Anda di halaman 1dari 16

KERAJAAN BANTEN DAN CIREBON

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sejarah Indonesia ada dua kerajaan islam sebagai penonggak sejarah ajaran
islam di daerah pulau jawa, yaitu kerajaan Demak sebagai penguasa saat itu dan kerajaan
Cirebon serta kerajaan Banten sebagai pembantu untuk menyebarkan ajaran-ajaran islam
didaerah jawa bagian barat, atau tanah pasundan.
Banyak misteri tentang kerajaan Cirebon yang awalnya didirikan oleh Syarif
Hidayatulloh, dimana beliau adalah putra dari Nyai Rara Santang dan tidak salah lagi bahwa
beliau adalah keturuan dari Prabu Siliwangi penguasa tanah pasundan pada massanya yang
tidak mau memeluk agama islam dan lebih mengalah kepada anaknya dengan memberikan
sebagian wilayah kekuasaan di daerah Cirebon untuk didirikan pusat pusat ajaran islam.
Banten sebagai penguasa di daerah selat sunda adalah sebuah kerajaan yang sudah memliki
hubungan diplomatik dengan kerajaan Cirebon. Namun karena masuknya VOC ke Indonesia
pada saat itu membuat dua kerajaan ini musnah dan lenyap di telan zaman.
Adapun penulisan dan penyusunan makalah kerajaan Cirebon serta Banten ini
merupakan suatu tugas yang diberikan secara berkelompok, semoga dengan makalah ini
dapat membantu untuk sedikit memahami mengenai kerajaan Cirebon serta Banten, dan besar
harapan kami akan adanya suatu kritik yang membangun yang dapat membantu
meningkatkan lagi khazanah keilmuan kami.
1.2 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui mengenai sejarah dari Kerajaan Cirebon dan Banten
b. Untuk mengetahui sistem pemerintahan Kerajaan Cirebon dan Banten
c. Untuk mengetahui sebab runtuhnya kerajaan Cirebon dan Banten

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

KERAJAAN CIREBON

2.1.1

Sejarah Kerajaan Cirebon


Kerajaan Cirebon merupakan bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon sendiri

mempunyai arti seperti di daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa sunda ci yang
berarti air, sedangkan rebon berarti udang. Cirebon mempunyai arti sungai udang atau kota
udang. Cirebon didirikan pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479
M Pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati
Cirebon menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah
seorang menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara santang. Sejak inilah Cirebon
menjadi negara merdeka dan bercorak Islam.
Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati
wilayah Cirebon dibagi menjadi dua daerah, pesisir dan pedalaman. Daerah pesisir dipimpin
oleh Ki Gendeng Jumajan Jati, sedangkan wilayah pedalaman dipimpin oleh Ki Gendeng
Kasmaya. Keduanya adalah saudara Prabu Anggalarung dari Galuh. Sunan Gunung Jati
kemudian menikah dengan Ratu Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun 1479 dan pada
tahun itu juga di bangun Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan[1]
Putra Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Pasarean pada tahun 1528 diangkat sebagai
pemangku kekuasaan di Cirebon. Sebelum sempat menggantikan ayahnya, Pangeran
Pasarean wafat pada tahun 1552. Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat Aria Kemuning
menjadi sultan Cirebon. Aria Kemuning adalah anak angkat dari Sunan Gunung Jati. Aria
Kemuning atau julukannya Dipati Carbon 1 menjabat sebagai sultan Cirebon kurang lebih 12
tahun, yaitu sejak 1553-1565.
2.1.2

Berkembangnya Ajaran Islam di Kerajaan Cirebon

2.1.2.1 Perkembangan Islam pada Masa Syekh Idlofi Mahdi


Menurut Tome Pires, seorang musyafir dari negeri Portugis pendapat Islam masuk ke
Kerajaan Cirebon pada tahun 1470-1475. Pada tahun 1420 M, datang serombongan pedagang
dari Baghdad yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi, ia tinggal di dalam perkampungan
Muara Jati dengan alasan untuk memperlancar barang dagangannya. Syekh Idlofi Mahdi
memulai kegiatannya selain berdagang dia juga berdakwah dengan mengajak penduduk serta
teman-temannya untuk mengenal serta memahami ajaran Islam. Pusat penyebarannya brada
di Gunung Jati. Syekh Idlofi Mahdi menyebarkan agama Islam dengan cara bijaksana dan
penuh hikmah.

Sebelum masuknya Islam ke pulau jawa pada umumnya dan kerajaan Cirebon
khususnya, situasi masyarakat di pengaruhi sistem kasta pada ajaran agama Hindu kehidupan
masyarakatnya jadi bertingkat-tingkat. Mereka yang mempunyai kasta lebih tinggi tidak
dapat bergaul dengan dengan kasta yang lebih rendah atau pergaulan diantara mereka
dibatasi. Setelah ajaran Islam disebarkan oleh Syekh Idlofi Mahdi, susunan masyarakat
berdasarkan kasta ini mulai terkikis dan dimulailah kehidupan masyarakat tanpa adanya
perbedaan kasta[2]
2.1.2.2 Perkembangan Islam pada masa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.
Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka Caruban Nagari,
masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470. Disebarkan oleh Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama Islam itu dimulai ketika Syarif
Hidayatullah berusia 27 tahun yaitu dengan menjadi mubaliqh Cirebon. Di tahun 1479 Syarif
Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putri dari pangeran Cakrabuana.
Pengganti pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon di berikan pada Syarif
Hidayatullah. Pada tahun pengangkatannya Syarif Hidayatullah mengembangkan daerah
penyebarannya di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Serang
yang sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari pedagang-pedagang dari Arab
dan Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah mendapat sambutan
hangat dari adipati Banten. Daerah-daerah yang telah diislamkan antara lain : Kuningan,
Sindangkasih, Telaga, Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang,
dan Timbangaten. Di wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri Caruban
yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin persahabatan dengan
Syarif Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah Raden Patah bersama-sama para
mubaliqh yang sudah bergelar sunan menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Panata Gama
Rasul di tanah Pasundan. Panata Gama Rasul artinya orang yang ditetapkan sebagai
pemimpin penyiaran Agama Nabi Muhamad di tanah Jawa. Kemudian atas kesepakatan para
sunan Syarif Hidayatullah di beri gelar Sunan Gunung Jati dan menjadi Sunan paling terakhir
yaitu sunan ke-9 dari sunan 9 sunan lainnya.
Kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan Sunan Gunung Jati diantaranya:
1.

Talaga, sebuah kerajaan yang beragam Hindu yang terletak di sebelah barat daya Cirebon di
bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.

2.

Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu yang diperintah Prabu
Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan kemajuan Cirebon dan persebaran
agama Islam di Cirebon di tangan Sunan Gunung Jati. Akibatnya timbulah perang antara
Cirebon dengan Rajagaluh, kemenangan berada di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaan
Rajagaluh sekaligus merupakan berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah Jawa Barat
sebelah Timur.
Pada tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati
membangun Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan
seorang arsitek Raden Sepat ( dari Majapahit bersama 200 orang pembantunya dari Demak ).
Masjid ini juga disebut Sang Cipta Rasa karena terlahir dari rasa dan kepercayaan penduduk.
Pada masa itu juga disebut dengan Masjid Pekungwati karena dulu masjid itu terletak dalam
komplek keraton Pekungwati dan sekarang dalam komplek kasepuhan. Menurut cerita masjid
itu dibangun dalam waktu semalam dan besok pada waktu subuh digunakan untuk Sholat
Subuh. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal pada usia yang sangat lanjut yaitu 120
tahun, dia dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.[3]

2.1.3 Cirebon Sebagai Bandar Dagang


Letak Cirebon yang strategis yaitu di daerah pesisir pantai Utara pulau Jawa. Cirebon
sebagai pusat pelabuhan berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi dan sebagai keluar
masuknya barang-barang kebutuhan pada masyarakat pedesaan, dengan luar daerah, maupun
dari negeri lain. Perdagangan ini melalui dua jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat
biasanya dengan alat transportasi darat seperti dengan berkuda atau mengendarai gajah.
Jalurnya dari Banyumas menuju Tegal kemudian menuju Periangan. tiga wilayah pedalaman
diandalkan sebagai penghasil bahan-bahan pertanian seperti sayur-mayur, buah-buahan, padi.
Sedangkan barang dagangan yang dibawa dari luar daerah yaitu : logam, besi, emas, perak,
sutera, dan keramik. Barang-barang tersebut biasanya berasal dari Cina.
Dalam transaksi perekonomian dan perdagangan Cina mempunyai peranan yang
sangat besar karena barang-barang kebutuhan masyarakat dibawa oleh pedagang-pedagang
dari Cina. Mereka memakai sistem barter yang dimaksud barter disini yaitu barter uang
dengan mempergunakan mata uang. Perdagangan Cirebon mengalami kemunduran karena
adanya monopoli perdagangan dari kompeni Belanda pada 30 April 1632.
2.1.4 Pelapisan Sosial Kerajaan Cirebon

Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan kedudukan dan digolongkan menjadi 4


lapisan sosial :
1.

Golongan Raja yang terdiri dari raja beserta keluarganya. Raja ditempatkan pada lapisan
paling tinggi. Para raja atau sultan Cirebon merupakan golongan ningrat yang tinggal di
lingkungan kerajaan atau istana. Raja menjalankan berbagai kebijaksanaan dan perintahnya.

2.

Hubungan antara raja, bangsawan, dan masyarakat sangat dibatasi.


Golongan Elite terdiri dari para bangsawan, priyayi, tentara, golongan Islam, dan pedagangpedagang kaya. Patih menempati lapisan yang paling penting karena baik raja maupun

3.

pejabat-pejabat penting lainnya merasa tunduk dan patuh kepada keamanan sang patih[4].
Golongan non Elite. Golongan ini terdiri dari lapisan masyarakat kecil yang pada umumnya
mempunyai mata pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang, nelayan, dan golongan
masyarakat bawah. Golongan petani dan pedagang merupakan tulang punggung bagi

4.

perekonomian kerajaan. Prajurit mempunyai tugas cukup berat yaitu ikut dalam peperangan.
Golongan Budak[5]. Golongan ini terdiri dari buruh, para budak, dan pekerja kasar. Mereka
adalah orang-orang yang bekerja berat secara fisik menjual tenaga badaniyah atau
mengerjakan pekerjaan kasar. Golongan ini tidak hanya laki-laki saja tetapi juga wanita
kadang anak-anak di bawah umur. Walaupun budak menempati posisi paling bawah tetapi
mereka dibutuhkan oleh raja untuk melayani kepentingan-kepentingannya.
2.1.5

Terpecahnya Kesultanan Cirebon


Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran

Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak
berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk
meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam
Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk
memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo
yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada
kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai
Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai
Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun
lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar
Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.
1.

Perpecahan I (1677)

Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa
penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan
Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon,
dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para
sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
a.

Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil

Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)


b. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
c.

Muhammad Badrudin (1677-1723)


Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil
Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya
ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon
di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan
keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan
hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi
berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam
tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan
tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki
tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka
orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.

2.

Perpecahan II (1807
Sukses para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa
pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang
putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan
sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung
oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat
keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman
menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para
penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan
dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom
IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

2.1.6
1.

Runtuhnya Kerajaan Cirebon


Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan dipegang oleh
Sultan Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton Karicebonan dipegang
oleh Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan masing-masing.

Mengakibatkan kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.


2. Setelah Sultan Panembahan Gerilya wafat pada tahun 1702, terjadi perebutan kekuasaan
diantara kedua putranya, yaitu antara Pangeran Marta Wijaya dan Pangeran Wangsakerta. Di
samping itu adanya campur tangan VOC yang mengadu domba mereka membuat
persaudaraan mereka menjadi permusuhan.
2.2

KERAJAAN BANTEN

2.2.1 Awal Terbentuknya Kerajaan Banten


Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian
dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana
Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran
dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang
ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak
selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah
Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan
Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan
Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga
melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam
penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang
dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan
dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten
yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan
yang mandiri.
Sebelum kerajaan Islam berkuasa di Banten, ketika masih berada di bawah kekuasaan
raja-raja Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang
berarti. Dalam tulisan Sunda Kuno, cerita Parahyangan, disebutkan nama Wahanten Girang.

Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai
utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1525, Sunan Gunung Jati dari Cirebon, meletakkan dasar
bagi pengembangan agama dan kerajaan islam serta perdangangan orang-orang islam di sana.
Menurut sumber tradisional, penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati
dengan ramah-tamah dan tertarik masuk islam. Penguasa itu membukakan jalan seluasluasnya bagi kegiatan pengislaman di Banten. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa
atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya. Namun, meurut berita
Barros, penyebaran Islam di Jawa Barat tidak melalui jalan damai, sebagaimana disebut oleh
sumber tradisional. Beberapa pengislaman mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan
tidak diperoleh kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang
dengan tiba-tiba.[6]
Untuk menyebarkan Islam di Jawa Barat, langkah Sunan Gunung Jati berikutnya adalah
menduduki pelabuhan Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas
kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan lain di Jawa Barat yang semula di bawah kekuasaan
di Pajajaran.
Setelah ia kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada puteranya,
Hasanuddin. Hasanuddin sendiri menikah dengan puteri Demak dan diresmikan menjadi
Panembahan Banten tahun 1552. Ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam memperluas
daerah Islam, yaitu ke Lampung dan daerah sekitarnya di Sumatera Selatan.
Pada tahun 1568,

di saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang. Hasanuddin

memerdekakan Banten. Itulah sebabnya dalam sumber-sumber sejarah yang menceritakan


kelahiran Banten ia dianggap sebagai raja Islam yang pertama di Banten. Banten sejak
semula memang merupakan vassal dari Demak. Hasanuddin mangkat kira-kira tahun 1570
dan digantikan oleh anaknya, Yusuf. Setelah sembilan tahun memegang tampuk kekuasaan,
pada tahun 1579 Yusuf menaklukkan Pakuwan yang belum menganut Islam dan waktu itu
masih menguasai sebagian besar daerah pedalaman Jawa Barat. Sesudah ibu kota kerajaan itu
jatuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam.
Walaupun telah memeluk Islam, mereka diperbolehkan tetap memakai pangkat dan gelar
yang disandang sebelumnya.
Setelah Yusuf meninggal dunia tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya Muhammad,
yang masih muda belia. Selama Sultan Muhammad masih di bawah umur, kekuasaan
pemerintahan dipegang oleh kali (Arab: qadhi, jaksa agung) bersama empat pembesar
lainnya. Raja Banten yang saleh ini melanjutkan serangan terhadap raja Palembang dan gugur

dalam usia 25 tahun pada 1596. Ia meninggalkan seorang anak yang baru berusia 5 bulan,
Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Sebelum memegang pemerintahan secara langsung, Sultan berturut-turut berada di bawah
4 orang wali laki-laki dan seorang wali wanita. Ia baru aktif memegang kekuasaan tahun
1626, dan pada tahun 1638 mendapat gelar Sultan dari Mekah. Dialah raja Banten pertama
dengan gelar sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan digantikan oleh cucunya
Sultan Abulfath Abdulfath. Pada masa Sultan Abulfath Abdulfath ini terjadi beberapa kali
peperangan antara Banten dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian
perdamaian tahun 1659 M.
2.2.2

Letak Kerajaan
Dasar-dasar Kerajaan Banten diletakkan oleh Hasanuddin (putra Fatahillah) dan

mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Perkembangan


Kerajaan Banten yang demikian pesat, tidak lepas dari posisi dan letaknya yang strategis di
sekitar Selat Sunda.
Secara geografis, Kerajaan Banten terletak di daerah Jawa Barat bagian utara.
Kerajaan Banten menjadi penguasa jalur pelayaran dan perdagangan yang melalui Selat
Sunda. Dengan posisi yang strategis Kerajaan Banten berkembang menjadi sebuah kerajaan
besar di Jawa Barat dan bahkan menjadi saingan berat VOC (Belanda) yang berkedudukan di
Batavia.[7]
2.2.3

Puncak Kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan

dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung,


menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten
berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan
laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang
Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam,
Filipina, Cina dan Jepang.[8]
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan
Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh
Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana
atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661.

Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang
sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
2.2.4

Penghapusan Kesultanan
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-

1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari
serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya
ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan
akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya
Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan.
Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian
dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin
kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels
mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke
dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris.
Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan
dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan
pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
2.2.5

Kehidupan Politik
Berkembangnya Kerajaan Banten, tidak dapat dipisahkan dari peranan raja-raja yang

pernah memerintah Kerajaan Banten. Raja Hasanuddin Setelah Banten di islamkan oleh
Fatahillah, daerah Banten

diserahkan kepada putranya yang bernama Hasanuddin. la

memerintah Banten dari tahun 1552-1570 M. Dengan meletakkan dasar-dasar pemerintahan,


Kerajaan Banten dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama. Pada masa pemerintahannya,
agama Islam dan kekuasaan Kerajaan Banten berkembang cukup pesat.[9]
Raja Hasanuddin, juga memperluas wilayah kekuasaannya ke Lampung. Dengan
menduduki daerah Lampung, Kerajaan Banten merupakan penguasa tunggal jalur lalu lintas
pelayaran-perdagangan Selat Sunda, sehingga Kerajaan Banten. Kerajaan Banten mencapai
puncak kejayaannya pada masa Sultan Ageng setiap pedagang yang melewati Selat Tirtayasa.
Letak Kerajaan Banten sangat strategis karena berada Sunda diwajibkan untuk melakukan di
Selat Sunda yang bertambah ramai setelah dikuasainya Selat kegiatannya di Bandar Banten.
Raja Hasanuddin kawin dengan putri Raja Indrapura. Bahkan Raja Indra-pura
menyerahkan tanahSelebar yang banyak menghasilkan lada kepadanya. Di bawah

pemerintahan Raja Hasanuddin, Kerajaan Banten banyak di-kunjungi oleh saudagar-saudagar


dari Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu (Burma Selatan), dan Keling.
Panembahan Yusuf Setelah Raja Hasanuddin wafat tahun 1570 M, putranya yang
bergelar Panembahan Yusuf menjadi raja Banten berikutnya. la berupaya untuk memajukan
pertanian dan pengairan. la juga berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaan kerajaannya.
Langkah-langkah yang ditempuhnya antara lain, merebut Pakuan pada tahun 1579 M. Dalam
pertempuran tersebut, raja Pakuan yang bernama Prabu Sedah tewas. Kerajaan Pajajaran
yang merupakan benteng terakhir Kerajaan Hindu di Jawa Barat berhasil dikuasainya. Setelah
10 tahun memerintah, Panembahan Yusuf wafat akibat sakit keras yang dideritanya.
Maulana Muhammad Ketika Panembahan Yusuf sedang sakit, saudaranya yang
bernama Pangeran Jepara datang ke Banten. Ternyata Pangeran Jepara yang dididik oleh Ratu
Kali Nyamat ingin menduduki Kerajaan Banten. Tetapi mangkubumi Kerajaan Banten dan
pejabat-pejabat lainnya tidak menyetujuinya. Mereka mengangkat putra Panembahan Yusuf
yang baru berumur sembilan tahun bernama Maulana Muhammad menjadi raja Banten
dengan gelar Kanjeng Ratu Banten. Mangkubumi menjadi wali raja. Mangkubumi
menjalankan seluruh aktivitas pemerintahan kerajaan sampai rajanya siap untuk memerintah.
Pada tahun 1596 M Kanjeng Ratu Banten memimpin pasukan Kerajaan Banten untuk
menyerang Palembang. Tujuannya untuk menduduki bandar-bandar dagang yang terletak di
tepi Selat Malaka agar bisa dijadikan tempat untuk mengumpulkan lada dan hasil bumi
lainnya dari Sumatera. Palembang akan dikuasainya, tetapi tidak berhasil, malah Kanjeng
Ratu Banten tertembak dan akhirnya wafat. Tahta kerajaan kemudian berpindah kepada
putranya yang baru berumur lima bulan yang bernama Abu'Mufakir.
Abu'Mufakir Abu'Mufakir dibantu oleh wali kerajaan yang bernama Jayanegara. Akan
tetapi, ia sangat dipengaruhi oleh pengasuh pangeran yang bernama Nyai Emban Rangkung.
Pada tahun 1596 M itu juga untuk pertama kalinya orang Belanda tiba di Indonesia di
bawah pimpinan Comelis de Houtman. Mereka berlabuh di pelabuhan Banten. Tujuan awal
mereka datang ke Indonesia adalah untuk membeli rempah-rempah.
Sultan Ageng Tirtayasa Setelah wafat, Abul Mufakir digantikan oleh putranya dengan
gelar Sultan Abu Ma'ali Ahmad Rahmatullah. Akan tetapi berita tentang pemerintahan sultan
ini tidak dapat diketahui dengan jelas. Setelah Sultan Abu Ma'ali wafat, ia digantikan oleh
putranya yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah Banten dari tahun 1651-1692
M.
Di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kerajaan Banten mencapai masa
kejayaan. Sultan Ageng Tirtayasa berupaya memperluas kerajaannya dan mengusir Belanda

dari Batavia. Banten mendukung perlawan-an Kerajaan Mataram terhadap Belanda di


Batavia. Kegagalan Kerajaan Mataram tidak mengurangi semangat Sultan Ageng untuk
mencapai cita-citanya.
Sultan Ageng Tirtayasa memajukan aktivitas perdagangan agar dapat bersaing dengan
Belanda di Batavia. Di samping itu. Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan kepada pasukan
Kerajaan Banten untuk mengadakan perampokan terhadap Belanda di Batavia, sedangkan
perkebunan tebu milik Belanda di sebelah barat Ciangke dirusak oleh orang-orang Banten.
Gerakan yang dilakukan oleh orang-orang Banten atas perintah Sultan Ageng Tirtayasa
membuat Belanda kewalahan menghadapinya.
Pada tahun 1671 M Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota menjadi raja
pembantu dengan gelar Sultan Abdul Kahar. Sejak saat itu Sultan Ageng Tirtayasa
beristirahat di Tirtayasa/ tetapi ia tidak melepaskan pemerintahan seluruhnya. Pada tahun
1674 M, Sultan Abdul Kahar berangkat ke Mekkah dan setelah mengunjungi Turki ia kembali
ke Banten (1676 M). Sejak saat itu ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji.Ketika
memerintah Kerajaan Banten, Sultan Haji menjalin hubungan baik dengan Belanda. Ternyata
hubungan ini dijadikan kesempatan yang bagus oleh Belanda untuk memasuki Kerajaan
Banten. Melihat terjalinnya hubungan antara Sultan Haji dengan Belanda, Sultan Ageng
Tirtayasa menarik kembali tahta kerajaan dari tangan Sultan Haji. Namun Sultan Haji tetap
mempertahankan tahta kerajaannya, sehingga terjadi perang saudara di Kerajaan Banten
antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Sultan Haji yang mendapat bantuan Belanda.
Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga wafat tahun
1692 M.
Kemenangan Sultan Haji merupakan kehancuran Kerajaan Banten, karena selanjutnya
Kerajaan Banten berada di bawah pengawasan pihak Belanda. Dengan demikian. Sultan Haji
hanyalah sebagai lambang belaka (raja boneka) dalam pemerintahan Kerajaan Banten, karena
seluruh kekuasaan diatur oleh Belanda.
2.2.6

Perekonomian
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan

untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan.
Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti
Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana
penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah
pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas

lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik,
baliung, kored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan
untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan
menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40
000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani
ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu,
yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan
Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan,
dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah
satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.
2.2.7

Pemerintahan
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan

gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran
Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada
pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta
Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada
masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu
Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa
adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci
Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana
Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana
dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk mercusuar yang kemungkinan
dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di
Banten.
Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung
Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan
alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk
menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota Banten
berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang

dikenal dengan nama mandala. Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung
yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten,
pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan
Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama
Syahbandar Kaytsu.
2.2.8

Runtuhnya Kerajaan Banten

Hasanuddin berhasil dikalahkan oleh Belanda sehingga harus menandatangani sebuah


perjanjian. Isinya antara lain adalah kerajaan banten harus dibagi menjadi 4 kerajaan kecil,
yaitu kerajaan cirebon, dan lain-lain. Karena menjadi kerajaan kecil maka di banten sering
terjadi perang saudara sehingga kerajaan banten akhirnya runtuh.

BAB III
PENUTUP
Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan
berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Sunan Gunung Jati, mempunyai daerah
penyebaran paling luas. Pada tahun 1498 Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung
Cirebon dan dibantu oleh kedelapan para wali. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat dan
beliau dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.

Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3 Kesultanan,


Yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato Kacirebonan. Sehingga kerajaan
Cirebon menjadi terpecah-pecah. Disamping itu adanya perebutan kekuasaan sepeninggal
Panembahan Gerilya pada tahun 1702. Adanya campur tangan VOC dalam kerajaan yang
mengadu domba mereka juga menjadi penyebab hancurnya kerejaan Cirebon.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian
dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana
Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran
dakwah Islam.
Hasanuddin berhasil dikalahkan oleh Belanda sehingga harus menandatangani sebuah
perjanjian. Isinya antara lain adalah kerajaan banten harus dibagi menjadi 4 kerajaan kecil,
yaitu kerajaan cirebon, dan lain-lain. Karena menjadi kerajaan kecil maka di banten sering
terjadi perang saudara sehingga kerajaan banten akhirnya runtuh.

DAFTAR PUSTAKA
Kosoh, dkk. Sejarah daerah Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, PN. Balai Pustaka,
Jakarta, 1994.
Kartodirjo, Sartono.

Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium

sampai Imporium, Jilid 1. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.


Bockani, Sanggupri, dkk.
Bersinar, Jakarta, 2001.

Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. CV. Sukorejo

PS. Sulendraningrat.

Sejarah Cirebon. PN Balai Pustaka, Jakarta, 1985.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III.
Depdikbud, 1982.
http://kumpulantugassejarah.blogspot.com/2011/07/penyebaran-islam-di-kerajaancirebon.html.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Banten
http://wandi.guru-indonesia.net/artikel_detail-35772.html

Anda mungkin juga menyukai