Anda di halaman 1dari 11

Babad Kemalon ( Pakunegara) Jilid I

Disusun guna memenuhi Mata kuliah Bahasa Jawa Sumber (1)

Pengampu : Dr. Hartini, M.Hum.

Disusun Oleh:
Galih Wisnubrata C0514022
Diandra Aisyah P C0514011

PRODI ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016
A. Pendahuluan

Dalam pupuh ke 1 Sinom babad kemalon (Pakunagara) diceritakannya perjuangan


Pangeran Adipati atau yang dimaksud adalah Raden Mas Said yang saat itu memanglah masih
menjabat sebagai Pangeran Adipati di Kerajaan Kartasura, namun kemudian beliau keluar dari
kerajaan karena ketidak setujuan beliau atas pemerintahan Paku Buwono II yang selalu memihak
kepada Belanda.

Sekitar tahun 1742 Raden Mas Said melakukan perang dalam periode kedua perjuangan
Raden Mas Said yang bergabung dengan Pangeran Mangkubumi yang juga sebagai mertuanya
bersama beberapa prajurit setianya yang terdiri dari berbagai suku di Nusantara untuk melakukan
serangan kepada kompeni Belanda. Beliau bersama prajuritnya dan Pangeran Mangkubumi
bermarkas di Candi yang dirasa letaknya lebih dekat dengan markas kompeni Belanda tersebut.
Setiap pagi harinya beliau bersama seluruh prajuritnya yang juga bersama Pangeran
Mangkubumi melakukan serangan kepada kompeni Belanda di Bukit Kemalon dengan
menggunakan strategi pengepungan terhadap markas kompeni tersebut.
B. Pembahasan

Dilahirkan dari rahim seorang wanita bernama Mas Ayu Senowati. Pada tanggal 4 Ruwah,
Jimakir 1650 Jawa atau 1725 Masehi, lahirlah seorang putra dari Pangeran Harya Prabu
Mangkunegara ini oleh Sunan Prabu Hamangkurat diberi nama Raden Mas Said.2 Pengasingan
ayahandanya yaitu Pangeran Mangkunegara atas perintah Sunan Paku Buwono II ke Tanjung
Harapan telah membuat Raden Mas Said tetap tumbuh remaja hingga dewasa namun tanpa peran
dan kasih sayang dari orang tuanya. Kehidupannya dan saudaranya dilukiskan sangat
menyedihkan.Hidup terlantar serta makan dan tidur tanpa memiliki tempat yang nyaman dan
kerap kali bercampur dengan para panakawan yaitu suatu tingkatan abdi dalem kerajaan yang
paling rendah.

Kurang lebih 16 tahun berjuang melakukan pemberontakan dan perlawanan terhadap


kekuasaan Pemerintah Kolonial, Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta, akhirnya
Raden Mas Said mendapatkan haknya sebagai cucu seorang raja Mataram, lalu tepat pada tahun
1757 Raden Mas Said mendirikan sebuah Kadipaten Mangkunegaran dan mendapat gelar
sebagai raja pertama Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara I. Raden Mas Said
juga dikenal dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Haryo Mangkunegara Senopati
Ngayudo Lelono Joyoamiseno Satriyo Tomo Mentaram dan juga gelar dari pihak pemerintah
kolonial yaitu Pangeran Samber Nyawa karena sepanjang pertempurannya selalu menewaskan
lawannya.

Perjuangan periode kedua merupakan masa perjuangan Raden Mas Said ketika bergabung
dengan pamannya yaitu Pangeran Mangkubumi untuk bersama-sama melawan kekuatan Paku
Buwono II dan pemerintah kolonial.Pada periode ini juga timbul suatu perselisihan yang terjadi
antara Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.Perselisihan tersebut menimbulkan suatu
akibat yang dimana Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi sama-sama memutuskan untuk
berpisah dan berjuang masing-masing pada tahun 1752. Pada tahun 1743, Paku Buwono II
memutuskan untuk segera memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram yang pada
awalnya berada di Kartasura menuju kira-kira 12 Km kearah sebelah timur di dekat Sungai
Solo.Paku Buwono II kemudian mendirikan sebuah istana baru Surakarta. Perpindahan pusat
pemerintahan tersebut pada akhirnya tidak memberikan hasil keadaan yang stabil dari
sebelumnya di Kerajaan Mataram, dikarenakan masih adanya bentuk pemberontakan yang
dilakukan oleh 2 kubu kekuatan sekaligus yaitu kubu Pangeran Mangkubumi dan kubu Raden
Mas Said.

Rasa kekecewaan Pangeran Mangkubumi terhadap keadaan tersebut pada akhirnya membuat
Pangeran Mangkubumi memutuskan untuk keluar dari istana dan kemudian bergabung bersama
dengan Raden Mas Said dengan tujuan untuk bersama-sama melawan kekuatan pemerintah
kolonial dan Paku Buwono II. Strategi yang akan dilakukan untuk memperkuat ikatan antara
Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said yaitu melalui pernikahan antara Raden Mas Said
dengan seorang putri dari Pangeran Mangkubumi yang bernama Raden Ajeng Inten atau yang
biasa disebut Kanjeng Ratu Bendara. Acara pernikahan tersebut kemudian diadakan pada tanggal
15 Besar, taun Be, 1672 Jawa atau sekitar 1747 Masehi.

Pertempuran demi pertempuran melawan kekuatan pemerintah kolonial terus dilakukan oleh
Pangeran Mangkubumi bersama Raden Mas Said. Kekuatan kedua Pangeran tersebut sangat
berpengaruh terhadap semangat para pengikut setia keduanya, sehingga timbullah banyak
dukungan dari rakyat yang masih setia kepada mereka dan beberapa kerabat keratin khusus
diberikan kepada kedua pangeran tersebut untuk terus melakukan perlawanan terhadap
pemerintah kolonial demi cita-cita bersama.Pasukan perlawanan dari kedua kekuatan pangeran
tersebut pada ahun 1747 diperkirakan berjumlah 13.000 orang prajurit. Sedangkan pada saat itu
pasukan yang dimiliki oleh pemerintah kolonial sangat lemah dan bahkan pada tahun 1748
Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said menyerang Istana Surakarta dan serangan
tersebut sangat membahayakan keadaan istana.

Pada tahun 1750 pertempuran yang semula dilakukan bergerilya berubah menjadi
pertempuran yang terbuka dan terang-terangan. Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said
semakin memperluaskan wilayah kekuasaan.Pangeran Mangkubumi berhasil menaklukkan
wilayah bagian barat yaitu terdiri dari wilayah Bagelen, Pekalongan, Batang, dan
Pemalang.Sedangkan Raden Mas Said juga berhasil menaklukkan wilayah bagian timur yaitu
yang terdiri dari wilayah Madiun, Magetan, dan Ponorogo. Penaklukkan wilayah-wilayah
tersebut tercantum dalam Babad Kemalon (Pakunagara) Jilid I pupuh ke-10 Mijil dan pupuh ke-
11 Durma, yang isinya sebagai berikut:

“ Sabab ingkang rama Sri Bupati


Lamine rawoh

Saking Pakalongan sawadyane

Sanget dennya angowah-owahi

Mring Pangran Dipati

Sanes adatipun”.

(Pupuh ke-10 Mijil, 1981: 333)

“ Jeng Pangeran Dipati Mangkunegara

Sabalane miranti

Atengara budhal

Ngetan marang Kaduwang

Sipeng kalih dalu margi

Prapta Kaduwang

Kitha kapanggih sepi

(Pupuh ke-1 Durma, 1981 :343)

Ki Tumenggung Suradirja ka Magetan

Munggeng elor bibiting

Gunung pan dhinungkar

Jurang Lamuk wastanya

Madiun Pangeran kakalih

Rama Saputra

Martalaya satunggil”.

(Pupuh ke-11 Durma, 1981: 345)

Yang artinya : kemudian rama Sri Bupati tiba dari pekalongan, mereka mengadakan perubahan
kepada Adipati, perubahan itu berbeda dengan yang lain. Kanjeng Adipati Mangkunegara,
lengkap dengan balatentaranya telah siap sedia, terdengarlah aba-aba untuk berangkat menuju
kearah Kaduwang, bermalam 2 malam dalam perjalanan, tiba di Kaduang Kota terlihat sepi. Ki
Tumenngung Suradirja ke Magetan, disebelah utara didirikan pertahanan, gunung di bongkar,
yang bernama jeram Lemuk, sedangkan di Madiun ada dua orang Pangeran ayah dan anak,
Martalaya.

Kerukunan yang terjalin antara Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said berubah
menjadi suatu perselisihan.Perselisihan tersebut disebabkan oleh dua persoalan yang amat kecil
yaitu Raden Mas Said telah tidak sopan dan tidak mematuhi perintah Pangeran Mangkubumi.
Hal tersebut bermula ketika Raden Mas Said telah berhasil menaklukkan wilayah Ponorogo dan
berhasil memenggal kepala Bupati Ponorogo yaitu Suradiningrat. Sebagai bukti untuk
ditunjukkan kepada ayah mertua bahwa Raden Mas Said telah menaklukkan wilayah Ponorogo,
Raden Mas Said kemudian mengirimkan bingkisan berupa penggalan kepala bupati
Suradiningrat kepada Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi merasa hal tersebut kurang
sopan, hingga akhirnya Pangeran Mangkubumi memutuskan untuk segera menyusul Raden Mas
Said di Ponorogo. Setelah sampai di Ponorogo, Pangeran Mangkubumi disambut hangat oleh
Raden Mas Said, semua hasil jarahan berupa barang-barang perhiasan, emas, dan intan
dipersembahkan kepada Pangeran Mangkubumi tidak ketinggalan pula anak peninggalan Bupati
Suradiningrat sebanyak 70 orang. Kesalahan kembali dilakukan oleh Raden Mas Said, hal itu
dikarenakan Raden Mas Said telah menyembunyikan dua orang wanita penari bedaya yang
bernama Srimpi dan Sampet. Setelah Pangeran Mangkubumi mendengar bahwa Raden Mas Said
menyembunyikan dua orang penari bedaya dan tidak dihaturkan, Pangeran Mangkubumi
sangatah marah terhadap Raden Mas Said. Kemudian Raden Mas Said dipanggil oleh Pangeran
Mangkubumi, akan tetapi Raden Mas Said tidak segera menghadap beliau. Kemarahan Pangeran
Mangkubumi ditanggapi dengan serius oleh Raden Mas Said, Raden Mas Said merasa kecewa
dan sejak saat itu berniat untuk memisahkan diri dari Pangeran Mangkubumi. Keputusan untuk
memisahkan diri dengan Pangeran Mangkubumi membuat sedih Raden Mas Said. Perpisahan
tersebut dilakukan dengan cara mengutus Mas Rangga untuk menyampaikan surat kepada
Pangeran Mangkubumi. Peristiwa tersebut dituangkan dalam Babad Kemalon (Pakunagara) Jilid
I dalam pupuh ke-11 Durma dan pupuh ke-12 Asmaradana, yaitu sebagai berikut:

“Wong Panaraga wus lumayu sasaran


Sedaya sampun gusis

Lancang-linancang

Samya arebut gesang

Sarta binereg turanggi

Dipatinira

Suradiningrat neggih

Pan kacandhak tinigas mustakanira

Katur Pangran Dipati

Lawan kang atmaja

Kacandhak wonten ngrana

Kacepeng gesang

Kalawan wonten malih

Kala aprang bedhahe ing Panaraga

Ing Sebtu Wage Uni

Salikur kang wulan

Ing Sasi Dulkangidah

Tunggil Jimawal kang warsi

Sengkala Swara

Turonggon Bahing Jalmi

Sirahipun Dipati Surodiningrat

Katuaken Nerpati

Srta kabandhangan
Katur keng Rama Nata

Rereb Pangeran Dipati

Neng ngara-ara

Injingipun lumaris”.

(Pupuh ke-11 Durma, 1981: 347-348)

“ Semana Pangeran Dipati

Wuwuh awon mring kang rama

Nanging sanget panlangsane

Wali-wali aputusan

Serat dhateng Mas Rangga

Bebolehi purwanipun

Katura marang kang rama “.

(Pupuh ke-12 Asmaradana, 1981: 367)

Yang artinya : pasukan ponorogo melarikan diri, semuanya telah melarikan diri, saling
mendahului, mereka mencari hidup, diserbudengan kuda Adipatinya, ialah suradiningrat. Adipati
tertangkap dan di penggalnya, kepalanya diserahkan kepada pangeran Adipati bersama anaknya,
tertangkap di Ngrana, tertangkap hidup-hidup, dan ada beberapa orang lagi yang tertangkap.
Pertempuran Ponorogo , jatuh pada hari Sabtu Wage, tanggal 21, bulan Dulkanggidah tahun
Jimawal, sengkala Swara Turunggo Bahing Bumi. Pangeran Adipati bersedia bertanggungjawab
ranadipura, disediakan suatu daerah, berdasarkan perintah sang Nata, dan atas perkenaan mas
Rangga, tanah pengalusan tersebut, diminta oleh mas Rangga.

Perlawanan terus dilakukan oleh Raden Mas Said hingga akhirnya Raden Mas Said
berhasil menaklukkan daerah Madiun dan membunuh Bupati Purwanegara. Pangeran
Mangkubumi mengetahui bahwa Madiun telah berhasil dikuasai oleh Raden Mas Said maka
Pangeran Mangkubumi segera memutuskan untuk menyerang Raden Mas Said dan pada
akhirnya terjadilah pertempuran hebat antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi.
Raden Mas Said kemudian mendapat dukungan dari para bupati daerah Bangwetan, sehingga
Pangeran Mangkubumi dengan terpaksa menarik mundur pada prajuritnya. Para prajurit
Pangeran Mangkubumi banyak yang tewas dan terluka parah. Raden Mas Said beserta
rombongannya kemudian melanjutkan perjalanan ke Sukowati, dan di sepnjang perjalanan
rombongan Raden Mas Said sering mendapat serangan tiba-tiba dari pemerintah kolonial dan
juga dari para prajurit Pangeran Mangkubumi, namun serangan tersebut akhirnya dapat
dikalahkan oleh Raden Mas Said beserta para rombongannya.

Penyelesaian mengenai pembagian wilayah dan kedudukan Raden Mas Said


Mangkunegara I dilakukan pada hari Sabtu Legi tanggal 5 Jumadilawal, tahun Alip Windu
Kuntara 1683 atau 17 Maret 1757. Pada tanggal tersebut dilakukan penandatanganan surat
perjanjian antara Paku Buwono III, Hamengku Buwono I yang diwakili oleh Patih Danureja, dan
Pangeran Mangkunegara I. Penandatanganan surat perjanjian tersebut dilakukan di daerah Kali
Cacing, Salatiga dan perjanjian tersebut disebut Perjanjian Salatiga. Menurut Perjanjian Salatiga
bahwa kedudukan Mangkunegara I tidak berbeda dengan raja-raja jawa, akan tetapi terdapat
beberapa ketentuan. Ketentuan tersebut yaitu Mangkunegara I tidak diperkenankan duduk di atas
singgasana, tidak diperbolehkan mendirikan “Bale Witana” (Balai Penghadapan), tidak
diperbolehkan membuat alun-alun beserta sepasang pohon beringin dan tidak diperbolehkan
memutuskan hukuman mati. Berdasarkan Perjanjian Salatiga tersebut, Mangkunegara I juga
berhak atas tanah seluas 4.000 karya, tersebar mulai dari Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko,
Hariboyo, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan selatan dari jalan
post Kartasura – Solo, Mataram (ditengah-tengah kota Yogyakarta) dan Kedu. Perjanjian
Salatiga merupakan bukti bahwa perjuangan Raden Mas Said atau Mangkunegara I selama 16
tahun dan bukan merupakan hal yang sia-sia. Hasil dari perjuangan tersebut adalah berdirinya
Kadipaten Mangkunegaran. Kadipaten Mangkunegaran berdiri bukan didasarkan pada belas
kasihan atau berupa hadiah, melainkan atas dasar perjuangan dengan kemampuan dan kekuatan
Mangkunegara I yang didukung oleh segenap keluarga, para kerabat dekat, dan rakyat setianya.
Dalam perjuangan selama 16 tahun tersebut tidak terlintas sedikitpun rasa untuk menyerah,
Mangkunegara I tetap kuat dan bertahan menghadapi tekanan musuh. Perjuangan Mangkunegara
I beserta para kerabat dan rakyat dilandaskan pada falsafah “Tri Darma”, yaitu “ Mulat Sarira
Angrasa Wani ( kenalilah dirimu sendiri, dan jadilah kuat serta pandai ), Rumangsa Melu
Handarbeni (anggaplah milik praja juga mulikmu), Wajib Melu Hangrungkepi (kewajiban untuk
siap sedia membela kepentingan praja).
C. Nilai Moral

Nilai moral yang ada dalam babad ini adalah

a. Kerja keras (kerja keras RM Said untuk mendapatkan haknya serta untuk mendirikan
Mangkunegaran dengan banyaknya halangan dapat dihadai oleh beliau)
b. Kerja sama ( kerja sama antara pangeran mangkunegaran dengan pangeran Mangkubumi
dalam memghadapi Belanda)
c. Pantang Menyerah ( RM said butuh waktu 16 tahun untuk mendirikan Kadipaten
Mnagkunegaran, yang berarti beliau mempunyai semangat yang tinggi dan rasa pantang
menyerah.)
Daftar Pustaka

KI Himodigdoyo, Ki Soeharto, Babad Kemalon. Jakarta. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan. 1981

Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991)

Anda mungkin juga menyukai