Anda di halaman 1dari 21

RAJA BONE DARI MASA KE MASA

1. MANURUNGE RI MATAJANG, MATA SILOMPOE, 1330-


1365, Pria
2. LA UMMASA, PETTA PANRE BESSIE, 1365-1368, Pria
3. LA SALIYU KORAMPELUA, 1368-1470, Pria
4. WE BANRIGAU, MALLAJANGE RI CINA, 1470-1510,
Wanita
5. LA TENRISUKKI, MAPPAJUNGE, 1510-1535, Pria
6. LA ULIYO BOTE-E, MATINROE RI ITTERUNG, 1535-1560,
Pria
7. LA TENRIRAWE BONGKANGE, MATINROE RI
GUCINNA, 1560-1564, Pria
8. LA INCA, MATINROE RI ADDENENNA, 1564-1565, Pria
9. LA PATTAWE, MATINROE RI BETTUNG, 1565-1602, Pria
10. WE TENRITUPPU, MATINROE RI SIDENRENG, 1602-
1611, Wanita
11. LA TENRIRUWA, SULTAN ADAM, MATINROE RI
BANTAENG, 1611-1616, Pria
12. LA TENRIPALE, MATINROE RI TALLO, 1616-1631, Pria
13. LA MADDAREMMENG, MATINROE RI BUKAKA, 1631-
1644, Pria
14. LA TENRIAJI, ARUNGPONE, MATINROE RI PANGKEP,
1644-1672, Pria
15. LA TENRITATTA, DAENG SERANG, MALAMPE-E
GEMME’NA, ARUNG PALAKKA, 1672-1696, Pria
16. LA PATAU MATANNA TIKKA, MATINROE RI
NAGAULENG, 1696-1714, Pria
17. WE BATARITOJA, DATU TALAGA ARUNG TIMURUNG,
SULTANAH ZAINAB ZULKIYAHTUDDIN, 1714-1715,
Wanita
18. LA PADASSAJATI, TOAPPEWARE, PETTA RIJALLOE,
SULTAN SULAEMAN, 1715-1718, Pria
19. LA PAREPPA, TOSAPPEWALI, SULTAN ISMAIL,
MATINROE RI SOMBAOPU, 1718-1721, Pria
20. LA PANAONGI, TOPAWAWOI, ARUNG MAMPU,
KARAENG BISEI, 1721-1724, Pria
21. WE BATARITOJA, DATU TALAGA ARUNG TIMURUNG,
SULTANAH ZAINAB ZULKIYAHTUDDIN, 1724-1749,
Wanita
22. LA TEMMASSONGE, TOAPPAWALI, SULTAN ABDUL
RAZAK, MATINROE RI MALLIMONGENG, 1749-
1775, Pria
23. LA TENRITAPPU, SULTAN AHMAD SALEH, 1775-
1812, Pria
24. LA MAPPASESSU, TOAPPATUNRU, SULTAN ISMAIL
MUHTAJUDDIN, MATINROE RILEBBATA, 1812-1823, Pria
25. WE IMANIRATU, ARUNG DATA, SULTANAH
RAJITUDDIN, MATINROE RI KESSI, 1823-1835, Wanita
26. LA MAPPASELING, SULTAN ADAM NAJAMUDDIN,
MATINROE RI SALASSANA, 1835-1845, Pria
27. LA PARENRENGI, ARUNGPUGI, SULTAN AHMAD
MUHIDDIN, MATINROE RIAJANG BANTAENG, 1845-
1857, Pria
28. WE TENRIAWARU, PANCAITANA BESSE KAJUARA,
SULTANAH UMMULHUDA, MATINROE RI MAJENNANG,
1857-1860, Wanita
29. LA SINGKERU RUKKA, SULTAN AHMAD IDRIS,
MATINROE RI TOPACCING, 1860-1871, Pria
30. WE FATIMAH BANRI, DATU CITTA, MATINROE RI
BOLAMPARE’NA, 1871-1895, Wanita
31. LA PAWAWOI, KARAENG SIGERI, MATINROE RI
BANDUNG, 1895-1905, Pria
32. LA MAPPANYUKKI, SULTAN IBRAHIM, MATINROE RI
GOWA, 1931-1946, Pria
33. LA PABBENTENG, MATINROE RI MATUJU, 1946-1951,
Pria
Arung Palakka
Arung Palakka (lahir di Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, 15
September 1634 – meninggal di Bontoala, 6 April 1696 pada umur
61 tahun[1]) adalah Sultan Bone yang menjabat pada tahun 1672-
1696. Saat masih berkedudukan sebagai pangeran, ia memimpin
kerajaannya meraih kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada
tahun 1666.
Ia bekerja sama dengan Belanda saat merebut Makassar. Palakka
pula yang menjadikan suku Bugis sebagai kekuatan maritim besar
yang bekerja sama dengan Belanda dan mendominasi kawasan
tersebut selama hampir seabad lamanya.[1]
Arung Palakka bergelar La Tan-ri Tatta To' Urong To-ri Sompi
Patta Malampéi Gammana Daéng Sérang To' Appatunru
Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din, mengacu pada ejaan Lontara.
Adapun pelafalan yang tepat adalah La Tenritatta To Unru To-ri
Sompa-é Petta Malampé-é Gemme'na Daéng Sérang To'
Appatunru Paduka Sultan Sa'adduddin.
Arung Palakka La Tenri tatta lahir di Lamatta, Mario-ri
Wawo, Soppeng, pada tanggal 15 September 1634 sebagai anak
dari pasangan La Pottobune', Arung Tana Tengnga, dan istrinya,
We Tenri Suwi, Datu Mario-ri Wawo, anak dari La Tenri Ruwa
Paduka Sri Sultan Adam, Arumpone Bone.
Arung Palakka pertama kali menikah dengan Arung Kaju namun
akhirnya mereka bercerai. Selanjutnya, ia menikah dengan Sira
Daeng Talele Karaeng Ballajawa pada tanggal 16 Maret 1668,
sebelumnya istri dari Karaeng Bontomaronu dan Karaeng
Karunrung Abdul Hamid. Pernikahan ini pun tidak bertahan lama
dan keduanya bercerai pada tanggal 26 Januari 1671. Untuk
ketiga kalinya, ia menikahi We Tan-ri Pau Adda Sange Datu-ri
Watu, Datu Soppeng, di Soppeng pada tanggal 20 Juli 1673. Istri
ketiganya ini adalah putri dari La Tan-ri Bali Beowe II, Datu
Soppeng, dan sebelumnya menjadi istri La Suni, Adatuwang
Sidenreng. Pernikahannya yang keempat dilaksanakan pada
tanggal 14 September 1684dengan Daeng Marannu, Karaeng
Laikang, putri dari Pekampi Daeng Mangempa Karaeng
Bontomaronu, Gowa, dan sebelumnya adalah istri dari Karaeng
Bontomanompo Muhammad.
Arung Palakka adalah seorang jagoan yang ditakuti di Batavia.
Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini
memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar
di Batavia. Keperkasaan seakan dititahkan untuk selalu
bersemayam bersamanya. Pria Bugis Bone dengan badik yang
sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia
sejak tahun 1660-an, ketika ia bersama pengikutnya melarikan diri
dari cengkeraman & keperkasaan Sultan Hasanuddin.
Batavia pada abad ke-17 adalah arena di mana kekerasan seakan
dilegalisir demi pencapaian tujuan. Pada masa Gubernur Jenderal
Joan Maetsueyker, kekerasan adalah udara yang menjadi napas
bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan adalah satu-
satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa
yang harus dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil
dari pasang naik kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan
meneguhkan apa yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes bahwa
manusia pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling
memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi
seorang perkasa bagi sesamanya.
Nama Arung Palakka terdapat pada sebuah Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI), berisikan data sejarah tentang Batavia
pada masa silam dengan sejarah yang kelam. Berbagai referensi
itu menyimpan sekelumit kisah tentang pria yang patungnya
dipahat dan berdiri gagah di tengah Kota Watampone.
Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma
semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari
bangsanya, suku Bugis Bone yang kebebasannya terpasung.
Namun, ia bebas sebebas merpati yang melesat dan
meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari
bangsanya. Malang melintang di kota sebesar Batavia,
keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun
persekutuan yang menakutkan bersama dua tokoh terasing
lainnya yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon
Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa
bernama Kapiten Jonker. Ketiganya membangun persekutuan
rahasia dan memegang kendali atas VOC pada masanya,
termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.
Ketiga tokoh yang teralienasi ini adalah horor bagi jagoan pada
masa itu. Speelman adalah petinggi VOC yang jauh dari pergaulan
VOC. Dia tersisih dari pergaulan karena terbukti terlibat dalam
sebuah perdagangan gelap saat masih menjabat sebagai
Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka adalah
pangeran Bone yang hidup terjajah dan dalam tawanan Kerajaan
Gowa. Ia memberontak dan bersama pengikutnya melarikan diri
ke Batavia. VOC menyambutnya dengan baik dan memberikan
daerah di pinggiran Kali Angke, hingga serdadu Bone ini disebut
To Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten Jonker adalah
seorang panglima yang berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia
punya banyak pengikut setia, tetapi tidak pernah menguasai satu
daerah di mana orang mengakuinya sebagai daulat. Akhirnya dia
bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah dan tanah luas di
daerah Marunda dekat Cilincing diberikan VOC kepadanya.
Baik Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker sama-sama
berangkat dari hal yang sama yaitu keterasingan. Ketiganya punya
sejarah penaklukan yang membuat nama mereka menjadi
legenda. Speelman menjadi legenda karena berhasil
membuat Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam
sebuah perlawanan paling dahsyat dalam sejarah peperangan
yang pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka, Speelman
menghancurkan Benteng Sombaopu setelah terjadinya Perjanjian
Bongaya yang menjadi momok bagi VOC serta rintangan
(barikade) untuk menguasai Indonesia timur, khususnya jalur
rempah- rempah Maluku, pada tanggal 18 November 1667.
Arung Palakka sangat populer sebab berhasil menaklukan
Sumatra dan membumihanguskan perlawanan rakyat
Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua sisi
diametral, di satu sisi hendak membebaskan Bone, tetapi di sisi
lain justru menaklukan daerah lain di Nusantara. Kisahnya berawal
pada tahun 1662, dibuat perjanjian antara VOC dengan pemimpin
Minangkabau di Padang. Perjanjian yang kemudian di sebut
Perjanjian Painan itu bertujuan untuk monopoli dagang di pesisir
Sumatera, termasuk monopoli emas Salido. Sayang, rakyat
Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan
VOC di Padang bernama Jacob Gruys. Arung Palakka kemudian
dikirim ke Minangkabau dalam ekspedisi yang dinamakan
Ekspedisi Verspreet. Bersama pasukan Bone, ia berhasil
meredam dan mematikan perlawanan rakyat Minangkabau hingga
menaklukan seluruh pantai barat Sumatera, termasuk memutus
hubungan Minangkabau dengan Aceh. Kekuasaan VOC diperluas
hingga Ulakan di Pariaman. Di tempat inilah, Arung Palakka
diangkat sebagai Raja Ulakan.
Sedang Kapiten Jonker punya reputasi menangkap Trunojoyo dan
diserahkan pada pegawai keturunan VOC keturunan Skotlandia,
Jacob Couper. Tiga tokoh yaitu Speelman, Arung Palakka, dan
Kapiten Jonker telah menaklukan Nusantara di Barat, Tengah, dan
Timur. Mereka punya andil besar untuk mengantarkan VOC pada
puncak kejayaannya pada masa Gubernur Jenderal Joan
Maetsuyker. Tidak heran kalau ketiga tokoh ini menjadi tulang
punggung kekuatan VOC pada masa itu. Maetsueyker tidak berani
menolak permintaan ketiganya sebab mereka punya bala tentara
yang besar. Di luar ketiganya, ia hanya mengandalkan serdadu
bayaran multibangsa dengan loyalitas yang rendah. Akibat
kekuasaan yang besar serta penguasaan monopoli emas ini,
Speelman berhasil menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun
1681.
Sayangnya, kisah menakjubkan dari tiga jagoan Batavia ini harus
berakhir dalam waktu yang tidak lama. Musuh Speelman yaitu
perwira asal Prancis bernama Isaac declornay de Saint Martin
langsung bergerak. Komandan perang yang memenangkan
peperangan di Cochin, Colombo, Ternate, Buton, Jawa Timur, dan
Jawa Barat ini, berhasil mengungkap semua korupsi dan
keculasan Speelman hingga akhirnya Speelman disingkirkan dari
posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga berhasil memengaruhi
Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan Kapiten
Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda
dikepung, kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh
dalam penyerbuan itu, kepalanya dipancung dan dipertontonkan.
Pengikutnya dibunuh dan keluarganya diasingkan ke Colombo dan
Afrika.
Arumpone Bone
Menggantikan ibunya sebagai Datu Mario-ri Wawo ke-15.
Mendapat gelar Arung Palakka sebagai hadiah membebaskan
rakyatnya dari penjajahan Makassar. Diakui oleh Belandasebagai
Arung Pattiru, Palette dan Palakka di Bone and Datu Mario-ri
Wawo di Soppeng, Bantaeng dan Bontoala, 1670.[2]
Menyatakan penurunan paksa tahta paman kandungnya
pada 1672. Dan dimahkotai sebagai Sultan Bone dengan gelar
Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din, 3 November 1672.[2]
Andaya mengarahkan perhatiannya kepada Arung Palakka
sebagai wakil dari tema dan kepercayaan dasar yang sampai
sekarang menguasai kehidupan orang Bugis atau Makassar. Dari
sanalah dia mencoba mencari akar sebab Arung Palakka rela
bersekutu dengan VOC seraya memerangi saudaranya sendiri
di Kerajaan Gowa yang sedang jaya-jayanya sebagai salah satu
kerajaan terkuat dan terbesar di Nusantara abad ke-17.
Jawaban persoalan itu, menuru Andaya, kurang tepat jika dicari
dalam kerangka persaingan ekonomi di wilayah bagian barat laut
Nusantara, antara Kerajaan Gowa dan VOC, yang memuncak
dalam Perang Makassar 1666-1669, sebagaimana diyakini para
sarjana lokal dan mancanegara. Alasan pokok Arung Palakka
bukanlah ekonomis-politis, tetapi pangadereng yang meliputi siri’’
(harga diri atau kehormatan dan rasa malu), pacce (perasaan sakit
dan pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare
(kepercayaan bahwa seseorang dapat memperbaiki atau
memperjelek peruntungannya dalam hidup ini melalui tindakan
orang itu sendiri).
Tanpa memahami ketiga ciri kultural yang memegang peranan
sangat penting dalam sejarah Sulawesi Selatan saat itu, akan
keruh selamanya menilai Arung Palakka. Lagi pula Andaya
percaya diktum sejarawan JC van Leur bahwa masa lalu tidak
ditulis untuk dinilai dengan nilai masa kini, dan oleh karena itu siri’,
pacce, dan sare adalah bahan yang lebih baik dan adil dipakai
untuk menilai dan mengevaluasi kejadian penting pada abad itu,
ketimbang standar masa kini. Demikianlah dia memasuki dan
memberi sumbangan penting dalam polemik yang sampai kini
masih berkembang di antara masyarakat Sulawesi Selatan tentang
Arung Palakka yang tokoh sejati, pahlawan tulen bukan
pengkhianat dan penindas.
Berlatar belakang seperti itu, Andaya memulai riwayat tokohnya
dengan membahas sejumlah ciri tertentu budaya masyarakat
Sulawesi Selatan yang dikaitkannya dengan keadaan historis abad
ke-17, terutama perkembangan Islam dan perdagangan
internasional yang memuncak menjadi ketegangan antara Gowa,
Bone, dan VOC yang hadir di sana sejak tahun 1601. Ketegangan
yang dia perlihatkan dengan rinci menjadi latar kelahiran serta
mengisi pikiran masa kanak dan muda Arung Palakka.
Arung Palakka lahir sekitar tahun 1634 di Desa Lamatta, daerah
Mario Wawo Soppeng, sebagai pewaris takhta Kerajaan Bone.
Ketika umurnya delapan tahun, Bone diperangi Kerajaan
Gowa dan berhasil menaklukkannya. Sejak berumur 11 tahun
Arung Palakka dan keluarganya dibawa sebagai sandera ke
Istana Gowa. Mereka beruntung karena menjadi pelayan Karaeng
Pattinggaloang, tokoh penting dan jenius di Kerajaan Gowa. Di
bawah asuhannya, Arung Palakka tumbuh menjadi pangeran yang
mengesankan dalam olah otak maupun olahraga.
Meski dia terlibat aktif di Istana Gowa dan berkawan dengan para
pemuda Makassar, siri’ dan pacce mengingatkannya selalu
sebagai putra dari seorang Bugis pembuangan dan bahwa
rakyatnya menderita. Awal 1660 dia merasa penderitaan itu
semakin hebat karena harus menyaksikan 10.000 orang tua
maupun muda diseret dari Bone ke Makassar atas perintah Sultan
Hasanuddin melalui Karaeng Karunrung dan Regent (Bupati)
Bone, Tobala. Mereka dijadikan pekerja paksa penggali kanal di
sepanjang garis pertahanan pantai Makassar agar ada pemisah
antara Kerajaan Goa dan Benteng Panakkukang yang diduduki
VOC.
Lantaran banyak yang sakit dan melarikan diri, seluruh bangsawan
Bone dan Soppeng diperintahkan keluar dari istana, bekerja
bersama rakyatnya. Ini melipatgandakan pelecehan siri’ yang
sudah diderita oleh rakyat Bone dan Soppeng karena
junjungannya dipaksa melakukan pekerjaan kasar yang tidak
seharusnya. Pelecehan siri’ itu menjadi derita kolektif orang Bone
dan Soppeng dan menebalkan pacce di antara mereka.
Perlawanan pun dirancang.
Arung Palakka adalah salah satu perancangnya, tetapi perlawanan
itu patah oleh kekuatan Gowa yang besar. Ia terdesak. Akhir tahun
1660 dia meninggalkan Sulawesi Selatan bersama pengikutnya
menuju Batavia dengan bantuan VOC, tetapi dalam hatinya terpatri
sumpah tidak akan berhenti mencari cara untuk kembali, buat
perhitungan, dan merdekakan negeri Bone.
Setelah menunggu lima tahun, keinginannya terkabul. VOC yang
kagum akan daya tempur pengikut Arung Palakka yang disebut
Toangke ("Orang Angke", diambil dari Kali Angke yang mengalir
melewati perkampungan Bugis di Batavia) saat membantu
memadamkan pemberontak Minangkabau, mengajaknya
memerangi Gowa yang dinilai mengganggu kepentingan ekonomi
VOC.
Andaya memberi ruang luas buat mengisahkan Perang Makassar.
Salah satu yang menarik adalah ditunjukkannya psikologi Arung
Palakka dan Cornelis Speelman yang menjadi aktor utama pilihan
VOC memimpin ekspedisi ke Kerajaan Gowa. Keduanya
menderita oleh apa yang mereka anggap ketidakadilan sehingga
rela berkorban apa pun demi memulihkan nama. Speelman yakin
cuma kemenangan yang bisa membersihkan namanya dari noda
dipecat dengan tidak hormat karena perdagangan gelapnya
sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Sementara
bagi Arung Palakka, kemenangan akan membebaskannya dari
beban berat bahwa siri’-nya telah mati.
Hanya dengan memulihkan siri’-nya dan rakyatnya dia dapat
memperlihatkan wajah di Sulawesi Selatan. Dia yakin lebih baik
mati untuk mempertahankan siri’ (mate ri siri’na) ketimbang hidup
tanpa siri’ (mate siri’). Mati untuk memulihkan siri’ adalah "mati
dengan siraman gula dan santan" (mate ri gollai, mat ri santannge).
Situasi psikologis itulah yang mendorong keduanya "mentafsir
ulang" perintah VOC.
Hal lain yang menarik adalah kajian Andaya mengenai dampak
perang itu atas rakyat Makassar. Melalui cerita rakyat Bugis,
Sinrili’na Kappala’ Tallumbatua, dia memperlihatkan Arung
Palakka dan Perang Makassar yang dimaknai rakyat pedesaan
Makassar dan Bugis sebagai kemenangan rakyat dan keunggulan
nilai-nilai mereka yang didasarkan pada kebiasaan dan praktik
(ada’) yang sudah sangat tua dalam masyarakat, yaitu siri’, pacce,
dan sare.
Ini sangat berlainan dengan tulisan para sejarawan Barat maupun
sejarawan Indonesia yang melulu bergantung pada sumber
Kerajaan Makassar dan/atau dokumen VOC. Mereka cenderung
menggambarkan kepahitan dan pesimisme di kalangan para raja
dan ningrat Makassar sebagai pantulan perasaan seluruh rakyat
Makassar. Jadi, seharusnya masyarakat Sulawesi Selatan dapat
menurunkan kadar emosional dan lebih rasional setiap
mendiskusikan mengenai implikasi Perang Makassar.
Seusai Perang Makassar, Arung Palakka sangat memahami
bahwa VOC telah menjadi kekuatan "di", tetapi bukan "milik",
Sulawesi Selatan. Perbedaan ini disadari dan dimanipulasi untuk
menciptakan dirinya sebagai salah satu penguasa atasan yang
berhasil dalam sejarah Sulawesi Selatan. Jalan menuju ke sana
dirintisnya tidak saja dengan kesadaran dia tidak akan berbalik
melawan VOC yang telah memulihkan hidupnya dan rakyatnya,
tetapi juga dengan selalu membuktikan kesetiaannya. Ia rela
meninggalkan negerinya pada Mei 1678 untuk berperang
membantu VOC menyelesaikan persoalan pengungsi Makassar
pimpinan Karaeng Galesong yang membantu perlawanan
Trunojoyo di Jawa.
Akhirnya, Andaya menyimpulkan Arung Palakka adalah tokoh
yang diberkati visi dan kepiawaian politik yang kuat sehingga
mampu menggunakan pengaruhnya dengan efektif terhadap
negara lokal, bahkan membuat pemerintah pusat VOC di Batavia
bergantung dan rela mengabaikan suara wakilnya di Fort
Rotterdam agar membelenggu Arung Palakka yang memaksa
mereka semua berbagi mimpinya akan Sulawesi Selatan bersatu.
Mimpi Arung Palakka yang dalam 30 tahun kekuasaannya berhasil
diwujudkan, tetapi sekaligus membuat banyak pangeran dan
pengikutnya yang tak setuju dikarenakan politik kotor yang
dilakukannya. Sehingga mengakibatkan pangeran dan
pengikutnya lari dan mencari rumah di tanah seberang sehingga
mewarnai sejarah daerah tujuan itu. Inilah yang menurut Andaya
sebagai warisan Arung Palakka, tidak hanya bagi Sulawesi Selatan
tetapi juga bagi Nusantara, selain pribadinya sebagai pemimpin
yang sadar, paham, teguh memegang serta menjalankan tradisi
sebagaimana tersebut dalam amanat leluhur yang tertulis maupun
tak tertulis.
Arung Palakka meninggal di Bontoala, Kesultanan Gowa, pada
tanggal 6 April 1696 dan dimakamkan di Bontobiraeng

Sultan Hasanuddin
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Sultan Hasanuddin

Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng


Mattawang Karaeng Bonto Mangape

Lukisan Sultan Hasanuddin

Lahir 12 Januari 1631


Kesultanan Gowa
Wafat 12 Juni 1670 (umur 38)
Makassar, Hindia Belanda

Sultan Hasanuddin (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 12


Januari 1631 – meninggal di Gowa, Sulawesi Selatan, 12
Juni 1670 pada umur 39 tahun) adalah Sultan Gowa ke-16 dan
pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan
nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang
Karaeng Bonto Mangapesebagai nama pemberian dari Qadi
Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad
Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy
Sulawesi Selatan yang juga adalah gurunya, termasuk guru tarekat
dari Syeikh Yusuf Al-Makassari.
Setelah menaiki takhta, ia digelar Sultan Hasanuddin, setelah
meninggal ia digelar Tumenanga Ri Balla Pangkana. Karena
keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van Het
Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan dari Timur. Ia
dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa. Ia diangkat
sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden
No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.[1]
Sultan Hasanuddin, merupakan putera dari Raja Gowa ke-15, I
Manuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Muhammad
Said. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa mulai
tahun 1653 sampai 1669. Kesultanan Gowa adalah merupakan
kesultanan besar di Wilayah Timur Indonesia yang menguasai jalur
perdagangan
ultan Hasanuddin lahir di Makassar pada 12 Januari 1631. Dia lahir
dari pasangan Sultan Malikussaid, Sultan Gowa ke-15, dengan I
Sabbe To’mo Lakuntu. Jiwa kepemimpinannya sudah menonjol
sejak kecil. Selain dikenal sebagai sosok yang cerdas, dia juga
pandai berdagang. Karena itulah dia memiliki jaringan dagang
yang bagus hingga Makassar, bahkan dengan orang asing.
Hasanuddin kecil mendapat pendidikan keagamaan di Masjid
Bontoala. Sejak kecil ia sering diajak ayahnya untuk menghadiri
pertemuan penting, dengan harapan dia bisa menyerap ilmu
diplomasi dan strategi perang. Beberapa kali dia dipercaya menjadi
delegasi untuk mengirimkan pesan ke berbagai kerjaan.
Saat memasuki usia 21 tahun, Hasanuddin diamanatkan jabatan
urusan pertahanan Gowa.
Ada dua versi sejarah yang menjelaskan kapan dia diangkat
menjadi raja, yaitu saat berusia 24 tahun atau pada 1655 atau saat
dia berusia 22 tahun atau pada 1653. Terlepas dari perbedaan
tahun, Sultan Malikussaid telah berwasiat supaya kerajaannya
diteruskan oleh Hasanuddin.
Selain dari ayahnya, dia memperoleh bimbingan mengenai
pemerintahan melalui Mangkubumi Kesultanan Gowa, Karaeng
Pattingaloang. Sultan Hasanuddin merupakan guru dari Arung
Palakka, salah satu Sultan Bone yang kelak akan berkongsi
dengan Belanda untuk menjatuhkan Kesultanan Gowa.
Pada pertengahan abad ke-17, Kompeni Belanda (VOC) berusaha
memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku setelah
berhasil mengadakan perhitungan dengan orang-orang Spanyol
dan Portugis. Kompeni Belanda memaksa orang-orang negeri
menjual dengan harga yang ditetapkan oleh mereka, selain itu
Kompeni menyuruh tebang pohon pala dan cengkih di beberapa
tempat, supaya rempah-rempah jangan terlalu banyak. Maka
Sultan Hasanuddin menolak keras kehendak itu, sebab yang
demikian adalah bertentangan dengan kehendak Allah katanya.
Untuk itu Sultan Hasanuddin pernah mengucapkan kepada
Kompeni "marilah berniaga bersama-sama, mengadu untuk
dengan serba kegiatan". Tetapi Kompeni tidak mau, sebab dia
telah melihat besarnya keuntungan di negeri ini, sedang Sultan
Hasanuddin memandang bahwa cara yang demikian itu adalah
kezaliman.
Pada tahun 1660, VOC Belanda menyerang Makassar, tetapi
belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Tahun 1667,
VOC Belanda di bawah pimpinan Cornelis Speelmanbeserta
sekutunya kembali menyerang Makassar.
Pertempuran berlangsung di mana-mana, hingga pada akhirnya
Kesultanan Gowa terdesak dan semakin lemah, sehingga dengan
sangat terpaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian
Bungaya pada tanggal 18 November 1667
di Bungaya. Gowa yang merasa dirugikan, mengadakan
perlawanan lagi. Pertempuran kembali pecah pada Tahun 1669.
Kompeniberhasil menguasai benteng terkuat Gowa yaitu Benteng
Sombaopu pada tanggal 24 Juni 1669.
Sultan Hasanuddin wafat pada tanggal 12 Juni 1670.
Andi Mappanyukki
(lahir 1885 - meninggal 18 April 1967)[1] adalah salah tokoh
pejuang dan seorang bangsawan tertinggi di Sulawesi Selatan. Ia
adalah Putra dari Raja Gowa ke XXXIV yaitu I'Makkulau Daeng
Serang Karaengta Lembang Parang Sultan Husain Tu Ilang ri
Bundu’na (Somba Ilang) dan I Cella We'tenripadang Arung Alita,
putri tertua dari La Parenrengi Paduka Sri Sultan Ahmad,
Arumpone Bone (Raja Bone). Ia pulalah yang memimpin raja raja
di Sulawesi Selatan untuk bersatu dan bergabung dengan NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1950
a sejak berusia 20 tahun sudah mengangkat senjata untuk
berperang mengusir kolonial Belanda, perang yang dilakoni
dimasa muda itu takala mempertahankan pos pertahanan
kerajaan Gowa di daerah Gunung Sari.
Pada tahun 1931 Kamis tanggal 12 April, atau 13 Syawal 1349H.
atas usulan dewan adat ia diangkat menjadi Raja Bone ke-32
dengan gelar Sultan Ibrahim, sehingga ia bernama lengkap Andi
Mappanyukki Sultan Ibrahim. Gelar Sultan Ibrahim sendiri
merupakan gelar yang diberikan kepadanya manakala menjabat
Raja Bone kala itu (mangkauE Ri Bone). Pada masanyalah
Kompeni Belanda di Celebes Selatan bernama Tuan L.J.J. Karon
serta Raja Belanda di Nederland pada waktu itu bernama A.C.A de
Graff[2]. Pada masa pemerintahan La Mappanyukki di Bone,
Perang Dunia II pecah dan melibatkan seluruh negara-negara
besar di Eropa. Negeri Belanda diserbu oleh Jerman, Ratu
Belanda Wilhelmina melarikan diri bersama seluruh keluarganya
ke Inggris untuk minta perlindungan.
La Mappanyukki (Penyebutan La merupakan gelar bangsawan
Bugis, sedangkan I Mappanyukki merupakan gelar dari
bangsawan Gowa) diangkat menjadi Arung MangkauE’ (Untuk
istilah raja di Kerajaan Bone bernama Arung MangkauE') di
Kerajaan Bone menggantikan pamannya yaitu sepupu satu kali
ayahnya, karena jelas bahwa dia adalah cucu dari MappajungE.
Dia merupakan turunan La Tenri Tappu MatinroE ri Rompegading.
Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dianggap tidak salah pilih
dalam menentukan pengganti La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai
Mangkau’ di Kerajaan Bone.
Karena menolak bersekutu dengan Belanda Ia pun “di turunkan”
dari sebagai raja Bone oleh kekuatan dan kekuasaan Belanda,
kemudian di asingkan bersama Istri (permaisuri) nya I' Mane'ne
Karaengta Ballasari" dan Putra Putrinya selama 3,5 tahun di
Rantepao, Tana Toraja. Ia pernah diangkat memimpin kerajaan
suppa tahun 1902 s/d 1906.
Pernikahan & Keturunan
Andi Mappanyukki memiliki permaisuri bernama I Mane'ne
Karaengta Balla Sari & juga memiliki beberapa istri diantaranya I
Batasai Daeng Taco, Besse Bulo (I Rakiyah Bau Baco Karaeng
Balla Tinggi).
Ia juga mempunyai beberapa anak antara lain

• Andi Bau Tenri Padang Opu Datu (P) Istri dari Andi
Djemma Datu Luwu
• Andi Bau Datu Cella Bone (P)
• Andi Bau Tenri Datu Bau (p)
• Andi Bau Parenrengi Datu Lolo (L)
• Andi Bau To'Appo Datu Appo (L)
• Andi Bau Datu Sawa (L).
• Andi Abdullah Bau Massepe(L) dari Pernikahannya dengan
Besse Bulo (Putri La Sadapotto Addatuang Sidenreng XVI )
• Andi Pangerang Petta Rani (L) dari Pernikahannya dengan I
Batasi Daeng Taco
Wafat
Ia Mangkat pada tanggal 18 April 1967 di Jongaya (Jl. Kumala
no.160 Makassar dan masih terjaga dan terawat sampai sekarang
sebagai Rumah Ex. Raja Bone Andi Mappanyukki), di mana
daerah ia juga dilahirkan. Makamnya tidak diletakkan di
pemakaman raja-raja Gowa atau Bone lazimnya, tetapi oleh
masyarakat dan pemerintah Republik Indonesia Makamnya di
letakkan di Taman makam Pahlawan Panaikang Makassar (Ujung
Pandang) dengan upacara kenegaraan.
Pahlawan Nasional RI
berdasarkan SK Presiden: Keppres No. 089/TK/2004, Tgl. 5
November 2004, Andi Mappanyuki diangkat sebagai pahlawan
nasional.[3][4] Menjelang proklamasi, ia juga bertindak sebagai
penasihat BPUPKI. Setelah Indonesia merdeka, ia menyatakan
bahwa Kerajaan Bone merupakan bagian dari Republik Indonesia.
Pada masa Republik Indonesia Serikat, ia ikut menuntut peleburan
Negara Indonesia Timur ke dalam RI. Keteladanan dan keteguhan
hati beliau dalam berjuang dilkuti oleh putra-putranya, yaitu Andi
Pangeran Petta Ranidan Andi Abdullah Bau Maseppe.
La Patau Matanna Tikka, Matinroe ri
Nagauleng
La Patau Matanna Tikka (lahir pada tanggal 03 November 1672
dan wafat pada tanggal 16 September 1714) adalah Sultan Bone
XVI yang menjabat pada tahun 1696-1714. menggantikan Arung
Palakka. Gelaran nama panjang La Patau adalah La Patau
Matanna Tikka, Sultan Alimuddin Idris, Walinonoe To Tenribali
Malae Sanrang, Matinroe ri Nagauleng.
Riwayat Keluarga
La Patau adalah anak adari pasangan La PakokoE To Angkone
Arung Timurung, Paddanreng Tuwa VI (16), Putra Sultan Bone XIII
La Maddaremmeng dan We Tenri Wale Mappolo BombangE
Maddanreng Palakka yang merupakan adik dari [Arung Palakka]]
Arung Palakkan menikahkan La Patau Matanna Tikka dengan We
Ummung Datu Larompong anak dari La Settia Raja, PajungngE ri
Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang kemudian melahirkan We
Batari Toja Daeng Talaga. Pada tahun 1687 Masehi, La Patau
Matanna Tikka dinikahkan lagi oleh pamannya Arung Palakka di
Makassar yaitu We Mariama Karaeng Pattukangan, anak
KaraengE ri Gowa yang bernama I Mappadulung Daeng
Mattimung Tumenanga ri Lakiung atau cucu yang juga merupakan
cucu dari Sultan Hasanuddin.
Dari perkawinannya itu lahirlah empat anak, yaitu We Yanebana I
Dapattola La Pareppa To Sappewali, La Padassajati To Appaware
dan La Panaongi To Pawawoi. Diriwayatkan bahwa selain kedua
permaisuri La Patau di atas, tercatat 18 (delapan belas) orang istri
lainnya dalam Lontaraq antara lain adalah Sitti Maemuna (Dala
Maru'), I Akiya (Datu Baringeng), We Rakiya (Dala Bantaeng), We
Biba To Unynyi', We Maisa To Lemo Ape', We Leta To BaloE, We
Sangi To BikuE, We SIa, We Sitti To Palakka, We Najang To Soga,
We Caiya To BaloE, We Cimpau To UciE, We Baya To Bukaka,
We Sitti, We Saira Karobang, We Sanra To Soppeng, We Ati, dan
We Rupi.
Riwayat Pemerintahan
La Patau dikenal sebagai raja yang sangat menghargai hukum
adat istiadat. Ia sangat konservatif dan juga sangat tegas kepada
para pemadat atau pecandu dan perbuatan-perbuatan yang
mengganggu keamanan masyarakat sehingga dalam masa
pemerintahannya semua adat istiadat berjalan dengan baik.
Baginda tidak memandang bulu, siapa saja yang melanggar pasti
dihukum termasuk keluarganya sendiri.
Pada masa kekuasaannya, Tercatat dua kali nyaris terjadi
peperangan antara Bone dengan Gowa termasuk perang melawan
mertuanya sendiri yaitu KaraengE ri Gowa yang bernama I
Mappadulung Daeng Mattimung Sultan Abdul Jalil, ayah dari
isterinya yang bernama We Mariama Karaeng Patukangang.
Pertama, yaitu pada tahun 1700 Masehi ketika Sulle DatuE ri
Soppeng yang bernama Daeng Mabbani dibunuh oleh La
Pasompereng Arung Teko.
KaraengE ri Gowa menyangka kalau La Pasompereng didukung
oleh Arumpone La Patau untuk membunuh Daeng Mabbani yang
kejadiannya di SalassaE ri Gowa. Namun Belanda segera turu
tangan untuk menengahi kedua pihak sehingga peperangan tidak
berlanjut.Perang kedua yaitu pada tahun 1709 Masehi ketika La
Padassajati melakukan kesalahan besar di Bone. Karena takut
dihukum oleh ayahandanya sendiri maka melarikan diri ke Gowa
untuk minta perlindungan kepada kakeknya. Oleh Karena
permintaan Arumpone bersama Adat Tujuh Bone agar La
Padassajati dikembalikan ke Bone untuk dihukum tidak dipenuhi
oleh KaraengE ri Gowa, maka Bone menyatakan perang dengan
Gowa. Sementara KaraengE ri Gowa juga menyatakan dengan
tegas bahwa lebih baik berperang dari pada menyerahkan cucunya
kepada Bone untuk dihukum. Sebelum perang dimulai, Raja Gowa
meninggal dunia. Maka La Pareppai To Sappewali saudara La
Padassajati sendiri yang tidak lain adalah juga anak dari La Patau
menggantikan kakeknya sebagai Somba ri Gowa. La Pareppai To
Sappewali juga bersikap sama dengan tetap menolak untuk
menyerahkan saudaranya ke Bone. Konflik ini juga ditengahi oleh
Belanda, sehingga perang perang antara anak dengan ayah
menjadi terhindarkan. La Patau adalah raja yang pertama
mengangkat Matowa sebagai pemimpin orang-orang Wajo yang
tinggal di Makassar dengan tujuan agar orang-orang Wajo yang
tinggal di Makassar dapat diawasi keadaan sehari-harinya karena
mengingat pada waktu itu La Patau mempunyay tugas sebagai
Raja Bone, dan sekaligus juga sebagai Ranreng Tuwa di Wajo. La
Patelleng Amanna Gappa adalah orang yang pertama diangkat
sebagai Matowa Wajo.
La Patau juga menjabat sebagai Ranreng Tuwa di Wajo yang
diwarisi dari ayahandanya, dan juga sebagai Arung Ugi'. Pada
mulanya La Patau diminta menjadi Datu Soppeng namun menolak
karena menurutnya masih adanyang lebih pantas dan dituakan
yaitu We Ada, namun setelah We Ada wafat maka datanglah
kembali orang Soppeng meminta memegang Soppeng dan Bone
sekaligus sehingga barulah La Patau bersedia.

Anda mungkin juga menyukai