katangka
Masjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami
beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh Sultan Mahmud (1818),
Kadi Ibrahim (1921), Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948), dan Andi Baso.
Pabbicarabutta Gowa (1962) sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan
mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Makam raja-raja. Tallo adalah sebuah kompleks makam kuno yang dipakai sejak abad
XVII sampai dengan abad XIX Masehi. Letaknya di RK 4 Lingkungan Tallo, Kecamatan Tallo,
Kota Madya Ujungpandang. Lokasi makam terletak di pinggir barat muara sungai Tallo atau
pada sudut timur laut dalam wilayah benteng Tallo. Berdasarkan basil penggalian (excavation)
yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan sejarah dan Purbakala (1976¬-1982) ditemukan gejala
bahwa komplek makam berstruktur tumpang-tindih. Sejumlah makam terletak di atas pondasi
bangunan, dan kadang-kadang ditemukan fondasi di atas bangunan makam.
Kompleks makam raja-raja Tallo ini sebagian ditempatkan di dalam bangunan kubah,
jirat semu dan sebagian tanpa bangunan pelindung. Penempatan balok batu pasir itu semula
tanpa mempergunakan perekat. Perekat digunakan pada Proyek Pemugaran. Bentuk bangunan
jirat dan kubah pada kompleks ini kurang lebih serupa dengan bangunan jirat dan kubah dari
kompleks makam Tamalate, Aru Pallaka, dan Katangka. Pada kompleks ini bentuk makam
dominan berciri abad XII Masehi.