Anda di halaman 1dari 12

A.

Kerajaan Gowa-Tallo

1. Sejarah

Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang

dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian

menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data,

Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik

damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk

Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung

sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat

orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah

Batara Guru dan saudaranya Gambar di bawah merupakan peta Sulawesi

Selatan. Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan di

antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng.

2. Kerajaan Gowa-Tallo

Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan

kecil, seperti Goa, Tello, Sopeng dan Bone. Di antara kerajaan-kerajaan

tersebut yang kemudian muncul sebagai kerajaan besar ialah Goa dan Tello

keduanya lebih dikenal dengan nama Kerajaan Makasar.1

Di daerah Sulawesi Selatan, proses islamisasi makin mantap

dengan adanya para mubalig yang disebut Dato’ Tallu (Tiga Dato),

yaitu Dato’ Ri bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri

Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro

1
Dwi Ari Listiyani, Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI BAHASA, Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan nasional, 2009, hlm. 98
(Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal

dari Kolo Tengah, Minangkabau. Para Mubalig itulah yang

mengislamkan Raja Luwuw yaitu Datu’La Patiware’ Daeng Parabung

dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 103H (4-5

Februari 1605 M). Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu

Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng

Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9

Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar Sultan

Abdullah. Selanjutnya, Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia

mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November

1607 M.2

Peristiwa masuknya Islam Raja Gowa merupakan tonggak

sejarah dimulainya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, karena

setelah itu, terjadi konversi ke dalam Islam secara besar-besaran.

Konversi itu ditandai dengan dikeluarkannya sebuah dekrit Sultan

Alauddin pada tanggal 9 Nopember 1607 sebagai agama kerajaan dan

agama masyarakat.3

3. Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo

a. Benteng Fort Rotterdam

b. Batu Pallantikang

c. Masjid Katangka

2
Restu Gunawan, Amurwani Dwi Lestariningsih, dan Sadirman, Sejarah Indonesia SMA/MA/MAK kelas X,
Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang, Kemendikbud, 2016, hlm. 221-222
3
Prof. Dr. M. Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,2005, hlm. 2
d. Kompleks Makam Katangka

e. Makam Syekh Yusuf

Raja yang memerintah

Karaeng Matoaya
Sultan Alaudin
Sultan Muhammad Said
Sultan Hassanudin

4. Kerajaan Wajo

1. Sejarah

Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang

umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah

awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan

komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari

berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau

Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya

yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal

sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani

yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang

berarti berkumpul.

Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas

wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal,

komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama

dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian

hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga

meninggalnya Puang ri Timpengeng.


Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu,

yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan

Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh

anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya

menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai

Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La

Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah

itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul

di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu

KajuruE.

Kerajaan Wajo

Berita tentang tumbuh dan berkembangnya kerajaan Wajo

terdapat pada sumber hikayat lokal. Di hikayat lokal tersebut ada cerita yang

menghubungkan tentang pendirian Kampung Wajo yag didirikan oleh tiga

orang anak raja dari kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu berasal dari

keturunan dewa yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari ketiga

bagian (limpo) bangsa Wajo : Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala

keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo.

Batara Wajo yang ketiga dipaksa turun tahta karena kelakuannya yang buruk

dan dibunuh oleh tiga orang Ranreng. Menarik perhatian kita bahwa sejak itu

raja-raja di Wajo tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dari

seorang keluarga raja menjadi arung-matoa artinya raja yang pertama atau

utama.

Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas

dengan tiga pa’betelompo (pendukung panji) 30 arung-ma’bicara (raja


hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang.

Mereka itulah yang memutuskan segala perkara. Kerajaan Wajo mempeluas

daerah kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar. Wajo

pernah bersekutu dengan Kerajaan Luwu dan bersatu dengan Kerajaan Bone

dan Soppeng dalam perjanjian Tellum Poco pada 1582. Wajo pernah

ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah

tunduk pada 1610. Di samping itu diceritakan pula dalam hikayat tersebut

bahwa Dato’ ri Bandang dan Dato’ Sulaeman memberikan pelajaran agama

Islam terhadap raja-rajaWajo dan rakyatnya dalam masalah kalam dan fikih.

Pada waktu itu di Kerajaan wajo dilantik pejabat-pejabat agama atau syura

dan yang menjadikadi pertama di Wajo ialah konon seorang wali dengan

mukjizatnya ketika berziarah ke Mekkah. Diceritakan bahwa di Kerajaan

Wajo selama 1612 sampai 1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa.

Persekutuan dengan Gowa pada suatu waktu diperkuat dengan memberikan

bantuan dalam peperangan tetapi berulang kali Gowa juga mencampuri

urusan pemerintah Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula membantu

Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone pada 1643,

1660, dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone

tetapi karena didesak maka Kerajaan Bone sendiri takluk kepada kerajaan

Gowa-Tallo di bawah Sultan Hasanuddin melawan VOC pimpinan

Speelman yang mendapat bantuan dari Aru Palaka dari Bone berakhir

dengan perjanjian Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan Kerajaan

Gowa pada VOC dan disusul pada 1670 Kerajaan Wajo yang diserang

tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota Kerajaan Wajo yaitu

Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur. Arung-matoa penggantinya


terpaksa menandatangani perjanjian di Makassar tentang penyerahan

Kerajaan Wajo kepada VOC.4

Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian

Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo.

Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung

Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah

pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi

anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone

sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.

Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada

pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato

Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke

Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro

melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba

dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669)

disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang

tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai

menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La

Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo

diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga

berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan

banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas

sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah

4
Restu Gunawan, Op.Cit, hlm. 224-225
satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai

dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.

Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa

ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara

membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan

pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La

Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada

zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-

kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan

Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele

(Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga

menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian

Bungaya.

Peninggalan Kerajaan Wajo

a. Masjid Kuno Tosora

b. Makam-makam kuno

c. Kompleks Makam La Tenrilai To Sengngen

d. Kompleks Makam La Maungkace To U’damang

2. Raja-Raja yang Memerintah

Raja raja yang pernah memerintah di kerajaan wajo

Zaman sebelum islam

1) La Tenri Bali Batara Wajo I (akhir abad ke XIV)

2) La Mataesso Batara Wajo II (awal abad ke XV)


3) La Pateddungi To Samallangi Batara Wajo III (1436-1456)

4) La Palewo To Palippu Batara Wajo IV (1456-1466)

5) La Obbi’ Settiware’ Batara Wajo V (1466-1469)

6) La Tenri Umpu’ To Langi Arung Matoa Wajo (1474-1482)

7) La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo (1482-1487)

8) La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo (1487-1491)

9) La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo (1491-1521)

10) La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo (1524-1535)

11) La Temmasonge Arung Matoa Wajo (1535-1538)

12) La Warani To Temmagiang Arung Matoa Wajo (1538-1547)

13) La Mallagenni Arung Matoa Wajo (1547/ hanya 2 bulan)

14) La Mappapuli To Appamadeng Ar

15) ung Matoa Wajo (1547-1564)

16) La Pakoko To Pabbele Arung Matoa Wajo (1564-1567)

17) La Mungkace To Addamang Arung Matoa Wajo (1567-1607)

Zaman islam

1 L a Sangkuru Patau’ Mulajaji Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo

Matinroe ri Allepparenna (1607-1610)

2 La Mappepulu To Appamole Arung Matoa Wajo (1612-1616)

3 La Samalewa To Appakiu Arung Matoa Wajo (1616-1621)

4 La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo (1621-1626)

5 La Mappasaunge’ Arung Matoa Wajo (1627-1628)

6 La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo (1628-1636)

7 La Tenri Lai To Addumemang Arung Matoa Wajo (1636-1639)


8 La Isigajang To Bunne Arung Matoa Wajo Matinroe ri Batana (1639-

1643)

9 La Makkaraka To Patemmui Arung Matoa Wajo Matinroe ri

Panggaranna (1643-1648)

10 La Temmasonge Puanna Daeli Petta Pallinge Arung Matoa Wajo (1648-

1651)

11 La Paremma To Rewo Arung Matoa Wajo Matinroe ri Passirinna (1651-

1658)

12 La Tenri Lai To Sengngeng Arung Matoa Wajo Matinroe ri Sale’kona

(1658-1670)

13 La Pallili To Mallu Arung Matoa Wajo (1670-1679)

14 La Pariusi Daeng Manyampa Arung Matoa Wajo Matinroe ri Buluna

(1679-1699)

15 La Tenri Sessu Tomoe/ To Denra Arung Matoa Wajo (1699-1702)

16 La Mattaone La Sakke Daeng Paguling Puanna Larumpang Arung

Matoa Wajo (1702-1703)

17 La Galigo To Sunnia Arung Matoa Wajo (1703-1712)

18 La Tenri Werung Arung Peneki Arung Matoa Wajo (1712-1715)

19 La Salewangeng To Tenriruwa Arung Matoa Wajo (1715-1736)

20 La Maddukellang Puangna La Tombong Arung Peneki Arung Singkang

Sultan Pasir Arung Matoa Wajo (1736-1754)

21 La Maddanaca Arung Matoa Wajo (1754-1755)

22 La Passaung Puangna La Omo Arung Matoa Wajo (1758-1761)

23 La Mappajung Puangna Salewong Arung Matoa Wajo (1764-1767)


24 La Malliungeng To Alleong Arung Alitta Arung Matoa Wajo (1767-

1770)

25 La Mallalengeng (La Cella’ Puangna To Appamadeng Arung Matoa

Wajo (1795-1817)

26 La Mamang To Appamadeng Radeng Gallong Arung Matoa Wajo

(1821-1825)

27 La Paddengngeng Puangna Palaguna Arung Matoa Wajo (1839-1845)

28 La Pawellangi Pajungperot Arung Matoa Wajo (1854-1859)

29 La Ciccing (Akil Ali) Karaeng Mangeppe Datu Pammana Pilla Wajo

Arung Matoa Wajo (1859-1885)

30 La Koro Batara Wajo Arung Padali Arung Matoa Wajo (1885-1891)

31 La Passamula Datu Lompulle Arung Matoa Wajo (1892-1897)

Zaman pengaruh belanda

1. Ishak Manggabarani Karaeng Mangepe Arung Matoa Wajo (1900-1916)

2. La Tenri Oddang Arung Larompong Arung Peneki Arung Lowa Arung

Matoa Wajo (1926-1933)

3. Andi Mangkona Arung Mariori Wawo (1933-1949) / Arung Matoa

terakhir
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan

Dari makalah ini, kami dapat mengambil kesimpulan Munculnya kerajaan-

kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu.

Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur perdagangan. Penyebaran

Islam yang dilakukan para pedagang bisa dimungkinkan karena mereka pergi ke

berbagai penjuru bumi. Dalam ajaran Islam setiap orang memiliki kewajiban yang sama

untuk berdakwah. Setiap Muslim, apapun kedudukan dan profesinya mereka dituntut

untuk dapat menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat Al-Quran.

B. Saran

Demi kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran yang bersifat membangun

sangat kami harapkan agar makalah ini dapat menjadikan suatu pedoman untuk

kalangan umum. Kami sebagai penyusun memohon maaf atas segala kekurangan dan

kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Atas kritik, saran, dan perhatiannya kami

ucapkan terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA

Dwi Ari Listiyani. 2009. Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI BAHASA. Jakarta :

Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.

Restu Gunawan, Amurwani Dwi Lestariningsih, dan Sadirman. 2016. Sejarah

Indonesia SMA/MA/MAK kelas X. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan

Balitbang, Kemendikbud.

Prof. Dr. M. Ahmad Sewang. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI

sampai abad XVII). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Agussalim, S.Pd. 2016. “Suplemen Materi Ajar” Prasejarah Kemerdekaan di

Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2016.

Dr. Akin Duli, MA, ST, dkk.2013. Monumen Islam di Sulawesi Selatan.

Makassar : Balai Cagar Budaya Makassar.

Imtam Rus Ernawati. Nursiwi Ismawati.2009. Sejarah Kelas XI Untuk SMA/MA

Program Bahasa kelas XI. Klaten : PT. Cempaka Putih.

Drs. Sudjatmoko Adisukarjo dkk. 2007. Horizon IPS Ilmu Pengetahuan Sosial

Semester Pertama 5A. Bogor: Percetakan Ghalia.

Muhammad Abduh, dkk. 1985. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan

Kolonialisme di Sulawesi Selatan. Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Amir Hendrasah. Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler. Yogyakarta :

Galangpress Group.

S.M Noor. 2011. Perang Makassar 1669. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai