Anda di halaman 1dari 27

Kerajaan Islam

G T
O A
W L
A L
O
Keadaan
Awal Berdirinya
Politik

Keadaan
Letak
Sosial,Budaya
Sultan dan
Penyebar Masa
Agama Islam Keruntuhan

Masa Sumber
Kejayaan Sejarah

Keadaan Hasil
Ekonomi Peninggalan
SELESAI
Kembali
Gowa dan Tallo pra-Islam merupakan kerajaan kembar
milik dua bersaudara. Berawal di pertengahan abad ke-16,
pada masa pemerintahan Gowa IV Tonatangka Lopi, ia
membagi wilayah Kerajaan menjadi dua bagian untuk dua
putranya, Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero. Hal ini
dikarenakan kedua putranya sama-sama ingin berkuasa.
Batara Gowa melanjutkan kekuasaan sang ayah yang
meninggal dunia dengan memimpin Kerajaan Gowa
sebagai Raja Gowa VII. Sedangkan adiknya, Karaeng Loe
ri Sero, mendirikan kerajaan baru bernama Tallo.

Pada awal abad yang ke-16, Kerajaan Gowa Tallo diperintah oleh Tumapa’risi Kallonna yang pada
masanya bertahta Karaeng atau penguasan Gowa ke-9. Beliau melakukan perombakan yang besar-
besaran dengan cara mengubah daerah Makassar dari konfederasi antar-komunitas yang sifatnya
longgar menjadi negara kesatuan Gowa. Beliau juga mengatur penyatuan angara Gowa dengan Tallo
lalu merekatkannya dengan sumpah yang menyatakan jika apa saja yang melakukan percobaan untuk
membuat mereka saling berperang akan memperoleh hukuman Dewata. Dari sini, sebuah perundang-
undangan serta aturan-aturan perang diciptakan, serta sebuah sistem pengumpulan pajak juga bea
dilembagakan di awasi oleh seorang syahbandar dengan tujuan untuk mendanai Kerajaan Gowa Tallo.
Kerajaan Gowa Tallo memiliki letak Kembali
yang strategis karena berada di pantai
barat Sulawesi Selatan. Kerajaan
Gowa Tallo beribu kota di Makassar Letak Kerajaan Gowa-Tallo secara terperinci

dibatasi oleh Selat Makassar di


sebelah barat, Laut Flores di sebelah
selatan, dan teluk Bone di sebelah
timur. Keadaan alam tersebut
mendorong masyarakat Makassar
menjadi pelaut ulung. Selain itu,
Makassar memiliki kondisi tanah yang
relatif datar. Dengan keberadaan dua
sungai, yaitu Sungai Tallo dan Sungai
Wilayah kekuasaan Federasi Kesultanan Jeneberang, tanah di sekitar Kota
Gowa-Tallo pada abad ke-16 Makassar dapat dikelola menjadi
lahan pertanian. Kedua sungai
Ibu kota : Sungguminasa tersebut sering mengendapkan
Bahasa Resmi : Makassar sedimen lumpur yang kemudian
Bahasa Lain : Mandar membentuk tanah aluvial. Tanah ini
bersifat subur dan cocok untuk
Agam : Islam
pertanian. Dengan kondisi tanah yang
Bentuk pemerintahan : Monarki Kesultanan subur dan letak strategis, Kerajaan
Gowa Tallo dapat berkembang
sebagai kerajaan besar di Indonesia.
Selanjutnya
1. Tumanurung Baine (Perempuan) (Sekitar abad 13) (Pendiri)

2. Tumassalangga Baraya

3. Puang Loe Lembang

4. I Tuniatabanri

5. Karampang ri Gowa

6. Tunatangka Lopi (Abad 14)

7. Batara Gowa Tumenanga ri Paralakkenna

8. Pakere Tau Tunijallo ri Passukki

9. Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16)

10. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) - (Pemersatu kerajaan Gowa dan Tallo
dan memulai pembangunan Benteng Ford Rotterdam dengan nama awal Benteng Panyua' sebagai bentuk pertanahan dari
serangan laut dan penjgaan Bandar Makassar. Baca Selengkapnya mengenai Benteng Rotterdam)
11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte Selanjutnya

12. I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).

13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).

14. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Jun
1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.

15. I Mannuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna. Lahir 11 Desember 1605,
berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653

16. I Mallombassi Daeng Mattawang, Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Hasanuddin Tuminanga r
Balla'pangkana. Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670

17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu'. Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669
hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.

18. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara Lahir pada tanggal 29 November 1654, berkuasa mulai 1674
sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681

19. I Mappadulu Daeng Mattimung, Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)

20. La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
Selanjutnya
21. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi

22. I Manrabbia Sultan Najamuddin

23. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)

24. I Mallawagau Sultan Abdul Chair (1735-1742)

25. I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus (1742-1753)

26. Amas Madina Batara Gowa (diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)

27. I Mallisujawa Daeng Riboko Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)

28. I Temmassongeng Karaeng Katanka Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)

29. I Manawari Karaeng Bontolangkasa (1778-1810)

30. I Mappatunru / I Mangijarang Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)

31. La Oddanriu Karaeng Katangka Tuminanga ri Suangga (1825-1826)

32. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 wafat 30 Januari 1893)
33. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Selanjutnya
Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893-
wafat 18 Mei 1895)

34. I Makkulau Daeng Serang Karaeng


Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri
Bundu'na. Memerintah sejak tanggal 18 Mei
1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5
Desember 1895. Ia melakukan perlawanan
terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19
Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa
Syekh Yusuf al-Makasari. Sultan Alaudin
oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia
meninggal akibat jatuh di Bundukma (di medan
perang), dekat Enrekang pada tanggal 25 Perkembangan Islam di Gowa Tallo berkaitan erat dengan peran
Desember 1906. Datuk ri Bandang dari Minangkabau. Bersama Datuk Patimang dan
Datuk ri Tiro, Datuk ri Bandang menyebarkan agama Islam di Sulawesi
35. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Selatan. Berkat usaha tokoh-tokoh tersebut, pada tahun 1605
Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin penguasa Gowa Tallo yang bernama Karaeng Matoaya memeluk
Tuminanga ri Sungguminasa (1936-1946) agama Islam dan bergelar Sultan Alaudin. Setelah Sultan Alaudin
memluk Islam, proses islamisasi di Sulawesi Selatan berkembang
36. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang pesat. Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin, kerajaan Gowa Tallo
Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956- menjadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Sulawesi. Pada
1960) merupakan Raja Gowa terakhir dan yang pertengahan abad XVII masehi, di Gowa Tallo berkembang ajaran
pertama mengenakan gelar "Andi", meninggal di sufisme dari tarekat khalwatiyah yang diajarkan oleh Syekh Yusuf al-
Jongaya pada tahun 1978. Makasari.
Kembali

Menurut pakar sejarah Islam Sulsel, Prof Ahmad M. Sewang, keberhasilan penyebaran
Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig
yang bergelar datuk dari Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk
itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah.

Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu:
Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang;
Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang; serta Abdul
Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Tiro. Ketiga ulama
tersebut diutus secara khusus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor untuk
mengembangkan dan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan.

Namun, inisiatif untuk mendatangkan mubalig khusus ke Makassar sudah ada sejak
Anak Kodah Bonang. Ia adalah seorang ulama dari Minangkabau sekaligus pedagang
yang berada di Gowa pada pertengahan Abad XVI (1525).
Tiga ulama ini begitu sampai di Sulawesi tidak langsung berdakwah, akan tetapi lebih
dulu menyusun strategi dakwah. Mereka mendapat keterangan bahwa raja yang paling
dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu karena kerajaannya dianggap kerajaan
tertua dan tempat asal nenek moyang raja-raja Sulawesi Selatan. Sedangkan yang paling
kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallo dan Raja Gowa.
Masa kejayaan kerajaan gowa tallo adalah saat masa pemerintahan Sultan
Kembali
Hassanudin, benteng Fort Rotterdam adalah sebuah bangunan benteng peninggalan
masa kejayaan kerajaan Gowa Tallo yang terletak di pesisir barat pantai kota Makassar.
Benteng ini dibangun oleh raja Gowa ke-9, yakni I Manrigau Daeng Bonto Karaeng
Lakiung Tumapa’risi’ Kallonna pada tahun 1545. Karena awalnya berbahan tanah liat,
Raja Gowa ke-14, yakni Sultan Alauddin kemudian memugar bangunan benteng
dengan bahan batu padas yang diperoleh dari pegunungan Karst di Maros.

Masa kejayaan Kerajaan Gowa Tallo tidak terlepas dari peranan yang dimainkan oleh Karaeng
Patingalloang yang juga menjabat sebagai Mangkubumi Kerajaan yang berkuasa 1639-1654.
Karaeng Pattingalloang sukses menjadikan Kerajaan Gowa-Tallo menjadi salah satu kerajaan
yang besar diNusantara lewat sains yang ia kuasai secara otomatis membawa Makassar
tercatat sebagai kota/bandar terbesar sebagai pusat ibu kota saat itu, telah berkembang
menjadi bandar niaga yang amat ramai di kunjungi, baik oleh pedagang-pedagang kerajaan lain
diNusantara maupun oleh bangsa-bangsa asing. Dan malahan dianggap Malaka kedua sesudah
Portugis menduduki Malaka (1511). Atas jasanya, Gowa mengalami puncak kejayaan dan
mampu menjalin hubungan persahabatan dengan Raja Inggris, Raja Castilia di Spanyol, Mufti
Besar Saudi Arabia, Raja Portugis, Gubernur Spanyol di Manila, Raja Muda Portugis di Goa
(India) dan Merchante di Masulipatan (India). Sebagaimana Ayahnya, Karaeng Matoaya,
Karaeng Pattingaloang juga seorang ahli ibadah, dapat membaca kitab gundul dan
menerangkan tafsirnya. Karaeng Pattingaloang adalah salah seorang putera dari Karaeng
Matoaya dari ibunya bernama I Wara, Salah seorang saudara kandungnya adalah Sultan Abdul
Gaffar, yang gugur dalam perjalanan setelah menaklukkan Timor dalam tahun 1841.
Selanjutnya

Kapur Barus

Kehidupan Ekonomi Kayu Cendana

Kerajaan Gowa Tallo memiliki letak strategis. Kedekatan geografis dengan Maluku menyebabkan
kerajaan Gowa Tallo menjadi pintu gerbang perdagangan rempah-rempah. Pelabuhan Sombaopu
berkembang menjadi bandar transit yang berperan sebagai penghubung jalur perdagangan antara
Malaka, Jawa, dan Maluku. Kondisi ini kemudian mendorong Gowa Tallo berkembang menjadi
kerajaan maritim yang menitikberatkan kegiatan perekonomiannya pada sektor perdagangan dan
pelayaran. Barang-barang yang diperdagangkan di Gowa Tallo antara lain rempah-rempah dari
Maluku, kapur barus dari Sumatera, kermaik dari Cina, dan kayu cendana dari Jawa.
Pelabuhan Sombaopu Kembali
Kapal Pinisi

Kapal Lambo
Kehidupan Politik Selanjutnya

Pada masa pemerintahan Sultan Alaudin (1593-1639), kerajaan Gowa Tallo


berkembang menjadi kerajaan Islam. Sultan Alaudin berusaha untuk mengislamkan
berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan. Upaya itu mendapat perlawanan dari
Kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng yang kemudian membentuk persekutuan Tellum
Pocco (tiga kekuasaan). Akan tetapi, satu persatu kerajaan tersebut dapat ditaklukkan
oleh Sultan Alaudin. Selain menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga di Sulawesi
Selatan, Sultan Alaudin memperluas pengaruh Kerajaan Gowa Tallo hingga ke bagian
timur kepulauan Nusa Tenggara. Berbagai penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan
Alaudin mendorong perkembangan pelayaran dan perdagangan Gowa Tallo.
Perkembangan pelayaran dan perdagangan menyebabkan kesejahteraan masyarakat
Gowa Tallo.

Kerajaan Gowa Tallo mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan
Hasanuddin (1653-1669). Ia berhasil membangun Gowa Tallo menjdai kerajaan
maritim yang menguasai jalur perdagangan di Indonesia Timur. Sultan Hasanuddin
sangat menentang tindakan VOC melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah
di Indonesia Timur. Upaya Sultan Hasanuddin tersebut menimbulkan kemarahan
VOC. Oleh karena itu, pada tahun 1666 VOC mengirimkan armada perangnya ke
Makassar. Pemimpin armada tersebut adalah Corenlis Speelman yang kelak menjadi
Jendral VOC. Ia juga mendapat bantuan dari Aru Palaka (Raja Bone) yang
merupakan musuh Sultan Hasanuddin.
Kembali

Perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Hasanuddin terhadap VOC


berlangsung sangat sengit. Oleh karena itu, Sultan Hasanuddin mendapat
julukan Ayam Jantan dari Timur. Dalam pertempuran di dekat Butung,
Speelman berhasil menghancurkan armada laut Gowa Tallo. Sementara itu,
Aru Palaka memimpin serangan melalui daratan yang sangat sulit. Karja sama
yang dilakukan antara VOC dan Aru Palaka akhirnya bisa mengalahkan
kerajaan Gowa Tallo. Selanjutnya, pada tahun 1667 Sultan Hasanuddin
dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang berisi kepastian berikut:
• VOC memperoleh monopoli dagang rempah-rempah di Makassar.
• VOC mendirikan benteng pertahanan di Makassar.
• Gowa Tallo harus melepaskan daerah-daerah kekuasaannya.
• Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.
Manna Gappa adalah seorang Ketua Komunitas wajo Kembali
atau lebih dikenal dengan istilah matoa komunitas wajo di
Makaassar. Amanna Gappa kemudian diangkat menjadi
Kepala perniagaan di makassar pada abad ke-17 di Kota
maritim Makassar. disinilah Amanna gappa kemudian
membuat semacam undang-undang pelayaran dan
perdagangan. Kelak Dasar daru UU Amanna gappa ini
kemudian diadopsi di Eropa dan sampai saat ini dipakai
sebagai Hukum maritim Internasional.
lontarak atau UU Pelayaran dan kemaritiman Amanna
Gappa terdiri dari 21 pasal.

Kehidupan sosial masyarakat Gowa Tallo cenderung bersifat feodalisme. Masyarakat Gowa Tallo dibedakan atas tiga kelas, yaitu
karaeng (golongan bangsawan), tuamsarag (rakyat biasa), dan ata (budak). Rakyat Gowa Tallo sangat setia pada rajanya.
Kesetiaannya ini terlihat saat Sultan Alaudin memeluk Islam, rakyat Gowa Tallo kemudian mengikuti agama yang dianut oleh
rajanya.

Budaya yang dimiliki masyarakat Gowa Tallo sangat berkaitan dengan perdagangan dan pelayaran. Sebagai kerajaan maritim,
Gowa Tallo memiliki industri pembuatan kapal yang maju. Kapal layar pinisi buatan masyarakat Gowa Tallo mampu mengaruhi
samudera hingga Australia, India, Timur Tengah, dan pantai timur Afrika. Masyarakat Gowa Tallo juga terampil dalam
membangun rumah adat, Balla Lompoa yang berbentuk rumah panggung. Rumah adat ini memiliki jumlah tiang kayu yang
banyak. Tiang-tiang tersebut merupakan lambang status sosial dalam masyarakat. Rumah seorang bangasawan memiliki tiang
lebih banyak dibanding rumah seorang budak.
Kembali
Pada waktu itu pemerintah menjalankan sistem politik terbuka
berdasarkan teori Mare Leberum (laut bebas) yang memberi jamina
usaha para pedagang asing. Akan tetapi, ambisi itu pula yang
menciptakan persaingan yang bersifat terselubung (laten) ketika ingin
memegang hegomoni dan zuserenitas di Sulewasi, terutama
persaingannya dengan Kerajaan Bone.

Ketika persaingan itu memuncak, Belanda memanfaatkan situasi tersebut


dengan melancarkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai)
serta menerapkan sistem monopoli yang sangat bertentangan dengan
prinsip mare liberum hingga meletusnya perang Makassar (1666-1669).Di
sisi lain, agama Islam salah satu alasan perlawanan Bone ketika Gowa
berusaha mengintroduksi agama Islam.

Usaha itu diprakarsai oleh Raja Gowa XV I Mangerangi Daeng


Manrabbia Karaeng Lakiung bergelar Sultan Alauddin Tumenanga ri
Gaukanna (1593-1639) yang menjadi muslim pada tanggal 9 Jumadil
1051 H atau 20 September 1605. Beliau berusaha mewujudkan
penyatuan Sulawesi tetapi tidak terealisir sampai masa pemerintahan
Sultan Hasanuddin (1653-1669) yang berakhir dengan Pernjanjian
Bungaya pada tanggal 18 November 1667 setelah Perang Makassar.
Kembali
Kembali

Pemakaman Katangka Makam Arung Palakka Makam Sultan Hasanudin

Benteng Fort Rotterdam Masjid Katangka Benteng Sumba Opu Makam Syekh Yusuf
Kembali

Alamat : Jl. Sultan Abdullah Raya, Tallo, Kec. Tallo, Kota


Makassar, Sulawesi Selatan 90212
Kompleks Makam Raja-Raja Tallo Makassar dibangun abad ke-17, dan dipergunakan sebagai makam penguasa
Tallo sampai abad ke-19. Adalah Tunatengkalopi, Raja Gowa VI (1445-1460), yang membagi Gowa menjadi dua
kerajaan, Tallo dan Gowa. Ia membentuk persekutuan dan menjadi kekuatan dominan di kawasan ini, sampai
pasukan Belanda dibawah Speelman mengakhiri dominasi Gowa, dengan dibantu La Tenri Tatta Arung Palakka
dari Bone.

Pemandangan di dalam kompleks Makam Raja-Raja Tallo Makassar terlihat hijau asri, di bawah naungan pohon-
pohon tua berukuran besar yang rindang daunnya mampu meneduhkan pengunjung dari ganasnya matahari.
Sebuah dangau kecil di bawah pohon merupakan tempat nyaman untuk perhentian barang sejenak. Di bagian
kanan depan terdapat beberapa makam yang bentuknya belum terlalu istimewa berjejer di samping jalanan
kompleks yang disemen dengan rapi.
Kembali

Makam Arung Palakka Gowa terletak di Jalan Bonto Biraeng, Katangka, Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi
Selatan 90221.

Makam Arung Palakka berada di kelurahan yang sama dengan Makam Sultan Hasanudddin. Ia lahir pada hari
Jumat, 15 September 1635, di sebuah desa yang bernama Lamotto, Mario-ri Wawo, Soppeng. Ayahnya bernama
Lapattobune Aru Tana Tengga dan ibunya bernama We Tennisui, yang adalah puteri Raja Bone XII. Arung Palakka
meninggal di Bontoala, sebuah desa di Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, pada 6 April 1696.

Gerbang masuk Makam Arung Palakka terkunci ketika kami tiba. Memenuhi permintaan kami, seorang pria paruh
baya melompati pagar makam untuk memberitahu penjaga makam. Beberapa menit kemudian seorang wanita
muncul dan tanpa bertanya ia mengurai gembok, membuka pintu pagar, dan mempersilahkan kami masuk ke
kompleks makam yang cukup luas itu.
Kembali

Makam Sultan Hasanuddin Gowa terletak di komando De Vlamingh Van Oudshoorn.


Makassar, Sulawesi Selatan, Katangka, Somba Opu, Pertempuran besar ini dikenal sebagai Perang
Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 92114. Hongi.

Makam Sultan Hasanuddin, Pahlawan Nasional Pada tahun 1655, kembali kedudukan Belanda di
karena peranannya dalam berperang melawan Buton diserang oleh pasukan Sultan Hasanuddin
tentara Belanda, berada di tempat terbuka tanpa yang akhirnya berhasil membebaskan Buton dan
cungkup dalam deretan makam Raja-Raja Gowa Tobea dari tangan Belanda. Pada tahun 1660,
lainnya. armada Gowa kembali berperang melawan 22
kapal perang Belanda yang berkekuatan 1.764
Kompleks makam Raja-Raja Gowa ini ada dua orang di bawah komando John Van Dam yang
bagian yang dipisahkan oleh sebuah pendopo. datang dari Batavia.
Hanya beberapa pohon berukuran sedang yang
ada di sekitar makam, dan tidak cukup rindang Makam Sultan Hasanuddin Gowa ada deretan
untuk memberi perlindungan bagi pengunjung kubur batu ini dengan tanda kubur berwarna
terhadap sengat matahari Sulawesi Selatan yang keputihan, dengan sebuah patung ayam jantan
tidak memiliki belas kasihan. bertengger di atas makamnya. Sultan Hasanuddin
memang dikenal sebagai raja dengan julukan Ayam
Bendera Merah Putih berkibar di kompleks Makam Jantan dari Timur, untuk menghormati keberanian
Sultan Hasanuddin Gowa yang hampir semua dan kegigihannya dalam melawan hegemoni
kijingnya dibuat dari batu yang unik dan megah. Belanda.
Membaca riwayat sejarah, pada 1654 sang sultan
tercatat mengirim armada tempur berkekuatan Sultan Hasanuddin lahir pada 1629, turun tahta
100 kapal untuk membantu rakyat Maluku pada 1668 dan wafat 1670. Ia mendapat gelar
melawan armada Belanda yang berada di bawah Pahlawan Nasional pada 16 November 1973.
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah Kembali
sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini
berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang
bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna.
Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa
pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini
diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang
ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti
seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi
bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup
di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya
di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan
Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani
perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda.
Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman
sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh
Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.

Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai
sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung
benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.
Kembali

Masjid Al-Hilal atau lebih dikenal dengan nama Masjid Katangka adalah salah satu masjid tertua di provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Dinamakan Masjid Katangka karena berlokasi di kelurahan Katangka, kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa.
Selain itu, masjid ini disebut Katangka, karena bahan baku dasar dari masjid tersebut diyakini diambil dari pohon Katangka.

Sebuah prasasti menginformasikan bahwa masjid ini dibangun pada tahun 1603, tetapi beberapa sejarawan meragukan
informasi ini. Pendapat lain mengatakan bahwa masjid dibangun pada awal abad ke-18.

Masjid Al Hilal Katangka dulunya merupakan masjid Kerajaan Gowa. Letak masjid berada di sebelah utara kompleks makam
Sultan Hasanuddin. Lokasi makam yang diyakini sebagai tempat berdirinya Istana Tamalate, istana raja Gowa ketika itu. Sebuah
jalan yang dikenal sebagai Batu Palantikang, merupakan jalan yang sering dilintasi raja dan keluarga menuju masjid. Hampir
seluruh bangunan kuno adalah pada bagian dinding yang terbuat dari batu bata itu cukup tebal, yakni mencapai 120
sentimeter (cm). Penyebab utamanya karena masjid ini juga pernah dijadikan sebagai benteng pertahanan saat Raja Gowa
melawan penjaja
Kembali

Benteng Somba Opu adalah benteng peninggalan Kesultanan Gowa yang


dibangun oleh Raja Gowa ke-9 Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi'
Kallonna pada abad ke-16. Benteng ini terletak di Jalan Daeng Tata,
Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten
Gowa, Sulawesi Selatan.

Museum dan meriam di benteng Samba Opu


Pada masanya tempat ini pernah menjadi pusat perdagangan dan
pelabuhan dimana rempah-rempah yang diperjualbelikan untuk beberapa
pedagang baik dari Asia, sekitar Indonesia dan wilayah Eropa. Sayangnya
tempat yang sering dikunjungi oleh beberapa masyarakat lokal dan
internasional ini telah dikuasai oleh VOC pada tahun 1669, kemudian
dihancurkan hingga terendam oleh ombak pasang. Pada tahun 1980-an
pun benteng ini ditemukan kembali oleh beberapa ilmuwan yang datang
ke tempat itu. Pada tahun 1990 benteng ini telah direkonstruksi sehingga
terlihat lebih baik lagi. Pada saat ini pun Benteng Somba Opu telah
menjadi sebuah objek wisata bersejarah karena di dalamnya terdapat
beberapa bangunan rumah adat Sulawesi Selatan. Tidak hanya itu saja,
tempat ini juga memiliki sebuah meriam dengan panjang 9 meter dan
berat sekitar 9.500 kilogram, serta ada sebuah museum yang berisi benda-
benda bersejarah peninggalan Kesultanan Gowa
Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (lahir di Gowa, Sulawesi Kembali
Selatan, 3 Juli 1626 – meninggal di Cape Town, Afrika Selatan, 23 Mei 1699 pada umur 72 tahun)
adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia Ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa
("tuan guru penyelamat kita dari Gowa") oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi
Selatan.

Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Muhammad
Yusuf, suatu nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin (Berkuasa sejak 1593 - wafat 15 Juni
1639, penguasa Gowa pertama yang muslim), raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh
Yusuf. Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri
Tassamang, guru kerajaan Gowa. Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-
Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.

Kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa, lalu pada usia 18 tahun,
Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh. Di Banten ia bersahabat dengan Pangeran Surya (Sultan
Ageng Tirtayasa), yang kelak menjadikannya mufti Kesultanan Banten. Di Aceh, Syekh Yusuf
berguru pada Syekh Nuruddin Ar-Raniri dan mendalami tarekat Qadiriyah.[butuh rujukan]

Pada tahun 1644, Syech Yusuf menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah untuk beberapa
lama, dimana Ia belajar kepada ulama terkemuka di Mekkah dan Madina Syekh Yusuf juga
sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan
ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati
Al-Quraisyi. Syech Yusuf mempelajari Islam sekitar 20 tahun di Timur Tengah.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai