BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sejarah Indonesia ada dua kerajaan islam sebagai penonggak sejarah ajaran
islam di daerah pulau jawa, yaitu kerajaan Demak sebagai penguasa saat itu dan kerajaan
Cirebon serta kerajaan Banten sebagai pembantu untuk menyebarkan ajaran-ajaran islam
didaerah jawa bagian barat, atau tanah pasundan.
Banyak misteri tentang kerajaan Cirebon yang awalnya didirikan oleh Syarif
Hidayatulloh, dimana beliau adalah putra dari Nyai Rara Santang dan tidak salah lagi bahwa
beliau adalah keturuan dari Prabu Siliwangi penguasa tanah pasundan pada massanya yang
tidak mau memeluk agama islam dan lebih mengalah kepada anaknya dengan memberikan
sebagian wilayah kekuasaan di daerah Cirebon untuk didirikan pusat pusat ajaran islam.
Banten sebagai penguasa di daerah selat sunda adalah sebuah kerajaan yang sudah memliki
hubungan diplomatik dengan kerajaan Cirebon. Namun karena masuknya VOC ke Indonesia
pada saat itu membuat dua kerajaan ini musnah dan lenyap di telan zaman.
Adapun penulisan dan penyusunan makalah kerajaan Cirebon serta Banten ini
merupakan suatu tugas yang diberikan secara berkelompok, semoga dengan makalah ini
dapat membantu untuk sedikit memahami mengenai kerajaan Cirebon serta Banten, dan besar
harapan kami akan adanya suatu kritik yang membangun yang dapat membantu
meningkatkan lagi khazanah keilmuan kami.
1.2 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui mengenai sejarah dari Kerajaan Cirebon dan Banten
b. Untuk mengetahui sistem pemerintahan Kerajaan Cirebon dan Banten
c. Untuk mengetahui sebab runtuhnya kerajaan Cirebon dan Banten
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
KERAJAAN CIREBON
2.1.1
mempunyai arti seperti di daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa sunda ci yang
berarti air, sedangkan rebon berarti udang. Cirebon mempunyai arti sungai udang atau kota
udang. Cirebon didirikan pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479
M Pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati
Cirebon menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah
seorang menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara santang. Sejak inilah Cirebon
menjadi negara merdeka dan bercorak Islam.
Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati
wilayah Cirebon dibagi menjadi dua daerah, pesisir dan pedalaman. Daerah pesisir dipimpin
oleh Ki Gendeng Jumajan Jati, sedangkan wilayah pedalaman dipimpin oleh Ki Gendeng
Kasmaya. Keduanya adalah saudara Prabu Anggalarung dari Galuh. Sunan Gunung Jati
kemudian menikah dengan Ratu Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun 1479 dan pada
tahun itu juga di bangun Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan[1]
Putra Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Pasarean pada tahun 1528 diangkat sebagai
pemangku kekuasaan di Cirebon. Sebelum sempat menggantikan ayahnya, Pangeran
Pasarean wafat pada tahun 1552. Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat Aria Kemuning
menjadi sultan Cirebon. Aria Kemuning adalah anak angkat dari Sunan Gunung Jati. Aria
Kemuning atau julukannya Dipati Carbon 1 menjabat sebagai sultan Cirebon kurang lebih 12
tahun, yaitu sejak 1553-1565.
2.1.2
Sebelum masuknya Islam ke pulau jawa pada umumnya dan kerajaan Cirebon
khususnya, situasi masyarakat di pengaruhi sistem kasta pada ajaran agama Hindu kehidupan
masyarakatnya jadi bertingkat-tingkat. Mereka yang mempunyai kasta lebih tinggi tidak
dapat bergaul dengan dengan kasta yang lebih rendah atau pergaulan diantara mereka
dibatasi. Setelah ajaran Islam disebarkan oleh Syekh Idlofi Mahdi, susunan masyarakat
berdasarkan kasta ini mulai terkikis dan dimulailah kehidupan masyarakat tanpa adanya
perbedaan kasta[2]
2.1.2.2 Perkembangan Islam pada masa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.
Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka Caruban Nagari,
masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470. Disebarkan oleh Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama Islam itu dimulai ketika Syarif
Hidayatullah berusia 27 tahun yaitu dengan menjadi mubaliqh Cirebon. Di tahun 1479 Syarif
Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putri dari pangeran Cakrabuana.
Pengganti pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon di berikan pada Syarif
Hidayatullah. Pada tahun pengangkatannya Syarif Hidayatullah mengembangkan daerah
penyebarannya di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Serang
yang sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari pedagang-pedagang dari Arab
dan Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah mendapat sambutan
hangat dari adipati Banten. Daerah-daerah yang telah diislamkan antara lain : Kuningan,
Sindangkasih, Telaga, Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang,
dan Timbangaten. Di wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri Caruban
yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin persahabatan dengan
Syarif Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah Raden Patah bersama-sama para
mubaliqh yang sudah bergelar sunan menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Panata Gama
Rasul di tanah Pasundan. Panata Gama Rasul artinya orang yang ditetapkan sebagai
pemimpin penyiaran Agama Nabi Muhamad di tanah Jawa. Kemudian atas kesepakatan para
sunan Syarif Hidayatullah di beri gelar Sunan Gunung Jati dan menjadi Sunan paling terakhir
yaitu sunan ke-9 dari sunan 9 sunan lainnya.
Kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan Sunan Gunung Jati diantaranya:
1.
Talaga, sebuah kerajaan yang beragam Hindu yang terletak di sebelah barat daya Cirebon di
bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.
2.
Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu yang diperintah Prabu
Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan kemajuan Cirebon dan persebaran
agama Islam di Cirebon di tangan Sunan Gunung Jati. Akibatnya timbulah perang antara
Cirebon dengan Rajagaluh, kemenangan berada di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaan
Rajagaluh sekaligus merupakan berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah Jawa Barat
sebelah Timur.
Pada tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati
membangun Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan
seorang arsitek Raden Sepat ( dari Majapahit bersama 200 orang pembantunya dari Demak ).
Masjid ini juga disebut Sang Cipta Rasa karena terlahir dari rasa dan kepercayaan penduduk.
Pada masa itu juga disebut dengan Masjid Pekungwati karena dulu masjid itu terletak dalam
komplek keraton Pekungwati dan sekarang dalam komplek kasepuhan. Menurut cerita masjid
itu dibangun dalam waktu semalam dan besok pada waktu subuh digunakan untuk Sholat
Subuh. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal pada usia yang sangat lanjut yaitu 120
tahun, dia dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.[3]
Golongan Raja yang terdiri dari raja beserta keluarganya. Raja ditempatkan pada lapisan
paling tinggi. Para raja atau sultan Cirebon merupakan golongan ningrat yang tinggal di
lingkungan kerajaan atau istana. Raja menjalankan berbagai kebijaksanaan dan perintahnya.
2.
3.
pejabat-pejabat penting lainnya merasa tunduk dan patuh kepada keamanan sang patih[4].
Golongan non Elite. Golongan ini terdiri dari lapisan masyarakat kecil yang pada umumnya
mempunyai mata pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang, nelayan, dan golongan
masyarakat bawah. Golongan petani dan pedagang merupakan tulang punggung bagi
4.
perekonomian kerajaan. Prajurit mempunyai tugas cukup berat yaitu ikut dalam peperangan.
Golongan Budak[5]. Golongan ini terdiri dari buruh, para budak, dan pekerja kasar. Mereka
adalah orang-orang yang bekerja berat secara fisik menjual tenaga badaniyah atau
mengerjakan pekerjaan kasar. Golongan ini tidak hanya laki-laki saja tetapi juga wanita
kadang anak-anak di bawah umur. Walaupun budak menempati posisi paling bawah tetapi
mereka dibutuhkan oleh raja untuk melayani kepentingan-kepentingannya.
2.1.5
Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak
berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk
meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam
Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk
memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo
yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada
kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai
Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai
Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun
lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar
Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.
1.
Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa
penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan
Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon,
dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para
sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
a.
Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil
2.
Perpecahan II (1807
Sukses para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa
pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang
putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan
sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung
oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat
keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman
menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para
penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan
dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom
IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
2.1.6
1.
KERAJAAN BANTEN
Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai
utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1525, Sunan Gunung Jati dari Cirebon, meletakkan dasar
bagi pengembangan agama dan kerajaan islam serta perdangangan orang-orang islam di sana.
Menurut sumber tradisional, penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati
dengan ramah-tamah dan tertarik masuk islam. Penguasa itu membukakan jalan seluasluasnya bagi kegiatan pengislaman di Banten. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa
atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya. Namun, meurut berita
Barros, penyebaran Islam di Jawa Barat tidak melalui jalan damai, sebagaimana disebut oleh
sumber tradisional. Beberapa pengislaman mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan
tidak diperoleh kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang
dengan tiba-tiba.[6]
Untuk menyebarkan Islam di Jawa Barat, langkah Sunan Gunung Jati berikutnya adalah
menduduki pelabuhan Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas
kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan lain di Jawa Barat yang semula di bawah kekuasaan
di Pajajaran.
Setelah ia kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada puteranya,
Hasanuddin. Hasanuddin sendiri menikah dengan puteri Demak dan diresmikan menjadi
Panembahan Banten tahun 1552. Ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam memperluas
daerah Islam, yaitu ke Lampung dan daerah sekitarnya di Sumatera Selatan.
Pada tahun 1568,
dalam usia 25 tahun pada 1596. Ia meninggalkan seorang anak yang baru berusia 5 bulan,
Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Sebelum memegang pemerintahan secara langsung, Sultan berturut-turut berada di bawah
4 orang wali laki-laki dan seorang wali wanita. Ia baru aktif memegang kekuasaan tahun
1626, dan pada tahun 1638 mendapat gelar Sultan dari Mekah. Dialah raja Banten pertama
dengan gelar sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan digantikan oleh cucunya
Sultan Abulfath Abdulfath. Pada masa Sultan Abulfath Abdulfath ini terjadi beberapa kali
peperangan antara Banten dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian
perdamaian tahun 1659 M.
2.2.2
Letak Kerajaan
Dasar-dasar Kerajaan Banten diletakkan oleh Hasanuddin (putra Fatahillah) dan
Puncak Kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan
Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang
sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
2.2.4
Penghapusan Kesultanan
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-
1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari
serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya
ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan
akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya
Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan.
Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian
dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin
kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels
mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke
dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.
Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan
dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan
pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
2.2.5
Kehidupan Politik
Berkembangnya Kerajaan Banten, tidak dapat dipisahkan dari peranan raja-raja yang
pernah memerintah Kerajaan Banten. Raja Hasanuddin Setelah Banten di islamkan oleh
Fatahillah, daerah Banten
Perekonomian
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan
untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan.
Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti
Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana
penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah
pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas
lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik,
baliung, kored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan
untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan
menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40
000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani
ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu,
yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan
Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan,
dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah
satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.
2.2.7
Pemerintahan
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan
gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran
Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada
pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta
Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada
masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu
Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa
adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci
Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana
Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana
dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk mercusuar yang kemungkinan
dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di
Banten.
Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung
Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan
alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk
menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota Banten
berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang
dikenal dengan nama mandala. Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung
yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten,
pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan
Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama
Syahbandar Kaytsu.
2.2.8
BAB III
PENUTUP
Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan
berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Sunan Gunung Jati, mempunyai daerah
penyebaran paling luas. Pada tahun 1498 Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung
Cirebon dan dibantu oleh kedelapan para wali. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat dan
beliau dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.
DAFTAR PUSTAKA
Kosoh, dkk. Sejarah daerah Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, PN. Balai Pustaka,
Jakarta, 1994.
Kartodirjo, Sartono.
PS. Sulendraningrat.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III.
Depdikbud, 1982.
http://kumpulantugassejarah.blogspot.com/2011/07/penyebaran-islam-di-kerajaancirebon.html.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banten
http://wandi.guru-indonesia.net/artikel_detail-35772.html