Anda di halaman 1dari 189

BABAD PERANG DIPANAGARA

LAN
BABAD NAGARI PURWAREJA
III

Pintu Masuk Tangsi Kumpeni Kedungkebo


Sekarang menjadi Markas Yonif 412 Purworejo

Pengalih Aksara/Bahasa:
Witoyo

Penyunting:
Dwi Wahyu Atmaji
BABAD PERANG DIPANAGARA LAN BABAD NAGARI PURWAREJA III
©2021 Perpustakaan Nasional RI

Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT)


Babad Perang Dipanagara Lan Babad Nagari Purwareja III /Penulis,
Witoyo dan Dwi Wahyu Atmaji, - Jakarta : Perpusnas Press, 2021
186 hlm, 16 x 23 cm
ISBN 978-623-313-247-3
1. Perpusnas - Alih Bahasa I. Witoyo II. Dwi Wahyu Atmaji

Penulis : Witoyo dan Dwi Wahyu Atmaji


Penyunting : Tim Editor
Penata Letak : Tim Perpusnas Press
Desain Sampul : -

Penerbit
Perpusnas PRESS
Anggota IKAPI
Jl. Salemba Raya No. 28a Jakarta
Telp. (021) 3922749
Surel : press@perpusnas.go.id
Laman : https://press.perpusnas.go.id

BUKU INI TIDAK UNTUK DIPERJUALBELIKAN


SAMBUTAN
DEPUTI BIDANG PENGEMBANGAN BAHAN PUSTAKA
DAN JASA INFORMASI
PERPUSTAKAAN NASIONAL RI

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan,


mendefinisikan naskah kuno sebagai dokumen tertulis yang tidak dicetak atau
tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun
di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan
yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu
pengetahuan. Naskah kuno dibanding benda cagar budaya lainnya, memang
lebih rentan rusak, baik akibat faktor cuaca yaitu kelembaban udara dan air
(high humidity and water), serta bencana alam, juga faktor serangan biota
seperti kutu busuk, dan faktor manusia yaitu ketidakpedulian, kebakaran,
pencurian, maupun karena diperjual-belikan oleh khalayak umum.
Naskah kuno mengandung berbagai informasi yang penting untuk
diungkap dan disampikan kepada masyarakat. Tetapi, naskah kuno yang
ada di antero Nusantara biasanya ditulis dalam aksara non-Latin dan bahasa
daerah atau bahasa asing ( Arab, Cina, Sansekerta, Belanda, Inggris, Portugis,
Prancis). Hal ini menjadi kendala tersendiri dalam memahami naskah, salah
satu cara untuk mengungkap dan menyampaikan informasi yang terkandung
di dalam naskah adalah melalui penelitian filologi/penelitian naskah kuno,
dan saat ini penelitian naskah kuno masih sangat minim.
Sejalan dengan rencana strategis Perpustakaan Nasional untuk
menjalankan fungsinya sebagai Perpustakaan Penelitian, sekaligus sebagai
Pusat Pernaskahan Nusantara, maka perlu dilakukan upaya akselerasi
percepatan penelitian naskah kuno yang berkualitas, memenuhi standar
penelitian filologis, serta mudah diakses oleh masyarakat, sehingga menjadikan
Perpustakaan Nasional sebagai lembaga yang berkonstribusi besar terhadap
bidang ilmu pengetahuan di Indonesia, khususnya di bidang pernaskahan.
Kegiatan Alih Aksara, Alih Bahasa, Saduran dan Kajian Naskah Kuno
Nusantara ini merupakan kegiatan wajib di bidang pernaskahan, khususnya
di Perpustakaan Nasional, karena menjadi amanat Undang-Undang No. 43
Tahun 2007 tentang Perpustakaan, Pasal 7 ayat (1) butir (d) yang mewajibkan
Pemerintah untuk menjamin ketersediaan keragaman koleksi perpustakaan
melalui terjemahan (translasi), alih aksara (transliterasi), alih suara ke tulisan

i
(transkripsi), dan alih media (transmedia), juga Pasal 7 ayat (1) butir (f) yang
berbunyi “Pemerintah berkewajiban meningkatkan kualitas dan kuantitas
koleksi perpustakaan”.
Sejak tahun 2015, sesuai dengan indikator kinerja di Perpustakaan
Nasional, kegiatan Alih Aksara, Alih Bahasa, Saduran dan Kajian Naskah Kuno
Nusantara terus dilaksanakan secara rutin. Pada tahun 2021, Perpustakaan
Nasional menargetkan 50 judul penerbitan hasil karya tulis tersebut. Berkat
kontribusi para penulis yang terdiri dari filolog, sastrawan, akademisi dan
lain-lainnya, kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik. Oleh karena itu,
Perpustakaan Nasional mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang setinggi
tingginya kepada para kontributor yang telah mengirimkan karya-karya
terbaiknya. Secara khusus, Perpustakaan Nasional juga mengucapkan terima
kasih kepada Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) yang sejak awal
terlibat dalam proses panjang seleksi karya, penyuntingan, proofreading,
hingga buku ini dapat terbit dan dibaca oleh masyarakat.
Kami berharap karya-karya yang dihasilkan dari kegiatan ini bermanfaat
dan mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat, bukan hanya bagi para
penggiat naskah saja, namun juga lapisan masyarakat lainnya sehingga bisa
lebih banyak lagi yang mengenal dan peduli terhadap warisan budaya bangsa
kita. Terima kasih.

Jakarta, Juli 2021

Ofy Sofiana,
Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka
dan Jasa Informasi Perpustakaan Nasional RI

ii
PENGANTAR

Naskah BABAD DIPANAGARA lan BABAD NAGARI


PURWAREJA (K.B.G. 5, Perpusnas RI), atau di dalam halaman judul luar
teks, Babad Perang Dipanagara lan Babad Nagari Purwareja (hal.1), atau
oleh Peter Carey disebut Babad Kedungkebo, terdiri dari 2 bagian, yaitu
47 pupuh (bab) tentang Perang Diponegoro, dan 3 pupuh (bab) tentang Kota
Purworejo.
Naskah tersebut berisi teks yang dikarang oleh Demang Cakradiwirya
(R. Adipati Cokronegoro, Bupati Purworejo I), pada tahun 1854, mengisahkan
tentang Perang Diponegoro yang berkobar di pulau Jawa antara tahun 1825
sampai dengan 1830.
Dalam buku Katalogus Kitab Babad Museum Pusat, halaman 19,
isi teks digambarkan sebagai berikut. Resodiwiryo menceritakan tentang
pengalamannya ketika mengikuti Pangeran Kusumoyudo dalam memerangi
para berandal (pasukan Diponegoro) di daerah-daerah Banyumas, Kedu,
Kebumen, Pajang, dan Mataram. Sesudah peperangan selesai, dua tahun
kemudian Resodiwiryo diangkat menjadi Adipati di Purworejo berganti nama
Cokronegoro.
Dalam penceritaannya, mula-mula dikisahkan huru-hara yang timbul di
Karaton Ngayogyakarto Hadiningrat. Huru-hara itu timbul sejak tersingkirnya
Sultan Hamengku Buwono II, yang digantikan oleh putranya yang bergelar
Sultan Hamengku Buwono III. Pangeran Diponegoro adalah orang yang
memegang peranan penting dalam peristiwa tersingkirnya Sultan Hamengku
Buwono II dan naik tahtanya Sultan Hamengku Buwono III. Oleh karena itu
sebagai jasa kepada beliau, Sultan Hamengku Buwono III akan mengangkat
Pangeran Diponegoro sebagai putera mahkotanya. Akan tetapi Pangeran
Diponegoro tidak bersedia menerima anugerah ayahandanya, sehingga
akhirnya yang diangkat sebagai putera mahkotanya adalah Raden Mas Bagus
Surojo. Sedangkan Pangeran Diponegoro kelak akan bertindak sebagai
penasehatnya.
Rencana tersebut terlaksana, tetapi lama kelamaan kedudukan
Pangeran Diponegoro sebagai Penasehat Raja terdesak. Dan banyak hal-hal
yng menyebabkan Pangeran Diponegoro berselisih dengan Patih Danurejo
yang dibantu oleh Belanda. Akhirnya Pangeran Diponegoro tidak bersedia
lagi turut campur dalam urusan pemerintahan. Beliau menyingkirkan diri ke

iii
Tegalrejo dan membentuk kekuatan. Itulah pangkal dari pecahnya perang
yang berlangsung dari tahun 1825 sampai dengan 1830.
Pada bagian belakang dari naskah ini menceritakan upacara pelantikan
Demang Resodiwiryo menjadi adipati Purworejo yang mendapat gelar Raden
Adipati Cokronegoro.
Pada pupuh I pada 3 tertulis:
“Wau Kangjëng Dyan Dipati, anggalih ayasa babad, ing tëmbe kapa-
ringake, dhumatëng ing putra wayah, buyut tanapi cangah, dadosa
pangemut-emut, ing benjang sami ngrëtiya.”

Ketika itu Kanjeng Raden Adipati Cokronegoro, berpikir untuk mem-


buat buku sejarah, kelak akan diberikan, kepada anak cucu, buyut dan
juga cicit, untuk menjadi pengingat-ingat, di hari esok agar semua
mengerti.

Berangkat dari tersebut di atas pengalih aksara/bahasa bermaksud untuk


mengalih-aksarakan/melatinkan dan mengalih-bahasakan/menerjemahkan
naskah tersebut dalam bentuk buku, untuk mempermudah anak, cucu, buyut,
dan juga cicit, untuk mengingat-ingat dan mengerti isi naskah tersebut.
Semoga maksud tersebut menjadi sumbangsih yang bermanfaat, khususnya
bagi anak, cucu, buyut, dan juga cicit Cokronegoro, dan bagi masyarakat
Kabupaten Purworejo, bahkan bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Lebih
jauh lagi, diharapkan buku ini bermanfaat bagi dunia internasional sebagai
referensi sejarah.
Alih aksara dari aksara Jawa ke huruf Latin berdasarkan Ejaan
Yang Disempurnakan, sehingga lebih komunikatif bagi para pembaca.
Penerjemahannya pun diusahakan menggunakan Bahasa Indonesia yang
baku. Kesulitan yang ditemui dalam penerjemahan dari naskah aslinya adalah
penggunaan bahasa Jawa, bahkan bahasa Kawi dan bahasa Arab, dalam
bentuk Tembang Macapat yang mengutamakan guru wilangan dan guru lagu.
Saya sangat berterima kasih kepada semua pihak, yang banyak
membantu dalam penerjemahan buku ini. Mereka yang membantu dalam
usaha perjemahan buku ini adalah sebagai berikut.

1. Bapak Drs. Dwi Wahyu Atmaji, MBA, Sekretaris Menteri Pendayagunaan


Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang dengan suka rela

iv
meluangkan waktunya di sela-sela kesibukannya yang luar biasa, untuk
mendapatkan salinan naskah asli babad ini.
2. Bapak Teguh Perpusnas dan Bapak Agung Kriswanto, yang sangat
banyak membantu dalam pengadaan salinan naskah asli babad ini.
3. Saudara-saudara anggota Muda Ganesha 80, suatu wadah alumni SMA
Negeri 1 Purworejo lulusan tahun 1980, yang telah memberi dukungan
dan dorongan yang sangat memotivasi.
Dan dengan segala kerendahan hati, saya mengharapkan kritik dan sa-
ran yang membangun dari siapapun demi kesempurnaan buku ini.

Purworejo, 4 – 3 – 21

Pengalih aksara/bahasa,

Witoyo

v
DAFTAR ISI

SAMBUTAN ................................................................................ i
PENGANTAR................................................................................ iii
DAFTAR ISI.................................................................................. vi
PUPUH XXVI DHANDHANGGULA......................................... 1
PUPUH XXVII DURMA.............................................................. 9
PUPUH XXVIII MËGATRUH..................................................... 22
PUPUH XXIX DHANDHANGGULA......................................... 45
PUPUH XXX SINOM................................................................... 62
PUPUH XXXI PANGKUR........................................................... 78
PUPUH XXXII DURMA.............................................................. 97
PUPUH XXXIII KINANTHI........................................................ 109
PUPUH XXXIV DURMA............................................................. 127
PUPUH XXXVI MIJIL................................................................. 154
PUPUH XXXVII MASKUMAMBANG...................................... 163
PUPUH XXXVIII SINOM............................................................ 168
DAFTAR PUSTAKA..................................................................... 174
TENTANG PENGALIH AKSARA/BAHASA.......................... 175
SINOPSIS...................................................................................... 176

vi
PUPUH XXVI
DHANDHANGGULA

1. Wusnya dandan akumpulan sami, sakathahe pangeran sadaya,


kocapa wong Madurane, kang samya dherek iku, mring kang sami
arsa abaris, Pangeran Surakarta, titindhihireku, bodholan Klaten
waunya, wong Madura karsane Sri Narapati, kinen tumut bantua.

Sesudah bersiap-siap mereka berkumpul, seluruh pangeran semua,


diceritakan orang-orang Madura, mereka mengikutinya, kepada mereka
yang akan berbaris, Pangeran Surakarta, pemimpinnya itu, tadinya
berangkat dari Klaten, kehendak Sang Raja orang-orang Madura,
disuruh ikut membantu.

2. Ingkang kinen ambantoni nënggih, Jëng Pangeran Ngabehi nama,


lan Pangran Natapurane, Pangran Pringgalayeku, Aryablater
rowangireki, Pangran Adinagara, Jayakusumeku, Tumënggung
Sasranagara, apan iku bupati lënggah Kadhiri, Mënggung
Brajadipura.

Yaitu yang disuruh membantu, Sang Pangeran Hangabehi namanya,


dan Pangeran Notopuro, Pangeran Pringgoloyo, Aryoblater temannya,
Pangeran Adinegoro, Joyokusumo, Tumenggung Sosronegoro, dan
bupati yang berkedudukan di Kediri, Tumenggung Brojodipuro.

3. Bupatine ing Kalang anënggih, lawan malih Den Sasrawijaya,


tumënggung kalungguhane, putra Patihan iku, Kliwon Gladhag
Brajanëgari, lawan samantrinira, kabëkta sadarum, lan Raden
Sumadiningrat, Jayaningrat punika sami titindhih, Pënewu
Kasunanan.

Juga bupati di Kalang, dan lagi Raden Sosrowijoyo, tumenggung


kedudukannya, dia itu putera Kepatihan, Kliwon Gladag Brojonegoro,
beserta para mantrinya, dibawa semua, dan Raden Kusumodiningrat,
Joyoningrat itu semua pemimpinnya, Panewu Kasunanan.

4. Jaba jëro sëdaya angiring, lawan Behi Sastraawijaya, Wirasastra


kancuhane, lan Mas Kërtayudeku, Wirapraja nama Ngabehi,
lan Ki Singataka, Jayadimurtiku, lulurah ing Këpatihan, wong
Macanan lan wong Patangpuluh nënggih, Mayor lan Kapitannya.

1
Panewu Luar dan Panewu Dalam semua mengiringi, dan Hangabehi
Sastrowijoyo, Wirosastro temannya, dan Mas Kertoyudo, Hangabehi
Wiroprojo namanya, dan Ki Singotoko, Joyodimurti itu, pemimpin
di Kepatihan, yaitu orang-orang prajurit Macanan dan orang-orang
prajurit Patangpuluhan, Mayor dan Kaptennya.

5. Lawan malih prajuritireki, Jëng Pangeran Pakuanëgara, kinen


sarëng ing lampahe, prajurit dalëm iku, pan rong atus sadayaneki,
mayor lawan kapitan, pan titidhihipun, kalawan bala Madura,
wolung atus kathahe para prajurit, panji titindhira.

Dan lagi prajuritnya, Sang Pangeran Pakunegoro, disuruh bersama


dalam perjalanannya, pajurit kerajaan itu, dua ratus orang semuanya,
mayor dan kapten, dan pemimpinnya, dan pasukan Madura, delapan
ratus orang jumlah para prajuritnya, seorang panji pemimpinnya.

6. Datan kocap pangeranireki, kantun aneng nagri ing Mëtaram,


baris neng jro nëgarane, Pangran Kartapanjiku, lawan Panji
Dikusumeki, lawan Mlayakusuma, punika kang kantun, aneng
nagri ing Ngayogya, pan titiga kathahe kang dadi tindhih, Madura
Surakarta.

Tidak diceritakan para pangerannya, yang dtinggal di kota di Mataram,


berbaris di dalam kotanya, Pangeran Kartopanji, dan Panji Adikusumo,
dan Mloyokusumo, itu yang ditinggal, di kota di Yogyakarta, dan
tiga orang jumlahnya yang menjadi pemimpin, pasukan Madura dan
pasukan Surakarta.

7. Nama Panji Jayengasmareki, lawan Panji Jayengsari ika,


Wangsengrana katigane, punika tindhihipun, wong Madura
sëdaya sami, sëmana sampun tata, kang wadya sëdarum, mariyëme
pan sëkawan, arsa budhal kang baris sëdaya sami, mangkat sing
Surakarta.

Ini yang bernama Panji Jayengasmoro, dan Panji Jayengsari, yang


ketiga Wangsengrono, itu pemimpinnya, mereka orang-orang Madura
semua, ketika itu sudah tertata, semua pasukannya, meriamnya empat
buah, semua barisan hendak berangkat, berangkat dari Surakarta.

8. Pan tëngara tamburnya amuni, mriyëm aneng ngayun lampahira,


budhal kang neng ngarsa kabeh, Jëng Pangran aneng pungkur,

2
durung nitih ingkang turanggi, kehe kang wadya bala, gunggunge
rong ewu, banderane kalih dasa, warna-warna busanane kang
prajurit, budhal kang wuri sigra.

Kemudian isyarat genderangnya berbunyi, meriam berada di depan


perjalanannya, yang berada di depan berangkat semua, Sang Pangeran
berada di belakang, belum menunggang kuda, jumlah pasukannya,
berjumlah dua ribu orang, benderanya dua puluh buah, berwarna-warni
busana para prajuritnya, yang berada di belakang segera berangkat.

9. Sampun numpak turangga pra sami, Jëng Pangeran Behi sigra


numpak, lawan para punggawane, wus laju lampahipun, kang
prajurit kang wontën ngarsi, wingking tiyang Madura, lan para
tumënggung, Jëng Pangeran aneng ngarsa, para mantri garëbëg
Pangeran Behi, lan Mayor Kapitannya.

Mereka semua sudah menunggang kuda, Sang Pangeran Hangabehi


segera menunggang, beserta para punggawanya, sudah dipercepat
perjalanannya, para prajurit yang berada di depan, di belakang orang-
orang Madura, dan para tumenggung, Sang Pangeran berada di depan,
para mantri mengiringi Sang Pangeran Hangabehi, dan Mayor serta
Kaptennya.

10. Pan atata kang wadya lumaris, kaebëkan ing marga sadaya,
sangking gung wadya balane, kathah jëlajatipun, dhandhang
muni samargi-margi, angin prapteng liwëran, angsung pemut iku,
marang kang baris sëdaya, maweh tandha yen badhe kasor ing
jurit, kang wadya Surakarta.

Sesudah teratur pasukannya berangkat, semua memenuhi jalan, karena


terlalu banyak pasukannya, banyak pertanda buruknya, burung gagak
berbunyi di sepanjang jalan, angin datang berseliweran, itu memberi
peringatan, kepada barisan itu semua, memberi tanda bahwa akan kalah
dalam peperangan, pasukan Surakarta itu.

11. Datan wontën uning jroning wangsit, apa dene punggawa sadaya,
miwah wong ing Madurane, pan amung rusuhipun, ing samargi-
margi ngrusuhi, desa kang cëlak marga, geger mawut-mawut,
katrajang wadya Madura, langkung rusuh wong Madura yen
lumaris, ngrayah samarga-marga.

3
Tidak ada yang tahu di dalam bisikan Tuhan, apa lagi semua punggawa,
serta orang-orang Maduranya, hanya kerusuhannya, di sepanjang jalan
membuat kerusuhan, desa yang dekat dengan jalan, ribut berhamburan,
diterjang pasukan Madura, sangat rusuh orang-orang Madura kalau
berjalan, merampas di sepanjang jalan.

12. Pan wus kocap ing duk nguni-uni, pan katëlah bajag Sampang
ika, ing kuna langkung rusuhe, Jëng Pangeran Behiku, pan karaos
rasaning galih, ngunandika wardaya, ing wëtaraningsun, apan
wus karsaning Sukma, jëlajate badhe kasor ing jurit, kathah
trësandhanira.

Sudah diceritakan pada waktu dahulu kala, disebutkan bajak Sampang


itu, pada jaman dahulu sangat rusuh, Sang Pangeran Hangabehi,
merasakan perasaan hatinya, berkata di dalam hati, dalam perhitunganku,
sudah menjadi kehendak Tuhan, pertanda buruknya akan kalah dalam
peperangan, banyak pertandanya.

13. Dhandhang muni ing samargi-margi, lawan angin prapteng


aliwëran, tan kumlebet banderane, Pangran ngungun ing kalbu,
nanging datan owah ing galih, eklas jroning wardaya, ing
ayahanipun, Jëng Sinuwun Surakarta, wus jamake wong tuwa
ingkang nglakoni, dadi bantën nagara.

Burung gagak berbunyi di sepanjang jalan, dan angin datang


berseliweran, tidak berkibar benderanya, Sang Pangeran heran di dalam
hati, tetapi tidak berubah di dalam hatinya, ikhlas di dalam hatinya,
dalam tugas yang diberikan, oleh Sang Raja Surakarta, sudah terbiasa
orang tua yang melakukan, menjadi korban negara.

14. Wus dumugi ing Dilanggu desi, Jëng Pangeran arsa mësanggrahan,
lan sagung wadya balane, atata aneng ngriku, karya beteng Dilanggu
desi, mriyëm papat pinasang, jroning betengipun, sangking gunging
wadya bala, pan karsane Jëng Pangeran Hangabehi, kinen maro
panggonan.

Sudah sampai di desa Dilanggu, Sang Pangeran hendak membuat


tempat peristirahatan, dan seluruh pasukannya, bersiap-siap disitu,
membuat benteng di desa Dilanggu, empat buah meriam dipasang, di
dalam bentengnya, karena terlalu banyak pasukannya, kehendak Sang
Pangeran Hangabehi, disuruh membagi dua tempatnya.

4
15. Jëng Pangeran Adinëgareki, kinen ngalih aneng lering desa,
Popongan pësangrahane, lan Pangeran Ranggeku, Jayaningrat
kancuhireki, lan Den Sumadiningrat, lawan mantrinipun, Jaba
Jëro Kësunanan, wong Macanan lan wong Patang Puluh nënggih,
Kapitan lan Mayornya.

Sang Pangeran Adinegoro, disuruh berpindah di sebelah utara desa,


Popongan tempat peristirahatannya, dan Pangeran Ronggo, Joyoningrat
temannya, dan Raden Kusumodiningrat, beserta para mantrinya, Mantri
Dalam dan Mantri Luar Kasunanan, orang-orang prajurit Macanan dan
orang-orang prajurit Patang Puluh juga, Kapten dan Mayornya.

16. Mung punika neng Popongan desi, wus miranti ingkang wadya
bala, gënti kocap caritane, Jëng Sultan Kraman iku, Heru Cakra
Mirul Mukminin, andher neng pësanggrahan, pëpakan Bangarum,
Jëng Sultan aris ngandika, marang wau Pangeran Nataprajeki,
Basah Prawiradirja.

Hanya itu yang berada di desa Popongan, sudah bersiaga pasukannya,


ganti yang diceritakan, Sang Sultan Makar itu, Heru Cokro Amirul
Mukminin, berjajar di tempat peristirahatan, bersiaga di Kembangarum,
Sang Sultan berkata pelan, kepada Pangeran Notoprojo, Basah
Prawirodirjo.

17. Timbalane Kangjëng Sultan nënggih, ingsun mirëng kabare wong


desa, bantu sing Surakartane, wus prapteng ing Dilanggu, amiranti
sawadyaneki, kathah prajuritira, lan pangeranipun, nënëm
gunggunge sadaya, pra tumënggung tëtiga kathahireki, klawan
tiyang Madura.

Ucapan Sang Sultan yaitu, saya mendengar kabar orang-orang desa,


bantuan perang dari Surakarta, sudah sampai di Dilanggu, bersiaga
seluruh pasukannya, banyak prajuritnya, dan pangerannya, enam orang
jumlah semuanya, para tumenggung tiga orang jumlahnya, serta orang-
orang Madura.

18. Langkung kathah pabarisaneki, ingkang beteng ing Dilanggu desa,


Jëng Sultan gya dhawuhake, mring para basahipun, tuwin Pangran
Nataprajeki, Basah Prawiradirja, lan Pëngalasipun, lawan Raden
Sindurëja, dolahira Nataprana kang wëwangi, kinen sami kapinga.

5
Sangat banyak barisannya, bentengnya berada di desa Dilanggu, Sang
Sultan segera memerintahkan, kepada para basahnya, serta Pangeran
Notoprojo, Basah Prawirodirjo, dan Pengalasan, dan Raden Sindurejo,
dolahnya Notoprojo namanya, mereka disuruh mengepung.

19. Marang dhusun ing Kuwël kang nami, angëpunga Dilanggu kang
desa, langgarën pabarisane, Pangran Ngabehi iku, lah ta mara
mangkata aglis, wus samya prëdandanan, pra basah sëdarum,
siyageng gëgamanira, sakathahe Bulkiya lan dolahneki, lawan
prajuritira.

Ke desa di Kuwel namanya, kepunglah desa Dilanggu, serbulah


barisannya, Pangeran Hangabehi itu, nah silakan segera berangkat,
mereka sudah bersiap-siap, para basah semua, bersiaga dengan
senjatanya, seluruh Bulkiya dan dolahnya, beserta prajuritnya.

20. Langkung kathah prajurit kang santri, winëtara gunggunge


sadaya, tigang ewu cacahe, bandera pitu likur, atëngara bëdhug lan
beri, busana warna-warna, asri yen dinulu, pan angangge sërban
pëthak, pra Bulkiya dolah gadhung sërbaneki, bajo tuluh watunya.

Sangat banyak prajurit santrinya, kira-kira jumlahnya semua, tiga


ribu orang jumlahnya, bendera dua puluh tujuh buah, isyarat bedug
dan beri (gong kecil), busana berwarna-warni, asri kalau dilihat, dan
mengenakan surban putih, para Bulkiya dan dolah surbannya berwarna
hijau, baju tuluh batunya.

21. Sigra budhal Pangeranireki, Natapraja tëtindhih ngayuda, Basah


Prawiradirjane, budhal sawadyanipun, Pëngalasan wus budhal
sami, lajëng ing lampahira, kang wadya sëdarum, samarga
rërëmbagan, para basah lan Pangran Natanëgari, Wiradirja
mëmpëna.

Segera berangkat Sang Pangeran, Notoprojo pemimpin perangnya,


basah Prawirodirjo, berangkat beserta pasukannya, Pengalasan sudah
berangkat, cepat dalam perjalanannya, semua pasukannya, sepanjang
jalan berbincang-bincang, para basah dan Pangeran Notonegoro,
Prawirodirjo berdiam diri.

22. Natapraja kinen andhadhani, lan Sindurja Pëngalasan ika, Ki


Nataprana dolahe, kinen gëmbula iku, amëmpëna sawadyaneki,

6
nyabët sangking iringan, pan sampun arëmbug, wus agilig aneng
marga, tan antara wus prapteng prënahing desi, neng Kuwël tata-
tata.

Notoprojo disuruh mempersiapkan diri, dan Sindurejo Pengalasan itu,


Ki Notoprono dolahnya, disuruh bergabung, secara diam-diam beserta
pasukannya, menyerbu dari samping, kemudian sudah berunding,
sudah bersepakat di jalan, tidak lama kemudian sudah sampai di letak
desanya, di Kuwel bersiap-siap.

23. Asiyaga gëgamaning prajurit, pra Bulkiya sëdaya adandan, sikëp


pëdhang lan tumbake, bëdhil këlawan pistul, pan amuji kang
santri-santri, adikir asauran, Bulkiya sëdarum, pan prentahe Kyai
Maja, sakathahe wadya santri yen ajurit, kinen sami dikira.

Para prajurit bersiaga dengan senjatanya, para Bulkiya semua bersiap-


siap, memegang pedang dan tombaknya, senapan dan pistol, dan para
santri memuji, berdzikir saling bersahutan, Bulkiya semua, karena
perintah Kyai Mojo, seluruh pasukan santri kalau berperang, mereka
disuruh berdzikir.

24. Ënëngëna caritanireki, gënti kocap wadya Surakarta, geger prapta


këramane, wus katur dhatëngipun, Pangran Behi sigra mrentahi,
mring wadya bala sëdaya, kinen sikëp iku, kaprabone ing ngayuda,
gya tëngara tambur slompret lawan suling, busëkan jro barisan.

Biarkan cerita ini, ganti yang diceritakan pasukan Surakarta, ribut


kedatangan para makar, sudah disampaikan kedatangannya, Pangeran
Hangabehi segera memerintahkan, kepada semua pasukan, disuruh
bersiaga, dengan peralatan dalam peperangan, segera isyarat genderang
terompet dan seruling, gaduh di dalam barisan.

25. Samya gugup kang para prajurit, wus watëke wadya Surakarta,
yen badhe campuh jurite, abingung solahipun, langkung watir
rasaning ati, sawëneh dhërodhogan, gumëtër anjëntung, keh pucët
ing netyanira, ana maneh prajurit lagi aguling, ginugah kancanira.

Para prajurit semuanya gugup, sudah menjadi watak pasukan Surakarta,


kalau akan terjun dalam peperangan, tingkah lakunya bingung, sangat
khawatir perasaan hatinya, ada yang menggigil, berdebar mematung,
banyak yang pucat wajahnya, ada lagi prajurit yang sedang tidur,
dibangunkan oleh temannya.

7
26. Pan kasusu panggugahireki, kang anendra langkung kagetira,
pan lajëng mlayu tangine, weh geger kancanipun, pan den nyana
sampun ajurit, lumayu pëndirangan, kacëbur ing sumur, adangu
lajëng palastra, nora nana kancane ingkang nulungi, geger baris
sadaya.

Karena tergesa-gesa membangunkannya, yang sedang tidur sangat


terkejut, dan terus berlari begitu bangun, memberi keributan teman-
temannya, karena dikira sudah perang, berlari dengan beringas, tercebur
di sumur, lama kemudian mati, tidak ada temannya yang menolong,
barisan ribut semua.

27. Pangran Behi wus nitih turanggi, para mantri aguyub sadaya,
bupati keh dharat bae, ana kang sareh iku, angënteni gamël
ngambili, dangu inganti ika, mëksa datan sampun, kang darbe
sigra tëtanya, ya pa gene këkambil tan uwis-uwis, gusar lajëng
atëdhak.

Pangeran Hangabehi sudah menunggang kuda, para mantri berkumpul


semua, banyak bupati yang berjalan kaki saja, itu ada yang sabar,
menunggu perawat kuda mengambil kudanya, lama menunggunya,
tetap saja tidak usai, pemiliknya segera bertanya, ya ada apa mengambil
kuda tidak usai-usai, karena kesal terus mendekat.

28. Gamël matur pan sampun Kiyai, kapal bengkot tinuntun tan këna,
gya pinriksa ing lurahe, apa edan sireku, akakambil palang kabëni,
gamël pan ginëbugan, sangët gusaripun, cinëkak caritanira, yun-
ayunan këraman lan wong Kumpëni, tan sëdya amundura.

Perawat kuda berkata sudah Kiyai, kuda membangkang dituntun tidak


bisa, segera diperiksa oleh pemiliknya, apakah kamu gila, mengambil
kuda palangnya masih terpasang, perawat kuda kemudian dipukuli,
karena sangat kesalnya, dipersingkat ceritanya, sudah berhadap-
hadapan para makar dengan Kumpeni, tidak berniat mundur.

---oooOooo---

8
PUPUH XXVII
DURMA

1. Sampun cëlak wadya bala Surakarta, kraman sigra marani,


dhatëng barisira, Pangran ing Surakarta, wus samya prayitneng
jurit, nabuh tëngara, këndhang gong lawan beri.

Sudah dekat pasukan Surakarta, para makar segera mendatangi, menuju


barisannya, Pangeran Surakarta, mereka sudah bersiap-siap untuk
berperang, memukul isyarat, kendang gong dan gong kecil.

2. Ing barise Pangeran ing Surakarta, wetan ënggenireki, barising


këraman, wontën kulon genira, baris kraman nëmpuh wani, wong
Surakarta, apanggah anggagahi.

Barisan Pangeran Surakarta, di sebelah timur tempatnya, barisan


para makar, berada di sebelah barat tempatnya, barisan para makar
menyerang dengan berani, orang-orang Surakarta, tegar menghadapi.

3. Pra Bulkiya anggrëgut pangamukira, pra mantri anadhahi, baris


Surakarta, miwah baris Madura, wus campuh wau ngajurit,
tumbak-tinumbak, rame asilih ungkih.

Para prajurit Bulkiya mengamuk dengan bersemangat, para mantri


menghadapinya, barisan Surakarta, serta barisan Madura, sudah maju
berperang, tombak-menombak, ramai saling menyerang.

4. Agëmporan bëdhil bum lan kalataka, wong Madura keh mati,


wadya Surakarta, akathah ingkang pëjah, arame bëdhil-binëdhil,
pan long-linongan, basah anyëntak wani.

Saling menggempur dengan senapan bom dan meriam, orang-orang


Madura banyak yang mati, pasukan Surakarta, banyak yang mati,
ramai tembak-menembak, dan kurang-mengurangi, basah membentak
dengan berani.

5. Anërajang Wiradirja sing iringan, sigra dennya numbaki, sangët


kagetira, prajurit Surakarta, lumayu arëbut urip, kathah kang
pëjah, pra mantri den tumbaki.

9
Prawirodirjo menerjang dari samping, segera dia menusukkan
tombaknya berulang-ulang, sangat terkejut, pasukan Surakarta,
melarikan diri berebut hidup, banyak yang mati, para mantri banyak
yang ditusuk tombak.

6. Barisira Rahaden Sasrawinata, dados pënjawat kering, tinrajang


barisnya, Basah Prawiradirja, lumayu angulon gëndring, dhatëng
Gabahan, Den Sasrawinateki.

Barisan Raden Sosrowinoto, menjadi pendamping kiri, diterjang


barisannya, oleh Basah Prawirodirjo, melarikan diri ke barat dengan
kencang, menuju Gabahan, Raden Sosrowinoto.

7. Jëng Pangeran Ngabehi sigra lumajar, kenging songsonge kuning,


lan lopak-lopak mas, apan samya kabandhang, lawan pëdhangira
kalih, kenging këraman, samya lumayu tëbih.

Sang Pangeran Hangabehi segera melarikan diri, terampas payung


kuningnya, dan kotak-kotak emasnya, semuanya terampas, serta dua
buah pedangnya, dirampas oleh para makar, mereka semua melarikan
diri jauh-jauh.

8. Pëdhangira sami kinërangan ëmas, kang wau sami kenging,


dhatëng wadya kraman, wong Sampang bubar-bubar, kantun
Sasrawinateki, mundur neng sawah, wadyanira angiring.

Pedang-pedangnya menggunakan tutup gagang emas, semuanya


dirampas, oleh pasukan makar, orang-orang Sampang bubar semua,
tinggal Sosrowinoto, mundur ke sawah, pasukannya mengiringi.

9. Pan kabujung lumajëng dhatëng Gabahan, nanging wontën tut


wuri, den kinthil këraman, munggeng iringanira, kramanipun
ingkang nami, Dyan Nataprana, dolah lungguhireki.

Kemudian diburu melarikan diri ke Gabahan, tetapi ada yang


mengikutinya dari belakang, dikuntit oleh seorang makar, di
dalam iringannya, seorang makar itu bernama, Raden Notoprono,
kedudukannya sebagai dolah.

10. Gya tinumbak Rahaden Sasrawinata, datan mawi ping kalih,


cëkap lajëng seda, Raden Sasranëgara, sawadyane pra ngabehi,
samya umangsah, angamuk kraman wani.

10
Segera ditombak Raden Sosrowinoto, tidak sampai dua kali, cukup sekali
terus mati, Raden Sosronegoro, beserta pasukan para hangabehinya,
mereka menyerang, mengamuk kepada para makar dengan berani.

11. Langkung rame pra mantri pëngamukira, tan këlar banjur mati,
kabeh para lurah, miwah para punggawa, apan sami angëmasi, ing
namanira, wau kang sami mati.

Sangat ramai para mantri mengamuk, tidak sanggup kemudian mati,


semua para lurah, serta para punggawanya, mereka mati, nama-nama
mereka, mereka yang mati.

12. Ingkang nama Ngëbehi Sëtrawijaya, Wirasastra Ngëbehi, lan


Mas Kartayuda, Ngëbehi Wirapraja, pangarsa Jayadimurti, lan
Singataka, lurah Patihan mati.

Namanya Hangabehi Setrowijoyo, Hangabehi Wirosastro, dan Mas


Kartoyudo, Hangabehi Wiroprojo, pemimpin Joyodimurti, dan
Singotoko, lurah Kepatihan mati.

13. Sutayuda prajurit jajar sëdaya, wong tiga likur iji, ingkang samya
pëjah, mriyëm kalih këbandhang, kang kalih kabëkta mulih, Dyan
Sasrawijaya, ingkang këbandhang kalih.

Prajurit Sutowijoyo berjajar semua, dua puluh tiga orang, mereka yang
mati, dua buah meriam terampas, yang dua buah dibawa pulang, oleh
Raden Sosrowijoyo, yang terampas dua buah.

14. Mariyëme cacahe namung sëkawan, ingkang këbandhang sami,


sisane kang pëjah, apan samya lumajar, wau Pangeran Ngëbehi,
sawadyanira, wong Madura tut wuri.

Jumlah meriamnya hanya empat buah, semua yang terampas, sisanya


yang mati, kemudian semua melarikan diri, Pangeran Hangabehi,
beserta pasukannya, orang-orang Madura mengikuti dari belakang.

15. Kya Tumënggung Brajadipura lumajar, Den Sasrawijayeki, ngetan


playunira, dhatëng Gawok sëdyanya, kang baris Popongan desi,
Adinëgara, wadyanira tut wuri.

Ki Tumenggung Brojodipuro melarikan diri, dan Raden Sosrowijoyo,


pelariannya ke timur, tujuannya ke Gawok, barisan di desa Popongan,
Adinegoro, pasukannya mengikuti dari belakang.

11
16. Pan katundhung baris sangking Dlanggu desa, mawut barisaneki,
ngalor playunira, wadya bala sëdaya, anggrubyug Pangeran Behi,
dhatëng Kalitan, panggih lawan Kumpëni.

Kemudian diusir barisan dari desa Dlanggu, berhamburan barisannya,


pelariannya ke utara, semua pasukan, pergi bersama-sama Pangeran
Hangabehi, menuju Kalitan, bertemu dengan Kumpeni.

17. Pan lumajëng sadaya dhatëng Kalitan, undure Pangran Behi, pan
samya panggihan, këlawan Si Walanda, kang wontën Kalitan jagi,
namaning Landa, Jendral Panggen kang nami.

Kemudian semua melarikan diri ke Kalitan, mundurnya Pangeran


Hangabehi, kemudian mereka bertemu, dengan orang Belanda, yang
berjaga di Kalitan, nama orang Belanda itu, Jenderal Panggen namanya.

18. Wong Madura sami parëng praptanira, aneng Kalitan, lajëng


sadaya panggihan, wong Sampang lan Wëlanda, miwah Pangeran
Ngabehi, wus samya lënggah, lawan Kumpëni.

Orang-orang Madura bersama-sama datangnya, di Kalitan, terus


semua bertemu, orang-orang Sampang dan Belanda, serta Pangeran
Hangabehi, mereka sudah duduk, dengan Kumpeni.

19. Lawan malih Pangeran Suryamëtaram, baris lawan Kumpëni,


aneng ing Kalitan, akathah wadyanira, wong Kartasura kang
ngiring, sampun rëmbugan, lawan Pangeran Behi.

Dan juga Pangeran Suryomataram, berbaris dengan Kumpeni, berada di


Kalitan, banyak pasukannya, orang-orang Kartasura yang mengiringi,
sudah berunding, dengan Pangeran Hangabehi.

20. Amangsuli këraman kang ngobar ika, beteng Dilanggu desi, Jendral
sigra prentah, marang koronelira, Kurnel Wibron Kumpëni, sigra
adandan, arsa sami nglurugi.

Kembali kepada para makar yang membakar itu, benteng desa Dilanggu,
Sang Jenderal segera memerintahkan, kepada kolonelnya, Kolonel
Kumpeni Wibron, segera bersiap-siap, mereka hendak mendatangi
menyerbu.

12
21. Sampun rëmbag Pangeran lan Wëlanda, wus gilig tata sami, lajëng
arsa budhal, karsa nglurugi kraman, agancang dennya lumaris,
wadya Wëlanda, këbat lampahireki.

Sudah berunding Sang Pangeran dan Belanda, sesudah sepakat


mereka bersiap-siap, kemudian hendak berangkat, hendak mendatangi
menyerbu para makar, bergegas mereka berjalan, pasukan Belanda
cepat jalannya.

22. Jendral Panggen bëkta balanira usar, gunggung lamun winilis,


satus kalih dasa, lawan bala Madura, pangeranipun kakalih,
ambëkta bala, sakarine kang mati.

Jenderal Panggen membawa pasukan berkudanya, jumlahnya kalau


dihitung, seratus dua puluh orang, serta pasukan Madura, pangerannya
dua orang, membawa pasukan, sisa dari yang mati.

23. Pan Kumpëni gamane sënjata bëkta, mriyëmipun kakalih, ingkang


nuntun usar, wus prapta lampahira, apan lajëng napung jurit,
lawan këraman, arame gennya jurit.

Dan Kumpeni membawa senjata-senjatanya, meriamnya dua buah,


yang menuntun pasukan berkuda, sudah sampai perjalanannya, dan
kemudian melepaskan prajurit, dengan para makar, ramai mereka
berperang.

24. Kathah pëjah bala kraman ting sulayah, miwah bala Kumpëni,
surak awurahan, rame genira yuda, akathah prajurit kanin, wadya
kang pëjah, wangke susun atindhih.

Pasukan makar banyak yang mati berserakan, serta pasukan Kumpeni,


sorak-sorai membahana, ramai mereka bertempur, banyak prajurit yang
terluka, pasukan yang mati, bangkai bertumpuk-tumpuk.

25. Pan kasoran balane wau këraman, genira rëbut jodhi, dëdël-
dinëdël kalah, kraman ing përangira, wus mundur keh nandhang
kanin, samya lumajar, ngilen paranireki.

Kemudian kalah pasukan makar, mereka berebut kalah, desak-mendesak


kalah, para makar dalam peperangannya, sudah mundur banyak yang
menderita luka-luka, mereka melarikan diri, ke barat arahnya.

13
26. Anjog dhusun ingkang nama ing Kuripan, mriyëm këraman
nënggih, angsalira bandhang, lajëng kawon prangira, ing samangke
wangsul malih, dhatëng Walanda, Jendral Panggen kang ngambil.

Langsung menuju ke desa yang bernama Kuripan, meriam makar yaitu,


perolehan dari merampas, terus kalah perangnya, sekarang kembali
lagi, kepada Belanda, Jenderal Panggen yang mengambil.

27. Punang kraman mriyëme kakalih ical, apan kantun kakalih, wus
kabëkta mlajar, dhatëng wadya këraman, wus prapta Koripan
sami, wus mësanggrahan, Pangran lawan Kumpëni.

Dua buah meriam para makar hilang, dan tinggal dua buah, sudah
dibawa lari, oleh pasukan makar, mereka sudah sampai di Kuripan,
sudah beristirahat, Sang Pangeran dan Kumpeni.

28. Kangjëng Sultan Heru Cakra mësanggrahan, wontën ing Pëngging


nënggih, kumpul wadyanira, aneng ing pësanggrahan, akathah
balanireki, neng pësanggrahan, kang aran desa Pëngging.

Sang Sultan Heru Cokro beristirahat, yaitu berada di Pengging,


berkumpul dengan pasukannya, berada di tempat peristirahatan, banyak
pasukannya, berada di tempat peristirahatan, yang bernama desa
Pengging.

29. Jendral Panggen mësanggrahan lan Pangeran, sawadyanira


ngiring, samya mësanggrahan, beteng Dilanggu desa, agancang
caritaneki, datan antara, beteng samya kabësmi.

Jenderal Panggen beristirahat bersama Sang Pangeran, beserta


pasukannya mengiringi, mereka beristirahat, di benteng desa Dilanggu,
singkat ceritanya, tidak lama kemudian, benteng dibakar.

30. Apan tëlas beteng Dilanggu sadaya, kraman kang angobongi,


pangran kalih bubar, Wëlanda wus bubar, wangsul panggenira
lami, beteng Kalitan, sadaya pra Kumpëni.

Dan habis benteng Dilanggu semuanya, para makar yang membakar,


kedua pangeran bubar, orang-orang Belanda sudah bubar, kembali ke
tempat yang lama, benteng Kalitan, semua para Kumpeni.

14
31. Ing Dilanggu ingkang kobar dipun tilar, tan wontën Landa siji, ing
Dilanggu gonnya, wus ngili ing Kalitan, barange wau Kumpëni,
ingkang katilar, sadaya den rayahi.

Di Dilanggu yang terbakar ditinggal, tidak ada seorang Belandapun, di


Dilanggu tempatnya, sudah mengungsi di Kalitan, barang-barang milik
Kumpeni, yang ditinggal, semua dirampas.

32. Wadya kraman kang samya wau bërandhal, kreta kalawan picis,
sami rinayahan, dhumatëng wadya kraman, datan wontën ingkang
kari, wus binrësihan, brandhal ingkang grëmëti.

Pasukan makar yang merampas semua, kereta dan uang picis, semua
dirampas, oleh pasukan makar, tidak ada yang tertinggal, sudah
dibersihkan, para berandal yang merampas.

33. Datan wontën dandanan kang kaliwatan, beteng Dilanggu ënting,


nora nana jalma, ngumpul wontën Kalitan, Dilanggu kalangkung
sëpi, aneng Kalitan, kocap Sultan neng Pëngging.

Tidak ada barang-barang yang terlewatkan, benteng Dilanggu kosong,


tidak ada orang, berkumpul di Kalitan, Dilanggu sangat sepi, berada di
Kalitan, diceritakan Sang Sultan berada di Pengging.

34. Apan karsa nglurugi marang Kalitan, wus rëmbug pra priyayi,
mung ngantosi dina, bala rëmbug sadaya, kantun angkatira sami,
dhatëng Kalitan, nëngna wau ing Pëngging.

Kemudian hendak mendatangi menyerbu ke Kalitan, sudah berunding


para priyayi, hanya menunggu hari, pasukan bersepakat semua, mereka
tinggal berangkat, menuju Kalitan, biarkan yang berada di Pengging.

35. Kang kocap Pangeran Adinëgara, lan Pangran Hangabehi, balane


sëntana, sampun sami adandan, Jëng Pangeran Hangabehi, arsa
kondura, mring Surakarta nagri.

Yang diceritakan Pangeran Adinegoro, dan Pangeran Hangabehi,


pasukan kerabat kerajaan, mereka sudah bersiap-siap, Sang Pangeran
Hangabehi, hendak pulang, ke kota Surakarta.

36. Tan adangu Pangeran genira dandan, wus rakit gya lumaris,
tan kawarna neng marga, tan dangu sigra prapta, ing Surakarta
nëgari, sabalanira, pangran ingkang kakalih.

15
Tidak lama Sang Pangeran bersiap-siap, sesudah siaga segera berangkat,
tidak diceritakan di dalam perjalanan, tidak lama segera sampai, di kota
Surakarta, beserta pasukannya, kedua pangeran itu.

37. Sadayane abdine wus samya prapta, neng Surakarta nagri, rawuh
dalëmira, pangran kakalih samya, Pangran Dipati Ngabehi,
Adinëgara, nëngna pangeran kalih.

Semua abdinya sudah sampai, di kota Surakarta, sampai di rumahnya,


kedua pangeran semua, Pangeran Adipati Hangabehi, Adinegoro,
biarkan kedua pangeran itu.

38. Gënti kocap baris Pëngging sampun mangkat, nglurug Kalitan


biting, kraman wus umangkat, nuju dintën Anggara, ing wulan
Sura marëngi, ping slawe dina, wong Pëngging samya baris.

Ganti yang diceritakan barisan Pengging sudah berangkat, mendatangi


menyerbu benteng Kalitan, para makar sudah berangkat, pada hari
Selasa, bertepatan di bulan Muharam, pada tanggal dua puluh lima,
orang-orang Pengging semua berbaris.

39. Pan akathah barise wadya këraman, Jëng Sultan sampun prapti,
Ngasëm ngrangkah Cina, kang baris neng Kalitan, Tuwan Jendral
Panggen nënggi, prajuritira, kraman dipun tadhahi.

Dan banyak barisan pasukan makar, Sang Sultan sudah sampai, di


Ngasem perbatasan Pecinan, barisan berada di Kalitan, Tuan Jenderal
Panggen menunggu, prajuritnya, para makar dihadapi.

40. Pan akathah prajurit kraman kang pëjah, kenging mriyëm


Kumpëni, baris kraman bubar, Jëng Sultan Heru Cakra, lumampah
mangidul nënggih, bala sadaya, Jëng Sultan dhatëng Piji.

Dan banyak prajurit makar yang mati, terkena meriam Kumpeni,


barisan makar bubar, Sang Sultan Heru Cokro, juga melarikan diri ke
selatan, beserta pasukannya, Sang Sultan menuju Piji.

41. Dhatëng Gawok Jëng Sultan sëbalanira, Jëng Sultan prapteng Piji,
lajëng mësanggrahan, neng dhusun Pëcelengan, Kangjëng Sultan
lajëng baris, neng Pëcelengan, ngantos dumugi Baki.

16
Sang Sultan beserta pasukannya menuju Gawok, Sang Sultan sampai
di Piji, kemudian beristirahat, di desa Pecelengan, Sang Sultan terus
berbaris, di Pecelengan, hingga sampai di Baki.

42. Majaraga dumugi dhusun ing Manang, dene kang nindhihi, Kërta
Pëngalasan, lawan Prawiradirja, Pangeran Nataprajeki, gënti
kocapa, Surakarta nëgari.

Mojorogo sampai di desa Manang, sedangkan yang memimpin,


Kerto Pengalasan, dan Prawirodirjo, Pangeran Notoprojo, ganti yang
diceritakan, kota Surakarta.

43. Tan kawarna Jëng Sinuwun Surakarta, kocapa kang Kumpëni,


sampun kaprëcayan, marang Jëng Sunan Sala, Kumpëni kala
rumiyin, wus tëpang lama, yen nëdha bantu jurit.

Tidak diceritakan Sang Sunan Surakarta, diceritakan Kumpeninya,


sudah percaya, kepada Sang Sunan Solo, Kumpeni waktu dahulu, sudah
kenal lama, bahwa minta bantuan perang.

44. Milanipun Jëng Sultan sampun miyarsa, karëpe wong Kumpëni,


datan mawi nëdha, bala bantuning yuda, Sunan mirsa kraman
baris, sampun samëkta, Jëng Sunan amëdali.

Makanya Sang Sultan sudah mendengar, kehendak orang-orang


Kumpeni, tidak dengan minta, bala bantuan perang, Sang Sunan
mendengar para makar berbaris, sudah bersiaga, Sang Sunan keluar.

45. Kawarnaa Jëng Sunan asung nuwala, dhatëng dalëmireki, mring


Natakusuman, lawan Jayadiningrat, tan dangu surat wus prapti,
gancanging kanda, surat winaca aglis.

Diceritakan Sang Sultan memberi surat, ke rumahnya, kepada


Notokusuman, serta Joyodiningrat, tidak lama surat sudah sampai,
singkat cerita, surat segera dibaca.

46. Pan mëngkana bubukanipun nuwala, kinon mëdal ing jawi, lajëng
samya dandan, sakehe ingkang wadya, Jadiningrat den timbali,
dhatëng Pangeran, tan dangu nulya prapti.

Beginilah pembukaan suratnya, disuruh keluar di luar, terus semua


bersiap-siap, seluruh pasukannya, Joyodiningrat dipanggil, oleh Sang
Pangeran, tidak lama kemudian datang.

17
47. Raden Arya Jayadiningrat wus prapta, sarta samëkteng jurit, saha
wadyanira, wus tata sigra budhal, sawadyanira angiring, rame
swaranya, lampahe kang pra prajurit.

Raden Aryo Joyodiningrat sudah datang, serta sudah siap berperang,


beserta pasukannya, sesudah bersiaga segera berangkat, seluruh
pasukannya mengiringi, ramai suaranya, perjalanan para prajuritnya.

48. Tan kawarna lampahira aneng marga, kocapa sampun prapti,


aneng ing barisan, sadaya praptanira, wontën dhusun nama Baki,
ing Majaraga, baris kraman miyarsi.

Tidak diceritakan perjalanannya di jalan, diceritakan sudah sampai,


di dalam barisan, semuanya sampai, di desa yang bernama Baki, di
Mojorogo, barisan makar sudah mendengar.

49. Pan sëmana lajëng campuh ing ngayuda, rame genira jurit, kathah
wadya pëjah, kraman akeh pralena, Kumpëni angëdrel wani,
pating gulimpang, wangke sungsun atindhih.

Kemudian ketika itu terus bertempur dalam peperangan, ramai mereka


berperang, banyak pasukan yang mati, para makar banyak yang mati,
Kumpeni memberondong dengan berani, bergelimpangan, bangkai
bertumpuk-tumpuk.

50. Punang kraman yudane kabuya-buya, mlajëng binujung wani,


mring wong Surakarta, kraman larut sëdaya, lumajëng ngantos
dumugi, sadayanira, prapteng ing Toyawilis.

Para makar perangnya dikejar-kejar, berlari diburu dengan berani, oleh


orang-orang Surakarta, para makar hanyut semua, melarikan diri hingga
sampai, semuanya, sampai di Banyubiru.

51. Gënti kocap Rahaden Jayadiningrat, Dyan Jayaningrat sami,


wangsul pangusirnya, Prangan Natakusuma, wontën ingkang
përang malih, neng dhusun nama, ing Cëmani goneki.

Ganti yang diceritakan Raden Joyodiningrat, Raden Joyoningrat


bersama mereka, kembali dari pengusirannya, Pangeran Notokusumo,
ada yang berperang lagi, di desa yang bernama, Cemani tempatnya.

18
52. Langkung rame yudane wadya këraman, tan wontën mangga
pulih, kathah kang kabranan, wadya ing Surakarta, këraman akeh
kang mati, tumbak kumrapyak, bëdhil lir gëlap muni.

Sangat ramai berperangnya pasukan makar, tidak ada yang mau berhenti
perang, banyak yang terluka, pasukan Surakarta, para makar banyak
yang mati, suara tombak beradu, tembakan bagaikan petir berbunyi.

53. Wusnya dangu yudane kraman kasoran, wus padha mlayu ngënthi,
ing Gawok wus prapta, Pangran Aryamëtaram, lan Pangran
Adinëgari, kang banda yuda, wontën dhusun ing Piji.

Sesudah lama para makar kalah perang, mereka berlari kencang, sudah
sampai di Gawok, Pangeran Aryomataram, dan Pangeran Adinegoro,
yang sedang berperang, berada di desa Piji.

54. Aprang wontën ing Piji sakëdhap kawal, Pangran Aryamëtawis,


kraman wus lumajar, den usir paranira, Pangeran Adinëgari,
samya lumajar, binujung ngantos dugi.

Perang di Piji sebentar bisa ditanggulangi, Pangeran Aryomataram, para


kraman sudah melarikan diri, diusir perginya, Pangeran Adinegoro,
mereka melarikan diri, diburu hingga sampai.

55. Pan dumugi dhusun Kuwël pëlayunya, kang ngungsir den andhëgi,
wangsul ënggenira, mring beteng ing Kalitan, pëpëkan para
prajurit, tuwin Wëlanda, sarta angati-ati.

Sampai di desa Kuwel pelariannya, yang mengusir dihentikan, kembali


ke tempatnya, ke benteng di Kalitan, bersiap-siap para prajurit, dan
orang-orang Belanda, juga berhati-hati.

56. Gënti kocap Kumpëni aneng Kalitan, ing Sapar tanggal siji, Sënen
dinanira, Jendral Panggen sëdhiya, akarsa sira nglurugi, dhatëng
Celengan, kraman gennya miranti.

Ganti yang diceritakan Kumpeni di Kalitan, pada bulan Shafar tanggal


satu, pada hari Senin, Jenderal Panggen bersiaga, dia hendak datang
menyerbu, ke Pecelengan, para makar bersiap-siap.

57. Rowangira ingkang arsa nglurugana, Klathen para Kumpëni,


Wëlanda sumahab, kang wau wus sarëmbag, lawan Sunan
Kartawani, gilig rëmbagnya, lawan Sri Narapati.

19
Temannya yang hendak datang menyerbu, Klaten para Kumpeni,
orang-orang Belanda berkumpul, yang sudah berunding, dengan Sunan
Kartasura, sudah sepakat perundingannya, dengan Sang Raja.

58. Kangjëng Sunan Surakarta Hadiningrat, wus kangsen lan


Kumpëni, sëmana wus dandan, prajurit Surakarta, lawan prajurit
Kumpëni, wusnya rëmbagan, lan Landa Klathen nguni.

Sang Sunan Surakarta Hadiningrat, sudah bersepakat dengan Kumpeni,


ketika itu sudah bersiap-siap, prajurit Surakarta, dan prajurit Kumpeni,
sesudah berunding, dengan Belanda Klaten pada waktu dahulu.

59. Wong Wëlanda barise sampun atata, kabeh sampun arakit, kocap
duk sëmana, baris kang sangking wetan, atëmpuk kalawan baris,
Klathen kambuhnya, sami sarëng lumaris.

Orang-orang Belanda barisannya sudah tertata, semua sudah bersiaga,


diceritakan pada waktu itu, barisan yang dari timur, bertemu dengan
barisan, Klaten teman lamanya, mereka berangkat bersama.

60. Parëng mangkat Wëlanda lan baris Jawa, prajurite Sang Aji,
Nateng Surakarta, akëbat lampahira, duk sëmana sampun prapti,
ayun-ayunan, campuh ramening jurit.

Bersama berangkat barisan Belanda dan Jawa, prajurit Sang Raja, Raja
di Surakarta, cepat perjalanannya, ketika itu sudah sampai, berhadap-
hadapan, ramai bertempur dalam peperangan.

61. Mundur ngilen Kangjëng Sultan Heru Cakra, Jendral Panggen


nadhahi, prajurit Kalitan, kraman kasurang-surang, Wëlanda
angëdrel wani, ramening yuda, lir gabah den intëri.

Mundur ke barat Sang Sultan Heru Cokro, Jenderal Panggen


menghadang, prajurit Kalitan, para makar terlunta-lunta, Belanda
memberondong dengan berani, ramainya peperangan, bagaikan gabah
diputar-putar di atas tampah.

62. Kangjëng Sultan astane kering kang këna, katiban polo kërbin,
epek-epek kiwa, nanging rinëkseng Suksma, tan pasah angëmu
gëtih, karaos gërah, Sultan lengser ngunduri.

20
Sang Sultan tangan kirinya yang terkena, kejatuhan peluru karaben,
telapak tangan kiri, tetapi masih dijaga Tuhan, tidak mempan bengkak
mengandung darah, terasa sakit, Sang Sultan mundur menghindari.

63. Milanipun Kangjëng Sultan Heru Cakra, sëlot apës ing jurit, sring
supe mring wëkas, ujare ingkang swara, sring tëkabur jroning
galih, wëlinging swara, ywa tëkabur sireki.

Makanya Sang Sultan Heru Cokro, semakin sial dalam peperangan,


sering lupa dengan pesan, ucapan dari suara, sering takabur di dalam
hati, peringatan suara itu, jangan takabur kamu ini.

64. Yen jubriya pan wurung dadi Narendra, yen lamun ora kibir,
tulus karsanira, amëngku ing Mëtaram, sëjatine wus pinasthi, ing
duryating Hyang, Lokhil Makful tan gingsir.

Kalau sombong akan gagal menjadi Raja, tetapi kalau tidak sombong,
tulus kehendaknya, akan menduduki Mataram, sebenarnya sudah
dipastikan, di dalam keberuntungan dari Tuhan, Lauh Mahfudh tidak
berubah.

65. Lajëng anjog Jëng Sultan ing Sëkarganda, Heru Cakra Dul
Khamid, kendël Sëkarganda, sawadya bala Kusya, Pangeran
Nataprajeki, lan Pëngalasan, mundur dhatëng ing Wëdhi.

Sang Sultan kemudian langsung menuju ke Kembangarum, Heru Cokro


Abdul Hamid, berhenti di Kembangarum, beserta pasukan Kusya,
Pangeran Notoprojo, dan Pengalasan, mundur menuju ke Wedi.

66. Pan kacrita lamun kanin trah kusuma, wëktu carita mangkin,
dhingin nora nana, satriya këneng gaman, wëktu mangkin
nandhang kanin, nanging tan pasah, akeh truh bumi gonjing.

Diceritakan kalau terluka keturunan kesatria, pada waktu cerita


sekarang, dahulu tidak ada, kesatria terkena senjata, pada waktu
sekarang menderita luka, tetapi tidak mempan, banyak gerimis bumi
bergoncang.

---oooOooo---

21
PUPUH XXVIII
MËGATRUH

1. Trah kusuma rëmbësing wau kang madu, wijiling wong kang


nyukla nyukli, amangan ing kayu gapuk, basa madu mono wali,
maksih anak-putu Katong.

Keturunan kesatria tetesan madu, keluar dari orang yang sebentar pergi
sebentar pulang, makan kayu lapuk, kata madu itu wali, masih anak-
cucu Raja.

2. Nanging wontën gara-garane Sang Prabu, Heru Cakra Ngabdul


Khamid, tëdhake wong tapa gunung, grahana surya lan sasi, cahya
sasi abang marong.

Tetapi ada huru-haranya Sang Sultan, Heru Cokro Abdul Hamid,


keturunan orang yang bertapa di gunung, gerhana matahari dan bulan,
cahaya bulan merah membara.

3. Sang Hyang Arka cahyane sëmu abiru, pratalane gonjang-ganjing,


surya këmbar kongsi tëlu, nyatane apës Nërpati, Heru Cakra
ngatut boyong.

Sang Matahari cahayanya agak biru, bumi bergoncang, matahari


kembar sampai tiga buah, kenyataannya sial Sang Sultan, Heru Cokro
ikut ditawan.

4. Wus rumaos Sang Nata sajroning kalbu, wus karsane Hyang Widi,
benjing Sang Nata atëluk, kaboyong marang Kumpëni, wus kraos
wau Sang Katong.

Sang Sultan sudah merasa di dalam hati, sudah kehendak Yang Maha
Esa, kelak Sang Sultan takluk, ditawan oleh Kumpeni, Sang Sultan
sudah merasa.

5. Milanira Sang Nata ing lampahipun, samarga-marga prihatin,


lampahe Sultan mangidul, tan mawi solah Sang Aji, lampahira
mandhëg mayong.

22
Makanya Sang Sultan di dalam perjalanannya, sepanjang jalan prihatin,
Sang Sultan berjalan ke selatan, Sang Sultan tanpa bertindak apapun,
perjalanannya ragu-ragu.

6. Prapteng dhusun ing pasisir ingkang kidul, Sang Nata ngulari


wangsit, salaminira lumaku, tan angsal wangsit Sang Aji, wus
takdire ing Hyang Manon.

Sampai di desa di pantai selatan, Sang Sultan mencari petunjuk, selama


perjalanannya, Sang Sultan tidak mendapatkan petunjuk, sudah takdir
dari Yang Maha Melihat.

7. Datan kandhëg lampahe Sultan andarung, lajëng dhatëng pasisir,


wus munggah dhatëng ring gunung, Jëng Sultan molar jro ngati,
asru nuhun mring Hyang Manon.

Tidak berhenti perjalanan Sang Sultan berlanjut, terus menuju pantai,


sudah naik ke atas gunung, Sang Sultan mondar-mandir di dalam hati,
memohon dengan sangat kepada Yang Maha Melihat.

8. Ardi Jalër Jëng Sultan pan sampun mudhun, sangking luhuripun


ardi, wadyanipun atut pungkur, balanira kantun këdhik, kang
dherek dhatëng Sang Katong.

Sang Sultan sudah turun dari gunung Lanang, dari atas gunung,
pasukannya mengikuti dari belakang, pasukannya tinggal sedikit, yang
ikut kepada Sang Sultan.

9. Sampun anjog Jëng Sultan dhatëng ing dhusun, Ngrëjasa namaning


desi, mësanggrahan Sang Prabu, Heru Cakra Ngabdul Khamid,
wus mëmpën wau Sang Katong.

Sang Sultan sudah langsung menuju desa, Rejoso nama desanya,


beristirahat Sang Sultan, Heru Cokro Abdul Hamid, sudah bersembunyi
Sang Sultan.

10. Langkung susah Sang Nata neng Ngrëjaseku, dene suda kang
prajurit, amung kantun tigang ewu, ingkang sami santri-santri,
kang seba maring Sang Katong.

Sang Sultan sangat sedih di Rejoso itu, karena berkurang prajuritnya,


hanya tinggal tiga ribu orang, mereka yang santri-santri, yang
menghadap kepada Sang Sultan.

23
11. Kiwa-tëngën ing dhusun Rëjasa suyud, saurut Rëjasa nangkil,
wetan kulon ëlor kidul, sadaya samya sumiwi, dhumatëng wau
Sang Katong.

Di kiri-kanan desa Rejoso tunduk, sepanjang desa Rejoso menghadap,


timur barat utara selatan, mereka semua menghadap, kepada Sang
Sultan.

12. Ënëngëna caritanira Sang Prabu, Heru Cakra Ngabdul Khamid,


gëntiya ingkang winuwus, ingkang ngubar anjog Wëdhi, wus
prapta priyayi karo.

Biarkan cerita tentang Sang Sultan, Heru Cokro Abdul Hamid, ganti
yang diceritakan, yang mengejar langsung menuju Wedi, sudah sampai
kedua priyayi itu.

13. Praptanira priyayi roro umatur, dhumatëng wau Sang Aji,


Kangjëng Sultan sigra dangu, solahe anjog ing Wëdhi, Pangran
Natapraja kang wong.

Kedatangan kedua priyayi itu berkata, kepada Sang Sultan, Sang Sultan
segera bertanya, tindakannya langsung menuju Wedi, orang itu adalah
Pangeran Notoprojo.

14. Kang satunggal Pëngalasan naminipun, wus matur priyayi kalih,


ature amëlas ayun, angsal pitulunging Widi, maripat kula meh
kothong.

Yang seorang lagi Pengalasan namanya, sudah berkata kedua priyayi


itu, ucapannya sangat memelas, memperoleh pertolongan Yang Maha
Esa, mata kami hampir kosong.

15. Yen kengëtan mimis gëng sajëruk gulung, kawula tan nyana urip,
sangking karsane Hyang Agung, wus matur tiyang kakalih, ature
dhatëng Sang Katong.

Kalau ingat peluru sebesar jeruk Bali, kami tidak menyangka bisa
hidup, karena kehendak Yang Maha Agung, sudah berkata kedua orang
itu, katanya kepada Sang Sultan.

16. Apan sami ature ing kalihipun, ngandika wau Sang Aji,
pangandikanira arum, wus karsanira Hyang Widi, besuk tëluk
sakehing wong.

24
Karena sama ucapan keduanya, Sang Sultan berkata, ucapannya pelan,
sudah menjadi kehendak Yang Maha Esa, kelak semua orang akan
takluk.

17. Ingsun batang balaningsun sëdayeku, besuk ingkang santri-


santri, akathah kang sami tëluk, iya marang si Kumpëni, sun rasa
pangrasaning ngong.

Saya menebak semua pasukanku, kelak yang santri-santri, banyak


mereka yang takluk, iya kepada si Kumpeni, saya merasakan perasaanku.

18. Ënëngëna gëntiya ingkang winuwus, ingkang jagi wontën biting,


tëdhake wong tapa gunung, Pangeran namanireki, Kusumayuda
Sang Anom.

Biarkan ganti yang diceritakan, yang berjaga di benteng, keturunan


orang yang bertapa di gunung, namanya Pangeran, Kusumoyudo Sang
Pangeran Muda.

19. Ingkang aneng ing beteng Sumbëran tugur, pan rada gërah panas
tis, arëmbag pan arsa kondur, dhatëng Surakarta nagri, rëmbag
lan Kumpëni kang wong.

Yang berjaga di benteng Sumberan, dia agak sakit panas dingin,


berunding akan pulang, ke kota Surakarta, orang itu berunding dengan
Kumpeni.

20. Sakathahe Kumpëni kang sami tugur, ing beteng Sumbëran sami,
sadaya wus samya rëmbug, Pangran kondur anjurungi, pra mantri
takon-tinakon.

Seluruh Kumpeni yang sedang berjaga, mereka di benteng Sumberan,


mereka semua sudah berunding, mendukung Sang Pangeran pulang,
para mantri saling bertanya.

21. Napa inggih Pangran badhe karsa kondur, ujare Kyai Ngabehi,
Rësadiwirya amuwus, kula mirëng mila inggih, yen mangkotën
kula bolos.

Apakah iya Sang Pangeran akan pulang, kata Kyai Hangabehi,


Resodiwiryo berkata, saya mendengar memang iya, kalau begitu saya
membolos.

25
22. Mas Tumënggung Sawunggaling ingkang kantun, wus mangkat
sangking ring biting, Jëng Pangeran sampun kondur, anuju ing
dintën Këmis, tanggal kaping sanga marong.

Mas Tumenggung Sawunggaling yang ditinggal, sudah berangkat


dari benteng, Sang Pangeran sudah pulang, pada hari Kamis, tanggal
sembilan membara.

23. Wulan Sapar ing Jimakir taunipun, sinëngkalan kondurneki,


Pangeran Sumayudeku, wërna lima tungganganing, ngiring mantri
Baglen karo.

Bulan Shafar tahun Jimakir, dilambangkan kepulangannya,


Pangeran Kusumoyudo, wërna lima tungganganing (berwarna lima
tunggangannya), kedua mantri Bagelen mengiringi.

24. Sadiwirya Wangsacitra samya tumut, dhumatëng wau nëgari,


sëdaya wus mangkat sampun, dalu pësanggrahan sami, akathah
tiyang kang nonton.

Resodiwiryo Wongsocitro ikut semua, ke kota itu, semua sudah


berangkat, pada malam hari mereka beristirahat, banyak orang yang
menonton.

25. Sarëng enjing Pangeran agya lumaku, asipëng naming sawëngi,


neng Salatiga puniku, sarëng enjing gya lumaris, wus samya dalu
amondhok.

Begitu pagi hari Sang Pangeran segera berangkat, menginap hanya


semalam, itu di Salatiga, begitu pagi hari segera berangkat, sudah
malam mereka menginap.

26. Sampun enjing mangkat sangking Bayawangsul, dumugi ing


Purwadadi, asipëng namung sadalu, enjing byar samya lumaris,
rame kang wong sami nonton.

Sesudah pagi hari berangkat dari Boyolali, sampai di Purwodadi,


menginap hanya semalam, fajar pagi hari mereka berangkat, ramai
orang-orang yang menonton.

27. Gënti kocap kang Sinuwun wau mëthuk, amëthuk neng Purwadadi,
sëmana sami amuwus, Pangeran lawan Sang Aji, Jëng Sunan lajëng
ngadhaton.

26
Ganti yang diceritakan Sang Sunan menjemput, menjemput di
Purwodadi, ketika itu mereka berbincang, Sang Pangeran dan Sang
Sunan, Sang Sunan kemudian pulang ke istana.

28. Jëng Pangeran wus panggihan lan Sang Prabu, ingatag kondur
tumuli, tan kawarna malihipun, wus lajëng lampahireki, rawuh
dalëm keh wong nonton.

Sang Pangeran sudah bertemu dengan Sang Sunan, disuruh segera


pulang, tidak diceritakan selanjutnya, sudah terus perjalanannya,
sampai di rumah banyak orang yang menonton.

29. Wusnya rawuh Pangeran sawadyanipun, andherek kang ampil-


ampil, kang garwa sami amëthuk, sakathahe para putri, tiyang alit
kathah nonton.

Sesudah pulang Sang Pangeran beserta pasukannya, para selir


mengikutinya, isteri-isterinya menjemput, seluruh para puteri, orang-
orang kecil banyak yang menonton.

30. Wus malëbët Pangeran ing dalëmipun, Jëng Pangran pinarak


kursi, sineba kang para arum, rampadan sampun sumaji, dhaharan
jënang lan lëmpog.

Sang Pangeran sudah masuk ke dalam rumahnya, Sang Pangeran


singgah di kursi, dihadap oleh para pelayan, hidangan sudah tersaji,
makanan jenang dan lempog.

31. Pisang ëmas pijëtan kalawan dhuku, duren nangka lawan manggis,
kokosan rambutan mundhu sawo Landa puki anjing, sawo Jawa
gëdhang Ambon.

Pisang ëmas pijëtan dan duku, durian nangka dan manggis, kokosan
rambutan mundu sawo Belanda puki anjing, sawo Jawa pisang Ambon.

32. Jëruk këprok jambu pëthak jambu lumut, dërsana lan jambu
konyit, pëlëm dodol pëlëm madu, pëlëm bala pëlëm gënjik, pëlëm
sëngir bapang santog.

Jëruk keprok jambu putih jambu lumut, dersana dan jambu kuning,
mangga dodol mangga madu, mangga bala mangga genjik, mangga
sengir bapang santog.

27
33. Nangka jingga salak manis këmbang arum, srikaya lan pëlëm
blënyik, sadaya sama akumpul, woh-wohan kang manis-manis,
nanas wërsah munggeng bokor.

Nangka jingga salak manis kembang arum, srikaya dan mangga blenyik,
mereka semua berkelompok, buah-buahan yang manis-manis, nanas
wersah di dalam bokor.

34. Sakehe pala jambu kumpul jambu, woh-wohan awarni-warni,


piring jëgong wadhahipun, jënewër neng gëlas alit, brëduwin
anggur sumaos.

Seluruh buah jambu berkelompok dengan jambu, buah-buahan


bermacam-macam, piring cembung wadahnya, minuman keras di
dalam gëlas kecil, anggur keras tersaji.

35. Tan kawarna Pangeran nendra wus wungu, kocapa sampun


alinggih, wus dangu genira wungu, denira wau aguling, lajëng
dhahar lan Sang Sinom.

Tidak diceritakan Sang Pangeran yang tidur sudah bangun, diceritakan


sudah duduk, sudah lama dia bangun, dari tidurnya, terus makan dengan
Sang Putri.

36. Pan agënti caritane kang winuwus, Rësadiwirya Ngëbehi, lan Kyai
Wangsacitreku, anuju taun Jimakir, dina Sëlasa mëncorong.

Dan ganti ceritanya yang diceritakan, Hangabehi Resodiwiryo, dan


Kyai Wongsocitro itu, pada tahun Jimakir, hari Selasa bercahaya.

37. Tanggalipun gangsal wëlas wulan Mulud, Rësodiwirya Ngëbehi,


lawan Wangsacitra iku, kinon sami dhatëng ngloji, manggihi
Rësiden kang wong.

Tanggal lima belas bulan Rabi’ul Awal, Hangabehi Resodiwiryo,


dan Wongsocitro itu, mereka disuruh datang ke loji, orang-orang itu
menemui Sang Residen.

38. Sakancane wus prapteng ing ngloji sampun, sapraptanira ing


ngloji, dhawuhe Rësidhen wau, iya sapa ingkang dadi, pitadosira
Sang Anom.

28
Beserta temannya sudah sampai di loji, sesampainya di loji, Residen
berkata, iya siapa yang menjadi kepercayaan Sang Pangeran.

39. Ki Ngabehi alon genira umatur, mring Rësidhen kang Wëlandi,


ature inggih puniku, Wangsadrana kang wëwangi, kang sampun
dadi pitados.

Ki Hangabehi berkata dengan pelan, kepada Residen Belanda itu,


katanya iya itu, Wongsodrono namanya, yang sudah menjadi orang
kepercayaannya.

40. Apan sampun sëdaya sami lumaku, mring Magëlang kang nëgari,
Ki Wangsadrana tan kantun, angiring dhatëng Ngabehi, Sadiwirya
maksih anom.

Kemudian mereka semua sudah berangkat, ke kota Magelang, Ki


Wongsodrono tidak ketinggalan, mengiringi Hangabehi, Resodiwiryo
yang masih muda.

41. Ya ta enggal lampahe ingkang jinujug, tan kawarna aneng margi,


kocapa sampuning rawuh, wontën Maglang kang nëgari, marëk
mring Rësiden kang wong.

Ya bergegas perjalanannya ke tempat yang dituju, tidak diceritakan di


perjalanannya, diceritakan sesudah sampai, di kota Magelang, orang-
orang itu menghadap kepada Sang Residen.

42. Ënëngëna kang marak Risiden iku, kocapa wau kang kari, neng
Surakarta anëngguh, Wangsacitra Hangabehi, Kyai Sutarëja kang
wong.

Biarkan yang sedang menghadap Sang Residen, diceritakan orang-


orang yang ditinggal, yaitu di Surakarta, Hangabehi Wongsocitro, Kyai
Sutorejo orang-orang itu.

43. Kyai Ngabehi Wanayuda inggih kantun, lami-lami nusul malih,


sadaya sakancanipun, nusul mring Magëlang nagri, anjog ngloji
manggen neng jro.

Kyai Hangabehi Wonoyudo juga ditinggal, lama-kelamaan menyusul


lagi, semua beserta teman-temannya, menyusul ke kota Magelang,
langsung menuju loji ke bertempat di dalam.

29
44. Wusnya lami sarëng angsal ing nëm santun, Arumbinang
nusul sami, dhumatëng wus prapta anjog ing ngloji, pinrentah
Rumbinang kang wong.

Sesudah lama begitu memperoleh enam bulan, Arumbinang menyusul


mereka, sesudah sampai langsung menuju loji, Arumbinang diperintah
oleh orang itu.

45. Arumbinang atampa parentah sampun, prentahe palëk Kumpëni,


Arumbinang kinen nusul, dhatëng Manoreh ajagi, Klerës neng
Manoreh manggon.

Arumbinang sudah menerima perintah, perintah dari Kumpeni,


Arumbinang disuruh menyusul, ke Menoreh untuk menjaga, Cleerens
yang bertempat di Menoreh.

46. Damël beteng sadaya kang wadya agung, Arumbinang ken


ngrencangi, dhatëng Kurnel Klerës iku, Arumbinang wus lumaris,
wus prapteng Manoreh anjog.

Semua pasukan yang banyak membuat benteng, Arumbinang disuruh


menemani, oleh Kolonel Cleerens itu, Arumbinang sudah berangkat,
sudah sampai langsung menuju Menoreh.

47. Lami-lami Rumbinang lajëng kautus, kang ngutus bangsa


Kumpëni, Arumbinang dyan lumaku, dhatëng Wanasaba nagri,
wus kesah ingkang kinongkon.

Lama-kelamaan Arumbinang kemudian diutus, yang mengutus bangsa


Kumpeni, Arumbinang kemudian berangkat, ke kota Wonosobo, sudah
pergi yang disuruh.

48. Pan lumampah lan sawadya balanipun, Arumbinang wus lumaris,


wus minggah ajujur gunung, wadya balanira ngiring, prapteng
Wanasaba anjog.

Kemudian berangkat beserta pasukannya, Arumbinang sudah berangkat,


sudah naik lurus ke atas gunung, pasukannya mengiringinya, sudah
sampai langsung menuju Wonosobo.

49. Ënëngëna kang neng Wanasaba gunung, Arumbinang lan Wëlandi,


gëntiya ingkang winuwus, Pangran Surakarta nagri, Kangjëng
Sunan ingkang kongkon.

30
Biarkan yang berada di gunung Wonosobo, Arumbinang dan Belanda,
ganti yang diceritakan, Sang Pangeran di kota Surakarta, Sang Sunan
yang menyuruh.

50. Mring Sëmarang katëlu wau kautus, dhumatëng Sri Narapati,


Pangeran wus tampa dhawuh, gancange carita nguni, Pangeran
dandan wus miyos.

Ketiganya disuruh ke Semarang, oleh Sang Sunan, Sang Pangeran


sudah menerima perintah, singkat ceritanya dahulu, Sang Pangeran
sudah bersiap-siap untuk berangkat.

51. Dyan lumampah Jëng Pangeran sadayeku, datan kawarna ing


margi, wadya bala pan gumrudug, pangeran titiga ngiring,
Panëmbahan Bumi Katong.

Kemudian Sang Pangeran berangkat semua, tidak diceritakan di


perjalanannya, dan pasukannya berbondong-bondong, mengiringi
ketiga pangeran itu, Panembahan Bumi Katong.

52. Kalihipun Jëng Gusti Purbaya tumut, katiga Pangran Ngabehi,


ken manggihi Jendral iku, wontën nagri ing Sëmawis, dutanira
Sang Akatong.

Yang kedua Sang Gusti Purboyo ikut, ketiga Pangeran Hangabehi,


disuruh menemui Sang Jenderal, di kota Semarang, sebagai utusan
Sang Sunan.

53. Para mantri sadaya pan sampun tumut, dherek dhatëng ing
Sëmawis, kang nama Raden Mas Dhukut, Raden Mayor
rowangneki, Kërtawinata punang wong.

Para mantri semua sudah ikut, ikut ke Semarang, yang bernama Raden
Mas Dukut, Raden Mayor temannya, orang itu adalah Kertowinoto.

54. Ki Ngabehi Sadiwirya tumut pungkur, dherek dhatëng ing Sëmawis,


Pangeran lampahe laju, asipëng wontën ing Candi, numpak rata
datan alon.

Ki Hangabehi Resodiwiryo mengikuti dari belakang, ikut ke Semarang,


perjalanan Sang Pangeran cepat, menginap di Candi, naik kereta tidak
perlahan.

31
55. Sarawuhe Pangeran Sëmarang wau, lajëng anjog dhatëng ngloji,
Pangeran pan sampun rawuh, dintën Sukra amarëngi, praptanya
lajëng kaprëgok.

Sesampainya Sang Pangeran di Semarang, terus langsung menuju


ke loji, Sang Pangeran sudah sampai, bertepatan dengan hari Jumat,
setibanya terus bertemu.

56. Sampun panggih Komasaris lajëng lungguh, Pangeran alënggah


kursi, Pangeran sëkawan nëngguh, wus tata pinarak kursi,
gunëman sami gumrumong.

Sesudah bertemu dengan Komisaris terus duduk, Sang Pangeran duduk


di kursi, yaitu keempat Pangeran itu, sudah singgah di kursi, mereka
berbincang-bincang dengan suara berdengung.

57. Sinuguhan Dipati Sëmarang tumut, samya dhahar wontën ngloji,


arame apista umyung, Pangeran wontën ing ngloji, akathah wong
kang anonton.

Diberi suguhan Adipati Semarang ikut, mereka makan di dalam loji,


berpesta ramai sekali, Sang Pangeran berada di loji, banyak orang yang
menonton.

58. Wus adangu Pangeran samya arëmbug, lan Kumpëni Komasaris,


antara gilig kang rëmbug, Pangran arsa kondur sami, sangking
Sëmarang kemawon.

Sudah lama Sang Pangeran berunding, dengan Komisaris Kumpeni,


tidak lama sudah sepakat perundingannya, para Pangeran hendak
pulang, dari Semarang saja.

59. Pan atata Pangeran sawadyanipun, wus tata pikulan sami, pra
mantri kang ngrakit jagul, Pangeran ngandika aris, dhatëng
Mantri Baglen kang wong.

Kemudian bersiap-siap Sang Pangeran beserta pasukannya, sudah


mempersiapkan alat pemikul, para mantri yang mempersiapkan alat
pemikulnya, Sang Pangeran berkata lembut, kepada Mantri Bagelen
orangnya.

32
60. Iya sira paran yen manira kondur, Ngëbehi umatur aris, dhuh
Gusti Bëndraningsun, gotongan tinata sami, kang dandosi tiyang
Bojong.

Iya kamu bagaimana kalau kamu pulang, Hangabehi berkata pelan,


aduh Gusti Tuanku, pikulan sudah tertata semua, yang mempersiapkan
orang-orang Bojong.

61. Jëng Pangeran mësanggrahan pitung dalu, wus panggih lawan


Kumpëni, Jendral Komasaris iku, Pangran tabe kondur sangking,
mësanggrahan ngloji Bojong.

Sang Pangeran beristirahat tujuh malam, sudah bertemu dengan


Kumpeni, Komisaris Jenderal itu, Sang Pangeran memberi salam
pulang dari, peristirahatan di loji Bojong.

62. Pan gumuruh swarane kang wadya agung, datan kawarna ing
margi, lampahira sampun laju, kocap Pangran sampun prapti,
lajëng anjog ing kadhaton.

Bergemuruh suara pasukan yang banyak itu, tidak diceritakan di


perjalanannya, perjalanannya sudah cepat, diceritakan Sang Pangeran
sudah sampai, terus langsung menuju ke istana.

63. Gënti kocap Jëng Sunan Surakarteku, anuju wau tinangkil,


sëntana para mantriku, pra pangeran sampun prapti, sowan tarap
ngarseng Katong.

Ganti yang diceritakan Sang Sunan Surakarta itu, sedang dihadap,


oleh kerabat para mantri itu, para pangeran sudah datang, menghadap
berjajar di depan Sang Sunan.

64. Datan suwe Pangran duta gya dinangu, dhumatëng wau Sang Aji,
Pangeran sampun umatur, dhumatëng Sri Narapati, ature dhatëng
Sang Katong.

Tidak lama Sang Pangeran sebagai utusan segera ditanya, oleh Sang
Sunan, Sang Pangeran sudah menyampaikan, kepada Sang Sunan,
ucapannya kepada Sang Sunan.

65. Inggih sampun kawula wau kautus, dhatëng nagri ing Sëmawis,
inggih kula sampun tutug, wontën tanah ing Sëmawis, lajëng anjog
kula Bojong.

33
Iya saya sudah diutus, ke kota Semarang, iya saya sudah selesai, berada
di tanah Semarang, terus saya langsung menuju Bojong.

66. Pan asipëng kawula namung sëdalu, apan sampun apëpanggih, lan
Kumpëni namanipun, ingkang nama Komasaris, këpanggih ing
ngloji Bojong.

Saya kemudian hanya menginap semalam, kemudian sudah bertemu,


dengan Kumpeni namanya, yang namanya Komisaris, bertemu di loji
Bojong.

67. Sasampuning kawula apan katëmu, sadhawuhipun Nërpati, inggih


sampun kula tutur, dhumatëng pun Komasaris, wontën ngloji wau
Bojong.

Sesudahnya saya kemudian bertemu, sebagaimana perintah Sang Sunan,


iya sudah saya sampaikan, kepada Sang Komisaris, di loji Bojong itu.

68. Ënëngëna Pangeran wau kang matur, tingkahe wontën Sëmawis,


sëmana samya umatur, kocap Pangran tiga nënggih, samya matur
mring Sang Katong.

Biarkan Sang Pangeran yang sedang menyampaikan, tindakannya di


Semarang, ketika itu mereka berkata, yaitu diceritakan ketiga Pangeran
itu, mereka menyampaikan kepada Sang Sunan.

69. Dangu-dangu Jëng Sunan wau dhëdhawuh, ngandikane Sri Bupati,


dhumatëng Ramanta Prabu, umatur nyaosi nami, ya ta wau Sang
Akatong.

Lama-kelamaan Sang Sunan berkata, ucapan Sang Sunan, kepada


Paman Prabu, berkata memberi nama, ya itulah Sang Sunan.

70. Inggih Rama kawula ngaturi nguluk, dhumatëng Sampeyan ugi,


sarta ngong saosi payung, angagëma songsong kuning, kalawan
nama kemawon.

Iya Paman saya menyampaikan salam, kepada Anda juga, serta saya
memberi payung, pakailah payung kuning, dan nama saja.

71. Jëng Pangeran Arya Dipati puniku, Kusumayuda wëwangi,


sanëgara wus misuwur, këlawan songsonge kuning, patëdhanira
Sang Katong.

34
Itu Sang Pangeran Aryo Adipati, Kusumoyudo namanya, di seluruh
negara sudah termasyhur, dengan payung kuning, pemberian Sang
Sunan.

72. Gënti kocap Jayasëntika puniku, mapan sampun nama mantri,


Ki Jayasëntika iku, mlampah ngetan dhatëng Jati, kraman kang
pinaran kang wong.

Ganti yang diceritakan Joyosentiko itu, kini sudah berpangkat mantri,


Ki Joyosentiko itu, berjalan ke timur menuju Jati, orang-orang yang
didatangi itu adalah para makar.

73. Sampun prapta Ki Jayasëntika wau, kocap kraman kang pinanggih,


sëdaya pan sami tëluk, mring Dyan Jayasëntikeki, wus tëluk sami
kaboyong.

Sudah sampai Ki Joyosentiko itu, diceritakan yang ditemui para makar,


mereka semua kemudian takluk, kepada Raden Joyosentiko, sesudah
takluk mereka ditawan.

74. Gënti kocap Pangeran wau kautus, sarëng dintën Sënen Lëgi,
Pangeran kinen anglurug, dhumatëng Popongan desi, karsanipun
Prabu Anom.

Ganti yang diceritakan Sang Pangeran yang diutus, bersamaan dengan


hari Senin Legi, Sang Pangeran disuruh pergi menyerbu, ke desa
Popongan, kehendak Sang Raja Muda.

75. Wulan Sawal tanggal kalih dasanipun, tëksih tunggil kang rumiyin,
angkaning warsa puniku, marëngi taun Jimakir, sëngkalaning
Jawa kang wong.

Bulan Syawal tanggal dua puluh, masih sama dengan yang dahulu,
angka tahunnya itu, pada tahun Jimakir, lambang tahun Jawa orang itu.

76. Wus lumampah Pangeran sawadyanipun, den iring ing para


mantri, Behi Sadiwirya tumut, Wangsacitra Hangabehi, wus
prapteng Popongan mondhok.

Sudah berangkat Sang Pangeran beserta pasukannya, diiringi oleh para


mantri, Hangabehi Resodiwiryo ikut, dan Hangabehi Wongsocitro,
sesudah sampai di Popongan kemudian menginap.

35
77. Pan adamël Pangeran barisan sampun, aneng wau ing Sarimbid,
kang dados këpalanipun, Wiranangga ingkang nami, lan Dëmang
Sabaya kang wong.

Kemudian Sang Pangeran sudah membentuk barisan, berada di


Sarimbid, yang menjadi kepalanya, Wirononggo namanya, dan Demang
Saboyo orangnya.

78. Kiwa tëngën ing Bungul pan sampun tëluk, sadaya wus suyud sami,
baris kathah kalih atus, ananging langkung kakalih, kiwa tëngën
tëluk ambrol.

Di kiri kanan Bungul sudah takluk, mereka semua sudah tunduk,


barisannya sebanyak dua ratus orang, tetapi lebih dua, kiri kanan takluk
semua.

79. Ki Ngabehi Sadiwirya karëpipun, pan amacak baris malih, ing


sakiwa tëngënipun, Jurangjëro kanan kering, wus tata barisan
kang wong.

Ki Hangabehi Resodiwiryo berkehendak, akan membentuk barisan


lagi, di kiri kanannya, kiri kanan Jurangjero, sudah tertata orang-orang
di barisan itu.

80. Baris Jati titiyang sekët kathahipun, Jayasëntika kang nami, kang
dados titindhihipun, sakehe wong desa Jati, sekët kathahe punang
wong.

Orang-orang di barisan Jati banyaknya lima puluh orang, Joyosentiko


namanya, yang menjadi pemimpinnya, seluruh orang di desa Jati,
orang-orangnya sejumlah lima puluh orang.

81. Awëtara kang baris ing laminipun, pan angsal sëdasa latri, Jëng
Pangeran lajëng kondur, dhatëng Surakarta nagri, akarsa sowan
Sang Katong.

Kira-kira lamanya barisan itu, memperoleh sepuluh malam, Sang


Pangeran terus pulang, menuju kota Surakarta, hendak menghadap
Sang Sunan.

82. Sampun budhal Pangeran sëbalanipun, kocap sampunira prapti,


ing Surakarta nagriku, wus midhangët Sri Bupati, lajëng Pangran
mring këdhaton.

36
Sudah berangkat Sang Pangeran beserta pasukannya, diceritakan
sesudah sampai, di kota Surakarta itu, Sang Sunan sudah mendengar,
terus Sang Pangeran menuju istana.

83. Ginancangkën punika caritanipun, Sang Nata sampun udani,


saature Pangran iku, tan kocapa malih-malih, ature dhatëng Sang
Katong.

Dipercepat cerita itu, Sang Sunan sudah mengetahui, seluruh ucapan


Sang Pangeran itu, tidak diceritakan lagi, ucapannya kepada Sang
Sunan.

84. Neng nëgara Pangeran mung kalih santun, lamine wontën nëgari,
pan lajëng karsa anglurug, dhatëng desa Sela nënggih, ingkang
dherek Raden Mayor.

Di kota itu Sang Pangeran hanya dua bulan, lamanya berada di kota itu,
dan terus hendak pergi menyerbu, yaitu ke desa Selo, yang ikut Raden
Mayor.

85. Raden Danuwinata namanireku, Wiranëgara Bupati, sawadyanira


sëdarum, lan Rësadiwirya Mantri, Behi Wangsacitra kang wong.

Raden Danuwinata namanya, Bupati Wironegoro, beserta pasukannya,


dan Mantri Resodiwiryo, Hangabehi Wongsocitro orang-orangnya itu.

86. Sarëng rawuh Pangeran sawadyanipun, wontën ing desa Seleki,


Pangeran panggihan sampun, kalawan wau Kumpëni, nama
Tuwan Mayor Ibron.

Sang Pangeran beserta pasukannya datang bersama-sama, di desa Selo


ini, Sang Pangeran sudah bertemu, dengan Kumpeni, yang bernama
Tuan Mayor Ibron.

87. Sampun rëmbag Pangeran ing karsanipun, akarya beteng Jëng


Gusti, aneng desa Sela wau, Jëng Pangeran marentahi, sakathahe
kang punang wong.

Sang Pangeran sudah berunding kehendaknya, Sang Pangeran


membangun benteng, di desa Selo tadi, Sang Pangeran memberi
perintah, kepada seluruh orang-orang itu.

37
88. Wus pinatah akarya watu sëpuluh, Wiranëgara Bupati, lawan
Mayor kalihipun, kang samya wau nindhihi, kang nambut karya
punang wong.

Sudah diperintah untuk membuat benteng sepuluh orang, Bupati


Wironegoro, dan kedua Sang Mayor, mereka yang memimpin, orang-
orang yang bekerja itu.

89. Jasëntika kang dadi tëtindhihipun, wong arahan desa sami, lan
Dëmang Sabaya iku, sadaya samya mrentahi, akathah mantri kang
jagong.

Joyosentiko yang menjadi pemimpinnya, semua orang-orang kecil


di desa itu, dan Demang Saboyo itu, mereka semua yang memberi
perintah, banyak mantri yang duduk.

90. Ingkang karya beteng ing desa Sela wus, ënëngna kang wontën
biting, kawarna Pangeran kondur, sabalanira angiring, mring
nëgara sigra bodhol.

Yang membuat benteng di desa Selo itu, biarkan yang berada di benteng,
diceritakan Sang Pangeran pulang, beserta pasukannya mengiringi,
segera berangkat menuju kota.

91. Surakarta Jëng Pangran eca lumaku, sawadyanira umiring, Jëng


Pangeran gennya kondur, mring Surakarta nëgari, anjujug marang
këdhaton.

Sang Pangeran dengan enak berangkat ke Surakarta, beserta pasukannya


mengiringi, Sang Pangeran pulang, ke kota Surakarta, langsung menuju
istana.

92. Kawarnaa Jëng Pangran sarawuhipun, lajëng sowan Sri Bupati,


umarak marang Sinuhun, Pangeran sampun alinggih, neng
ngarsanira Sang Katong.

Diceritakan kedatangan Sang Pangeran, terus menghadap Sang Raja,


menghadap kepada Sang Sunan, Sang Pangeran sudah duduk, di
hadapan Sang Sunan.

93. Sang Sinuhun den adhëp ing para arum, gya sumingkir nganan
ngering, wus padhang ngarsa Sang Prabu, gya ngandika Sri Bupati,
bageya Ramanta ingong.

38
Sang Sunan dihadap para dayang, segera menyingkir ke kanan dan ke
kiri, sudah lapang di hadapan Sang Sunan, Sang Sunan segera berkata,
selamat datang Pamanku.

94. Jëng Pangeran binagekakën gya matur, dhumatëng Sri Narapati,


umatur sasolahipun, Sang Nata ngandika aris, Ramanta kawula
kongkon.

Sang Pangeran yang disambut segera berkata, kepada Sang Sunan,


menyampaikan seluruh tindakannya, Sang Sunan berkata lembut,
Paman saya perintahkan.

95. Lah ta mara paduka kesah mring gunung, këpanggiha lan


Kumpëni, Salatiga kantor agung, panggiha lan Komasaris, mring
Salatiga ngong kongkon.

Nah silakan kamu pergi ke gunung, bertemulah dengan Kumpeni, di


kantor besar Salatiga, bertemulah dengan Sang Komisaris, ke Salatiga
saya perintahkan.

96. Jëng Pangeran sandika ing aturipun, punapa karsa Nërpati,


ngandika rum Sang Aprabu, jëngandika mangkat Këmis, wulan
Sura kang mëncorong.

Sang Pangeran menjawab bersedia, apapun kehendak Sang Sunan,


Sang Sunan berkata lembut, kamu berangkat pada hari Kamis, bulan
Muharam yang bercahaya.

97. Wus bubaran Sang Nata kondur ngëdhatun, ingayap kang


Prameswari, nëngëna ingkang ngëdhatun, kocapa kang mëdal
sami, Pangeran sangking këdhaton.

Sudah bubar Sang Sunan pulang ke istana, diiringi Sang Permaisuri,


biarkan yang pulang ke istana, diceritakan mereka yang keluar, Sang
Pangeran dari istana.

98. Jëng Pangeran wus rawuh ing dalëmipun, tan antara nulya linggih,
sigra dennya nurat sampun, ingayap ing para nyai, wus kabëkta
mring punang wong.

Sang Pangeran sudah sampai di rumahnya, tidak lama kemudian duduk,


segera dia menulis surat, diiringi oleh para dayang, sudah dibawa oleh
orang itu.

39
99. Prëmbayunan Ngabehan Purbayan iku, pan sami dipun surati,
kawarna Pangeran tëlu, kang surat sinukmeng galih, tan asru
gennya umaos.

Prembayunan Ngabehan Purbayan itu, mereka yang disurati, diceritakan


ketiga Pangeran itu, suratnya dibaca di dalam hati, tidak keras mereka
membacanya.

100. Pangran tiga gënti maos surat sampun, bubukanira kang tulis,
ngële surat puniku, wiyose sangking Nërpati, jëngandika samya
kinongkon.

Ketiga Pangeran sudah membaca surat itu bergantian, pembukaan


yang tertulis, bunyi surat itu, maksud dari Sang Sunan, kalian semua
diperintah.

101. Karsanipun putranta wau Sang Prabu, kinon mangkat dintën


Këmis, ngong sami panggih Dëlanggu, lawan kula benjing Këmis,
sami sarëng wong kinongkon.

Kehendak anakku Sang Sunan, disuruh berangkat pada hari Kamis, kita
semua bertemu di Delanggu, bersama saya besok hari Kamis, berangkat
bersama-sama orang-orang yang disuruh itu.

102. Punang surat wus sami sinukmeng kalbu, Pangran tiga sampun
ngërti, ingutus dhatëng Sang Prabu, këbat caritanireki, Pangran
catur malbeng thonthor.

Suratnya sudah mereka baca dalam hati, ketiga Pangeran sudah


mengerti, diutus oleh Sang Sunan, singkat ceritanya, keempat Pangeran
masuk ke tenda kereta.

103. Numpak kreta Pangran sëkawan sampun, sinëngkalan lampahneki,


menco mas swaraning ratu, wulan Sura amarëngi, tanggal pisan
kang mëncorong.

Keempat Pangeran sudah naik kereta, dilambangkan perjalanannya,


menco mas swaraning ratu ( burung menco emas suaranya ratu),
bertepatan dengan bulan Muharam, tanggal satu yang bercahaya.

104. Jëng Pangeran lampahe pan sampun laju, datan kawarna ing
margi, warnanën sampuning rawuh, këpanggih lawan Kumpëni,
ing Salatiga punang gon.

40
Perjalanan Sang Pangeran sudah cepat, tidak diceritakan di
perjalanannya, diceritakan sesudah sampai, bertemu dengan Kumpeni,
di Salatiga tempatnya.

105. Sarawuhe Pangeran sëkawan wau, samya anjog aneng ngloji, wus
panggih Kumpëni iku, Pangeran lawan Kumpëni, angrëmbug
kraman nang radon.

Kedatangan keempat Pangeran itu, mereka langsung menuju loji,


sudah bertemu dengan Kumpeni, Sang Pangeran dengan Kumpeni,
merundingkan para makar di gunung.

106. Kangjëng Sultan Heru Cakra arsa tëluk, këlawan bangsa Kumpëni,
milane samya den rëmbug, lawan Tuwan Komasaris, karsane wau
Sang Katong.

Sang Sultan Heru Cokro hendak takluk, kepada bangsa Kumpeni,


makanya mereka berunding, dengan Tuan Komisaris, kehendak Sang
Sultan.

107. Ing nëgara Surakarta ingkang rëmbug, sadaya wus amëthuki,


karsane Jendral binujuk, Heru Cakra den aturi, dhatëng Salatiga
manggon.

Di kota Surakarta perundingannya, semua sudah sepakat, Sang Jenderal


berkehendak membujuk, Heru Cokro diminta, ke Salatiga tempatnya.

108. Datan karsa Jëng Sultan Heru Cakreku, yen lamun dipun aturi,
mring Salatiga anëngguh, malah Landa den timbali, Sultan Heru
Cakra Katong.

Tidak mau Sang Sultan Heru Cokro itu, bahwa kalau diminta, yaitu ke
Salatiga, malahan Belanda dipanggil oleh Sang Sultan.

109. Karsanipun Jëng Sultan Heru Cakreku, karsane ngajak pëpanggih,


aneng Jahajalër iku, Jendral mangsuli Kumpëni, Sëtriwën ingkang
kinongkon.

Kehendak Sang Sultan Heru Cokro itu, kehendaknya mengajak bertemu,


itu di Joholanang, Sang Jenderal menjawab Kumpeni, Setriwen yang
disuruh.

41
110. Jalma kalih kang kinon punika wau, Wëlanda kalawan khaji,
Khaji Ambyah namanipun, wus tata sami abaris, wong roro samya
kinongkon.

Dua orang yang disuruh itu, seorang Belanda dan seorang haji, Haji
Ambyah namanya, sudah siaga mereka berbaris, dua orang yang
mereka suruh.

111. Gënti kocap Pangeran sëkawan iku, wus pamit marang Kumpëni,
wadyanya tata sëdarum, Pangran catur nitih sami, ing kreta lajëng
angonclong.

Ganti yang diceritakan keempat Pangeran itu, sudah berpamitan dengan


Kumpeni, pasukannya bersiaga semua, keempat Pangeran itu semua
naik, di kereta terus melaju kencang.

112. Tan kawarna Pangeran aneng Dëlanggu, kawarnaa sampun prapti,


anjujug dhatëng këdhatun, gya marak maring Sang Aji, dyan
sinapa mring Sang Katong.

Tidak diceritakan Sang Pangeran di Delanggu, diceritakan sudah


sampai, langsung menuju ke istana, segera menghadap ke Sang Sunan,
kemudian disapa oleh Sang Sunan.

113. Duk sëmana Sang Sunan anuju lungguh, den ayap ing para cethi,
tan kawarna solahipun, kocapa duta Kumpëni, sami prapta roron-
roron.

Ketika itu Sang Sunan sedang duduk, diiringi oleh para dayang, tidak
diceritakan tindakannya, diceritakan utusan Kumpeni, mereka sampai
berdua-duaan.

114. Sapraptane ing Jalanang kalihipun, wau dutaning Kumpëni, Khaji


Ambyah rewangipun, sëmana sampun alinggih, neng Jalanang
wong sëkloron.

Sesampainya di Joholanang keduanya, utusan Kumpeni itu, Haji


Ambyah temannya, ketika itu sudah duduk, di Joholanang kedua orang
itu.

115. Kangjëng Sultan Heru Cakra datan purun, manggihi marang


Kumpëni, Jëng Sultan karsanya sulur, kang nama Pangeran Behi,
lawan Guru Maja kaot.

42
Sang Sultan Heru Cokro tidak mau, menemui kepada Kumpeni, Sang
Sultan hendak mewakilkan, yang bernama Pangeran Hangabehi, dan
Guru Mojo yang unggul.

116. Wus lumampah ya ta wau Kyai Guru lan Pangeran Hangabehi,


sampun prapteng Kyai Guru, nëngëna datan kawarni, kocapa wau
Sang Katong.

Sudah berangkat Kyai Guru dan Pangeran Hangabehi, sudah sampai


Kyai guru, biarkan tidak diceritakan, diceritakan Sang Sunan.

117. Sri Narendra ing Surakarta Sang Prabu, sigra malbeng jroning
puri, Pangeran sëkawan mëtu, sangking wau jroning puri, prapta
dalëm gya lëlëson.

Sang Sunan di Surakarta Sang Raja, segera masuk ke dalam istana,


keempat Pangeran keluar, dari dalam istana, sampai di rumah segera
bersantai.

118. Gënti kocap ingkang aneng Jahajalu, ingkang sami apëpanggih,


wus linggih Kyai Guru, gunëman këlawan khaji, Kumpëni lungguh
mëthongkrong.

Ganti yang diceritakan yang berada di Joholanang, mereka yang sedang


bertemu, sudah duduk Kyai Guru, berbicara dengan Haji Ambyah,
Kumpeni duduk berjongkok di atas kursi.

119. Tan kawarna rëmbuge Khaji lan Guru, kocap Sëtriwën Kumpëni,
wëkase Jendral kang wau, ingkang nama Komasaris, tan dadi
gunëm mëngkono.

Tidak diceritakan perundingan Haji Ambyah dan Kyai Guru, diceritakan


Setriwen Kumpeni, pesan Sang Jenderal, yang bernama Komisaris,
tidak menjadi pembicaraan begitu.

120. Tuwan Triwën sëmana nulya cëlathu, tidhak jadi kata ini, katanya
dhiya atëluk, mangkanya sëkarang ini, kata justa kata bohong.

Tuan Setriwen saat itu kemudian berkata, tidak jadi kata ini, katanya dia
takluk, makanya sekarang ini, kata dusta kata bohong.

43
121. Guwa kira itu Sultan bëlun takut, mangkanya tidak kumari, misih
mau përang itu, saya kira dhalëm ati, jangan susah diya Katong.

Saya kira itu Sultan belum takut, makanya tidak kemari, masih mau
perang itu, saya kira dalam hati, jangan susah dia Sultan.

122. Ri sëksana kang duta pan samya mundur, Kumpëni pan samya
mulih, Pangran Behi inggih kondur, lawan Guru Maja Kyai, wus
prapta ngarsane Katong.

Pada saat itu para utusan semua mundur, kemudian Kumpeni semua
pulang, Pangeran Hangabehi juga pulang, bersama Kyai Guru Mojo,
sudah sampai di hadapan Sang Sultan.

123. Kangjëng Sultan Heru Cakra ngandika rum, dhatëng Guru maha
yëkti, ngandikanira satuhu, yen wis karsaning Hyang Widi, ingsun
yen bakal binoyong.

Sang Sultan Heru Cokro berkata lembut, kepada Guru yang maha
benar, katanya yang sebenarnya, bahwa sudah kehendak Yang Maha
Esa, bahwa saya akan ditawan.

124. Sampun ngraos Sang Nata ing dalëm kalbu, iya paran polah mami,
wus karsane Hyang Maha Agung, sun bakal milu Kumpëni, wus
karsanipun Hyang Manon.

Sang Sultan sudah merasa di dalam hati, iya bagaimana tindakanku,


sudah kehendak Yang Maha Agung, saya akan ikut Kumpeni, sudah
kehendak Yang Maha Melihat.

125. Esmu susah Jëng Sultan ing dalëm kalbu, sungkawa sajroning
galih, tëdhaking wong tapa gunung, Jëng Sultan langkung prihatin,
kusuma rëmbësing tawon.

Agak sedih Sang Sultan di dalam hati, sedih di dalam hati, keturunan
orang yang bertapa di gunung, Sang Sultan sangat pedih hatinya,
kesatria tetesan lebah.

---oooOooo---

44
PUPUH XXIX
DHANDHANGGULA

1. Ya ta wau kawarnaa malih, kang Walanda wau lampahira, Kurnel


sangking ing Manoreh, wadya tumut sëdarum, saradhadhu sëdaya
ngiring, tan kawarna sëmana, pan sampun lumaku, gumuruh
swaraning bala, Kurnël Klerës wus mëdal sangking ing rëdi,
gunung Tawi kang nama.

Ya diceritakan lagi, perjalanan orang Belanda itu, Sang Kolonel dari


Menoreh, semua pasukannya ikut, semua serdadu mengiringinya, tidak
diceritakan ketika itu, kemudian sudah berangkat, bergemuruh suara
pasukannya, Kolonel Cleerens sudah keluar dari gunung itu, gunung
Tawi namanya.

2. Anjog wau dhusun nama Tubin, inggal prapta ing desa Gëmbulan,
desa tanah Nglowanone, Bagëlen bawahipun, pra Kumpëni adamël
biting, akathah ingkang karya, kërig tiyang dhusun, Lowano
lan Salatiyang, ing Dërakawana Tulus Karangjati, Krikil lan
Pëkalongan.

Langsung menuju ke desa yang bernama Tubin, segera sampai di desa


Gembulan, desa tanah Loano, di wilayah Bagelen, para Kumpeni
membuat benteng, banyak yang bekerja, bekerja bersama-sama orang-
orang desa, Loano dan Solotiyang, Derokowono Tulus Karangjati,
Krikil dan Pekalongan.

3. Tunggarana lan Këdhungpoh sami, Këdhungloteng lawan


Këdhungpucang, Kadhandher lawan Marone, Jiwan Pongangan
tumut, Këdhungpanjang tanapi Jëthis, sami kumpul gaweyan,
bëkta pring lan kayu, sakathahe wong tëlukan, samya garap mring
beteng ingkang kinardi, Pangran Mangkudiningrat.

Tunggorono dan Kedungpoh bersama, Kedungloteng dan


Kedungpucang, Kadander dan Maron, Jiwan Pongangan ikut,
Kedungpanjang dan juga Jetis, mereka berkumpul untuk bekerja,
membawa bambu dan kayu, seluruh orang taklukan, mereka bekerja di
benteng yang sedang dikerjakan, Pangeran Mangkudiningrat.

45
4. Lan Pangeran Arya ing Mëtawis, lan Pangeran Arya Prangwëdana,
pra tumënggung samya dherek, kathah para tumënggung, pan
nëmbëlas tëlukan sami, karya beteng Gëmbulan, wadya kalih atus,
kang sami anambut karya, sakathahe balane para bupati, wau
kang samya garap.

Dan Pangeran Aryomataram, dan Pangeran Aryo Prangwedono, para


tumenggung semua ikut, jumlah para tumenggung, mereka enam belas
orang taklukan, membuat benteng Gembulan, pasukannya dua ratus
orang, mereka yang bekerja, seluruh pasukan para bupati, mereka yang
mengerjakan.

5. Tan den etang ing laminireki, ya ta beteng apan sampun dadya,


kocap Klerës Kumpënine, apan karsa lumaku, sawadyane tinata
sami, saradhadhu lan Jawa, lan mantri tumënggung, sëmana
sampun atata, risëksana sigra budhal pra Kumpëni, rëmpëg
lampahing bala.

Tidak dihitung lamanya, ya benteng kemudian sudah jadi, diceritakan


Kumpeni Cleerens, hendak berangkat, semua pasukannya ditata,
pasukan serdadu dan pasukan Jawa, mantri dan tumenggung, ketika itu
sudah tertata, kemudian para Kumpeni itu segera berangkat, pasukannya
berjalan serempak.

6. Lan Pangeran Prangwëdana ngiring, samya tumut Kurnel


lampahira, sadaya wadya balane, wus prapteng lampahipun,
ingkang nama dhusun Këtangi, sëmana lajëng aprang, Kumpëni
angësuk, acampuh lawan këraman, datan dangu përange këraman
gusis, bubar saparan-paran.

Dan Pangeran Prangwedono mengiringi, mereka mengikuti perjalanan


Sang Kolonel, semua pasukannya, sudah sampai perjalanannya, di desa
yang bernama Ketangi, ketika itu terus perang, Kumpeni mendesak,
menyerbu kepada para makar, tidak lama berperangnya para makar
habis, bubar ke mana-mana.

7. Nulya lajëng lampahe Kumpëni, ngidul ngilen wau lampahira, wus


prapta dhusun Nglubange, aprang wontën jro dhusun, langkung
rame genira jurit, tan dangu gya kasoran, kraman ge lumayu,
bërandhal asalang tunjang, saradhadhu ingkang pëjah tiga iji, lan
malih lajëng aprang.

46
Kemudian Kumpeni terus perjalanannya, ke barat daya perjalanannya,
sudah sampai di desa Lubang, berperang di dalam desa, sangat ramai
mereka berperang, tidak lama segera kalah, para makar segera melarikan
diri, para berandal tunggang langgang, serdadu yang mati tiga orang,
dan lagi terus berperang.

8. Aneng Bonjok gonira ajurit, kala aprang arame kang surak,


amung sakëdhap përange, kraman agya lumayu, pan kabutuh ing
tëlar sami, kang pëjah kalih dasa, gangsal langkungipun, këraman
pëjah neng toya, ingkang ical kasilëp wontën ing warih, lajëng
prang Karanganyar.

Di Bonjok mereka berperang, ketika berperang mereka ramai bersorak,


hanya sebentar berperangnya, para makar segera melarikan diri, karena
mereka terjebak di rawa-rawa, yang mati dua puluh orang, lima orang
lebihnya, para makar mati di dalam air, yang hilang tenggelam di dalam
air, terus berperang di Karanganyar.

9. Datan rame genira ajurit, datan dangu kraman wus kasoran,


pra panji kraman kalihe, panji kalih wus lampus, kancanira
kang sami mati, lilima cacahira, lajëng prang Pituruh, tan dangu
kraman gya kalah, përangira sëmana Kurnel Kumpëni, Pangran
Mangkudiningrat.

Tidak ramai mereka berperang, tidak lama para makar sudah kalah, para
panji makar keduanya, kedua panji itu sudah mati, teman mereka yang
mati, lima orang jumlahnya, terus berperang di Pituruh, tidak lama para
makar segera kalah, perangnya saat itu Kolonel Kumpeni, Pangeran
Mangkudiningrat.

10. Lan Pangeran Prangwëdana singgih, samya kondur dhatëng


ing barisan, mring beteng Maron karsane, tantara gya lumaku,
tan kawarna wau neng margi, sampun prapteng Malihan,
mësanggrahan sampun, Pangeran Mangkudiningrat, Prangwëdana
neng Nglowano amiranti, Suryamëtaram neng Krajan.

Dan Pangeran Prangwedono juga, mereka kembali ke dalam barisan,


kehendaknya menuju ke benteng Maron, tidak lama segera berangkat,
tidak diceritakan di dalam perjalanannya, sudah sampai di Malihan,
sudah beristirahat, Pangeran Mangkudiningrat, Prangwedono di Loano
bersiap-siap, Suryomataram di Krajan.

47
11. Sawadyane pan samya angiring, mësanggrahan wontën ing Kërajan,
Dipati Batang andherek, pan samya neng Ngluwanu, sawadyane
samya tut wuri, apëpak sinaroja, myang para tumënggung, tuwin
kang para pangeran, sadayane miwah kang para Kumpëni, wontën
jro beteng samya.

Beserta pasukannya mereka mengiringi, beristirahat di Krajan, Adipati


Batang ikut, kemudian mereka di Loano, beserta pasukannya mereka
mengikuti dari belakang, semua ada lengkap sekali, dengan para
tumenggung, dan para pangerannya, semuanya dengan para Kumpeni,
mereka berada di dalam benteng.

12. Apan gënti wau kang winarni, kang kocapa mangke Sri Narendra,
Surakarta nëgarane, tuturën malihipun, kawarnaa lagi dhawuhi,
dhatëng Kangjëng Pangeran, Kusumayudeku, dhawuhe pan
mawi surat, sampun prapta kang surat katur Jëng Gusti, Pangran
Kusumayuda.

Kemudian ganti yang diceritakan, yang diceritakan sekarang Sang


Sunan, di kota Surakarta, dikatakan selanjutnya, diceritakan sedang
memberi perintah, kepada Sang Pangeran, Kusumoyudo itu, perintahnya
dengan surat, sudah sampai suratnya diserahkan kepada Sang Pangeran,
Pangeran Kusumoyudo.

13. Wus sinukmeng surat Sang Nërpati, dhatëng kang Rama Gusti
Pangeran, Kusumayuda namane, surat sinukmeng kalbu,
bubukane punang kentaki, ungële kang nuwala, Jëng Pangeran
dhawuh, mring Tumënggung Danëgara, sawadyane tuwin ingkang
para mantri, kabeh ing Surakarta.

Sudah dibaca surat Sang Sunan, kepada Pamannya Sang Pangeran,


Kusumoyudo namanya, surat dibaca dalam hati, pembukaan surat itu,
bunyi suratnya, Sang Pangeran memberi perintah, kepada Tumenggung
Udonegoro, beserta pasukannya dan para mantrinya, semua di Surakarta.

14. Raden Ngabehi Kërtaprajeki, lan Ngabehi Kyai Sadiwirya, Behi


Gorawëcanane, wus rakit wadyanipun, dhawuhira Pangran Dipati,
Gusti Kusumayuda, pan kinon anglurug, timbalanipun Jëng
Sunan, Surakarta ken anglurug maring desi, Baglen panggenan
kraman.

48
Raden Hangabehi Kertoprojo, dan Kyai Hangabehi Resodiwiryo,
Hangabehi Gorowecono, sudah mempersiapkan pasukannya, perintah
Pangeran Adipati, Pangeran Kusumoyudo, disuruh pergi menyerbu,
perintah Sang Sunan, Surakarta disuruh pergi menyerbu ke desa,
Bagelen tempat para makar.

15. Jëng Pangeran kocapa wus pamit, kawarnaa sampun lumëksana,


wadya bala dherek kabeh, kalawan Den Tumënggung, ingkang
nama Udanëgari, budhal sing Surakarta, alërëb sëdalu, aneng
nagri Kartasura, sarëng enjing Jëng Pangeran budhal malih, nyare
ing Bayalepyan.

Sang Pangeran diceritakan sudah berpamitan, diceritakan sudah


berangkat, semua pasukannya ikut, bersama Raden Tumenggung, yang
bernama Udonegoro, berangkat dari Surakarta, beristirahat semalam,
di kota Kartasura, begitu pagi hari Sang Pangeran berangkat lagi,
menginap di Boyolali.

16. Sarëng enjing sigra mangkat malih, tan kawarna lampahe neng
marga, wus prapteng Magëlang sare, gya mësanggrahan sampun,
Jëng Pangeran sawadyaneki, dene Kangjëng Pangeran, lan para
tumënggung, lan pra mantri sëdayanya, samya sipëng pëndhapane
Den Dipati, sadaya sinuguhan.

Begitu pagi hari segera berangkat lagi, tidak diceritakan perjalanannya


di jalan, sesudah sampai Magelang menginap, segera sudah beristirahat,
Sang Pangeran beserta pasukannya, sedangkan Sang Pangeran, dan para
tumenggung, dan para mantri semuanya, mereka menginap di pendapa
Raden Adipati, semuanya diberi suguhan.

17. Sapraptane wau Kangjëng Gusti, neng Magëlang gennya


mësanggrahan, wontën wau ing dalëme, Rahaden Dipatiku,
Danuningrat ingkang wëwangi, pan namung gangsal dina, nulya
budhal esuk, gumuruh lampahing bala, sampun prapta Manoreh
lampahireki, pan lajëng mësanggrahan.

Sesampainya Sang Pangeran, di Magelang mereka beristirahat, berada


di rumahnya, Raden Adipati itu, Danuningrat namanya, dan hanya
lima hari, kemudian berangkat pada pagi hari, bergemuruh perjalanan
pasukannya, sudah sampai Menoreh perjalanannya, dan terus
beristirahat.

49
18. Botën lami nyare mung sëlatri, enjing mangkat Pangran Sumayuda,
sangking desa ing Manoreh, ya ta samya lumaku, sampun sami
munggah ing ardi, nama gunung Cacaban, wadya bala dulur,
dina Sëlasa gya prapta, ing Pagëlen ing beteng Maron wus prapti,
Kurnel panggih Pangeran.

Tidak lama menginap hanya semalam, pagi hari Pangeran Kusumoyudo


berangkat, dari desa Menoreh, ya mereka berangkat, mereka sudah
mendaki gunung, yang bernama gunung Cacaban, pasukan berduyun-
duyun, pada hari Selasa segera sampai, sudah sampai di Bagelen di
benteng Maron, Sang Kolonel bertemu dengan Sang Pangeran.

19. Jëng Pangeran mësanggrahan aglis, wetan marga gonira Pangeran,


sawadya balane kabeh, binagi përnahipun, sakathahe wadya lit-
alit, wus samya mësanggrahan, sadaya pan kumpul, wus tata
manggen atarap, Kangjëng Gusti Sumayuda rëmbug pikir, lawan
Klerës Wëlanda.

Sang Pangeran segera beristirahat, di sebelah timur jalan tempatnya


Sang Pangeran, beserta seluruh pasukannya, tempatnya dibagi, seluruh
pasukan kecil-kecil, mereka sudah beristirahat, semua kemudian
berkumpul, sudah bersiap-siap di tempat berjajar-jajar, Sang Pangeran
Kusumoyudo bertukar pikiran, dengan Cleerens Belanda.

20. Sampun angsal wau gangsal latri, Jëng Pangeran gennya


mësanggrahan, sampun gilig lawan Kurnel, sëmana dintën Sëptu,
Jëng Pangeran samya lumaris, lawan sadaya bala, Kumpëni tan
kantun, mring Bagëlen ucal kraman, sawërnane keh dhusun dipun
ucali, dhatëng Kangjëng Pangeran.

Sudah memperoleh lima hari, Sang Pangeran beristirahatnya, sudah


sepakat dengan Kolonel, ketika itu hari Sabtu, Sang Pangeran berangkat
semua, beserta pasukannya, Kumpeni tidak ketinggalan, menuju
Bagelen mencari para makar, seluruh desa yang banyak dicari, oleh
Sang Pangeran.

21. Hangabehi Rësadiwiryeki, aparentah kanca mantrinira,


Gorawëcana arine, lan Ki Wangsacitreku, Tirtayuda tiganireki, pan
kinen tëngga barang, priyayi katëlu, rumëksa neng pësanggrahan,
ing Lowanu barangipun Kangjëng Gusti, Pangran Kusumayuda.

50
Hangabehi Resodiwiryo, memerintahkan kepada teman-teman
mantrinya, Gorowecono adiknya, dan Ki Wongsocitro, Tirtoyudo yang
ketiganya, kemudian disuruh menunggu barang, ketiga priyayi itu,
menjaga di tempat peristirahatan, di Loano barang milik Sang Pangeran,
Pangeran Kusumoyudo.

22. Pan tinilar barange Jëng Gusti, sawab kurang kuli kang ambëkta,
milanya tinilar bae, Pangran sampun lumaku, wadyanira sami
angiring, Ngabehi Sadiwirya, ingkang sami tumut, barange
Kangjëng Pangeran, dipun usung maring Baledana sami, kopëre
Jëng Pangeran.

Barang-barang milik Sang Pangeran ditinggal, sebab kekurangan


kuli yang membawa, makanya ditinggal saja, Sang Pangeran sudah
berangkat, pasukannya semua mengiringi, Hangabehi Resodiwiryo,
yang ikut mereka, barang milik Sang Pangeran, diusung oleh mereka
ke Baledono, koper milik Sang Pangeran.

23. Gya umangkat pan lajëng lumaris, ingkang dados pëcalang ing
ngarsa, Behi Rësadiwiryane, Jëng Pangran tindak sampun, samya
munggah anënggël ardi, calang Gëgër Mënjangan, sëmana wus
mudhun, anjog dhusun Baledana, lajëng budhal Pangeran sigra
lumaris, wus prapteng ing Tërsina.

Segera berangkat kemudian berjalan, yang menjadi petugas keamanan


berada di depan, Hangabehi Resodiwiryo, Sang Pangeran sudah
berangkat, mereka mendaki memotong gunung, aman di Geger
Menjangan, ketika itu sudah menuruni gunung, langsung menuju
desa Baledono, terus berangkat Sang Pangeran segera berjalan, sudah
sampai di Tersino.

24. Samya lërëb Tërsina salatri, sarëng enjing pan samya lumampah,
wus prapteng Pëkacangane, amung sipëng sadalu, sarëng enjing
agya lumaris, wus lëpas lampahira, anjog ing Winangun, nulya
lajëng lampahira, sigra sipëng ler pëkën Kabumen nënggih, enjang
age lumampah.

Mereka beristirahat di Tersino semalam, begitu pagi hari kemudian


mereka berangkat, sudah sampai di Pekacangan, hanya menginap
semalam, begitu pagi hari segera berangkat, sudah jauh perjalanannya,
langsung menuju Kutowinangun, kemudian terus perjalanannya, ya

51
segera menginap di sebelah utara pasar Kebumen, pagi hari segera
berangkat.

25. Lampahipun tan antara prapti, iya tanah ing Këlapagada,


jajahan ngrema tanahe, pan lërëb tigang dalu, sarëng dintën Akat
lumaris, prapteng dhusun Pamrihan, nulya enjingipun, Ngëbehi
Gorawëcana, lawan malih Ngëbehi Wangsacitreki, ngaturakën
nuwala.

Tidak lama perjalanannya sampai, iya di tanah Klapagada, jajahan datar


tanahnya, kemudian beristirahat tiga malam, begitu hari Ahad berangkat,
sampai desa Pamrihan, kemudian keesokan harinya, Hangabehi
Gorowecono, dan lagi Hangabehi Wongsocitro, menyampaikan surat.

26. Sigra katur surat wusing tampi, dhatëng Gusti Pangran Sumayuda,
amungël wau surate, sayogi surat katur, konjukipun ing Kangjëng
Gusti, kopër dalëm bëndara, rinëksa ing dalu, anging tiwas awak
kula, kala dalu tinukup ing kraman ënting, pun Kërtapëngalasan.

Segera disampaikan suratnya sesudah diterima, oleh Sang Pangeran


Kusumoyudo, suratnya berbunyi, pantas surat itu disampaikan,
disampaikan kepada Sang Pangeran, koper milik tuan, dijaga tadi
malam, tetapi malang diri saya, ketika malam hari dirampok oleh para
makar hingga habis, si Kertopengalasan.

27. Tiyang sekët kang nitih turanggi, ingkang ngampak dhatëng


awak kula, turangga sekët dhatënge, pan numbak gangsal atus,
banderane gangsal winilis, aprang kawon kawula, kopër dalëm
kërbut, kapale Gorawëcana, inggih kenging lan waos pun nyonyor
Gusti, tumbake Wangsacitra.

Lima puluh orang yang menunggang kuda, yang merampok kepada


diri saya, kedatangannya dengan lima puluh ekor kuda, dan tumbak
lima ratus buah, benderanya terhitung lima buah, berperang saya kalah,
koper paduka direbut, kuda milik Gorowecono, iya kena dan tombak
dirampas Tuan, tombak milik Wongsocitro.

28. Waos ulam inggih samya kenging, kang satunggal Kyai


Wangsacitra, Jëng Pangran sangët krodane, sigra adandan gupuh,
Jëng Pangeran umangkat aglis, sawadya bala kuswa, Kurnel datan
kantun, sëksana sampun lumampah, Jëng Pangeran kalawan para
Kumpëni, dintën Këmis umangkat.

52
Tombak ikan juga semua kena, yang sebuah adalah milik Kyai
Wongsocitro, Sang Pangeran sangat marah, segera dia bersiap-siap
dengan cepat, Sang Pangeran cepat berangkat, seluruh pasukan ikut,
Sang Kolonel tidak ketinggalan, kemudian sudah berangkat, Sang
Pangeran dengan para Kumpeni, berangkat pada hari Kamis.

29. Langkung gancang lampahe Jëng Gusti, sampun prapteng ing


panggonanira, Pangran Mangkudiningrate, panggih wontën
Sëmawung, Pangran Mangkudiningrat iki, sadaya pra sëntana,
sërbanan sëdarum, këlawan rasukan jubah, kajëngipun Kumpëni
arsa nglurugi, ken baris Winong kana.

Sangat cepat perjalanan Sang Pangeran, sudah sampai di tempatnya,


Pangeran Mangkudiningrat, bertemu di Semawung, Pangeran
Mangkudiningrat ini, para kerabat semua, memakai surban semua,
dengan baju jubah, kehendak Kumpeni akan menyerbu, disuruh
berbaris di Winong sana.

30. Sampun baris ing Winong kang desi, Jëng Pangeran pan lajëng
lumampah, anare wontën Winonge, Pangran sawadyanipun,
pan kabëkta marang Kumpëni, dhatëng biting Gëmbulan, Jëng
Pangran wus angsung, Pangeran Kusumayuda, sampun prapteng
ing Winong lajëng abaris, sëmana kawarnaa.

Sudah berbaris di desa Winong, Sang Pangeran kemudian terus


berangkat, menginap di Winong, Sang Pangeran beserta pasukannya,
kemudian dibawa oleh Kumpeni, ke benteng Gembulan, Sang Pangeran
sudah memberi suguhan, Pangeran Kusumoyudo, sudah sampai di
Winong terus berbaris, ketika itu diceritakan.

31. Barisipun Pangran Adipati, wontën dhusun ing Winong sumahab,


Jëng Pangran Sumayudane, wontën kraman anglurug, marang
Winong angrampid baris, Basah Jayasundarga, saha balanipun,
Tumënggung Danukusuma, saha wadya sëmana samya angiring,
lan Basah Pëngalasan.

Barisan Pangeran Adipati, berkumpul di desa Winong, Sang


Pangeran Kusumoyudo, ada para makar datang menyerbu, ke Winong
mempersiapkan barisan, Basah Joyosundargo, beserta pasukannya,
Tumenggung Danukusumo, beserta pasukannya ketika itu semua
mengiringi, serta Basah Pengalasan.

53
32. Ingkang dadya tëtindhihing baris, Jëng Pangeran Adipanagara,
kalih dasa banderane, pan wontën kalih ewu, ingkang samya nitih
turanggi, wong satus kalih dasa, anëmpuh prangipun, Raden
Arya Kërtapraja, ngajëngakën Jayasundarga prajurit, kang kidul
prënahira.

Yang menjadi pemimpin barisan, Sang Pangeran Diponegoro, dua


puluh benderanya, dan ada dua ribu orang, yang menunggang kuda,
seratus dua puluh orang, menyerang dalam peperangan itu, Raden Aryo
Kertoprojo, menghadapi prajurit Joyosundargo, di sebelah selatan
letaknya.

33. Jasundarga pan lajëng kausir, ngantos dugi Selasinalangan, wetan


Singalaba gone, Pangeran barisipun, aneng tëngah awor Kumpëni,
baris pëndhëm karsanya, lawan saradhadhu, kalih dasa langkung
gangsal, mriyëmipun pan amung bëkta satunggil, mungsuh sami
Pangeran.

Joyosundargo kemudian terus diusir, hingga sampai di Selosinalangan,


di sebelah timur Singolobo tempatnya, Barisan Sang Pangeran,
berada di tengah-tengah berbaur dengan Kumpeni, barisan terpendam
kehendaknya, bersama serdadu, dua puluh orang lebih lima, meriamnya
hanya membawa sebuah, melawan sesama Pangeran.

34. Jëng Pangeran Dipanëgareki, lajëng kawon pan sami lumajar,


binujung wadya balane, dugi Tërsina dhusun, Kangjëng Gusti wus
wangsul malih, Pangran Kusumayuda, anjog gunung Jëblug, Den
Mayor Puspawinata, Ki Ngabehi Sadiwirya andon jurit, mungsuh
Danukusuma.

Sang Pangeran Diponegoro, kemudian kalah dan mereka melarikan diri,


pasukannya diburu, sampai desa Tersino, Sang Pangeran sudah pulang
lagi, Pangeran Kusumoyudo, langsung menuju gunung Jeblug, Raden
Mayor Puspowinoto, Ki Hangabehi Resodiwiryo terus berperang,
melawan Danukusumo.

35. Lajëng kawon kraman wus malëncing, Raden Tumënggung


Danukusuma, kausir dugi Gëmbore, sarëng sampun ing Bëdhug,
Jëng Pangeran wus kondur sami, dhatëng Winong sëdyanya, saha
balanipun, wus tata amësanggrahan, sadayanya wadya bala samya
mulih, dhatëng pondhokanira.

54
Para makar kemudian kalah dan sudah melarikan diri, Raden
Tumenggung Danukusumo, diusir sampai Gembor, begitu sudah
sampai di Bedug, Sang Pangeran dan pasukannya kembali, tujuannya
ke Winong, beserta pasukannya, sudah bersiap-siap untuk beristirahat,
seluruh pasukannya semua pulang, ke penginapannya.

36. Sarëng wau dhatëng brandhal malih, wadya kraman jujug


pësanggrahan, Pangeran Sumayudane, langkung kasësanipun,
Jëng Pangeran dados prajurit, pan dereng ngantos dandan, kang
dherek puniku, Kumpëni alit Rusëdhah, lawan malih saradhadhune
winilis, gunggung rong puluh lima.

Begitu para berandal datang kembali, pasukan makar langsung menuju


tempat peristirahatan, Pangeran Kusumoyudo, sangat tergesa-gesa,
Sang Pangeran menjadi prajurit, dan belum sampai bersiap-siap, yang
mengikutinya itu, Kumpeni kecil bernama Rusedah, dan lagi serdadunya
terhitung, jumlahnya dua puluh lima orang.

37. Mriyëmipun mung bëkta satunggil, lawan Kyai Behi Sadiwirya,


inggih samya dherekake, Pangran Sumayudeku, sampun dugi
pëcalangneki, kraman pan sampun cëlak, neng tëgal ngëndhanu,
Pangran masang sënjatanya, pan kasusu andhampeng mriyëm
mring kali, mriyëm langkung kewëdan.

Meriamnya hanya membawa sebuah, bersama Kyai Hangabehi


Resodiwiryo, juga mereka mengikuti, Pangeran Kusumoyudo, sudah
sampai prajurit pengamannya, kemudian para makar sudah dekat, di
perkebunan membludag, Sang Pangeran memasang senjatanya, karena
tergesa-gesa menempelkan meriam di sungai, meriamnya sangat
merepotkan.

38. Nulya Pangran lajëng andhawuhi, dhatëng Mantri Behi Sadiwirya,


dikakakën mapagake, Mantri tumandang maju, punang kraman
dipun parani, dhatëng Rësadiwirya, tan dangu kapëthuk, kakalih
panji kang sura, gëgamane sënjata rolas winilis, Behi sigra nyënjata.

Kemudian Sang Pangeran terus memberi perintah, kepada Mantri


Hangabehi Resodiwiryo, mengatakan untuk menghadangnya, Sang
Mantri segera bertindak maju, para makar didatangi, oleh Resodiwiryo,
tidak lama sudah bertemu, dua orang panji yang berani, persenjataannya
terhitung dua belas buah, Sang Hangabehi segera menembak.

55
39. Panjinipun wau ingkang kenging, kang satunggal wau namanira,
Pringgasëntika namane, këna ing tëpakipun, ingkang wau niba ing
siti, nulya kapal lumajar, gya cinandhak gupuh, mring Ngabehi
Sadiwirya, ingkang nyandhak kapale sira Sang Panji, kenging
sigra lumajar.

Panjinya yang terkena, yang seorang bernama, Pringgosentiko


namanya, terkena telapaknya, yang jatuh ke tanah, kemudian kudanya
berlari, segera ditangkap dengan cepat, oleh Hangabehi Resodiwiryo,
yang menangkap kuda milik Sang Panji, kena segera berlari.

40. Tandang sigra wau Ki Ngabehi, lajëng bujung dhatëng kraman


kathah, pan wus tëbih pambujunge, nuli sradhadhu nusul, mung
sadasa kathahireki, mring Behi Sadiwirya, sigra saradhadhu,
anyënjata Panji sira, lajëng pëjah Tapriyoga sira Panji, kasupit
wontën toya.

Ki Hangabehi segera bertindak, terus mengejar kepada para makar


yang banyak, dan sudah jauh pengejarannya, kemudian pra serdadu
menyusul, hanya sepuluh orang jumlahnya, kepada Hangabehi
Resodiwiryo, segera serdadu, menembak Sang Panji, kemudian Panji
Kertopriyogo mati, terjebak di dalam air.

41. Prajurite wau sira Panji, Tapriyoga namung kantun tiga, lajëng
wau dipun ëdhrel, tëtiga parëng lampus, sënjatane dipun pëndhëti,
sabubaring këraman, sënjata tëtëlu, waose kalih binëkta, nulya
katur dhatëng wau Kangjëng Gusti, Pangran Kusumayuda.

Prajurit Sang Panji, Kertopriyogo hanya tinggal tiga orang, terus


mereka diberondong, ketiganya mati bersama-sama, senjatanya semua
diambil, sesudah para makar bubar, tiga buah senjata, tombaknya dua
buah dibawa, kemudian diserahkan kepada Sang Pangeran, Pangeran
Kusumoyudo.

42. Sigra kondur dhatëng Winong malih, Jëng Pangeran wau


mësanggrahan, aneng pasar ing Winonge, sarëng ing Këmisipun,
Sadiwirya dipun dhawuhi, dhatëng Kangjëng Pangeran, samya
kinon ngecu, dhatëng dhusun Singalaba, barisira Jayasundarga
ken gitik, sigra Behi parentah.

56
Segera kembali ke Winong lagi, Sang Pangeran beristirahat, di pasar
Winong, begitu hari Kamis, Resodiwiryo diperintah, oleh Sang Pangeran,
mereka disuruh merampok, ke desa Singolobo, disuruh menyerbu
barisan Joyosundargo, segera Sang Hangabehi memerintahkan.

43. Iya dhatëng para kang prajurit, nulya prentah Ki Rësadiwirya,


dhatëng wau Bëkël Sëren, Naladangsa ken ngecu, dhatëng
Singalaba ing latri, Naladangsa Pakuthan, alon aturipun, inggih
sandika kewala, abdi dalëm Rësadiwirya Ngëbehi, sarta tumut
piyambak.

Iya kepada para prajuritnya, kemudian Ki Resodiwiryo memberi


perintah, kepada Bekel Seren, Nolodongso disuruh merampok, ke
Singolobo pada malam hari, Nolodongso Pakutan, berkata pelan, iya
bersedia saja, abdi paduka Hangabehi Resodiwiryo, sendiri ikut serta.

44. Bëkta waos mung kawan daseki, sënjatanya tiga kathahira, wus
prapta wau prënahe, bala umyang gumuruh, ingkang ngecu
nulya ge prapti, ing wanci jam sadasa, baris bubar mawut, barise
Jayasundarga, Singalaba kinecu sëmana gusis, tukang gëndera
pëjah.

Membawa tombak hanya empat puluh buah, senjatanya tiga buah


jumlahnya, sudah sampai di tempatnya, pasukan berteriak-teriak
bergemuruh, yang merampok kemudian segera sampai, pada waktu jam
sepuluh, barisan bubar berhamburan, barisan Joyosundargo, ketika itu
Singolobo dirampok habis-habisan, pembawa benderanya mati.

45. Angsal tumbak satunggal lan kalih, sënjatane pan amung


satunggal, lajëng samya mulih kabeh, wus prapteng prënahipun,
tumbak bëdhil katur Jëng Gusti, dhatëng Kangjëng Pangeran,
Kusumayudeku, Jëng Pangran alon ngandika, dhatëng Litnan
Lisëdhah wau Kumpëni, pan dhëm kopër wus prapta.

Memperoleh tombak satu buah dan dengan, senjatanya hanya sebuah,


terus mereka kembali semua, sudah sampai di tempatnya, tombak dan
senapan diserahkan kepada Sang Pangeran, Kusumoyudo itu, Sang
Pangeran berkata pelan, kepada Letnan Lisedah Kumpeni itu, dan
koper yang diharapkan sudah datang.

57
46. Pra Kumpëni bungahe këpati, dene kraman liwat sangking kathah,
kang kenging kinecu kuwe, mring wong këdhik puniku, tumbak
bëdhil dinëlëng sami, iya marang Walanda, sangët sukanipun,
bëdhil tumbak akeh këna, samya tinon tumbak kinarya mateni,
dhatëng tukang gëndera.

Para Kumpeni sangat senang sekali, karena para makar terlalu sangat
banyak, yang kena dirampok itu, oleh orang sedikit itu, tombak senapan
dilihat oleh mereka, iya oleh Belanda, sangat senangnya, senapan
tombak banyak yang kena, mereka melihat tombak yang dipakai
membunuh, kepada si pembawa bendera.

47. Pra Kumpëni bungahe këpati, lakak-lakak sarta suka-suka,


angëntrog-gëntrog wëntise, gëntiya kang winuwus, sarëng dintën
Sënen marëngi, Gusti Kangjëng Pangeran, arsa den jak laju,
amringkas kang desa-desa, Jëng Pangeran ngaturan ngarëp
pribadi, tindake Jëng Pangeran.

Para Kumpeni sangat senang sekali, terbahak-bahak serta bersuka


ria, menghentak-hentakkan betisnya, ganti yang diceritakan, begitu
bertepatan dengan hari Senin, Sang Pangeran, hendak diajak bepergian,
meringkus ke desa-desa, Sang Pangeran dipersilakan di depan sendiri,
perjalanannya Sang Pangeran.

48. Duk sëmana pan samya lumaris, pra Kumpëni lawan Jëng
Pangeran, wus lëpas wau lampahe, Kurnel lan saradhadhu, wus
dumugi Tërsina desi, wontën këraman kathah, barisipun agung,
ingkang dadi senapatya, Jasundarga kalawan tumënggung siji,
nama Danukusuma.

Ketika itu mereka sudah berangkat, para Kumpeni dan Sang Pangeran,
sudah jauh perjalanannya, Kolonel dan para serdadu, sudah sampai di
desa Tersino, ada banyak para makar, barisannya banyak, yang menjadi
panglima perang, Joyosundargo dan seorang tumenggung, bernama
Danukusumo.

49. Tekong Kërtapëngalasan nënggih, gya lumampah amapag Wëlanda,


karëp ngajak ngamuk bae, dhatëng Kumpëni wau, ya ta sampun
kapëthuk nuli, aprang wontën ing marga, sadaya anëmpuh, sëmana
lajëng apërang, aneng marga arame asilih ungkih, langkung rame
kang yuda.

58
Ya Tekong Kertopengalasan, segera berangkat menghadang Belanda,
hendak mengajak mengamuk saja, kepada Kumpeni itu, ya kemudian
sudah bertemu, berperang di jalan, semua bertempur, ketika itu terus
berperang, di jalan ramai saling menyerang, sangat ramai perangnya.

50. Tan adangu kraman sor ing jurit, dipun usir prapta ing Ngandhagan,
Pëngalasan Tekong thekle, apan wus mlayu darung, balanira
sadaya mamring, Pangran prapteng Ngandhagan, kraman sampun
mawur, dhatëng wau dhusun Soka, Raden Mayor Puspawinata
Ngëbehi, Kyai Rësadiwirya.

Tidak lama para makar kalah dalam peperangan itu, diusir sampai di
Ngandagan, Tekong Pengalasan tangannya terluka, kemudian melarikan
diri dengan kencang, semua pasukannya sepi, Sang Pangeran sampai
Ngandagan, para makar sudah berhamburan, menuju desa Soko, Raden
Hangabehi Mayor Puspowinoto, Kyai Resodiwiryo.

51. Dikakakën ngusir kraman sami, pan kausir dhatëng dhusun Soka,
këraman neng pinggir lepen, Kyai Sadiwiryeku, samya mëdal
tëngahing sabin, lawan Puspawinata, wau kancanipun, wontën
prajurit tëtiga, bala kraman bëkta sënjata satunggil, tumbak kalih
cacahnya.

Disuruh mengusir para makar, kemudian diusir sampai desa Soko, para
makar di pinggir sungai, Kyai Resodiwiryo itu, mereka lewat tengah
sawah, dengan Puspowinoto, temannya, ada tiga orang prajurit, pasukan
makar yang membawa sebuah senjata, tombak dua buah jumlahnya.

52. Ya ta wau prajurit kang katri, gya sinëntak mring Rësadiwirya,


lawan Puspawinatane, sënjata kang jinaluk, dhatëng wau Kyai
Ngabehi, inggih Rësadiwirya, sënjatane iku, sineleh aneng ing
lëmah, apan lajëng tiyange dipun lamëngi, prajurit nulya pëjah.

Ya ketiga prajurit itu, segera dibentak oleh Resodiwiryo, dan


Puspowinoto, senjatanya diminta, oleh Kyai Hangabehi, iya
Resodiwiryo, senjatanya itu, diletakkan di atas tanah, dan kemudian
orangnya dipedang, prajurit itu kemudian mati.

53. Kang prajurit bëkta waos kalih, dyan jinaluk wau botën suka,
lajëng tinumbak kramane, dhatëng prajuritipun, Sadiwirya Kyai
Ngabehi, wong kalih pëjah jajar, tan tëbih genipun, Ngëbehi

59
Rësadiwirya, lawan Mayor nama Puspawinateki, wus manjing
dhusun Soka.

Prajurit yang membawa dua buah tombak, kemudian diminta tidak


memberikan, kemudian ditombak para makar itu, oleh prajuritnya,
Kyai Hangabehi Resodiwiryo, kedua orang itu mati berjajar, tidak
jauh tempatnya, Hangabehi Resodiwiryo, dan Mayor yang bernama
Puspowinoto ini, sudah masuk desa Soko.

54. Wusnya dangu kraman ingkang dhëlik, gya sinëntak dhatëng


Sadiwirya, këraman barëng kagete, tan etung kraman ambyur,
aneng toya silëm ing kali, sërbane binuwangan, gundhul ting
pëndhusul, bëdhile samya binucal, wontën lepen akathah ingkang
ngëmasi, den ëdrel sing dharatan.

Sesudah lama para makar yang bersembunyi, segera dibentak oleh


Resodiwiryo, para makar bersama-sama terkejut, tanpa perhitungan
para makar menceburkan diri, ke dalam air tenggelam di sungai,
surbannya dibuang, gundul bermunculan, senapan mereka dibuang, di
sungai banyak yang mati, diberondong dari daratan.

55. Kathah pëjah neng dhasaring warih, wëtëng jëmbling këkathahën


toya, miwah ingkang tatu kabeh, sawidak kathahipun, kapalira
tiga kang mati, cacahe kapal pëjah, Sadiwirya iku, angsal kathah
kang bandhangan, pan sënjata kalih wëlas kathahneki, waosipun
wolulas.

Banyak yang mati di dasar sungai, perut menggelembung kebanyakan


air, serta yang terluka semua, enam puluh orang jumlahnya, kudanya
tiga ekor yang mati, jumlah kudanya yang mati, Resodiwiryo itu,
memperoleh banyak rampasan, senjatanya dua belas buah jumlahnya,
tombaknya delapan belas buah.

56. Miwah angsal bandhangan Ngëbehi, pan gamëlan salendro


larasnya, sarancak tiga kapale, sarëng sabubaripun, sakathahe
kraman angungsi, Kurnel Klerës punika, lajëng wau nusul, dhatëng
dhusun ing Ngundhagan, sarëng sampun prapta ing dhusunireki,
Kurnel ngrëmbag ron kamal.

60
Serta Hangabehi memperoleh rampasan, gamelan laras slendro,
seperangkat tiga ekor kudanya, begitu bubar, seluruh para makar
mengungsi, Kolonel Cleerens itu, terus menyusul, ke desa Ngundagan,
begitu sudah sampai di desa ini, Sang Kolonel merundingkan daun
asam.

---oooOooo---

61
PUPUH XXX
SINOM

1. Walanda ngajak rëmbugan, Jëng Pangran wus angrojongi, anjajah


kang desa-desa, wus gilig samya lumaris, wadya bala angiring, wus
lëpas ing lampahipun, arame wontën marga, sampun prapteng
dhusun Samping, samya sipëng sëdalu amësanggrahan.

Belanda mengajak berunding, Sang Pangeran sudah menyepakati,


pergi ke desa-desa, sesudah sepakat mereka berangkat, pasukannya
mengiringi, sudah jauh perjalanannya, ramai di perjalanan, sudah
sampai desa Samping, mereka menginap semalam untuk beristirahat.

2. Sarëng enjing gya lumampah, sakathahe kang wadya lit, lan


Kurnel Klerës Wëlanda, apan sipëng kalih latri, mila sipëng rong
bëngi, pan kabutuh lepen ladhu, agëng kali Mëdana, ya ta Kurnel
rëmbug pikir, lan Pangeran angajak akarya sasak.

Begitu pagi hari segera berangkat, seluruh pasukan kecil itu, dan
Kolonel Cleerens Belanda, kemudian menginap dua malam, makanya
menginap dua malam, karena terjebak sungai yang meluap, besarnya
sungai Medono, ya Sang Kolonel bertukar pikiran, dengan Sang
Pangeran mengajak membuat jembatan.

3. Kenginga kadamël marga, den woti wadya lit-alit, pinggir lepen


wontën wrëksa, waringin agëng nglangkungi, witira tinëgori,
rinëbahakën mring banyu, ngrubuhi tiyang gangsal, wong Madura
kang nëgori, kawan dasa sigra kali katutupan.

Agar bisa dibuat jalan, diseberangi pasukan kecil-kecil, di pinggir


sungai ada sebuah pohon, beringin yang sangat besar, pohonnya
ditebangi, dirobohkan ke sungai, merobohi lima orang, orang Madura
yang menebangi, empat puluh orang segera sungai tertutup.

4. Sampun dadya ingkang sasak, nulya lumampah prajurit, sakathahe


wadya bala, sasak sadina wus dadi, dennya nyabrang ing latri,
sadayanira wus rawuh, desa-desa Ngaliyan, ngantos dalu gennya
prapti, bawanipun tëbih gennya pasipëngan.

62
Sudah jadi jembatannya, kemudian para prajurit berangkat, seluruh
pasukannya, jembatan sehari sudah jadi, mereka menyeberang pada
malam hari, semuanya sudah sampai, di desa Ngaliyan, hingga malam
hari mereka sampai, karena jauh tempat penginapannya.

5. Wadya asësambat kathah, wong alit pating kuruntih, dumeh tëbih


pasipëngan, kang dharat sayah nglangkungi, lan mëntas sami
kardi, sasak lajëng sami banjur, mangkat tëbih sipëngan, mila
sayah sadayeki, samya angluh prapteng dalu sirëp jalma.

Banyak pasukannya yang mengeluh, orang-orang kecil merintih-rintih,


karena jauh penginapannya, yang berjalan kaki sangat lelah, dan baru
saja mereka bekerja, membuat jembatan terus melanjutkan, berangkat
jauh ke penginapan, maka semuanya kelelahan, mereka lunglai sampai
malam saatnya orang tidur.

6. Wontën dhusun ing Ngaliyan, samya dulu marga alit, rumpil sarta
mëntas jawah, lunyune këpati-pati, kathah kang sambat mati,
tëngah dalu praptanipun, Ngaliyan nama desa, nanging tan wontën
wismeki, krambil sëpi griya lit tan wontën jalma.

Berada di desa Ngaliyan, mereka melihat jalan kecil, terjal serta baru
saja hujan, licinnya keterlaluan, banyak yang mengeluh mati, tengah
malam sampainya, Ngaliyan nama desanya, tetapi tidak ada rumahnya,
pohon kelapa tidak ada rumah kecil tidak ada orangnya.

7. Mung kayu aren kang ana, Pangran ngaub wisma alit, warni
gubug wisma kraman, namung sëdhëng wong këkalih, Kurnel lan
Kangjëng Gusti, wadya keh sami anglucut, mantri sami kodanan,
tan wontën ngaub salatri, pan sëdalu këlucut samya kodanan.

Hanya pohon aren yang ada, Sang Pangeran berteduh di dalam


rumah kecil itu, berupa gubug rumah para makar, hanya cukup untuk
dua orang, Sang Kolonel dan Sang Pangeran, pasukan banyak yang
basah kehujanan, para mantri semua kehujanan, tidak bisa berteduh
semalaman, jadi semalaman mereka basah kehujanan.

8. Sartane tan wontën mangan, sadaya kang wadya alit, Jëng


Pangran langkung luwenya, siyang latri tan abukti, wong bëkta
sangu këdhik, wërni bëras dipun untut, wontën kang drëmis kanca,
sinëntak iki wong baris, ingong nguntut anjaluk jamake tumbas.

63
Serta tidak ada yang makan, semua pasukan kecil itu, Sang Pangeran
sangat lapar, siang malam tidak makan, ada orang yang membawa bekal
sedikit, berupa beras dimakan langsung, ada teman yang suka minta,
dibentak ini orang barisan, saya makan langsung meminta wajarnya
membeli.

9. Iki ana bras sapala, sauntutan mung sadhidhik, kang drëmis nauri
ngrëpa, inggih kula niki micis, sauntutan ngong dhuwit, inggih
pintën rëginipun, tan nganti pados rëga, bëras inguntut tumuli,
ingkang gadhah angrëgani iku suwang.

Ini ada beras sedikit, sejimpit untuk dimakan langsung hanya sedikit,
yang minta menjawab memelas, iya ini saya membeli sepuluh sen,
sejimpit untuk dimakan langsung saya minta uang, iya berapa harganya,
tidak sampai mencari harga (tawar menawar), beras kemudian dimakan
langsung, yang mempunyai beras menghargai itu seuwang (0,85 sen).

10. Angucap kang darbe bëras, ëndi ingong jaluk dhuwit, kang nguntut
mring kali sigra, kasusu angkat ing baris, kang darbe wos misuhi,
nulya lajëng tan kacatur, prapta ing ardi Tawang, Jëng Pangeran
wus adugi, neng Sëgaluh ingkang nama Purwareja.

Orang yang punya beras bertanya, mana saya minta uangnya, orang
yang makan beras segera menuju sungai, tergesa-gesa berangkat dalam
barisan, orang yang punya beras memarahi, kemudian terus tidak
diceritakan, sampai di gunung Tawang, Sang Pangeran sudah sampai,
di Segaluh di desa yang bernama Purworejo.

11. Jëng Pangran neng Purwarëja, pan amung sare salatri, lajëng
budhal mring Toyamas, mung nëm latri gennya guling, enjing
budhal tumuli, apan lajëng samya wangsul, dhatëng ing Purwarëja,
wus prapta sipëng sawëngi, sarëng enjing gya lumampah samya
ngetan.

Sang Pangeran berada di Purworejo, dan hanya menginap semalam,


terus berangkat ke Banyumas, hanya enam hari mereka menginap,
pagi hari kemudian berangkat, kemudian mereka terus pulang, menuju
ke Purworejo, sesudah sampai menginap semalam, begitu pagi hari
mereka segera berangkat ke timur.

64
12. Ing Sëgaluh kang sinëdya, ing kono samya aguling, enjingipun
gya lumampah, budhal sing Sëgaluh enjing, sore sipëng ing rëdi,
gunung Tawang namanipun, sëlaya rëmbagira, Jëng Pangran
lawan Kumpëni, karsanipun Jëng Pangran jog Wanasaba.

Ke Segaluh yang dituju, di sana mereka menginap, pagi harinya


segera berangkat, berangkat dari Segaluh pada pagi hari, pada sore
hari menginap di gunung, gunung Tawang namanya, berseberangan
perundingannya, Sang Pangeran dan Kumpeni, kehendak Sang
Pangeran langsung menuju Wonosobo.

13. Lajëng dhatëng ing Magëlang, Kurnel ing karëpireki, anjog marang
ingkang desa, Lowano sinëdyeng galih, Jëng Pangran datan arsi,
dangu kendël pucak gunung, wadyane atut wuntat, Jëng Pangran
neng Tawang wukir, duk sëmana Kurnel lumampah wus prapta.

Terus menuju ke Magelang, Sang Kolonel di dalam kehendaknya,


langsung menuju ke desa, Loano yang dituju di dalam hatinya, Sang
Pangeran tidak mau, lama berdiam di puncak gunung, pasukannya ikut
dari belakang, Sang Pangeran berada di gunung Tawang, ketika itu
Sang Kolonel sudah berangkat sampai.

14. Këmanggen angidul ngetan, jog Lowano ingkang desi, lajëng


prapta pra Wëlanda, ing beteng Gëmbulan sami, Kurnel atutur
maring, ing kanca Kumpëni agung, gënti ingkang kocapa, Jendral
Dhëkok mirëng warti, Jëng Pangeran mëksih aneng ardi Tawang.

Kemanggen ke tenggara, langsung menuju desa Loano, terus para


Belanda datang, mereka di benteng Gembulan, Sang Kolonel berkata
kepada, kepada teman-teman Kumpeni yang banyak, ganti yang
diceritakan, Jenderal De Kock mendengar kabar, Sang Pangeran masih
berada di gunung Tawang.

15. Sëlaya ing rëmbagira, sigra Tuwan Jendral kardi, surat katur Jëng
Pangeran, wus dados punang kentaki, lamat sing Jendral muni,
Jëng Tuwan amuwus arum, dhatëng ingkang dinuta, kang surat
tinampan aglis, wus lumampah duta tëbih lakunira.

Berseberangan dalam perundingan, segera Tuan Jenderal mengambil


tindakan, surat disampaikan kepada Sang Pangeran, sudah jadi surat

65
itu, yang beralamat dari Sang Jenderal berbunyi, Sang Tuan berkata
lembut, kepada yang diutus, suratnya segera diterima, utusan sudah
berangkat sudah jauh perjalanannya.

16. Kocapa Kangjëng Pangeran, kang lumampah aneng margi,


sawadya bala sumahab, Wanasaba nulya prapti, sarëng surup
Hyang Rawi, praptane Wanasabeku, astha ari laminya, wontën
Tawang pucak wukir, ing samangkya mësanggrahan Wanasaba.

Diceritakan Sang Pangeran, yang berangkat di perjalanan, beserta


pasukannya berkelompok, kemudian sampai Wonosobo, bersamaan
dengan tenggelamnya Sang Surya, kedatangannya di Wonosobo
itu, delapan hari lamanya, berada di puncak gunung Tawang, kini
beristirahat di Wonosobo.

17. Dugine ing Wanasaba, sarëng dutaning Kumpëni, surat sampun


tinampanan, dhumatëng ing Kangjëng Gusti, surat binuka aglis,
ungele nuwala wau, Jëng Pangran ingaturan, katuding anjog ing
ngloji, ing Magëlang Tuwan Jendral arsa panggya.

Kedatangannya di Wonosobo, bersamaan dengan utusan Kumpeni,


surat sudah diterima, oleh Sang Pangeran, surat segera dibuka, bunyi
surat itu, Sang Pangeran diminta, disuruh langsung menuju loji, di
Magelang Tuan Jenderal hendak bertemu.

18. Jëng Pangran sigra lumampah, budhal sing Wanasabeki, anjog


nagri ing Magëlang, datan kawarna ing margi, lampahe sampun
prapti, ing Magëlang wadyanipun, praptanira Magëlang, lajëng
anjog dhatëng ngloji, wus panggihan Jendral aneng Kantor Besar.

Sang Pangeran segera berangkat, berangkat dari Wonosobo, langsung


menuju ke Magelang, tidak diceritakan di perjalanan, perjalanannya
sudah sampai, di Magelang beserta pasukannya, sesampainya di
Magelang, terus langsung menuju loji, sudah bertemu dengan Sang
Jenderal di Kantor Besar.

19. Jëng Pangran lajëng pinarak, samya dhatëng pra Kumpëni, samya
pista langkung rahab, adhahar nginuman kënit, Pangran lawan
Kumpëni, wus dangu bubaran sampun, Walanda samya mëdal,
kang wadya sampun umijil, ri sëkasana tan antara bubudhalan.

66
Sang Pangeran kemudian singgah, para Kumpeni semua datang, mereka
berpesta sangat lahab, makan dan minum arak putih, Sang Pangeran
dan Kumpeni, setelah lama kemudian bubar, orang-orang Belanda
semua keluar, pasukannya sudah keluar, tidak berapa lama kemudian
berangkat.

20. Mring Bagëlen sadayanya, wus prapteng Manoreh desi, sabalane


Jëng Pangeran, lumampah aneng ing wingking, lampahe kang
prajurit, asëlur munggah ing gunung, wus prapta lampahira,
kang ngarsa wus nyabrang kali, sampun prapta pëbarisan ing
Gëmbulan.

Semuanya ke Bagelen, sudah sampai di desa Menoreh, Sang Pangeran


beserta pasukannya, berjalan di belakang, perjalanan prajuritnya,
berduyun-duyun mendaki gunung, sudah sampai perjalanannya, yang
di depan sudah menyeberangi sungai, sudah sampai barisannya di
Gembulan.

21. Sadaya prajuritira, Jëng Pangran sampun alinggih, wus panggihan


pra Walanda, sadaya sami manggihi, dhumatëng Kangjëng Gusti,
Pangeran Sumayudeku, karëpe Kurnel Landa, Pangran kon ngalih
goneki, wontën kilening marga sabalanira.

Semua prajuritnya, Sang Pangeran sudah duduk, sudah bertemu


dengan para Belanda, mereka semua menemui, kepada Sang Pangeran,
Pangeran Kusumoyudo itu, kehendak Sang Kolonel Belanda, Sang
Pangeran disuruh berpindah tempatnya, di sebelah barat jalan beserta
pasukannya.

22. Pangeran Mangkudiningrat, wangsul dhatëng ing nëgari, Magëlang


malih dhereka, sawadyanira umiring, Pangran Suryamëtawis,
kumpul lan Dipati iku, Sawunggaling kang nama, karsane Klerës
Kumpëni, adamëla beteng Pakis lawan Këmbar.

Pangeran Mangkudiningrat, kembali ke kota, Magelang lagi mengikuti,


beserta pasukannya mengiringi, Pangeran Suryomataram, berkumpul
dengan Sang Adipati itu, Sawunggaling namanya, kehendak Cleerens
Kumpeni, untuk membuat benteng Pakis dan Kembar.

23. Tuwan Kurnel wus lumampah, lan Pangran Suryamëtawis,


Sawunggaling rowangira, Dipati Batang tinuding, dhatëng

67
Wanasabeki, Tuwan Kurnel kang anuduh, kang ngalor wus
lumampah, wadyanira kabeh ngiring, ingkang ngidul lumampah
bala gumërah.

Tuan Kolonel sudah berangkat, dan Pangeran Suryomataram,


Sawunggaling temannya, Adipati Batang disuruh, ke Wonosobo,
Tuan Kolonel yang menyuruh, yang ke utara sudah berangkat, semua
pasukannya mengiringi, yang ke selatan berangkat pasukannya
bergemuruh.

24. Dipati Batang wus prapta, sawadya Wanasabeki, Tuwan Kurnel


prapteng Këmbar, ing Pakis kinarya biting, Pangran Suryamëtawis,
wus prapta ing mantrinipun, karya biting ing Këmbar, kocapa
kang wontën ardi, Wanasaba samya tugur aneng arga.

Adipati Batang sudah sampai, beserta pasukannya di Wonosobo, Tuan


Kolonel sampai di Kembar, di Pakis membuat benteng, Pangeran
Suryomataram, sudah sampai di tempat mantrinya, membuat benteng
di Kembar, diceritakan yang berada di gunung, di Wonosobo mereka
berjaga di gunung.

25. Gënti kocap Jëng Pangeran, Jëng Gusti Sumayudeki, lajëng wau
paparentah, dhumatëng wadyaning mantri, Ki Rësadiwiryeki, wus
jinunjung linggihipun, sampun sinungan nama, alinggih jënëng
Bupati, anamaa Ki Tumënggung Cakrajaya.

Ganti yang diceritakan Sang Pangeran, Sang Pangeran Kusumoyudo,


terus memerintahkan, kepada pasukan mantri, Ki Resodiwiryo, sudah
diangkat kedudukannya, sudah diberi jabatan, menduduki jabatan
Bupati, bernama Ki Tumenggung Cokrojoyo.

26. Bupati Tanggung mëngkuwa, sëdaya samya nëkseni, Dyan


Tumënggung Arumbinang, wus mashur wong sanëgari, Tanggung
Sang Adipati, kang ngadëg Sadiwiryeku, jinunjung linggihira,
Dipati Cakrajayeki, wus jumënëng tëtëp Tanggung prajanira.

Menjabat Bupati Tanggung, mereka semua menyaksikan, Raden


Tumenggung Arumbinang, sudah termasyhur bagi orang-orang di
seluruh kota, Sang Adipati Tanggung, yang menjabat Resodiwiryo,
diangkat kedudukannya, Adipati Cokrojoyo ini, sudah menjabat tetap
di Tanggung wilayahnya.

68
27. Wus tëtëp pilënggahira, sëngkalanira inganggit, ran Tumënggung
Cakrajaya, ing Tanggung ingkang palinggih, manca suraning jalmi,
Tumënggung Cakrajayeku, kadhawuhan timbalan, pan dikane
Kangjëng Gusti, dikakakën ajaga Këdhungmaesa.

Sudah ditetapkan kedudukannya, perlambang tahunnya ditulis, dengan


sebutan Tumenggung Cokrojoyo, di Tanggung kedudukannya, manca
suraning jalmi, Tumenggung Cokrojoyo itu, diberi perintah, perintah
Sang Pangeran, diperintahkan menjaga Kedungkebo.

28. Lan Kumpëni rewangira, Litnan Lisdhah ingkang nami, sëksana


samya lumampah, datan dangu sampun prapti, Këdhungmesa pra
sami, atata pondhokanipun, wus patut rakitira, wong sekët kang
nambut kardi, pan rumagang sarëng ngëlët kalih dina.

Dan Kumpeni temannya, Letnan Lisdah namanya, mereka segera


berangkat, tidak lama sudah sampai, mereka sampai di Kedungkebo,
mempersiapkan tempat penginapannya, sudah pantas persiapannya,
lima puluh orang yang bekerja, kemudian bekerja bersama-sama
berselang dua hari.

29. Kanjëng Pangran lajëng tindak, dhumatëng Këdhungmeseki,


budhal tan wontën kantuna, wadyanira samya ngiring, tan kawarna
ing margi, Këdhungmesa nulya rawuh, wadya tata panggenan,
damël gubug alit-alit, Kangjëng Gusti Sumayuda mësanggrahan.

Sang Pangeran terus berangkat, ke Kedungkebo ini, berangkat tidak


ada yang ketinggalan, pasukannya semua mengiringi, tidak diceritakan
di perjalanan, kemudian sampai di Kedungkebo, pasukannya menata
tempat, membuat gubug kecil-kecil, Sang Pangeran Kusumoyudo
beristirahat.

30. Jëng Pangran lon andikanya, mring Mënggung Cakrajayeki,


karsane Kangjëng Pangeran, ken nimbali ingkang abdi, kang
wontën wetan kali, kang abdi ajrih sëdarum, mring kraman
kang singidan, sadaya kalangkung wingwrin, ingkang galih Kya
Tumënggung Cakrajaya.

Sang Pangeran berkata pelan, kepada Tumenggung Cokrojoyo,


kehendak Sang Pangeran, disuruh memanggil abdinya, yang berada
di sebelah timur sungai, semua abdinya ketakutan, kepada para makar

69
yang bersembunyi, semua sangat takut, yang dipikir Kyai Tumenggung
Cokrojoyo.

31. Nuwun pamit mring Pangeran, Jëng Gusti Sumayudeki, linilan


sarwi andonga, Tumënggung Cakrajayeki, pan sarta bëkta mantri,
sanunggil Wangsacitreku, tumut mring Cakrajaya, nëlukën wong
desi-desi, sadayane wong desa sami tinata.

Mohon pamit kepada Sang Pangeran, Sang Pangeran Kusumoyudo,


diijinkan serta mendoakan, Tumenggung Cokrojoyo ini, kemudian
membawa serta mantri, seorang yaitu Wongsocitro, ikut dengan
Cokrojoyo, menaklukkan orang-orang di desa-desa, orang-orang desa
semuanya mereka tata.

32. Ingkang tëluk dhingin pyambak, nama dhusun Këdhunggunting,


siti sekët kathahira, Sëmawung satus kang sabin, ing Bara satus
malih, Piji barisipun kumpul, dhatëng ing Këmanukan, Cangkrëp
siti satus malih, langkung sekët Pucangkrëp sëdayanira.

Yang takluk paling dahulu, bernama desa Kedunggunting, di tanah ini


lima puluh orang banyaknya, Semawung seratus orang di sawahnya,
di Boro seratus orang lagi, Piji barisannya berkumpul, menuju
Kemanukan, Cangkrep seratus orang lagi, lebih lima puluh orang di
Cangkrep semuanya.

33. Brenggong siti gangsal dasa, Tanggung sak anteroneki, satus kang
tëluk punika, akathah kang sami baris, Këmanukan akaping, cacah
tiyang kawan atus, prajurit kang kapalan, pan amung sadasa iji,
kang nindhihi tëlukan sami arahan.

Di tanah Brenggong lima puluh orang, Tanggung dan sekitarnya, seratus


orang yang takluk, banyak mereka yang berbaris, Kemanukan berkali-
kali, sejumlah empat ratus orang, prajurit yang berkuda, hanya sepuluh
orang, yang memimpin orang taklukan semua orang-orang kecil.

34. Ki Tumënggung Cakrajaya, ing nguni Kyai Ngabehi, kang dados


titindhihira, lan Kyai Wangsacitreki, Rangga Tapawireki, lawan
Rësasëmiteku, prajurit kawan dasa, ing dintën Dite marëngi,
barisira Wangsacitra kainggahan.

Ki Tumenggung Cokrojoyo, yang dahulu Kyai Hangabehi, yang


menjadi pemimpinnya, dan Kyai Wongsocitro, Ronggo Kertopawiro,

70
dan Resosemito itu, empat puluh orang prajurit, bertepatan dengan hari
Ahad, barisan Wongsocitro kedatangan.

35. Kraman ingkang sangking wetan, namane kang dados tindhih,


Tumënggung Cakranëgara, satunggil namanireki, Mënggung
Patmanëgari, akathah prajuritipun, kang kidul gya tumandang,
wau kang tarung rumiyin, sira Kyai Wangsacitra pan kasoran.

Para makar yang dari timur, namanya yang menjadi pemimpin,


Tumenggung Cokronegoro, yang seorang lagi namanya, Tumenggung
Patmonegoro, banyak prajuritnya, yang dari selatan segera bertindak,
yang bertarung lebih dahulu, kemudian Kyai Wongsocitro kalah.

36. Yudane Ki Wangsacitra, Rangga lan Sasëmiteki, wus kawon samya


lumajar, mëngalor playunireki, Këmanukan wus ënting, keh wisma
kobar sëdarum, brandhal kang samya ngrayah, wong Manukan
sami ngili, salang tunjang wong wadon saparan-paran.

Berperangnya Wongsocitro, Ronggo dan Resosemito, sudah kalah


mereka melarikan diri, ke utara pelariannya, Kemanukan sudah habis,
banyak rumah terbakar semua, semua para berandal yang menjarah,
semua orang-orang Kemanukan mengungsi, orang-orang perempuan
berlari tunggang langgang ke mana-mana.

37. Mas Tumënggung Cakradirja, Tumënggung Nilasrabeki, ingkang


ngangsëg tarungira, ingkang wetan anarungi, ngantos dumugi desi,
Pacëkëlan dennya ngëlud, ing Cangkrëp barisira, lumayu dumugi
Plipir, tan antara Pëlipir sami kabësman.

Mas Tumenggung Cokrodirjo, Tumenggung Nilosrobo ini, yang


mendesak penyerangannya, yang timur menyerang, hingga sampai
desa, Pacekelan mereka mengejarnya, barisan di Cangkrep, melarikan
diri sampai Plipir, tidak lama kemudian Plipir semua kebakaran.

38. Mlayu tan wontën manggala, yudane Cakradirjeki, angëlud lan


Cakrapraja, Ngabehi Wangsacitra glis, enggal matur ing Gusti,
Jëng Pangran Sumayudeku, sigra gancang lumampah, wadyane
samya angiring, sapraptane Këdhungmesa Wangsacitra.

Melarikan diri tidak ada panglima, perangnya Cokrodirjo, mengejar


dan Cokroprojo, Hangabehi Wongsocitro segera, cepat-cepat
menyampaikan kepada Sang Pangeran, Pangeran Kusumoyudo, segera

71
bergegas berangkat, pasukannya mengiringi semua, sesampainya di
Kedungkebo Wongsocitro.

39. Matur dhatëng Gustinira, Jëng Pangran Sumayudeki, matur


solahireng yuda, kala tingkahireng jurit, wus katur sadayeki,
namaning mëngsah sëdarum, Tumënggung Cakradirja,
Tumënggung Nilasrabeki, rowangira këlawan Cakranëgara.

Menyampaikan kepada Tuannya, Sang Pangeran Kusumoyudo,


menyampaikan tindakannya di dalam peperangan, tindakannya
pada saat di dalam peperangan, sudah disampaikan semuanya, nama
musuhnya semua, Tumenggung Wongsodirjo, Tumenggung Nilosrobo,
dengan temannya Cokronegoro.

40. Sigra Pangran angandika, dhumatëng tumënggungneki, ingkang


nama Cakrajaya, ken mapag kraman ngajurit, Kyai Cakrajayeki,
sandika ing aturipun, siyang latri ngong ngajap, nglampahi ayahan
Gusti, nadyan pëjah kapirsaa Sang Bëndara.

Segera Sang Pangeran berkata, kepada tumenggung ini, yang bernama


Cokrojoyo, disuruh menghadang para makar yang menyerbu, Kyai
Cokrojoyo ini, bersedia dalam jawabannya, siang malam saya berharap,
menjalankan tugas dari Sang Pangeran, walaupun mati semoga
diketahui oleh Sang Tuan.

41. Prapta ing pati dadosa, tamengipun Kangjëng Gusti, pëjah


angayahan Tuwan, kang abdi dhatëng nglampahi, Pangran
ngandika aris, lah sira gawa agupuh, tambur siji gawaa, lan sekët
bocah prajurit, lawan mriyëm sira bëktaa satunggal.

Sampai mati menjadi, perisai Sang Pangeran, mati menjalankan tugas


Tuan, abdi Tuan siap melaksanakan, Sang Pangeran berkata lembut,
nah kamu bawalah segera, bawalah genderang sebuah, dan anak prajurit
lima puluh orang, serta meriam kamu bawa sebuah.

42. Gawaa sënjata kathah, kalimalas aja luwih, tumbake bëkta sadasa,
bandera gawaa siji, wasiyat sun bëktani, iya iku tumbak ingsun,
Kyai Këre namanya, wus budhal punang prajurit, Ki Tumënggung
Cakrajaya atut wuntat.

72
Bawalah senjata sebanyak, lima belas buah jangan lebih, tombaknya
bawalah sepuluh buah, bendera bawalah sebuah, pusaka saya bawakan,
iya itu tombakku, Kyai Kere namanya, sudah berangkat prajuritnya, Ki
Tumenggung Cokrojoyo mengikuti dari belakang.

43. Mas Tumënggung Cakrajaya, lan Behi Wangsacitreki, wontën


wingking atut wuntat, kang wadya rampak lumaris, neng marga
wong prajurit, kadya bala Pëndaweku, këdhik agolong manah, tan
ajrih anabrang gëtih, wadya ngapit lir Rama anitih rata.

Mas Tumenggung Cokrojoyo, dan Hangabehi Wongsocitro, berada di


belakang mengikutinya, pasukannya serempak berbaris, di perjalanan
orang-orang prajurit itu, bagaikan pasukan Pendawa itu, sedikit tetapi
menyatu hatinya, tidak takut menyeberangi darah, pasukan mengapit
bagaikan Rama menaiki kereta.

44. Sampun prapteng prënahira, Këmanukan ingkang desi, wus dalu


ing praptinira, ing latri kocapa enjing, sigra wau lumaris, laruge
lampah angidul, anjog dhusun ing Soka, ri sëksana lajëng jurit, lan
këraman ingkang sami ambëk sura.

Sudah sampai di tempatnya, Kemanukan desanya, sudah malam


kedatangannya, pada malam hari diceritakan sudah pagi, segera
berangkat, arah perjalanannya ke selatan, langsung menuju ke Soko,
kemudian terus berperang, dengan para makar yang berwatak berani.

45. Tan dangu genira yuda, këraman lumayu ngënthir, saha bala
wadyanira, Tumënggung Cakrajayeki, kraman binujung wani,
kang bëndhe munya angungkung, bala ngangsëg ing yuda,
Tumënggung Cakrajayeki, angandika mring sakeh prajuritira.

Tidak lama mereka berperang, para makar berlari kencang, beserta


pasukannya, Tumenggung Cokrojoyo, para makar dikejar dengan
berani, gong kecilnya berbunyi mendengung, pasukan mendesak dalam
perang itu, Tumenggung Cokrojoyo ini, berkata kepada seluruh prajurit.

46. Sigra pambujungnya gancang, ngantos prapta kang prajurit,


dhatëng kang bala këraman, ing dhusun Kuripan nënggih, Ki
Martaprawireki, kenging pelor wëntisipun, awiyar tatunira,
prapteng Jëngkulan prajurit, Anirpringga kenging mimis wudëlira.

73
Segera pengejarannya dengan cepat, hingga sampai prajuritnya,
pasukan makar itu datang, yaitu di desa Kuripan, Ki Martoprawiro ini,
terkena peluru betisnya, lukanya lebar, prajurit sampai di Jengkulan,
Nirpringgo terkena peluru pusarnya.

47. Ananging datan tumama, gya mundur sanggrahan sami, wus lami
ngalih panggonan, Tumënggung Cakrajayeki, dhawuhan amiranti,
cëlak Plipir ingkang dhusun, sigra Ki Cakrajaya, yasa beteng den
përigi, neng bëndungan kang sela tinumpang-tumpang.

Tetapi tidak mempan, mereka segera mundur untuk beristirahat, setelah


lama berpindah tempat, Tumenggung Cokrojoyo ini, memerintahkan
untuk bersiap-siap, di dekat desa Plipir, segera Ki Cokrojoyo, membuat
benteng dari batu ditumpuk-tumpuk, di bendungan yang batunya
ditumpuk-tumpuk.

48. Beteng sela kang kinarya, tinumpangan mriyëm sami, wetan


satunggal arëpnya, Tumënggung Cakrajayeki, wus lami gennya
jagi, lajëng aken gilir wau, nulya Ki Wangsacitra, rëmbug lan para
bupati, rëmbag gilir kang maring Këdhungmaesa.

Benteng batu yang dibuat, mereka tumpangi meriam, sebuah mengarah


ke timur, Tumenggung Cokrojoyo ini, sudah lama berjaganya, terus
menyuruh bergiliran, kemudian Ki Wongsocitro, berunding dengan
para bupati, berunding bergiliran yang ke Kedungkebo.

49. Pëndhak dintën anjogira, ing bëndungan dennya ganti, wontëna ing
tiyangira, Këdhungmesa aja sëpi, karsane Sang Bupati, klampahan
prajurit tugur, agilir lakunira, prajurit dalëm kang jagi, sëlawe
prah gilir sami kancanira.

Setiap hari datangnya, di bendungan mereka berganti, harus ada


orangnya, Kedungkebo jangan sampai sepi, kehendak Sang Bupati,
terlaksana prajurit berjaga, caranya bergiliran, prajurit kerajaan yang
bergilir, dua puluh lima orang – dua puluh lima orang mereka bergiliran
dengan temannya.

50. Ki Tumënggung Cakrajaya, kang nata prajurit gilir, sëmana


sampun atata, sadaya miturut maring, Kyai Cakrajayeki, atanapi
mantri manut, prajurit kang ajaga, wontën ing Dhawuhan biting,
ënëngëna dina Sënen kang kocapa.

74
Ki Tumenggung Cokrojoyo, yang mengatur prajurit bergiliran, ketika
itu sudah tertata, semua menurut kepada, Kyai Cokrojoyo ini, dan juga
para mantri patuh, prajurit yang berjaga, berada di benteng Bendungan,
biarkan pada hari Senin yang diceritakan.

51. Ajëng kainggahan brandhal, sangking wetan kang nglurugi,


akathah tumënggungira, lan pangeran Pangran Behi, Tumënggung
Cakranagri, lan Padëmanëgareku, Rajaniti malihnya, sawadya
balane ngiring, tigang ewu kathahe prajurit wetan.

Akan kedatangan para berandal, dari timur yang akan datang


menyerbu, banyak tumenggungnya, dan pangerannya Pangeran
Hangabehi, Tumenggung Cokronegoro, dan Padmonegoro itu, Rojoniti
tambahannya, beserta pasukannya mengiringi, jumlahnya tiga ribu
orang prajurit dari timur.

52. Këpalanipun titiga, bandera pitu winilis, nëngëna kraman kang


nglanggar, kocapa kang tugur biting, Dhawuhan Ki Ngabehi,
Wangsacitra enggal tutur, yen badhe kainggahan, rumaos botën
kuwawi, anadhahi kraman kathah sangking wetan.

Kepalanya tiga orang, benderanya terhitung tujuh buah, biarkan para


makar yang akan menyerbu, diceritakan yang berjaga di benteng,
Bendungan Ki Hangabehi, Wongsocitro segera berkata, bahwa akan
kedatangan, merasa tidak kuat, menghadapi para makar yang banyak
dari timur.

53. Sigra mangkat Wangsacitra, mring Këdhungmesa Ngabehi, tan


kawarna lampahira, kocapa sampuning prapti, Këdhungmesa
sira glis, wot sari sarwi umatur, mring Gusti Sumayuda, umatur
kabaring alit, anglangkungi kathahe wartining kanca.

Segera berangkat Wongsocitro, Hangabehi menuju Kedungkebo,


tidak diceritakan di perjalanannya, diceritakan sesudah sampai, di
Kedungkebo dia segera, menyembah sambil berkata, kepada Pangeran
Kusumoyudo, menyampaikan kabar dari orang kecil, sangat banyak
kabarnya dari teman.

54. Kraman ingkang sangking wetan, titindhih tigang bupati, kawula


nuwun bantu prang, Jëng Gusti ngandika aris, sapa kang sira pilih,
kula nuwun Ki Tumënggung, Ki Lurah kang dadosa, Senapati
mapag jurit, anadhahi pra tumënggung sangking wetan.

75
Para makar yang dari timur, pemimpinnya tiga orang bupati, saya mohon
bantuan perang, Sang Pangeran berkata lembut, siapa yang kamu pilih,
saya mohon Ki Tumenggung, Sang Bupati yang menjadi, Panglima
menghadapi perang, menghadapi para tumenggung dari timur.

55. Lan kraman tindhih Pangeran, rampung aturing Ngabehi, Jëng


Pangran sigra angatag, mring Cakrajaya Bupati, dhawuhe
Kangjëng Gusti, gamanmu prang duk rumuhun, iku sira gawaa,
bëdhamanira ing nguni, Ki Tumënggung ature dhatëng sandika.

Melawan para makar yang dipimpin oleh Sang Pangeran, selesai


perkataan Hangabehi Wongsocitro, Sang Pangeran segera
memerintahkan, kepada Bupati Cokrojoyo, perintah Sang Pangeran,
senjata perangmu yang dahulu, itu kamu bawa, senjatamu yang dahulu,
Ki Tumenggung berkata bersedia.

56. Tan lënggana karsa Tuwan, sëmana wus atur pamit, Mas
Tumënggung Cakrajaya, wus mangkat Jëng Pangran muji, donga
slamëting jurit, den iring ing wadyanipun, datan kawarneng marga,
kocapa sampuning prapti, wus umangsuk munggeng beteng ing
Dhawuhan.

Tanpa menolak kehendak Tuan, ketika itu sudah mohon pamit, Mas
Tumenggung Cokrojoyo, sudah berangkat Sang Pangeran memuji,
berdoa agar selamat dalam perang, diiringi oleh pasukannya, tidak
diceritakan di perjalanannya, diceritakan sesudah sampai, sudah masuk
ke dalam benteng di Bendungan.

57. Salatri Ki Cakrajaya, neng Bëndungan lan prajurit, saha wadya


balanira, kocapa wus gagat enjing, kraman kathah dhatëngi, pra
prawira prapta guyub, wontën biting Bëndungan, sadaya kraman
wus prapti, pëpak ingkang bëdhamane ing ngayuda.

Semalaman Ki Cokrojoyo, di Bendungan dengan para prajurit, beserta


pasukannya, diceritakan sudah menjelang pagi hari, para makar banyak
yang mendatangi, para pemberani datang berkumpul, di benteng
Bendungan, para makar semua sudah datang, lengkap senjata perangnya.

58. Wus cëlak kraman nyënjata, dhatëng wong sajroning biting,


sawadya balanya kraman, kudu ngësuk ngrampid biting,
angrangsang mring Kumpëni, sarëng bëdhil pan gumrudug,

76
mimise kang sunapan, lir udan dhawuh ing biting, pelor mriyëm
dhawuhe lir cëngkir tiba.

Sesudah dekat para makar melepaskan tembakan, kepada orang-orang


di dalam beteng, beserta pasukannya para makar, harus mendesak
mengepung benteng, menyerbu kepada Kumpeni, dan serentak
bersama-sama dengan senapannya, peluru senapannya, bagaikan hujan
jatuh di dalam benteng, peluru meriam jatuhnya bagaikan kelapa muda
jatuh.

59. Pelor kang dhawah Bëndungan, sakehe ingkang prajurit, prajurite


Cakrajaya, wontën salëbëting biting, Kyai Cakrajayeki, parentah
mring wadyanipun, padha sira dhodhoka, sëksana andhodhok
sami, rampak dhodhok aneng sajroning Bëndungan.

Peluru yang jatuh di Bendungan, seluruh prajuritnya, prajurit Cokrojoyo,


berada di dalam benteng, Kyai Cokrojoyo ini, memerintahkan
kepada pasukannya, kalian semua berjongkoklah, kemudian mereka
berjongkok, serempak berjongkok di dalam Bendungan.

60. Kabeh tëtëp prajuritnya, tan wontën ngëdhap ing galih,


Tumënggung titindhihira, mriyëme tinunggu sami, wadya neng
jëro sami, atata ing patrapipun, atatag manahira, Tumënggung
ingkang nindhihi, datan ajrih yen lamun yuda kënaka.

Semua prajuritnya tetap di tempat, tidak ada yang takut di dalam


hati, Tumenggung pemimpinnya, mereka menunggui meriamnya,
semua pasukan di dalam, bersiap-siap dalam aturan, tegar hatinya,
Tumenggung yang memimpin, tidak takut kalau perang kuku.

---oooOooo---

77
PUPUH XXXI
PANGKUR

1. Sakathahe wong arahan, apan samya wontën sajroning biting,


cacahipun tiyang satus, andhodhok tatrapira, pan karsane
Tumënggung Cakrajayeku, samya kinon ping-ampingan, sela
pagëre kang biting.

Seluruh orang prajurit kecil, mereka berada di dalam benteng, jumlahnya


seratus orang, berjongkok sikapnya, dan kehendak Tumenggung
Cakrajaya, mereka disuruh berdampingan dengan batu pagar benteng.

2. Kapale tumënggungira, apan sigra wau dipun kambili, sëmana wus


cëlak mungsuh, pambujungira cëlak, lawan beteng antawis wus
cakët wau, mung lët sabin kalih kothak, wëtara kalawan biting.

Kuda tumenggungnya, kemudian segera diambil, ketika itu sudah


dekat dengan musuh, pengejarannya sudah dekat, dengan benteng kira-
kira sudah dekat, hanya berselang sawah dua petak, kira-kira dengan
benteng.

3. Griya lëbët biting samya, apan kathah sami katiban mimis, keh
rusak sami agugrug, kocapa tiyang desa, Watujambul namane wau
kang dhusun, kathahira tiyang tiga, bëkta gaman tumbak sami.

Semua rumah di dalam benteng, banyak yang kejatuhan peluru, banyak


yang rusak semua runtuh, diceritakan orang-orang desa, Watujambul
nama desanya, sebanyak tiga orang, mereka membawa senjata tombak.

4. Namane wau kang tiyang, pun Sajaya ingkang sëpuh pribadi, pan
titiga rowangipun, samya gëgaman tumbak, sigra mangsah Sajaya
mëdal angamuk, dhatëng kraman kang sumahab, kraman keh
sami ngunduri.

Nama orang itu, si Sajoyo yang paling tua, dan bertiga orang temannya,
semua bersenjatakan tombak, segera menyerang musuh Sajoyo keluar
mengamuk, kepada para makar yang bergerombol, para makar yang
banyak semua mundur.

78
5. Këraman samya lumajar, bubar larut sadaya wus malëncing, cacah
tiyang gangsal atus, sami bubar sadaya, mariyëme Ki Cakrajaya
Tumënggung, apan mungël kaping tiga, pan angsal tiyang këkalih.

Para makar semua melarikan diri, semua bubar berlari terbirit-birit,


jumlahnya lima ratus orang, mereka bubar semua, meriam milik Ki
Tumenggung Cokrojoyo, kemudian berbunyi tiga kali, dan mengenai
dua orang.

6. Sangsaya kraman ajarah, saya gancang playune dibatangi, bibrah


kraman tatanipun, bëndhe kadi pëcaha, ingkang tambur lir pendah
bëdah pinukul, arame suraking bala, kraman lumayu mring ardi.

Para makar semakin liar, diperkirakan larinya semakin cepat, rusak


tatanan para makar, gong kecil bagaikan pecah, genderangnya bagaikan
sobek dipukuli, ramai sorak-sorai pasukan, para makar melarikan diri
ke gunung.

7. Sigra Ki Tumënggung mëdal, sangking biting lawan para prajurit,


wus mëdal Kyai Tumënggung, sangking ring bitingira, suraking
wong anglir pendah gunung rubuh, arame kang wadya bala, sarta
surakira anjrit.

Segera Ki Tumenggung keluar, dari benteng beserta para prajurit, Kyai


Tumenggung sudah keluar, dari dalam benteng, orang-orang bersorak
bagaikan gunung roboh, ramai pasukannya, disertai soraknya yang
menjerit-jerit.

8. Kang ngabujung Cakrajaya, Pangran Behi kang mawi songsong


kuning, lawan Cakranëgareku, lawan Padmanëgara, lawan Panji
Cakradirja naminipun, pan sami lumajëng ngetan, apan samya
nyabrang kali.

Yang memburu adalah Cokrojoyo, Pangeran Hangabehi dengan payung


kuning, dan Cokronegoro itu, dan Padmonegoro, dan Panji Cokrodirjo
namanya, kemudian mereka melarikan diri ke timur, dan mereka
menyeberangi sungai.

9. Ingkang nama Kalitëngah, Ki Tumënggung Cakrajaya anënggih,


tëksih wontën kilenipun, Pangran Behi ngandika, dhatëng bala kang
sami kinon angamuk, barise Ki Cakrajaya, sëksana Tumënggung
angling.

79
Yang bernama Kalitengah, Ki Tumenggung Cokrojoyo juga, masih
berada di sebelah baratnya, Pangeran Hangabehi berkata, kepada
pasukan yang disuruh mengamuk, barisan Ki Cokrojoyo, segera Sang
Tumenggung berkata.

10. Pan kula dede kusuma, botën nama kula niki Bupati, dudu nama
Ki Tumënggung, aran kula Si Rësa, apan ingsun panakawan kang
satuhu, Jëng Pangran Kusumayuda, nanging purun angëmbari.

Memang saya bukan kesatria, jabatan saya ini bukan Bupati, gelar saya
bukan Ki Tumenggung, sebutan saya Si Reso, dan saya benar-benar
panakawan, Sang Pangeran Kusumoyudo, tetapi berani mengimbangi.

11. Paduka nama Pangeran, apan ingsun tan wëdi songsong kuning,
sumangga agënti duwung, ngong samya tëtumbakan, aja bala
wong cilik dikon angamuk, wong kuli kathah kang sayah, dikon
ngamuk pësthi wëdi.

Paduka bergelar Pangeran, tetapi saya tidak takut payung kuning,


silakan berganti keris, kita saling menombak, jangan pasukan orang
kecil yang disuruh mengamuk, orang kuli banyak yang lelah, disuruh
mengamuk pasti takut.

12. Sampeyan kang nunggang kuda, botën sayah sarta dipun songsongi,
wania apërang cucuh, amungsuh panakawan, gya trëngginas Ki
Cakrajaya Tumënggung, anyandhak talëmpakira, kagungane
Kangjëng Gusti.

Paduka yang menunggang kuda, tidak lelah serta dipayungi, beranilah


berperang adu tombak, melawan panakawan, segera dengan cekatan
Ki Tumenggung Cokrojoyo, mengambil tombak pendek, milik Sang
Pangeran.

13. Paringan sangking Pangeran, kinarsakën kinon ngagëm ing jurit,


Kyai Këre namanipun, sigra Pangran lumajar, nuli mundur ing
sawadya balanipun, sigra lampahe mangetan, wus prapta ing
Kaligësing.

Pemberian dari Sang Pangeran, diharapkan disuruh memakai di dalam


peperangan, Kyai Kere namanya, Pangeran Hangabehi segera melarikan
diri, kemudian mundur beserta pasukannya, segera perjalanannya ke
timur, sudah sampai di Kaligesing.

80
14. Ingkang nama pun Jakëtra, Pangran Behi lajëng minggah ing ardi,
ing Sumpël namaning gunung, Tumënggung Cakrajaya, nulya
wangsul angilen ing wangsulipun, munggah ardi ing Bowongan,
amëdal sangking ing sabin.

Yang bernama si Joyoketro, Pangeran Hangabehi naik ke gunung, di


Sumpel nama gunungnya, Tumenggung Cokrojoyo, kemudian kembali
ke barat kembalinya, naik gunung di Bowongan, lewat di persawahan.

15. Pan mangidul lampahira, Kya Tumënggung Cakrajaya pan


sami, lan sabala wadyanipun, nulya gënti kocapa, wadyanira
Cakranëgara Tumënggung, kapëthuk Kya Cakrajaya, tëtaken
kraman kang ngungsi.

Kemudian ke selatan perjalanannya, Kyai Tumenggung Cokrojoyo


kemudian bersama, dengan pasukannya, kemudian ganti yang
diceritakan, pasukan Tumenggung Cokronegoro, bertemu dengan Kyai
Cokrojoyo, bertanya para makar yang mengungsi.

16. Kraman kang samya lumajar, sangking ardi wau rëdi Palipir,
taken marang wadyanipun, Tumënggung Cakrajaya, ingkang
dipun takekakën lurahipun, Tumënggung Cakranëgara, kang
taken lajëng binëdhil.

Para makar yang melarikan diri, dari gunung yaitu gunung Palipir,
bertanya kepada pasukannya, Tumenggung Cokrojoyo, yang ditanyakan
pemimpinnya, Tumenggung Cokronegoro, yang bertanya kemudian
ditembak.

17. Sëmana pan lajëng pëjah, dyan kinëthok brandhal kang sampun
posit, kiwir-kiwir gulunipun, kang kathah-kathah mlajar, wontën
munggah lumajëng dhatëng ring gunung, sumëngka napase pëcat,
kang cëkap lajëng ngëmasi.

Ketika itu terus mati, kemudian dipenggal berandal yang sudah mampus
itu, lehernya kiwir-kiwir (compang-camping), orang-orang yang banyak
itu melarikan diri, ada yang berlari naik ke gunung, mendaki nafasnya
lepas, yang cukup terus mati.

18. Wontën mudhun maring jurang, sinënjata kraman kang këna mati,
kang këcandhak pëjah wau, kaetang tiyang gangsal, apan sampun
kinëthokan gulunipun, endhase sami binëkta, Tumënggung lajëng
lumaris.

81
Ada yang turun ke jurang, ditembak makar yang kena mati, yang
tertangkap mati, dihitung lima orang, kemudian sudah dipenggal
lehernya, semua kepalanya dibawa, Sang Tumenggung terus melarikan
diri.

19. Kang pëjah wus kinëthokan, namanira Anggawangsa Ngëbehi, ing


Pucangkrëp wismanipun, Ngëbehi Sëtradesa, dhusun Brenggong
anënggih panggenanipun, kang nama Saradiwangsa, Wanadados
wismaneki.

Yang mati sudah dipenggal, namanya Hangabehi Onggowongso, di


Cangkrep rumahnya, Hangabehi Setrodeso, yaitu di desa Brenggong
tempatnya, yang bernama Sorodiwongso, Wonodadi rumahnya.

20. Kang nama Wiradiwangsa, jëjër Mantri Selamirah kang desi,


gamële Kyai Tumënggung, nama Cakranëgara, gënti kocap ya ta
wau Ki Tumënggung, Bupati Tanggung lënggahnya, Behi Sadiwirya
nguni.

Yang bernama Wirodiwongso, menjabat mantri Selomirah desanya,


perawat kuda Kyai Tumenggung, bernama Cokronegoro, ganti yang
diceritakan yaitu Ki Tumenggung, Bupati Tanggung kedudukannya,
Hangabehi Resodiwiryo dahulunya.

21. Umatur dhatëng Pangeran, ngaturakën sirah kraman kang lalis,


kalawan mariyëmipun, lan sënjata sunapan, lawan tumbak pitu
nënggih cacahipun, akathah ingkang bëdhama, bandhangan
kraman kang lalis.

Berkata kepada Sang Pangeran, menyerahkan kepala para makar yang


mati, beserta meriamnya, dan senjata senapan, serta tombak yaitu
jumlahnya tujuh buah, banyak senjatanya, rampasan para makar yang
mati.

22. Sunapan sëdayanira, sampun katur Tumënggung gya lumaris,


saha wadya balanipun, maring beteng Bëndungan, tan adangu
Ki Tumënggung nulya rawuh, wontën biting ing Dhawuhan, jro
beteng wontën prajurit.

Senapan semuanya, sesudah diserahkan Sang Tumenggung segera


berangkat, beserta pasukannya, menuju benteng Bendungan, tidak lama
kemudian Ki Tumenggung kemudian sampai, di benteng di Bendungan,
di dalam benteng ada prajurit.

82
23. Kang sami abantu aprang, aningali sirah kraman kang mati,
cacahe prajurit wau, kirang langkung tan kathah, awëtawis datan
langkung gangsal puluh, ningali sirah kang gangsal, kang wus
katur dhatëng Gusti.

Mereka yang membantu perang, melihat kepala para makar yang mati,
jumlah prajuritnya, lebih kurang tidak banyak, sekitar tidak lebih dari
lima puluh orang, melihat kepala yang lima itu, yang sudah diserahkan
kepada Sang Pangeran.

24. Kalawan Ki Jayengastra, ingkang wau sami anguningani, sirah


lajëng wau katur, Kurnel lawan Pangeran, nulya kinen lajëngakën
sirah wau, ëndhasipun kraman gangsal, lantas dhatëng Sumurpakis.

Bersama Ki Jayengastro, mereka yang melihat, kemudian kepala


diserahkan, kepada Sang Kolonel dan Sang Pangeran, kemudian disuruh
meneruskan kepala itu, lima kepala para makar, terus ke Sumurpakis.

25. Kature Kurnel Wëlanda, sarëng mirsa ing sirah kraman lalis, trima
kasih ujaripun, dhatëng Kangjëng Pangeran, duk sëmana Jëng
Pangran lajëng dhadhawuh, nimbali Tumënggungira, Cakrajaya
ingkang nami.

Kata Kolonel Belanda itu, begitu melihat kepala para makar yang mati,
terima kasih katanya, kepada Sang Pangeran, ketika itu Sang Pangeran
terus memerintahkan, memanggil Tumenggungnya, Cokrojoyo
namanya.

26. Tan adangu sigra prapta, wontën ngarsa Ki Tumënggung wot sari,
Jëng Gusti lajëng dhadhawuh, marang Ki Cakrajaya, kaya paran
polahira Ki Tumënggung, iki ana layang prapta, layang muni jaluk
kuli.

Tidak lama segera sampai, di hadapannya Ki Tumenggung menyembah,


Sang Pangeran terus memerintahkan, kepada Ki Cokrojoyo, bagaimana
tindakanmu Ki Tumenggung, ini ada surat datang, surat berbunyi minta
kuli.

27. Kya Tumënggung aturira, pan kawula ngaturkën pati urip, kang
abdi botën sumanggup, ngladosi kuli tiyang, Jëng Pangeran amëksa
pamundhutipun, ature Ki Cakrajaya, inggih sami tumut jurit.

83
Kyai Tumenggung berkata, saya menyerahkan hidup mati, abdi paduka
tidak sanggup, melayani orang kuli, Sang Pangeran memaksakan
permintaannya, kata Ki Cokrojoyo, iya semua ikut berperang.

28. Yen mundhut kuli Bëndara, ingkang abdi ngaturkën pati urip,
Jëng Pangran sangët kang bëndu, mundhut kuli tan angsal, Ki
Tumënggung datan suka mantuk-mantuk, dene mopo aturira,
Pangeran tan dhahar guling.

Kalau minta kuli Tuan, abdi paduka menyerahkan hidup mati, Sang
Pangeran sangat marah, minta kuli tidak mendapatkan, Ki Tumenggung
tidak memberi mengangguk-angguk, mengapa tidak mau melakukan,
Sang Pangeran tidak makan dan tidak tidur.

29. Sangking lingsëm galihira, dhatëng Kurnel tan wagëd paring kuli,
ngraos langkung tiwasipun, tan wagëd kasih tiyang, Ki Tumënggung
den ëres dintën sëdalu, datan suka kesah-kesah, Pangeran arip
këpati.

Sangat malu hatinya, kepada Sang Kolonel tidak bisa memberikan


kuli, merasa sangat sial, tidak bisa memberi orang, Ki Tumenggung
dihukum sehari semalam, tidak boleh pergi-pergi, Sang Pangeran
sangat mengantuk.

30. Tumënggung inggih karipan, sarëng enjing Tumënggung matur


malih, ature pan sampun saguh, saguh tiyang sadasa, langkung
gangsal saguhipun Ki Tumënggung, lajëng Pangran mundhut
dhahar, wusnya dhahar lajëng guling.

Ki Tumenggung juga mengantuk, begitu pagi hari Ki Tumenggung


berkata lagi, katanya sudah sanggup, sanggup sepuluh orang, lebih lima
orang kesanggupan Ki Tumenggung, terus Sang Pangeran mengambil
makanan, sesudah makan terus tidur.

31. Lorodane Jëng Pangeran, sampun kinon paring Tumënggung aglis,


ngraos lëga galihipun, Jëng Pangran sinanggupan, karsanipun Jëng
Pangran sampun tinurut, dhatëng ing tumënggungira, mundhut
kuli den ladosi.

Sisa makanan Sang Pangeran, segera disuruh memberikan kepada


Sang Tumenggung, merasa lega hatinya, Sang Pangeran disanggupi,
kehendak Sang Pangeran sudah dituruti, oleh tumenggungnya, minta
kuli dilayani.

84
32. Awungu denira nendra, Jëng Pangeran sigra wau dhawuhi,
dhumatëng Kyai Tumënggung, lah mara tëmonana, Kurnel
Klerës mësanggrahan aneng kidul, Arumbinang ya milua, dadiya
pangiringneki.

Bangun dari tidurnya, Sang Pangeran segera memerintahkan, kepada


Kyai Tumenggung, nah silakan temuilah, Kolonel Cleerens yang
beristirahat di selatan, Arumbinang ya ikutlah, menjadi pengiringnya.

33. Pangeran alon ngandika, iya iku wong kuli tëka ngëndi, Ki
Tumënggung lon turipun, sangking Kramadimëja, tiyang Pangen
sadayane mung sapuluh, Këdhunggunting kalih dasa, langkung
gangsal tiyang kuli.

Sang Pangeran berkata pelan, iya itu orang kuli datang dari mana,
Ki Tumenggung pelan berkata, dari Kromodimejo, orang Pangen
semuanya hanya sepuluh orang, Kedunggunting dua puluh orang, lebih
lima orang kuli.

34. Pun Dëmang Këtadiwirya, Jëng Pangeran andikanira aris, lah uwis
iku aturna marang beteng ing Këmbar, sigra mangkat sadaya para
tumënggung, Cakrajaya Arumbinang, ngaturaken tiyang kuli.

Dia Demang Ketodiwiryo, Sang Pangeran berkata lembut, nah sudah


itu serahkan ke benteng di Kembar, segera berangkat semua para
tumenggung, Cokrojoyo Arumbinang, menyerahkan orang kuli.

35. Tan kawarna aneng marga, pra tumënggung tan dangu nulya
prapti, sadhatëngira alungguh, wontën beteng ring Këmbar, glis
sinapa dhatëng Tuan Kurnel iku, alon ture Cakrajaya, Arumbinang
turira ris.

Tidak diceritakan di perjalanan, para tumenggung tidak lama kemudian


sampai, sesudah datang kemudian duduk, di benteng di Kembar, segera
disapa oleh Tuan Kolonel itu, pelan Cokrojoyo berkata, Arumbinang
berkata lembut.

36. Kurnel sigra atëtanya, dhatëng wau mënggung kalih tinuding, iya
pira bayaranmu, tumënggung aturira, inggih kula dereng tampi
gajih wau, namung sangking gustiningwang, nëm rupiyah kang
paparing.

85
Sang Kolonel segera bertanya, kepada dua orang tumenggung yang
diutus, iya berapa bayaranmu, tumenggung itu menjawab, iya saya belum
menerima gajinya, hanya dari tuan saya, enam rupiah pemberiannya.

37. Miwah dhatëng Arumbinang, datan sanes pitakone Kumpëni,


Tuwan Kurnel lajëng sanggup, ya sira ora ana, ing papane digawe
sangu lumaku, yen mëngkono sira iya, ingsun jalukakën gajih.

Dan kepada Arumbinang, tidak berbeda pertanyaan Kumpeni itu, Tuan


Kolonel terus menyanggupi, ya kamu tidak ada, apa-apanya dibuat
bekal berjalan, kalau begitu kamu iya, saya mintakan gaji.

38. Marang Jendral Dhëkok padha, ingsun bakal aweh layang tumuli,
iya anglimalas batur, kowe sawidak pëthak, baturira kalih dasa
punjul satus, rewang kang bëkta sanjata, pat bëlas kathahireki.

Kepada Jenderal De Kock semua, saya akan beri surat segera, iya
masing-masing lima belas pembantu, kamu enam puluh putih,
pembantumu dua puluh lebih seratus, teman yang membawa senjata,
empat belas jumlahnya.

39. Ki Tumënggung Arumbinang, ya digajih satus kalih daseki,


rowangmu këpala mau, sun gajih wolung dasa, ya rupiyah wis
padha muliha iku, yen besuk ing wulan Sawal, awit sira tampa
gajih.

Ki Tumenggung Arumbinang, ya digaji seratus dua puluh, temanmu


yang kepala itu, saya gaji delapan puluh, ya rupiah sudah semua pulang
itu, kalau besok di bulan Syawal, mulai kamu terima gaji.

40. Samya mundur kalih pisan, sawadyane wau tumënggung kalih,


tan antara sigra rawuh, byantara Jëng Pangeran, Këdhungkëbo
sëmana sampun alungguh, sowan dhatëng Jëng Pangeran, dinangu
bupati kalih.

Semua mundur dua orang sekalian, beserta pasukannya kedua


tumenggung itu, tidak lama segera sampai, di hadapan Sang Pangeran,
di Kedungkebo ketika itu sudah duduk, menghadap kepada Sang
Pangeran, ditanya kedua bupati itu.

41. Wus dinangu mring Pangeran, Cakrajaya lan Arumbinang


nënggih, tumënggung kalihnya matur, tur uning mring Pangeran,

86
gih kawula ginajih kaliyanipun, lan abdi dalëm Rumbinang, Tuwan
Kurnel kang nyanggupi.

Sudah ditanya oleh Sang Pangeran, yaitu Cokrojoyo dan Arumbinang,


kedua tumenggung itu berkata, berkata memberi tahu kepada Sang
Pangeran, ya saya digaji sekalian, abdi paduka Arumbinang, Tuan
Kolonel yang menyanggupi.

42. Kurnel badhe angsung surat, dhatëng Jendral Dhëkok wau kang
nami, mangkatën wicantënipun, inggih dhatëng kawula, duka
dalëm yëktos lawan botënipun, nëdhakakën gajih kula, lawan
Arumbinang nënggih.

Sang Kolonel akan memberi surat, kepada Jenderal De Kock namanya,


begitu ucapannya, iya kepada saya, tidak tahu paduka benar dan
tidaknya, menunjukkan gaji saya, kepada Arumbinang juga.

43. Pangeran alon ngandika, sokur-sokur sira padha digajih, karo


maneh ingsun rëmbug, lan sira Cakrajaya, ing Pasucen gawenën
beteng ing ngriku, pikirën lan mantrinira, rëmbagan lawan mantri.

Sang Pangeran berkata pelan, syukur-syukur kamu semua digaji, dan


lagi saya akan berunding, dengan kamu Cokrojoyo, di Pasucen buatlah
benteng di situ, pikirkanlah dengan mantrimu, rundingkanlah dengan
para mantrimu.

44. Ki Tumënggung dyan manëmbah, ri sëksana sigra sami lumaris,


saha wadya balanipun, dhatëng beteng Dhawuhan, datan dangu
nulya prapta Ki Tumënggung, aneng beteng ing Dhawuhan,
sapraptane amrentahi.

Ki Tumenggung kemudian menyembah, kemudian segera mereka


berangkat, beserta pasukannya, ke benteng Bendungan, tidak lama
kemudian Ki Tumenggung sampai, di benteng di Bendungan,
sesampainya memerintahkan.

45. Dhatëng kang para punggawa, dëmang mantri kang sami den
dhawuhi, Rësasëmita wus sanggup, Rangga Mërtaprawira, pan
sumanggup ingkang para lurah wau, sumangga karsa bëndara,
aguyub kang para mantri.

Kepada para punggawanya, semua demang mantri yang diperintah,

87
Resosemito sudah sanggup, Ronggo Mertoprawiro, sudah sanggup para
lurah itu, sesuai kehendak tuan, sepakat para mantri.

46. Sëmana wus samya mangkat, sadayane arahan bëkta ëpring, wëneh
bëkta kayu randhu, wontën kang bëkta pucang, tuwin dhadhap
satëmune kayu-kayu, kang sami wau ginawa, datan lami nulya
dadi.

Ketika itu semua sudah berangkat, semua orang kecil membawa


bambu, sebagian membawa kayu randu, ada yang membawa pucang,
dan dadap sedapatnya kayu-kayu, yang mereka bawa itu, tidak lama
kemudian jadi.

47. Kya Tumënggung Cakrajaya, lajëng tindak mirsani ingkang biting,


biting dadakan akukuh, wus paham pamirsanya, ya ta lajëng
lampahe Kyai Tumënggung, dhatëng dhusun Pëkagokan, anulya
nyabrang ing kali.

Kyai Tumenggung Cokrojoyo, terus datang memeriksa bentengnya,


benteng dadakan yang kokoh, sudah paham pemeriksaannya, ya Kyai
Tumenggung meneruskan perjalanannya, menuju desa Pekagokan,
kemudian menyeberangi sungai.

48. Nama kali Bagawanta, sarëng dugi dhusun Kagokan sami,


nyabrang lepen wetanipun, wontën kraman katingal, aneng dhusun
Koripan wau genipun, Mas Tumënggung Cakradirja, Tumënggung
Nilasrabeki.

Namanya sungai Bogowonto, begitu mereka sampai di desa Pekagokan,


menyeberangi sungai di sebelah timurnya, ada para makar yang
kelihatan, di desa Kuripan tempatnya, Mas Tumenggung Cokrodirjo,
Tumenggung Nilosrobo.

49. Kakalih tumënggung kraman, apan kathah prajurit kraman sami,


awëtara kalih atus, prëjuriting këraman, mung kakalih anënggih
banderanipun, kapalipun kalih dasa, sarëng dumugi ing kali.

Keduanya tumenggung makar, dan banyaknya prajurit makar semua,


sekitar dua ratus orang, prajurit makar, benderanya yaitu hanya dua
buah, kudanya dua puluh ekor, begitu sampai di sungai.

88
50. Sigra kraman anyënjata, dhatëng baris Kyai Cakrajayeki, Ki
Cakrajaya Tumënggung, wau kang sinënjata, prentahira ya ta wau
Ki Tumënggung, bala tan suka malësa, karëpene ambëdhili.

Segera para makar menembak, kepada barisan Cokrojoyo ini, Ki


Tumenggung Cokrojoyo, yang ditembak itu, perintahnya ya itu
Ki Tumenggung, pasukan tidak boleh membalas, sekehendaknya
menembaki.

51. Awit kraman anyënjata, jam sëdasa pan kongsi jam sëtunggil,
siyang enjing awitipun, ngantos meh prapta Ngasar, dereng mantun
genira bëdhili wau, këraman kaku tyasira, dene datan anarungi.

Para makar mulai menembaki, jam sepuluh hingga jam satu, pagi hari
mulainya, hingga hampir menjelang Asar, belum berhenti mereka
menembaki, para makar kaku hatinya, karena tidak membalas serangan.

52. Sigra kraman lajëng nangsah, majëng nyabrang sing wetan kulon
kali, këraman pating karubyuk, kraman kang sami nyabrang,
ingkang sarta arahan këraman muncul, sami bëkta gaman tumbak,
bëdhil atanapi bandhil.

Para makar segera maju, maju menyeberang dari timur ke barat sungai,
para makar berkecipak, para makar yang menyeberang, serta para
prajurit makar yang kecil muncul, mereka membawa senjata tombak,
senapan dan juga ketapel.

53. Kathahira kang arahan, punang kraman langkung gëng ingkang


baris, awëtara kalih atus, Tumënggung Cakrajaya, sigra mundur
kajënge kraman angësuk, yen wus ngëlud punang kraman, eca
dennya anarungi.

Banyaknya prajurit yang kecil, para makar sangat banyak barisannya,


sekitar dua ratus orang, Tumenggung Cokrojoyo, segera mundur agar
para makar mendesak, kalau para makar sudah menyerbu, mudah
menyerangnya.

54. Prapta dhusun ing Cëngkawak, undurira ya ta wau kang baris,


barise kraman mërtelu, kang sangking wetan ana, ingkang
sangking kilen atanapi kidul, prajurite Cakrajaya, agiris samya
ngunduri.

89
Sampai di desa Cengkawak, ya mundurnya barisannya, barisan para
makar menjadi tiga bagian, ada yang dari timur, yang dari barat dan
juga yang dari selatan, prajurit Cokrojoyo, takut mereka mundur.

55. Pan sami mlajëng sadaya, aningali Tumënggung baris kosik, kang
wadya sami lumayu, sigra Ki Cakrajaya, nyandhak waos ampilan
ageming Ratu, Kyai Këre namanira, kang kidul sinandër dhingin.

Dan mereka melarikan diri semua, Sang Tumenggung melihat barisan


mendapat gagasan, pasukannya semua melarikan diri, Ki Cokrojoyo
segera, mengambil senjata milik Raja, Kyai Kere namanya, yang
sebelah selatan dikejar lebih dahulu.

56. Kraman kang sinandër bubar, mlajar ngidul ngantos prapti ing
desi, ing Pëndhëm namaning dhusun, wau pun Rësasëmita, lawan
Rangga Mërtapawira anëngguh, lajëng kapëthuk lan kraman,
Tumënggung Cakradirjeki.

Para makar yang dikejar bubar, melarikan diri ke selatan hingga


sampai di desa, di Pendem nama desanya, si Resosemito, dan Ronggo
Mertoprawiro, terus bertemu dengan para makar, Tumenggung
Cokrodirjo.

57. Lan Tumënggung Nilasraba, lajëng tanglëd abujung kraman sami,


kraman sigra bubar larud, mlayu ambyur ing toya, wadya kraman
binëdhilan numbuk-numbuk, kang tatu brandhal titiga, sënjatane
kenging kalih.

Dan Tumenggung Nilosrobo, terus bertarung mengejar para makar


semua, para makar segera bubar melarikan diri, berlari mencebur ke
air, pasukan makar ditembak menabrak-nabrak, berandal yang terluka
tiga orang, senjatanya terkena dua buah.

58. Angsal tumbak mung satunggal, sami kendël genira bujung


sami, sigra wau Ki Tumënggung, midhangët ing sënjata, jëglug
mungël sartanipun wontën kukus, mumbul gennya desa wetan, ing
Brenggong dipun bësmeni.

Memperoleh tombak hanya sebuah, semua berhenti mengejar mereka,


segera Ki Tumenggung, mendengar senjata, ledakan berbunyi serta
ada asap, membubung tempatnya di sebelah timur desa, di Brenggong
dibakari.

90
59. Dhatëng wau ing këraman, ri sëksana Ki Tumënggung dandan glis,
sadaya sawadyanipun, sigra sami lumampah, sadayane wadyanira
Ki Tumënggung, wus lëpas ing lampahira, sangking Cëngkawak
wus tëbih.

Oleh para makar, ketika itu Ki Tumenggung segera bersiap-siap, seluruh


pasukannya, segera mereka berangkat, semua pasukan Ki Tumenggung,
sudah jauh perjalanannya, sudah jauh dari Cengkawak.

60. Gëntiya ingkang kocapa, ingkang wontën beteng Pasucen sami,


samya ngucap jroning kalbu, Bëndungan ana kraman, pan
sadaya amicareng jroning kalbu, pun Rësasëmita miwah, lawan
Martaprawireki.

Ganti yang diceritakan, mereka yang berada di benteng Pasucen,


mereka berucap di dalam hati, di Bendungan ada para makar, kemudian
semua berkata di dalam hati, si Resosemito dan, juga Martoprawiro.

61. Ngabehi Wangsasëmita, lawan Rangga Mërtaprawira nënggih,


sadaya samya gëgëtun, kocapa lampahira, Kyai Sutarëja kang
ngunjuki wëruh, lumajar sangking ing wetan, Ngabehi Sutarëjeki.

Hangabehi Wongsosemito, serta Ronggo Mertoprawiro, mereka semua


menyesal, diceritakan perjalanannya, Kyai Sutorejo yang memberi
tahu, melarikan diri dari timur, Hangabehi Sutorejo.

62. Kapëthuk Tumënggungira, Cakrajaya kapapag aneng margi,


ature Sutarëjeki, punika ing Bëndungan, kainggahan bërandhal
kalangkung agung, namane punang këraman, Cakranëgara lan
Panji.

Bertemu Tumenggung, Cokrojoyo bertemu di jalan, Sutorejo berkata,


itu di Bendungan, kedatangan berandal sangat banyak, nama para
makar itu, Cokronegoro dan Panji.

63. Ingkang nama Cakradirja, kawan atus balane winëtawis, dhatëng


beteng ajëngipun, sapalih dhatëng desa, pan mëngaler lampahe
wau gumrudug, anjog dhusun Ngawang-awang, ing Brenggong
dipun bësmeni.

Yang bernama Cokrodirjo, pasukannya kira-kira empat ratus orang, ke


benteng tujuannya, separuh ke desa, kemudian ke utara perjalanannya

91
berderap, langsung menuju desa Ngawang-awang, di Brenggong
dibakari.

64. Griya Brenggong sami kobar, agëng alit pan tëlas dening api,
sapunika tëksih murub, ing Ngawang-awang tëlas, rinayahan
donyane mesa lan lëmbu, arame samya apërang, Jayengan ingkang
narungi.

Rumah-rumah di Brenggong terbakar, besar kecil habis oleh api,


sekarang masih berkobar, di Ngawang-awang habis, dirampas hartanya
kerbau dan sapi, ramai mereka berperang, prajurit Jayengan yang
menyerang.

65. Tan adangu nulya prapta, Ki Tumënggung Cakrajaya neng biting,


beteng Bëndungan duk rawuh, umiyat kraman pëjah, mung
sëkawan sami tigas pancing rampung, kenging pelor mriyëm
samya, Jayengan kang tarung Jawi.

Tidak lama kemudian datang, Ki Tumenggung Cokrojoyo di benteng,


benteng Bendungan ketika datang, melihat para makar mati, hanya
empat orang mereka selesai dipenggal kepalanya, mereka terkena
peluru meriam, prajurit Jayengan melawan prajurit Jawa.

66. Ingkang pëjah namanira, Rangga Pëndhëm Surasëmita nami, kang


tiga datan kacatur, nulya sirah kabëkta, badhe katur dhumatëng
Kangjëng Gustiku, Jëng Pangeran Sumayuda, neng Këdhungkëbo
miranti.

Yang mati bernama, Ronggo Pendem Surosemito namanya, yang


tiga orang lainnya tidak diceritakan, kemudian kepala-kepala itu
dibawa, akan diserahkan kepada Sang Pangeran itu, Sang Pangeran
Kusumoyudo, di Kedungkebo bersiap-siap.

67. Angsal bandhangan sënjata, lawan waos samya katur ing Gusti,
Jëng Pangran sampun andulu, dhatëng sirah sëkawan, miwah
waos sadaya sami dinulu, sarëng nuju dintën Soma, Tumënggung
Cakrajayeki.

Mendapat rampasan senjata, serta tombak semua diserahkan kepada


Sang Pangeran, Sang Pangeran sudah melihat, kepada empat buah
kepala, serta tombak semuanya dilihat, ketika pada hari Senin,
Tumenggung Cokrojoyo ini.

92
68. Ngaturan dhatëng Popongan, Tuwan Kurnel wau ingkang ngaturi,
dhumatëng Kyai Tumënggung, Tumënggung sigra dandan, mring
ënggone Tuwan Kurnel Klerës iku, lan Tumënggung Arumbinang,
kang tumut lawan Ngëbehi.

Diundang ke Popongan, Tuan Kolonel yang mengundang, kepada Kyai


Tumenggung, Kyai Tumenggung segera bersiap-siap, ke tempat Tuan
Kolonel Cleerens itu, dan Tumenggung Arumbinang, yang ikut dengan
Hangabehi.

69. Ingkang nama Wangsacitra, karëpira Tuwan Kurnel Kumpëni,


tan wontën kang mirsa wau, sadaya wus lumampah, datan dangu
tumënggung kakalih rawuh, ing dhusun nama Popongan, wus
panggih lawan Kumpëni.

Yang bernama Wongsocitro, kehendak Tuan Kolonel Kumpeni, tidak


ada yang mengetahui, semua sudah berangkat, tidak lama kedua
tumenggung itu sampai, di desa yang bernama Popongan, sudah
bertemu dengan Kumpeni.

70. Tuwan Kurnel sigra ngucap, dhatëng wau sakehe para mantri, heh
kapriye padha iku, rëmbugën padha Jawa, dyan Kumpëni amirsa
mangkat sëdarum, dhatëng dhusun ing Cëngkawak, kang badhe
dipun betengi.

Tuan Kolonel segera berkata, kepada seluruh para mantri, hai bagaimana
semua itu, rundingkan dengan sesama orang Jawa, kemudian Kumpeni
melihat berangkat semua, ke desa Cengkawak, yang akan dibuat
benteng.

71. Sampun sami pinariksa, Arumbinang ingkang kinon jënëngi,


Wangsacitra inggih tumut, ningali kang panggenan, tinëngëran
kang badhe panggenanipun, Ki Tumënggung Cakrajaya, kidul
dhusun den idëri.

Semua sudah diperiksa, Arumbinang yang disuruh mengawasi,


Wongsocitro juga ikut, melihat tempatnya, ditandai yang akan menjadi
tempatnya, Ki Tumenggung Cokrojoyo, sebelah selatan desa dikelilingi.

72. Pra samya jinagang kisma, pan sahasta lëbëte ingkang siti, Tuwan
Kurnël sigra muwus, dhatëng tumënggungira, ingkang nama
Tumënggung Cakrajayeku, ini pohun bole mana, puhun klapër
kërja biting.

93
Mereka semua menggali tanah, dalamnya galian tanah sehasta, Tuan
Kolonel segera berkata, kepada tumenggungnya, yang bernama
Tumenggung Cokrojoyo, ini pohon dari mana, pohon kelapa buat
benteng.

73. Dhi Këdhungkëbo dhisana, saya kira bole ya itu baik, dhibawak
kalu mënganyut, saya kira tu këna, ya dhisana abanyak nyang
nama pohun, manëgor dhi sana saja, pasthi bole jalan sungi.

Di Kedungkebo disana, saya kira boleh ya itu baik, dibawa kalau


menghanyut, saya kira itu kena, ya di sana banyak yang namanya
pohon, menebang di sana saja, pasti bisa lewat sungai.

74. Dhari apa tu dhisana, sudhah abis kraman pëjalan ini, Tumënggung
Cakrajayeku, apan nauri kata, kalu sukak dhari Tuwan ponnya
mau, sini saja lëbih banyak, puhun klapër sini baik.

Dari apa itu disana, sudah habis para makar berjalan ini, Tumenggung
Cokrojoyo, kemudian menjawab kata-kata itu, kalau suka dari Tuan
pohonnya mau, sini saja lebih banyak, pohon kelapa sini baik.

75. Tradhak susah banyak-banyak, tradhak lain dhisana sama sini,


Kurnel kata baik sunggu, kalu dhiya nyang bisa, kira-kira dhiya
bisa lëbih tau, manëgor dhisini klapa, katanya bisa sëndhiri.

Tidak usah banyak-banyak, tidak lain disana sama sini, Kolonel


berkata baik sungguh, kalau dia yang bisa, kira-kira dia bisa lebih tahu,
menebang disini kelapa, katanya bisa sendiri.

76. Sudhah baik ini saja, puhun banyak dhengën dhakët dhisini, kalu
susah jadhi itu, saya bawak këlana, kira-kira puhun adha apat
ratus, Ki Tumënggung Cakrajaya, saya kira adhah lagi.

Sudah baik ini saja, pohon banyak dengan dekat disini, kalau susah jadi
itu, saya bawa pasukan penjelajah, kira-kira pohon ada empat ratus, Ki
Tumenggung Cokrojoyo, saya kira ada lagi.

77. Ada sini banyak klapa, saya kira apat ratus sëkali, Tuwan Kurnel gya
lumaku, lajëng dhatëng Sumbëran, lan Tumënggung Arumbinang
ingkang tumut, lan Ngabehi Wangsacitra, Ki Cakrajaya Bupati.

94
Ada sini banyak kelapa, saya kira empat ratus sekali, Tuan Kolonel segera
berangkat, terus menuju Sumberan, dan Tumenggung Arumbinang
yang ikut, dan Hangabehi Wongsocitro, Bupati Ki Cokrojoyo.

78. Lajëng wau mësanggrahan, neng Pasucen anjog wau ing biting,
sapraptane prentah angsung, dhatëng Wangsasëmita, miwah
Rangga Martaprawira tan kantun, priyayi kalih asagah, ature
sandika sami.

Terus beristirahat, di Pekuncen langsung menuju ke benteng,


sesampainya disana memberi perintah, kepada Wongsosemito,
serta Ronggo Martoprawiro tidak ketinggalan, kedua priyayi itu
menyanggupi, mereka berkata bersedia.

79. Kinon ngërig tiyang kathah, anggër uwong sakehe tiyang alit, kinon
samya bëkta wadung, karya beteng Cëngkawak, gih sandika ature
rangga sëdarum, tanapi mantri sadaya, sëmana wus amrentahi.

Disuruh mempekerjakan orang banyak, siapapun orangnya seluruh


orang kecil, mereka disuruh membawa beliung, membuat benteng
Cengkawak, ya bersedia kata semua rangga, dan juga semua mantri,
ketika itu sudah memberi perintah.

80. Agancang caritanira, samya dhatëng sakehe tiyang desi, kërigan


agawa wadung, rinangkëp lawan tumbak, kathahira tiyang ingkang
bëkta wadung, wëtawis tiyang sawidak, kawan atus tumbakneki.

Dipersingkat ceritanya, seluruh orang desa datang semua, bekerja


bersama membawa beliung, merangkap dengan tombak, jumlah orang
yang membawa beliung, kira-kira enam puluh orang, empat ratus buah
tombaknya.

81. Praptane wadya arahan, neng Cëngkawak jam pitu wayah enjing,
punika parentahipun, Tumënggung Cakrajaya, wong arahan kang
sami ambëkta wadung, ken nëgori kang tirisan, ingkang bëkta
tumbak sami.

Kedatangan pasukan kecil, di Cengkawak jam tujuh pagi, itu perintahnya,


Tumenggung Cokrojoyo, orang-orang kecil yang membawa beliung,
disuruh menebang pohon kelapa, mereka yang membawa tombak.

95
82. Kinon angusungi griya, pan kinarya pësanggrahan priyayi, tanapi
para tumënggung, miwah para këpala, ing jam tiga pësanggrahan
dadi sampun, kalih atus angsalira, gëlugu kang den tëgori.

Disuruh mengusung rumah, untuk dibuat peristirahatan para priyayi,


dan juga para tumenggung, serta para kepala, pada jam tiga tempat
peristirahatan sudah jadi, memperoleh dua ratus buah, batang kelapa
yang ditebangi.

83. Wus ngadëg kang pësanggrahan, tan antara dangu kraman


dhatëngi, këraman kang dhëlik dhusun, nanging tëksih kliwëran,
kraman kalih tan purun-purun atëluk, apan tëksih kaliwëran,
ananging tan mënang jurit.

Sudah berdiri tempat peristirahatannya, tidak lama kemudian para


makar mendatangi, para makar yang bersembunyi di desa, tetapi masih
berkeliaran, dua orang makar tidak mau takluk, dan masih berkeliaran,
tetapi tidak menang dalam perang.

84. Wëstane kraman kang jarah, nama lami kraman ingkang akësit,
Tumënggung Cakradirjeku, këlawan Nilasraba, bëkta bala
kathahipun kalih atus, asikëp bëdhil lan tumbak, granggang
atanapi bandhil.

Nama para makar yang liar itu, nama para makar lama yang gesit,
Tumenggung Cokrodirjo itu, dan Nilosrobo, membawa pasukan
sebanyak dua ratus orang, bersenjatakan senapan dan tombak, bambu
runcing dan ketapel.

85. Balane Ki Cakrajaya, lajëng sami anyëpëng tumbak aglis, ana


ingkang nyëkël wadung, sadaya sampun mapan, sigra minggah
këraman kang sangking kidul, sangking dhusun ing Cëlapar, tan
ana ingkang ngunduri.

Pasukan Cokrojoyo, terus mereka segera memegang tombak, ada yang


memegang beliung, semua sudah bersiaga, para makar yang dari selatan
segera mendatangi, dari desa Celapar, tidak ada yang mundur.

---oooOooo---

96
PUPUH XXXII
DURMA

1. Sami gugup balane Ki Cakrajaya, tiyang tas ngangkat kardi, kang


wontën Cëngkawak, kraman tan dangu munggah, arame bëdhil
kang muni, surak wurahan, anglir ngrubuh kang langit.

Semua pasukan Ki Cokrojoyo gugup, orang-orang baru saja bekerja,


yang berada di Cengkawak, para makar tidak lama kemudian datang,
ramai tembakan berbunyi, sorak membahana, bagaikan merobohkan
langit.

2. Langkung rame yudane kraman kang prapta, titindhihing ajurit,


Mënggung Nilasraba, Tumënggung Cakradirja, cucuking prang
wus narungi, ramening surak, lir udan sinëmeni.

Sangat ramai berperangnya para makar yang datang, pemimpin


perangnya, Tumenggung Nilosrobo, Tumenggung Cokrodirjo,
pemimpin perangnya sudah menyerang, ramai soraknya, bagaikan
hujan yang menumbuhkan.

3. Granggang mawur tibane pating salëbar, mimise punang bëdhil,


anglir pendah udan, rame tumbak kang mara, wong cilik kalawan
mantri, udrëg-udrëgan, arame silih ungkih.

Bambu runcing menyebar jatuhnya bertebaran, peluru senapannya,


bagaikan hujan, ramai tombak yang berdatangan, orang kecil melawan
mantri, berkelahi, ramai saling menyerang.

4. Ramening prang aneng dhusun ing Cëlapar, kraman angësuk


wani, dangu-dangu kraman gya kalah yudanira, lumayu mangidul
gëndring, asalang tunjang, sëparane den usir.

Ramai peperangan di desa Clapar, para makar mendesak dengan berani,


lama-kelamaan para makar segera kalah berperangnya, melarikan diri
ke selatan kencang sekali, tunggang langgang, ke manapun diusir.

5. Tëkan Bëdhug barise Ki Cakrajaya, kraman minggah ing ardi,


apan samya bubar, kraman saparan-paran, wontën ingkang
munggah wukir, kala sëmana, wong dhusun samya ngili.

97
Barisan Ki Cokrojoyo sampai ke Bedug, para makar naik ke gunung,
kemudian mereka bubar, para makar ke mana-mana, ada yang naik
gunung, ketika itu, orang-orang desa semua mengungsi.

6. Ting salëbar wong Bëdhug lawan Ngrendhetan, samya ngili mring


ardi, samya ngungsi gësang, wong desa kering kanan, wong dhusun
kalangkung ajrih, dhatëng ing mëngsah, kraman keh nandhang
kanin.

Betebaran orang-orang Bedug dan Krendetan, mereka mengungsi ke


gunung, mereka mengungsi agar hidup, orang-orang desa di kiri kanan,
orang-orang desa sangat ketakutan, kepada musuh, para makar banyak
yang menderita luka-luka.

7. Wadyanira Ki Tumënggung Cakrajaya, ngusir kapati-pati, kraman


ting salëbar, wisma Bëdhug kobongan, donya samya den rayahi,
mring wadyanira, Kyai Cakrajayeki.

Pasukan Ki Tumenggung Cokrojoyo, mengusir dengan semangat, para


makar bertebaran, rumah di Bedug terbakar, harta benda dirampas, oleh
pasukannya, Kyai Cokrojoyo ini.

8. Payungira Mas Tumënggung Nilasraba, ijo serete kuning, wus


samya këbandhang, amung songsong sanunggal, bandhangan
sanjata kalih, waose tiga, tëlas dipun rayahi.

Payung Mas Tumenggung Nilosrobo, berwarna hijau dengan pinggiran


bercorak warna kuning, semua sudah terampas, hanya payung sebuah,
rampasan senjata dua buah, tombaknya tiga buah, habis dirampas.

9. Samya mantuk balane Ki Cakrajaya, ngrusak saurut margi,


saunduring bala, sangking Bëdhug angrayah, griya kraman den
rayahi, yudane kalah, Nilasraba angungsi.

Pasukan Ki Cokrojoyo sudah pulang, merusak di sepanjang jalan,


mundurnya pasukan, dari Bedug merampas, rumah para makar
dirampok, perangnya kalah, Nilosrobo mengungsi.

10. Sampun kondur Ki Tumënggung Cakrajaya, sawadyanira ngiring,


prapteng prënahira, Pasucen Këmanukan, wus rawuh anjog ing
biting, sampun atata, mung angsal kawan ari.

98
Ki Tumenggung Cokrojoyo sudah pulang, semua pasukannya
mengiringi, sampai di tempatnya, Pasucen Kemanukan, sudah sampai
langsung menuju benteng, sudah tertata, hanya selama empat hari.

11. Sarëng dintën ing Rëbo sami siyaga, samya budhalan malih,
dhatëng ing Cëngkawak, anëgori tirisan, Ki Wangsacitra Ngëbehi,
Wangsasëmita, lan Martaprawireki.

Ketika pada hari Rabu mereka bersiaga, mereka berangkat lagi, datang
ke Cengkawak, menebangi pohon kelapa, Ki Wongsocitro Hangabehi,
Wongsosemito, dan Martoprawiro.

12. Ki Tumënggung Cakrajaya aneng ngarsa, sadaya mantri ngiring,


dhatëng ing Cëngkawak, dandosi pësanggrahan, tan adangu nulya
dadi, kang pësanggrahan, këlawan bakal biting.

Ki Tumenggung Cokrojoyo berada di depan, semua mantri mengiringi,


datang ke Cengkawak, memperbaiki tempat peristirahatan, tidak lama
kemudian jadi, tempat peristirahatan itu, dan calon benteng.

13. Tigang atus angsale punang tirisan, tëksih dipun pagëri, sarëng
wanci Asar, sami mantuk sadaya, dhatëng ing Pasucen malih, datan
antara, kraman dhatëngi malih.

Memperoleh tiga ratus batang kelapa, masih dipagari, begitu waktu


Asar, mereka kembali semua, datang ke Pasucen lagi, tidak berapa
lama, para makar mendatangi lagi.

14. Anggraita Ki Tumënggung Cakrajaya, mirëng kraman dhatëngi,


wontën dhusun Soka, bala kinen sëdhiya, anglampahakën kang
baris, Ki Wangsacitra, lan Wangsasëmiteki.

Ki Tumenggung Cokrojyo berpikir di dalam hati, mendengar para


makar mendatangi, di desa Soko, pasukan diperintahkan untuk bersiaga,
memberangkatkan pasukannya, Ki Wongsocitro, dan Wongsosemito
ini.

15. Lawan malih Ki Rangga Martaprawira, këlawan kang prajurit,


sigra enggal prapta, wontën dhusun ing Soka, kraman wus dangu
abaris, datan antara, lajëng bëdhil-binëdhil.

99
Dan lagi Ki Ronggo Martoprawiro, bersama prajuritnya, segera cepat-
cepat datang, ke desa Soko, para makar sudah lama berbaris, tidak lama
kemudian, terus tembak-menembak.

16. Datan dangu Mas Tumënggung Nilasraba, sigra angangsëg wani,


dhatëng barisira, barise Wangsacitra, arame asilih ungkih, sami
prawira, tarunge kang prajurit.

Tidak lama Mas Tumenggung Nilosrobo, segera mendesak dengan


berani, kepada barisan, barisan Wongsocitro, ramai saling menyerang,
sama-sama berani, pertarungan para prajurit.

17. Wusnya dangu këraman lajëng kasoran, kawon ingkang prajurit,


mundur barisira, kraman pating salëbar, brandhale kantos
kaungsir, munggah ing arga, lajëng kasaput latri.

Sesudah lama para makar terus kalah, kalah prajuritnya, mundur


barisannya, para makar bertebaran, para berandalnya sampai diusir,
naik ke gunung, terus terhalang malam hari.

18. Apan kathah kang tatu wadya këraman, wontën kang banjur mati,
Rangga Tamënggala, tatu pupu kang kiwa, pun Panji Jayengtirteki,
kapale plangka, sukunya tatu ngarsi.

Dan pasukan makar banyak yang terluka, ada yang kemudian mati,
Ronggo Kertomenggolo, terluka paha kirinya, Panji Jayengtirto,
kudanya berwarna belang putih, kaki depannya terluka.

19. Wontën malih wadya kraman kang arahan, rinampog lajëng mati,
anulya katilar, dangu-dangu agësang, sampuning pëjah atangi,
nulya angucap, pa gene ingsun kari.

Ada lagi pasukan makar yang kecil, dikeroyok kemudian mati,


kemudian ditinggal, lama-kelamaan hidup, sesudah mati bangun,
kemudian berkata, mengapa saya tertinggal.

20. Gënti kocap Ki Tumënggung Cakrajaya, nusul tut wuri baris,


datan dangu prapta, aneng ing pabarisan, nanging tan mënangi
jurit, pinanggih sonya, kraman sampun agusis.

Ganti yang diceritakan Ki Tumenggung Cokrojoyo, menyusul ikut di


belakang barisan, tidak lama kemudian sampai, di dalam barisan, tetapi

100
tidak mengalami peperangan, bertemu kesunyian, para makar sudah
habis.

21. Sarawuhe Ki Tumënggung Cakrajaya, sampun botën mënangi,


rawuh dhusun Soka, Tumënggung Cakrajaya, sëmana anulya
mulih, sawadyanira, mring Sucen prapteng biting.

Kedatangan Ki Tumenggung Cokrojoyo, sudah tidak mengalami, tiba


di desa Soko, Tumenggung Cokrojoyo, ketika itu kemudian pulang,
beserta pasukannya, menuju Sucen sampai di benteng.

22. Wusnya aso Ki Tumënggung Cakrajaya, nulya ngëmandhah


malih, saha wadyanira, dhatëng dhusun Cëngkawak, wus prapta
Cëngkawak biting, kala sëmana, kocapa wong Kumpëni.

Sesudah beristirahat Ki Tumenggung Cokrojoyo, kemudian berpindah


lagi, beserta pasukannya, ke desa Cengkawak, sudah sampai di benteng
Cengkawak, pada waktu itu, diceritakan orang-orang Kumpeni.

23. Kurnel Klerës dhatëng saha wadyanira, prapteng Cëngkawak


biting, nënggih rowangira, Tumënggung Arumbinang, lawan
Wangsacitra ngiring, dhatëng Cëngkawak, klana samya tut wuri.

Kolonel Cleerens datang beserta pasukannya, sampai di benteng


Cengkawak, juga temannya, Tumenggung Arumbinang, dan
Wongsocitro mengiringi, sampai di Cengkawak, pasukan penjelajahnya
mengikuti dari belakang.

24. Sapraptane Tuan Kurnel neng Cëngkawak, manjing lëbëting biting,


tanya kata Mlajar, mring Kyai Cakrajaya, yang itu bupatineki,
bëgini tanya, brapa sëkarang ini.

Sesampainya Tuan Kolonel di Cengkawak, masuk ke dalam benteng,


bertanya dalam bahasa Melayu, kepada Kyai Cokrojoyo, yang itu
bupatinya, begini pertanyaannya, berapa sekarang ini.

25. Dhiya bole manëgor puhun këlapa, Ki Tumënggung nauri, ma


ratus bolenya, itu puhun këlapa, nyang sudah ditëgor ini, këmaren
sama, lantas kraman dhisini.

Dia boleh menebang pohon kelapa, Ki Tumenggung menjawab,


memperolehnya lima ratus buah, yang sudah ditebang ini, kemarin
sama, kemudian para makar disini.

101
26. Jadhi brënti bolenya manëgor klapa, sëmuwa prang sëndhiri,
sama itu kraman, mangke sampe sëkarang, ini saya jaga sini, lah
pëgimana, tu kraman mëksih brani.

Jadi berhenti menebangnya pohon kelapa, semua perang sendiri, sama


itu para makar, maka sampai sekarang, ini saya jaga sini, lah bagaimana,
itu para makar masih berani.

27. Kurnel kata iya sudhah krëja lëkas, Tumënggung anauri, ya bole
lëkasnya, tan dangu sigra prentah, Tumënggung Cakrajayeki,
dhatëng kang wadya, sadaya para mantri.

Sang Kolonel berkata ya sudah kerja lekas, Ki Tumenggung menjawab,


ya boleh lekasnya, tidak lama segera memberi perintah, Tumenggung
Cokrojoyo ini, kepada pasukannya, semua para mantri.

28. Sakathahe pra mantri matur sandika, napa karsanireki, gya


Tumënggung mojar, sadaya tan lënggana, Kurnel sampun wangsul
malih, saklananira, dhatëng ing Sumbërpakis.

Semua para mantri menjawab bersedia, apapun kehendaknya, segera


Ki Temenggung berkata, semua tidak membantah, Sang Kolonel sudah
pulang lagi, beserta pasukan penjelajahnya, menuju ke Sumurpakis.

29. Ingkang kantun Kumpëni wontën Cëngkawak, Litnan Kërap


kang kari, Galberëk rowangnya, ingkang wontën Cëngkawak, lan
saradhadhunireki, gunggung sawidak, mriyëmipun kakalih.

Kumpeni yang ditinggal di Cengkawak, Letnan Keraf yang ditinggal,


Galberek temannya, yang di Cengkawak, dan para serdadunya,
jumlahnya enam puluh orang, meriamnya dua buah.

30. Nora lami betengira nulya dadya, mriyëm munggah satunggil,


pansiyun kang garap, Cakraprëmuja ika, Mangkupraja
rowangneki, pan sampun tata, mriyëme minggah malih.

Tidak lama kemudian bentengnya jadi, meriamnya naik sebuah, yang


mengerjakan mendapat bayaran, Cokropremujo itu, Mangkuprojo
temannya, kemudian sudah bersiap-siap, meriamnya naik lagi.

31. Gënti kocap kraman ingkang sami prapta, pëngagënging prajurit,


Basah Jasundarga, lan Kërtapëngalasan, kalawan Rësaprajeki,
Pangeran putra, Dipanëgara dhingin.

102
Ganti yang diceritakan para makar yang datang, pemimpin prajuritnya,
Basah Joyosundargo, dan Kertopengalasan, serta Resoprojo ini,
Pangeran putera, Diponegoro yang dahulu.

32. Ingkang sëpuh wus jumënëng nama Sultan, Heru Cakra Dul
Khamid, salin namanira, kagëntekakën putra, kang dhatëngi ing
samangkin, aneng Cëngkawak, sigra tarung prajurit.

Yang tua sudah menduduki jabatan Sultan, Heru Cokro Abdul Hamid,
berganti namanya, digantikan puteranya, yang mendatangi pada waktu
sekarang, di Cengkawak, segera bertarung para prajurit.

33. Pangran Blitar neng jro beteng ing Cëngkawak, sadaya pra priyayi,
pan amping-ampingan, beteng kang dereng dadya, sakathahe pra
Kumpëni, amping-ampingan, awëdi këna mimis.

Pangeran Blitar di dalam benteng di Cengkawak, semua para prajurit,


kemudian berdampingan, pada benteng yang belum jadi, para Kumpeni
semuanya, berdampingan, takut terkena peluru.

34. Ki Tumënggung Cakrajaya sampun minggah, ngadhëp mriyëmireki,


mriyëm kang satunggal, wadya mantri sadaya, miwah kang para
prajurit, samya ajaga, ing mriyëm kang satunggil.

Ki Tumenggung Cokrojoyo sudah naik, menghadapi meriamnya,


meriam yang satu, pasukan mantri semuanya, serta para prajurit, semua
menjaga, meriam yang satunya.

35. Sigra mëdal Ki Rangga Martaprawira, sangking sajroning biting,


abujung këraman, rame genira yuda, tumbak atanapi bëdhil,
ramening përang, surake wadya alit.

Ki Ronggo Martoprawiro segera keluar, dari dalam benteng, memburu


para makar, ramai mereka berperang, tombak dan juga senapan,
ramainya peperangan, sorak-sorai pasukan kecil.

36. Pan gumuruh swarane kang wadya bala, kraman sami ngunduri,
binujung lumajar, marang Martaprawira, kraman sami malbeng
desi, ing Sumbërsela, kraman sadaya gusis.

Bergemuruh suara pasukannya, para makar mengundurkan diri, dikejar


melarikan diri, oleh Martoprawiro, para makar semua memasuki desa,
di Selobeji, para makar semuanya habis.

103
37. Ki Tumënggung Cakrajaya sigra tindak, ambujung kraman sami,
Kyai Cakrajaya, dumugi kidulira, dhusun nama Selabeji, kraman
anggiwar, pun Pëngalasan kithing.

Ki Tumenggung Cokrojoyo segera bertindak, mengejar para makar


semua, Kyai Cokrojoyo, sampai di sebelah selatan, desa yang bernama
Selabeji, para makar lari kencang, Si Pengalasan menyelinap.

38. Lawan malih Pangeran Dipanagara, rame përangireki, tan ana


kasoran, ing wau yudanira, agënti asilih ungkih, ramening yuda,
Gorawëcana Behi.

Dan lagi Pangeran Diponegoro, ramai peperangannya, tidak ada yang


kalah, di dalam peperangannya, bergantian saling menyerang, ramai
peperangannya, Hangabehi Gorowecono.

39. Rowangira lan Rangga Martaprawira, ngilen paranireki, bujung


Jasundarga, lawan Jayaprabangsa, lawan Jayaprawireki,
Jayadimëja, sakeh kraman narungi.

Temannya dan Ronggo Martoprawiro, ke barat arahnya, mengejar


Joyosundargo, serta Joyoprabongso, serta Joyoprawiro, Joyodimejo,
seluruh para makar menyerang.

40. Juritipun Ki Tumënggung Cakrajaya, sami kirangan mimis, tëlas


sëndawanya, sigra kumpul ing përang, tan ana kasoran jurit,
ramening yuda, samya bëdhil-binëdhil.

Peperangan Ki Tumenggung Cokrojoyo, mereka kekurangan peluru,


habis mesiunya, segera berkumpul di dalam peperangan itu, tidak
ada yang kalah perang, ramai peperangannya, mereka saling tembak-
menembak.

41. Lingsir kilen awit genira ayuda, wus Asar dereng mari, nënggih
dennya aprang, obat mimis wus tëlas, tumënggungipun Kumpëni,
prajuritira, ingundurakën sami.

Mereka mulai berperang ketika matahari condong ke barat, sudah waktu


Asar belum berakhir, begitulah mereka berperang, obat mesiu sudah
habis, tumenggungnya Kumpeni, prajuritnya, semua disuruh mundur.

104
42. Sinënjata dhatëng wadya bala kraman, prajuritira sami, Kyai
Cakrajaya, ya ta ana kang këna, pilinganira kang kanin, niba
kalumah, nanging nora ngëmasi.

Ditembaki oleh pasukan makar, semua prajurit, Kyai Cokrojoyo, ya


ada yang terkena, keningnya yang terluka, jatuh terlentang, tetapi tidak
mati.

43. Nanging pelor pinëndhët pan sampun këna, tan lëbët tatuneki, sira
Sasëmita, sami ayun-ayunan, lawan Jayaprabangseki, Rësasëmita,
tumbak këpalang kenging.

Tetapi kemudian pelurunya diambil sudah kena, tidak dalam lukanya,


dia Resosemito, mereka berhadap-hadapan, dengan Joyoprabongso,
Resosemito, terkena batang tombak.

44. Sasëmita ingayat-ayat tinumbak, dhatëng mungsuhireki,


Mënggung Japragota, Rësasëmita milar, tumbake apan wus keri,
nulya këbandhang, dhatëng mungsuhireki.

Resosemito dibidik akan ditombak, oleh musuhnya, Tumenggung


Joyopragota, Resosemito menghindar, tombaknya kemudian tertinggal,
kemudian dirampas, oleh musuhnya.

45. Barisira Ki Tumënggung Cakrajaya, lumajëng kang prajurit,


sawab obat tëlas, binujung mring këraman, wadyanira bubar sami,
padha sasaran, sigra Kumpëni prapti.

Barisan Ki Tumenggung Cokrojoyo, pasukannya melarikan diri, sebab


obat mesiunya habis, dikejar oleh para makar, pasukannya semua bubar,
mereka ke mana-mana, segera Kumpeni datang.

46. Gya Kumpëni kalih dasa ingkang prapta, sangking salëbët


biting, bantu mimis obat, dhumatëng wadyanira, Tumënggung
Cakrajayeki, sigra tumandang, Tumënggung majëng malih.

Segera dua puluh orang Kumpeni yang datang, dari dalam benteng,
membantu obat mesiu, kepada pasukannya, Tumenggung Cokrojoyo,
segera bertindak, Ki Tumenggung maju lagi.

47. Sawadyane kang para mantri sadaya, prajurit wangsul malih, lan
Kumpëni samas, kang sami napung yuda, arëmpëg samya marani,
dhatëng këraman, brandhal angësuk wani.

105
Beserta pasukan para mantri semua, para prajurit kembali lagi, dan
Kumpeni semua, yang terjun dalam peperangan semua, serempak
mereka mendatangi, kepada para makar, para berandal mendesak
dengan berani.

48. Bubar larut sadaya kraman lumajar, kasoran ing ajurit, den usir
parannya, prapteng dhusun ing Krasak, kang kilen aniba tangi,
prapta ing desa, Sawiyara kang nami.

Bubar berhamburan semua para makar melarikan diri, kalah dalam


peperangan, diusir ke manapun, sampai di desa Krasak, yang di sebelah
barat jatuh bangun, sampai di desa, Sawioro namanya,

49. Wusnya mundur prajurit ing Cakrajayan, lawan para Kumpëni,


pan wangsul sadaya, dhatëng beteng Cëngkawak, sadaya pan
sampun prapti, wontën Cëngkawak, kabeh para prajurit.

Sesudah itu para prajurit Cokrojoyo mundur, bersama para Kumpeni,


kemudian Kembali semua, menuju benteng Cengkawak, kemudian
semua sudah sampai, di Cengkawak, semua para prajurit.

50. Kya Tumënggung Cakrajaya duk sëmana, wus panggih lan


Kumpëni, nama Litnan Kërap, anggunëm solahira, kalane tangkëp
ing jurit, kala sëmana, wus tata sami linggih.

Kyai Tumenggung Cokrojoyo ketika itu, sudah bertemu dengan


Kumpeni, bernama Letnan Keraf, membicarakan tindakannya, ketika
terjun dalam peperangan, ketika itu, mereka sudah duduk teratur.

51. Kawarnaa punang kraman datan lama, sëksana prapta malih,


nyalëki Cëngkawak, titindhihing ngayuda, Pangeran Dipanëgari,
Jayasundagra, lan Jayaprawireki.

Diceritakan para makar itu tidak lama, segera datang lagi, mendekati
Cengkawak, pemimpin perangnya, Pangeran Diponegoro,
Joyosundargo, dan Joyoprawiro ini.

52. Japrëbangsa kalawan Jayaprëgota, lan Pëngalasan sami, kathah


prajuritnya, kang sami wau prapta, ingkang arsa ngrampid biting,
beteng Cëngkawak, kang sangking kilen gili.

106
Joyoprabongso beserta Joyopragoto, dan bersama Pengalasan, banyak
prajuritnya, mereka yang datang, yang hendak menyerbu benteng,
benteng Cengkawak, yang dari sebelah barat jalan.

53. Tumënggung Cakrajaya wus aprayitna, sigra wau dhawuhi, kang


kilen punika, barise Jasundarga, arame bëdhil-binëdhil, datan
antara, para kraman ngunduri.

Tumenggung Cokrojoyo sudah mewaspadai, segera memerintahkan,


yang di sebelah barat itu, barisan Joyosundargo, ramai tembak-
menembak, tidak lama kemudian, para makar mengundurkan diri.

54. Pan kabujung barise Jayasundarga, kaungsir ngantos tëbih, prapta


Këmangunan, Tumënggung Cakrajaya, barise ngundurkën sami,
dhatëng Cëngkawak, Tumënggung kang den iring.

Kemudian barisan Joyosundargo dikejar, diusir sampai jauh, sampai


Kemangunan, Tumenggung Cokrojoyo, mengundurkan semua
barisannya, menuju Cengkawak, Ki Tumenggung yang diiringi.

55. Tan adangu Tumënggung nulya ge prapta, ing Cëngkawak


jro biting, prapta sëdayanya, sëmana sampun lënggah, neng
Cëngkawak aneng biting, sawadyanira, Cakrajaya Bupati.

Tidak lama Ki Tumenggung kemudian segera sampai, di Cengkawak


di dalam benteng, semuanya sampai, ketika itu sudah duduk, di
Cengkawak di dalam benteng, beserta pasukannya, Bupati Cokrojoyo.

56. Tan antara këraman kang sami prapta, sangking kidul nëkani,
Kërtapëngalasan, lan Pangran Dipapraja, sakehe para ngabehi,
rangga këraman, kathah prajuritneki.

Tidak lama kemudian para makar yang datang, dari selatan mendatangi,
Kertopengalasan, dan Pangeran Diponegoro, seluruh para hangabehi,
ronggo makar, banyak prajuritnya.

57. Sigra nëmpuh këraman sing kidul bayak, nulya dipun tarungi,
mring prajuritira, Tumënggung Cakrajaya, arame përangireki,
datan antara, mriyëm jro beteng muni.

Segera menyerbu para makar dari selatan berduyun-duyun,


kemudian diserang, oleh prajuritnya, Tumenggung Cokrojoyo, ramai
peperangannya, tidak berapa lama, meriam di dalam benteng berbunyi.

107
58. Bubar larut sakeh kraman nunjang-nunjang, nulya sami kausir,
prapteng Ngandul desa, brandhal arëbut gësang, prajurit
Cakrajayeki, wangsul sadaya, grëbëg tumënggungneki.

Bubar berhamburan seluruh para makar menumbuk-numbuk, kemudian


mereka diusir, sampai desa Ngandul, para berandal berebut hidup,
prajurit Cokrojoyo ini, kembali semua, mengiringi tumenggungnya.

59. Cakrajaya Tumënggung tindhih Wëlanda, wus prapta jroning


biting, beteng ing Cëngkawak, Tumënggung Cakrajaya, wus
prapta para prajurit, lajëng adhahar, ngadhëp kang dados kanthi.

Tumenggung Cokrojoyo dan pemimpin Belanda, sudah sampai di


dalam benteng, benteng di Cengkawak, Tumenggung Cokrojoyo, para
prajurit sudah datang, terus makan, menghadapi yang menjadi teman.

---oooOooo---

108
PUPUH XXXIII
KINANTHI

1. Sarëng dintën Akad nuju, ing tanggal kaping satunggil, ing


wulan Bësar punika, wontën upas wau prapti, anjog beteng ing
Cëngkawak, Ki Tumënggung manggihi.

Bertepatan pada hari Ahad, pada tanggal satu, itu pada bulan Dzulhijjah,
ada pesuruh yang datang, langsung menuju benteng di Cengkawak, Ki
Tumenggung menemui.

2. Caraka lajëng umatur, mring Kyai Cakrajayeki, ature upas caraka,


kula ingutus Kumpëni, nimbali dhatëng sampeyan, praptaa ing
Sumurpakis.

Utusan terus berkata, kepada Kyai Cokrojoyo ini, pesuruh utusan itu
berkata, saya diutus oleh Kumpeni, memanggil kepada kamu, datanglah
ke Sumurpakis.

3. Ya ta enggal Ki Tumënggung, adandan nata prajurit, prajurit lan


upacara, sadaya sampun miranti, sëksana anulya budhal, kang
wadya sadaya ngiring.

Ya segera Ki Tumenggung, bersiap-siap mengatur prajurit, prajurit


dan perlengkapannya, semua sudah siaga, kemudian segera berangkat,
pasukannya semua mengiringi.

4. Datan kawarna ing ngënu, kocapa sampun dumugi, kabeh saha


wadya bala, wus prapta ing Sumbërpakis, Ki Tumënggung gya
sinapa, dhumatëng wau Kumpëni.

Tidak diceritakan di perjalanan, diceritakan sudah sampai, semua


beserta pasukannya, sudah sampai di Sumurp ituakis, Ki Tumenggung
segera disapa, oleh Kumpeni.

5. Ki Tumënggung lon umatur, dhatëng wau ing Kumpëni, Kumpëni


alon angucap, ini Tuwan Jendral kasih, bërnama itu sënjata, këstul
duwa këcil-këcil.

109
Ki Tumenggung berkata pelan, kepada Kumpeni itu, Kumpeni itu
berkata pelan, ini Tuan Jenderal kasih, senjata itu bernama, dua buah
pistol kecil-kecil.

6. Sama-sama ini satu, Tuwan Jendral Dhëkok kasih, ature Ki


Cakrajaya, saya Tuwan trima kasih, saya trima banyak-banyak,
Tuwan Jendral kasih bëdhil.

Sama-sama ini satu, Tuan Jenderal De Kock kasih, kata Ki Cokrojoyo,


Tuan saya berterima kasih, saya berterima kasih banyak, Tuan Jenderal
kasih pistol.

7. Ginanjar Kyai Tumënggung, amargi adamël biting, ing Cëngkawak


lan Bëndungan, sarta përang wontën biting, Kumpëni datan
tumuta, kala aprang wontën biting.

Ki Tumenggung diberi hadiah, karena membuat benteng, di Cengkawak


dan Bendungan, serta berperang di benteng, Kumpeni tidak ikut, ketika
berperang di benteng.

8. Wus dangu genira lungguh, kalawan wau Kumpëni, gunëman


neng beteng Këmbar, wus dangu anulya pamit, Ki Tumënggung
lon ngandika, tabeyan lawan Kumpëni.

Sudah lama mereka duduk, bersama Kumpeni itu, berbincang-


bincang di benteng Kembar, sesudah lama kemudian berpamitan, Ki
Tumenggung berkata pelan, memberi salam kepada Kumpeni.

9. Sudhah Tuwan saya itu, saya pulang dari sini, mau pulang dhi
Cëngkawak, tradhak adha jaga biting, Kumpëni kata lah iya, kowe
sudhah baik-baik.

Sudah Tuan saya itu, saya pulang dari sini, mau pulang di Cengkawak,
nanti tidak ada yang menjaga benteng, Kumpeni berkata lah iya, kamu
sudah baik-baik.

10. Sënjata wrangka trëmbalu, sakit udan dhapurneki, den ampil


ing panakawan, datan dangu sigra prapti, ing beteng tanah
Cëngkawak, wus prapteng nulya alinggih.

Senjata bersarung kayu trembalo, berdapur sakit udan, dibawa oleh


panakawan, tidak lama segera sampai, di benteng tanah Cengkawak,
sesudah sampai kemudian duduk.

110
11. Sëmana kathah kang ngrungu, Tumënggung ginanjar bëdhil, pra
Tumënggung keh miyarsa, punapa malih wong cilik, wus misuwur
sanëgara, Tumënggung ginanjar bëdhil.

Ketika itu banyak yang mendengar, Ki Tumenggung diberi hadiah


pistol, para tumenggung banyak yang mendengar, apa lagi orang-orang
kecil, sudah termasyhur di seluruh kota, Ki tumenggung diberi hadiah
pistol.

12. Gënti kang kocapa wau, Jëng Gusti Pangran Dipati, kang wontën
Këdhungmaesa, sëmana ngandika aris, dhatëng wau ingkang
wadya, dhawuhira Kangjëng Gusti.

Ganti yang diceritakan, Sang Pangeran Adipati, yang berada di


Kedungkebo, ketika itu berkata lembut, kepada pasukannya, perintah
Sang Pangeran.

13. Heh bocah sira ngong utus, timbalana dipun aglis, Ki Tumënggung
Cakrajaya, kang ana Cëngkawak biting, lah mara ge lumakua,
bëktaa jaran ben aglis.

Hai nak kamu saya utus, panggillah dengan segera, Ki Tumenggung


Cokrojoyo, yang berada di benteng Cengkawak, nah slakan segeralah
berangkat, bawalah kuda agar cepat.

14. Kang ingatag awot santun, lumampah sarwi anjinjing, wus


tëbih ing lampahira, tan dangu nulya ge prapti, jujug beteng ing
Cëngkawak, praptanira nulya linggih.

Yang disuruh menyembah, berjalan dengan berjinjit, sudah jauh dalam


perjalanannya, tidak lama kemudian segera sampai, langsung menuju
benteng di Cengkawak, sesampainya kemudian duduk.

15. Sëksana nulya umatur, mring Kyai Cakrajayeki, sampeyan pan


katimbalan, dhatëng wau Kangjëng Gusti, Pangeran Kusumayuda,
pilenggah Këdhungmeseki.

Segera kemudian berkata, kepada Kyai Cokrojoyo ini, paduka dipanggil,


oleh Sang Pangeran, Pangeran Kusumoyudo, yang berkedudukan di
Kedungkebo.

111
16. Tumënggung ature nuhun, sandika karsaning Gusti, wus dandan
Ki Cakrajaya, lumampah sawadya ngiring, datan kawarna ing
marga, sëmana anulya prapti.

Ki Tumenggung menjawab terima kasih, bersedia sekehendak Tuan,


sudah bersiap-siap Ki Cokrojoyo, berangkat beserta pasukannya
mengiringi, tidak diceritakan di perjalanan, ketika itu kemudian sampai.

17. Dhatëngira Ki Tumënggung, ing ngarsane Kangjëng Gusti,


sapraptanira wot sëkar, dhumatëng Pangran Dipati, dhatënge age
sinapa, dhatëng wau Kangjëng Gusti.

Kedatangan Ki Tumenggung, di hadapan Sang Pangeran, kedatangannya


dengan menyembah, kepada Pangeran Adipati, kedatangannya segera
disapa, oleh Sang Pangeran.

18. Jëng Pangran ngandika arum, mring Kyai Cakrajayeki, iki ana
surat prapta, sangking Surakarta nagri, iya tëka Kangjëng Sunan,
ing Surakarta nëgari.

Sang Pangeran berkata lembut, kepada Kyai Cokrojoyo, ini ada surat
datang, dari kota Surakarta, iya datang dari Sang Sunan, di kota
Surakarta.

19. Pan mëngkene ungëlipun, aparing marang sireki, jujuluki marang


sira, pan sira nama Dipati, Cakrajaya namanira, sarta dadiya
Dipati.

Dan begini bunyinya, memberi kepadamu, gelar kepadamu, kamu


bergelar Adipati, Cokrojoyo namanya, serta menjadi Adipati.

20. Amëngkuwa sira iku, bumi Tanggung sadayeki, saantero wukir


Lëbak, kang kabawah ing Dipati, ing tanah Tanggung sadaya,
panca tus cacahireki.

Kamu itu menguasai, bumi Tanggung semuanya, di sekitar gunung


Lebak, yang dikuasai oleh Adipati, di tanah Tanggung semuanya, lima
ratus jumlahnya.

21. Dipati Cakrajayeku, nuwun ture awot sari, misuwur wong


Tanggung samya, agëng alit jalu estri, yen Dipati Cakrajaya,
jinunjung ngadëg Dipati.

112
Adipati Cokrojoyo itu, berkata terima kasih sambil menyembah,
termasyhur bagi orang Tanggung semua, besar kecil laki-laki
perempuan, bahwa Adipati Cokrojoyo, diangkat menjabat Adipati.

22. Mëngku bawah gangsal atus, ing Tanggung pilënggahneki,


Jëng Gusti anulya pista, lawan abdi para mantri, anggiyarkën
pangandika, saur pëksi para abdi.

Menguasai wilayah lima ratus, di Tanggung kedudukannya, Sang


Pangeran kemudian berpesta, bersama para abdi dan para mantri,
mengumumkan pernyataan, para abdi menjawab bersahut-sahutan.

23. Pangeran sampun dhëdhawuh, dhumatëng Ki Adipati, wus


rampung timbalanira, sigra pamit dhatëng Gusti, Jëng Pangeran
angandika, mangsa bodhoa sireki.

Sang Pangeran sudah memerintahkan, kepada Ki Adipati, sudah selesai


perintahnya, segera berpamitan kepada Sang Pangeran, Sang Pangeran
berkata, terserah kepadamu.

24. Ki Tumënggung aturipun, punapa karsaning Gusti, sigra budhal


Sang Dipatya, sing ngarsane Kangjëng Gusti, wadyanira sampun
tata, upacara samya ngiring.

Ki Tumenggung berkata, apapun kehendak Tuan, segera berangkat Sang


Adipati, dari hadapan Sang Pangeran, pasukannya sudah mengatur,
perlengkapannya semua mengiringi.

25. Wus ngalih nama Tumënggung, jinunjung nama Dipati, namanira


wus mupakat, sakathahe wong nëgari, Adipati Cakrajaya, wus
mashur wong alit-alit.

Sudah berganti nama Sang Tumenggung, diangkat menjadi Adipati,


namanya sudah dimufakati, oleh seluruh orang di kota ini, Adipati
Cokrojoyo, sudah termasyhur bagi orang-orang kecil.

26. Sampun lëpas lampahipun, tan dangu nulya ge prapti, aneng


beteng ing Cëngkawak, praptanya nulya alinggih, pëpak ingkang
pra niyaka, sadaya ngadhep neng ngarsi.

Sudah jauh perjalanannya, tidak lama kemudian segera sampai, di


benteng di Cengkawak, sesampainya kemudian duduk, lengkap para
abdi, semua menghadap di depan.

113
27. Para mantrinira suyud, Dipati ngandika aris, pan kula tampa
ganjaran, sangking Jëng Sunan nëgari, dipun ëlih nama kula,
Cakrajaya den namani.

Para mantrinya patuh, Sang Adipati berkata pelan, saya memperoleh


hadiah, dari Sang Sunan kota, diganti nama saya, dinamai Cokrojoyo.

28. Ing karsane Jëng Sinuhun, kula ken nama Dipati, limang atus
bawah kula, ing Tanggung kang dadi linggih, wus nëtëpi jënëng
ingwang, Bupati Tanggung saiki.

Kehendak Sang Sunan, saya disuruh bernama Adipati, lima ratus


wilayah saya, di Tanggung yang menjadi kedudukan saya, sudah tetap
kedudukan saya, Bupati Tanggung sekarang.

29. Kabeh siti gangsal atus, sami sowan mring Dipati, Kya Dipati
Cakrajaya, kathah kang tinanëm mantri, dhateng Kyai Cakrajaya,
suyud kabeh para mantri.

Semua tanahnya lima ratus, mereka menghadap kepada Sang Adipati,


Kyai Adipati Cokrojoyo, banyak yang dijadikan mantri, kepada Kyai
Cokrojoyo, patuh semua para mantri.

30. Lami neng Cëngkawak tugur, apan sami gunëm pikir, karsane
badhe ngëmandhah, dhatëng Bëdhug kang den incih, sëmana
rëmbuge rikat, wus tata budhalan sami.

Lama di Cengkawak berjaga, kemudian mereka bertukar pikiran,


kehendaknya akan berpindah, ke Bedug yang dituju, ketika itu
perundingannya cepat, sesudah siaga mereka berangkat.

31. Wus budhal sawadyanipun, Ki Cakrajaya Bupati, kang wadya


ngiring sadaya, miwah ingkang para mantri, arëmpëg ing
lampahira, arame wontën ing margi.

Sudah berangkat beserta pasukannya, Bupati Ki Cokrojoyo, pasukannya


mengiringi semua, beserta para mantrinya, serempak di dalam
perjalanannya, ramai berada di jalan.

32. Bëdhug nama Mas Tumënggung, Cakradirja kang wëwangi, lan


Tumënggung Nilasraba, Mënggung Sumadipureki, Undërberëk
lawan Ingslar, wolung dasa balaneki.

114
Di Bedug yang bernama Mas Tumenggung, Cokrodirjo namanya, dan
Tumenggung Nilosrobo, Tumenggung Kusumodipuro, Underberek dan
Ingslar, delapan puluh orang pasukannya.

33. Punika sami anusul, lampahira kang rumiyin, Kya Dipati


Cakrajaya, kalawan kang para mantri, tan dangu nulya ge prapta,
Dipati Cakrajayeki.

Mereka itu menyusul, perjalanannya yang dahulu, Kyai Adipati


Cokrojoyo, beserta para mantrinya, tidak lama kemudian segera sampai,
Adipati Cokrojoyo.

34. Sëksana lajëng atarung, arame denira jurit, Kya Dipati Cakrajaya,
tan kasoran dennya jurit, bërandhal mawut sadaya, tan ana kang
mangga pulih.

Segera terus bertarung, ramai mereka berperang, Kyai Adipati


Cokrojoyo, tidak kalah mereka berperang, para berandal berhamburan
semua, tidak ada yang mau kembali.

35. Kumpëni pan sampun rawuh, prënahe kang andon jurit,


saradhadhu wolung dasa, kang samya nusul Dipati, nanging tan
mënangi yuda, para kraman sampun gusis.

Kumpeni sudah datang, di tempat mereka yang sedang berperang,


serdadu delapan puluh orang, mereka yang menyusul Sang Adipati,
tetapi tidak mengalami peperangan, para makar sudah habis.

36. Punang brandhal wus lumayu, Kya Dipati bujung wani, dhatëng
kraman kathah-kathah, bërandhal munggah ing ardi, marang
dhusun ing Suwela, këraman binërëg wani.

Para berandal sudah melarikan diri, Kyai Adipati mengejarnya dengan


berani, kepada para makar yang banyak sekali, para berandal naik ke
gunung, ke desa Suwelo, para makar diburu dengan berani.

37. Ngantos dugi munggah gunung, ing Arga namaning wukir,


pan tëksih kinodhol samya, Ki Dipati ngësuk wani, karsane Ki
Cakrajaya, datan arsa angunduri.

Hingga sampai naik gunung, di Argo nama gunungnya, dan mereka


masih diikuti dari belakang, Ki Adipati mendesak dengan berani,
kehendak Ki Cokrojoyo, tidak mau mundur.

115
38. Karsanipun tëksih ngëlud, pambujunge datan bali, desa Suwela
pan bubar, rinayah darbek wong bumi, wisma tëlas ingobaran,
bebek ayam den rayahi.

Kehendaknya masih menyerbu, pengejarannya tidak kembali, desa


Suwelo sudah bubar, milik orang desa itu dirampas, rumah-rumah habis
dibakari, bebek ayam dirampas.

39. Dipati Cakrajayeku, pan angsal bandhangan bëdhil, kathahira


mung titiga, mawi sangkuh jangkëp katri, antuk tumbak namung
gangsal, pëdhang suduk mung satunggil.

Adipati Cokrojoyo itu, kemudian mendapat rampasan senapan,


jumlahnya hanya tiga buah, ketiganya lengkap dengan sangkurnya,
mendapat tombak hanya lima buah, pedang tusuk hanya sebuah.

40. Angsal kapal mung pipitu, lajëng mantuk kang prajurit, Ki Dipati
Cakrajaya, sëmana sampun apanggih, lan Kumpëni ingkang nama,
Undërberëk namaneki.

Mendapat kuda hanya tujuh ekor, kemudian para prajuritnya kembali,


Ki Adipati Cokrojoyo, ketika itu sudah bertemu, dengan Kumpeni yang
bernama, Underberek namanya.

41. Këpanggih wontën ring dhusun, Ngrendhetan namaning desi, neng


pondhok desa Ngrendetan, Gelberëk kang amanggihi, bandhangan
wus tinampanan, sadaya dhatëng Kumpëni.

Bertemu di dalam desa, Krendetan nama desanya, di penginapan desa


Krendetan, Gelberek yang menemui, rampasan sudah diterimakan,
semua kepada Kumpeni.

42. Enggal Berëk ingkang ngusung, bandhangan binëkta sami,


sampun katur Kurnelira, Kalerës nama Kumpëni, bandhangan
wus tiningalan, tumbak atanapi bëdhil.

Segera Gelberek yang mengusung, rampasan dibawa mereka, sudah


diserahkan kepada Kumpeni, Cleerens nama Kumpeni itu, rampasan
sudah dilihat, tombak dan juga senapan.

43. Lami-lami Kurnel wau, ing Waja kinarya biting, Kurnel Klerës
karëpira, lan Kapitan Amagilis, damël beteng aneng Waja, akathah
arahan prapti.

116
Lama-kelamaan Sang Kolonel, membuat benteng di Wojo, kehendak
Kolonel Cleerens, dan Kapten Amagilis, membuat benteng di Wojo,
banyak orang kecil datang.

44. Nëngëna datan winuwus, gëntiya ingkang winarni, Kangjëng


Sultan Heru Cakra, midhangët solah Kumpëni, karya beteng
wontën Waja, lajëng tindak ngilen nënggih.

Biarkan tidak diceritakan, ganti yang diceritakan, Sang Sultan Heru


Cokro, mendengar tindakan Kumpeni, membuat benteng di Wojo, ya
terus berjalan ke barat.

45. Akathah prajuritipun, Kangjëng Sultan Ngabdul Khamid, tan


kawarna lampahira, kocapa sampuning prapti, neng dhusun
Tëlagalela, prajurit sadaya ngiring.

Banyak prajuritnya, Sang Sultan Abdul Hamid, tidak diceritakan


perjalanannya, diceritakan sesudah sampai, di desa Telogolelo, semua
prajuritnya mengiringi.

46. Sultan mësanggrahan sampun, sakathahe kang prajurit, kukuwu


Tëlagalela, wus lami Sultan abaris, apan sami parëmbagan,
sakathahe pra prajurit.

Sang Sultan sudah beristirahat, seluruh prajuritnya, berdiam di


Telogolelo, sudah lama Sang Sultan berbaris, kemudian mereka
berunding, seluruh para prajuritnya.

47. Jëng Sultan ngandika arum, dhumatëng para prajurit, mara


padha rëmbugana, Kumpëni pikirën iki, gawe biting aneng Waja,
wus tëlas pësaban mami.

Sang Sultan berkata lembut, kepada para prajurit, silakan kalian


perundingkan, pikirkanlah Kumpeni ini, membuat benteng di Wojo,
sudah habis tempatku bepergian mencari makan.

48. Wëlanda saya angingkud, bitinge saya mratani, lah padha sira
pikira, umatur prajurit sami, yen angsal idi paduka, jing enjing
kula lurugi.

Belanda semakin menguasai tanah, bentengnya semakin merata, nah


kalian semua pikirkan, semua prajurit berkata, kalau mendapat ijin
paduka, besok pagi kami datang menyerbu.

117
49. Sëmana wus tata sampun, sakathahe kang prajurit, Kangjëng
Sultan Heru Cakra, Ngabdul Khamid Amir Mukmin, sadaya
sampun siyaga, prajurit budhal tumuli.

Ketika itu sudah bersiaga, seluruh prajuritnya, Sang Sultan Heru Cokro,
Abdul Hamid Amirul Mukminin, semua sudah bersiaga, para prajurit
kemudian berangkat.

50. Datan dangu nulya rawuh, kathahe para prajurit, sadaya këlambi
abang, akathah ingkang prajurit, Kangjëng Sultan Heru Cakra,
anënëdha ing Hyang Widi.

Tidak lama kemudian sampai, banyak para prajuritnya, semua berbaju


merah, banyak prajuritnya, Sang Sultan Heru Cokro, memohon kepada
Yang Esa.

51. Mugi Hyang paringa tulung, mring umat kang sami mukmin, muga
kapir kalahëna, panuwune Sultan nguni, Jëng Sultan langkung
sungkawa, prihatin sajroning galih.

Semoga Tuhan memberi pertolongan, kepada semua umat yang beriman,


semoga orang kafir dikalahkan, permohonan Sang Sultan pada waktu
dahulu, Sang Sultan sangat sedih, prihatin di dalam hati.

52. Gëntiya ingkang winuwus, prajurit kang nglurug sami, sadayane


sampun prapta, ing betengira Kumpëni, sëksana anulya aprang,
srupane para prajurit.

Ganti yang diceritakan, semua prajurit yang mendatangi, semuanya


sudah sampai, di benteng Kumpeni, kemudian segera berperang,
seluruh para prajuritnya.

53. Arame ing yudanipun, sakathahe kang prajurit, datan wontën kang
kasoran, kang aprang ungkih-ingungkih, dangu-dangu kraman
kalah, bërandhal kathah kang mati.

Ramai di dalam peperangannya, seluruh para prajuritnya, tidak ada


yang kalah, yang berperang serang-menyerang, lama-kelamaan para
makar kalah, para berandal banyak yang mati.

54. Wëlanda kang samya lampus, pipitu kathahireki, Mëgilis apan


këbranan, rantas tanganira kering, sëksana samya undurnya,
sakathahe wong Kumpëni.

118
Orang-orang Belanda yang mati, tujuh orang jumlahnya, Magilis
kemudian marah, terluka tangan kirinya, kemudian mereka mundur,
orang Kumpeni seluruhnya.

55. Baris kraman keh lumayu, sadaya sami malëncing, mulih prapta
ngarsanira, Kangjëng Sultan Ngabdul Khamid, Jëng Sultan aris
ngandika, dhatëng kang para prajurit.

Barisan para makar banyak yang melarikan diri, mereka semua terbirit-
birit, pulang sampai di hadapan, Sang Sultan Abdul Hamid, Sang Sultan
berkata lembut, kepada para prajuritnya.

56. Lah kaya ngapa ta wau, përangmu karo Kumpëni, prajurit


matur kukila, kula anumbak Kumpëni, pan ëmpun tumbakanira,
Kumpënine lajëng mati.

Nah bagaimanakah tadi, perangmu dengan Kumpeni, prajurit matur


bersahut-sahutan, saya menombak Kumpeni, dan sudah menombaknya,
Kumpeninya terus mati.

57. Kawula numbak ping pitu, Wëlandi kang sami mati, sampune
bubar sadaya, sakathahe wong Kumpëni, benjing enjing linurugan,
dawëg sami den lampahi.

Saya menombak tujuh kali, orang-orang Belanda yang mati, sesudah


bubar semua, orang Kumpeni seluruhnya, besok pagi didatangiuntuk
diserbu, silakan semua dilaksanakan.

58. Sarëng enjing tarung pupuh, Wëlandi kathah kang mati, salamine
pra Wëlanda, wontën beteng wae sami, aprang ambal kaping tiga,
Wëlanda kathah kang mati.

Begitu pagi hari bertarung dalam peperangan, orang-orang Belanda


banyak yang mati, selamanya para orang Belanda, mereka berada di
dalam benteng saja, berperang sampai tiga kali, orang Belanda banyak
yang mati.

59. Gennya damël beteng iku, sawulan laminireki, apërang ambal


ping tiga, Kumpëni akeh kang mati, nanging datan gumingsira,
Kumpëni saya nëmëni.

119
Mereka membuat benteng itu, sebulan lamanya, berperang sampai
tiga kali, Kumpeni banyak yang mati, tetapi tidak bergeser, Kumpeni
semakin bersungguh-sungguh.

60. Kumpëni bandhane agung, wong Jawa kathah kang miskin, mila
kawon yudanira, apan kirang ëber budi, Kumpëni bandhane
kathah, bangsa Jawa tan nandhingi.

Harta Kumpeni banyak, orang Jawa banyak yang miskin, maka kalah
perangnya, dan kurang luas pemikirannya, harta Kumpeni banyak,
bangsa Jawa tidak bisa menandingi.

61. Mila bëtah përangipun, Kumpëni abandha sugih, sartane wani


kelangan, apa nora ngeman picis, kalane ngrëbut nëgara, gëntiya
ingkang winarni.

Maka lama peperangannya, Kumpeni kaya hartanya, serta berani


kehilangan, apakah tidak sayang uang picis, ketika merebut kota, ganti
yang diceritakan.

62. Beteng Waja kendël sampun, wus dadi pan sampun rakit, mariyëm
maju sëkawan, saradhadhu kang jagani, gunggung satus kalih
dasa, saradhadhu kang jagani.

Benteng Wojo sudah berhenti, sudah jadi dan sudah siaga, meriam
dipasang empat buah, serdadu yang menjaganya, sejumlah seratus dua
puluh orang, serdadu yang menjaganya.

63. Tëtëp Landa galihipun, Jëng Sultan tan purun malih, angraos
kasoran yuda, Jëng Sultan sëmu prihatin, asangët gennya nëlangsa,
Heru Cakra Ngabdul Khamid.

Pendapat Belanda tetap, Sang Sultan tidak mau lagi, merasa kalah
perang, Sang Sultan agak prihatin, beliau sangat menderita batinnya,
Heru Cokro Abdul Hamid.

64. Prajurite pra tumënggung, ing Batang Këndhal nëgari, kang sami
wontën ing Waja, mung sekët kathahireki, gënti mangke kawuwusa,
kocapa isining këndhil.

Prajurit para tumënggung, di kota Batang dan Kendal, yang berada di


Wojo, hanya lima puluh orang jumlahnya, ganti kini yang diceritakan,
diceritakan isinya periuk.

120
65. Pan uwos kang dadi rangsum, kalangkung denira awis, pancenipun
rëgi suwang, sëmana rëgi sëringgit, Kumpëni lajëng putusan,
dhatëng Këdhu mirah pari.

Beras yang menjadi ransum, itu sangat mahal, seharusnya seharga


seuang, ketika itu berharga seringgit, Kumpeni terus mengutus utusan,
ke Kedu yang murah padinya.

66. Nulya Tuwan Kurnel gupuh, anurati dhatëng biting, beteng Waja
sampun prapta, Tumënggung Batang nëgari, lawan Tumënggung
ing Këndhal, kang surat pan sampun prapti.

Kemudian Tuan Kolonel bergegas, menyurati ke benteng, sudah sampai


benteng Wojo, Tumenggung kota Batang, dan Tumenggung di Kendal,
suratnya kemudian sudah sampai.

67. Punang surat sampun katur, ing Batang Sang Adipati, tinampan
sigra winaca, ungële bukaning tulis, asigra Tumënggung Batang,
kalawan ingkang prajurit.

Suratnya sudah disampaikan, kepada Sang Adipati Batang, diterima


segera dibaca, bunyi pembukaan surat itu, segera Tumenggung Batang,
beserta prajuritnya.

68. Ing Këndhal Kyai Tumënggung, tumut budhal saprajurit, saha


lawan upacara, sëmana sampun lumaris, tan kawarna aneng
marga, ing Gëmbulan sampun prapti.

Kyai Tumenggung di Kendal, ikut berangkat beserta prajuritnya, dan


dengan perlengkapannya, ketika itu sudah berangkat, tidak diceritakan
di perjalanan, sudah sampai di Gembulan.

69. Praptane para tumënggung, sadaya wadya prajurit, ing beteng


tanah Gëmbulan, kabeh kang para priyayi, nulya Kurnel karsanira,
dhatëng Kapitan Magilis.

Kedatangan para tumenggung, beserta semua prajuritnya, di benteng


tanah Gembulan, semua para priyayi, kemudian kehendak Sang
Kolonel, kepada Kapten Magilis.

70. Kurnel ingkang badhe ngutus, dhumatëng tumënggung kalih, ing


Kendhal lawan ing Batang, lan Kapitan Amagilis, kinon maring
Wanasaba, wus dandan sadaya sami.

121
Sang Kolonel yang akan mengutus, kepada kedua tumenggung itu, di
Kendal serta di Batang, dan Kapten Magilis, disuruh ke Wonosobo,
sudah bersiap-siap mereka semua.

71. Sigra budhal pra tumënggung, lan Kapitan Amëgilis, tan kawarna
lampahira, tan antara nulya prapti, aneng dhusun Wanasaba, pra
tumënggung lan Kumpëni.

Segera berangkat para tumenggung itu, dan Kapten Magilis, tidak


diceritakan perjalanannya, tidak lama kemudian sampai, di desa
Wonosobo, para tumenggung itu dan Kumpeni.

72. Sapraptanira ing gunung, Kapitan Tuwan Mëgilis, kalawan para


bupatya, apan sami rëmbug pikir, Kumpëni samya bicara, arëmbug
akarya biting.

Sesampainya di gunung, Tuan Kapten Magilis, beserta para bupati


itu, kemudian mereka bertukar pikiran, Kumpeni semua berbicara,
membicarakan membuat benteng.

73. Aneng tanah ya ing gunung, Plunjaran dhusunireki, Mayor Burkës


rowangira, kang beteng neng marga licin, beteng wus dadi sadaya,
ing Plunjaran sampun dadi.

Di tanah ya di gunung, Plunjaran desanya, Mayor Burkes temannya,


bentengnya di jalan licin, benteng sudah jadi semua, di Plunjaran sudah
jadi.

74. Mayor Burkës marga lunyu, punang beteng sampun dadi, iya
lepen Këmit tanah, Tuwan Mayor ingkang kardi, Tumënggung
Brangtadiningrat, Karangbolong bitingneki.

Mayor Burkes di jalan licin, bentengnya sudah jadi, iya di tanah sungai
Kemit, Tuan Mayor yang membuat, Tumenggung Brongtodiningrat,
Karangbolong bentengnya.

75. Kinon karya Karangdhuwur, akaryaa biting malih, agancang


caritanira, Kawisinggil sampun dadi, Brangtadiningrat sëmana,
aneng Pëtanahan desi.

Disuruh membuat di Karangduwur, membuat benteng lagi, dipercepat


ceritanya, benteng Karangduwur sudah jadi, Brongtodiningrat ketika
itu, berada di desa Petanahan.

122
76. Tumënggung kalih puniku, ingkang sami karya biting, Kawisinggil
sampun dadya, pan angalih karya malih, damël biting wontën
Wawar, acëlak lawan tëlagi.

Kedua tumenggung itu, mereka yang membuat benteng, Karangduwur


sudah jadi, kemudian berpindah untuk membuat lagi, membuat benteng
di Wawar, dekat dengan telaga.

77. Lan Kumpëni Maswel wau, lan Tumënggung ingkang nami,


Dipayuda kasihira, lan Wanayuda Ngëbehi, sampun sami
linampahan, datan lami nulya dadi.

Dan Kumpeni Maswel itu, dan Tumenggung yang bernama, Dipoyudo


namanya, dan Hangabehi Wonoyudo, mereka sudah melakukan, tidak
lama kemudian jadi.

78. Gëntiya ingkang winuwus, kang wontën Lëdhok ing ardi, Mëgilis
sawadyanira, damël biting sampun dadi, lajëng damël malih samya,
ing Mrëden namaning desi.

Ganti yang diceritakan, yang berada di gunung Ledok, Magilis beserta


pasukannya, membuat benteng sudah jadi, terus mereka membuat lagi,
di Mreden nama desanya.

79. Sëksana klampahan sampun, neng Mrëden akarya biting, kang


tumut Rëjasëntika, sakancanira tut wuri, datan lami nuli rupa,
ingkang biting sampun dadi.

Kemudian sudah dilaksanakan, membuat benteng di Mreden, yang ikut


Rejosentiko, beserta temannya mengikuti dari belakang, tidak lama
kemudian jadi, bentengnya sudah jadi.

80. Nëngëna caritanipun, ingkang karya biting sami, kocapa Kangjëng


Pangeran, Kusumayuda Jëng Gusti, genira sami ngandika, lan
Arumbinang Bupati.

Biarkan ceritanya, mereka yang membuat benteng, diceritakan Sang


Pangeran, Sang Pangeran Kusumoyudo, mereka sedang berbincang-
bincang, dengan Bupati Arumbinang.

81. Pangran neng Këdhungandhanu, kathah seba para mantri,


alon pangandikanira, dhatëng Arumbinang nënggih, lah ta sira
lumakuwa, nusula marang Kumpëni.

123
Sang Pangeran di Kedungkebo, para mantri banyak yang menghadap,
berkata pelan, yaitu kepada Arumbinang, nah kamu berangkatlah,
menyusul kepada Kumpeni.

82. Kang ingatag wus lumaku, mundur sarya awot sari, sigra
Arumbinang kesah, këpanggih wontën ing margi, kalawan urang
Bëlanda, sëksana arëmbag pikir.

Yang disuruh sudah berangkat, mundur sambil menyembah, segera


Arumbinang pergi, bertemu di perjalanan, dengan orang Belanda,
kemudian bertukar pikiran.

83. Magelis lawan Tumënggung, pan akarsa damël biting, sëksana


sami lumampah, sampun prapta genireki, Mrinen namanipun
desa, sampun karya biting malih.

Magilis dan Sang Tumenggung, akan membuat benteng, kemudian


mereka berangkat, sudah sampai di tempatnya, Mrinen nama desanya,
sudah membuat benteng lagi.

84. Gënti wau kang winuwus, Mayor Burkës ingkang nami, akarya
biting ing Soka, kaliyan ing Pancar desi, tan alami nulya dadya,
beteng kalih sarëng dadi.

Ganti yang diceritakan, Mayor Burkes namanya, membuat benteng di


Soka, dan di desa Pancar, tidak lama kemudian jadi, dua buah benteng
jadi bersama-sama.

85. Kalawan Raden Tumënggung, Brangtadiningrat kang nami,


negarane ing Toyamas, sadaya sawadya ngiring, sëksana sami
lumampah, sampun dadi punang biting.

Dengan Raden Tumenggung, Brongtodiningrat namanya, di Banyumas


kotanya, semua pasukan mengiringi, kemudian mereka berangkat,
sudah jadi bentengnya.

86. Ya ta wau Ki Tumënggung, nama Brangtadiningrati, wus prapta


ing Pëtanahan, nëngna caritanireki, gënti ingkang kawarnaa,
Dipati Cakrajayeki.

Ya Ki Tumenggung, bernama Brongtodiningrat, sudah sampai di


Petanahan, biarkan ceritanya, ganti yang diceritakan, Adipati Cokrojoyo.

124
87. Sasi Sura tanggalipun, marëngi kaping satunggil, dina Tumpak
duk sëmana, taun Ehe amarëngi, taunira sinëngkalan, angrasa
mancaning jalmi.

Bulan Muharam tanggalnya, bertepatan dengan tanggal satu, hari Sabtu


ketika itu, bertepatan dengan tahun Ehe, tahunnya dilambangkan,
angrasa mancaning jalmi.

88. Dipati arsa kautus, kang nama Cakrajayeki, kinongkon karya


barisan, dhusun Rawong ingkang nami, sëksana sigra lumampah,
para mantri sami ngiring.

Sang Adipati hendak diutus, yang bernama Cokrojoyo ini, disuruh


membuat barisan, di desa Rawong namanya, kemudian segera
berangkat, para mantri semua mengiringi.

89. Ki Gorawëcana tumut, lawan Wangsasëmiteki, Ki Rangga


Mërtaprawira, Ngabehi Sutarëjeki, pan kalih kumëndhanira,
Tuwan Lirwit lan Kumpëni.

Ki Gorowecono ikut, beserta Wongsosemito, Ki Ronggo Mertoprawiro,


Hangabehi Sutorejo, dan dua orang komandannya, Tuan Lirwit dan
Kumpeni.

90. Saradhadhunira satus, langkung kalih dasa iji, mariyëmira


satunggal, lan prajurit ing Nërpati, gunggung satus sëdayanya,
ambëkta mriyëm satunggil.

Serdadunya seratus orang, lebih dua puluh orang, meriamnya sebuah,


dan prajurit Kasunanan, sejumlah seratus orang semuanya, membawa
meriam sebuah.

91. Mayoripun amung satu, litnane gangsal winarni, wus lëpas ing
lampahira, tan dangu nulya ge prapti, Ngrawong namanipun desa,
nirwikara samya prapti.

Mayornya hanya seorang, diceritakan letnannya lima orang, sudah jauh


dalam perjalanannya, tidak lama kemudian segera sampai, di Rawong
nama desanya, tanpa takut mereka datang.

92. Wus tata ing barisanipun, sadaya para prajurit, kocapa kala
sëmana, baris Ngrawong wus miranti, sampunira lama-lama,
wontën kraman andhatëngi.

125
Sudah tertata barisannya, para prajurit semua, diceritakan pada waktu
itu, barisan Rawong sudah siaga, sesudahnya lama-kelamaan, ada para
makar yang mendatangi.

93. Baris kraman liwat tangguh, neng Pinatak gennya baris, akathah
prajuritira, lan Ngrawong mung ëlët kali, Ki Dipati Cakrajaya,
pan sami arëmbug pikir.

Barisan makar terlalu tangguh, di Pinatak mereka berbaris, banyak


prajuritnya, dan Rawong hanya terpisah oleh sungai, Ki Adipati
Cokrojoyo, kemudian mereka bertukar pikiran.

94. Lan mantri sadayanipun, ngunjuki uninga sami, wontën kraman


agëng prapta, acëlak genira baris, sampun angaturi priksa, Kurnel
Klerës tan ngunduri.

Dengan semua mantrinya, mereka memberi tahu, ada banyak para


makar datang, dekat dengan mereka berbaris, sesudah memberi tahu,
Kolonel Cleerens tidak mundur.

---oooOooo---

126
PUPUH XXXIV
DURMA

1. Datan dangu caraka anuli prapta, ngarsanira Kumpëni, nulya ge


sinapa, dhatëng wau Wëlanda, umatur ingkang tinuding, dhatëng
ing Tuwan, ing ngrika gening baris.

Tidak lama kemudian utusan datang, di hadapan Kumpeni, kemudian


segera disapa, oleh Belanda itu, berkata yang ditunjuk, oleh Tuan itu,
disana di tempatnya berbaris.

2. Barisipun kraman dhatëng sampun cëlak, lan gen baris Dipati,


Kyai Cakrajaya, dhusunipun Pinatak, genira kraman abaris,
jënënging kraman, Mënggung Nilasrabeki.

Barisan para makar yang datang sudah dekat, dengan tempat barisan
Adipati, Kyai Cokrojoyo, di desa Pinatak, tempat para makar berbaris,
nama-nama para makar itu, Tumenggung Nilosrobo.

3. Lan Tumënggung Cakradirja kancanira, lan Sumadipureki,


Kurnel asru kata, dhumatëng Ki Caraka, baik itu suru juti, urang
këraman, nanti malëm Dipati.

Dan Tumenggung Cokrodirjo temannya, dan Kusumodipuro, Sang


Kolonel berkata keras, kepada utusan itu, baik suruh cepat, orang-orang
makar itu, nanti malam Kyai Adipati.

4. Kyai Cakrajaya suru ngecu kraman, sini saya kasihi, lima puluh
orang, tambur satu ni sorang, Landa satu sudah ini, ko sama-sama,
pëgi lëkas jalani.

Kyai Cokrojoyo suruh merampok para makar, sini saya kasih, lima
puluh orang, genderang satu ini seorang, Belanda satu sudah ini, kau
sama-sama, pergi lekas jalani.

5. Sampun prapta ing dhusun Ngrawong sëmana, sradhadhu lan


Kumpëni, sami parëmbagan, kang badhe ngecu samya, sadaya
para prajurit, mantri prawira, wus rakit dyan lumaris.

127
Ketika itu sudah sampai di desa Rawong, serdadu dan Kumpeni, mereka
berunding, mereka yang akan merampok, semua para prajurit, mantri
yang pemberani, sesudah bersiaga kemudian berangkat.

6. Angkatira tëngah dalu wancinira, Cakrajaya Dipati, datan dangu


prapta, prënahe punang kraman, gennya dugi gagat enjing, wanci
jam papat, praptane sami nyëpi.

Waktu pemberangkatannya pada tengah malam, Adipati Cokrojoyo,


tidak lama sampai, di tempat para makar itu, mereka sampai menjelang
pagi hari, ketika jam empat, kedatangan mereka secara diam-diam.

7. Kraman sigra angrungu yen ana mëngsah, pëcalang sigra bëdhil,


Kyai Cakrajaya, tan mundur malah mara, marani mungsuhireki,
pëcalang bubar, wus mëlbët Ki Dipati.

Para makar segera mendengar bahwa ada musuh, petugas keamanan


segera menembak, Kyai Cokrojoyo, tidak mundur malahan mendekat,
mendekati musuhnya, para petugas keamanan bubar, Kyai Adipati
sudah masuk.

8. Prajurite andherek mëlbët sadaya, Pinatak den lëbëti, kraman


kagum buyar, gugup ing solahira, brandhal wus lumayu ngungsi,
marang aldaka, geger puyëngan ajrih.

Semua prajuritnya ikut masuk, Pinatak dimasuki, para makar terkejut


berhamburan, tindakannya gugup, para berandal sudah lari mengungsi,
menuju gunung, ribut berhamburan ketakutan.

9. Ana marang igir-igir playunira, napase ting karëmpis, gënti


kang kocapa, balane Cakrajaya, sadaya pan anut wuri, larug ing
kraman, sëparan dipun usir.

Ada yang ke puncak gunung larinya, napasnya terengah-engah, ganti


yang diceritakan, pasukan Cokrojoyo, semua mengikuti dari belakang,
mendesak para makar, ke manapun diusir.

10. Sëparane këraman munggah mring arga, latri tëngah jam enjing,
wontën luhur arga, brandhal pating salëbar, ana ingkang angum
kali, pating kadhungsar, kabujung ing prajurit.

128
Ke manapun para makar naik ke gunung, tengah malam jam pagi,
berada di atas gunung, para berandal bertebaran, ada yang berendam di
sungai, tersesat-sesat, dikejar oleh prajurit.

11. Ingkang bujung prajurit ing Cakrajayan, Wirasraya nameki, kalih


kang neng ngandhap, ngucap kalih rowangnya, Ganggamina kang
satunggil, kang bëkta tumbak, Rasraya bëkta bëdhil.

Yang memburu adalah prajurit dari pasukan Cokrojoyo, Wirosroyo


namanya, dengan temannya yang di bawah, berkata dengan temannya,
yang seorang Gonggomino, yang membawa tombak, Wirosroyo
membawa senapan.

12. Lawan malih nama Kenthol Pramënggala, datan dangu mrangguli,


wau Wirasraya, kapëthuk lawan brandhal, nama Jayasugriweki,
pun Wirasraya, anulya jëlah-jëlih.

Dan lagi yang bernama Kentol Promenggolo, tidak lama memergoki,


Wirosroyo itu, bertemu dengan para berandal, bernama Joyosugriwo, si
Wirosroyo, kemudian berteriak-teriak.

13. Kya Dipati Cakrajaya ënggenira, sampun klajëng manginggil,


tëbih lawan kraman, Dipati Cakrajaya, neng gunung prënahireki,
tëbih kalawan, gene Wirasrayeki.

Kyai Adipati Cokrojoyo tempatnya, sudah terlanjur ke atas, jauh dari


para makar, Adipati Cokrojoyo, di gunung tempatnya, jauh dari, tempat
Wirosroyo ini.

14. Kyai Cakrajaya asru ngandikanya, buh ëmbuh sira angling,


kakehan wicara, bok ugi tandangana, Kya Dipati sru anjëlih, tëbih
genira, lah tumbakën den aglis.

Kyai Cokrojoyo berteriak keras, entah tidak tahu kamu berteriak, terlalu
banyak bicara, segera ambil tindakan, Kyai Adipati berteriak keras,
jauh tempatnya, nah tombaklah segera.

15. Kathik kowe jëlah-jëlih angsil apa, prentahe Ki Dipati, aken


numbak kraman, heh mara Wirasraya, bëdhilën kraman den këni,
Ki Wirasraya, ingatag Sang Dipati.

129
Dengan kamu teriak-teriak hasilnya apa, perintah Ki Adipati, menyuruh
menombak makar itu, hai segera Wirosroyo, tembaklah makar itu
sampai kena, Ki Wirosryo, disuruh oleh Sang Adipati.

16. Sigra kraman sinënjata apan këna, kenging dhadhanireki,


Jasugriwa nama, tan pëjah sinënjata, gya tinumbak den sangkuhi,
Jayasugriwa, rinampog sangkuh bëdhil.

Segera makar itu ditembak dan kena, mengenai dadanya, Joyosugriwo


namanya, tidak mati ditembak, segera ditombak dan ditusuki sangkur,
Joyosugriwo, ditusuk bersama-sama dengan sangkur senapan.

17. Mas Tumënggung Puspadirja labuh pëjah, awirang lamun urip,


rowange wus bangka, ngamuk gya sabilulah, anarik pëdhangira
glis, gya Wirasraya, Puspadirja binëdhil.

Mas Tumenggung Puspodirjo membela kematiannya, malu kalau hidup,


temannya sudah mampus, mengamuk segera sabilillah (perang di jalan
Allah), segera menarik pedangnya, segera Wirosroyo, menembak
Puspodirjo.

18. Apan kenging uwangira datan pëjah, sinangkuh nulya lalis, putra
labuh pëjah, ngamuk lawan curiga, sinënjata apan kenging, kang
putra pëjah, sadaya ngamuk sami.

Dan mengenai rahangnya tidak mati, disangkur kemudian mati,


puteranya membela kematiannya, mengamuk dengan keris, ditembak
dan kena, puteranya itu mati, mereka semua mengamuk.

19. Jasëntana ing Jënar ngikal landeyan, Wirasraya den incih,


tinumbak ampingan, sela Wirasraya, Jasëntana numbak nitir,
tumbak cinandhak, dhatëng Wirasrayeki.

Joyosentono di Jenar mengayun-ayunkan batang tombak, Wirosroyo


yang diincar, ditombak berlindung, pada batu Wirosroyo, Joyosentono
menombak berulang-ulang, tombak ditangkap, oleh Wirosroyo.

20. Wirasraya lajëng bëdhil datan angsal, salin mëngsahireki, sangking


kehing jalma, mangsa saput prëtala, prangguh rangga lagya dhëlik,
rangga këraman, nama Tamenggaleki.

130
Wirosroyo terus menembak tidak kena, berganti musuhnya, terlalu
banyak orangnya, saat itu tanah samar-samar (menjelang pagi hari),
memergoki seorang ronggo bersembunyi, ronggo makar, namanya
Kertomenggolo.

21. Sinënjata rangga kang lagya singidan, kenging jaja trus gigir,
ilatira mëdal, sangking prërënding nyawa, angamuk dipun but
katri, sampun palastra, Rangga Tamënggaleki.

Ronggo yang sedang bersembunyi ditembak, mengenai dada terus


punggung, lidahnya keluar, karena meregang nyawa, mengamuk di
kerubut tiga orang, sudah mati, Ronggo Kertomenggolo ini.

22. Kang kocapa prajurit satunggalira, Ganggamina nameki,


munggeng iring arga, panggih lan Cakradirja, gya numbak
Ganggamineki, mring Cakradirja, cëthikira kang këni.

Yang diceritakan prajurit yang seorang lagi, Gonggomino namanya,


di atas lereng gunung, bertemu dengan Cokrodirjo, segera menombak
Gonggomino ini, kepada Cokrodirjo, tulang pinggangnya yang kena.

23. Cakradirja tiba siti gulangsaran, sira Gangamineki, tumbak


putung jëplak, Cakradirja tan pasah, Ganggamina salin-salin,
tumbak-tinumbak, lawan Cakradirjeki.

Cokrodirjo jatuh di tanah menggelepar, si Gonggomino, tombaknya


patah terbelah, Cokrodirjo tidak mempan, Gonggomino berganti-ganti,
tombak-menombak, dengan Cokrodirjo ini ini.

24. Apan kenging jajanira Cakradirja, wulune datan busik, sigra


Wirasraya, lumayu nyandhak tumbak, tinumbak Cakradirjeki,
ambal ping tiga, pupunira kang kering.

Kemudian mengenai dada Cokrodirjo, bulunya saja tidak terluka


sedikitpun, segera Wirosroyo, berlari mengambil tombak, Cokrodirjo
ditombak, berulang-ulang tiga kali, pahanya yang kiri.

25. Tumbakipun Wirasraya kaidëkan, putung dadya gulali, wau


Wirasraya, manahira miruda, ajrih mlayu miring-miring, sarwi
angucap, wau sajroning ati.

131
Tombak Wirosroyo diinjak, patah menjadi gula-gula, si Wirosroyo,
hatinya hilang, berlari miring-miring ketakutan, sambil berkata, di
dalam hati.

26. Ya wong apa dene ta kagila-gila, awake kaya wësi, tumbak pirang-
pirang, tek putung cinandhakan, ananging nora malësi, malësa
numbak, ingong tan wande posit.

Ya orang apa dia mengapakah sangat hebat, tubuhnya seperti besi,


beberapa tombak, habis patah ditangkap, tetapi tidak membalas,
seandainya balas menombak, tidak mustahil saya mampus.

27. Turanggane Mas Tumënggung Cakradirja, pun Ditya Mungkranadi,


wus uwal sëmana, mlayu saparan-paran, mubëng dangu wola-wali,
kapal kapanggya, lawan bëndaraneki.

Kuda Mas Tumenggung Cokrodirjo, si Dityo Mungkronodi, ketika itu


sudah lepas, berlari-lari ke mana-mana, lama berputar-putar berulang-
ulang, kuda bertemu, dengan tuannya.

28. Tinumpakan munggah ardi nandër nongklang, wau Mungkranadi,


inggih kapalira, Tumënggung Cakradirja, yen gustine andon jurit,
saba lëmbayang, yen asor juritneki.

Ditunggangi naik ke gunung melaju kencang, si Mungkronodi, iya


kudanya, Tumenggung Cokrodirjo, kalau tuannya terjun berperang,
pergi mencari makan ke mana-mana, kalau kalah berperangnya.

29. Kang turangga ngupados bëndaranira, kawarna kang neng ardi,


Mënggung Cakrajaya, lawan sawadyanira, sadaya sami angiring,
sigra kapëdhak, lawan Cakradirjeki.

Kudanya mencari tuannya, diceritakan yang berada di gunung,


Tumenggung Cokrojoyo, beserta pasukannya, mereka semua
mengiringi, segera bertemu, dengan Cokrodirjo ini.

30. Kya Dipati Cakrajaya wus amapan, genira badhe jurit, anarungi
kraman, lawan Gorawëcana, pan kaprënah ingkang rayi, lan Kya
Dipatya, sëmana dadi kanthi.

Kyai Adipati Cokrojoyo sudah bersiaga, mereka akan berperang,


menyerang para makar, bersama Gorowecono, yang masih berkerabat
sebagai adiknya, dan Kyai Adipati, ketika itu menjadi teman.

132
31. Kraman ingkang lumajëng ngungsi mring arga, lajëng sami
kabëlik, lawan Ki Dipatya, Cakrajaya neng arga, anulya binujung
wani, samya lumajar, Mënggung Cakradirjeki.

Para makar yang melarikan diri mengungsi ke gunung, terus mereka


dikejar, oleh Ki Adipati, Cokrojoyo di gunung, kemudian dikejar
dengan berani, mereka melarikan diri, Tumenggung Cokrodirjo ini.

32. Sira wau Wiradikrama punika, sangking kidul marani, lan


Rësasëmita, ambëkta gaman pëdhang, Prawiradikrama nënggih,
Wangsasëmita, dharat nulya pinanggih.

Si Prawirodikromo itu, mendatangi dari selatan, dan Resosemito,


membawa senjata pedang, juga Prawirodikromo, Wongsosemito,
berjalan kaki kemudian bertemu.

33. Lawan kraman nama Rangga Jawilaga, nulya pinëdhang këni,


mring Wiradikrama, kanin tëpake kanan, Jawilaga ngraos sakit,
engët bëdhama, dhuwungira tinarik.

Dengan makar yang bernama Joyowilogo, kemudian disambar


dengan pedang kena, oleh Prawirodikromo, terluka telapak kanannya,
Joyowilogo merasa kesakitan, ingat senjatanya, kerisnya ditarik.

34. Atangginas Jawilaga sigra jangkah, anyuduk wanti-wanti, këni


pupunira, wau Wiradikrama, nanging datan miyatani, kapalnya
giwar, kang nitih tibeng siti.

Dengan cekatan Joyowilogo segera melangkah, menusuk berulang-


ulang, mengenai pahanya, Prawirodikromo, tetapi tidak bisa diandalkan,
kudanya lari, yang menunggang jatuh ke tanah.

35. Gya sinuduk kënyas-kënyus tibanira, nanging datan nglarani,


lëng-ulëngan, sira Wiradikrama, lan Rangga Jawilageki, udrëgnya
kongkal gumlinting, aneng siti.

Segera ditusuk cas-cus jatuhnya, tetapi tidak menyakitkan, saling


memagut, si Prawirodikromo, dan Ronggo Joyowilogo, perkelahiannya
sampai berguling-guling, di atas tanah.

36. Kantun agëng kajëngkang Jayawilaga, lajëng dipun taleni, wau


ingkang banda, Kyai Wiradikrama, pan sampun dipun singsëti,
Jayawilaga, tan wagëd obah mosik.

133
Kalah besar Joyowilogo jatuh terjerembab, terus diikat, yang mengikat
Kyai Prawirodikromo, dan sudah dieratkan, Joyowilogo, tidak bisa
bergerak-gerak.

37. Lawan malih prajurite Cakrajaya, Trunadriya nameki, angungsir


këraman, brandhal kabutuh marga, Trunadriya gya ambëdhil,
kraman tan këna, lajëng angrangsang wani.

Dan lagi prajurit Cokrojoyo, Trunodriyo namanya, mengusir para


makar, seorang berandal terjebak di jalan, Trunodriyo segera menembak,
makar itu tidak kena, terus menyerang dengan berani.

38. Gya agëlut Trunadriya pan kasoran, kraman sigra nunggangi,


marang Trunadriya, akuwël yudanira, Trunadriya jëlah-jëlih, sun
tulungana, sigra Sokadraneki.

Segera berkelahi Trunodriyo kalah, makar itu segera menunggangi,


kepada Trunodriyo, perangnya dengan berkelahi, Trunodriyo berteriak-
teriak, tolonglah saya, segera Sokodrono ini.

39. Atëngginas Sokadrana gya tëtanya, marang Trunadriyeki, aneng


ëndi sira, sun kang arsa nyuduka, Trunadriya gya nauri, neng
ngisor ingwang, sinuduk kraman mati.

Dengan cekatan Sokodrono segera bertanya, kepada Trunodriyo ini,


dimana kamu, saya yang akan menusuk, Trunodriyo segera menjawab,
saya di bawah, ditusuk makar itu mati.

40. Angandika Kya Dipati Cakrajaya, dhatëng sakeh prajurit,


brandhal ingkang pëjah, age kinon ngëthoka, kang ingatag gya
marani, gen kraman pëjah, sadaya den këthoki.

Kyai Adipati Cokrojoyo berkata, kepada seluruh prajurit, para berandal


yang mati, segera disuruh memenggal, yang disuruh segera mendatangi,
tempat para makar yang mati, semua dipotongi.

41. Prajurite Kya Dipati Cakrajaya, angsal bandhangan këris, samya


pëndhok ëmas, pipitu cacahira, angsal bangkol gangsal iji, sami
sëlaka, pëthakipun nglangkungi.

Prajurit Kyai Adipati Cokrojoyo, mendapat rampasan keris, gagangnya


semua berlapis emas, tujuh buah jumlahnya, mendapat gantungan lima
buah, semua menggunakan selaka, sangat putih warnanya.

134
42. Wontën malih bandhangan wërni sënjata, rolas kathahireki,
asangkuh sadaya, pëdhang gangsal antuknya, sami kërang slaka
putih, dhapuring pëdhang, suduk wesane bëcik.

Ada lagi rampasan berupa senjata, dua belas buah jumlahnya, semua
bersangkur, mendapat pedang lima buah, semua memakai penutup
gagang selaka putih, bentuk pedangnya, suduk wesanya baik.

43. Lawan tumbak kalih dasa cacahira, nënëm langkungireki, Kya


Dipati sigra, kondur mudhun sing arga, sadaya kang bala ngiring,
Kya Cakrajaya, panggihan lan Kumpëni.

Dan tombak dua puluh buah jumlahnya, enam buah lebihnya, Kyai
Adipati segera, kembali turun dari gunung, semua pasukannya
mengiringi, Kyai Cokrojoyo, bertemu dengan Kumpeni.

44. Wontën kiduling dhusun gennya panggihan, Tuwan Islar Kumpëni,


prentahe Wëlanda, dhumatëng Kya Dipatya, tanapi marang
prajurit, heh Cakrajaya, baturmu wawa iki.

Di sebelah selatan desa tempat pertemuannya, Tuan Islar Kumpeni,


perintah Belanda, kepada Kyai Adipati, dan juga kepada para prajurit,
hai Cokrojoyo, temanmu bawa ini.

45. Sarupane bandhangan iku sadaya, sun aturakën Gusti, Pangran


Sumayuda, kang aneng Këdhungmesa, Jëng Gusti Pangran Dipati,
Sang Adipatya, lumampah wadya ngiring.

Segala macam barang rampasan itu semua, saya serahkan kepada Sang
Pangeran, Pangeran Kusumoyudo, yang berada di Kedungkebo, Sang
Pangeran Pangeran Adipati, Sang Adipati, berangkat dan pasukannya
mengiringi.

46. Ënëngëna Kumpëni ingkang kocapa, lampahe Ki Dipati, prapteng


Këdungmesa, munggeng ngarsa Pangeran, Kya Dipati awot sari,
datan antara, Jëng Gusti ngandika ris.

Biarkan Kumpeni yang diceritakan, perjalanan Kyai Adipati, sampai di


Kedungkebo, di depan Sang Pangeran, Kyai Adipati menyembah, tidak
berapa lama, Sang Pangeran berkata lembut.

135
47. Sarupane bandhangan iku aturna, marang Kurnel Kumpëni,
sandika turira, Dipati Cakrajaya, sigra lengser awot sari, lajëng
lumampah, dhatëng gene Kumpëni.

Segala macam barang rampasan itu serahkan, kepada Kolonel Kumpeni,


siap katanya, Adipati Cokrojoyo, segera bergeser sambil menyembah,
kemudian berangkat, menuju tempatnya Kumpeni.

48. Tan kawarna lampahe aneng ing marga, prapteng ngarsa Kumpëni,
alon aturira, Dipati Cakrajaya, mring Tuwan Kurnel Kumpëni,
kula dinuta, sudara Kangjëng Gusti.

Tidak diceritakan perjalanannya di jalan, sampai di depan Kumpeni,


berkata pelan, Adipati Cokrojoyo, kepada Tuan Kolonel Kumpeni, saya
diutus, saudara Sang Pangeran.

49. Ngaturakën bandhangan angsal kawula, barang kathah puniki,


angsal kula bandhang, duk aprang neng Pinatak, wus tinampan
gya Kumpëni, nakeni marang, Kyai Cakrajayeki.

Menyerahkan rampasan yang saya dapatkan, banyak barang ini,


perolehan saya merampas, ketika berperang di Pinatak, sudah diterima
segera Kumpeni, bertanya kepada, Kyai Cokrojoyo.

50. Sapa ini nama pa masih sudhara, Kya Dipati nauri, iya misih
sama, sudhara Puspadirja, itu misih dhëkët jadhi, sudhara jugak,
Sugriwa saya ini.

Siapa ini nama apa masih saudara, Kyai Adipati menjawab, iya masih
sama, saudara Puspodirjo, itu masih dekat jadi, saudara juga, Sugriwo
saya ini.

51. Kurnel lajëng angucap mring Cakrajaya, nyang misih hidup ini,
sëmuwa kasihan, sëmuwa ini bawak, dha barisan besuk pagi,
ngong kasih obat, kang sami tatu bësi.

Sang Kolonel terus berkata kepada Cokrojoyo, yang masih hidup ini,
semua orang-orang kecil, semua ini bawa, kepada barisan besok pagi,
saya kasih obat, semua yang luka diobati.

52. Kang bandhangan kinukud rupa sëbarang, wus lininglingan sami,


mring Kurnel Wëlanda, kabeh kang rupa barang, dandanan sami
ingëmin, ingkang liningling, sadaya sampun ënting.

136
Rampasannya dipilah-pilah rupa barangnya, sudah di periksa dengan
teliti, oleh Kolonel Belanda, semua rupa barangnya, semua peralatan
diambil, yang diperiksa, semua sudah habis.

53. Lajëng Kurnel alon pangandikanira, ngucap maring Bupati, Kyai


Cakrajaya, ken tumut mring Walanda, kesah mring desa ngucali,
bok ana kraman, Kaliwungu den jogi.

Kemudian Sang Kolonel berkata pelan, berkata kepada Sang Bupati,


Kyai Cokrojoyo, disuruh ikut kepada Belanda, pergi ke desa untuk
mencari, mungkin ada para makar, Kaliwungu yang dituju.

54. Tuwan Kurnel kang lumampah saha bala, lawan para prajurit,
Kyai Cakrajaya, sëmana tindak pyambak, atanapi ingkang rayi,
Gorawëcana, sami tumut nindaki.

Tuan Kolonel yang berangkat beserta pasukannya, bersama para


prajurit, Kyai Cokrojoyo, ketika itu berangkat sendiri, dan juga adiknya,
Gorowecono, bersama ikut berangkat.

55. Sigra wau Kya Dipati Cakrajaya, mësanggrahan kang desi, Wunut
namanira, këlawan rayinira, Behi Gorawëcaneki, ingkang tan
pisah, wong anom nama Behi.

Segera Kyai Adipati Cokrojoyo, beristirahat di desa itu, Wunut namanya,


bersama adiknya, Hangabehi Gorowecono, yang tidak terpisah, orang
muda bernama Hangabehi.

---oooOooo---

137
PUPUH XXXV

SINOM

1. Tuwan Kurnel wus lumampah, sëmana sampun dumugi, ing


Kaliwungu kang desa, wus sami tata alinggih, nëngna wau
Kumpëni, kocapa Sang Raja Butun, sëmana sami prapta, mëntas
sangking palwaneki, udhunira orang Butun pan sëmoa.

Tuan Kolonel sudah berangkat, ketika itu sudah sampai, di desa


Kaliwungu, mereka sudah duduk dengan rapi, biarkan Kumpeni itu,
diceritakan Sang Raja Buton, ketika mereka sudah sampai, mendarat
dari perahunya, kemudian semua orang Buton turun.

2. Mudhun anjog ing Sëmarang, sadaya wadyanireki, namaning Raja


Sëbandar, kakalih rajanireki, satunggil nama Patih, pëpatihe Raja
Butun, bëkta nama kapitan, kapitan mung pitu iji, lawan malih
ambëkta kang nama litnan.

Turun langsung menuju Semarang, semua pasukannya, namanya Raja


Sebandar, berdua rajanya, yang seorang dengan sebutan Patih, patih
Raja Buton, membawa orang dengan sebutan kapten, kaptennya hanya
tujuh orang, dan juga membawa orang dengan sebutan letnan.

3. Ingkang nama mantri litnan, sëlawe cacahireki, kang prajurit


cacahira, gangsal atus cacah jalmi, sëmana wus lumaris, sangking
Sëmarang sëdarum, datan kawarna marga, sampun prapteng ing
nëgari, ing Magëlang sipëng sami mësanggrahan.

Orang dengan sebutan mantri letnan, dua puluh lima orang jumlahnya,
jumlah prajuritnya, lima ratus orang jumlahnya, ketika itu sudah
berangkat, dari Semarang semua, tidak diceritakan di perjalanannya,
sudah sampai di kota, di Magelang menginap mereka beristirahat.

4. Sarëng enjing gya lumampah, sadaya wus prapteng ardi, agancang


caritanira, datan kawarna ing margi, tan dangu nulya prapti, wus
mudhun sangking ring gunung, prapta ing Baledana, lajëng sipëng
mung sawëngi, wus byar enjing sadaya samya lumampah.

138
Begitu pagi hari segera berangkat, semua sudah sampai gunung,
dipercepat ceritanya, tidak diceritakan di perjalanannya, tidak lama
kemudian sampai, sudah turun dari gunung, sampai di Baledono, terus
menginap hanya semalam, sesudah fajar pagi hari semua berangkat.

5. Raja Butun sëbalanya, anusul marang Kumpëni, Kurnel kang


lagi lëlana, neng Kaliwungu nameki, urang Butun wus prapti, ing
dhusun pun Kaliwungu, gënti ingkang kocapa, Mayor Burkës itu
prapti, kancanira Tumënggung Sindunëgara.

Raja Buton beserta pasukannya, menyusul kepada Kumpeni, Kolonel


yang sedang berkeliling, di Kaliwungu namanya, orang-orang Buton
sudah sampai, di desa Kaliwungu, ganti yang diceritakan, Mayor
Burkes itu datang, temannya Tumenggung Sindunegoro.

6. Rahaden Sindunëgara, këlawan Mayor Kumpëni, dhatëng


sangking Kalijaga, sangking sami jaga biting, sigra dipun prentahi,
dhatëng Tuwan Kurnel wau, Raden Sindunëgara, kalawan Mayor
Kumpëni, sampun kinon adamël beteng sadaya.

Raden Sindunegoro, dengan Mayor Kumpeni, datang dari Kaliwungu,


mereka dari berjaga benteng, segera diperintah, oleh Tuan Kolonel itu,
Raden Sindunegoro, dan Kolonel Kumpeni, sudah disuruh membuat
benteng semua.

7. Ken karya beteng Pëjagan, aneng dhusun nama Lëngis, sëksana


samya lumampah, dhumatëng dhusun ing Lëngis, sadaya wus
lumaris, wus prapteng panggenanipun, ing Lëngis namanira, sadaya
pan sampun prapti, sakancane rumagang samya tumandang.

Disuruh membuat benteng Pejagan, di desa bernama Lengis, kemudian


mereka berangkat, ke desa di Lengis, semua sudah berangkat, sudah
sampai di tempatnya, di Lengis namanya, semua sudah sampai, beserta
teman-temannya bersama-sama mereka bekerja.

8. Lan Pangran Suryamëtaram, kalawan pangeran malih, kang


nama Pangran Balitar, pan samya kinen jënëngi, Tuwan Seh kang
tut wingking, punika pan kancanipun, kalihe wus lumampah, tan
dangu anulya prapti, wontën beteng ing Waja sarëng praptanya.

Dan Pangeran Suryomataram, dengan seorang pangeran lagi, namanya


Pangeran Blitar, kemudian mereka disuruh mengawasi, Tuan Seh yang

139
ikut di belakang, itu adalah temannya, keduanya sudah berangkat,
tidak lama kemudian sampai, di benteng di Wojo bersama-sama
kedatangannya.

9. Sëmana sampun neng Waja, pangeran wau këkalih, lawan Tuwan


Seh tut wuntat, sadaya tëlukan sami, jëjër pangeran kalih, katiga
Tuwan Seh iku, sampun sami atata, nëngëna pangeran kalih,
kancanira Tuwan Seh kang aneng Waja.

Ketika itu sudah berada di Wojo, kedua pangeran itu, dengan Tuan Seh
yang ikut di belakang, mereka semua orang-orang taklukan, berjajar
kedua pangeran itu, yang ketiga Tuan Seh itu, mereka sudah bersiaga,
biarkan kedua pangeran itu, dan temannya Tuan Seh yang berada di
Wojo.

10. Gënti ingkang kawarnaa, Gorawëcana Ngabehi, ken baris wontën


Parakan, sëmana sami lumaris, Kurnel Klerës Kumpëni, dhatëng
Waja wus lumaku, sawadya balanira, datan dangu sigra prapti,
aneng Waja kang dhatëng Parakan prapta.

Ganti yang diceritakan, Hangabehi Gorowecono, disuruh berbaris di


Parakan, ketika itu mereka berangkat, Kolonel Cleerens Kumpeni,
sudah berangkat ke Wojo, beserta pasukannya, tidak lama sudah sampai,
di Wojo yang datang dari Parakan sampai.

11. Ki Dipati Cakrajaya, sëmana inggih lumaris, dhatëng Ngrawong


pëbarisan, sëksana sampuning prapti, wontën Ngrawong jro biting,
sawadya balanya tumut, sadaya abarisan, sëmana Kiya Dipati,
sampun tëtëp neng Ngrawong barisanira.

Ki Adipati Cokrojoyo, ketika itu juga berangkat, ke barisan Rawong,


kemudian sesudah sampai, di Rawong di dalam benteng, beserta
pasukannya ikut, semua barisan, ketika itu Kyai Adipati, sudah menetap
di Rawong beserta barisannya.

12. Alami wontën barisan, aneng Ngrawong gonireki, sasampune lama-


lama, wontën surat sing Kumpëni, dhatëng Ki Adipati, Cakrajaya
kang jujuluk, datan kawarna marga, kang surat anulya prapti,
aneng Ngrawong nuwala katur tinampan.

Lama berada di barisan, di Rawong tempatnya, sesudahnya lama-


kelamaan, ada surat dari Kumpeni, kepada Ki Adipati, Cokrojoyo

140
namanya, tidak diceritakan di perjalanannya, suratnya sudah sampai, di
Rawong suratnya diserahterimakan.

13. Mring Dipati Cakrajaya, binuka sinukmeng galih, priksa suraosing


surat, bubukanireng kentaki, kula inggih anëdhi, damël dika Ki
Tumënggung, jëngandika damëla, beteng Pinatak kang bëcik, saya
kasih kepeng duwa puluh lima.

Kepada Adipati Cokrojoyo, dibuka dan dibaca di dalam hati, melihat


isi suratnya, pembukaan suratnya, saya juga minta, bantuan kamu Ki
Tumenggung, kamu buatkan, benteng Pinatak yang bagus, saya beri
dua puluh lima kepeng. (1 kepeng = 1/2 sen)

14. Sama litnan satu Landa, nyang brënama Litnan Liwit, krëja bëtul
suru jaga, Pinatak sëmuwa ini, nënggih ungëling tulis, sigra Kya
Dipati gupuh, sampuning maca surat, sëksana dandan tumuli,
wadyanira ing Ngrawong ngiring sadaya.

Bersama letnan satu orang Belanda, yang bernama Letnan Liwit, kerja
betul suruh jaga, Pinatak semua ini, yaitu bunyi suratnya, segera Ki
Adipati bergegas, sesudah membaca surat itu, kemudian segera bersiap-
siap, pasukannya yang di Rawong semua mengiringi.

15. Wus rakit kang upacara, Dipati Cakrajayeki, sëmana sampun


lumampah, sakathahe kang prajurit, sadaya sami ngiring, wus
tindak sëmana wau, inggih sarëng Wëlanda, sëlawe samya angiring,
tan kawarna ing marga pan sampun prapta.

Sudah siap perlengkapannya, Adipati Cokrojoyo ini, ketika itu sudah


berangkat, seluruh prajuritnya, mereka semua mengiringinya, ketika itu
sudah berangkat, iya bersama Belanda, dua puluh lima orang semua
mengiringi, tidak diceritakan di perjalanannya kemudian sudah sampai.

16. Sarawuhira Pinatak, wontën sanginggiling rëdi, apan sami


tinëngëran, sadaya dipun angkani, agya dhinudhuk aglis, sadaya
tinëngër sampun, age pan tinandangan, akarya beteng pësagi,
langkung kathah arahan kang nambut karya.

Sesampainya di Pinatak, berada di atas gunung, kemudian semua


ditandai, semua dinomori, kemudian segera digali, semua sudah
ditandai, kemudian segera dikerjakan, membuat benteng persegi, sangat
banyak orang kecil yang bekerja.

141
17. Datan lama nuli dadya, agancang caritaneki, rakite sampun
prayoga, punang beteng langkung apik, nanging dereng den goni,
Dipati Cakrajayeku, anulya ingutusan, pan lajëng dipun aturi,
dhatëng Kurnel ing Ngrawong panggenanira.

Tidak lama kemudian jadi, dipercepat ceritanya, sudah selesai dengan


patut, bentengnya sangat bagus, tetapi belum ditempati, Adipati
Cokrojoyo, kemudian diutus, dan terus dipanggil, oleh Sang Kolonel
di Rawong tempatnya.

18. Kya Dipati Cakrajaya, kadhatëngan surat malih, layang sangking


ing Walanda, kang surat wus den tampani, marang Ki Adipati,
nuwala binuka sampun, sampun sinukmeng driya, kaduga raosing
tulis, datan dangu wau genira amaca.

Kyai Adipati Cokrojoyo, kedatangan surat lagi, surat dari Belanda,


suratnya sudah diterima, oleh Ki Adipati, suratnya sudah dibuka, sudah
dibaca di dalam hati, dipahami isi suratnya, tidak lama membacanya.

19. Kya Dipati Cakrajaya, anulya dandan tumuli, tan adangu lajëng
budhal, sawadya Kya Dipati, datan kawarneng margi, sëmana pan
sampun rawuh, Dipati Cakrajaya, wus prapteng ngarsa Wëlandi,
Ki Dipati angajak samya tabeyan.

Kyai Adipati Cokrojoyo, kemudian segera bersiap-siap, tidak lama


kemudian berangkat, Kyai Adipati beserta pasukannya, tidak diceritakan
perjalanannya, ketika itu sudah sampai, Adipati Cokrojoyo, sudah
sampai di hadapan Belanda, Ki Adipati mengajak semua memberi
salam.

20. Wusnya tabe mundur sigra, sëksana tata alinggih, Sang Dipati
Cakrajaya, kang wadya sami anangkil, pëpak andher neng wuri,
wurine bëndaranipun, kurnele dereng mëdal, Litnan Lirwit
amarani, dhatëng Kurnel malëbët sajroning kamar.

Sesudah memberi salam segera mundur, kemudian duduk dengan rapi,


Sang Adipati Cokrojoyo, pasukannya semua menghadap, lengkap
berjajar di belakang, di belakang tuannya, kolonelnya belum keluar,
Letnan Lirwit mendatangi, kepada Sang Kolonel masuk ke dalam
kamar.

142
21. Datan dangu nulya mëdal, Tuwan Kurnel marang jawi, Kya Dipati
sigra mara, tabenira angareni, Dipati lan Wëlandi, wus tabeyan
samya lungguh, neng kursi jëng-ajëngan, Tuwan Kurnel takon
aglis, mring Dipati heh Dipati Cakrajaya.

Tidak lama kemudian keluar, Tuan Kolonel menuju luar, Kyai Adipti
segera mendatangi, memberi salamnya belakangan, Sang Adipati dan
Belanda, sesudah memberi salam, mereka duduk, di kursi berhadap-
hadapan, Tuan Kolonel segera bertanya, kepada Sang Adipati hai
Adipati Cokrojoyo.

22. Mana beteng dhi Pinatak, apa kira sudhah jadhi, tapi bëlun
jënëngi, sëbab itu kurang bagus, sapa adha dhisana, nanti kraman
taruk api, pan dhibakar beteng nanti sama kraman.

Mana benteng di Pinatak, apa dikira sudah jadi, tetapi belum ditempati,
sebab itu kurang bagus, siapa yang ada disana, nanti para makar
menaruh api, dan dibakar benteng nanti oleh para makar.

23. Ki Dipati lon ngandika, dhisana itu prajurit, iya saya punya orang,
suru jaga baik-baik, lagi rang bawak bëdhil, banyak orang apat
puluh, prajurit itu saya, nyang sama kang jaga biting, dhi Pinatak
itu tempat tëngah utan.

Ki Adipati berkata pelan, disana itu prajurit, iya saya punya orang,
suruh jaga baik-baik, lagian orang itu membawa senapan, sebanyak
empat puluh orang, itu prajurit saya, yang bersama-sama yang menjaga
benteng, di Pinatak itu tempatnya di tengah hutan.

24. Heh lagi adha mantrinya, Kurnel lëga jroning galih, sëmana lajëng
alënggah, gumuyu angëntrog wëntis, age caritaneki, sëksana ana
wong rawuh, bëbëkël wau desa, Bangkuning namaning desi, sigra
matur bëkël mring bëndaranira.

Hai lagian ada mantrinya, Sang Kolonel lega di dalam hatinya, ketika
itu terus duduk, trtawa menghentakkan betisnya, dipercepat ceritanya,
kemudian ada orang datang, sorang bekel dari desa, Kembangkuning
nama desanya, segera melapor bekel itu kepada tuannya.

25. Kula matur Jëng Bëndara, sapunika kraman prapti, langkung


kathah wadyanira, këraman ingkang dhatëngi, sëksana Kya Dipati,
matur maring kurnelipun, Kurnel Kalerës ika, anuli Kurnel agipih,
lajëng ngucap marang bëkël ingkang warta.

143
Saya melapor Tuan, sekarang ini para makar datang, sangat banyak
pasukannya, para makar yang mendatangi, kemudian Kyai Adipati,
berkata kepada kolonelnya, Kolonel Cleerens itu, kemudian Sang
Kolonel bergegas, terus berkata kepada bekel yang mewartakan.

26. Dene dangu datan warta, milane wau Kumpëni, asrëngën dhatëng
kang warta, kang nama Bëkël Bangkuning, datan antara lami,
sigra wontën tiyang rawuh, sangking beteng Pinatak, utusane
rangga nënggih, sigra matur sang duta dhatëng bëndara.

Mengapa lama tidak mewartakan, makanya Kumpeni itu, marah kepada


yang mewartakan, yang disebut Bekel Kembangkuning, tidak berapa
lama, segera ada orang datang, dari benteng Pinatak, yaitu utusan
ronggo, segera melapor sang utusan kepada tuannya.

27. Aturipun punang duta, wontën tiyang wau latri, alangkung datan
sëraba, sinapa datan nauri, binujung datan këni, tan kantënan
purugipun, apan samya lumajar, tan panggih paranireki, lajëng
Kurnel aminggah dhatëng Suwela.

Laporan utusan itu, ada orang tadi malam, lewat tidak bersuara, ditegur
tidak menjawab, dikejar tidak kena, tidak jelas perginya, kemudian
mereka melarikan diri, tidak ditemukan arahnya, terus Sang Kolonel
naik ke Suwelo.

28. Wus cëlak nulya kawarta, kraman kang liwat ing latri, pëngagëngira
ing kraman, Prawiradirja prajurit, basah lungguhireki, lawan
Mërtanëgareku, lawan Jayasundarga, lan Pawirakusumeki,
langkung kathah prajurite para basah.

Sudah dekat kemudian diberitakan, para makar yang lewat pada malam
hari, pembesarnya para makar, prajurit Prawirodirjo, kedudukannya
sebagai basah, dengan Mertonegoro, dengan Joyosundargo, dan
Pawirokusumo, sangat banyak prajurit para basah.

29. Gënderanipun pitulas, rongatus kang nitih wajik, sadaya samya


prawira, kidul beteng den margani, kraman ingkang abaris,
cacah tiyang gangsal ewu, anjog dhusun Bubutan, ler pëkën dipun
margani, lantas ngilen nglangkungi dhusun ing Jasa.

Benderanya tujuh belas buah, dua ratus orang yang menunggang kuda,
mereka semua pemberani, sebelah selatan benteng jalannya dipenuhi,

144
para makar yang berbaris, jumlahnya lima ribu orang, langsung menuju
desa Bubutan, sebelah utara pasar jalan dipenuhi, terus ke barat
melewati desa Joso.

30. Lajëng dhatëng dhusun Wingka, kraman lacake lumaris, Kurnel


pan sigra lumampah, kalawan Ki Adipati, lan Kapitan Oteki,
lawan usar sadayeku, Landa usar dinuta, pan sami kinon mriksani,
dhatëng kraman lacake wontën ing Wingka.

Terus menuju desa Wingko, jejak para makar berlari, Sang Kolonel
kemudian segera berangkat, dengan Ki Adipati, dan Kapten Ota ini,
dengan semua pasukan berkuda, pasukan berkuda Belanda diutus,
kemudian mereka disuruh memeriksa, kepada jejak para makar yang
berada di Wingko.

31. Gënti wau kang kocapa, Tuwan Kurnel prapta sami, aneng dhusun
ing Pinatak, pinirsa Pinatak nënggih, yëktos ing wau latri, mila
wontën kraman langkung, usar dhatëng Pinatak, wus tela genira
nëlik, panarkane kang langkung dalu punika.

Ganti yang diceritakan, Tuan Kolonel sampai bersama-sama, di desa


Pinatak, yaitu memeriksa Pinatak, sebenarnya pada malam hari,
memang ada para makar lewat, pasukan berkuda datang ke Pinatak,
sudah jelas mereka meneliti, persangkaannya yang lewat malam hari
itu.

32. Kang langkung beteng Pinatak, duk kalane wau bëngi, sigra Kurnel
wangsul samya, dhumatëng ing Ngrawong malih, kalawan Sang
Dipati, tan dangu nulya ge rawuh, neng Ngrawong pabetengan,
kocapa barisaneki, Kyai Dëmang Këtadiwirya kang nama.

Yang lewat benteng Pinatak, ketika pada malam hari, segera Sang
Kolonel kembali bersama-sama, menuju ke Rawong lagi, bersama Sang
Adipati, tidak lama segera sampai, di benteng Rawong, diceritakan
barisannya, Kyai Demang Ketodiwiryo namanya.

33. Den obar marang këraman, sadaya pondhokan ënting, kraman


lajëng sami kesah, mring Kranggan larugireki, Kapitan sigra rakit,
usar lawan saradhadhu, anitik marang kraman, ananging wëdi
narungi, dhatëng kraman këpala tata lan usar.

145
Dibakar oleh para makar, semua pondhokan habis, semua para makar
terus pergi, menuju Kranggan tujuannya, Sang Kapten segera bersiap-
siap, pasukan berkuda dan serdadu, menyelidiki kepada para makar,
tetapi takut menyerangnya, kepada para makar kepala mengatur
bersama pasukan berkuda.

34. Marga lumpur kang pratala, asangët lunyunireki, Kapitan kalawan


usar, samya wangsul sadayeki, dhatëng ing Ngrawong malih, wus
prapta ing Ngrawong sampun, gënti wau kocapa, kang wontën
beteng ing Lëngis, sami priksa kraman bangol lajëng mëdal.

Jalan tanahnya berlumpur, sangat licinnya, Sang Kapten dan pasukan


berkuda, mereka kembali semua, menuju ke Rawong lagi, sudah sampai
di Rawong, ganti yang diceritakan, yang berada di benteng di Lengis,
mereka melihat para makar liar terus keluar.

35. Tuwan Mayor wau mëdal, pan sangking beteng ring Lëngis,
kalawan kang wadya bala, wolung dasa kathahneki, sadaya pra
Kumpëni, kang këpala saradhadhu, usare kawan dasa, kalawan
tumënggung siji, ingkang nama Tumënggung Sindunëgara.

Tuan Mayor itu keluar, dari benteng di Lengis, beserta pasukannya,


delapan puluh orang jumlahnya, semua para Kumpeni, yang kepala
serdadu, pasukan berkudanya empat puluh orang, dengan seorang
tumenggung, yang bernama Tumenggung Sindunegoro.

36. Ambëkta prajuritira, mung satus kalih daseki, kang bëkta gaman
sënjata, putrane Dipati Tëgil, ngagëm sënjata sami, tiyang satus
kalih puluh, samya anginthil kraman, këraman sipëng Këmiri,
Tuwan Mayor asipëng ing Pacor desa.

Membawa prajuritnya, hanya seratus dua puluh orang, yang membawa


alat senjata, putra Adipati Tegal, mereka memakai senjata, seratus dua
puluh orang, semua menguntit para makar, para makar menginap di
Kemiri, Tuan Mayor menginap di desa Pacor.

37. Sarëng enjing gya këraman, mring Kroya lampahireki, Tuwan


Bulkës lajëng mangkat, ing Pacor namaning desi, dina Akat
marëngi, kaping nëm ing tanggalipun, anuju wulan Sapar, ing taun
Ehe kang warsi, sigra përang Tuwan Bulkës lawan brandhal.

146
Begitu pagi hari segera para makar, menuju Kroya perjalanannya, Tuan
Bulkes terus berangkat, di Pacor nama desanya, bertepatan dengan hari
Ahad, pada tanggal enam, ketika bulan Safar, tahunnya pada tahun Ehe,
Tuan Bulkes sgera berperang melawan para makar.

38. Atarung neng dhusun Kroya, kang binujung mring Kumpëni,


kang den pëlëng Jasundarga, mangilen plajëngireki, anjog dhusun
kang nami, Ngampel namanipun dhusun, kang mëmpën dhusun
Kroya, anaming mriyëm sanunggil, kang satunggil mriyëme aneng
dëdalan.

Bertarung di desa Kroya, yang diburu oleh Kumpeni, yang diincar


Joyosundargo, ke barat pelariannya, langsung menuju desa yang
bernama, Ngampel nama desanya, yang bersembunyi di desa Kroya,
hanya sebuah meriam, meriam yang sebuah itu berada di jalanan.

39. Kang jagi mriyëm punika, kalih dasa satus kalih, Tumënggung
Sindunëgara, putrane Dipati Tëgil, lan saradhadhu sami, tiyang
satus kalih puluh, anulya sira kraman, basah lungguhing priyayi,
ingkang nama Rahaden Prawiradirja.

Yang menjaga meriam itu, seratus dua puluh dua orang, Tumenggung
Sindunegoro, putra Adipati Tegal, dan serdadu bersama, seratus dua
puluh orang, kemudian para makar, priyayi berkedudukan basah, yang
bernama Raden Prawirodirjo.

40. Ingkang mëmpën jroning desa, sigra kraman amëdali, sangking


dhusun wijilira, sëksana angamuk sëngit, kraman angangsëg wani,
mring prajurit saradhadhu, sënjata sampun munya, ping gangsal
mriyëm kang muni, ingkang alit pan mungal rambah ping tiga.

Yang bersembunyi di dalam desa itu, segera para makar keluar, dari
desa itu keluarnya, kemudian mengamuk dengan sengitnya, para
makar mendesak dengan berani, kepada prajurit serdadu, senjata
sudah berbunyi, lima kali meriam yang berbunyi, yang kecil kemudian
berbunyi berulang tiga kali.

41. Agëmporan yudanira, sradhadhu sinorog sami, tinumbakan mring


bërandhal, saradhadhu bubar gusis, Raden Sindunëgari, sëmana
lajëng angamuk, balane këtadhahan, kalawan kraman prajurit,
nulya bubar barise Sindunëgara.

147
Saling mengempur peperangannya, serdadu didesak bersama-sama,
ditombak oleh para berandal, serdadu bubar habis, Raden Sindunegoro,
ketika itu terus mengamuk, pasukannya dihadapi, oleh prajurit makar,
kemudian bubar barisan Sindunegoro.

42. Sëksana Rahaden Basah, Prawiradirja nututi, tinumbak


Sindunëgara, pan këna ingkang cëcëthik, ri sëksana akanin,
Sindunëgara puniku, balane asasaran, sadaya arëbut urip,
mariyëme sradhadhu kenging satunggal.

Kemudian Raden Basah, Prawirodirjo mengejarnya, Sindunegoro


ditombak, dan mengenai tulang pinggangnya, kemudian terluka,
Sindunegoro itu, pasukannya berhamburan, semua berebut hidup,
meriam serdadu tertangkap sebuah.

43. Këbandhang marang këraman, sëksana para Kumpëni, kang


bujung Jayasundarga, mayoripun ing Kumpëni, lawan usarireki,
sadaya sami uwangsul, Kumpëni wus amiyarsa, yen mriyëme
sampun kenging, kang satunggal këbandhang maring këraman.

Dirampas oleh para makar, kemudian para Kumpeni, yang memburu


Joyosundargo, mayor di Kumpeni, bersama pasukan berkuda, mereka
semua kembali, Kumpeni sudah mendengar, bahwa meriamnya sudah
dirampas, yang sebuah dirampas oleh para makar.

44. Rekane Jayasundarga, milane lumajar sami, kang wau sampun


janjiyan, lan Basah sakancaneki, rëmbug sampun agilig, lan
Prawiradirja iku, wus kangsen basanira, ing mangke dika kalihi,
gih kajënge Kumpëni samya bujunga.

Akal Joyosundargo, makanya melarikan diri semua, tadinya sudah


membuat janji, dengan Sang Basah beserta teman-temannya,
perundingannya sudah bulat, dengan Prawirodirjo itu, sudah bersepakat
basahnya, nantinya kamu temani, ya agar Kumpeni semua memburu.

45. Yen sampun bujung andika, kang kari kula tarungi, dimena këdhik
balanya, gih kula ingkang narungi, sagah Jasundargeki, binujung
aglis lumayu, Basah Jayasundarga, pëlayune miring-miring,
Wiradirja amëmpën sajroning desa.

Kalau sudah memburu kamu, yang tertinggal saya yang menyerangnya,


agar sedikit pasukannya, ya saya yang menyerangnya, Joyosundargo

148
menyanggupi, diburu segera melarikan diri, Basah Joyosundargo,
pelariannya miring-miring, Prawirodirjo bersembunyi di dalam desa.

46. Mila putra Tëgal pëjah, sëmana dipun pëndhëmi, rekane


Prawiradirja, singidan tëngahing desi, gënti kocapa malih, Mayor
lawan usaripun, sigra lajëng ayuda, usar golong lan Kumpëni,
mungsuhira Den Basah Prawiradirja.

Makanya putera Tegal mati, ketika itu dipendam, akal Prawirodirjo,


bersembunyi di tengah desa, ganti diceritakan lagi, Mayor beserta
pasukan berkudanya, segera terus berperang, pasukan berkuda bersatu
dengan Kumpeni, musuhnya Raden Basah Prawirodirjo.

47. Rame dennya bandayuda, neng bulak kidul Kroyeki, sëmana usar
lumajar, kalawan para Kumpëni, ngidul playunireki, sisanipun
kang lumayu, usar kang sami pëjah, limalas cacahireki, saradhadhu
kang palastra kawan dasa.

Ramai mereka berperang, di persawahan di sebelah selatan Kroyo ini,


ketika itu pasukan berkuda melarikan diri, bersama para Kumpeni,
ke selatan pelariannya, sisa dari yang melarikan diri, semua pasukan
berkuda yang mati, lima belas orang jumlahnya, serdadu yang mati
empat puluh orang.

48. Kala ing Sindunëgaran, cacahe ingkang ngëmasi, mung nëm likur
cacahira, kabeh iku tiyang Tëgil, kang mambu daging kulit, kawan
dasa parëng lampus, sami bëkta sënjata, kabandhang mriyëme
kalih, pan kabëkta dhatëng Prawiradirja.

Ketika di dalam pasukan Sindunegoro, jumlah yang mati, hanya dua


puluh enam orang jumlahnya, semua itu orang-orang Tegal, yang
berbau kulit daging (berkerabat), empat puluh orang bersamaan mati,
semua membawa senjata, terampas dua buah meriamnya, kemudian
dibawa Prawirodirjo.

49. Tuwan Bulkës wus lumajar, wadyane Sindunëgari, angidul


pëlayunira, samya anjog biting Lëngis, sadaya ting karëmpis,
sakantune ingkang lampus, Pangran Suryamëtaram, lawan Kyai
Sawunggaling, lan Ngabehi Wanayuda ing Tëlaga.

Tuan Bulkes sudah melarikan diri, bersama pasukan Sindunegoro, ke


selatan pelariannya, mereka langsung menuju benteng Lengis, semua

149
terengah-engah, sisa dari yang mati, Pangeran Suryomataram, bersama
Kyai Sawunggaling, dan Hangabehi Wonoyudo di Telogo.

50. Sarëng ing dina Sëlasa, ping wolu tanggalireki, anuju ing wulan
Sapar, warnanën wau Kumpëni, Klerës ingkang anami, lan Mayor
Kolson puniku, kang samya pëbarisan, lepen Nglërëng sami kaping,
tinimbalan kalawan Kurnel Walanda.

Bertepatan pada hari Selasa, pada tanggal delapan, bertepatan dengan


bulan Safar, diceritakan Kumpeni, Cleerens namanya, dan Mayor
Kolson, yang bersama barisan, sering bersama di sungai Lereng,
dipanggil oleh Kolonel Belanda.

51. Pëcalangipun kang wetan, ingkang wontën Jagabanggi, pan sami


den kumpulëna, prajuritipun Kumpëni, kumpul neng Ngrawong
biting, ananging ing barangipun, sadaya tan kabëkta, tëksih
wontën Waja biting, datan dangu Mayor dhatëng lan këlana.

Penjaga keamanan yang di sebelah timur, yang berada di Jogoboyo,


kemudian semua dikumpulkan, prajurit Kumpeni, berkumpul di
benteng Rawong, tetapi barang-barangnya, semua tidak dibawa, masih
berada di benteng Wojo, tidak lama Sang Mayor datang bersama
pasukan penjelajah.

52. Wau sarëng praptanira, këlana neng Ngrawong nënggih, apan


sampun pëpanggihan, këlawan Kurnel Kumpëni, bicara pra
Kumpëni, sadaya pan sampun guyub, Mayor Kolson karsanya,
angajak sami angusir, dhatëng basah kang nama Prawiradirja.

Bersamaan kedatangannya, ya pasukan penjelajah berada di Rawong,


kemudian sudah bertemu, dengan Kolonel Kumpeni, para Kumpeni
berbicara, semua sudah berkumpul, kehendak Mayor Kolson, mengajak
semua mengusir, kepada basah yang bernama Prawirodirjo.

53. Ananging Kurnel tan rëna, yen lamun sami angusir, karsane
Kurnel mëngkana, sami kinen damël biting, Bandhung namaning
desi, sëksana lajëng atutur, Kurnel alon ngandika, dhatëng Mayor
Kolson nënggih, lan Dipati ingkang nama Cakrajaya.

Tetapi Sang Kolonel tidak suka, bahwa kalau semua mengusir, kehendak
Sang Kolonel begini, semua disuruh membuat benteng, di Bandung
nama desanya, kemudian terus berkata, Sang Kolonel berkata pelan,
yaitu kepada Mayor Kolson, dan Adipati yang bernama Cokrojoyo.

150
54. Rëmbuge Kurnel Wëlanda, lah mara Mayor sireki, iya krëja biting
sana, pëgi Bandhung dhi tëmpati, pëgi dhisana ini, nyang nama
Dipati itu, Cakrajaya namanya, sudhah kowe sama pëgi, krëja
biting dhi Bandung itu tëmpatnya.

Sang Kolonel Belanda, nah silakan kamu Mayor, iya kerjakan benteng
sana, pergi ke Bandung tempatnya, pergi disana ini, itu yang namanya
Adipati, Cokrojoyo namanya, sudah kamu pergi bersama, kerjakan
benteng di Bandung itu tempatnya.

55. Sëksana sigra adandan, Dipati lawan Kumpëni, dhatëng Bandhung


kang sinëdya, sawadya bala angiring, wus rakit sadayeki, sëmana
parëng lumaku, Dipati Cakrajaya, kang wangsul genira lami, ing
Cëngkawak ing wau genira lama.

Kemudian segera bersiap-siap, Sang Adipati dan Kumpeni itu, ke


Bandung yang dituju, beserta pasukannya mengiringi, sudah bersiaga
semuanya, ketika itu bersama-sama berangkatnya, Adipati Cokrojoyo,
yang kembali ke tempat yang lama, di Cemgkawak di tempat yang
lama.

56. Gënti ingkang kawarnaa, këlanane Mayor iki, Mayor Kolson


namanira, këlanane kang angusir, dhatëng basah kang nami,
Prawiradirja jujuluk, kang nindhihi këlana, Kapitan Ota kang
nami, arsa budhal sadaya bala tinata.

Ganti yang diceritakan, mayor pasukan kelana ini, Mayor Kolson


namanya, pasukan penjelajahnya yang mengusir, kepada basah yang
bernama, bernama Prawirodirjo, yang memimpin pasukan penjelajah,
Kapitan Ota namanya, hendak berangkat semua pasukannya diatur.

57. Këlana sampun umangkat, lan Kumpëni Sumurpakis, sadaya


samya budhalan, këlana lawan Kumpëni, datan kawarneng margi,
tan dangu nulya ge rawuh, tanah Winangunkutha, sëmana sampun
dumugi, wus apanggih kalawan Rahaden Basah.

Pasukan penjelajah sudah berangkat, dan Kumpeni Sumurpakis,


mereka semua berangkat, pasukan penjelajah bersama Kumpeni, tidak
diceritakan di perjalanannya, tidak lama kemudian segera sampai, di
tanah Kutowinangun, ketika itu sudah sampai, sudah bertemu dengan
Raden Basah.

151
58. Kang nama Prawiradirja, Kapitan sampun udani, neng dhusun
lajëng sëmana, anulya Basah lumaris, wus mëdal sangking desi,
ing Këdhungtawon ranipun, ambujung mring Wëlanda, sëmana
lajëng ajurit, agëmporan yudane Prawiradirja.

Yang bernama Prawirodirjo, Sang Kapten sudah mengetahui, ketika itu


ke desa itu, kemudian Sang Basah melarikan diri, sudah keluar dari
desa itu, di Kedungtawon namanya, diburu oleh Belanda, ketika itu
terus berperang, saling menggemur berperangnya Prawirodirjo.

59. Tëtkala awit ayuda, wit jam pitu wayah enjing, ngantos sontën jam
sëkawan, meh manjing surya mring bumi, kathah prajurit mati,
saradhadhu kathah lampus, wondene kang këbranan, saradhadhu
pitu iji, litnan usar ingkang pëjah mung satunggal.

Tatkala mulai berperang, mulai jam tujuh waktu pagi hari, hingga sore
hari jam empat, matahari hampir masuk ke bumi, banyak prajurit yang
mati, serdadu banyak yang mati, sedangkan yang terluka, serdadu tujuh
orang, letnan pasukan berkuda yang mati hanya seorang.

60. Usar lampus namung gangsal, dene kraman ingkang mati, kang
jëjër panji ming gangsal, sëlawe bala kang mati, wadya kang alit-
alit, Basah Gandasuma tatu, Basah Prawiradirja, inggih labët
astaneki, ingkang tëngën Basah Ganda pupu kiwa.

Pasukan berkuda yang mati hanya lima orang, sedangkan para makar
yang mati, yang berkedudukan sebagai panji hanya lima orang, dua
puluh orang pasukan yang mati, pasukan yang kecil-kecil, Basah
Gondokusumo terluka, Basah Prawirodirjo, juga terluka tangannya,
yang kanan Basah Gondokusumo paha kirinya.

61. Kang sami anandhang brana, kathah ingkang tatu mimis, sampun
dungkap jam nëm wayah, Sang Hyang Surya wus umanjing,
mundur kang sami jurit, samya mondhok kalihipun, neng
Mrinen kang Walanda, Den Basah wadya lit-alit, lawan Basah
Gandakusuma tan pisah.

Mereka yang menderita luka, banyak yang luka terkena peluru, sudah
menjelang waktu jam enam, Sang Hyang Surya sudah masuk, mereka
yang berperang mundur, kedua belah pihak semua beristirahat, yang
Belanda di Mrinen, Raden Basah dan pasukan kecil-kecil, dengan
Basah Gondokusumo tidak terpisah.

152
62. Sampun samya mësanggrahan, wadya lit lawan prajurit, wontën
dhusun Pëtarangan, salatri wus gagat enjing, Kapitan Ota nënggih,
sadaya samya lumaku, kabeh sawadyanira, umangkat dhatëng
Saruni, ingkang dherek Ki Dëmang Kramadimëja.
Mereka sudah beristirahat, pasukan kecil dan prajurit, berada di desa
Petarangan, semalam sudah menjelang pagi hari, Kapten Ota juga,
mereka semua berangkat, semua pasukannya, berangkat ke Saruni,
yang mengikuti Ki Demang Kromodimejo.
63. Arsa karya beteng samya, aneng dhusun ing Saruni, agancang
caritanira, beteng Saruni wus dadi, antaranipun nënggih, biting
dados laminipun, naming satëngah wulan, pan lajëng kraman
lëstari, samya ngetan lampahe Prawiradirja.
Mereka hendak membuat benteng, di desa Saruni, dipercepat ceritanya,
benteng Saruni sudah jadi, yaitu kira-kira, lama jadinya benteng, hanya
setengah bulan, dan terus para makar tetap melarikan diri, perjalanan
Prawirodirjo semua ke arah timur.
64. Rahaden Prawiradirja, pan lajëng dhatëng Tëlagi, mangkat
sangking Pëtarangan, mësanggrahan wontën Candhi, sarëng
antawis lami, wëtarane wolung dalu Prawiradirja mangkat,
dhumatëng dhusun Pëngasih, pan bandhangan mariyëm kalih
binëkta.
Raden Prawirodirjo, kemudian terus menuju Telogo, berangkat dari
Petarangan, beristirahat di Candi, setelah beberapa lama, sekitar delapan
malam, Prawirodirjo berangkat, menuju desa Pengasih, dan dua buah
meriam rampasan dibawa.
65. Bandhanganipun sunapan, sadaya tinilar sami, kang nëngga
Wirakusuma, senapati wetan Jali, Den Prawiradirjeki, gya matur
ing solahipun, Jëng Sultan wus narima, denira mënang ing jurit,
Kangjëng Sultan sëmana mijil ing karsa.
Senapan rampasannya, semuanya mereka tinggal, yang menunggu
Wirokusumo, senapati sebelah timur sungai Jali, Raden Prawirodirjo,
segera menyampaikan tindakannya, Sang Sultan sudah menerima,
bahwa mereka menang dalam peperangan, Sang Sultan ketika itu keluar
kehendaknya.
---oooOooo---

153
PUPUH XXXVI
MIJIL

1. Pan sëmana Sultan Ngabdul Khamid, rëmbug lan Ki Maos, lah


Ki Maja kapripun rëmbuge kula arsa akrama Kiyai, lan putrane
estri, Kyai Ngabdul Rakup.

Kemudian ketika itu Sultan Abdul Hamid, berunding dengan Ki Mojo,


nah Ki Mojo bagaimana pendapatmu kalau saya hendak menikah Kyai,
dengan putera puterinya, Kyai Abdul Ra’uf.

2. Pan sun karya garwa sëlir, Kyai rëmbuge Sang Katong, Kyai
Maja tan suka ature, yen mangkotën karsane Sang Aji, kula tan
ngrëmbagi, karsane Sang Prabu.

Akan saya jadikan isteri selir, pendapat Sang Kyai terhadap Sang Sultan,
Kyai Mojo tidak menyukai kehendaknya, kalau begitu kehendak Sang
Sultan, saya tidak menyetujui, kehendak Sang Sultan.

3. Sawab Kyai Ngabdul Rakup nënggih, ginuron Sang Katong, datan


këna rinabi putrane, pan wus sasat tunggil roh Sang Aji, kang
kocap ing dalil, tan këna puniku.

Sebab Kyai Abdul Ra’uf itu, adalah orang yang Sang Sultan berguru,
tidak boleh putranya dinikahi, karena seolah-olah sudah satu ruh dengan
Sang Sultan, yang dikatakan dalam dalil, tidak boleh itu.

4. Lawan Kyai Kasongan ing nguni, wus sabil sangka wong, anglabuhi
Jëng Sultan karyane, yen kinawin wangkingan Sang Aji, punika
tan kenging, kitab ungëlipun.

Dan Kyai Kasongan pada waktu dahulu, sudah meninggal dalam perang
dari orang, yang perbuatannya membela Sang Sultan, kalau dinikahi
menjadi isteri selir Sang Sultan, itu tidak boleh, itu bunyi kitabnya.

5. Anëraka ing kitab sakëdhik, yen kinarya bojo, sampun kathah Dul
Rakup potange, sasat malës kabëcikaneki, yen mangkotën Gusti,
kawula arëmbug.

154
Melanggar dalam kitab sedikit, kalau dijadikan isteri, sudah banyak
piutang Abdul Ra’uf, seolah-olah membalas kebaikannya, kalau begitu
Tuan, saya sepakat.

6. Kangjëng Sultan nurut turireki, mring Kiyai Maos, yen makatën


sun karya garwane, Kangjëng Sultan sëmune aruntik, dene
turireki, Maja aturipun.

Sang Sultan menuruti pendapatnya, kepada Kyai Mojo, kalau begitu


jadikan isteri, Sang Sultan agak kecewa, karena pendapatnya, pendapat
Kyai Mojo.

7. Anuruti ing lair Sang Aji, batin langkung mirong, marang wau Ki
Maja ature, awit benceng tëtëpunganeki, Maja lan Sang Aji, wit
salayëng rëmbug.

Sang Sultan secara lahir menuruti, batinnya sangat malu, terhadap


pendapat Kyai Mojo, mulai tidak sejalan pergaulannya, Kyai Mojo dan
Sang Sultan, karena berbeda pendapat.

8. Kangjëng Sultan arsa andhawuhi, dhatëng Kyai Maos, pan kinarya


pëngulu karsane, pan wus pasthi karsane Hyang Widi, Ki Maja
Sang Aji, awit pisahipun.

Sang Sultan berkehendak memerintah, kepada Kyai Mojo, untuk


dijadikan penghulu kehendaknya, kemudian sudah pasti kehendak
Yang Maha Esa, Kyai Mojo dan Sang Sultan mulai berpisah.

9. Wusnya lami neng dhusun Pëngasih, dennya amakuwon, Kangjëng


Sultan Mëtaram namane, Ngabdul Khamid Amiril Mukminin,
Kyai Maja nënggih, kinarya pëngulu.

Sesudah lama lama berada di desa Pengasih, mereka bertempat tinggal,


Sang Sultan Mataram namanya, Abdul Hamid Amirul Mukminin, ya
Kyai Mojo dijadikan penghulu.

10. Nanging Kyai Maja datan apti, sakalangkung mopo, miwah


senapati lan patihe, tadhah bëndu atur pati urip, Gusti awak mami,
dene turunipun.

Tetapi Kyai Mojo tidak mau, sangat tidak mau, juga senapati dan
patihnya, menerima kemarahan menyerahkan hidup matinya, Tuan diri
hamba, karena keturunannya.

155
11. Tiyang ngingërakën nagri Jawi, manah sangët bodho, Kangjëng
Sultan kudu mëksakake, dados pangulu Ki Maja malih,
salaminireki, nandhang sungkawa gung.

Orang mengelola negara Jawa, hati sangat bodoh, Sang Sultan harus
memaksakan, menjadikan penghulu Kyai Mojo lagi, selamanya,
menderita kesedihan yang besar.

12. Sabab tanah Pajang wus wëradin, kasaban ing mungsoh, dherek
Landi Pajang anterone, Kyai Maja gadhah atur malih, kula nuwun
idi, mring Pajang anglurug.

Sebab tanah Pajang sudah merata, didatangi oleh musuh, Pajang dan
sekitarnya ikut Belanda, Kyai Mojo mempunyai pendapat lagi, saya
minta ijin, mendatangi ke Pajang.

13. Lawan nuwun bala sewu iji, lëga tyase Katong, Kangjëng Sultan
manis timbalane, Tuwan Kaji nama Ngabdul Kadir, sakancanireki,
tiyang tigang atus.

Dan minta pasukan seribu orang, lega hati Sang Sultan, Sang Sultan
memerintah dengan manis, Tuan Haji Abdul Kadir namanya, beserta
teman-temannya, sejumlah tiga ratus orang.

14. Mënggung Rawan sakancanireki, lurah mantri anom, Gus Kanjali


wayah Ki Mlangine, sakancane para santri-santri, wus pëpak
angrakit, sapëdhamanipun.

Tumenggung Urawan, beserta teman-temannya, lurah mantri anom,


Bagus Kanjali cucu Ki Mangli, beserta teman-temannya para santri-
santri, sudah lengkap bersiaga, beserta senjatanya.

15. Kyai Maja pra tumënggung sami, pamit mring Sang Katong,
nuwun idi dalëm sakancane, wus ingiden nulya budhal aglis, tan
kawarna margi, Sëndhangpitu rawuh.

Kyai Mojo dan semua para tumenggung, berpamitan kepada Sang


Sultan, minta ijin beliau beserta teman-temannya, sesudah diijinkan
kemudian segera berangkat, tidak diceritakan di perjalanannya, sampai
di Sendangpitu.

156
16. Ngaler ngetan lampahe kang baris, duk kala sëmono, Wlandi baris
wetan nëgarine, lan Kumpëni aneng jro nëgari, miwah baris Jawi,
miyarsa Ki Guru.

Ke timur laut perjalanan barisan itu, pada waktu itu, Belanda berbaris
di sebelah timur kota, dan Kumpeni berada di dalam kota, dan barisan
Jawa, mendengar Ki Guru.

17. Kyai Maja kang angirid baris, sedyane mring Paos, badhe ngradin
Pajang sëdayane, dyan cinëgat samya den barisi, saleripun margi,
tuwin kidulipun.

Kyai Mojo yang mengantar barisan, tujuannya ke Pajang, akan


meratakan Pajang semuanya, kemudian mereka dihadang barisan, di
sebelah utara jalan, juga di sebelah selatannya.

18. Marga ngajëng sampun den barisi, dugi ing Këjambon, Kyai Maja
dugi ing wancine, kidul Bëdhoyo prang lan Kumpëni, tan wontën
kang mati, pan sami rahayu.

Jalan depan sudah dihadang barisan, hingga di Kejambon, Kyai Mojo


sampai pada waktunya, di sebelah selatan Bedoyo berperang melawan
Kumpeni, tidak ada yang mati, semuanya selamat.

19. Wusnya aso bala mëntas jurit, Gus Ghajali rawoh, nyaosakën
surat Kumpënine, Gus Ghajali sampun centhel lami, lawan wong
Kumpëni, dados pikatipun.

Sesudah beristirahat pasukan yang baru saja berperang, Bagus


Ghajali datang, menyampaikan surat dari Kumpeni, Bagus Ghajali
sudah berhubungan lama, dengan orang-orang Kumpeni, menjadi
perantaranya.

20. Gus Ghajali ature amanis, dhatëng Kyai Maos, mugi Kyai
ngawëlarisake, tiyang Jawi agëng miwah alit, tuwin jalu estri,
andika katëmpuh.

Bagus Ghajali berkata manis, kepada Kyai Mojo, semoga Kyai


berbelas kasih, orang-orang Jawa besar maupun kecil, laki-laki maupun
perempuan, paduka diserang.

157
21. Ijohane surat yen Kiyai, botën lawan popor, lah suwawi rëmbag
prayogane, sampun kantos panjang ngrisak jalmi, kula kang
nyagahi, Kumpëni turipun.

Isi suratnya bahwa Kyai, jangan melawan gagang senapan, nah


silakan sebaiknya berunding, jangan sampai merusak orang, saya yang
menyanggupi, kata Kumpeni.

22. Gih punapa Kyai den rëmëni, Kumpëni angrajong, anuruti Kyai
pënjaluke, duk sëmana Ki Maja agampil, wus pësthining Widi,
ingkang Maha Luhur.

Ya apakah Kyai disukai, Kumpeni merajuk, menuruti permintaan Kyai,


ketika itu Kyai Mojo mempermudah, sudah kepastian Yang Esa, Yang
Maha Tinggi.

23. Kyai Maja bukak punang tulis, galihe cumëmplong, amiyarsa


surat ing tëmbunge, nadyan gunëm wontën jroning ngloji, Klathen
munggeng Jawi, tan tëbih genipun.

Kyai Mojo membuka surat itu, hatinya lega, mendengar kata-kata di


dalam surat itu, walaupun berbicara di dalam loji, Klaten di Jawa, tidak
jauh tempatnya.

24. Pan surate gih andika sandhing, yen pirsa liyan wong, bok
kapëngkok tan tëbih lëbune, maring ngloji napa den karëpi, kula
kang jurungi, titi suratipun.

Kemudian suratnya ya paduka sanding, kalau orang lain tahu, mungkin


dihadang tidak jauh masuknya, menuju loji apa yang dikehendaki, saya
yang mendukung, tanggal suratnya.

25. Wusnya dhangan Ki Maos ing galih, angsul-angsul dados, Gus


Ghajali kang bëkta surate, lan kang raka wus nama bupati, Ki
Kasan Bësari, kang bëkta sul-angsul.

Sesudah lega hati Kyai Mojo, surat balasannya jadi, Bagus Ghajali
yang membawa suratnya, dan kakaknya yang sudah menjadi bupati, Ki
Kasan Besari, yang membawa surat balasan.

26. Wus katampen dhumatëng Kumpëni, binukak winaos, ing kawitan


prapteng wëkasane, ing Kumpëni bungahe tan sipi, urmat mriyëm
muni, ping ënëm jumëgur.

158
Sudah diterima oleh Kumpeni, dibuka dan dibaca, dari awal sampai
akhir, oleh Kumpeni senangnya tidak terkira, menghormati dengan
meriam berbunyi, enam kali berdentum.

27. Nulya budhal mëthuk wong Kumpëni, barise amaro, pan den apit
Ki Maja lampahe, aneng tëngah barise wong Jawi, liwat ngati-ati,
Kumpëni tyasipun.

Kemudian orang-orang Kumpeni berangkat untuk menjemput,


barisannya membelah menjadi dua, kemudian perjalanan Kyai Mojo
diapit, berada di tengah barisan orang-orang Jawa, sangat berhati-hati,
hatinya Kumpeni.

28. Miwah Jawa kang tumut Kumpëni, pëngapite adoh, yen wong
Jawi tan golong pikire, kathah nyimpang urut margi, sarëng cakët
ngloji, ëlët tigang dhusun.

Juga orang-orang Jawa yang ikut Kumpeni, mengapitnya jauh, kalau


orang-orang Jawa tidak bersatu pikirannya, banyak yang menyimpang
di sepanjang jalan, begitu dekat dengan loji, berselang tiga desa.

29. Kyai Maja sakancanireki, samya ajak ngaso, pra tumënggung salat
Ngasar kabeh, sampun bakda Kumpëni nyalëki, sadaya barisi,
ngapit ngurung-urung.

Kyai Mojo beserta teman-temannya, mereka mengajak beristirahat, para


tumenggung melakukan sholat Asar semua, sesudah selesai Kumpeni
mendekati, semua berbaris, mengapit dengan barisan di kiri kanannya.

30. Pra Kumpëni baris ngrupak wani, kanan kering ngoso, pan pinëksa
mangsuk jro nglojine, para dolah tumënggung pra tuwin, Ki Maja
kang dhingin, prajurite kantun.

Para Kumpeni berbaris menyempit dengan berani, kanan kiri membentak,


dan dipaksa masuk ke dalam loji, para dolah para tumenggung serta,
Kyai Mojo yang lebih dahulu, prajuritnya kemudian.

31. Wontën jawi sadaya wong cilik, gëgamane wuwoh, tan pinulung
tumbak lan bëdhile, sakantune prajurit kang kari, sarëng madya
latri, samya minggat dalu.

159
Semua orang kecil berada di luar, senjatanya bertambah, tidak
dikumpulkan tombak dan senapannya, sisa prajurit yang tertinggal,
begitu tengah malam hari, mereka pergi pada malam hari.

32. Dupeh prajurit tan den openi, Ngabdul Kadir dhoso, minggat
mawut wau sakancane, antawise pukul tiga latri, kesahipun icir,
ngetan ngalor ngidul.

Hanya karena prajuritnya tidak diperhatikan, Abdul Kadir marah-


marah, pergi berhamburan beserta teman-temannya, sekitar jam tiga
malam, perginya sedikit demi sedikit, ke timur ke utara ke selatan.

33. Enjing gita sagung Kumpëni, Kyai Maja kinon, pan tinuding mring
Surakartane, lawan Kasan Bësari tan kari, lan Mukhamad Mësir,
sakreta akumpul.

Pagi hari bergegas seluruh Kumpeni, Kyai Mojo disuruh, disuruh ke


Surakarta, beserta Kasan Besari tidak ketinggalan, dan Muhammad
Mesir, berkumpul dalam satu kereta.

34. Këtib Tuman lan Bagus Ghajali, lan Urawan awor, lawan Amad
Jënawi rowange, kumpul sakreta gya nambut kusir, kuda ngërap
pati, lir thathit wus mamprung.

Khotib Tuman dan Bagus Ghajali, dan Urawan bercampur, dengan


Ahmad Jenawi temannya, berkumpul di dalam satu kereta segera
kusirnya bekerja, kuda sangat kencang, bagaikan kilat sudah kabur.

35. Tan kawarna lampahe neng margi, Surakarta rawoh, anjog ngloji
pra Kumpëni mangke, wus sëdhiya ingkang bëcik-bëcik, kang
badhe ngijeni, Kumpëni gung luhur.

Tidak diceritakan perjalanannya di jalan, sampai di Surakarta, langsung


menuju loji para Kumpeni sekarang, sudah menyediakan yang baik-
baik, yang akan menemui, Kumpeni yang besar dan tinggi.

36. Wus misuwur prapteng Purwadadi, pra Kumpëni gupoh, bëbëcike


kang ngapit badhene, aneng kreta siji den karoni, mëthuk
Purwadadi, sëmana wus tundhuk.

Sudah termasyhur sampai di Prwodadi, para Kumpeni bergegas, baik-


baik yang mengapit bakalnya, di kereta setiap satu orang diapit dua
orang, menjemput di Purwodadi, ketika itu sudah bertemu.

160
37. Pra Kumpëni tabe lan ngulami, wong siji kinaro, sarëng sami tabe
sadayane, asta tëngën ingkang anampani, Kumpëni kang kari,
nyëbot pëdhang dhuwung.

Para Kumpeni memberi salam kepada para ulama itu, satu orang diapit
dua orang, bersama-sama mereka memberi salam semuanya, tangan
kanan yang menerima, Kumpeni yang sisanya, menyerobot pedang dan
keris.

38. Sampun këni gëgamane sami, ngulami kang banggol, mung prajurit
cilik sadayane, wus pinikir mring bangsa Kumpëni, gaman tan
ngaesi, sinautan wau.

Sudah terampas semua senjatanya, para ulama yang besar, hanya prajurit
kecil semuanya, sudah dipikirkan oleh bangsa Kumpeni, senjata tidak
boleh dipakai, disambar tadi.

39. Pan lëstari kretane lumaris, prapta ing Kaprabon, ngloji wurung
wus kapungkur mangke, nulya mangsuk kabeh jroning ngloji,
brandhal agëng alit, antawis rong puluh.

Kemudian selamat keretanya berangkat, sampai di Keprabon, loji gagal


sudah terlewati sekarang, kemudian masuk semua ke dalam loji, para
berandal besar kecil, seiktar dua puluh orang.

40. Prajurit brandhal barundhul sami, neng jro ngloji cëlong, kabeh
sami lir mayit ulate, Kyai Maja tinari Kumpëni, heh dika Kiyai,
pan kinon anantun.

Prajurit berandal semua gundul, di dalam loji pucat, mereka semua


bagaikan mayat roman mukanya, Kyai Mojo ditawari, hai kamu Kyai,
kemudian disuruh menawar.

41. Gih punapa kang dika karëpi, aja gawe rusoh, timbalane Tuwan
Gupërnure, Kyai Maja alon matur aris, mung panuwun mami,
ngulami kang agung.

Ya pa yang kamu kehendaki, jangan membuat kerusuhan, perintah


Tuan Gubernur, Kyai Mojo pelan berkata lembut, hanya permintaan
saya, ulama yang banyak.

161
42. Keh ngulami tanah nagri Jawi, ing panuwuning ngong, pan sadaya
dados sareh kabeh, kula ingkang nyëkël mëdanani, sugal wong
Kumpëni, wong gëdhe tan angsung.

Banyak ulama di tanah kota Jawa, permintaan saya, semua menjadi


sabar semua, saya yang memegang menjadi wedana, kasar orang
Kumpeni itu, orang besar tidak memberi.

43. Sabab Ratu Jawa sampun kardi, panggëdhene kang wong,


sakathahe para ngulamane, Mas Pëngulu nëgari kakalih, ing
Surakarteki, tuwin Ngayogyeku.

Sebab Ratu Jawa sudah bekerja, pembesarnya orang itu, seluruh para
ulamanya, Mas Penghulu kedua kota, di Surakarta ini, dan Yogyakarta
itu.

4. Panggëdhene Kumpëni marëngi, nanging tanah Ngambon, tuwin


Bandha Mënadhu Tërnate, iku durung ana wong ngulami, iku den
lilani, Kumpëni gya nubruk.

Pembesar Kumpeni memperbolehkan, tetapi tanah Ambon, dan Banda


Menado Ternate, itu belum ada orang-orang yang menjadi ulama, itu
diijinkan, Kumpeni segera menubruk.

45. Wus këcëkël Ki Maja mlas asih, brandhal ingkang benggol,


binalënggu jëmpole tangane, brandhal kodhen sami den bandani,
mangkat mring Sëmawis, lir këncana luru.

Kasihan Kyai Mojo sudah tertangkap, pemimpin berandhalnya,


dibelenggu ibu jari tangannya, para berandhal kecil semua diikat,
berangkat ke Semarang, bagaikan mencari emas.

---oooOooo---

162
PUPUH XXXVII
MASKUMAMBANG

1. Kyai Maja samarga-marga mlas asih, heh kanca wong Jawa, bok
dika këndhoni thithik, balënggune jëmpol ingwang.

Kyai Mojo di sepanjang perjalanan minta belas kasihan, hai teman


orang Jawa, sebaiknya kamu kendorkan sedikit, belenggu ibu jariku.

2. Mantri gladhag rëpot Kumpëni titindhih, sugal dennya ngucap,


tan aweh yen këndho tali, malah sisan piningsëtan.

Mantri gladak melapor kepada pemimpin Kumpeni, kasar dia berucap,


tidak boleh kalau mengendorkan talinya, bahkan dikencangkan sekalian.

3. Ngasih-asih Ki Maja maring Kumpëni, Tuwan tulung mentak,


balënggu den këndho iki, supaya sagëda salat.

Kyai Mojo minta belas kasih kepada Kumpeni, Tuan tolong minta,
belenggu dikendorkan ini, supaya bisa melakukan sholat.

4. Tradhak usah kluwar ikët taruk bësi, bëkti Tuwan Alah, kabar
lama adha jalmi, ing pësantren pohun apak.

Tidak usah keluar ikat taruh besi, bakti Tuan kepada Allah, kabar lama
ada orang, di pesantren pohon apa.

5. Suprandene denira bëkti ring Widi, rinilan Pangeran, mangsane


yen enjing ngaji, bukak Kur’an datan taha.

Walaupun begitu dia berbakti kepada Yang Maha Esa, Tuhan meridhoi,
saatnya ketika pagi hari mengaji, membuka Al Qur’an tidak malas.

6. Nyang namanya bagus alus itu jalmi, tangan tradak adha, bukak
Kur’an mawi sikil, kakinya wutuh kewala.

Yang namanya bagus halus itu manusia, tangan tidak ada, membuka Al
Qur’an memakai kaki, kakinya utuh saja.

7. Tradhak potong kakinya pan waras-wiris, itu Kyai Maja, banyak


bicara cariwis, Ki Guru anënggak waspa.

163
Tidak potong kakinya dan sehat-sehat saja, itu Kyai Mojo, banyak
bicara cerewet, Ki Guru menahan air mata.

8. Kyai Majati Ghapar amrëbës mili, lajëng lampahira, datan


kawarna ing margi, wus langkung ngloji Ungaran.

Kyai Majati Ghofar meneteskan air mata, terus perjalanannya, tidak


diceritakan di perjalanannya, sudah melewati loji Ungaran.

9. Pudhakpayung Sërondhol dipun margani, Jatingalih liwat, kocapa


nagri Sëmawis, Kumpëni upsir lan kopral.

Pudakpayung Srondol dilewati, lewat Jatingaleh, diceritakan kota


Semarang, Kumpeni opsir dan kopral.

10. Samya pëthuk Paterongan tata baris, Kumpëni wus tata, usare
samya jajari, ngapit munggeng kering kanan.

Semua menjemput di Peterongan mengatur barisan, Kumpeni sudah


bersiaga, pasukan berkudanya semua berjajar di sampingnya, mengapit
di kiri kanan.

11. Pan lëstari lampahe malëbeng ngloji, antawis rong dina, genira
sipëng Sëmawis, ingangkatakën tumulya.

Dan selamat perjalanannya masuk loji, sekitar dua hari, mereka


menginap di Semarang, kemudian diberangkatkan.

12. Mëdal nglaut linëpas marang Bëtawi, sampun numpak palwa, wus
mancal sangking Sëmawis, layar motha wus pinasang.

Diberangkatkan lewat laut menuju Betawi, sudah naik perahu, sudah


berangkat dari Semarang, layar tenda sudah dipasang.

13. Babar layar angin timur kang dhatëngi, neng tëngah nglautan,
silëm dharatan kaesi, sadina sawëngi prapta.

Membentangkan layar angin timur yang mendatangi, di tengah lautan,


tampak daratan menyelam, sehari semalam sampai.

14. Pra Kumpëni kang agung nagri Bëtawi, pëpak Kantor Bësar, kang
badhe kurmat manggihi, dhatëngipun Kyai Maja.

164
Para Kumpeni kota Betawi yang besar-besar, lengkap di kantor besar,
yang akan memberi hormat menemui, kedatangan Kyai Mojo.

15. Tan antara prapteng babagan Bëtawi, urmat mriyem munya, ping
pitu awanti-wanti, wusnya mëntas sangking palwa.

Tidak berapa lama pinggiran perahu sampai di Betawi, dihormati


dengan bunyi meriam, berulang-ulang tujuh kali, sesudah mendarat
dari perahu.

16. Sakathahe Kumpëni samya ningali, marang Kyai Maja, Kumpëni


kang bangsa alit, pan samya ngucap mangkana.

Seluruh Kumpeni bersama-sama melihat, kepada Kyai Mojo, Kumpeni


yang kecil-kecil, kemudian mengucapkan begini.

17. Itu jadi Kyai Maja kabar santri, këna apa karja, jadhi ojat nagri
Jawi, tan tulus dennya ngulama.

Jadi itu Kyai Mojo yang kabarnya seorang santri, kena apa kerja,
menjadi pembicaraan di kota-kota Jawa, tidak tulus menjadi ulama.

18. Sawusira malëbeng sajroning ngloji, sampun pinanggihan, para


jendral ing Bëtawi, tan winarna Kyai Maja.

Sesudah masuk ke dalam loji, sudah bertemu, para jenderal di Betawi,


tidak diceritakan Kyai Mojo.

19. Kawarnaa Kangjëng Sultan ing Mëtawis, kodrating Pangeran, Dul


Khamid Mirul Mukminin, wusnya kacakup Ki Maja.

Diceritakan Sang Sultan di Mataram, kodratnya Pangeran, Abdul


Hamid Amirul Mukminin, sesudah Kyai Mojo tertangkap.

20. Sapungkure Ki Maja adamël patih, pan jinunjung nama, Raden


Danukusumeki, turune Danukusuma.

Sesudah kepergian Kyai Mojo mengankat seorang patih, kemudian


mengangkat yang bernama, Raden Danukusumo ini, keturunan
Danukusumo.

21. Kang wus layar pan tëtëp dados pëpatih, tan antara lama, Raden
Prawiradirjeki, atamiyan bangsa Landa.

165
Yang sudah berlayar tetap menjadi patih, tidak berapa lama, Raden
Prawirodirjo, kedatangan tamu bangsa Belanda.
22. Namanipun Tuwan Rup ambëkta mori, langkung denya kathah,
ruruba badhe nyaosi, dhumatëng ing Kangjëng Sultan.
Namanya Tan Rup membawa kain kafan, sangat banyak, akan memberi
kain penutup, kepada Sang Sultan.
23. Lawan këstul jëne miwah obat mimis, prapteng ngarsanira,
Rahaden Wiradirjeki, Tuwan Rup lon tëmbungira.
Dan pistol emas serta obat mesiu, sampai di hadapannya, Raden
Prawirodirjo, Tuan Rup berkata pelan.
24. Ingkang mugi Raden Prawiradirjeki, kula den larapna, kature
dhatëng Sang Aji, kularsa nyaosi barang.
Semoga saja Raden Prawirodirjo, saya diantarkan, disampaikan Sang
Sultan, saya hendak memberi barang.
25. Anganthuki Raden Prawiradirjeki, sigra aparentah, mring
kancanira prajurit, ingkang nama Khaji Ngisa.
Raden Prawirodirjo mengangguk, segera memerintahkan, kepada
teman prajuritnya, yang bernama Haji Ngisa.
26. Lon angucap Wiradirja ring Kumpëni, heh Tuwan Rup sira, ja
nganggo cara Kumpëni, pigi turut Khaji Ngisa.
Prawirodirjo berkata pelan kepada Kumpeni, hai kamu Tuan Rup,
jangan memakai cara Kumpeni, pergi ikuti Haji Ngisa.
27. Pan lëstari lampahe prapteng Pëngasih, katur Kangjëng Sultan,
Kumpëni Rup ngasih-asih, ngrërëpa norakën jiwa.
Kemudian perjalanannya selamat sampai Pengasih, disampaikan kepada
Sang Sultan, Kumpeni Rup berbicara penuh belas kasih, memohon
merendahkan jiwa.
28. Matur alon Wëlandi rum mring Sang Aji, tan mawi sandhangan,
pake-pake cara Jawi, ature Gusti sumangga.
Orang belanda itu berkata pelan dan lembut kepada Sang Sultan, tanpa
pakaian, memakai pakaian cara Jawa, Sang Sultan berkata silakan.

166
29. Gih kawula nyaosi këstul lan mori, pënganggening bala, sarëban
miwah kulambi, kaparingna abdi Tuwan.
Ya saya memberi pistol dan kain kafan, pakaian pasukan, serban dan
baju, berikan kepada abdi Tuan.
30. Matur malih Rup Kumpëni mring Sang Aji, turnya kathah-kathah,
dhuh Gusti ywa panjang jurit, keh risak kanca kawula.
Kumpeni Rup berkata lagi kepada Sang Sultan, berkata banyak-banyak,
aduh Tuan jangan perpanjang peperangan, banyak yang rusak teman-
teman saya.
31. Tuwin abdi-abdi dalëm bangsa Jawi, inggih kathah risak, Kangjëng
Sultan amëthuki, aturipun Rup Walanda.
Serta abdi-abdi paduka bangsa Jawa, juga banyak yang rusak, Sang
Sultan menyambut, ucapan Rup Belanda.
32. Pun Rup sagah dados pathok ing Kumpëni, anggëring bicara,
amrih icaling ajurit, awit punika kendëla.
Si Rup sanggup menjadi perantara dari Kumpeni, setiap pembicaraan,
agar hilangnya peperangan, maka dari itu berhentilah.
33. Laminipun sawulan siyam wus abis, wau Kangjëng Sultan,
angajëng-ajëng Kumpëni, Tuwan Rup tan ana prapta.
Lamanya sebulan puasa sudah habis, Sang Sultan, menunggu-nunggu
Kumpeni, Tuan Rup tidak datang-datang.
34. Gënti kocap carita ingkang winarni, Tuwan Ota ika, wus mangkat
sangking Saruni, mëdal Mrinen sawadyanya.
Ganti yang diucapkan cerita yang diceritakan, Tuan Ota itu, sudah
berangkat dari Saruni, lewat Mrinen semuanya.
35. Pan akathah Kumpëni kang sangking jurit, upsir lan kapitan,
awangsul karsanireki, dhateng beteng roning kamal.
Dan banyak Kumpeni yang dari peperangan, opsir dan kapten,
kehendaknya kembali, ke benteng daun asam.

---oooOooo---

167
PUPUH XXXVIII
SINOM

1. Arëmpëg gennya lumampah, wus prapta ing Sumurpakis, sampun


majing beteng sigra, lawan Kurnel sampun panggih, tutur
solahireki, duk kalane aprang pupuh, wontën dhusun ing Kroya,
mungsuh Prawiradirjeki, lan maninge Den Basah Wirakusuma.

Serempak mereka berjalan, sudah sampai di Sumurpakis, sudah


masuk benteng dengan segera, sudah bertemu dengan Sang Kolonel,
menceritakan tindakannya, pada waktu perang saling serang, di desa
Kroya, melawan Prawirodirjo, dan lagi Raden Basah Wirokusumo.

2. Lan Basah Gandakusuma, aprang Këdhungtawon sami, dina Rëbo


gennya aprang, ing Sapar wulanireki, ananging pur kang jurit,
duk aprang neng Tawonkëdhung, tutug gennya carita, ing dina lagi
marëngi, Kurnel mangkat sangking ring bitinganira.

Dan Basah Gondokusumo, mereka berperang di Kedungtawon,


mereka berperang pada hari Rabu, pada bulan Safar, tetapi sama
kuat berperangnya, ketika berperang di Kedungtawon, usai mereka
bercerita, pada hari yang sedang bersamaan, Sang Kolonel berangkat
dari bentengnya.

3. Duk kala ing pangkatira, sëngkalanira winilis, Arjuna tibeng


ing arga, warsa Ehe amarëngi, Kurnel angkatireki, wus budhal
sampun lumaku, wadyanira tut wuntat, tan dangu nulya ge prapti,
aneng dhusun Gëlagah kang linënggahan.

Pada waktu keberangkatannya, lambang tahunnya ditulis, Arjuna


tibeng ing arga (Arjuna jatuh di gunung), bertepatan dengan tahun
Ehe, keberangkatan Sang Kolonel, sudah berangkat sudah berjalan,
pasukannya mengikuti dari belakang, tidak lama kemudian segera
sampai, di desa Glagah yang diduduki.

4. Pan samya karya mondhokan, ing Glagah ingkang den jrëki,


pan akarya beteng samya, kalih dasa dintën dadi, priyayi kang
tut wingking, Behi Kramalëksaneku, bupatine satunggal, Ki
Tumënggung Sawunggaling, ingkang tumut ngwasani beteng
Gëlagah.

168
Kemudian mereka membuat tempat penginapan, di Glagah yang
didirikan, kemudian mereka membuat benteng, dua puluh hari jadi, para
priyayi yang ikut dari belakang, Hangabehi Kromoleksono, bupatinya
seorang, Ki Tumenggung Sawunggaling, yang ikut mengawasi benteng
Glagah.

5. Wus dadi beteng Gëlagah, sampun rampung ngalih maning, karya


beteng Bayëm desa, Ki Tumënggung Sawunggaling, Majir kinarya
biting, Behi Kramalëksaneku, pan namung kalih dina, punang
beteng nulya dadi, ënëngëna ing Bayëm caritanira.

Benteng Glagah sudah jadi, sudah selesai berpindah lagi, membuat


benteng di desa Bayem, Ki Tumenggung Sawunggaling, membuat
benteng di Majir, Hangabehi Kromoleksono, kemudian hanya dua hari,
bentengnya kemudian jadi, biarkan di Bayem ceritanya.

6. Gënti kocap ing carita, kaptin sira wong Kumpëni, aneng beteng
Bandhung jaga, pan atampa prentah sami, sangking Kurnel
Kumpëni, Kurnel Klerës namanipun, Kaptin Jinet namanya, kinon
sami karya biting, sigra mangkat Kapitan Jinet punika.

Ganti yang diceritakan di dalam cerita, si kapten orang Kumpeni,


berjaga di benteng Bandung, kemudian mereka menerima perintah, dari
Kolonel Kumpeni, Kolonel Cleerens namanya, Kapten Jinet namanya,
mereka disuruh membuat benteng, segera berangkat Kapten Jinet itu.

7. Sangking Bandung angkatira, damël biting ing Këmiri, kalawan


Jayanëgara, tumënggungipun ing Majir, amung satëngah sasi,
betengira wus barukut, kang beteng wus prayoga, Tuwan Kurnel
mantuk malih, dhatëng beteng Sumurpakis sapunika.

Dari Bandung keberangkatannya, membuat benteng di Kemiri, dengan


Joyonegoro, tumenggung di Majir, hanya setengah bulan, bentengnya
sudah rapat, bentengnya sudah pantas, Tuan Kolonel kembali lagi, ke
benteng di Sumurpakis sekarang.

8. Tuwan Kurnel lajëng prentah, dhumatëng Ota Kumpëni,


ngatërakën rangsum ika, dhatëng dhusun ing Tëlagi, saradhadhu
ing biting, kang kinengken sami ngrangsum, biting dhusun Tëlaga,
sëmana sampun lumaris, Tuwan Ota lumampah mëdal Cëngkawak.

169
Tuan Kolonel terus memerintahkan, kepada Ota Kumpeni, mengantarkan
rangsum itu, ke desa Telogo, serdadu di benteng, mereka yang disuruh
merangsum, di benteng desa Telogo, ketika itu sudah berangkat, Tuan
Ota berangkat lewat Cengkawak.

9. Kurnel lajëng alumampah, tan dangu nulya ge prapti, Sumurpakis


duk sëmana, caritane leren dhingin, Tuwan Ota winarni, prapteng
ing Cëngkawak sampun, panggihan lan Dipatya, kang juluk
Cakrajayeki, sampun tata genira sami panggihan.

Sang Kolonel terus berangkat, tidak lama kemudian segera sampai,


di Sumurpakis ketika itu, ceritanya berhenti dahulu, diceritakan Tuan
Ota, sudah sampai di Cengkawak, bertemu dengan Sang Adipati, yang
bernama Cokrojoyo, sudah bersiap mereka bertemu.

10. Wusnya panggih dyan lumampah, kalawan Kyai Dipati, Adipati


Cakrajaya, wus dandan agya lumaris, lawan Ota Wëlandi, wus
lëpas ing lampahipun, sarëng prapteng barisan, gennya kraman
amiranti, ingkang nama Den Basah Wirakusuma.

Sesudah bertemu kemudian berangkat, dengan Kyai Adipati, Adipati


Cokrojoyo, sudah bersiap-siap segera berangkat, dengan Ota Belanda,
sudah jauh perjalanannya, begitu sampai di barisan, tempat para makar
bersiaga, yang bernama Raden Basah Wirokusumo,

11. Wontën ing Duduwan desa, Kapitan Ota puniki, balane Raja
Sëbandar, akathah ingkang prajurit, Raja Sëbandar nami, ratune
nëgara Butun, Landa mëdal Bakungan, apisah lampahireki,
wontën marga lan Dipati Cakrajaya.

Berada di desa Duduan, Kapten Ota ini, pasukannya Raja Sebandar,


banyak prajuritnya, namanya Raja Sebandar, raja negara Buton,
Belanda lewat Bakungan, berpisah perjalanannya, di perjalanan dengan
Adipati Cokrojoyo.

12. Mëdal ing Jati Pëndhawa, lajëng anjog Jënar desi, nulya lajëng
kalërësan, këraman lajëng pinanggih, nëngna ingkang pinanggih,
kraman Wirakusumeku, kocap Kapitan Ota, rangsume pan
sampun prapti, aneng beteng ing desa aran Tëlaga.

Mewat di Jati Pendowo, terus langsung menuju desa Jenar, kemudian


terus kebetulan, terus bertemu dengan para makar, biarkan yang bertemu,

170
dengan makar Wirokusumo, diceritakan Kapten Ota, rangsumnya sudah
sampai, di benteng di desa yang bernama Telogo.

13. Praptane punang kiriman, kang nama rangsum Kumpëni, sampun


dalu praptanira, kabage sakancaneki, saradhadhu wëradin, kang
samya atampi rangsum, gënti wau kocapa, këraman Jënar winarni,
sami aprang lan Dipati Cakrajaya.

Kedatangan kiriman itu, yang dinamakan rangsum Kumpeni, sudah


malam sampainya, dibagikan kepada semua temannya, serdadu merata,
mereka yang menerima rangsum, ganti yang diceritakan, para makar
Jenar yang diceritakan, mereka berperang dengan Adipati Cokrojoyo.

14. Adipati Cakrajaya, ngandika marang kang abdi, lah sapa namaning
kraman, ingkang dadya senapati, abdinya matur aris, kang kalih
nama Tumënggung, Suradirja satunggal, Cakradirja senapati,
langkung rame tarunge wontën ing Jënar.

Adipati Cokrojoyo, berkata kepada abdinya, nah siapa nama makarnya,


yang menjadi panglima perang, abdinya menjawab pelan, yang kedua
bernama Tumenggung, Surodirjo yang satunya, panglima perang
Cokrodirjo, sangat ramai pertarungannya berada di Jenar.

15. Këraman lajëng kasoran, genira wau ajurit, samya ngilen plajarira,
gëntiya ingkang winarni, Kapitan Ota prapti, sawadyane sami
wëruh, Dipati Cakrajaya, gennya aprang lajëng ngusir, karëpira
Kapitan anulungana.

Para makar kemudian kalah, dalam berperang, mereka ke barat


pelariannya, ganti yang diceritakan, Kapten Ota datang, beserta
pasukannya mereka melihat, Adipati Cokrojoyo, mereka berperang
kemudian mengusir, kehendak Sang Kapten akan menolong.

16. Sigra mriyëme Kapitan, angilen arëpireki, kraman ngilen


playunira, punang mriyëm wus arakit, Wëlanda bujung wani,
mangilen pambujungipun, ananging botën nyabrang, ëlëtipun
lepen alit, sigra mungal sënjata mriyëm ping tiga.

Segera meriam Sang Kapten, dihadapkan ke barat, para makar ke barat


pelariannya, meriamnya sudah siaga, Belanda mengejar dengan berani,
ke barat pengejarannya, tetapi tidak menyeberang, terhalang sungai
kecil, segera berbunyi senjata meriam tiga kali.

171
17. Mungal sangking sabrang wetan, mariyëm kang samya muni,
sëmana tan wontën angsal, bërandhale sampun tëbih, namung
tiyang satunggil, kang bëkta gëndera wau, kang kenging lajëng
pëjah, sëmpal uwange ngëmasi, apan rusak gënderane Suradirja.

Berbunyi dari seberang timur, semua meriam yang berbunyi, ketika


itu tidak mengenai, para berandalnya sudah jauh, hanya satu orang,
yang membawa bendera, yang terkena kemudian mati, lepas rahangnya
kemudian mati, dan rusak benderanya Surodirjo.

18. Mungal kaping kalihira, kajëng pëlëm ingkang kenging, nanging


nisip angsalira, punang pelor abaluki, oleh sirah priyayi, andhamoi
kang katuju, sirah sasisih këna, andhamoi angëmasi, Kya Dipati
Cakrajaya lampahira.

Berbunyi kedua kalinya, pohon mangga yang terkena, tetapi menyimpang


sasarannya, pelurunya membelok, mengenai kepala seorang priyayi,
ondomoi yang menjadi sasaran, kepala sebelah terkena, ondomoi mati,
Kyai Adipati Cokrojoyo berangkat.

19. Sëksana lajëng lumampah, Dipati Cakrajayeki, mangidul ing


lampahira, anjog dhusun ingkang nami, Dhudhuwan namaneki,
katuju barisanipun, Basah Wirakusuma, samantrine Ki Dipati,
ingkang nama Ki Rangga Martaprawira.

Kemudian segera berangkat, Adipati Cokrojoyo ini, ke selatan


perjalanannya, terus menuju desa yang bernama, Duduan namanya,
yang dituju barisannya, Basah Wirokusumo, beserta mantri Kyai
Adipati, yang bernama Ki Ronggo Martoprawiro.

20. Den Basah Wirakusuma, sigra dennya nata baris, kang wadya
sampun siyaga, bëkta waos amërapit, nulya dennya lumaris, wus
mëdal sangking ring dhusun, sadaya para kraman, wus sami
angati-ati, sarupane Dolah kalawan Den Basah.

Raden Basah Wirokusumo, segera dia menata barisan, pasukannya


sudah bersiaga, membawa tombak rapat sekali, kemudian mereka
berangkat, sudah keluar dari desa, semua para makar, mereka sudah
berhati-hati, seluruh Dolah dan Raden Basah.

21. Yen dinulu baris kraman, kadi kuntul nëba sabin, samya seta
klambinira, apan sami sërban putih, lir kapuk den wusoni,

172
këraman pikirnya guyub, sëmana para kraman, sëdyane angamuk
wani, rëmbagira sakathahe wadya kraman.

Kalau dilihat barisan makar, bagaikan burung kuntul turun ke sawah


bersama-sama, baju mereka semua berwarna putih, bagaikan kapas
dibersihkan, para makar pikirannya sudah sepakat, ketika itu para
makar, berniat mengamuk dengan berani, seluruh pasukan makar sudah
sepakat.

22. Gënti ingkang kawarnaa, prajurite Kya Dipati, sadaya sami


prayitna, wus tata ingkang prajurit, milanya ngati-ati, wus uning
kraman kapëthuk, brandhal sabarisira, mila samya ngati-ati, kang
prajurit wadyanira Ki Dipatya.

Ganti yang diceritakan, prajurit Kyai Adipati, mereka semua waspada,


sudah bersiaga prajuritnya, makanya berhati-hati, sudah mengetahui
para makar dihadang, para berandal beserta barisannya, maka mereka
berhati-hati, prajurit pasukan Kyai Adipati.

23. Wus sami ayun-ayunan, Den Basah lan Kya Dipati, sëmana
sampun cëlak, panggenan wadya lët sabin, waos pinasang sami,
barise Dipati pëngkuh, sënjata wus ngisenan, anulya nyënjata
wani, barisipun Ki Dipati tan mundura.

Mereka sudah berhadap-hadapan, Raden Basah dan Kyai Adipati,


ketika itu sudah dekat, tempat pasukannya terpisah oleh sawah, tombak
sudah mereka pasang, barisan Sang Adipati kokoh, senjata sudah diisi
mesiu, kemudian menembak dengan berani, barisan Ki Adipati tidak
akan mundur.

---oooOooo---

173
DAFTAR PUSTAKA

Cokrodiwiryo, R. Demang. 1854. Babad Perang Dipanagara lan Babad


Nagari Purwareja, Purworejo: tulisan tangan.

Departemen Pendidikan Nasional. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia


Pusat Bahasa, Jakarta: PT Gramedia.

Harjawiyana, Drs. Haryana, (dkk). 2001. Kamus Unggah-Ungguh Basa Jawa,


Yogyakarta: Kanisius.

Mardiwarsito, L. (dkk). 1992. Kamus Indonesia-Jawa Kuno, Jakarta: IKIP


Jakarta.

Moeliono, Anton M., (dkk), 2017. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi
Keempat, Jakarta: Balai Pustaka.

Nardiati, Sri (dkk). 1993. Kamus Bahasa Jawa- Bahasa Indonesia, Jakarta:
Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

Widada, dkk. 2000. Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa), Yogyakarta:


Kanisius.

Wojowasito, Prof. Drs. S. 1977. Kamus Kawi-Indonesia, Malang: CV.


Pengarang.

174
Tentang Pengalih Aksara/Bahasa

Nama Lengkap
: Witoyo, SPd, MM
Tempat, tanggal lahir
: Purworejo, 12 Maret 1960
Pendidikan
: 1. TK ‘Darmo Putro’ Banyuurip, Purworejo, tamat ta-
hun 1967
2. SD Negeri banyuurip, Purworejo, lulus tahun 1973
3. SMP ‘Sore’ Banyuurip, Purworejo, lulus tahun 1976
4. SMA Negeri Purworejo, IPA, lulus tahun1980
5. D2 IKIP Negeri Semarang, Bahasa Inggris, lulus ta-
hun 1983
6. S1 UST Yogyakarta, Bahasa Inggris, lulus tahun
2000
7. S2 Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto,
Magister Manajemen, lulus tahun 2007

Pekerjaan
: 1. Pegawai Negeri Sipil, guru SMP Negeri Sruweng,
Kebumen, tahun 1984 – 2002
2. Pegawai Negeri Sipil, guru SMP Negeri 30 Pur-
worejo, tahun 2002 – 2020
3. Pensiun per 01 April 2020

175
SINOPSIS

Naskah BABAD PERANG DIPANAGARA lan BABAD NAGARI


PURWAREJA (K.B.G. 5, Perpusnas RI) dialih-aksarakan dan dialih-
bahasakan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi 4 jilid. Jilid 1 terdiri dari 13
pupuh (Pupuh I - Pupuh XIII), Jilid 2 terdiri dari 12 pupuh (Pupuh XIV –
Pupuh XXV), Jilid 3 terdiri dari 13 pupuh (Pupuh XXVI – Pupuh XXXVIII),
dan Jilid 4 terdiri dari 12 pupuh (Pupuh XXIX – Pupuh L).
Di dalam buku Jilid 3 ini diceritakan bahwa semua pangeran Surakarta
dan orang Madura bersiap-siap mengiringi Pangeran Hangabehi. Di perjalanan
banyak pertanda buruk, Pangeran Hangabehi merasa akan kalah perang. Sultan
Heru Cokro Amirul Mukminin bersiap-siap di Kembangarum, mengepung
pasukan bantuan dari Surakarta di Kuwel. Banyak prajurit Surakarta mati,
dan banyak senjata dirampas, serta benteng Dilanggu dibakar.
Pangeran Hangabehi bertemu Jendral Panggen, dan memerintahkan
Kolonel Wibron menyerbu, pasukan makar kalah. Kumpeni minta bantuan
Sunan Solo. Raden Aryo Joyodiningrat dan pasukannya di Mojorogo
berperang, para makar melarikan diri di Banyubiru. Kumpeni di Kalitan
mendatangi para makar di Pecelengan. Sang Sultan kejatuhan peluru karaben,
dan semakin sial dalam perang karena takabur. Sang Sultan merasa kelak
takluk dan ditawan Kumpeni.
Pangeran Kusumoyudo sakit dan pulang ke Surakarta. Sang Sultan
Heru Cokro hendak takluk, mereka berunding dengan Tuan Komisaris. Sang
Jenderal hendak membujuk Heru Cokro ke Salatiga, tetapi tidak mau, malahan
Belanda dipanggil untuk bertemu di Joholanang. Sang Jenderal menyuruh
Setriwen dan Haji Ambyah. Sang Sultan tidak menemui, mewakilkan
Pangeran Hangabehi dan Kyai Mojo, tetapi ada kesepakatan.
Kumpeni membuat benteng Gembulan, kemudian berulang kali
berperang melawan para makar, dan para makar kalah. Sunan Surakarta
menyuruh Pangeran Kusumoyudo menyerbu ke Bagelen tempat para makar.
Hangabehi Resodiwiryo memerintahkan Gorowecono, Ki Wongsocitro,
dan Tirtoyudo untuk menunggu barang milik Sang Pangeran, Pangeran
Kusumoyudo di Loano. Barang-barang Pangeran Kusumoyudo dirampok
para makar dipimpin Kertopengalasan. Sang Pangeran sangat marah, segera
berangkat bersama Sang Kolonel berperang dengan para makar. Pasukan
Pangeran Kusumoyudo berhasil merampas kembali barang-barang miliknya.

176
Sungai Medono banjir, Sang Kolonel mengajak membuat jembatan.
Kemudian berangkat ke Purworejo, menginap di gunung Tawang. Sang
Pangeran dan Kumpeni berseberangan, Sang Pangeran ke Wonosobo, terus ke
Magelang. Sang Kolonel ke Loano.
Kolonel Cleerens hendak membuat benteng Pakis dan Kembar. Tuan
Kolonel membuat benteng Pakis, Pangeran Suryomataram membuat benteng
Kembar. Ki Resodiwiryo diangkat kedudukannya menduduki jabatan Bupati
Tanggung, bernama Ki Tumenggung Cokrojoyo.
Di Bendungan kedatangan berandal sangat banyak. Di Sumurpakis
Cokrojoyo diberi hadiah dua buah pistol oleh Jenderal De Kock karena
membuat dua benteng dan berperang tanpa kehadiran Kumpeni.
Sultan Abdul Hamid meminta pendapat Ki Mojo hendak menikah
dengan puterinya Kyai Abdul Ra’up, tetapi Ki Mojo tidak menyetujui. Kyai
Mojo diajak berunding oleh Kumpeni, Kyai Mojo setuju. Kyai Mojo kemudian
ditangkap, dan dibawa ke Semarang, kemudian ke Betawi.
Tuan Rup Kumpeni menemui Sang Sultan dengan berpakaian Jawa
serta memberi hadiah berupa pistol, kain kafan, pakaian pasukan, serban, dan
baju. Rup sanggup menjadi perantara Kumpeni agar hilangnya peperangan.
Tuan Rup tidak datang-datang lagi.
Ki Cokrojoyo mendapat surat dari Sunan Surakarta bahwa da diangkat
menjadi Bupati Tanggung dengan nama Adipati Cokrojoyo, menguasai
wilayah sebanyak lima ratus.

177
178

Anda mungkin juga menyukai