Anda di halaman 1dari 171

Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi para

pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi


pengetahuan dan pengalaman.

Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk


melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kepunahan, dengan cara mengalih mediakan
dalam bentuk digital.

Proses pemilihan buku yang dijadikan objek alih media


diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia,
maupun kondisi fisik.

Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari


kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek
buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan
kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital
sesuai kebutuhan.

Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari


buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.

Salam pustaka!

Team Kolektor E-Book


PENDEKAR MAJAPAHIT
INDRA - SAMBADA
Jilid 1

Karya : KUSDIO KARTODIWIRJO


Gambar : OYI SOEDOMO
Penerbit : SINTA - RISKAN

Pustaka Koleksi : pak Aditya Indra Jaya


Image Source : Awie Dermawan
Convert by : Eddy Z
Jan 2019, Kolektor - Ebook
UNTUKKU SENDIRI

Ku tulis apa yang dapat ku khayalkan,


Ku susun apa yang dapat ku rangkaikan,
Namun kemampuanku terbatas,
Kadang – kadang tanganku berhenti,
Tak mau mengikuti kata hati.

Kini aku menyerah,


hanya inilah yang dapat kupersembahkan,
sekalipun hanya merupakan sejimpit garam,
yang segera larut di Samora tak berbekas.

Untukku, anak isteriku tersayang,

dan untukmu, yang selau rindu akan hiburan.


BAGIAN I

Dialun-alun Kepatihan di Kota Raja nampak banyak Tamtama hilir mudik menunjukkan kesibukan
yang lain dari pada hari biasanya. Kereta-kereta para senopati Manggala Tamtama kelihatan berhenti
berderet-deret didepan samping Istana. Para Tamtama pengawal penjaga keamanan Istana Kepatihan,
semua siap siaga, berdiri tegak berjajar rapat merupakan barisan penghormatan didepan pura Pintu
gerbang lstana Kepatihan. Pada hari itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada berkenan mengadakan
pasewakan paripurna di Istana Kepatihan, yang dihadiri oleh Sang Senopati Manggala Yudha, lengkap
beserta Catur Tunggal. Senopati Muda Manggala Tam tama Samudra, Senopati Muda Manggala
Tamtam, Darat, Se-nopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja dan tidak ketinggalan Senopati
Muda Manggala Narapraja Gusti Pangeran Pekik.

Indra Sambada sebagai Manggala Muda Tamtama pengawal Raja hadir pula untuk mendampingi Sang
Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti Adityawardhana. Gus ti Adityawardhana adalah
berasal dari tanah Melayu, tetapi sejak usia belasan tahun beliau telah mengabdi dikerajaan Majapahit.

Beliau saudara sepupu dengan Pangeran Adityawarman, ialah konon dalam ceritera sejarah
Pangeran Adityawarman, adalah sahabat karib daripada Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada. Pangeran
Adityawarman juga memegang jabatan tinggi di Majapahit hingga berusia 46 tahun. Baginda Maharaja
Majapahit berkenan mengangkat Pangeran Adityawarman sebagai wakil berkuasa penuh ditanah
Melaju, dan kemudian beliau bergelar Raja. Semula beliau hanya menguasai Jambi, kemudian meluas
dan pusat kekuasaannya berpindah dekat Pagaruyung di Minangkabau. Pada akhir abad ke XIV beliau
bersama-sama dengan pasukan Majapahit berhasil menghancurkan keradjaan Sriwidjaja. Kemudian
tanah Melayu menjadi Negeri sejajar dengan Negeri-negeri sahabat yang lazim disebut "Mitreka Satata",
walaupun merupakan daerah Nuswantara yang di naungi atau discbut Kabaca.

Dalam Pasewakan paripurna itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada berkenan memberikan keterangan
tentang adanya gerombolan besar bajak laut yang terdiri dari bangsa Cina dan kini mengganas
melakukan pcmbajakan-pembajakan disepanjang selat Karimata hingga disepanjang laut Jawa. Bukan
hanya perahu-perahu nelayan dan perahu perahu dagang yang dirampoknya, bahkan perahu-perahu
dari kerajaan Kota Waringin yang memuat barang-barang antaran bulubhakti untuk Sri Baginda
Maharaja dibajaknya pula. Dari hasil karya Tamtama Nara Sandi. yang dipimpin oleh Tumenggung
Cakrawirya mendapat penjelasan, bahwa gerombolan bajak laut itu barsarang di Pontianak, sebuah kota
dipantai Pulau Tanjung puri bagian Selatan, pantai sebelah utara selat Karimata.

Orang-orang pribumi daerah itu dirampok harta kekayayaannya, dan kemudian diusir dari daerah itu.
Kalimantan Barat kekuatan gerombolan bajak laut diperkirakan kurang lebih 1000 orang jumlahnya
belum terbitung jumlah anggauta keluarganya. Mereka adalah terdiri daripada bekas Tamtama
samudera Kerajaan Cina yang memberontak dan kemudian melarikan diri dari Kerajaan Cina. Karena
tidak berani kembali kenegeri asalnya, mereka bergabung menjadi satu merupakan gerombolan besar
dan membajak dilautan. Dengan mengarungi laut Cina Sclatan mereka menyusuri pantai Malaka menuju
bandar Singgapura dari kerajaan Sembilan Negeri, dan kemudian menyeberangi laut Cina Selatan,
melintasi selat Karimata untuk kemudian tiba dan menetap di Pontianak. Hingga kini mereka
mempertahankan diri bersarang tetap dan menguasai daerah Pontianak dan sekitarnya.

Telah dua kali Kerajaan Kota Waringin mengadakan serangan langsung ke Pontianak tapi tak berhasil
menun dukkan.

Oleh Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada dijelaskan pula, bahwa kegagalan serangan dari Kerajaan

Kota Waringin dikarenakan kurang telitinya memperhitungkan kekuatan lawan. Serta siasat-siasat
penyerangan yang kurang sempurna.

Disamping memperhitungkan jumlah kekuatan lawan, seharusnya diperhitungkan pula daja kekuatan
dalam krida yudha perseorangan dari fihak lawan, jang ternyata mereka adalah sebahagian besar terdiri
dari bekas Tamtama pula. Pun tempat kedudukan dari fihak lawan harus mendapat perhatian, dalam
waktu mengadakan serangan.

Selesai Sang Patih Mangkubumi Gadjah Mada memberikan keterangan yang panjang lebar, mengenai
gerombolan bajak laut yang bersarang di Pontianak itu. Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra
segera membeberkan peta bumi dari daerah yang menjadi tujuan sasaran akan penyerangan.

Beliau memberikan penjelasan-penjelasan mengenai tempa pertahanan lawan serta keadaan alam
dari daerah sekitarnya. Untuk tidak mengalami kegagalan, maka oleh Sang Senopati Manggala Yuda
Gusti Harja Banendra diputuskan, penyerangan dilakukan dari pantai dan daratan pedalaman.

Tamtama Samudra sebagai penyerang dari pantai di pimpin oleh Sang Senopati Muda Manggala
Tamtama Samudra Gusti Baratarajasa, Scdangkan penyerang dari daratan pedalaman dilakukan oleh
Tamtama darat terpilih sebanyak 1000 orang dipimpin oleh Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja,
Tumenggung Indra Sambada, dengan dibantu oleh Tumenggung Cakrawirya dari tamtama Nara Sandi,
yang telah mengetahui dan menguasai keadaan daerah lawan.

Disamping itu diharapkan pula datangnya bala bantuan Tamtama beserta tambahan perbekalan dari
Kerajaan Kota Waringin yang akan langsung menggabung pada saat dan tempat yang ditentukan. Hari
penyerangan penumpasan geromlolan bajak laut telah pula ditentukan, ialah pada malam pertama,
bulan purnama, duapuluh hari lagi. Setelah perintah-perintah dengan penjelasannya diterima oleh para
Manggala dengan saksama, maka pasewakan paripurna segera dibubarkan.

Dalam berjalan berdampingan, Sang Senopati Mucla Manggala Tamtama pengawal Radja menepuk
bahu Tumenggung Indra Sambada, seraya berkata : — Dimas Tumenggung Indra ! Tunjukkan sekali lagi
akan kemampuanmu menjunjung titah Gusti Patih dalam menunaikan tugasmu, dan pertahankanlah
nama gelarmu. "Banteng Majapahit". Aku percaya penuh akan berhasilnya dengan gemilang.---

---- Kesempatan untuk menunjukkan dharmabakti hamba ini, tak akan hamba sia-siakan. Hanya doa
restu Gusti Senopati supaya menyertai hamba. — Indra Sambada menjawab dengan singkat.

Kini masing-masing diliputi oleh kesibukan kearah persiapan untuk melaksanakan tugas. Dalam
kesibukan mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tugasnya itu. Indra Sambada
terkenang kembali akan riwayat dirinya.
*

**

B A G I A N : II

M A T A H A R I telah condong kearah Barat, mendekati Cakrawala. Cahaja kemerah-merahan dan


cemerlang cerah menyinari buana, menandakan bahwa hari telah hampir senja, yang sebentar lagi akan
berganti dengan sang malam.
Seorang pemuda berwajah tampan, berbadan tegap dan berpakaian sebagai seorang saudagar kaya,
sedang menuntun kudanya, memasuki halaman sebuah rumah makan yang besar, didekat bandar
pelabuhan Surabaja. Ia bercelana sutra biru de gan kain sarung sulaman beraneka warna yang dilipat
setinggi lututnya, sedangkan sehelai sutra kuning melintasi pundak dan menutup dadanya yang bidang,
sebagai bajunya. Rambutnya berombak, terurai sampai dipundaknya, dan didahinya melingkar pita
berwarna merah tua, selebar tiga jari, sebagai ikat kepalanya.

Dipinggang kiri, tergantung sebuah keris berwarangka emas murni dengan bertakhtakan berlian,
sedangkan dipinggang sebelah kanan tergantung sebuah kantong, yang terbuat dari kulit sampi yang
halus, selebar kira-kira satu jengkal. Dipergelangan tangan kirinya yang kekar, terlihat memakai sebuah
gelang akar bahar hitam mengkilat.
Setelah menambatkan kudanya yang kelihatan letih sekali, dan memperbaiki letak bajunya jang kusut,
dengan tenang ia melangkahkan kakinya menuju langsung memasuki ruangan makan jang lebar itu. Ia
menganggukkan kepalanya, sebagai tanda memberi hormat kepada para tamu lainnya yang sedang
makan, dan mengambil tempat kosong disuatu ruang makan tersebut. Dengan tenang ia menarik kursi,
dan segera duduk menghadap meja didepannya.

Pelayan rumah makan segera mengantarkan dengan hormat dan sopan, makanan dan minuman yang
telah dipesannya. Tangp menghiraukan sekitarnya, ia mula makan hidangan yang disajikan didepannya
dengan lahap sekali, seolah - olah telah lama ia menahan lapar.

Sedang ia asyik makan, tiba-tiba seorang tamu yang duduk jauh disudut depannya, berteriak
mengaduh dan jatuh tersungkur dilantai dengan berlumuran darah.

Sebatang belati menancap dibahu kiri sebelah belakang orang itu.

-- Indra Sambada terpaksa berhenti makan, dan dengan matanya yang tajam ia mengikuti kejadian
yang tiba tiba itu. Keributan segera terjadi diruang rumah makan tersebut. Seorang tamu berpakaian
sebagai orang bangsawan, bertubuh tinggi kurus, berusia kurang lebih 40 tahun, menyerang dengan
tinjunya, kearah scorang tamu lain, yang ternyata adalah orang yang melemparkan pisau belati tadi.
Melihat pakaian dan roman mukanya orang yang diserang oleh bangsawan itu adalah orang asing.
Matanya sipit, warna kulitnya kuning ke-merah-merahan, kepalanya gundul.

Ia berkumis panjang, tetapi tipis dan jarang. Bentuk badannya gemuk pendek. Dari pakaiannya yang
menyelubungi badannya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang pelaut Cina. Ia adalah scorang Cina
yang datang dengan kapal, dibandar Surabaya.

— Serangan tinju dari seorang bangsawan yang tiba-tiba dapat dielakkan oleh si orang Cina tadi,
dengan tangkas dan mengagumkan. Ia mengelakkan pukulan tinju yang berbahaja, hanya dengan
memiringkan badan dan menundukan kepalanya, dengan masih tetap dalam sikap duduk, tidak bergeser
sedikitpun.

Pada saat tinju sibargsawan jatuh pada sasaran kosong, tangan kiri si Cina secepat kilat menjulur,
untuk menangkap pergelangan tangan lawan.

Si bangsawan yang mempunyai kemahiran dan pengalaman luas dalam ilmu perkelahian, segera
menarik tinjunya dengan cepat, dan membuka kepalan tangannya, untuk kemudian dirobah menjadi
gaya tebangan, tertuju kearah tengkuknya si orang Cina tadi.

Perobahan serangan itu sangat cepat hingga tidak mungkin dapat dielakkan untuk kedua kalinya.
Karena lawan yang diha
dapinya, berada dalam posisi duduk dikursi. Tetapi sebelum pukulan tebangan sampai pada sasarannya,
bangsawan tadi tclah jatuh berguling dilantai, dengan tangan kanan erat menekan pada perutnya sendiri
sebelah kiri, menahan rasa sakitnya karena terkena tendangan kaki yang dilancarkan oleh si-Cina.

Para tamu tain yang tidak mau terlibat dalam perkelahian, segera meninggalkan rumah makan itu,
sedangkan pemilik rumah makan berteriak minta tolong pada orang-orang yang berada dijalan besar
dengan maksud untuk menghentikan perkelahian tadi. Tetapi kiranya teriakan tadi sia-sia belaka, piring-
pring, gelas dan lain-lain yang masih berisikan hidangan makanan, yang berada diatas meja dihadapan
orang Cina, jatuh berantakan pecah dilantai.
lndra Sambada masih tetap berada dikursinya, mengawasi jalannya perkelahian dengan seksarna.
Tetapi ia belum berani untuk campur tangan. Dalam otaknya berkecamuk ber-tubi-tubi pertanyaan.
Apakah sebenarnya latar belakarg dari perkelahian itu?. Semuanya tidak mampu ia menjawabnya. Sebab
musabab dari perkelahian itupun ia tidak mengetahuinya.
Kini ia bernafsu besar ingin mengetahui peristiwa kejadian yang berada di hadapannya itu. Pada saat
lndra Sambada masih terbenam dalam angan-angan yang penuh dengan pertanyaan, si orang
bangsawan yang jatuh berguling dilantai, telah bangkit kembali, dengan menggenggam keris terhunus
ditangannya. la bangkit berdiri dengan berteriak lantang:

- - Bangsat bajak laut Cina! serahkan dirimu, bila kau masih ingm hidup! — Siorang Cina menjawab
dengan nada teriakan pula, tetapi dalam bahasanya sendiri, yang tidak dapat dimengerti oleh Indra
Sembada. Tetapi jelas menunjukkan gerakan untuk melawan, karena ternyata tangan kanannya cepat
menghunus pisau belati yang panjangnya kurang lebih dua jengkal dan berdiri tegak, siap menghadapi
segala kemungkinan serangan-serangan yang datang dari lawannya.
Pada waktu yang bersamaan itu, orang yang jatuh tersungkur dengan berlumuran darah telah bangkit
pula. Dengan tangan kanannya mendekap bahu kiri yang terluka tadi, ia lari menuju ke-pintu, yang
merupakan satu-satunya jalan keluar dari rumah makan itu. Ia berdiri di-tengah-tengah pintu dengan
maksud untuk hadang siorang Cina.

— Tuanku Tumenggung Cakrawirya ! Bangsat Cina itu jangan diberi kesempatan untuk meloloskan
diri!, demikian ia berkata tertuju kepada si bangsawan tadi. — Kita tidak perlu mendengarkan kata-
katanya yang kita tidak tahu artinya itu. Tetapi terang sudah, bangsat itu, adalah pengawal pribadi dari
pemimpin bajak laut yang merampas barang-barang antaran dari Kota Waringin untuk Gusti Sri
Baginda.—

— Durpada ! Jaga pintu keluar l—sahut bangsawan tadi dengan kata memerintah kepada orang yang
terluka pada bahu kirinya. Belum sempat Durpada menjawab si Cina menerjang kearah Durpada dengan
maksud hendak lari keluar. Tetapi dengan langkah yang tidak kurang cepatnya, Bupati Tamtama
Cakrawirya menyerang kearah punggung si Cina dengan keris yang terhunus. Dengan tangkas orang Cina
tadi membalikkan badannya, untuk menghadapi menyambut serangan yang datang dari belakang,
dengan sabetan pisau belatinya yang tepat mengenai ibu jari tangan kanan Bupati Cakrawirya. Sabetan
pisau belati yang tepat pada sasarannya, masih disusul pula dengan serangan tendangan kaki kearah
perut Cakrawirya. Keris terpental lepas dari tangan Bupati Cakrawirya dan terlempar dua langkah lebih,
jatuh dilantai. Bupati Cakrawirya terperanjat dan segera meloncat kebelakang dua langkah, untuk
menghindari serangan tendangan yang dilancarkan oleh si Cina.

Tetapi apa daya. Si Cina menerjang maju dan melancarkan serangan dengan pisau belatinya ber-tubi-
tubi. Ia merangsang maju terus kedepan menerjang lawannya. Gaya tusukan dalam sekejap mata
berrobah-robah menjadi sabetan tebangan kearah pinggang kanan kiri dan kembali lagi merupakan
gerak tusukan kearah ulu hati. Kini Cakrawirya kelihatan terdesak dan tidak berdaya. Hanya kelincahan
geraknya yang dapat menolong jiwanya. la menghindari serangan dengan meloncat kesamping kanan
dan kekiri, serta surut ke belakang. Tiba-tiba kaki si Cina melontarkan tendangan-tendangan berangkai
kearah lambung Cakrawirya.

Kaki si Cina tadi se-olah-olah merupakan baling-baling, silih berganti melontarkan serangan
tendangan yang berbahaja. Serangan tendangan yang tiba-tiba ini sama sekali tidak diduga oleh
Cakrawirya. Sungguhpun Cakrawirya adalah seorang Tarntama yang berpangkat Bupati dengan sebutan
Tumenggung Tamtama dari Pasakan Nara Sandi yang mempunyai pengalaman luas pula dalam pelbagai
macam pertempuran, tetapi setelah keris pusakanya lepas terlempar dari genggamannya bahkan ibu jari
tangan kanannya putus terbabat, ia kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Dengan demikian dalam
menghadapi lawan yang tangguh itu, kini ia tidak berdaya sama sekali. Senjata lain ia tidak
membawanya. Satu-satunya harapan, ialah bantuan dari Lurah Tamtama Durpada, tetapi ini tidak
mungkin membawa perobahan yang menguntungkan baginya, karena disamping Durpada terluka pada
bahunya, pun diketahui, bahwa ia tidak membawa senjata apapun. Dengan demikian harapan satu-
satunya ini pun telah lenyap dari angan-angannya. Tidak heranlah, apabila ia terdesak dalam keadaan
yang membahayakan jiwanya.

Kursi-kursi dan meja-meja telah terserak berak karena keterjang, baik oleh Cakrawirya maupun oleh
siorang Cina tadi. Jarak antara tempat perkelahian dengan tempat duduknya Indra Sambada, kini tinggal
lima langkah lagi. Indra Sambada melihat jelas, bahwa wajah Cakrawirya pucat pasi, menunjukkan rasa
putus harapan. Setelah Indra Sambada mengetahui sepintas lalu persoalan perkelahian, walaupun
belum jelas keseluruhannya, ia dapat menarik kesimpulan, bahwa Cakrawirya dan Durpada adalah
hamba petugas kerajaan, sedangkan Cina itu adalah salah satu anggauta bajak laut yang sedang di intai
oleh hamba petugas Tamtama nara sandi kerajaan.

Orang Cina yang sedang melancarkan serangan tendangan yang hampir mengenai tepat pada
sasarannya, tiba-tiba berteriak kesakitan dan jatuh duduk, untuk tidak dapat berdiri lagi. Tepat dibawah
kedua lututnya tertancap masing-masing sebuah pisau kecil yang lazimnya disebut taji. Tusukan kedua
buah taji tadi tepat mengenai urat besar yang menggunakan telapak kakinya. Tidak heran, apabila
siorang cina segera jatuh dan tidak dapat bangkit berdiri lagi. Melihat, bahwa orang cina jatuh duduk
dilantai dan tidak dapat bangkit berdiri lagi. Durpada segera menutup pintu dan menguncinya dari
dalam. Dengan mudah si cina diringkus dan diikat kedua belah tangannya kebelakang.

Cakrawirya masih juga ternganga, melihat jatuhnya si orang cina tadi. la hampir tidak percaya pada
apa yang dilihatnya sendiri. Pertolongan yang tiba-tiba dari seorang saudagar yang duduk disudut, dapat
dikatakan, mengembalikan jiwanya -

yang hampir melayang menuju ke alam Baka. Lernparan tajinya beruntun yang sekaligus ke dua-dua2nya
tepat pada sasarannya yang dituju, adalah merupakan kejadian yang ia tidak pernah menyaksikan
sebelumnya, dengan mata kepalanya sendiri. Baru sekaranglah ia percaya, bahwa orang yang demikian
mahirnya dalam ilmu pelemparan taji itu, sebenarnya ada. Bahkan menolong jiwanya pada saat ia
hampir menyerahkannya. Dan kini orang itu berdiri dihadapannya.

— Saudara saudagar penolong! — tanyanya Cakrawirya kepada Indra Sambada. — Siapakah nama
dan gelar saudara? Kami berdua sebagai hamba petugas kerajaan, menyampaikan terima kasih kita yang
tidak terhingga. Demikianlah Cakrawirya mulai berkata.

Dengan tenang Indra Sambada mendekati Cakrawirya, serta menjawab dengan sopan dan sikap
merendah. -- Perkenankanlah saya berkenalan dengan tuan — sambil membungkukkan badannya - dan
tempat tinggal saya adalah dikota Kebanjaran Agung Bondowoso. Maafkan atas kelancangan saya, akan
keberanian turut campur tangan dalarn urusan tuan. ---
Ah, bukan pada tempatnya saudara minta maaf kepada saya. Bahkan pertolongan saudara ini akan
saya laporkan kepada atasan saya, agar saudara mendapat hadiah yang setimpal — jawab Cakrawirya
dengan mengulurkan tangan, yang disambutnya oleh Indra Sambada.

— Silahkan duduk untuk bercakap-cakap, agar kita saling lebih mengenal.

Mereka berdua segera mengambil tempat dan duduk berhadap-hadapan, sedangkan Durpada
menyusul kemudian, dan mengambil tempat duduk disebelah Cakrawirya.

— Kenalkan dulu disebelah ini, adalah anak buahku, bernama Durpada lurah Tamtama — Cakrawirya
berkata. Indra Sambada menganggukkan kepalanya tertuju kepada Durpada yang disambutnya dengan
anggukan kepala pula, sambil bersenyum. — kemahiran saudara, melempar taji, sangat mengagumkan
kami. Siapakah gelar saudara sebenarnya ? — tanya Cakrawirya.

--Pujian tuan berlebih-lebih. Sesungguhnya, ketepatan lemparan taji saya tadi, hanya suatu kebetulan
saja.

Dan pula saya hanya seorang hamba biasa, yang tidak mempunyai gelar ataupun pangkat apa-apa.—
Indra Sambada menjawab menjelaskan — Jika sekiranya tidak mau dipuji, baiklah, akan kita kenang
nama saudara selamanya. — Tumenggung Cakrawirya melanjutkan bicara.

— Kami berdua, sesungguhnya telah ber-bulanbulan ditugaskan di Surabaya, untuk menangkap salah
satu anggota bajak laut yang berkeliaran di bandar Surabaya. Mereka menurut hasil penyelidikan,
bersarang di daerah Kerajaan Kota-waringin, dan orang Cina itu, adalah salah satu anggotanya yang kami
pernah jumpai pada setengah tahun berselang di bandar Tuban — sambil menunjuk dengan jari
telunjuknya kepada si orang Cina, yang telah diikat dan duduk dilantai.

— Maka dengan demikian, bantuan saudara bukan hanya menyelamatkan jiwa saya, tetapi besar
artinya pula bagi Kerajaan. Hal ini akan kita haturkan langsung kehadapan Gusti Mangkubumi Sang Patih
Gajah Mada di Majapahit, dan sebaiknya kita berangkat bersama-sama malam ini juga, deagan
membawa tawanan Cina itu.

— Kata permintaan Cakrawirya tertuju kepada Indra Sambada itu, diucapkan dengan kesungguhan
hati, bahkan dengan penuh pengharapan, bahwa permintaan pergi bersama menghadap Sang
Mangkubumi Patih Gajah Mada, tentu akan disambutnya dengan girang. Percakapan terhenti sejenak,
karena pemilik rumah makan dan pelajannya yang sedang sibuk menyiapkan air panas di pinggang dan
kain pembalut luka, atas perintah Lurah Durpada, telah datang untuk mengantarkannya.

Luka-luka Durpada dan luka-luka ibu jari Cakrawirya segera di obati dan dibalutnya.

— Maafkan, tuanku Tumenggung Cakrawirya, — tiba2 Indra Sambada memecah kesunyian, —


Bantuan saya yang tidak berarti ini, saya tidak berani mengharapkan hadiah sesuatu. Lagi pula, jika
seandainya saya tidak berkepentingan lain, permintaan tuan untuk bersama sama menghadap Gusti
Tuanku Mangkubumi Sang Patih Gajah Mada sangat mengembirakan. Dan kesempatan yang demikian
ini, bagi saya merupakan hadiah yang besar sekali.

Akan tetapi sungguh menyesal sekali, bahwa saya terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan tuan
dalam waktu sekarang, karena saya masih harus menyelesaikan sesuatu.
Jika diijinkan, perkenankanlah saya minta tempo selama sepekan lagi.— Demikian Indra Sambada
menjawab dengan kerendahan hatinya. Jawaban Indra Sambada itu didasarkan atas dua pertimbangan.

Pertama, ia harus menyerahkan surat dari ayahnya terlebih dahulu yang tertuju kepada Manggala
Yudha Senopati Perang Majapahit, Gusti Harya Banendra yang bergelar " Alap-Alap Ing Ayudha" di
istananya di Mcjoagung. Scclangkan yang kedua, mematuhi pesan ayahnya dan guru pendetanya,
supaya pada waktu menyerahkan surat itu, dapat menghadap seorang diri.

Maka ia perhitungkan sepekan lamanya, baru dapat memenuhi permintaan Cakrawirya untuk pergi
ke Kota Raja. Sesungguhnya, waktu sepekan adalah amat luas bagi Indra Sambada, karena jarak antara
Surabaja dengan Mejoagung dapat ditempuhnya daiam waktu satu hari berkuda. Sedangkan dari
Mojoagung ke Kota Raja dapat ditempuhnya kurang dari setengah hari berkuda.

Setelah Cakrawirya mendengar jawaban Indra Sambada yang wajar, dari jawaban mana dapat ditarik
kesimpulan, bahwa bantuan yang diberikan padanya tidak bermaksud mengharap sesuatu hadiah,
cialatn hatinya ia sa-ngat memuji akan ketinggian budinya.

— Baiklah, jika demikian,— Cakrawirya menyahut — Tetapi, saya harus berangkat waktu tengah malam
nanti, untuk menyelesaikan tugas kita ini. —

Sepekan lagi waktu tengah hari, saya akan menjemput kedatangan saudara didepan pintu gerbang pura
Istana Kepatihan di Kota Raja. Hanya sayang terpaksa saya tidak dapat menemani saudara dalam
menyelesaikan urusan saudara itu. Apabila saudara memerlukan sesuatu bantuan berupa ap,pun,
saudara dapat langsung kegedung Kebanjaran Agung Surabaya.

Dengan tidak menunggu jawaban dari Indra Sambada, Cakrawirya memalingkan kepalanya kepada
Lurah Durpada, dan berkata dengan nada memerintah seorang bawahan — Durpada! kau lekas pergi
sekarang juga menuju kegedung Ke-banjaran Agung, dan sampaikan surat ini. Isinya ialah, minta
bantuan pengawalan secukupnya untuk membawa tawanan ke Kota Raja malam ini juga. Dan yang
kedua, supaya saudara Indra Sambada selama di Surabaya, diperlakukan sebagai tamu punggawa
Narapaja.

Berkata demikian ia sambil menyerahkan sepucuk surat yang baru saja ditulisnya, kepada Durpada
yang berada disampingnya. Setelah ia menerima surat dan memberikan tanda hormat dengan
membungkukkan badannya, maka cepat Lurah Durpada melangkah keluar dari rumah makan itu.

Tidak lama kemudian, delapan punggawa praja berkuda dan bersenjatakan pedang serta panah telah
datang bersama Lurah Durpada. Setelah menyiapkan segala sesuatunya dan ta-wanan Cina yang telah
diikat tangannya dinaikkan kekuda, untuk kemudian diikat erat lagi dengan pelana kuda tadi, maka
segera berangkatlah rombongan berserta tawanan dengan dipimpin oleh Bupati Tamtama Nara Sandi
Cakrawirya dan di-dampingi Lurah Tamtama Durpada.

Dikala itu, telah menjelang tengah malam. Oleh pemilik rumah makan, Indra Sambada dipersilahkan
bermalam dirumahnya, dan disambutnya dengan ramah sekali. Hal ini dikarenakan setelah pemilik
rumah makan mengetahui, bahwa bangsawan yang membikin ribut tadi, adalah seorang Bupati
Tamtama. Lagi pula semua kerugian yang dideritanya telah dibayar, bahkan lebih dari jumlah kerugian
yang semestinya, oleh Bupati Tamtama Cakrawirya tadi.
Setelah Indra Sambada berkemas dan masuk kekamar tidur, yang telah diatur sangat rapih, maka
segera ia merebahkan badannya. Kini ia baru merasakan lelahnya. Tetapi meskipun badan merasa
sangat lelah, tidak dapat ia segera tidur. Berulang-ulang ia mencoba memejamkan matanya, tapi
kembali peristiwa yang baru saja terjadi, mengganggu ketenangan perasaannya. Waktu dini hari telah
tiba, belum juga ia dapat memejamkan matanya.

Indra Sambada bangkit dan duduk bersemadi. Selesai bersemadi, kembali ia merebahkan badannya,
dan segera dapat tidur dengan pulas. Waktu ia bangun dan membuka jendela, ia terperanjat karena
waktu telah esok pagi-pagi. Sinar matahari memancar cerah menyilaukan pandangan matanya. Segera ia
bangkit dan keluar menuju kekamar mandi.

Setelah berkemas dan bersemadi sembahyang sebentar, ia keluar untuk melihat kudanya yang
kemarin malam telah di lupakan karena kesibukan yang dihadapi. Tetapi ternyata, kudanyapun telah
mendapat perawatan yang baik oleh rumah makan itu.

Untuk menyingkat waktu, serta untuk menghindarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak


dikehendaki, maka sengaja ia tidak singgah digedung Kebanjaran Agung Surabaya. Ia langsung berkuda,
menyusuri tebing kearah hulu sungai Brantas menuju ke Mojoagung, setelah mana ia minta diri pada
pemilik rumah makan.

**

B A G I A N : III

MOJOAGUNG adalah kota yang indah, terkenaI akan kebersihannya dan kemegahan candi-candinya.
Jalan-jalan yang lebar dihiasi dengan pohon rindang dikanan kirinya, melintasi kota silang-menyilang.
Kiranya tepat pula dinamakan Mojoagung, karena kota itu memang kota Tamtama yang indah.

Disepanjang jalan yang dilalui Indra Sambada, selalu ia berjumpa dengan para Tamtama yang sedang
berjalan-jalan secara berkelompok, ataupun secara sendiri-sendiri. Mereka pada umumnya masih muda
remaja.

Pakaian seragam yang serba merah dengan berseret pita putih dilengan dan dicelana sebelah kanan
kirinya, membuat resab dipandangnya. Ada pula yang berpakaian seragam hijau dengan berseret putih,
dan dipinggangnya tergantung sebuah pedang. Ikat kepalanya pita dari sutra putih selebar tiga jari.
Sungguh membanggakan bagi yang melihatnya. Dalam hatinya Indra Sambada memuiji akan kegagahan
para Tamtama Kerajaan itu.

Andaikan kelak ia dapat memimpin Tamtama yang sedemikian perkasanya, alangkah bahagianya ---
demikian suara bathinnya.

Setelah Indra Sambada tiba di alun-alun, ia langsung menuju ketempat penambatan kuda, untuk
kemudian berjalan kaki kearah Istana Senopaten. Kini ia telah sampai didepan pura pintu gerbang yang
sangat megah.

Didepan pura kanan kiri, berdiri tegak bagaikan patung. Dua Tamtama dengan pedang terhunus,
digenggam erat-erat lurus kemuka, melekat pada badan dengan mata tajamnya kemuka. Dari jauh
terlihat diatas pura pintu gerbang, patung burung „alap-alap" yang sedang mementangkan sayapnya,
sebagai lambang keagungan gelar ,,Alap-alap ing ayudha".

Setelah Indra Sambada memberi hormat kepada Tamtama pengawal ia memasuki pintu gerbang tadi
dan menuju balai pengawalan. Dua orang Tamtama pengawal bangkit berdiri, dan menyambut
kedatangan seorang tamu yang masih asing baginya. Mereka mempersilahkan Indra Sambada masuk
kedalam balai pengawalan, dan dengan wajah yang ber-sungguh-sungguh menanyakan maksud
kedatangannya.

Keris pusaka Indra Sambada tidak ketinggalan dalam pengawasan pengawal pula. Untuk memenuhi
peraturan yang berlaku bagai seorang tamu yang tidak dikenalnya, maka keris pusaka dimintanya pula
untuk ditinggalkan dibalai pengawalan, pada waktu Indra Sambada akan menghadap Sang Senopati.
Setelah diterangkan bahwa kedatangan Indra Sambada adalah sebagai utusan dari Bupati Karya Laga,
Empu Istana merangkap punggawa Natapraja di Kebanjaran Agung Bondowoso, dan akan menghaturkan
surat kehadapan pribadi Gusti Harja Banendra Manggala Yudha, dengan disertai bukti menunjukkan
suratnya, maka seorang pengawal segera meninggalkan balai pengawalan untuk menghadap pada Sang
Senopati.

Tidak lama kemudian, tamtama kembali, dan mempersilahkan Indra Sambada menghadap kehadapan
Sang Senopati Perang, ,yang sedang duduk diruuang pendapa tempat penerimaan tamu. Beliau duduk
diatas permadani yang sangat indah, dengan didampingi oleh pembantu pribadinya Bupati Anom
Tumenggung tamtama Sunata. Dengan jalan berjongkok, Indra Sambada memasuki ruang pendapa yang
lebar itu. Setelah mengambil tempat dan memberikan sembah, ia menghadap dan berkata pelan —
Hamba Indra Sambada dari Kebanjaran Agung Bondowoso, menghadap Tuanku Gusti Manggala Yudha,
untuk menghaturkan sepucuk surat dari ayah hamba yang rendah — Selesai kata-katanya, ia segera
menyerahkan surat ayahnya yang diterima sendiri oleh beliau.

Dengan tidak berkata sepatahpun Sang Senopati memandang kearah Indra Sambada dengan sinar
matanya yang tajam sambil menerima surat dengan tangan kanannya. Kembali Indra Sambada
menundukkan kepalanya, sebagai seorang murid dari Guru Pendeta Badung dan dari Karya Laga
ayahnya, ia cepat bersemadi untuk mengumpulkan cipta, rasa dan karsa kembali yang kemudian
disalurkan melalui sinar wajahnya untuk menolak daya kekualan pandangan sang Senopati, yang segera
pula dirasakan oleh beliau, bahwa daya kekuatan pandangannya memantul kembali.
Sebagai seorang yang telah memiliki ilmu kebathinan yang tinggi, beliau menyambut kembalinya tenaga
bathinnya dengan bersenyum. Dalam hatinya beliau memuji akan daya kekuatan tenaga bathin yang
dimiliki oleh Indra Sambada. Segera beliau memejamkan matanya sesaat, untuk dapat mengenang
kembali, orang yang duduk dihadapanya, pada masa yang lampau.

Ternyata gelar beliau sebagai "Alap-alap ing ayudha", bukan gelar yang tidak ada artinya. Beliau
bcrbadan tinggi besar. Sinar matanya tajam ditambah sepasang alisnya yang tebal menunjukkan wajah
yang angker berwibawa. Diatas kepalanya, mclingkar sisir emas, sedangkan rambutnya yang hitam
berombak, diikat kebelakang diatas tengkuknya dengan pita kuning sutra keemasan.

Bajunya hitam berseretkan kuning, tersulam dari benang emas, menutupi dadanya yang bidang
Dipergelangan tangannya, melingkar gelang emas, selebar dua jari, diukir gambar alap-alap yang sedang
membentangkan sayapnya dengan permata batu mi-rah sebesar kedelai. Beliau memakai cincin
bermata batu jamrut dijari manis tangan kirinya, sedangkan dijari manis tangan kanannya memakai
cincin tanda jabatan dan gelarnya, terbuat dari emas murni.

Celananya bludru hitam berseret kuning pula dengan memakai kain sarung dilipat berkampuh panjang
disibakkan kesamping, bercorak aneka warna dengan sulaman-sulaman benang emas dan perak.
Senyuman yang sering menghiasi bibirnya menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang bermurah
hati. Beliau ber-usia kurang lebih 50 tahun.

— Tidak kuduga, bahwa kau setelah dewasa menjadi pemuda demikian gagah dan perkasa demtiian
beliau mulai berkata. — Adakah ayahmu Tumenggung Karya Laga sehat wal afiat tanya beliau kemudian.

— Restu Tuanku Gusti Senopati, ayahanda dalam keadaan sehat. Hamba sebagai utusan beliau
menyampaikan sembah jawab Indra Satabada dengan hormatnya.

23

--- Indra Sambada ! Janganlah kau menghormatku berlebihan. Ketahuilah, bahwa kau sebenarnya masih
darah dagingku sendiri. Mendiang ibumu adalah saudara sepupu. Cukuplah kiranya apabila kau
menyebutku paman saja---, Sang Senopati meneruskan kata-katanya dengan diiringi senyuman mesra.
Beliau diam sejenak, untuk membaca isi surat dari Karya Laga, sambil berulang kali menganggukkan
kepalanya.

Kini tahulah sudah beliau akan isi surat dari Karya Laga, bahwa ia Karya Laga hendak mengabdikan
anak tunggalnya Indra Sambada kehadapan Sri Baginda Maharaja, sebagai Tamtama dibawah asuhan
Sang Senopati Gusti Harya Banendra.

Dahulu dikala Indra masih berusia 5 tahun, pernah pula Sang Senopati memintanya, agak kelak
setelah Indra Sambada dewasa dapat diasuhnya, karena Sang Senopati tidak mempunyai keturunan.

Dengan tersenyum puas Sang Senopati berkata : -- Jika memang demikian kehendakmu, aku turut
menyatakan syukur dan terima kasih kepada Dewata yang Maha Agung. Maka mulai hari ini kau telah
menjadi tanggunganku, dan kuangkat sebagai Tamtama Kerajaan. Mudah-mudahan kau tidak akan
mengecewakan ayahmu. Karena tercapainya cita-citamu yang tinggi itu, tergantung pada semangat dan
tingkah lakumu sendiri.---

--- Tumenggung Sunata ! – perintah beliau kepada Bupati Anom Sunata.

--- Antarkan Indra Sambada kepondok Lurah Somad, untuk diberikan tempat sementara yang baik,
serta segala sesuatu perlengkapan, pakaian dan lain-lain untuk calon Bupati Tamtama Indra Sambada
ini. Dan terangkan, bahwa jabatan calon Tumenggung Indra Sambada adalah sementara sebagai
pembantu pribadiku. Besok pagi, saya akan berkenan memeriksa sendiri. O, ya, kuharap kau berdua
menjadi sepasang pembantuku yang baik! --. Demikian ucapan kata-kata Sang Senopati yang tegas dan
jelas kepada Tumenggung Sunata.

--- Baik Tuanku Gusti Senopati. Segera akan hamba laksanakan sebaik-baiknya semua titah Gusti
Senopati---, jawab Sunanta pendek.

Namun demikian, ia sebagai Bupati Anon Tamtama, merasa tidak puas akan keputusan pengangkatan
Indra Sambada itu. 24 Ia tidak dapat mengerti, mengapa Indra Sambada yang baru saja datang
menghadap lalu diangkatnya menjadi calon Bupati Tamtama, sedangkan ia sendiri untuk mencapai
pangkat Bupati Anom Tamtama saja harus ditempuhnya bertahun-tahun dengan jerih payah dan
pelbagai macam ujian. Sungguh kebijaksanaan demikian adalah tidak adil, pikir Sunata. Dan pula, tiga
tahun ia telah menjadi pembantu pribadi Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra. Tetapi
baru sekarang inilah ia menghadapi suatu peristiwa yang demikian janggal. Adakah Indra Sambada
mempunyai kepandaian ilmu krida yudha yang tinggi ? Jika hanya didasarkan karena Indra Sambada
adalah masih mempunyai darah bangsawan yang berhubungan erat sebagai keluarga dengan Sang
Senopati saja, hal ini tidak dapat dibenarkan. Bukankah ia Sunata juga mempunjai darah bangsawan dari
keturunan Singosari ?

Apabila didasarkan keakhlian dalam ilmu krida yudha, mengapa tidak diuji terlebih dahulu, untuk
membuktikannya?

Tumenggung Raden Sunata, Bupati Anom Tamtama ini, mempunyai wajah yang tampan. Ia berusia
kurang lebih 20 tahun. Dari sikapnya kelihatan bahwa ia adalah seorang yang tangkas. Perawakan
tubuhnya tinggi, langsing berisi. Ia memakai pakaian seragam Tamtama, lengkap dengan tanda
pangkatnya, sebagai Bupati Anom Tamtama. Pakaiannya berseret kuning emas, diatas dasar warna
merah. Ikat kepalanyapun kuning sutra keemasan. Dalam berpakaian, ia sangat rapih sekali.

Setelah menghaturkan sembahnya, ia segera mengundurkan diri dengan mempersilahkan Indra


Sambada untuk mengikutinja. Senyum mengejek menyertai ajakanya, Indra Sambada segera
menghaturkan sembah sebagai tanda hormat, untuk mohon diri kepada Sang Senopati.

--- Indra Sambada! hari ini sebaiknya kau beristirahat dulu, dan besok pagi datanglah menghadap
kepadaku bersama Tumenggung Sunata. Ketahuilah, bahwa seratus hari lagi saya akan mengadakan
perlombaan kemahiran dalam krida yudha dikalangan seluruh Tamiama, atas perintah Tuanku Gusti
Mangkubumi Sang Patih Gajahmada. Pada kesempatan ini, hendaknya jangan nanti kau sia-siakan— -- -
Titah Gusti Pamanku akan kami junjung tinggi —

Berdua mereka berjalan menuju kepintu gerbang keluar, setelah mana Indra Sambada mengambil
keris pusaka dahulu dibalai pengawalan.

Mereka masing-masing berkuda berdampingan menuju tempat Lurah Somad, yang tidak berapa jauh
letaknya dari Istana Senopaten.

Somad adalah Lurah Tamtama yang diserahi tugas untuk mengurus segala sesuatu perlengkapan
Tamtama, termasuk pakaian, makanan, perumahan, dan lain sebagainya. Ia dahulu adalah Lurah
Demang desa biasa dari sebuah desa di Ponorogo. Pada waktu Sang Senopati bersama pasukannya yang
berjumlah lebih dari 1000 orang pulang dari Sembilan Negeri Kerajaan Malaka kembali melalui bandar
Pacitan, dan kehabisan perbekalan. Demang Lurah Somad menyerahkan semua milik padinya dan lain-
lain hasil bumi, bahkan rumah-rumah miliknya diserahkan pula, guna keperluan para Tamtama untuk
berkemah. Rakyat desanya dikerahkan untuk membantu memasak, agar dapat menghidangkan
makanan lezat guna menyambut kembalinya para Tamtama Kerajaan yang dipimpin oleh Sang Senopati
sendiri. Atas jasa-jasa itu, Pak Lurah Somad diangkat menjadi Lurah Tamtama, dengan tugas mengurus
semua perlengkapan Tamtama, sebagai kepala rtunah tangga.

Ia dahulu kaya raya, bukan karena hanya menjadi Lurah Desa saja, tetapi sesungguhnya ia menjadi
kepala rampok di daerah Ponorogo, yang disegani dan ditakuti oleh rakyat sekitarnya. Setelah ia merasa
telah lanjut usianya, maka ia insyaf dan menyerahkan harta bendanya untuk kepentingan Tamtama
Kerajaan, dengan pengharapan secara tidak langsung ia akan mendapatkan perlindungan untuk
selanjutnya. Lurah Somad, sebenarnya buta huruf. Untuk mendampingi pekerjaannya, selain orang-
orang pegawai bawahannya, adalah isterinya sendiri yang masih sangat muda belia dan cantik pula
parasnya. Isterinya ki Lurah Somad pandai pula dalam surat menyurat.

Tumenggung Raden Sunata yang selalu diliputi perasaan-perasaan kecewa akan tindak kebijaksanaan
Sang Senopati, kini timbul pikiran keangkuhannya, untuk menguji sendiri akan kesaktian Indra
Sambrada.

— Hai, Tumenggung Indra, katanya dengan memalingkan kepala kearah Indra Sambada, disertai
ketawa ejekannya.

---- Hadiah pangkat calon Bupati Tamtama yang baru kau terima kurasa tidak sesuai dengan corak
wajahmu yang kelihatan seperti pemuda desa itu. Jika aku yang menjadi engkau, lebih baik kutolak dan
kuserahkan kembali, agar nama kebesaran dari Gusti Senopati kita tidak suram karenanya. Kini kurasa
belum terlambat untuk kau menolaknya. Dari pada kau akan mengalami kegagalan nanti yang
memalukan

—Indra Sambada yang mendengarkan kata-kata Sunata dengan penuh penghinaan tadi, untuk sesaat
tidak dapat menahan amarahnya, yang segera meluap. Akan tetapi ia selalu ingat kembali kepada
petuah dan pesan pesan ayah serta Guru Pendetanya, bahwa harus selalu bersikap merendahkan diri.
Dengan menahan kemarahan, ia menjawab sambil bersenyum yang dipaksakan. — Kukira, hal itu adalah
urusan saya pribadi, dan bukan pada tempatnya saudara Tumenggung Sunata mempersoalkan pula akan
kebijaksanaan keputusan Tuanku Gusti Senopati ?

Jawaban yang wajar itu diterima oleh Sunata sebagai tantangan, sungguhpun Indra Sambada tidak
bermaksud sama sekali untuk menyakitkan hatinya.

Dengan nada penuh kemarahan yang disertai hinaan Sunata ber kata —Indra! tutup mulutmu, jika
kau tidak mau mendengarkan nasehatku. Aku Sunata mempunyai pangkat Bupati Anom Tamtama
dengan sebutan Tumenggung, bukan karena diberi belas kasihan, tetapi karena kesanggupanku untuk
menaklukkan siapa saja yang kuanggap lawan. Orang berpangkat sejajarku, apa lagi bawahanku, belum
pernah berani melawan kata-kataku. Kau masih seorang calon, yang dimataku belum mempunyai hak
akan perintah atas diriku, kini ternyata sudah ber lagak congkak. Jika kau memang seorang laki-laki
jantan, marilah kita menguji dahulu akan kekuatan kita. Jika kau takut dan jerih melihatku, sekalipun
kelak pangkatmu sebagai Bupati, tidak aku dibawah perintah seorang desa pengecut

-- Kata-kata yang penuh penghinaan ini, tidak dapat ditekan demikian saja oleh Indra Sambada.
Sebagai seorang yang masih muda usianya, rasa kemarahan yang ditahan-tahan saja akan meledak
keluar pula. Tetapi Indra Sambada masih sempat pula memikirkan dengan sadar, perlu atau tidaknya
tantangan ini dilayani.
— Tumenggung Sunata ! terserahlah, bagaimana kehendakmu, aku akan melayani sekedar untuk
memuaskan hatimu. — sahut Indra Sambada dengan tenang.

— Hai orang desa dungu ! ikutilah aku segera! — perintah Sunata kepadanya dengan disertai
cambukan ketubuh kudanya untuk mempercepat larinya, yang kemudian disusul oleh Indra Sambada.
Mereka berkuda menuju kelapangan luas dibelakang asrama Tamtama. Dikala itu, hari telah buta ajarn.
Matahari baru saja lenyap dari Cakrawala. Jalan yang menuju kearah lapangan dibelakang tembok
asrama sangat sunyi. Setelah sampai dilapangan tadi, Sunata segera meloncat turun dari kudanya, dan
langsung berjalan menuju ketengah-tengah lapangan. Indra Sambada mengikuti apa yang diperbuatnya.
Mereka kini sudah ber-hadap-hadapan, di-tengah-tengah lapangan yang luas itu.

— Indra ! — bentak Sunata. — Kau boleh memilih sekehendak hatimu, apakah kau ingin
bersenjatakan pedangku ini, ataukah kau bersenjatakan kerismu itu. Bagi saya, senjata apapun tidak
akan menjadi soal. Lekas, kau ambil keputusan! Aku ingin depat menghajar kesombonganmu itu. Baru
nanti, kau ketahui siapa Sunata. — Bentakan katanya tajam sekali.

—Sabarlah dahulu, saudara. Tumenggung Sunata,! Hendaknya kita cari pula manfaat dari perkelahian
ini, untuk kepenting in bersama. Saya mempunyai suatu syarat. Apabila kau menyetujui-nya. Seandainya
nanti saya menang, maukah kau menjadi sahabat karibku dengan kemurnian hatimu ? — Indra Sambada
menjawab tantangan tadi dengan tenang sekali, bahkan penuh penghargaan, supaya kata-katanya itu
dapat menginsyafkan Sunata. Ia tetap pada pendiriannya bahwa tidak menghendaki akan terjadinya
permusuhan, tetapi sebaliknya, ia menginginkan persahabatan dengan Sunata.

Tetapi karena Sunata telah sampai pada puncak kemarahannya, ia menyahut dengan suara yang
lantang.

— Masih berani juga kau menunjukkan kesombonganmu heh ! Ketahuilah, bahwa aku tidak hanya
menerima syarat yang kau ajukan, tapi aku akan berguru kepadamu, apabila aku kalah! --- demikian
Sunata menjawab dengan penuh keyakinan, bahwa ia dalam waktu singkat tentu dapat mengalahkan
Indra Sambada.

— Tapi jangan jika kau nanti tidak kuat menerima pukulanku, kau akan kukubur, supaya hilang
jejakmu semua—. Kata-kata Sunata ini diucapkan dengan sungguh-sungguh, dan penuh rasa kebencian.
Ia kini bukan hanya bermaksud untuk menundukkan Indra Sarnbada saja, tetapi bermaksud pula untuk
membunuh benar-benar, karena rasa kebenciannya telah meluap.

Dengan tidak memberi tahukan lebih dahulu, ia telah melancarkan serangannya dengan tinju yang
ber-tubi-tubi. Serangan yang tiba-tiba itu, telah diduga oleh Indra Sambada lebilt duhulu. Dengan diam
diri ia telah pula memusatkan kekuatan bathinnya untuk disalurkan keseluruh tubuhnya. Ia tidak mau
menyalurkan pemusatan kekuatan ketangan kanannya untuk menyambut serangan tinjunya Sunata,
karena ia masih ingin mengukur kekuatan lawannya lebih dahulu. Ternyata Sunata hanya mengandalkan
akan ketangkasannya dan gerakan kekuatan yang wajar belaka. Dengan tangkas Indra Sambada
membalik kesamping untuk mengelakkan serangan tinju lawannya. Tinju pertama Sunata yang tidak
mengenai sasarannya, disusul dengan tendangan kaki kiri kearah lambung Indra dengan ke uatan penuh,
bermaksud untuk segera mengakhiri perkelahian, dengan keyakinan kemenangan difihaknya Tetapi
perhitungan inipun ternyata dengan hasil yang sebaliknya. Kaki kiri Sunata yang sedang melancarkan
tendangan dahsyatnya dielakkan dengan menggeserkan langkah kekanan, dan secepat kilat tangan
kanan Indra menebang dengan telapak tangan kanannya, kebetis kaki kiri Sunata yang sedang menjulur
kearahnya. Tidak ayal lagi Sunata segera jatuh terguling kesamping kanan, mencium tanah. Sebagai
seorang perwira Tarntama yang mudah naik darah, Sunata secepat kilat bangkit kembali dengan
menghunus pedang tamtamanya yang tergantung dipinggang.

— Hai, bangsat dusun! jika kau berjiwa jantan, cabutlah kerismu ! — bentak Sunata — Jika sekarang
lehermu tidak putus karena pedangku ini, benar-benar aku akan berguru kepadamu! —

--- Jangan terlalu pagi kau berjanji akan mengangkatku sebagai gurumu, cukup bila kau mengakui aku
sebagai sahabat karibmu. Aku akan tetap melayanimu dengan tidak bersenjata. Dan saksikanlah, apabila
dalam sepengunyah sirih, pedangmu tidak dapat kurampas, aku menyerah kalah kepadamu. — kata-
katanya Indra tetap menunjukkan ketenangan, dan gertakannya penuh berarti.

Kata-kata Indra Sambada yang disertai pemusatan tenaga terdengar jelas dan berwibawa. Tetapi
Sunata sebagai seorang Bupati Anom Tamtama, yang banyak mempunyai pengalaman dalam
pertempuran, tidak dapat mudah percaya demikian saja sebelum ia membuktikan sendiri. Sungguhpun
dalam hatinya ia heran akan keberanian Indra Sambada untuk menyambut senjata pedang hanya
dengan bertangan kosong.

Kini Sunata mulai menyerang dengan tusukan2 pedangnya yang sangat berbahaya. Tusukan-tusakan
dan babatan pedang yang dilancarkan dengan ketangkasan sebagai Tamtama merupakan sinar putih
yang berkilauan, ber-gulung-gulung menyelubungi badan lawannya. Sesaat merupakan baling-baling
yang berputar menyilaukan mata, sesaat kemudian merupakan rangkaian tusukan bertubi-tubi, yang
sulit diduga arah sasarannya, ditambah pula susulan bacokan tebangan kekanan dan kekiri kearah leher,
pinggang, dan kaki Indra.

Ternyata dalam mempergunakan senjata pedang, Sunata mempunyai kemahiran yang cukup sempurna,
sebagai seorang perwira Tamtama. Indra Sambada sibuk menghadapi serangan-serangan maut yang
dilancarkan oleh Sunata. Akan tetapi Indra Sambada telah mempelajari tigabelas tahun lamanya ilmu
mempergunakan pelbagai macam senjata, dan ditambah dengan ilmu kekuatan bathin yang segera ia
dapat mengukur kemahiran ilmu pedang yang dimiliki olch Sunata serta cepat pula mengetahui segi-segi
kelemahan dari permainan pedang lawan.

Dengan demikian, ia bertekat akan melayani Sunata hanya dengan kekuatan dan ketangkasannya yang
wajar. Tiba-tiba ia meloncat tinggi berpusing, menghindari tebangan arah kakinya, dan jatuh berdiri
tepat Sunata. Kesempatan itu tidak di-sia-siakan lagi. Tangan kiri Indra segera memegang lengan tangan
Sunata dengan cengkeraman jari-jarinya, menekan pada jalinan syaraf, sedangkan tangan kanannya
memukul pergelangan tangan Sunata yang memegang pedang, dengan disertai bentakan yang
memekakkan telinga— Lepas pcdangmu! — teriaknya.

Gerakan serangan tadi hanya berjalan sekejap mata saja. Sebelum Sunata sempat untuk manghindari
pegangan tangan Indra pada lengannya, pergelangan tangan kanannya telah terasa sakit karena pukulan
lndra. Jari-jari tangannya terbuka se-olah-olah dirasakan kaku dan tidak dapat digerakkan lagi. Senjata
pedang ditangan Sunata terlepas, dan jatuh ditanah yang secepat kilat pula dipungut oleh Indra dengan
gerakan meloncat kesamping, sehingga mereka kembali ber-hadap-hadapan.

Sunata berdiri ternganga, dengan penuh rasa keheranan. Kini ia sadar bahwa kepandaian krida
yudhanya masih jauh dibawah Indra Sambada. Segera ia mendekati Indra Sambada dan mengulurkan
tangannya untuk minta berjabatan, sambil berkata! — Saya menyerah kalah, dan semua janjiku akan
kutepati. Sungguhpun Dimas Tumenggung Indra lebih muda dalam usianya, tetapi saya masih harus
banyak belajar darimu. Terimalah kesediaan saya ini atas kesudian dimas Indra Sambada menerima saya
sebagai sababat baik dan murid, sungguh menunjukkan budi luhur yang dimiliki oleh dimas Tumenegung
India.

— Kata-kata itu dikeuarkan dengan raut muka penuh rasa penyesalan, akan tindakan-tindakan yang
telah diperbuatnya.

— Maka sudilah dimas memaafkan akan semua pertubatanku tadi. Saya tidak menduga, bahwa dirrias
semuda itu telah mempunyai kesaktian yang tinggi dalam krida yudha. — Demikian Sunata meneruskan
bicaranya.

— Janganlah kangmnas Tumenggung Sunata memuji berIebih-lebihan. Bahwa sekarang kangmas


Sunata menerima tawaran saya untuk menjadi sahabat karibku, sudah cukup membanggakan diriku.
Lagi pula ini memenuhi titah tuanku Gusti Sepopati, agar kita dapat merupakan sepasang pembantu
beliau yang baik. Marilah kangmas kita cepat menuju kerumah ki Lurah Somad. Dan lupakanlah segala
yang telah terjadi.—
Dengan sungguh akrab, mereka berdua kembali berkuda berdampingan, dan langsung menuju
kerumah ki Lurah Tamtama Somad yang tidak jauh letaknya.

Kedatangan mereka berdua pada hari hampir malam sungguh mengejutkan ki Lurah Somad berserta
isterinya. Suami istri dengan tergopoh-gopoh menyambut kedua tamunya tadi dan mempersilahkan
masuk keruang tempat tamu didalam rumahnya.
Ki Somad orangnya kurus, tingginya sedang dan usianya telah lanjut mendekati enampuluhan.
Isterinya masih sangat muda dan genit serta pandai bersolek. Bagi orang yang tidak tahu akan mengira,
bahwa Nyi Lurah Somad adalah anaknya Ki Lurah Somad.

Raut mukanya bulat telor dengan sepajang alisnya yang hitam tipis melengkung. Matanya redup
dengan kerlingan yang kocak serta menggairahkan. Warna kulitnya kuning langsap. Daun telinganya
dihiasi dengan subang bentuk tabuh gender dan bermatakan berlian, menambah kecantikan parasnya.
Bicaranya lantang dan selalu diiringi dengan senyum dikulum. Perawakan tubuhnya ramping berisi,
dengan dadanya yang padat. Tak mengherankan bahwa banyak para Tamtama yang masih muda tergila-
gila kepadanya.

---- Kedatangan Gustiku Tumenggung yang sudah malam ini membuat kami terkejut,— Ki Lurah Somad
mulai membuka pembicaraan, dan melanjutkan bertanya —Apakah Gusti Tumenggung membawa titah
dari Gusti Senopati yang penting bagi diri saya ?

— Belum juga Tumenggung Sunata dan Indra Sambada rnenjawab, Ny Lurah Somad memotong
mempersilahkan tamunya. — Silahkan, duduk dahulu Gusti, dan saya mohon diri sebentar untuk
menyiapkan air minum. — Berkata demikian ia sambil mengerlingkan matanya kearah Indra Sambada
yang tampan itu, dan segera pergi kebelakang.

— Memang datangku ini atas perintah Gustiku Senopati Harya Banendra, Ki Somad, — Tumenggung
Sunata menjelaskan! — Yang datang bersamaku ini adalah tumenggung calon Bupati Indra Sambada. —
berkata demikian Tumenggung Sunata sambil memalingkan muka kearah Indra Sambada.—

Dimas Tumenggung Indra Sambada ini, adalah putra kemenakan Gustiku Senopati, — Sunata
melanjutkan bicaranya.

— Sembah hamba untuk Gustiku Tumenggung Indra, — Ki Lurah Somad memotong bicara
Tumenggung Sunata, dan segera membetulkan duduk bersilanya sambil menyembah tertuju kepada
Indra Sambada — Maafkan atas kekhilapan hamba, karena hamba memang baru kali ini mengenal
Gustiku.—

— Tak usahlah Ki Somad memakai adat yang berlebih-lebihan terhadapku. Memang baru kali ini aku
datang di Senopaten, dan mudah-mudahan pengabdianku dapat berlangsung — jawab Indra Sambada
dengan kejujurannya.

— Begini Ki Lurah Somad! — Sunata melanjutkan bicaranya. Atas titah Gustiku Senopati, Ki Lurah
supaya segera menyiapkan tempat perumahan dengan perlengkapannya serta pakaian-pakaian dan alat-
alat keperluan lainnya!—
Belum juga Ki Lurah Somad menjawab pertanyaan itu, Nyi Somad telah datang dengan membawa
minuman dan kuwe-kuwe, serta mempersilahkan tamu-tamunya untuk mulai mencicipi apa yang
dihidangkan.

— Sebaiknya, biarlah Gusti Tumenggung Indra untuk sementara waktu tinggal dikamar gandok
samping itu, sambil menunggu selesainya bangunan rumah untuknya.

—Kata Nyi Somad kepada Ki Lurah Somad.


— Kiranya, pada waktu percakapan terakhir tadi, Nyi Lu-rah Somad mendengarkan dari balik pintu: —
Nanti akan segera saya siapkan. Ini jika Gustiku Tumenggung sudi tinggal bersama kami dipondok yang
jelek ini,--

-- Ah untukku rumah ini terlalu bagus. — Indra Sambada menyahut — Tetapi apakah kiranya tidak
membuat repotmu sekalian? —

— Soal merepotkan, memang sudah tugas kami, Gusti. Buat kami adalah suatu kehormatan yang
besar sekali, apabila Gustiku Tumenggung Indra sudi tinggal sementara disini—Ki Lurah Somad
menyahut dengan hormatnya.

— Saya turut bergirang hati apabila Dimas Tumenggung Indra sudi tinggal disini, sebelum
mendapatkan perumahan yang lajak.— berkata demikian Sunata mengerling kearah Nyi Lurah Somad
sambil bersenyum kecil.

— Dan kurasa Dimas Indra akan tetap tinggal disini, karena Nyi Lurah memang pandai memasak dan
mengatur isi rumah, hingga selalu sedap dipandang mata. Hawanyapun sejuk pula disini,— Sunata
berkelakar menyindir.

— Ah, ada, ada saja, Gusti Tumenggung Sunata ini,— Nyi Lurah Somad memotong bicara sambil
tersipu-sipu.

Ki Lurah Somad tidak mendapat kesempatan untuk turut berbicara. Setelah Nyi Somad turut dalam
percakapan itu.

— Sudahlah. Diajeng, sebaiktnya kau lekas memanggil pembantu-pembantumu untuk segera


membereskan kamar digandok samping, yang akan dipakai Gusti Tumenggung Indra ini.—

Ki Lurah Somad berkata kepada isterinya, dan isterinya segera meninggalkan ruang tamu lagi dan
dengan dibantu oleh dua orang inangnya ia membereskan ruang gandok samping.

Tak lama kemudian Nyi Somad telah masuk kembali diruang tamu dan mcmpersilahkan Indra
Sambada dan Sunata untuk memeriksanya terlebih dahulu. Ki Lurah Somad turut juga mempersilahkan,
katanya;

— Silahkan, Gustiku sekalian supaya memeriksa kamar yang telah kami persiapkan itu. Jika sekiranya
kurang memuaskan, biarlah Gustiku memakai rumah besar ini, dan kami yang berada digandok —

Berampat mereka segera pergi kegandok samping, dan memeriksa dengan telitinya. Ternyata rumah
gandok itu cukup Iuas. Ruangan tengahnya luas pula dan teratur rapih dengan hiasan-hiasan dinding
yang serba indah. Tikar permadani digelar di ruang tamu sebagai tempat duduk. Kamar tidurnyapun
cukup luas, bahkan terlalu luas untuk hanya dipakai satu orang. Kasurnya digelari dengan tilam sutra,
demikianpun dengan sarung bantalnya dari sutera pula, yang disulam dengan gambar bunga. Baunya
harum semerbak menyegarkan. Kiranya tidak lupa pula diberi wewangian hingga memenuhi seluruh
ruangan. Dibelakang kamar tidur terdapat kamar mandi tersendiri. Pintu kamar tidurnya ada dua, satu
menghubungkan dlengan rumah besar, dan satu lagi menuju keruang tamu didepan, Setelah mereka
puas dalam meneliti ruang gandok, segera mereka kembali menuju keruang tamu untuk melanjutkan
percakapan sambil bersendau gurau. Nyi Lurah Somad kelihatan sangat girang, setelah Indra menerima
tawarannya untuk tinggal digandoknya. Ki Lurah Sornad merasa girang, karena dengan demikian
pengabdiannya akan lebih mendapat perhatian dari Gusti Senapati, lagi pula akan merasa tentram jika
rumah ditinggalkan berkenaan dengan tugas-tugasnya.

— Kini kiranya telah larut malam kata Tumenggung Sunata ! — Besok saya pagi-pagi saya akan datang
kemari menjemput Dimas Tumenggung Indra, untuk ber-sama-sama menghadap Gusti Senopati Sunata
melanjutkan bicaranya ! — O, ya Ki Lurah, mungkin besok siang-siangan Gustiku Senopati akan berkenan
berkunjung kemari untuk memeriksanya sendiri Sunata berkata kepada Ki Lurah Somad.

— Akan hamba junjung segala titah Gusti Tumenggung — jawab Ki Lurah Somad singkat.

Tumenggung Sunata setelah pamit, segera bangkit dan keluar menghampiri kudanya. Ki Lurah dan
isterinya mengantarkan sampai didepan pintu, bersama Indra Sambada tak ketinggalan pula.

Tak lama kemudian Tumenggung Sunata memacukan kudanya, dan hilang dikegelapan malam. Derap
langkah kudanyapun terdengar makin lirih, untuk kemudian lenyap sama sekali dari pandangan. —

.*

**

— Tumenggung Indra ! Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra bersabda kepada Indra
Sambada.

— Menjunjung titah Gustiku Patih Mangkubumi Gajah Mada, kau diperintahkan menghadap
kehadapannya pada hari ini di Istana Kepatihan. Tumenggung Sunata akan kuperintahkan menyertaimu
Beliau diam sejenak dan mengambil sepucuk surat yang telah dimasukkan didalam sampul dengan
tertutup rapat, untuk kcmudian diberikan Indra Sambada, sambil melanjutkan sabdanya ! — Terimalah
surat ini dan haturkan kehadapan Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada ----.

Indra Sambada menyembah, untuk kemudian menerima surat yang diberikan oleh Gusti Harja
Banendra. Setelah diterimanya segera dimasukkan kcdalam baju didadanya, dan berkata . —
Menjunjung titah Tuanku Gusti Senopati, hamba akan segera rnelaksanakan titah Tuanku Gusti --- Kata-
kata itu ditutup dengan menyembah.

— Tumenggung Sunata !— Sang Senopati Gusti Harya Banendra bersabda kepada Sunata — Antarkan
Tumenggung Indra Sambada menghadap Gustiku Patih Mangkubumi GaJah Mada di Istana Kepatihan
hari ini, dan jangan lupa sampaikan sembah sujudku kehadapannya —.

Mereka berdua segera mohon diri dengan menyembah terlebih dahulu, dan keluar menuju ketempat
penambatan kuda. Kedua Perwira Tamtama tadi, masing-masing telah duduk diatas kuda untuk
kemudian memacu kudanya dan berjalan berjajar menuju kekota Raja di Istana Kepatihan.

— Apakah dimas Tumenggung Indra pernah menghadap Gusti Patih Mangkubumi di Istana Kepatihan
? Sunata bertanya memecah kesunyian dalam perjalanan.

— Belum pernah Kangmas Tumenggung ---. Indra menjawab — Istana Kepatihan saja aku belum
pernah melihatnya, apalagi menghadap ---

Tetapi mengapa tadi Gusti Senopati mengatakan bahwa Dimas diperintahkan menghadap atas titah
Gusti Patih Mangkubumi ? Darimana beliau tahu bahwa Dimas Tumenggung Indra sekarang berada di
Senopaten ? — Tumenggung Sunata melanjutkan percakapannya.
— Saja juga tidak tahu, Kangmas jawab Indra Sambada dengan kejujurannya: — Mungkin Gusti
Senopati telah berkenan menghaturkan periksa kehadapannya pada hari-hari kemarin. Bukankah
demikian kiranya Kangmas Tumenggung ? , Kata Indra Sambada dengan menduga - duga.

— Ah, …….. tidak mungkin ! — Sunata menyahut secara cepat ! — Biasanya, jika, beliau menghadap
ke Istana Kepatihan aku harus mengawainya, dan jika dengan surat aku pula yang menghaturkannya.
Apa lagi ini soal penting mengenat Dimas Tumenggung Indra — bantah Sunata.

— Entahlah, Kangmas kita saksikan saja nanti, — Indra memotong dan melanjutkan kata-katanya —
Mudah-mudah an saja saya tidak menerima kemurkaan dari Gustiku Patih

--- Itu juga tidak mungkin, karena Dimas belum pernah menghadap berarti belum pernah berbuat
salah kehadapan beliau. Aku harapkan saja Dimas akan menerima hadiah karena jasa-jasa ayahmu. —

Mereka berdua kini kelihatan lebih akrab lagi dari pada waktu-waktu yang lalu. Mcreka berkuda
berdampingan dengan asyik ber-cakap-cakap diselingi dengan ketawa riang. Kiranya Tumenggung
Sunata senang pula bersenda gurau sambil menggoda Tumenggung Indra Sambada.

— Dimas Tumenggung Indra itu memang sedang memangku wahyu.--- katanya berkelakar menggoda.
-– Bangun pagi saja dibangunkan oleh wanita cantik. Makan pun dilayaninya sendiri. Dan kini diperintah
menghadap untuk menerima hadiah. Saya yang ber-tahun-tahun mengabdi di Senopaten dan sering
berjumpa belum pernah duduk ber-cakap-cakap sendiri dengan sidia — Yang dimaksud sidia adalah. Nyi
Lurah Somad. Berkata demikian Sunata sambil ketawa nyaring. Indra Sambada merasa malu, terlihat
mukanya yang merah padam. Tetapi Sunata semakin senang menggodanya — Sudahlah, saya mau juga
tukar tambah dengan tempatmu, Dimas Tumenggung Indra. — Sunata melanyutkan sindirannya.

—Ach, …….. Kangmas memang senang menggodaku,— Indra agak bingung untuk membantahnya. —
Seperti benar-benar terjadi Kangmas. Pada hal saya kan tidak pernah diperlakukan sedemikian oleh Nyi
Somad. —

Dengan tidak terasa mereka berdua kini telah sampai di alun-alun Kepatihan dan langsung menuju
tempat tambatan kuda. Dua Tamtama segera menyambut kedatangan mereka dengan memberi hormat
terlebih dahulu untuk kemudian menambatkan dua ekor kuda yang tclah diterimanya itu.

Kedua perwira Tamtama tadi berjalan menuju kepura pintu gerbang Kepatihan. Patung berbentuk
gajah setinggi dua orang susun bcrdiri, terbuat dari batu yang di pahat halus, berdiri megah di-tengah-
tengah sepasang pintu gerbang. Belalainya berada diatas kepala yang sedang memegang cis. Itulah
lambang kebesaran Gusti Patih Mangku-bumi Gajah Mada yang terkenal akan keagungannya.

Pintu gerbang dikanan kirinya berbingkai ukir-ukiran pahatan berlukiskan sepasang raksasa dikanan kiri.
Dan seluruhnya terbuat dari batu hitam alam. Pintu gerbang itu sangat lebar, sehingga kereta-kereta
para Senopati dapat masuk tanpa kesulitan. Halaman Istana Kepatihan didalam pura pintu gerbang
sangat luas, kira-kira seluas setengah alun alun. Dua orang Tamtama pengawal yang sedang berdiri
tegak didepan pintu gerbang segera memberi hormat kepada kedua perwira Tamtama yang berjalan
memasuki pura pintu gerbang itu. Baru saja mereka berdua meninggalkan Balai Pengawalan, tiba- tiba
mendengar suara teguran. — Dimas Tumenggung Indra! — Indra segera menyahut dengan mendekati
Perwira Tamtarna yang menegurnya.
— Kangmas Tumenggung Cakrawirya! Aku telah menepati janjiku untuk menemui Kangmas di istana
Kepatihan ini!—

Tumenggung Cakrawirya, segera datang mendekat dan menjabat tangannya dengan sangat akrab.

— Saya telah sedari pagi menunggu kedatangan Dimas Tumenggung Indra. Bukankah hari ini hari yang
telah Dimas janjikan pada waktu kita berpisah di Surabaya? — Tumenggung Cakrawirya melanjutkan
tegurannya.

Tumenggung Sunata berdiri dengan penuh keheranan. Tadi menurut keterangan yang diberikan oleh
Indra Sambada, ia belum pernah menghadap di Istana Kepatihan, tetapi ternyata telah mengenal
dengan akrab pula dengan Tumenggung Cakrawirya --- ia meraba-raba dalam hatinya.

— Ini semua sayalah yang telah mengaturnya, Dimas Tumenggung Indra! — Cakrawirya melanjutkan
bicaranya — Maafkan Dimas Tumenggung Sunata, kiranya sampai lupa untuk menegur Dimas karena
rasa rinduku dengan Dimas Indra. ---

Ah, …… — silahkan Kangmas Tumenggung Cakrawirya,— jawab Sunata.

— Saya malah tidak mengira bahwa, Kangmas Tumenggung Cakrawirya telah mengenal Dimas
Turnenggung Indra sejak lama. ---

--- Memang benar katamu, Dimas, — Cakrawirya menjelaskan. Perkenalanku dulupun serba kebetulan.
Jika waktu itu aku tidak berternu dengan Dimas Indra, tentunya aku tidakberada disini lagi. Dialah
penyambung hidupku. Dan itu semua telah kuhaturkan kehadapan Gustiku Patih Mangkubumi. Lalu
pada tiga hari berselang aku diutus menghadap Gusti Senopati Harya Banendra di Mojoagung,
menyerahkan surat. Isi surat itu Gustiku Patih Mangkubumi berkenan memanggil Dimas Indra. Tetapi
alangkah kebetulan ternyata Dimas Indra memang telah menghadap Gusti Senopati pada waktu sehari
sebelum aku menghadap beliau. Kiranya oleh Gusti Senopati, Dimas Tumenggung Indrapun telah
diterima pengabdiannya sebagai calon Tamtama seperti sekarang ini. Hal ini Gustiku Patih Mangkubumi
sangat berkenan sekali.—

Kini Indra Sambada dan Sunata mengerti dengan jelas akan duduk perkaranya dan isi maksud
panggilan menghadap itu.

— Terima kasih, atas jasa-jasa Kangmas Cakrawirya. --Indra memotong.

— Ah, saya tidak berjasa apa-apa dalam hal ini. Karena apa yang saya haturkan kepada Gustiku itu
memang sewajarnya. — jawab Tumenggung Cakrawirya.

— Marilah kita bertiga bersama-sama segera menghadap. — Tumenggung Cakrawirya


mempersilahkan Tumenggung Indra Sambada dan Tumenggung Sunata.

Bertiga mereka segera menghadap kehadapan Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada diruang tamu
pendapa. Setelah mereka bertiga ber-sama-sama menyembah kehadapannya, Indra segera
menyerahkan suratnya kehadapan beliau. Surat diterima dan setelah ditelaah sejenak semua isi
maksudnya, beliau segera menulis surat sebagai balasan kepada Sang Senopati Manggala Yudha yang
kemudian diserahkan kepada Indra Sambada. Dalam surat itu Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada
menyatakan persetujuannya akan pengangkatan Indra Sambada menjadi Bupati Tamtama, mengingat
akan jasanya dalam menangkap orang Cina di Surabaya dan pula mengingat akan jasa-jasa orang tuanya
Indra Sambada Tumenggung Karya Laga.

Beliau berpesan pula kepada Indra, agar nanti dalam lomba krida yudha yang akan diadakan untuk
menyambut hari ulang tahun ke X atas bertahtanya Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, dapat tarnpil
dengan hasil yang tidak mengngecewakan. Dalam sampul itu pula dimasukkan sebuah bintang anugerah
"Lencana Satya Tamtama" yang mana Sang Menggala Yudha supaya menyematkan pada Indra Sambada.

Selesai menghadap, mereka bertiga segera menyembah lagi dengan khidmadnya untuk mohon diri
dan meninggalkan pendapa agung Kepatihan. Kini mereka bertiga berkuda berdampingan pulang
kembali menuju Mojoagung.

— Biarlah aku akan singgah semalam dipondoknya Dimas Tumenggung Indra. Tentunya tidak
berkeberatan, bukan — Cakrawirya mulai bicara! — Saya masih belum puas akan perternuan kita yang
sesingkat ini. ---

--- Tapi sebaiknya Kangmas Cakra bermalam dipondokku saja, — Sunata menyahut dan melanyutkan
bicaranya — Karena Dimas Indra mungkin tidak mau terganggu, — berkata demikian dengan ketawa
nyaring menggoda.

— Kangmas Sunata ini tak habis-habisnya menggoda aku, — Indra mengelak godaan dan kemudian
berkata kepada Cakrawirya. — Saya akan lebih senang jika Kangmas Tumenggung Cakra sudi menemani
tidur dipondokku. –

Apa sekiranya ada udang dibalik batu Dimas ? — Cakrawirya bertanya untuk mendapat penjelasan.—

— Saya tak dapat menangkap isi percakapan Dimas sekalian. —

— Apakah Kangmas Cakra sudah tahu, dimana Dimas Tumenggung Indra sekarang memilih tempat
pondoknya ? — Sunata menyahut dengan pertanyaan sindiran. pertanyaan belum sampai ada yang
menjawabnya, Sunata melanjutkan menjawab pertanyaan sendiri dengan senyum menggoda. — Dimas
Tumenggung Indra sekarang tinggal serumah dengan Ki Lurah Somad! Cakrawirya segera menyambut
kata-kata Sunata tadi dengan gelak tertawa yang nyaring disusul kemudian dengan suara ketawanya
Sunata yang tak kalah nyaringnya.

Indra Sambada bersenyum ter sipu-sipu, dengan wajah merah padam. Kini ia tak dapat berkutik akan
godaan yang dilancarkan oleh dua perwira tamtama tadi. Dengan ramainya mereka bertiga bersendau
gurau sambil berkuda berdampingan. Sampai di Istana Senopaten, mereka bertiga langsung menghadap
Sang Sencpati yang sedang berada diruang tamu dalam. Surat segera diserahkan kepada beliau dan
ternyata beliau sangat pula berkenan dengan isi surat tadi. Oleh beliau sendiri bintang anugerah lencana
satya tamtama segera disematkan dibaju dada disebelah kiri.

Sang Senopati Manggala Yudha kemudian berkenan pula menjamu tiga perwira tamtama itu di
Istananya sampai jauh malam, dengan dihadiri oleh para perwira-perwira tamtama lainnya.—

**

B A G I A N IV.
DIKALA ITU, hari Respati Manis. — Sepanjang jalan jalan di Kota Raja Majapahit dihias dengan janur
kuning, kembang-kembang, dan diselang-seling dengan pita sutra panjang ber-aneka warna dengan
sangat indahnya. Bendera Keagungan Dwi warna Gula Kelapa dan umbul umbul panji-anji ber-deret-
deret disepanjang jalan berkibar dengan megahnya.

Rumah-rumah yang dipinggir jalan sampai di plosok-plosok tidak ketinggalan pula dihias dengan
beraneka ragam dan warna, menambah semaraknya pandangan. Candi-candi penuh pula dengan
sesajian yang warna-warni. Sejak hari kemarin orang-orang mudik disepanjang jalan dengan tak henti-
hentinya. Dari segala penjuru kini orang-orang datang di Kota Raja dengan pakaian-pakaian yang serba
baru dan indah. Anak-anak kecil turut pula bersuka ria dengan pakaiannya yang serba baru, bermain-
main berkelompok, ataupun mengikuti kesibukan orang-orang tua. Sejak fajar menyingsing mereka turut
orang-orang tua bersembahyang di-candi-candi dengan membawa sesajian.

Kini, jauh diufuk-timur Sang Surya mulai memancarkan sinar cahaya yang terang benderang
memadangi seluruh alam buana, menunjukkan bahwa hari telah mulai pagi. Orang-orang ber-bondong-
bondong menuju ke alun-alun lstana Kerajaan untuk menyaksikan dari dekat "lomba kridha yudha„ yang
diselenggarakan pada hari itu, demi menyambut hari ulang tahun ke sepuluh, atas dinobatkannya Sri
Baginda Maharaja Hayam-wuruk bergelar Rajasanegara, sebagai raja di Majapahit.

Hari itu adalah hari kesempatan pula bagi para tamtama untuk menunjukkan ketangkasannya dalam
Kridha Yudha. Pura pintu masuk yang menuju ke alun-alun dari empat penjuru, dihas pula dengan
sangat Ditiap-tiap penjuru disebelah pintu gerbang itu, dibangun sebuah balai untuk penempatan
serakit gamelan, lengkap dengan para pemukulnya yang berpakaian seragam indah pula.

Pohon jambe atau disebutnya pohon pucang yang telah ditebang bagian atasnya, ber-deret-deret
ditanam merupakan lingkaran yang luas di alun-alun. Jarak antara masing-masing pohon pucang tadi
kira-kira dua langkah, sedangkan tingginya tak kurang dari dua galah panjang. Di tengah-tengah
lingkaran yang sangat luas, hampir seluas duapertiga alun-alun, berdiri sebatang pohon pucang yang
tingginya lebih dari tiga galah panjang, hingga kelihatan menonjol di ketinggian. Dan dipucuk atasnya
berkibar Sang Saka Dwiwarna Gula Klapa dengan megahnya.

Didepan pintu gerbang yang menuju masuk ke Istana Raja, berdiri sebuah mimbar dengan tenda
berwarna hijau berseretkan pita kuning ke-emas-emasan dari sutra, mengelilingi luasnya tenda selebar
dua jengkal. Mimbar itu dihias dengan pita sutra berwarna merah dan putih diselang-seling, menambah
indahnya pandangan. Tiang-tiang mimbar dibungkus dengan daun-daun beringin dan kemuning, serta
kembang-kembang beraneka warna.
Mimbar itu tingginya kurang lebih segalah panjang. Ditengah tengah mimbar duduk Sri Baginda
Maharaja Hajam Wuruk dengan didampingi Sri Baginda Permaisyuri diatas singgasana tiruan berukir
dengan warna keemasan, menyerupai singgasana aslinya. Dibelakang dan samping kanan kirinya duduk
para nyai inang yang membawa peralatan beraneka warna.

Didepan sebelah kirinya duduk Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada diatas permadani yang indah
berserta Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra. Sedangkan didepan sebelah kanan
duduk para pendeta Istana diatas permadani pula.
Dibawah depan mimbar berdiri tegak berjajar rapat, para Tamtama Pengawal Raja dengan pakaian
seragam warna merah berseretkan kuning mas, dengan pedang terhunus ditangan kanan, lurus keatas
melekat dengan dadanya, dengan mata tajamnya kedepan. Disebelah kiri mimbar itu, masih ada sebuah
mimbar lagi yang dihias indah pula, dengan digelari permadani, untuk para Raja ataupun para utusan
yang Negerinya dinaungi oleh Majapahit, dan untuk para Raja , dan utusan-utusan dari Negeri-negeri
sahabat.

Rakyat berjejal-jejal mengitari alun-alun dengan tak sabar menunggu dimulainya lomba krida yudha
itu. Para tantama siap siaga berjajar. Gamelan-gamelan dari empat penjuru telah mulai dibunyikan pula
oleh para pemukulnya. Suasana segera menjadi riuh ramai berkumandang diangkasa.

Kini sebuah gong besar yang berada di depan mimbar dipukul oleh seorang perwira tantama Pengawal
Raja. Suaranya mengaung jauh terdengar dan mengumandang disemua penjuru . Segera suasana sunyi
hening seketika……

— Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra turun dan berdiri tegak didepan mimbar
dengan menghaturkan sembah pada Sri Baginda Rajasanegara. Sri Baginda Rajasanegara menyambutnya
dengan berdiri pula diatas mimbar. Dan terdengarlah suara Sang Senopati Manggala Yudha.

— Hamba, Senopati Manggala Yudha menjunjung titah Gusti Sri Baginda Maharaja Majapahit, untuk
melaksana kan lomba krida Yudha.—

Sri Baginda Maharaja Rajasanegara, melambaikan tangan kanannya, sebagai isyarat, bahwa lomba
krida Yudha dapat dimulai.
Seorang Perwira tamtama berpakaian hijau seragam berseret kuning dengan pita kuning emas pula
sebagai ikat kepalanya, maju kedepan dan menyerahkan sebuah tombak panjang sedepa dengan
tangkainya dibungkus sutra putih. Mata tombak itu tajam berkilau dan panjangnya kira-kira dua. jengkal.
Diujung tangkainja disambung dengan sepuluh utas pita sutra merah.

Tombak diterimanya dengan tangan kanan, dan beliau segera membalikkan badannya memandang
sesaat pada pohon pucang yang tinggi berdiri didepannja dengan jarak antara kurang lebih seratus
langkah. Setelah beliau memusatkan tenaga bathinnja, segera beliau melangkah satu tindak dan
melontarkan tombak yang berada ditangan kanannya ke arah pohon pucang tepat pada sasarannya.
Pohon pucang bergetar dan Sang Saka Dwiwarna Gula Kelapa yang berada di puncaknya turut berkibar
menggetar. Mata tombak menancap seluruhnya, dan tangkainya turut pula bergetar. Lemparan tombak
oleh Sang Senopati Menggala Yudha tadi merupakan isyarat bagi semua yang menyaksikan, bahwa
lomba kridayttdha sudah dibuka.

Beliau segera mengundurkan diri dan disambut oleh dua pembantu pribadi beliau ialah Tumenggung
Indra Sambada dan Tumenggung Sunata, yang kedua-duanya berpakaian seragam sebagai perwira
Tamtama, hijau dengan berseretkan kuning ke-emasan dengan seutas pita ke emasan pula selebar dua
jari melingkar di kepalanya. Di-pinggang sebelah kiri masing-masing tergantung pedang tamtamanya.

— Beliau berjalan tegap dengan diapit-apit oleh kedua perwira tamtama, menuju kederetan kereta-
kereta yang verada di alun alun sebelah timur. Kini beliau telah duduk didalam kereta kebesaran yang
terbuka dengan di-apit-apit oleh kedua perwira tamtama tadi, kereta mana ditarik oleh dua pasang kuda
yang tinggi-tinggi. Diatas kereta berkibar dengan megahnya duaja kebesaran berlukiskan burung alap-
alap yang sedang membentangkan sayapnya berwarna merah, diatas dasar kuning emas. Itulah lambang
keagungan "Alap-alaping Ayudha" Kereta bergerak dan berjalan laju mengitari alun-alun. Dibelakangnya
berjalan berturut-Eurut mengikuti, kereta-kereta kebesaran dengan panji du-aja kebesaran berlukiskan
senjata cakra warna kuning emas diatas gambar perisai berwarna, merah dengan warna dasar hijau.—

Didalam kereta itu, duduk Sang Senopati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti
AdityaWardhana, dengan malambai-lambaikan tangannya kearah rakyat yang ber-jejal-jejal, Beliau
bertubuh tinggi besar, warna kulitnya merah kehitam-hitaman. Mukanya bercambang bauk deugan
sepasang alisnya yang tebal. Matanya agak cekung dan bersinar tajam. Didaun telinganya sebelah kanan
memakai anting - anting bentuk gelang. Rambutnya hitam di-ikat kebelakang diatas tengkuknya dengan
pita merah. Dari dahi melintang sampai di ujung daun telinga aras sebelah kiri, terdapat tanda bekas
luka, lengannya berbulu subur, beliau berusia 45 tahun. Pakaiannya seragam merah dengan berseretkan
kuning mas. Sebilah keris pusaka dengan wrangka mas murni tergantung dipinggang kiri.

Dengan riuh ramai yang menggema, rakyat menyambut lambaian tangannya ….. Menyusul
dibelakangnya adalah kerwta kebesaran dengan duaja berkibar, berlukiskan pedang silang sepasang,
dengan bintang ditengah atasnya, diatas gambar perisai pula, berwarna hitam dan merah Sang Senopati
Muda Manggala Tamtama Kerajaan (darat) Gusti Surwendar duduk didalam kereta dengan tenangnya.
Beliau berusia limapuluh lima tahun dan bergelar — Surya Laga ---

Raut mukanya bulat telur dan bersih. Pandangan matanya tajam berwibawa. Beliau adalah seorang
pendiam. Pakaian yang dikenakan, pakaian seragam hijau dengan berseretkan kuning mas. Ikat
kepalanya lebar segi tiga, diikat kebelakang menutupi rambutnya, berlukiskan matahari warna putih
diatas dasar kuning sutra.—
Menyusul lagi kereta kebesaran terbuka yang megah pula. dengan duaja kebesarannya berlukiskan
naga ber-mahkota warna merah, diatas dasar biru laut, Gusti Bharatarajasa Senopati Muda Manggala
Tamtama Samodra duduk dalam kereta itu. dengan selalu mengangguk - anggukkan kepalanya kepada
rakyat dengan diiringi senyuman. Sambutan rakyat riuh gegap gempita.

Beliau mengenakan pakaian seragam biru laut dengan berseretkan kuning mas pula. Bentuk
tubuhnya, agak pendek kokoh perkasa. Wajahnya bersinar, menunjukkan kebangsawanannya.

Kini menyusul lagi kereta terakhir, ialah kereta kebesaran Nara Praja, dengan duajanya sebagai
lambang kebesarannya, berlukiskan bintang dikelilingi dua untai padi warna kuning mas, diatas dasar
putih sutra. Sebagai Senopati Muda Manggala Nara Praja, ialah Gusti Pangeran Pekik. Beliau berusia
kira-kira 50 tahun. Berpakaian seragam putih dengan berseret kuningmas mengenakan pula kain
panjang yang dilipat dan berkampuh panjang disebakkan kebelakang. Kebangsawanannya terlihat jelas
dari pancaran wajahnya. —

Dibelakang kereta-kereta kebesaran para Senopati, kini menyusul barisan para Tamtama berkuda
dengan pakaian seragamnya menurut angkatannya masing-masing sebanyak duaratus Tamtama tia-tiap
angkatan. Dan terakhir para Tamtama yang berjalan dengan langkahnya yang tegap membawa
genderang suling serta bende, yang dibunyikan selama berjalan dengan irama menurut gerak
langkahnya. – Gamelan-gamelan dari empat penjuru menyusul berbunyi mengikuti iramanya. —
Kembali sorak sorai menggema di angkasa. Pawai Agung yang berjalan berkeliling memutari alun-alun
itu semuanya memberikan hormat, sewaktu melewati mimbar agung. Sri Baginda Maharaja Rajasa-
negara berdiri menyambut dengan melambai-lambaikan tangannya. Kiranya beliau merasa bangga akan
keagungan Tamtamanya.

Setelah pawai selesai, lomba krida yudha segera dimulai, dengan acara pertama, memamerkan
ketangkasan menggunakan pedang, oleh para perwira Tamtama tidak termasuk para Senopati. —

Para perwira Tamtama sebanyak seratus orang, berkuda dengan pedang terhunus menuju pohon-
pohon pucang yang ber-diri ber-deret-deret itu, dan membabatnya sambil memacu kudanya. Diantara
para perwira ada pula yang dapat menebas sekali tumbang.

Tetapi banyak pula yang tak dapat menumbangkan dengan sekali tebasan. Gerakan cara menebasnya,
ber-macam-macam gayanya. Ada yang sejak mulai bergerak telah mengayun-ayunkan pedangnya, dan
ada pula yang lurus memacu kudanya dengan pedang terhunus diam ditangan kanan, dan baru
membabatnya setelah sempat pada sasarannya. Lain lagi, ada yang memutarkan pedangnya sambil
memacu kudanya laksana baling-baling, untuk kemudian dibabatkan kearah sasaran yang dituju. Namun
dari sekian banyaknya perwira, tak ada yang dapat menyamai Indra Sambada yang sekali tebang dapat
merobohkan tumbang dua pohon pucang. Sorak sorai para Tamtama dan rakyat yang menyaksikan
gemuruh, setelah mereka melihat gaya Indra Sambada yang indah dan berhasil dengan memuaskan.

Selesai para perwira Tamtama, kini menyusul para Tamtama rendahan dengan berkuda ataupun
dengan lari cepat menebas pohon-pohon pucang tadi dengan klewangnya masing-masing.

— Diantara para Tamtama rendahan ada pula yang ketangkasannya melebihi para perwira tadi, namun
belum ada juga yang dapat mengimbangi Indra Sambada. Para Senopati kagum akan ketangkasan yang
dimiliki oleh Indra Sambada.
Hasil lomba krida yudha yang pertama segera diteliti dan dicatat oleh para petugas.

Selesai acara yang pertama, kini menyusul acara yang kedua. Ialah ketangkasan memanah. Para
Senopati Muda turut pula dalam lomba ketangkasan memanah ini, karena banyak digemari oleh
segenap Tamtama. Diantara pohon-pohon pucang yang berdiri, tergantung deretan boneka boneka
dengan jarak antaranya dua jengkal, sebesar ibu jari kaki dan terbuat dari papah daun kelapa. Tinggi
antara tanah dengan boneka-boneka yang terpancang itu kira-kira segalah. Kini Para Senopati Muda
telah siap dengan busur dan tiga buah anak panah ditangan masing-masing. Jarak antaranya dengan
sasaran boneka-boneka itu adalah kira-kira 100 langkah. Gusti Surwendar mulai dengan bidikannya.
Busurnya telah dipentang dan sebatang anak panah lepas seperti kilat tepat mengenai sasaran. Anak
panah kedua dan menyusul anak panah ketiga dilepaskan dari busurnya. Satu persatu semua tepat
mengenai sasarannya. Semua kagum demi menyaksikan ketangkasan beliau.

Kini menyusul Gusti Senopati Muda Bharatarajasa mulai membidik. Anak panah satu persatu
dilepaskan hingga tiga kali. Ternyata satu diantaranya tidak mengenai sasarannya. Demikian pula Gusti
Pangeran Pekik. Beliau juga hanya berhasil dengan dua batang anak panah yang tepat dapat mengenai
sasarannya.
Gusti Adityawardhana segera mulai mementang busurnya. Sebuah anak panah terlepas dan tepat
mengenai sasaran yang dimaksud. Kini beliau memusatkan kekuatan bathinnya kembali. Dua batang
anak panah dilepaskan sekali pentang. dan kedua-duanya tepat mengenai sebuah boneka yang tadi
telah dipanahnya. Tiga batang anak panah kini berkumpul jadi satu tertancap di sebuah boneka papah
kelapa tadi. Semua yang melihat kagum akan ketangkasan yang luar biasa itu.
Tidak sedikit prijagung-prijagung turut geleng-geleng kepala serta memuji akan ketangkasan Gusti
Adityawardhana dalam hal memanah. Indra Sambada kini dapat gilirannya. Dengan tenang ia mulai
mementang busurnya. Sebatang anak panah segera dilepaskan dan tepat mengenai sasarannya. Kiranya
ia ingin pula memamerkan kepandaian panahan. Dua batang anak panah sisanya digenggam erat, untuk
kemudian ditaruh ditali busurnya.
Busur dipentang dengan pelan-pelan, sambil memusatkan tenaga batinnya, untuk kemudian disalurkan
dalam rasa pandangannya agar dapat mengemudikan lepasnya anak panah. Setelah bulat-bulat tenaga
bathin terkumpul, dua batang anak panah tadi dilepas sekali pentang.

Dan dua batang anak panah bersama-sama terlepas untuk kemudian bersimpang arah. Dua buah
boneka dikanan dan kiri boneka yang tadi terkena oleh panahnya yang pertama , tertancap masing-
masing sebatang panah dalam saat yang bersamaan. Para Senopati berdiri ternganga dengan penuh rasa
heran. Kiranya bukan hanya para Senopati saja yang kagum akan kemahiran memanah Indra Simbada.
Sri Baginda Maharaja dan Gusti Patih Mangkubumi bersama-sama para tamu Kerajaan berkenaan
menaruh perhatian pula.
Telah dua kali Indra Sambada membuat kagumnya para pengunjung yang menyaksikan ketangkasannya
dalam lomba krida yudha.

Setelah semua tamtama mendapat giliran, dan hasil lomba tadi telah dicatat semua, maka sekarang
menyusul acara lomba krida yudha yang terakhir.

Lomba krida yudha yang ketiga atau terakhir ini diikuti oleh semua tamtama beserta para Senopati
Muda, Acaranya ialah lomba "sodoran", atau disebutnya pula "watangan". Perlombaan ini adalah
kegemaran para tamtama, baik yang turut berlomba maupun yang melihatnya.
Gusti Adityawardhana dengan Gusti Bharatarajasa dibantu oleh Tumenggung Sunata memimpin
pasukan berkuda sebanyak 500 tamtama. Semuanya bersenjatakan tongkat sepanjang tangkai tombak,
yang tumpul diujung pangkalnya, dan mengambil tempat di-alun-alun sebelah barat. Gusti Surwendar
dan Pangeran Pekik dibantu oleh Tumenggung Indra Sambada memimpin pula pasukan tamtama
berkuda sebanyak 500 orang dan bersenjatakan tongkat sebagaimana senjata lawannya, mengambil
tempat kedudukan disebelah timur. Demikian para perwira-perwiranyapun dibagi dua dan dimasukkan
dalam klompok pasukan tadi.

Gong besar segera ditabuh oleh tamtama yang bertugas atas perintah Sang Senopati Manggala Yudha,
sebagai isyarat bahwa lomba "sodoran" dimulai.
Dengan riuh ramai pasukan menyerbu ditengah alun-alun untuk saling menjatuhkan lawannya dengan
tongkatnya. Para tamtama yang telah jatuh dari kudanya segera lari keluar dari tempat pertempuran itu
dan tidak diperkenankan turut lagi.

Satu sama lain pukul memukul, sodok-menyodok, dan ada pula yang memutar-mutarkan tongkatnya
untuk menjatuhkan lawan sebanyak-banyaknya dan dalam waktu se-singkat-singkatnya. Mereka yang
lepas akan genggaman tongkatnya segera merangkul lawan untuk menjatuhkan dengan bergulat diatas
pelana kuda.

Sebentar saja telah ratusan bergelimpangan ditanah. Mereka yang telah jatuh, segera bangkit dan
meninggalkan tempat pertempuran, karena takut terinjak injak kuda ataupun terpukul oleh temannya
yang sedang bertempur.

Para petugas mengawasi jalannya pertempuran dengan cermat, menjaga jika ada yang terluka daktm
lomba "Sodoran" itu.

Sorak sorai dari penonton memekakkan telinga, setelah melihat Gusti Bhamtarajasa jatuh
bergelimpangan ditanah terkena sodornya Gusti Surwendar. Pertempuran menjadi lebih seru lagi,
karena Gusti Adityawardhana memperlihatkan ketangkasannya, membalas menebus kekalahan yang
baru saja dideritanya. Gusti Surwendar digempurnya dengan sodokan sodor oleh Gusti Adityawardhana.
Segera terjadi pertarungan sengit.

Masing-masing memperlihatkan ketangkasannya. Tumenggung Sunata cepat membantu menjatuhkan


lawannya dari samping dengan pukulan sodornya. Tak ayal lagi , Gusti Surwendar segera jatuh terguling
ditanah. Dua orang tamtama petugas segera menjemputnya dan meneliti akan luka yang diderita.
Namun ternyata sedikitpun tak terluka. Beliau mengumpat—umpat sambil ketawa lebar, Indra Sambada
segera tampil menggantikan kedudukan Gusti Surwendar.

Dengan sodor ditangan kanannya Indra Sambada mengamuk menggempur siapa saja yang berada di
sekelilingnya. Dalam waktu singkat lawannya telah banyak yang bergelimpangan jatuh ditanah.
Tumenggung Sunata tak mampu pula menghadapi Indra Sambada, dan jatuh terguling untuk kemudian
meninggalkan gelanggang. Kini Senopati pasukan sodoran tinggal dua orang, ialah Indra Sambada
melawan Gusti Adityawardhana. Pasukan para tamtama yang masih bertempur seluruhnya tinggal
limapuluhan.

Indra Sambada langsung memacukan kudanya kearah Gusti Adityawardhana, namun lawannya tidak
kalah tangkasnya.
Secepat kilat beliau menarik lisnya, sehingga kudanya terperanjat berdiri diatas kedua kakinya dengan
meringkik. Indra Sambada menubruk tempat kosong dengan tangkasnya ia segera membalikkan
kudanya dan memacunya kearah lawan. Kini ia telah berhadapan kembali dengan Gusti Adityawardhana
yang masih tegap duduk diatas pelana.

Beliau segera menyerang lebih dahulu dengan sabetan tongkatnya kearah lambung Indra Sambada,
yang segera ditangkis dengan tangkasnya memakai tongkatnya pula. Tongkat sama tongkat beradu
dengan dahsjatnya. Ternyata sewaktu memukul tadi Gusti Adityawardhana menggunakan kekuatan
bathinnya untuk mengukur kekuatan Indra Sambada. Namun siang-siang Indra Sambada telah
mengetahui, bahwa pukulan tongkat tadi berisikan pemusatan kekuatan bathin. Karena keinginan untuk
mengukur kekuatan lawan, maka pukulan disambutnya dengan tangkisan yang tak kalah dahsyatnya.
Telapak tangannya bergetar dan terasa pedih namun tongkat masih dapat ia menggenggam erat dengan
tangannya. Gusti Adityawardhana memandang dengan penuh rasa heran, karena ternyata tangannya
terasa pedih pula, bahkan hampir-hampir tongkatnya jatuh terlepas dari genggaman.

— Tumenggung Indra! — seru beliau sambil bertempur. — lekas selesaikan pertempuran ini. Pukullah
aku dengan ketangkasanmu. Aku akan memberi kesempatan, demi melihat dan menyaksikan sendiri
kesaktianmu. Kau adalah pemuda harapan. Cepat! — beliau berseru lebih keras. Dan Indra, Sambada
segera tahu akan maksudnya. Dengan ketangkasan yang mengagumkan ia memutar tongkatnya diatas
kepala sebagai tangkisan terhadap semua pukulan yang dilancarkan oleh para lawan dan secepat kilat
putaran tongkat berobah menjadi pukulan yang dahsyat mengenai lengan Gusti Adityawardhana.

Terkena serangan lengannya oleh Indra Sambada beliau segera menjatuhkan diri bergulingan ditanah.
Kiranya Indra Sambada tak mau pula menerima pujian yang tidak wajar itu. Segera ia menyusul, jatuh
bergulingan ditanah pula. Namun para petugas telah memutuskan Indra Sambada sebagai pemenang.
Kembali sorak sorai gemuruh menggelegar diangkasa memekakkan telinga.---

Gong besar segera dipukul lagi, sebagai tanda, bahwa lomba krida yudha telah selesai seluruhnya.
Tiba-tiba empat Tamtama pengawal Raja berjalan cepat rnenuju kearah Indra, dan segera berhenti
dihadapan Indra Sambada.

— Atas titah Tuan hamba Gusti Sri Baginda Maharaja, Gustiku Tumenggung, diperintah menghadap di
depan mimbar. — berkata seorang diantara empat Tamtama pengawal Raja tadi.

Indra Sambada segera mengikuti mereka berjalan menuju ke depan mimbar dan berhenti berdiri
tegak, serta rnenghaturkan sembah kehadapan Sri Baginda Maharaja.

— Tumenggung Indra! — Sribaginda Maharaja menyambut sembah Indra dengan berdiri serta
bersabda,—aku ingin melihat ketangkasanmu sekali lagi. Jika kau bersedia, banteng piaraanku akan
kuperintahkan untuk dilepas. Jika berhasil menundukkan dengan keris pusakamu itu, gelar “Banteng
Majapahit" ku berikan kepadamu, dan sekaligus ku angkat kau sebagai Manggala Muda Tamtama
Pengawal Raja. Bagaimana? sanggupkah engkau?—

— Hamba selalu akan menunjukkan dharma bakti hamba kehadapan Gusti hamba Sri Baginda
Maharaja. Semua titah Gusti hamba Sri Baginda Maharaja kami junjung tinggi demi kejayaan Kerajaan.
— Indra menjawab dengan tidak ragu-ragu, dan menutup kata jawabannya dengan sembah.—
Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra segera turun dari mimbar dan mendekati Indra
Sambada, seraya menepuk nepuk bahunya

— Kau putraku, harus dapat membuktikan kesanggupanmu. Aku akan membantumu dengan doa pada
Dewata Yang Maha Agung, — beliau berkata lirih kepadanya.—

— Doa restu Gusti Pamanku semoga selalu menyertai hamba. — Jawab Indra singkat.

Empat orang Tamtama segera diperintahkan untuk melepaskan seekor banteng piaraan yang
kandangnya berada di alun-alun sebelah timur Semua Tamtama segera menghunus pedang masing-
masing dan berdiri dengan pedang terhunus berjajar rapat menyerupai pagar kokoh laksana benteng,
merupakan bentuk lingkaran yang luas didepan mimbar. Pagar yang dari para Tamtama itu berlapis
ampat. Yang berada didepan sendiri semua duduk bersila, dilapis kedua duduk berjongkok, sedangkan
lapis ketiga dan ke empat berdiri. Semua tak terkecuali, bersenjatakan pedang terhunus ditangannya.
Duapuluh Tamtama Pengawal Raja duduk bersila dimimbar siap siaga dengan busur dan anak panah
ditangannya, menjaga segala kemungkinan yang akan terjadi.

Setelah Banteng dihalau dan masuk didalam gelanggang yang dipagari rapat oleh para Tamtama, Sang
Banteng segera berusaha untuk keluar dari gelanggang. Namun tiap-tiap kali ia mendekati para
Tamtama yang berjaga sabagai pagar tadi, berpuluh-puluh senjata segera diacungkan kearahnya. Sang
Banteng mendengus dengus dan kembali menggagalkan niatnya. Sorak ramainya para Tamtama yang
menghalau sang banteng untuk selalu berusaha agar banteng berada di-tengah-tengah lapangan,
menggema jauh diudara. Rakyat banyak pula yang memanjat pohon, agar dapat melihat lebih jelas
pertunjukkan yang mendebarkan penonton itu.

Banteng Istana itu adalah banteng jantan yang telah cukup usianya. Satu-satunya banteng yang
terpilih diantara berpuluh-puluh banteng lain yang telah tertangkap pada waktu berburu sebulan yang
lalu.

Dapat dibayangkan, bahwa banteng itu masih sangat liar dan lebih besar dibandingkan dengan
banteng-banteng Istana yang lain. Indra Sambada setelah mohon doa restu para Senopati dan sekali lagi
menyembah kehadapan Sri Baginda Maharaja segera melangkah maju menuju ke medan gelanggang.
Sambil berjalan ia mulai dengan semadhinya, mengumpulkan daja kekuatan bathin, untuk kemudian
dipusatkan, dan disalurkan melalui pancaran sinar matanya.

Indra Sambada kini memasuki gelanggang dan dengan tenang menghadapi banteng yang sedang
mendengus-dengus dcngan matanya yang telah merah. Dan air liur membuih keluar dari mulutnya. Kaki
depannya berganti ganti men-cakur-cakur tanah, dengan kepala menunduk sampai mulutnya menjamah
tanah. Indra Sambada dengan tak berkedip menatap mata banteng dengan sinar pancaran yang tajam
mengandung daya kesaktian. Kiranya banteng tak tahan menatap sinar pandangan Indra Sa mbada.
Kepalanya menunduk dengan membuang pandangan kebawah sesaat. Dan kini sang banteng dengan
tanduknya telah mulai menerjang kearah Indra Sambada.
Dengan tenang Indra mengelak terjangan banteng yang dahsyat itu, dengan hanya melangkah setindak
surut kesamping. Sang banteng yang menerjang sasaran kosong, kini membalik kan badannya dan
mengulangi kembali menerjang lawannya.
Namun Indra dengan tangkas mengelak menghindari terjangan yang ketiga kalinya dengan gaya yang
sama. Kembali tampik sorak menggema berkumandang memekakkan telinga. Tetapi sesaat kemudian
segera sunyi kembali, karena semua menahan nafas dengan penuh kecemasan.

Setelah berulang-ulang dapat mempermainkan sang banteng Indra Sambada kini ingin segera
mengalhiri pertarungan yang sengit itu. la berdiri mendekati dengan kuda - kudanya yang kokok kuat
didepan banteng yang sedang mengamuk laksma banteng terluka, dengan matanya yang merah
menyala. Kepalanya ditundukkan dengan tanduknya hampir mengenai tanah.
Liurnya tambah membuih-buih dan mendengus-dengus menakutkan. Semua penonton menahan nafas
dengan hati yang ber-debar-debar karena tidak tahu akan kelanjutan cara Indra bertarung melawan
banteng itu. Semua penonton terpaku seperti patung, penuh rasa keheranan.

— Mengapa hingga detik ini Indra tak mencabut kerisnya, dan masih tetap bertangan kosong. Sri
Baginda Permaisuri dan para selir menutup matanya dengan kedua belah targannya. Sri Baginda
Maharaja sendiri menanti berakhirnya pertarungan dengan penuh kecemasan hampir-hampir beliau
menghentikan pertarungan itu, tetapi sang Senopati segera mencegah akan kehendak beliau.

Sebagai seorang Senopati Manggala Yudha yang memiliki ilmu tenaga bathin yang telah mendekati
kearah sempurna, beliau segera tahu, bahwa lndra Sambada sedang metakaji kesaktiannya. Ingin pula
beliau turut menyaksikan aji kesaktian yang dimiliki oleh Indra Sambada.

Kini Indra Sambada mengerahkan pemusatan tenaga dalam untuk menghadapi benturan dengan
tenaga kekuatan lahir. Sebagian disalurkan kearah tangannya untuk menciptakan kekuatan genggaman,
sedangkan keseluruhan kekuatan yang telah memusat itu dimasukan dalam berat badannya sendiri.

Banteng menerjang lagi, tapi kini Indra Sambada tidik mengelak, bahkan menerima benturan kepala
banteng, dengan ketangkasan yang menakjubkan. Kedua belah tangannya memegang pada tanduk
banteng. Kekuatan yang menciptakan daya sakti itu adalah perpaduan ilmu dari ayahnya dan ilmu guru
Pendetanya dari Badung. Olehnya dan selanjutnya dinamakan aji sakti Badung Bandawasa. Banteng
dengan sekuat tenaga mencoba akan mengangkat badan Indra Sambada, namun Indra Samhada yang
sudah dilindungi oleh aji sakti Badung Bandawasa kini berat badannya menjadi sepuluh kali lipat.

Tak mampu banteng mengangkatnya. Banteng mendengus lagi degan mengeluarkan suara desisan
yang cukup mengerikan. Tetapi kembali sang banteng tak mampu mengangkatnya. Para penonton
seolah-olah berhenti detakan jantungnya demi menyaksikan suatu adegan pertempuran kedua kekuatan
yang dahsyat itu.
Setelah kekuatan banteng berkurang, maka Indra Sambada dengan kedua belah tangannya yang
berpegangan pada kedua tanduknya, segera mengkilirkan dengan pelan kepala sang banteng, hingga
sesaat kemudian banteng roboh ditanah dengan sepasang tanduknya masih dalam genggaman tangan
Indra Sambada. Kaki ke-empat-empatnya berkelejetan untuk berusaha berdiri, tetapi kini ia telah tak
berdaya. Sri Baginda Maharaja segera memberi isyarat untuk membunuh banteng itu dengan keris
pusakanya yang terselip dipinggangnya sebelah kiti. Tetapi Indra Sambada tak mau menodai keris
pusakanya dengan darah banteng.

Kekuatan yang telah terpusat dan mengalir keseluruh badannya, cepat dikumpulkan kembali dan
disalurkan ditelapak tangan kanannya. Kini pegangan pada sepasang tanduk banteng dilepaskan dan
dengan cepat tangan kanan Indra yang telah diisi dengan aji sakti Badung Bandawasa dikepalkan
menjadi tinju, untuk kemudian dipukulkan kearah kepala Banteng yang berada dihadapannya. Pukulan
yang dahsyat kini bersarang dikepalanya. Dan tak ayal lagi kepala banteng pecah seketika dengan
menyemburkan darah merah bercampur dengan otak yang pecah berantakan.

Tepuk tangan dan sorak sorai gemuruh memenuhi seluruh alun-alun dan berkumandang diangkasa
laksana merobohkan benteng baja .

Gong besar dipukul tiga kali dan dari keempat penjuru semua gamelan berbunyi lagi dengan lagunya
kebugiro.
Semua penonton bersorak puas dan kagum akan kesaktian Indra Sambada yang masih semuda itu.
Delapan Tamtama datang menyambut Indra Sambada dan dipanggulnya ganti berganti sampai didepan
mimbar agung. Semua Senopati mengucapkan selamat serta menjabat tangannya.

Dan pada waktu itulah Sri Baginda Maharaja berkenan melantik Tumenggung Indra Sambada sebagai
Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja, mewakili Gusti Senopati Adityawardhana dengan anugerah
gelar — Pendekar Majapahit—.

Waktu pelantikan Indra Sambada, memenuhi adat upacara, mengucapkan janji pasti Panca Setya
Tamtama yang dipimpin oleh Pendeta Istana.

Demi Dewata Yang Malia Agung dan disaksikan oleh Alam Semesta, hamba berjanji:

1. Setia patuh dan taat akan semua titah Gusti hamba Sri Baginda Maharaja Rajasanegara dan semua
perintah Pri-jagung yang menjabat lebih tinggi dari pada jabatan hamba.

2. Bersedia membela dan mempertahankan takhta Kerajaan Agung Majapahit hingga hembusan nafas
yang penghabisan

3. Bersedia membela dan mempertahankan keagungan nama Gusti hamha Sri Baginda Maharaja
Rajasenegara, dan bertanggung jawab akan keselamatan Gusti hamba Sri Baginda Maharaja beserta Sri
Baginda Permaisuri dan keluarga Istana Kerajaan hingga hembusan nafas yang terakhir.

4. Bersedia membela dan menegakkan keadilan demi kesejahteraan Negara dan rakyatny.

5. Bersedia menjadi suri tauladan bagi seluruh Tamtama Kerajaan Majapahit dan segenap rakyat.
Demikianlah hamba mengucapkan janji pasti hamba de ngan penuh kesadaran akan hukuman dan
kutukan yang dilimpahkan oleh Gustiku Sri Baginda Maharaja Rajasanegara dan Dewata Yang Maha
Agung. Apabila hamba tidak memenuhi janji pasti hamba.

Sampai disinilah Sambada sadar bahwa tugaslah sebagai rangkaian ucapan janjinya ….. dan ia sadar
dari lamunannya.

**

BAG IAN V
IRINGAN - IRINGAN perahu Iayar yang merupakan suatu armada besar, bergerak kearah barat dengan
susunan bentuk „Anggang-anggang Samudra” atau serangga laut.

Sebagai pimpinan armada, ialah Senopati Muda Manggala Tamtama Samudra Gusti Bharatarajasa
sendiri. Beliau berada diinduk perahu armada yang berada di-tengah-tengah. Sedangkan tujuh belas
perahu layar yang mengangkut tamtama darat berada dibelakang induk armada. Delapan perahu layar
mendahuIui berlayar didepan samping Iimbung kanan dan kiri dari induk armada, sebagai kaki serangga
depan, sedangkan delapan perahu lajar lainnya, berada dibelakang buritan samping kanan kiri,
merupakan kaki serangga belakang. Iringan iringan armada perahu layar seluruhnya berjumlah 36 buah
perahu layar.
Pada tiang, menara masing-masing berkibar Sang Saka Gula Kelapa dengan megahnya. Sedangkan
pada perahu induk armada disamping Sang Saka Dwi warna, berkibar megah bendera juaja kebesaran
tamtama Samudra berlukiskan naga bermakhkota warna metah diatas biru laut.

Dikala itu, musim barat daya.


Angin meniup dengan kencangnya. Layar-layar mengembang penuh, mempercepat lajunya perahu-
perahu yang sedang mengarungi samudra kearah barat.

Langit cerah. Sang Surya bersinar dengan teriknya.

Gelombang ringan ber-gulung-gulung dengan tiada hentinya. Terasalah goncangan-goncangan dalam


perahu, yang dindingnya selalu digempurnya oleh ombak yang ber-gulung-gulung itu.
Sejak meninggalkan bandar Gresik armada perah-perahu lajar telah lima hari lima malam mengarungi
samudra laut Jawa.

Kini iringan-iringan perahu-perahu layar merobah susunan bentuknya menjadi „Naga Sungsang",
karena akan merobah haluan, memotong kearah utara untuk menuju ke Teluk Kumai.

Perahu-perahu melepaskan jangkarnya dan berlabuh tenang di Teluk itu, menunggu utusan dari
Kerajaan Kota Waringin.

Selama berlaiar hingga di Teluk Kumai sedikitpun tidak mendapat gangguan dari para bajak laut.

Ternyata perhitungan-perhitungan waktu, yang diberikan oleh Sang Senopati Manggala Yudha Gusti
Harya Banendra sedikitpun tidak menyimpang dari pada kenyataan kenyataan yang dialami. Menurut
perhitungan Sang Senopati Manggala Yudha, dalam musim Barat Daya, para bajak laut tidak akan dapat
leluasa mengganas disepanjang laut Jawa. Tetapi kemungkinan mereka merobah daerah
pembajakannya disepanjang pantai utara Kalimantan, di laut Cina Selatan. Mereka kemungkinan akan
berpangkal dipulau Serasan dengan menyeberangi Selat Api dari Muara Sambas. Didaerah itu, mereka
dapat merampok perahu-perahu dagang yang berlayar hendak menuju kekota-kota disepanjang pantai
Kalimantan, ataupun yang akan menuju Pilipina dari bandar Singgapura Sembilan Negeri.

Kiranya utusan dari Kerajaan Kota Waringin telah mendahului menunggu pula dipantai Teluk Kumai.
Dari para utusan mendapat berita bahwa pasukan Tamtama dari Kerajaan Kota Waringin telah
mendahului berlajar menuju keteluk Sukadang dengan berkekuatan lima ratus Tamtama terpilih, dengan
lima ratus ekor kuda, serta lengkap dengan membawa perbekalan-perbekalan Tamtama untuk
cadangan.

Mereka selanjutnya akan menunggu didaratan sebelah Timur Utara Sukadana, antara sungai
Semandang dan sungai Matan, ditengah-tengah hutan belantara yang tidak pernah dilalui manusia.
Pasukan Tamtama Kerajaan Kota Waringin itu, telah meninggalkan Teluk Kumai pada dua hari yang lalu.

Tujuh belas perahu layar yang mengangkut pasukan Tamtama darat dibawah pimpinan Tumenggung
Indra Sambada dan didampingi oleh Tumenggung Cakrawirya segera diperintahkan oleh Sang Senopati
Muda Bharatarajasa, untuk mendahului berlajar menuju keteluk Sukadana, untuk kemudian
menggabung menjadi satu dengan pasukan Tamtama dari Kerajaan Kota Waringin. Sedangkan armada
perahu perahu layar yang dipimpinnya, akan berangkat kemudian, setelah berlabuh di teluk Kumai
selama 3 hari, dengan tujuan langsung kebandar Pontianak dan pantai Singkawang.
Dengan mengarungi Selat Karimata iringan perahu layar yang mengangkut Tamtama darat Kerajaan
Majapahit menepi kemuara sungai Pawan, menyusuri pantai Ketapang untuk kemudian tiba diteluk
Sukadana.

Indra, Sambada berserta seluruh pasukan segera mendarat dipantai Sukadana.

Lima orang tamtama penghubung dari pasukan Kerajaan Kota Waringin yang telah mendahului tiba
ditempat itu, menyambut kedatangan Indra berserta pasukan, dan kemudian menjadi penunjuk jalan
untuk menuju ketempat dimana pasukan dari Kerajaan Kota Waringin telah menunggu ber-kemah.

Kini pasukan dipimpin oleh Indra Sambada bergerak menuju kehulu sungai Semandang melalui hutan
belantara, mengikuti para tamtama penunjuk jalan. Sungguhpun dalam perjalanan darat tidak
mengalami rintangan-tintangan yang berarti, tetapi keadaan alam, membuat jalannya pasukan pasukan
sangat lambat. Sebentar-sebentar pasukan terpaksa berjalan mengitari daerah rawa rawa yang kiranya
tidak dapat diseberangi.

Satu hari semalam penuh dengan tidak berhenti sejenak pun, pasukan kini baru tiba dipersimpangan
sungai Semandang dan sungai Matan.

Hari telah berganti dengan malam. Para penunjuk jalan berhenti sesaat dan memekikkan suara
burung hantu tiga kali.

Suaranya terdengar melengking menggema dihutan belantara yang gelap gulita. Segera sunyi kembali
…… suara ditelan oleh sang gelap malam ……

Sesaat kemudian terdengarlah suara burung hantu yang sama, menyahut dari arah utara dalam rimba
yang gelap itu. Pasukan bergerak lagi kearah utara, mengikuti para penunjuk jalan. Tak lama berselang,
setelah menyusupi hutan belantara mereka tiba di daratan terbuka yang luas sekali. Dari jarak jauh,
telah kelihatan samar-samar kubu-kubu darurat, sebagai tempat berteduh untuk para tamtama pasukan
dari Kerajaan Kota Waringin, yang menunggu datangnya pasukan dari Kerajaan Majapahit itu.

Dengan penghormatan yang sederhana serta singkat, pimpnan tamtama pasukan dari Kerajaan Kota
Waringin menyambut kedatangan Indra Sambada berserta pasukan-pasukannya.

Seluruh pasukan, terkecuali yang bertugas bergilir sebagai pengawal, diperkenankan untuk segera
beristirahat dikubu-kubu darurat yang telah disiapkan itu.

Bertindak sebagai pimpinan pasukan tamtama Kerajaan Kota Waringin, adalah Senopati Manggala
Yudha Pangeran Pati Andrian. Beliau adalah putra yang tertua, calon pengganti Raja Kota Waringin,
apabila ayahnya kelak turun takhta. Beliau bertubuh kecil padat, dengan otot-otot yang kokoh kuat,
serta tangkas. Sikapnya ramah tamah, dan gemar bergurau. Wajahnya memancarkan sinar
kebangsawanannya.

Beliau berusia tidak lebih dari 35 tahun.

Pada esok paginya para pimpinan tamtama dibawah Indra Sambada merundingkan tentang siasat
penyerangan yang akan dilakukan pada malam pertama bulan purnama yalah tiga hari lagi.

Malam hari telah telah tiba, kini seluruh pasukan telah siap untuk melanjutkan perjalanan dengan
menunggu perintah dari para pimpinan.
Sepertiga dari jumlah kekuatan seluruhnya, sebanyak 500 tamtama yang tangguh dalam ilmu yudha,
dipimpin oleh Indra Sambada bergerak dengan berkuda kearah barat daya, dengan tujuan : diluar
daerah kota Pontiauak sebelum menyeberang sungai Kapuas.

Dua pertiga dari jumlah kekuatan sisanya, bergerak kearah Timur jauh dengan tujuan desa Tayan,
sebuah desa dipinggir hulu sungai Kapuas dibawah pimpinan Sang Senopati Pangeran Pati Andrian
dengan didampingi oleh Tumenggung Cakrawirya.

Tempat dimana para pasukan tamtama barpisah itu, kini telah menjadi sebuah kota yang dinamakan
kota ,,Simpang". Karena dari tempat itulah mereka bersimpang jalan.

Setelah pasukan yang dipimpin oleh Indra Sambada tiba ditempat yang dituju, segera mereka
membuat kubu-kubu darurat ditengah-tengah disebuah desa, sambil menunggu saat yang ditentukan
untuk melakukan serangan. Desa itu kini menjadi sebuah Kota pula, yang lazim disebut orang Kota Kubu.

Penduduk desa sekitarnya, berduyun-duyun datang untuk memberikan bantuan berupa makanan dan
lain-lain hingga perbekalan pasukan menjadi ber-limpah-limpah. Para pemuda-pemuda tak ketinggalan
datang berduyun-dujun, untuk menyerahkan jiwa raganya, agar dapat diterima sebagai pembantu
pasukan atau merupakan pasukan cadangan. Mereka ingin menunjukkan dharma bhaktinya untuk tanah
tumpah dara nya.

Pada umumnya, mereka adalah orang-orang pribumi asal dari daerah kota Pontianak, yang telah
diusir oleh para bajak laut Cina yang sekarang berkuasa didaerah Pontianak itu.

Oleh Indra Sambala para pemuda desa itu dibagi dalam tiga kelompok, yang masing-masing kelompok
dipimpin oleh tamtama kerajaan yang telah mahir.

Satu kelompok ditugaskan sebagai pengawal dan penunjuk jalan. Satu kelompok lagi diserahi tugas
membawa perbekalan makanan dan senjata-senjata cadangan, sedangkan kelompok ketiga yang terdiri
dari pemuda pemuda yang terpilih itu, dijadikan pasukan-pasukan cadangan dengan tugas turut
menyerbu dan membumi hanguskan kubu-kubu bangunan-bangunan dari fihak lawan. Kelompok
pemuda ketiga-tiganya diberi latihan singkat serta petunjuk-petunjuk yang jelas oleh para pimpinan
masing-masing.

Hari yang clinanti-nantikan telah tiba. Pada senja malam pasukan menyeberangi sungai Kapuas
dengan perahu - perahu sampan. Tak seorangpun berani mengeluarkan suara, sewaktu menyeberang.
Mereka melakukan semua perintah dengan patuh taat dan seksama.

Setelah seluruh pasukan dengan perbekalannya berada di-seberang utara sungai Kapuas, mereka
berjongkok tidak bergerak dalam susunan bentuk bulan sabit, disepanjang tebing sungai Kapuas. Indra
Sambada berjongkok didepan pasukannya sebagai bintang di-tengah-tengah bulan sabit.

Didepan mereka kini terbentang dataran yang luas sejauh mata memandang

Diatas dataran yang luas itu, berdiri berserakan kelompok-- kelompok bangunan rumah-rumah
sebagai tempat tinggal para bajak laut dengan keluarganya. Sinar lampu lampu minyak dalam
perumahan serta halaman-halaman, dari jauh kelihatan gemerlapan menunjukkan suatu kota yang
indah.
Telah lama kebesaran sang surya hilang ditelan oleh kegelapan malam, dan kini …… terbitlah bulan
purnama menerangi seluruh alam.

Pontianak adalah sebuah kota ditepi pantai laut selat Karimata dan merupakan bandar pelabuhan
yang cukup besar. Dengan memasuki muara sungai Kapuas perahu-perahu layar dapat berlabuh menepi
daratan dikotanya.

Sejak kota itu digunakan sebagai sarang bajak laut, tidak ada lagi perahu dagang yang berlabuh
dibandar itu, terkecuali perahu-perahu layar milik para bajak laut sendiri. Kotanya adalah suatu dataran
yang berada ditengah-tengah antara muara sungai Kapuas dan sungai Landak. Sebagian dataran dekat
muara sungai Landak merupakan tanah rawa. Dataran itu membentang luas ketimur jauh sampai di desa
Sasak. Setelah itu merupakan hutan be!ukar dan rawa-rawa yang tidak pernah dilalui manusia.

Dengan pelan sang bulan melintasi menembus awan putih yang mengurungnya, naik keketinggian,
mengikuti perintah alam gaib.

Indra Sambada bersemadi untuk mengumpulkan kekuatan bathinnya.

Panah api dilepaskan dari busurnya, jauh diketinggian. Sesaat kemudian dari dua jurusan barat dan
timur terlihat pula lintasannya panah api.

Segera Indra Sambada mernberikan isyarat merubah susunan bentuk pasukannya bergerak cepat,
menjadi „burung gelatik neba", menyerbu kearah kubu-kubu para bajak laut. Limaratus Tamtama
berkuda menyerbu dengan suara riuh ramai, sedangkan para pemuda-pemuda desa mengikuti
dibelakangnya dengan berlari-larian.

Pada saat yang sama diatas pantai Pontianak mendadak kelihatan awan gelap bergulung-gulung
membubung tinggi dan kemudian sinar merah membara menjulang keangkasa. Ternyata pasukan
Tamtama samudra sedang membakar seluruh perahu-perahu layar milik para bajak laut yang sedang
berlabuh serta bangunan-bangunan yang berada didekat pantai. Suasana yang tadinya sunyi tenang kini
berubah menjadi kacau balau. Suara jeritan perempuan-perempuan dan tangis anak-anak kecil
bercampur aduk dengan dampratan serta beradunya senjata senjata yang sedang bertempur dan derap
larinya kuda yang tak tentu arahnya. Bangunan bangunan rumah yang berkelompok disana-sini, kini
menyusul menjadi lautan api pula. Ini adalah karya para pemuda desa yang diserahi tugas untuk
membumi hanguskan. Semakin lama semakin gaduh dan kacau balau.

Para bajak laut Cina dengan gigih mcngadakan perlawanannya. Ratusan manusia menjadi korban
dalam pertempuran yang dahsyat itu. Indra Sambada dengan pedang terhunus ditangannya mengamuk
laksana banteng. Setiap lawan yang dihadapi, tidak diberi ketika pula untuk hidup. Pedang ditangannya
telah basah berleprotan darah. Dalam pertempuran yang dahsjat, masih pula ia ingat memberi perintah
dengan suara lantang dan nyaring agar para pemuda menyelamatkan orang orang perempuan dan anak-
anak.

Pasukan Tamtama samudra mengurung pula kedudukan lawan, sehingga para bajak laut yang akan
melarikan diri kearah pantai menemukan ajalnya.

— Buang senjata, jika mau menyerah!— bentak Indra Sambada dengan suara lantang dan parau.
Suaranya jelas dan berwibawa.
Karena mellat kenyataan, para bajak laut telah terkurung rapat dan jumlah pasukannya kini jauh
tidak seimbang, maka separo bahagian dari sisa yang mnasih hidup segera membuang senjatanya dan
menyerahkau diri, dengan kedua belah tangannya diangkat tinggi diatas kepalanya. Yang menyerah
segera memisahkan diri, dan dijaga kuat oleh para Tamtama samudra. Sedangkan yang belum mau
menyerah masih sibuk bertempur melawan maut.

Jumlah korban bajak laut kini stmakin bertambah. Dengan tiba-tiba kira-kira seratus orang bajak laut
yang berkuda lari meninggalkan gelanggang pertempuran menuju kearah timur. Indra Sambada beserta
para Tarntarna segera memacukan kudanya, mengejar lawan yang sedang melarikan diri itu. Tidak
terduga-duga, para bajak laut telah masuk dalam perangkap.

Mereka terkurung rapat oleh pasukan Tamtama yang dipimpin oleh Sang Senopati Pangeran Andrian,
yang bergerak dari Timur dengan bentuk susunan garuda melayang. Sayap kiri pasukan menutup sampai
tebing sungai Kapuas, sedangkan sayap kanan yang dipimpin oleh Turnenggung Tjakrawirya menutup
melintang sampai di tebing sungai Landak.

Karena tiada harapan untuk meloloskan diri melewati arah timur, maka mereka melarikan kudanya
kearah utara namun disitu, pasukan dibawah Tumenggung Cakrawirya bergerak dengan tangkasnya.
Para bajak laut segera kembali terkurung rapat, dan kini seluruh pasukan merobah susunan bentuknya
menjadi „sapit udang" untuk mengunci semua jalan. Pertempuran kembali dahsyat.

Para bajak laut gigih tidak mau menyerah. Mereka menggunakan keakhliannya dalam melemparkan
kampak sebagai senjata terakhir. Tiap kampak berkelebat berarti satu dua Tamtama direnggut jiwanya.
Tumenggung Indra Sambada segera memacu kudanya masuk dalam kancah pertempuran.

Demikianpun Tumenggung Cakrawirya segera mengikuti masuk dalam gelanggang. Dengan tombak
ditangan kanannya dan perisai ditangan kiri, Tumenggung Cakrawirya menerjang maju dalam
pertempuran. Tiap-tiap lawan yang tidak mampu menghindari gerakan tombaknya segera jatuh terkulai
menjadi mayat. Dengan tidak terduga-duga, sebuah kampak meluncur kearah kepalanya Tumenggung
Cakrawirya dari belakang. Tetapi sebelum kampak jatuh pada sasarannya, pedang Indra Sambada
berkelebat menyambutnya dengan teriakan nyaring
— Kargmas Tumenggung Cakra! Awas kampak dari belakang! —

— Trimakasih,— jawabnya singkat. Dan dengan demikian Tumenggung Cakrawirya terhindar dari
bahaya maut. Desa di tempat pertempuran ditepi sungai Landak itu kemudian dinamakan desa
Karangabang dan kini menjadi sebuah kota yaing disebut orang dengan singkatan Ngabang.

Setelah jumlah bajak laut Cina itu tinggal kira - kira tigapuluh orang lagi, dan mereka menyadari,
bahwa tidak mungkin melarikan diri, karena terkurung rapat, maka salah satu orang diantaranya, yang
berbadan tinggi besar dengan kumis dan jenggotnya yang tebal segera melemparkan senjatanya dan
mengangkat kedua belah tangan, tanda menyerah. Tindakan orang cina itu segera diikuti oleh para bajak
laut lainnya. Ternyata orang Cina yang tinggi besar itu adalah pemimpin dari gerombolan bajak laut,
bernama Tjek Sin Tju.

Semua para bajak laut yang menyerah segera dikumpulkan dan dikawal menuju kekota kembali.
Pertempuran itu berlangsung sampai pagi hari.
Jumlah korban pada kedua belah fihak tidak sedikit. Dari para bajak laut terhitung lebih dari tigaratus
orang meninggal dan tidak kurang dari duaratus luka-luka, sedangkan dari para Tamtama penyerang
terhitung kira-kira seratus tigapuluh orang meninggal dan lebih dari seratus limapuluh orang luka-luka
parah dan ringan.

Pasukan dengan dibantu oleh para pemuda desa dengan cepat mendirikan bangunan - bangunan
darurat, disamping membikin betul bangunan - bangunan yang belum musnah termakan api. Para
tawanan bajak laut dikumpulkan jadi satu dalam bangunan darurat yang besar dan dijaga kuat oleh para
Tamtama. Sedangkan yang luka-luka segera diberi pera watan pengobatan seperlunya.

Dihadapan Indra Sambada, Tjek Sin Tju pemimpin bajak laut tadi menyatakan penyesalannya atas
perbuatan-perbuatan yang telah dan berjanji akan selalu patuh, taat dan setia kepaa Kerajaan Majapahit
dan Kerajaan Kota Waringin. Ia berjanji pula bahwa selanjutnya akan bertanggung jawab penuh atas
para anggota beserta keluarganya yang dibawah pimpinannya untuk menempuh penghidupan baru
secara bertani atau berdagang yang wajar.
Ia mohon diberi ampunan dan mohon pula diijinkan menetap didaerah Pontianak, karena bagi mereka
tidak ada kemungkinan untuk kembali ke negeri asalnya.

Mengingat akan kejujuran hati dari orang - orang Cina itu maka Indra Sambada mengambil keputusan
yang sangat bijaksana. Seratus orang Cina dengan keluarganya diperkenankan menetap di Pontianak
dan menjadi orang pribumi ditempat itu, sedangkan lainnya diperintahkan menetap didaerah desa
Singkawang karena disana tanah yang subur untuk bertani masih sangat luas.

Orang pribumi Pontianak asli yang mengungsi, segera diperintahkan kembali. Scdangkan rumah-
rumah dan ladang-ladang serta harta bendanya yang masih ada, dikembalikan kepada pemiliknya
masing-masing.

Sebagai tanda terima kasih atas kemurahan hati yang diberikan oleh Indra Sambada, para cina itu
segera membagi-bagikan harta kekayaannya yang masih ada kepada para orang-orang pribumi asli yang
kembali.

Tiga malam berturut-turut diadakan pesta kemenangan. Rakyat dari desa sekitarnya turut serta
merayakan pesta kemenangan itu. Kini para bekas bajak laut yang menyerah beserta keluarganya, tidak
lagi diperlakukan sebagai tawanan. Mereka diperkenankan ikut pula meramaikan perayaan yang
dilangsungkan itu.

Sang Senonati Muda Manggala Tamtama samudra Gusti Bharatarajasa, tidak henti-hentinya
memberikan pujian atas ketangkasan dan kebijaksanaan lndra Sambada. Beliau selanjutnya
menyerahkan kuasa penuh kepada lndra Sambada dalam memimpin seluruh pasukan, serta me-ngatur
daerah yang bru saja dibebaskan dari cengkeraman bajak laut itu …..

Kira-kira ampat bulan lagi musim barat daya akan bertukar dengan pasat tintur laut. Sambil
menunggu datangnya pasat timur laut, untuk memudahkan dalam perjalanan pulang ke Majapahit, para
tamtama bersama para rakyat diperintahkan oleh Indra Sambada mendirikan bangunan rumah-rumah
baru serta jalan-jalan ke desa-desa sekitarnya secara gotong-royong.

Dengan demikian Pontianak menjadi kota ,yang indah kembali, bahkan lebih indah dari sebelumnya.
Sampan - sampan dan perahu - perahu layar yang telah dibakar ataupun dirusak segera diperbaki
kembali secara gotong royong pula. Tambak-tambak sungai diperbaiki dan diperkokoh uutuk mencegah
banjir dalam musim hujan yang akan datang. Rakyat sangat menghormati dan menghargai akan
keluhuran budi para Tam-tama Kerajaan Majapahit itu.

Demikian pula Tjek Sin Tju berserta para Cina yang berada dibawah pimpinannya. Sebagai tanda bukti
kesetiaannya penghargaan yang tinggi terhadap Indra Sambada, Tjek Sin Tju memberikan sebuah
boneka emas murni sebesar ibu jari kaki buatan negeri asalnya, yang didalamnya berisi dua butir pil obat
pemunah segala macam racun.
Menurut keterangan Tjek Sin Tju sebutir pil apabila diminum, maka selama waktu lima tahun akan kebal
terhadap serangan racun, baik yang meliwati peredaran darah karena luka, maupun yang melalui
pencernakan.

Kini hujan mulai jatuh, pasat timur laut talah tiba. Pohon-pohonpun mulai bertukar daun. Seluruh
pasukan tamtama kerajaan meninggalkan bandar Pontianak. Armada bergerak mengarungi samudra
menuju kebandar Gresik untuk kemudian kembali kekota Kerajaan.

Setelah tiba di Kota Kerajaan Majapahit, Sri Baginda Mahara ja berkenan mengadakan pasewakan
agung untuk menyambut kedatangan para tamtama berserta pimpinannya. Dalam pasewakan agung itu
Gusti Bharatarajasa dan Indra Sambada menghaturkan laporan mengenai titah yang telah dijunjung
tinggi dan dilaksanakan dengan sempurna.

**

BAGIAN VI
MENJUNJUNG TITAH Gusti hamba Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra, hamba berdua
diperin.tahkan rnenjemput Gusti Tumenggung Manggala Indra, untuk menghadap segera kehadapan
Gusti Senopati di Istana Senopaten — Kata-kata tersebut diucapkan oleh seorang diantara yang dua
Tamtama pengawal Senopaten, yang, baru saja tiba, setelah turun dari kudanya asing-masing dan
dengan langkah tegap menemui Indra, Sambada dipendapa tempat kediamannya.

Kata demi kata diucapkan dengan jelas dan ditutup dengan sembah sebagai penghormatan. Dengan
sikap _tegap kedua Tamtama menunggu jawaban dari Indra Sambada.

Sesaat Indra Sambada diam sebagai patung, penuh diliputi pertanyaan dalam kalbunya, akan isi
maksud dari panggilan yang tidak diduga terlebih dahulu.

Tetapi ia sebagai seorang satrya yang terlatih sempurna segera dapat menguasai dirinya.

— Tunggulah diluar ! saya akan berkemas dan segera ber-samamu menghadap Gusti Senopati. —
Jawaban itu diucapkan singkat dan tegas, setelah mana Indra masuk kedalam untuk ganti dengan
pakaian kcbesaran sebagai Manggala Muda Tamtama.

Kereta berkuda empat dengan kusirnya telah siap pula dihalaman depan, menanti perintah
selanjutnya. Tidak lama kcmudian Indra Sambada langsung naik dalam kereta. Kusir segera
menggerakkan cambuknya,dan terdengarlah suara cambukan mengampar diudara sabagai tanda aba-
aba kepada dua pasang kuda yang menarik Kereta

— Cepat ! -- perintah Indra kepada kusir. Kereta berjalan dengan laju, melalui jalan besar yang menuju
ke Mojo-Agung, dengan didampingi oleh dua tamtama pengawal Senopaten, berkuda disamping kanan
kiri.

Waktu itu menjelang tengah malam. Awan tebal menggantung diangkasa. Bintang satupun tidak
nampak kelihatan, namun hujan tidak turun juga.

Sebentar-sebentar terdengar guntur menggelegar diangkasa dan mengumandang jauh. Suasana


disekelilingnya sunyi dan gelap gulita. Tetapi sang kusir kiranya telah faham sekali akan liku-likunya jalan
yang harus dilalui.

Tiada seorangpun yang berbicara diperjalanan. Indra Sambada diam dalam kereta dengan rasa penuh
kecemasan. Gerangan apakah yang menjadi sebab, hingga ia dipanggil untuk menghadap Sang Senopati
pada tengah malam ini? pertanyaan itu selalu mengiang dalam angan-angannya. Tetapi tetap
merupakan pertanyaan yang tidak dapat diljawab olehnya sendiri.

Dalam pasewakan agung siang tadi, ia baru saja berjumpa pula dengan Gusti Harya Banendra. Bahkan
ia berkenan menerima pujian dan tanda jasa atas hasil yang gemilang dalam menunaikan tugasnya ialah
menundukkan geromblan besar bajak laut Cina di Pontianak itu.

Setelah mendapat ketenangan sejenak ia mengatur pernapaan dan segera bersemadi untuk
mendapatkan kekuatan bathin serta sinar penerang dari Yang Maha Agung. Sesaat dalam semadinya ia
melihat Sang Senopati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra sedang duduk bersila dengan wajah yang
muram dalam lamunannya. Kini ia tahu bahwa ada persoalan yang sangat rumit didepannya, tetapi soal
apa, tetap ia belum dapat menebaknya.

Ia berusaha selalu untuk menenangkan dirinya dengan berulang-ulang bersemadi. Entah berapa lama
sudah perjalanan yang telah ditempuhnya. Dengan keadaan dibawah sadar karena lamuaan, kini kereta
telah memasuki Istana Senopaten alap-alaping ayudha.

Suara aba-aba dari Tamtama Istana yang memberi penghormatan padanya membuat ia terbangun
dari lamunannya dan menyadarkan dirinya kembali. Pintu kereta dibuka oleh Tamtama pengawal
dengan penghormatan yang layak, dan Indra Sambada segera bangkit dari tempat duduk untuk
kemudian turun dari keretanya. Ia menyambut penghormatan Tamtama pengawal, dengan anggukan
acuh tak acuh. Dan dengan langkah yang lebar ia memasuki pendapa agung dan langsung menuju
keruangan tamu dalam Istana.

Gusti Harya Banendra kiranya telah duduk bersila menantikan kedatangannya. Setelah Indra Samhada
menghaturkan sembahnya dengan penuh hormat, segera ia mengambil tempat duduk dihadapan beliau,
dengan muka tertunduk.

— Hamba Indra Sambada memenuhi titah Gusti Hamba, telah menghadap. — Itulah kata-kata yang
dapat diucapkan oleh lndra Sambada, dan kembaIi ia menundukkan mukanya.

Suasana sunyi sesaat, Sang Senopati tidak segera menjawab. Beliau memandang kearah Indra
Sambada dengan sinar mata yang tajam.
Terasalah oleh Indra Sambada suatu kekuatan perbawa yang disalurkan melalui sinar pandangan,
sebagai tajamnya pisau yang menyayat menembus keulu hatinya. Cepat Indra Sambada bersemadi
untuk memantulkan kembali kekuatan sinar pandangan yang diterimanya, dan tidak lama kemudian
Indra mendengar helaan nafas panjang dari Gusti Harya Banendra.

— Indra Sambada, — pelan tapi cukup jelas Gusti Harya Banendra mulai bicara dengan nada yang
berat
— Panggilan ini, sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugasmu, tetapi semata mata sebagai ajah
yang ingin mengetahui isi hati dari seorang putranya. — Beliau diam lagi sejenak dan kembali menghela
napas yang dalam.

Kini Indra Sambada semakin tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh beliau. Ia mencoba meraba-
raba isi maksud kata-kata Sang Senopati, tapi tetap tidak dapat menjawabnya.

— Ketahuilah, wahai Indra, — demikian beliau melanjutkan kata-katanya, — sejak kau pada waktu
pertama kali menghadap, aku telah menjelaskan padamu, bahwa dalam hatiku kau kuanggap sebagai
puteraku sendiri, dan kiranya memang harus demikian karena mengingat hubungan kekeluargaan
mcndiang almarhumah Ibumu. Maka adalah seharusnya

73

kau berterus terang padaku dengan tidak usah menyembunyikan sesuatu rahasia, rasa malu atau segan
terhadapku. Scbagai ayah, aku selalu berusaha untuk membimbing kau agar kelak menjadi seorang
ksatrya yang dapat menjadi suri tauladan bagi lain-lainnya. Tetapi kiranya harapanku ini, kau tidak
memperdulikan. — Kembali beliau diam scjenak dan menghela napas.

Kata-kata terakhir dirasakan oleh Indra Sambada sebagai petir yang menyambar kepalanya. Hampir-
hampir ia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Kini dirasakan semakin tambah gelap dan pekak,
karena sama sekali tidak tahu apa yang dimaksudkan beliau.

— Ramanda, Gusti hamba.— Indra memotong kata beliau dengan menyembah. — Hamba belum juga
dapat menangkap isi maksud titah Gusti. Apabila hamba ba.buat sesu .tu kesalah-an, yang kiranya tidak
hamba sadari, dan dapat diampuni, hamba bersedia untuk menerima pidana dari Gusti Hamba dengan
tulus iklas. Tetapi agar hamba tidak merasa penasaran, kiranya perkenankanlah hamba molion
penjelasan tentang kesalahan yang hamba telah perbuat itu.— Ia kembali menundukkan mukanya,
dengan hati yang berdedar-debar menunggu jawaban Sang Senopati.

Sungguh aneh, apabila kau tidak tahu kesalahanmu. - Sang Senopati melanjutkan bicaranya dengan
nada penuh marahan. — Sungguhpun perbuatanmu itu tiada pidana yang menghukummu, namun
perbuatanmu adalah suatu perbuatan yang terkutuk. Ketahuilah, bahwa siksaan bathin akan
merupakan nestapa yang lebih berat dari pada pidana lahir yang di-terima hanya memenuhi hukum
praja.—

—Secepat beliia melontarkan , kemarahannya, secepat itu pula beliau berubah tenang kembali dan
melanjutkan kata-katanya dengan nada yang berat, penuh rasa penyesalan. - Yah, ……. mungkin juga
kau tidak sadar akan perbuatanmu itu.-

Sang Senopati segera menceritakan riwayat mala petaka yang menimpa keluarga ki Lurah Somad.
Tiga bulan yang telah, ki Lurah Somad meninggal dunia karena bunuh diri.
74

dengan keris pusakanya, dan satu bulan kemudian Nyi Lurah Somad menyusul suaminya bunuh diri pula
dengan djalan minum racun.

Anak yang baru lahir ditinggalkan dengan sepucuk surat tertuju pada Indra Sambada yang isinya
menyerahkan anak itu kepada Indra Sambada sebagai ayahnya yang sesungguhnya- Suatu fitnah yang
amat keji dan sangat kejam terhadap dirinya. Dan …. suatu fitnah yang amat sukar untuk disanggahnya.

Sama sekali ia tak menduga, bahwa Sawitri yang ia anggap dengan tulus ikhlas seperti ibunya sendiri
dapat berbuat sekejam itu.

Ia lebih rela untuk menerima tikaman tajamnya ujung pedang yang bersarang di uluhatinya, ataupun
tertancapnya seribu anak panah di sekujur badannya dalam medan Yudha dari pada terkena fitnah yang
demikian. Akan tetapi, …… apa daya. Dengan kata-kata saja tak mungkin ia dapat membantah tuduhan
yang amat keji terhadapnya …..

Bahwa ia mencintai Sawitri Nyi Lurah Somad, memang benar. Dan ini diakuinya, akan tetapi, cinta
sebagai anak terhadap ibunya, untuk berbuat yang demikian jauh sebagaimana dituduhkan padanya, ia
tak mungkin sampai hati.

Budi baik dari Ki Lurah Somad dan kasih sayang dari Sawitri, melebihi dari segala-galanya. Semua itu
selalu terngiang-ngiang.

Hatinya bergolak, namun tenggorokannya terasa kering dan tersumbat. Pandangan matanya menjadi
kabur berunang kunang. Hampir indra Sambada jatuh pingsan ….. tidak sadarkan diri setelah
mendengar dengan jelas apa yang telah terjadi atas keluarga Ki Lurah Somad. Dirasakannya kepala
sangat pening, badan melajang ringan. Ia tak mampu menahan terkulainya badan. Sebagai seorang
Senopati Manggala Yudha yang berilmu tinggi, beliau segera dapat membaca isi hati Indra Sambada.

Dengan kekuatan bathin yang disalurkan melalui getaran suara beliau segera dapat menyadarkan Indra
Sambada. Kini beliau berbicara dengan penuh rasa haru — Indra putraku segala sesuatu telah terjadi.
Menyesal dikemudian tak ada artinya. Yang penting adalah pemikiran untuk selanjutnya, dan akibat
kesalahan yang kau perbuat hendaknya menjadi cambuk untukmu dalam menunaikan tugasmu sebagai
seorang ksatrya. Ketahuilah, bahwa rahasia ini sesungguhnya hanya aku dan Tumenggung Sunata yang
tahu. Kepada Sunata telah kuperintahkan untuk menutup rapat akan rahasia ini, demi menjaga nama
baikmu, karena noda yang kau miliki adalah nodaku pula.

---Gusti hamba yang pantas hamba junjung — Indra Sambada berkata dengan mata berlinang
menahan keluarnya air mata, — Hamba menyerahkan diri, dan pidana apapun yang akan dilimpahkan
akan hamba jalani dengan tulus iklas. Hamba tidak akan dapat tenang, sebelum menerima pidana dari
Gusti hamba. — Ia tak dapat berkata lain daripada itu.
Sedikitpun ia tak akan membantah fitnah yang amat keji, sebelum ia dapat membuktikan kebersihannya
dengan menemukan ayah anak Sawitri yang sebenarnya. Ia telah bertekad untuk menelan mentah-
menta semua tuduhan keji, demi menguji ketabahan diri, serta untuk menebus noda-noda yang
mengotori dirinya.

– Cukup, cukup ! — Sang Senopati memotong pembicaraan Indra Sambacla. — Kini aku tahu bahwa
kau telah mengakui kesalahanmu dengan ketulusan hatimu dan penuh penyesalan. Sedikitpun aku tidak
ada niat untuk menjatuhkan pidana kepadamu. Hanya permintaanku, ke3alahan yang telah kau lakukan
tak terulang lagi.

Dengan menyembah dan mencium lututnya Sang Senopati, Indra Sambada berkata — Budi kebaikan
Gusti hamba yang tak ternilai, hamba tidak akan mampu membalasnya. Kini perkenankan hamba
mengundurkan diri serta sembah hamba mohon disampaikan Gusti Ayu. –

Indra Sambada segera bangkit dan meninggalkan Istana Senopaten.

Dikala itu telah menjelang fajar. Awan gelap yang menggantung diangkasa kini telah tak nampak lagi,
kiranya angin menyapu bersih, hingga langit kelihatan biru cerah penuh dengan bintang-bintang yang
bergemerlapan.

Sampai dirumah Indra scgera masuk dikamar tidurnya. la merebahkan diri, tetapi sedikitpun rasa
kantuknya tidak ada. Ia duduk kembali untuk kemudian bersemadi, mobon ampun kepada Sang Maha
Agung.

Tetapi wajah Nyi Lurah Somad masih selalu nampak mengganggunya dalam ia bersemadi. Terkenanglah
ia kembali akan ketulusan budi Nyi Lurah Somad pada waktu yang lampau. Ber-ulang-ulang surat wasiat
itu dibacanya ……..

Yaa ……. akupun sesungguhnya menghormati kau. Akan tetapi, mengapa kau demikian kejam
terhadapku - bisik suara hatinya.

Akan tetapi, …. untuk menghilangkan rasa kebaikan budinya, ternyata tak mudah sebagaimana ia
kehendaki.

— Andaikan aku tak menetap dirumah Ki Lurah Somad malapetaka ini tentu tak akan terjadi-
pikirannya. Dan kemudian dengan pelan ia mengucapkan doa untuknya: — Semoga Dewata Yang Maha
Agung Mengampuni dosa dan kesesatanmu! — Pada dirinya sendiri ia berjanji, bahwa ia akan menutup
rapat rahasia ini, walaupun ia harus mengorbankan nama baiknya. Dan iapun harus pula dapat
menemukan ayah anak Sawitri yang sebenarnya.

Akan tetapi bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk mengiasyafkan serta membimbingnya
ke arah yang benar, demi kelangsungan hidup dan nasib anak malang yang kini dituduhkan sebagai
anaknya sendiri itu.

Suara ayam jantan sajup-sajup terdengar saut menyaut dari jauh yang kemudian lebih jelas terdengar
karena diikuti oleh suara Ayam-ayam jantan yang berada disekitar kediamannya, suatu tanda bahwa
sebentar lagi fajar akan menyingsing.

Hari berganti siang, dan siang telah berganti malam. Indra Sambada masih saja tenggelam dalam
lamunannya. Satu hari tadi hidangan makanan yang disediakan untuknya, sedikitpun tidak dijamah.
Pesan ayah dan Guru Pendetanya kini mengumandang kembali dalam lamunannya-wahai lndra
keluhuran manusia ditentukan oleh budi pekerti dan perbuatannya, bukan karena daerah keturunan
ataupun pangkat yang dipangkunya.

Sungguhpun perbuatan manusia selalu ada_khilafnya kare na memang tidak ada manusia yang
sempurna, tetapi tiap-kekilafan hendaknya cepat disadari dan segera diimbangi dengan perbuatan -
perbuatan amal kebajikan, sebagai mana kau pelajari dalam kitab Niti.—
Getaran suara dalam lamunan itu merupakan pelita dalam kegelapan. Segera Indra Sambada sadar
kembali.

Dengan ketetapan hati ia berniat akan meninggalkan sementara, segala kemewahan dan kenikmatan
hidupnya untuk mengembara menyebar amal kebajikan serta mencari tambahan ilmu. Serta untuk
mencari jejak siapa pembunuh keluarga Ki Lurah Somad dan yang telah menfitnahnya.

Dengan tidak ragu-ragu lagi ia menulis sepucuk surat tertuju kepada sang Senopati Gusti Harya
Banendra, yang isinya, ia mohon untuk diperkenankan menanggalkan pangkat Tamtamanya, dan akan
mengembara selama 3 tahun sebagai penebus dosa yang telah diperbuatnya, pula untuk rnencari ilmu
yang 1lebih mendalam.

Sebagai penutup kata ia mo'non doa restu dari beliau dan segenap priyagung Kerajaan, dengan
berjanji akan tetap menjunjung tinggi janji pastinya — panca setia Tamtama — sebagai seorang
Tamtama Kerajaaan. Kelak apabila diijinkan ia akan kembali dalam pangkat dan kedudukannya. Surat
yang telah ditutup rapat segera diberikan pada Lurah Tamtama Sampar, seorang kepala penjaga
Senopaten kediamannya, yang menjadi kepercayaannya, dengan pesan agar besok setelah fajar
merekah disampaikan pada alamatnya—

Lurah Tamtama Sampar berbadan tegap serta berwajah tampan. Ia adalah seorang pendiam dan amat
rajin dalam melakukan tugasnya.

Karena jasa-jasanya dan selalu menunjukkan kesetiaannya, ia diangkat sebagai Kepala pengawal
Senopaten serta merangkap sebagai pembantu pribadi Indra Sambada, dengan pangkat Lurah Tamtama.

Untuk tidak mencurigakan ia meninggalkan tempat kediamannya pada malam itu dengan berkuda. Ia
berpakaian ringkas sederhana dengan membawa uang mas dinar dan berlian milik seniiri sekantong
penuh, untuk akan dibagikan kepada rakyat miskin yang dijumpainya dalam pengembaraan. Keris
pusakanya tidak ketinggalan pula diselipkan dipinggang kiri.

Ditimur sejauh mata memandang, matahari mulai terbit mernancarkan sinar emasnya dengan warna
ke merah-merahan. Tanda fajar pagi telah menyingsing. Suara burung-burung berkicau didahan pohon
yang rindang terdengar sebagai irama alam. Angin basah meniup pelan, membuat hawa sejuk segar.
Pepatah mengatakan, seribu pujangga tak akan mampu melukiskan dengan sempurna keindahan alam
diwaktu fajar. Pada hal ini hanya merupakan debu percikan dari pada Kebesaran Tuhan yang Maha Esa.

Indra Sambada turun dari kudanya dan menambatkan kudanya dipohon yang berada ditepi jalan. Ia
duduk ditanah rumput dan bersandar pada pohun munggur yang rindang, untuk melepaskan lelahnya.
Semalam suntuk ia berkuda mengikuti lereng-lereng pegunungan Kendeng, dan kini ia telah sampai
dikaki Gunung Pandan, diujung desa Rengga. Tidak ingat lagi berapa desa ia telah melaluinya.

Belum juga ia sempat mengatur nafas untuk bersemadi, tiba-tiba dari jauh sayup-sayup terdengar
suara orang bersenandung merdu sekali. Sungguhpun suara hanya terdengar samar-samar, namun kata
demi kata dalam rangkaian tembang itu terdengar jelas sekali. Dapat diperkirakan bahwa orang
bersenandung itu tentu mempunyai kesaktian ilmu yang tinggi dalam mengirimkan suara dari jarak jauh.
Semakin lama suara itu terdengar semakin mendekat, dan lebih jelas lagi. Lelahnya lenyap seketika,
karena pusat perhatian Indra kini diarahkan kesuara lagu tembang mijil, yalah lagu nyanyian rakyat
jelata yang datang dari kejauhan tadi. Dengan jelas ia mendengar bahwa rangkaien kata-kata sederhana
dalam tembang mijil itu, merupakan sindiran langsung baginya. Peristiwa yang sedang dialaminya,
diuraikan lewat dendang yang merdu itu. Pada lagu bait ketiga, baru ia mengetahui bahwa asal suara
adalah dari orang yang berada didalam gerobag pedati, yang kini sulang berjalan pelan menuju
kearahnya.

Ditengah-tengah suara orang yang sedang bersenandung, terdengar pula suara anak kecil yang
sedang mengemudikan sepasang sapi yang menarik pedati itu.

Ja ….. jak …… jak …… her!

Ayoooooooooohh……..!t dan sebentar-sebentar diselingi suara cambuk yang diayunkan dengan


tangkasnya. —Tar,tar!—

Gerobag pedati berjalan terus menuju kearahnya, dan kini jarak dari padanya tinggal kurang lebilt
limapuluh indak lagi. Suara orang yang bersenandung masih tetap mengalun dan kini tiba pada bait
keempat.

Tergeraklah hatinya ia ingin tahu orang yang sedang ber-dendang dalam gerobag pedati itu, Indra
Sambada segera bangkit berdiri untuk memperhentikan jalannya gerobag pedati.
— Bapak yang berada didalam gerobag! Sudilah kiranya memberhentikan gerobagmu sebentar! Saya
ingin turut menumpang dalam gerobagmu!—

— Silahkan jika mau. Saya tidak berkeberatan, — demikian jawaban orang dari dalam pedati dengan
singkatnya.

— Tolonglah tunggu sebentar pak! saya akan melepaskan tambatan kudaku lebih dahulu.—

Gerobag pedati berhenti, dan Indra segera melepaskan tambatan kudanya. Ia menuntun kudanya dan
untuk kemudian mengikatnya dengan tali lis dibelakang gerobag itu. Dengan satu lompatan Indra
Sambada telah berada didalam gerobag pedati, dan segera mengambil tempat duduk diatas jerami
kering yang berserakan berada didalam gerobag itu.

--- Maafkan, siapakah nama Bapak jika saya diperkenankan bertanya?—

Dengan penuh kesopanan Indra Sambada mulai bicara.

— 0... Raden, nama saya sebenarnya tidak ada artinya, tapi orang-orang yang mengenalku
rnenamakan diriku Kyai Tunggul Jawab Kyai Tunggul dengan tenangnya.
— Bapak Kyai Tunggul! Indra mengulangi kata-kata itu: — Maafkan saja yang sangat bocloh itu, pak
Kyai. Nama bapak Kyai telah teiah terkenal luas, dan saya telah pernah pula medengar nama kebesaran
bapak Kyai dari kangmas Sunata , tetapi karena belum pernah berjumpa sendiri, maka maafkan lah atas
kekilafan saya ini.— indra Sambada berkata sambil menundukkan mukanya sebagaimana lazimnya
seorang muda menghormati orang tua.

— Ah, Raden tidak perlu menghormat saya secara demikian. Bahkan seharusnya sayalah yang harus
menghormati Raden, karena berpangkat tinggi. Sebutlah saja untuk seterusnya Bapak saja, tak usah
memakai sebutan-sebutan lain— Kiai Tunggul memotong.

— Jika demikian sebaiknya bapak memanggil saja cukup dengan nak Indra saja, agar sayapun tidak
merasa canggung karenanya. Tadi jika saya tidak salah dengan bapak bersenandung tembang mijil, yang
isinya adalah merupakan sindiran langsung bagi diri saya. Dari manakah bapak mengetahui akan kisah
saya yang memilukan itu ?—.

— Oh, itu. Maafkan terlebih dahulu anakmas, apabila nakmas merasa tersinggung akan uran-uran
saya tadi. Sebenarnya saya melihat nakmas dari jauh sebagai orang yang sedang sedih dirundung
malang, lalu saya melagukan mijil dengan khajalan yang tidak menentu arah dan artinya....

— Akan tetapi itu semua bukan kajal pak! dari bait pertama sampai terakhir adalah sungguh-sungguh
terjadi pada diriku—, Indra Sambada tak sabar menunggu pembicaraan Kjai Tung-gul yang belum selesai
itu dan segera memotongnya.

— Ah ……. janganlah soal itu dipersoalkan nakmas, orang hidup sebaiknya memikirkan
kelancljutannya, dan bukan hal-hal yang telah terjadi:.–

Kjai Tunggul usianya mendekati enampuluh tahun. Orangnya kurus dan tingginya sedang. Karena tidak
memakai baju atas, maka kelihatan tulang-tulang iganya menonjol. Ia memakai celana hitam panjang
sampai dibawah lututnya. Kain Sarung yang dilipatkan diperutnya telah kumal pula Ikat kepalanya hitam.
Kumis dan jenggotnya putih beruban dan tumbuh jarang-jarang sekali, panjang tudak terumat sinar
matanya bersih dan tajam. Kyai Tunggul terkenal sebagai dukun akhli mengobati ber macam - macam
penyakit.

Namanya telah tersiar luas hingga dikota Kerajaan. Sering pula ia didatangkan oleh para bangsawan
yang berpangkat tinggi di Kerajaan untuk mengobati dan pada umumnya ia selalu berhasil dalam
menunaikan amalnya.

Tapi ia mempunyai sifat-sifat yang sukar dimengerti. Para bangsawan yang memberi upah padanya,
banyak pula yang ditolak, tapi ada pula, yang diterima dengan riang hati.

BERSAMBUNG JILID II

( III JILID TAMAT )


PENDEKAR MAJAPAHIT
INDRA - SAMBADA
Jilid 2

Karya : KUSDIO KARTODIWIRJO


Gambar : OYI SOEDOMO
Penerbit : SINTA - RISKAN

Pustaka Koleksi : pak Aditya Indra Jaya


Image Source : Awie Dermawan
Convert by : Eddy Z
Jan 2019, Kolektor - Ebook
BAGIAN I
OLEH Gusti Harya Banendra , Kyai Tunggul pernah pula akan diberi pangkat dan kedudukan sebagai
dukun di Senopaten, akan tetapi ia tidak mau menerimanya, dengan alasan ingin hidup bebas. Upah-
upah yang diterimanya dari pada para bangsawan sebagian besar dibagi-bagikan pada rakyat yang hidup
dalam kemiskinan. Ia tinggal bersama Nyai Tunggul dan anak angkatnya bernama Sujud yang selalu
mengikuti dalam perjalanan itu, didesa Ngawi ditepi kali bengawan.

— Jud, tamu kita ini mempunyai pangkat tinggi sekali di Kerajaan, maka kau harus segera memberi
sembah kepadanya — Kata Kyai Tunggul kepada anaknya angkat. Sujud yang sedari tadi mengamat-
amati Indra Sambada segera membetulkan duduk bersilanya dan menyembah dengan rasa penuh
hormat. Tapi Indra Sambada segera mendekati dan memegang kedua belah tangan Sujud serta berkata.

— Adikku manis, jangan kau menyembah kepadakui Anggaplah aku sebagai kakakmu sendiri dan
selanjutnya panggillah aku dengan kangmas atau kakang saja, — Sujud segera menggagalkan sembah
sujudnya dan duduk dengan mulut ternganga, karena tidak tahu apa yang harus ia diperbuat. Ayahnya
memerintahkan menyembah tapi tamunya menolak untuk diberi sembah sebagai penghormatan.

Kepalanya yang dicukur gundul dengan kuncung didepan dipegangnya oleh Indra Sambada dengan
belaian mesra. Anak itu usianya kira-kira 11 tahun, badannya kokoh kuat. Ia bertubuh pendek agak
gemuk, dan mukanya bulat dengan wajah yang masih kekanak-kanakan. Dilengan kirinya nampak jelas
sebuah tailalat, berbentuk bundar sebesar ibu jari kaki, berwarba merah kehitam-hitaman.

-- Ya, baiklah panggil saja kangmas kepada tamu kita itu, Jud! Kiranya tamu kita ini baik sekali dan
tidak mau memakai adat kebangsawanannya.—
Kyai Tunggul berkata kepada anaknya.
Sebentar saja Indra Sambada telah bergaul bebas dengan kyai Tunggul dan Sujud anaknya. Dengan tidak
ada rasa canggung lagi Kyai Tunggul memperlakukan Indra sebagai keluarga.
Demikianpun Sujud melancarkan pertanyaan yang lucu ber-tubi-tubi kepada Indra yang selalu dijawab
oleh Indra dengan riang hati.
— Sebaiknya nakmas nanti singgah dipondok saya barang sepekan atau lebih untuk mengenal desa
kita. Nyai tentu sangat bergirang hati, apabila nakmas sudi singgah dipondok kita. — Demikian usul kyai
Tunggul pada Indra Sambada.
—Saya mengucapkan banyak terima kasih, akan kebaikan budi Bapak Kyai jawab Indra Sambada.:—
Sesungguhnya sayapun memang akan bermaksud demikian, kiranya bapak Kyai selalu dapat menebak
tepat isi hatiku.---

--- Ah, nakmas itu selalu memberikan pujian terlalu tinggi.— Kyai Tunggul menjawab dengan rendah
hati.— Jud, sebaiknya kau keluarkan sekarang saja bekal makanan kita, perutku telah terasa Iapar sekali.
Mari Nakmas kita dahar pagi bertiga. —
Mereka bertiga segera makan dengan lahapnya. Nasi pondoh atau nasi jagung dibungkus dengan
daun jati dan lauknya tempe bacem. Dalam sekejap saja, enam bungkus nasi pondoh telah lenyap,
tinggal daun bungkusnya. Indra Sambada yang sudah dua hari tidak mau makan, kini merasakan akan
lesatnya makanan sederhana yang dihidangkan itu.
— Nakmas kelihatan sangat letih, — Kyai Tunggul mulai membuka pembicaraan kembali. —
--- Tebakan bapak sangat tepat karena saya telah dua malam tidak dapat tidur sejenakpun.- jawab
Indra Sambada.
Janganlah sungkan-sungkan, sebaiknya nakmas mengaso saja dengan merebahkan badan. Ambilah
tikar pandan yang itu dan silahkan beristirahat, agar badan nanti terasa segar kcmbali, berkata demikian
Kyai Tunggul sambil menunjuk tikar yang dilipat terselip dipajon gerobagnya

--- Nanti setelah sampai dirumah kita dapat melanjutkan percakapan sepuas hari.— ia melanjutkan
kata-katanya. Dengan tidak diulangi Indra Sambada segera mengambil tikar pandan yang dimaksud
untuk kemudian merebahkan diri. Kiranya, setelah perut merasa kenyang, kantuknya kini tak dapat
ditahan lagi. Ia segera dapat tidur dengan pulasnya.

Sepasang sampi yang menarik pedati seakan-akan telah tahu jalan yang harus ditempuhnya. Pelan-
pelan, dengan tidak menghiraukan segala yang dijumpainya mereka berjalan terus laju.

Dengan tidak terasa kini matahari telah condong kebarat. Dengan pelan sang Surya berangsur turun
dan hampir masuk kedalam cakrawala. Kesaktian umat yang bagaimanapun tak nanti dapat menahan
turunnya sang Surya.
Mega merah membara, mulai membentang diafas cakrawala, dan bayangannya tampak mengindahkan
wajah dataran.

Indra Sambada segera terbangun dari tidurnya, dan duduk terpaku melihat keindahan alam
didepannya sejauh mata memandang.

— Desa depan disebelah selatan yang kelihatan itu, adalah tempat pondokku.— Kyai Tunggul dengan
memalingkan kepalanya kearah Indra sambil tersenyum. Indra tersentak dari lamunannya dan
menjawabnya dengan anggukan kepala.

— Wah, kiranya saya tadi dapat tidur nyenyak sekali, pak. Badanku kini terasa segar kembali.— ia
melanjutkan jawabannya.

Gerobag pedati berjalan pelan dan kini memasuki sebuah desa yang dituju. Tidak jauh dari ujung desa
itu kelihatan tanggul tebing kali Bengawan. Dari desa Ngawi itu, terdengar jelas air bengawan mengalir
dengan derasnya.
Desa Ngawi adalah sebuah desa kecil, yang menilik dari rumah bangunan yang berada disitu,
penduduknya tidak akan lebih dari duapuluh kepala somah.
Pekarangannya pada umumnya luas, hingga jarak rumah-rumah bangunan berjauhan satu sama lainnya.
Tanahnya subur, terlihat dari segarnya tanam-tanaman yang berada dipekarangan. Ini mungkin
dikarenakan dekat letaknya dari kali Bengawan yang selalu tak pernah kekurangan air.
Rumah tempat tinggal Kyai Tunggul adalah merupakan rumah bilik atau disebutnya rumah gebyok,
terbuat dari kaju dengan ruang pendapa yang sedang luasnya. Pekarang yang mengitari rumah itu
dipagari keliling dengan Lambu yang rapih sekali. Tanam-tanaman bunga liar beraneka dan pohon-
pohon buah-buahan dipekarangan kelihatan segar terawat bersih.
Tiga orang pemuda tanggung segera menyambutnya atas kedatangan Kyai Tunggul, menyusul
kemudian Nyai Tunggul menyambut didepan rumah.

— Nyai ! Kali ini aku datang membawa tamu dari jauh yang akan tinggal sementara disini, hendaknya
Nyai segera menyiapkan tempat ia bermalam dan lain-lainnya.— Kyai Tunggul berseru kepada
isterinya.— Dan anggaplah tamu ini sebagai keluarga sendiri. — Sambil menunjuk kepada Indra
Sambada
-- Mari nakmas Indra, ini adalah Ibumu Nyai yang selalu setia — ia berkata kepada Indra. Indra segera
membungkukkan badannya dengan berkata :--- Maafkan Ibu Nyai, bahwa saya datang hanya membikin
repotnya Ibu Nyai saja.

— Ah, tak mengapa nakmas. Silahkan masuk dan berlakulah seperti dirumah sendiri. — demikian Nyai
Tunggul menjawab dengan ramahnya.
Sungguhpun Nyai Tunggul telah lanjut usianya dengan rambutnya telah ubanan, dan berpakaian sebagai
wanita petani desa biasa, namun jelas nampak diwajahnya, bahwa ia dahulu pada waktu masih muda
memiliki wajah yang cantik Dari pandangan sinar matanya yang memancar jernih, jelas menunjukan
bahwa Nyai Tunggul bukan berasal dari petani biasa, Apa lagi jika menilik dari tindak tanduknya yang
selalu halus dan sopan, sekalipun, ia sangat ramah tamah.

Pedati dengan sepasang sampi serta kuda Indra Sambada yang menguntit dibelakang pedati tadi,
segera dirawatnya oleh tiga orang pemuda tanggung yang tadi menyambutnya. Sujud lari kedalam
memapag Nyai Tunggul. Kelakuan Sujud tak ubahnya seperti lazim seorang anak yang selalu dimanja
oleh Ibunya. Mereka semua segera memasuki didalam rumah dan duduk asyik ber-cakap-cakap, diatas
balai-balai bambu yang lebar dengan tikar pandan. Dalam hati, Indra Sambada iri akan kebahagiaan
keluarga Kyai Tunggul yang sangat sederhana itu. Sadarlah ia kini, bahwa kebahagiaan seseorang tidak t
ergan-tung dari pada pangkat kedudukan ataupun harta-benda.
Sang Bulan telah lama menggantikan takhta, menelan terangnya siang. Sinarnya remang-remang
menyelubungi seluruh alam semesta.

Tiba saatnya Indra Sambada ingin menggunakan kesempatan, untuk mencurahkan isi hatinya yang
penuh dengan pertanyaan, selama ia berkenalan dengan Kyai Tunggul.

— Apakah bapak itu berasal pula dari desa ini ?. — Indra Sambada membuka percakapan. — menurut
dugaan saya tentunya bapak Kyai dan Ibu, bukan berasal dari desa ini. --- Kyai Tunggul menghela nafas
panjang dan menjawab ! — heh, …… ada-ada saja, pertanyaan nakmas Indra itu. Tak kukira, bahwa
penglihatanmu sangat tajam. Untuk menjawab pertanyaan nakmas itu adalah merupakan suatu kisah
yang sangat panjang dan berbelit-belit.

Tetapi jika tidak kujawab tentunya nakmas akan selalu merasa penasaran. Lagi pula saya telah banyak
mengetahui tentang dirinya nakmas. Tidak adilah jika sebaliknya tidak mengenal diriku yang sebenarnya.
Ia berhenti sejenak dan melanjutkan berkata : — Akan tetapi karena kisahku yang lampau itu erat
hubungannya dengan kepentingan rakyat banyak, serta merupakan beban tugas bagimu untuk
penyelesaiannya maka kuharap nakmas untuk bersabar hati sampai pada suatu kesempatan yang baik.
Kukuatirkan akan dinding-dinding bertelinga disini.

Sebaliknya hal itu janganlah nakmas singgung pada waktu sekarang. Lebih baik kini kita bercerita lain
mengenai hal-hal yang ringan yang langsung ada hubungannya dengan nakmas sendiri. —
Percakapan tadi walaupun diseling dengan suara tertawa tapi bagi Indra cukup menjadi perhatian
yang menegangkan syaraf angan-angannya.
Sebagai seorang ksatrya yang terlatih cepat ia mengusai kembali akan ketenangan dan menekan rasa
sifat ingin tahu dalam bathinnya. Ia sempat pula turut bersenyum dan rnengalihkan pembicaraan.
— Aku masih ingat pada uran-uran mijil bapak tadi pagi. Dan hingga sekarang belum menerima
jawaban yang tepat. Yang kuherankan, dari manakah bapak tahu tentang nasib yang sedang kualami ini
?— Tanya Indra Sambada.
Kyai Tunggul tertawa nyaring — O, itukah yang nakmas tanyakan. Baiklah akan kujelaskan padamu
secara jujur.— Kyai Tunggul melanjutkan ceritanya. —Pada waktu almarhum - Lurah Somad mendekati
ajalnya, sayalah orangnya yang dipanggil untuk memberikan pertolongan oleh Tumenggung Sunata
karena kebetulan saya berada di rumahnya. Tetapi segala sesuatu itu telah ditentukan oleh Yang Maha
Agung. Luka yang dideritanya terlalu dalam, lagi pula keris yang digunakan untuk bunuh diri itu adalah
keris pusaka yang ampuh. Maka tak mungkinlah kudapat menolongnya.
Sukmanya telah kembali keasalnya menghadap Dewata Yang Agung. Hanya kata-kata terakhir yang
dapat diucapkan kepadaku jelas terdengar — ia berhenti sesaat sambil meng-ingat-ingat, dan kemudian
ia melanjutkan: -- Sampaikan baktiku ini kepada Gusti Indra, dan semoga ia hidup bahagia. Hanya itulah
yang dapat dikatakan, untuk kemudian menutup mata se-lama-lamanya. Sejak peristiwa yang
menyedihkan itu terjadi, Nyi Lurah Somad jatuh sakit, dan saya pulalah yang diperintah oleh
Tumenggung Sunata untuk mengobatinya. Kepadaku dan kepada Tumenggung Sunata Nyi Lurah Somad
menceriterakan semua kisah dan perbuatannya, akan tetapi ia menyatakan tidak menyesal karena ia
memang menyintai nakmas lndra.
Berulang kali Tumenggung Sunata memperingatkan kepadaku agar rahasia ini jangan sampai bocor.
Bahkan beliau berpesan bahwa kelak beliau seudirilah yang akan memberi tahukan semua kejadian ini
kepada nakmas indra. Tetapi selanjutnya dengan tidak terduga - duga setelah melahirkan puteranya, Nyi
Somad mengambil jalan yang sesat membunuh diri, dengan minum racun. Sampai disinilah saya
mengetahui peristiwa itu, yang menyangkut dirinya nakmas. Sejak itu saja selalu dekat dengan
Tumenggung Sunata karena beliau berhasrat untuk belajar dariku dalam ilmu usadha.
Dari beliau pulalah saya banyak mengetahui akan kesaktian dan sifat-sifat kesatryaan nakmas lnclra.
— Maafkan, jika sekiranya ceriteraku ini menyinggung perasaan nakmas Indra. — Kyai Tunggul
berhenti bicara dan memperhatikan sikap Indra.
— Ah …… sama sekali saya tidak merasa tersinggung pak Kyai,— jawab Indra — bahkan saya merasa
berhutang budi pada bapak Kyai. Menghadapi peristiwa yang telah terjadi ini saya ingin minta petunjuk-
petunjuk dari bapak, serta jika diperkenankan saja ingin menjadi murid Bapak, untuk mempelajari ilmu
usadha, guna menambah pengetahuanku yang sangat dangkal.—

-- Jika nakmas sudi menerima nasehatku hendaknya nak mas jangan tenggelarn dalam rasa kesedihan
dan kecemasan akan noda yang telah diperbuatnya, karena hal itu tidak akan membawa manfaat bagi
nakmas sendiri, maupun nama Kebesaran Kerajaan. Ingatlah bahwa hanya seorang yang seperti nakmas
itu, yang mampu untuk menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan yang besar. Maka pelita semangat
berjuang hendaknya jangan dipadamkan, hanya karena sedih. Kesedihan itu bahkan harus menjadi obor
untuk menyalakan semangat berjuangmu.
Beban yang masih dihadapi sedang menunggu, dan membentang dihadapan nakmas Indra. Saya
sebagai seorang yang telah lanjut usia, hanya dapat memberikan petunjuk-petunjuk saya.
Kembalikanlah kepercayaan pada dirimu sendiri, dengan bekal aji kesaktianmu Bandung Bandawasa
yang telah kamu miliki itu dan binalah terus hingga mencapai kesempurnaan. Tentang hal nakmas ingin
mempelajari ilmu usadha yang kumiliki saya, sangat bergirang hati dan bersedia untuk mewariskan
kepandaianku yang tidak berarti ini kepada nakmas Indra. Hanya saya nakmas harus menerima
petunjuk-petunjuk saya tadi. Sampai disini Kyai Tunggul berhenti sejenak dan meneguk air teh yang
berada dihadapannya.
— Aduh, kini benar-benar saya menjumpai seorang tua, tak ubahnya seperti orang tuaku sendiri yang
dapat meringankan kesedihanku.— dengan nada terharu Indra melanjutkan bicara: — Nasehat bapak
semoga menjadi pedoman hidupku kemudian, dan kesediaan bapak menerima sebagai murid, saya
merasa berhutang budi yang sukar untuk membalasnya. ---
-- Ah …. tak usah nakmas merendah diri dan banyak memuji kepadaku. Baiklah hari besok kita
lanjutkan. Karena kini telah larut malam, sebaiknya kita beristirahat dahulu agar besok pulih kembali
tenaga kita ! — Kyai Tunggul memotong kata-kata Indra.
Sebentar kemudian suasana telah sunyi senyap, hanya suara air mengalir deras dari kali Bengawan
yang masih tetap terdengar semakin jelas.

•*•

B A G I A N II

RASANYA INDRA SAMBADA semakin lama semakin betah tinggal didesa Ngawi itu. Semula yang
sedianya hanya akan tinggal kira-kira sepekan, tapi kini telah setengah bulan lamanya ia masih tetap
tinggal di pondok Kyai Tunggul.
Pada hari siang, tiap-tiap harinya Indra selalu mengikuti Kyai Tunggul bersama Sujud menjelajah
desa-desa dan kota-kota untuk memberikan pertolongan mengobati orang orang yang sedang
menderita sakit atau membagi-bagikan harta ataupun makanan kepada orang-orang yang sangat miskin
yang dijumpainya sedangkan pada malam hari ia tekun mempelajari ilmu usadha dari gurunya, ialah Kyai
Tunggul sendiri.
Pada dasarnya, ilmu usadha mempunyai tiga pokok pelajaran, yalah pertama mengobati dengan
ramuan-ramuan jampi- jampi yang terdiri daun-daun-an, akar-akar serta bermacam-macam bisa dari
binatang-binatang, dan bahan-bahan lain. Dalam hal ini ia harus rajin menghafal dari kitab usadha
sastra.
Bagian kedua ialah pelajaran "sangkal putung" yaitu cara-cara menyambung tulang-tulang patah
ataupun membetulkan sambungan tulang-tulang yang terkikir. Sedangkan bagian pokok yang terakhir
atau yang ketiga ialah mengobati dengan kekuatan bathin disalurkan ujung jari-jari untuk mengurut
sipenderita, agar jalinan syaraf-syaraf yang lemah dan tidak mau bekerja sebagaimana mestinya dapat
digerakkan dan dikembalikan pada tempat jalinan yang benar.
Pun kekuatan bathin itu dapat pula disalurkan liwat pernafasan dan dikeluarkan dengan tiupan pelan
kedalam mulut sipenderita untuk membantu pernafasan si penderita dan menggerakkan jalan-jalan
darah ataupun jalinan-jalinan syaraf yang lemah.
Dengan bekal kecerdasan otaknya serta ketekunan, ditambah karena gemar alan mempelajari ilmu
usadha itu, Indra Sambada dalam waktu yang singkat segera dapat menguasai pelajaran-pelajaran yang
diterimanya. Dalam menghimpun kekuatan bathin ia tidak perlu mempelajari pelajaran dasar, karena
telah dapat dikatakan mahir mendekati kesempurnaan. Ternyata dalam ilmu menghimpun tenaga
bathin tidak ada bedanya dengan pelajaran-pelajaran yang telah dimiliki, ialah merupakan sebagian dari
pada ajiannya Bandung Bondowoso. Hanya penggunaannya yang berlainan. Waktu setengah tahun telah
dilaluinya, namun Indra Sambada ternyata semakin betah tinggal dirumah Kyai Tunggul. semakin lama
Nyai Tunggul semakin menyayangi Indra Sambada, tak ubahnya sebagai seorang ibu yang menyayangi
putranya sendiri. Demikian pula Sujud telah menganggapnya lndra Sambada sebagai kakaknya. Diwaktu
terluang Indra Sambada tidak lupa pula memberikan latihan pelajaran dasar bela diri dengan tangan
kosong ataupun dengan senjata tajam kepada Sujud. Karena memang anak itu mempunyai bakat, maka
cepat pula Sujud dapat menangkap semua pelajaran-pelajaran yang diterimanya. Dengan rajin ia selalu
mengulang latihan-latihan yang telah diberikannya.
Kini Indra Sambada telah menguasai dua pertiga bagian dari seluruh ilmu usadha yang dimiliki oleh
Kyai Tunggul dengan saksama, hanya saja masih memerlukan pengalaman-pengalaman untuk
memahirkan. Satu tahun penuh ia kini telah menjadi murid Kyai Tunggul……
Sebagaimana biasa ia bersama Sujud mengikuti Kyai Tunggul menjelajah sekitar daerah itu pada
tiap-tiap hari. Kali ini Kyai Tunggul dengan diikuti oleh Indra Sambada sendiri memakai sampan
menyeberangi kali Bengawan mengikuti arus kehilir. Dengan tangkasnya Kyai Tunggul mendayung
sampannya ketepi dan menambatkannya pada patok yang berada dipinggir kali Bengawan, dibawah
pohon gayam.
Berdua mereka berjalan kaki menuju kesebelah desa yang tidak jauh dari kali Bengawan itu. Tetapi
setelah mereka memasuki desa Trinil, ialah nama desa yang dituju, mereka sangat terperanjat melihat
keadaan disekitar itu.
Rumah-rumah banyak yang menjadi puing, bekas kemakan api sedang penduduknya satu orangpun
ridak menampakan diri. Kyai Tunggul mendahului memasuki sebuah rumah yang kelihatan masih utuh
dengan diikuti Indra Sambada. Pintu yang kunci dibukanya dengan paksa dan mereka segera masuk
kedalam. Tetapi alangkah tercengangnya karena ternyata tidak ada penghuninya. Mereka berdua
terperanjat setelah sesaat kemudian melihat dua anak setengah telanjang, merangkak keluar dari
kolong balai-balai dengan membawa bangkai seekor ayam.
Dengan lemah-lembut Kyai Tunggul dan Indra membujuk agar kedua anak itu mau diajaknya bicara.
Satu diantara anak itu ternyata anak lelaki berusia kurang lebih 6 tahun, sedangkan yang satu lainnya
adalah anak perempuan berusia tiga atau empat tahun. Nasi pondoh untuk bekal dalam perjalanan oleh
Kyai Tunggul diberikan kepada dua anak tadi dan bangkai ajam yang dipegangnya diminta oleh Kyai
Tunggul untuk kemudian dilempar jauh keluar rumah. Anak laki-laki itu memandang kepada Kyai
Tunggul dengan penuh rasa heran, sedangkan yang lebih kecil menangis me-rengek-rengek meminta
kembalinya bangkai ayam yang telah dilempar tadi. Tetapi segera mereka berdua duduk berdekatan dan
membuka bungkusan nasi pondoh yang tadi diterimanya dari Kyai Tunggul. Mereka lalu makan dengan
lahapnya, saolaholah apa yang baru saja terjadi telah dilupakan.
Indra Sambada pergi kebelakang untuk menimba air dari perigi yang berada dibelakang rumah serta
membawanya untuk kemudian dikasihkan kepada anak tadi sebagai air minum.
— Kemana bapak ibumu pergi nak ? — Tanya Kyai Tunggul dengan lemah lembut kepada dua anak
tadi, setelah mereka selesai makan. Lama mereka tidak menjawab: — Kemarin bapak dikubur. — jawab
kemudian anak lelaki itu dengan singkat.
— Dikubur? Apakah ada yang membunuhnya? — Kyai Tunggul bertanya lagi. Anak lelaki itu
memandang Kyai Tunggul dan Indra Sambada ber-ganti-ganti dan kelihatan mulai menggigil ketakutan.
Ia hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya sambil memandang keluar.
— Jangan takut nak. --- Indra berkata mendekati anak perempuan yang kecil dengan membelai
kepalanya yang berambut panjang.
— Tahukah kau nak? Siapa yang membunuh orang tuamu? Jangan takut-takut kepadaku, aku ini
datang untuk menolong kau berdua.– Kyai Tunggul melanjutkan bertanya dengan lemah lembut.
— Orang banyak berkuda datang kemari, membakari rumaah dan membunuh bapak. Ibu kami
dibawanya lari,. —
Mendengar jawaban anak laki-laki itu Indra Sambada sangat terharu. Ia memeras otaknya untuk ingin
mengetahui, gerangan siapakah yang sedemikian kejamnya, membabi buta membunuh sesama manusia
dan membakar rumah-rumah. Tetapi sulit baginya untuk mendapat jawabannia, karena tak ada orang
lain yang dapat menerangkan dengan jelas. Indra memegang lengan anak perempuan yang kecil tadi
serta memondongnya melangkah keluar rumah. Kyai Tunggul dengan menggandeng anak lelaki
mengikuti pula keluar rumah dan kini mereka ber-cakap-cakap dihalaman depan.
— Siapa namamu, anak manis?— tanya Indra Sambada kepada anak yang dipondongnya. Lama anak
itu tak mau menjawab tapi setelah pertanyaan itu diulang lagi oleh Indra dengan lemah- lembut hingga
dua kali, barulah anak itu menjawab pelan dengan logat ke kanak-kanakan: — Atinem. — jawabnya
singkat. Anak lelaki yang digandeng Kyai Tunggul menyaut membetulkan ucapan adiknya.
-- Martinem. Ia adikku.
--O, Martinem,— Indra mengulang kata, yang diucapkan oleh anak lelaki itu.
— Dan kau, siapa namamu?—
-- Saja Martiman. anak lelaki itu menjawab dengan jelas.
Sedang mereka ber-cakap-cakap dihalaman, tiba-tiba seorang kakek-kakek dengan bertongkat keluar
dari rumah yang telah hangus sebagian dan hampir roboh itu, dari seberang jalan desa yang membujur
didepannya, tidak jauh dari tempat mereka ber-cakap-cakap. Kakek-kakek itu mengawasi kanan kiri
sejenak dengan bas-was dan kemudian jalan sempoyongan mendekati mereka berempat yang sedang
bercakap-cakap dihalaman tadi. Setelah agak dekat, Indra sambil memondong Martinem segera
bertanya.
— .Mbah Kakek! Ada kejadian apa disini?—
— Den bei sekalian itu dari mana?— kakek-kakek itu tidak menghiraukan pertanyaan Indra, tetapi
bahkan menjawab dengan pertanyaan pula.
Kyai Tunggul memotong: Silahkan bapak dekat kemari.— Kakek itu menurut apa katanya Kyai Tunggul
dan segera datang lebih dekat lagi.
Jangan panggil kami den bei pak. Kami adalah orang tani biasa yang tinggal diseberang Bengawan
didesa Ngawi sana. — kata Kyai Tunggul sambil menunjuk kearah utara.
--- Dan coba tolonglah ceriterakan, ada kejadian apa sebenarnya didesa ini pak?—
— Kemarin dulu malam desa ini kedatangan rampok, yang dikepalai sendiri oleh Kerta Gembong.
Mereka datang ber-kuda lebih dari 15 orang. Semua isi rumah-rumah diangkut, sedangkan yang
melawan dibunuh secara kejam sekali. Kiranya tidak hanya sampai disitu saja kekejamannya, mereka
lalu membakari rumah-rumah itu semua. — kakek tadi bicara sambil menunjuk kearah puing-puing
rumah bekas hangus terbakar disekitarnya. Orang-orang yang masih hidup melarikan diri mencari
keselamatan asing-masing. Lima enam penduduk yang ditangkap dipesan supaya menyampaikan kepada
yang lain agar penduduk disini mengungsi jauh-jauh, karena tiga hari lagi mereka akan menetap didesa
Trinil ini.— Kakek itu berhenti berbicara sebentar dan kemudian melanjutkan Iagi. — Hanya saya
sendirilah yang ketinggalan disini, karena tidak tahu akan mengungsi kemana. Dan saya juga tidak tahu
bahwa anaknya Jayadipa itu, masih juga ketinggalan disini. — berkata demikian kakek-kakek itu
memandang kedua anak tadi.
— Lalu pak Jayadipa sendiri sekarang berada dimana pak? — tanya Kyai Tunggul.
— Begini nak, Jayadipa itulah yang menyebabkan adanya banyak korban. Ia sedianya menolong
tetangganya dengan mengadakan perlawan., mungkin karena tidak tahu bahwa rampoknya banyak
jumlahnya. Ia dibunuh dengan kejam sekali oleh para rampok tadi dan istrinya dibawa lari …….—
Kyai Tunggul dan Indra Sambada saling berpandang-pandangan, setelah mendengarkan cerita kakek-
kakek tadi.
— Mbah, siapakah sebenarnya Kerta Gembong itu? Dan orangnya bagaimana? — lndra bertanya lagi.
— Apakah belum pernah mendengar nama Kerta Gembong. — kakek-kakek menjawab.
— Wah, dia itu namanya telah tersohor sebagai kepala rampok yang menakutkan, jangankan
penduduk desa, sedangkan den Demang Jlagran yang sakti saja takut mendengar nama Kerta Gembong.
Ia kabarnya orang kebal, tidak mempan dibacok dengan klewang, dan yang lebih menakutkan lagi ia
seperti dapat menghilang seperti siluman.— Indra Sambada semakin bingung mendengar jawaban tadi.
Nama Kerta Gembong ia belum pernah mengenalnya.
Kini ditambah dengan nama yang baru lagi baginya seorang sakti yang bernama den Demang Jlagran.
— Lalu simbah tidak mengungsi, apakah tidak takut?
--- Saya ini sudah tua, berjalan kaki terlalu jauhpun tidak mampu, jadi menyerah pada nasib, nak.—
berkata demi kian kakek itu sambil menundukkan kepalanya, ia melanjutkan:
— Sebaiknya anak berdua besuk jangan berada disini, karena mereka besuk, siang entah malam hari
tentu datang kemari.-
— Bagaimana pendapat bapak ? — tanya Indra kepada Kyai Tunggul.
— Sebaiknya kita pulang saja dengan membawa dua anak ini. Biarlah mereka nanti dirawat oleh
ibumu. — jawab Kyai Tunggul dengan tegas. : — Marilah kita pulang sekarang. — sambil berkata
demikian Kyai Tunggul memberi isyarat kepada Indra untuk segera meninggalkan tempat itu.
Mereka berdua dengan memondong dua anak tadi segera berpamitan kepada kakek-kakek itu untuk
meninggalkan desa Trinil. Kakek-kakek itu mengawasi Kyai Tunggul dan Indra sebentar, kemudian
menganggukkan kepalanya sambil berkata : — Hati-hati diperjalanan nak, dan semoga Dewata
mclindungi kita semua.
Dengan kata-kata terakhir dari kakek tadi sebenarnya Kyai Tunggul agak merasa heran. Bukankah
kakek, sendiri yang berada dalam bahaja, dan harus ber-hati-hati, tapi mengapa justru ia dengan Indra
yang dikuatirkan dengan pesan yang hati-hati, diperjalanan? Rasa heran tadi disimpan didalam hatinya.
Kyai Tunggul dengan menggandeng Martinem berjalan, diikuti oleh Indra dengan memondong
Martinem meninggalkan desa Trinil, menuju ketebing kali Bengawan dimana sampannya ditambatkan.
Mereka berjalan dengan tidak berbicara sepatah katapun. Kini Martinem ternyata tidur nyenyak dalam
pondongan Indra. Terasalah teriknya matahari, karena tak ada pohon yang dijumpainya dalam
perjalanan setelah meninggalkan desa Trinil. Yang ada hanya tegalan luas dcngan tanam-tanaman
palawija yang kelihatan baru saja ditanamnya.
Mereka menuruni tebing kali Bengawan untuk kemudian tiba dipohon gayam tadi.
Tiba-tiba ada orang berkelebat meloncat kebawah dari atas pohon, langsung menyerang Kyai Tunggul
yang sedang menggandeng Martiman dengan bacokan klewang. Sekalipun serangan tadi dilakukan
secara tiba-tiba, tetapi ternyata Kyai Tunggul dengan mudah dapat menghindari. Tangan kirinya
mendorong Martiman kesamping sedang ia sendiri menjatuhkan diri berjumpalitan kemuka.
Setelah penyerang gelap tadi rnenemui sasaran kosong, dengan cepatnya bangkit, dan menerjang
kembali dengan bacokan klewangnya kearah Kyai Tunggul yang sedang berjumpalitan menjatuhkan
dirinya. Namun kembali Kyai Tunggul menyambut serangan tadi dengan tendangan kaki kanannya
kearah lambung lawannya, yang tepat mengenai sasarannya. Penyerang gelap segera jatuh terduduk
kebelakang, tetapi segera bangkit dan melompat kesamping kiri untuk menghindari datangnya pukulan
Kyai Tunggul yang menyusul itu. Indra Sambada masih memegang erat-erat pada Martinem yang
dipondongnya itu, dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya siap siaga untuk menghadapi segala
kemungkinan yang akan datang.
Kiranya Martiman yang didorong dengan tangan kiri oleh Kyai Tunggul tadi jatuh terperosok
kesamping, sehingga mukanya berlepotan tanah. Martiman lari kebelakang mendekati Indra Sambada
dengan badannya menggigil karena takutnya.
Bersamaan dengan meloncatnya penyerang gelap kesamping kiri, menyusul penyerang gelap kedua
meloncat dari balik pohon gayam. langsung menyerang pada Indra Sambada dari arah belakang.
Martiman berteriak terkejut. Tetapi Indra Sambada adalah perwira tamtama yang mendapat gelar
"Banteng Majapahit.
Sejak penyerang pertama tadi menyerang Kyai Tunggul, ia telah bersiap siaga Secepat kilat Indra
Sambada membalikkan badannya, dengan sikap merendahkan badannya. Tangan kanannya menjulur,
menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang sedang mengayunkan klewang kearah kepalanya, lalu
ditariknya kuat-kuat disusul dengan kaki kirinya bergerak melancarkan tendangan yang tepat mengenai
perut orang yang menyerang itu. Tak ayal Iagi, si penyerang jatuh terkulai ditanah dan jatuh tiada
sadarkan diri, dengan hanya satu gebrakan saja. Tak kuat ia menerima tendangan yang disertai tenaga
dahsyat, padahal Indra Sambada justru sengaja hanya meng-kira-kira separo dari tenaganya.

Melihat lawannya yang jatuh tak sadarkan diri itu, segera Indra Sambada memalingkan kepalanya untuk
mengikuti jalannya perkelahian antara Kyai Tunggul dengan penyerang yang pertama tadi. Tetapi
ternyata aneh sekali. Penyerang gelap pertama setelah melihat kawannya jatuh dan tidak sadarkan diri
cepat meloncat meninggalkan gelanggang dan lari untuk kemudian terjun dikali Bengawan yang airnya
deras mengalir. Ternyata penyerang pertama mempunyai kemahiran berenang. Ia menampakkan
dirinya diatas permukaan air, setelah jauh mengikuti derasnya arus air yang membawanya.
Kyai Tunggul segera mendekati Indra Sambada yang sedang berjongkok memegang pergelangan tangan
penyerang yang pingsan tadi, dengan Martinem yang telah terbangun menangis meronta-ronta dalam
pondongannya. Berdua mereka menyeret orang yang tak sadarkan diri tadi mendekati perahu
sampannya, dan Martiman mengikuti dibelakangnya. Dengan tali pengikat perahu sampan tadi, orang
yang tak sadarkan diri itu segera diikat kedua tangannya kebelakang dan dinaikkan dalam perahu.
Setelah semua berada diatas perahu sampan, Kyai Tunggul mengambil air kali dengan kedua tangannya
dan disiramkan kearah mukanya orang tersebut, yang sesaat kemudian terbangun kembali sadar. Ia
bangkit per-lahan-lahan dan berusaha duduk dengan kedua tangannya yang masih terikat erat
kebelakang.
— Jangan kau berusaha melarikan diri, bila kau masih ingin hidup. — dan ikuti semua perintahku. —
bentak lndra Sambada kepada orang yang terikat itu.
— Ampun den, saya hanya disuruh, dan tidak tahu apa-apa. — jawab orang itu dengan menggigil
ketakutan, dan kemudian diam dengan menundukkan wajahnya.
— Untunglah nakmas Indra Sambada ada disampingku, jika tidak tentu namakulah yang kembali dan
tidak dapat bergurau lagi dengan Nyai. — Kyai Tunggul memecah kesunyian dengan tersenyum lebar.
— Akh tidak kusangka, bahwa Bapak Kyai dapat mengelabuhi mata saya. Satu tahun aku menjadi
raurid bapak, masih juga tidak tahu, bahwa bapak Kyai mahir pula dalam ilmu krida yudha. Baru kali
inilah saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dan kini tentunya bapak tidak akan dapat
menyembunyikan rahasia lagi.— Indra menyahut dengan tersenyum pula.
— Itukan hanya suatu kebetulan saja. — Kyai Tunggul membantah — Orang yang menyerangku tadi
kebetu.lan orang yang hanya pandai melarikan diri, dan terbukti dalam perlombaan lari tadi , aku kalah
pula dengannya.—
— Tetapi bapak tadi memang sengaja tidak mengejar. Dan aku yakin bahwa bapak dapat
menangkapnya apabila hal itu dikehendaki. — sahut Indra mendesak.
— Bukan demikian maksudku, justeru aku tidak mau mengejar karena tidak mungkin aku dapat
menangkapnya, mengingat daya kemampuanku yang tak berarti ini. — masih juga Kyai Tunggul
mengelak — Sudahlah, jangan kita persoalkan lagi, yang terang aku harus berterima kasih pada nakmas
Indra — berkata demikian Kyai Tunggul sambil mendayung sampannya menepi dipinggiran.
— Anak2 manis, mari kita turun! Tidak jauh dari kita sudah sampai dirumah — Kyai Tunggul berkata
sambil menggendong Martiman. Martinem yang masih ter-isak-isak me-nangis didalam pondongan
tangan kiri Indra Sambada, sedangkan tangan kanan Indra memegang tali pengikat orang itu dan
memerintah — Ayo lekas jalan kedepanku,— bentaknya.
Orang-orang tetangga yang melihat pulangnya Kyai Tunggul dengan Indra Sambada membawa dua
anak kecil serta seorang yang dibelenggu tangannya, segera datang dan berkumpul masuk dipendapa
rumah Kyai Tunggul dan menanyakan tentang peristiwa kejadiannya.
Untuk tidak memperpanjang pertanyaan-pertanyaan, oleh Tunggul diterangkan dengan singkat,
bahwa orang yang diikat ini adalah begal yang mau menganiaya kedua anak itu, dan kemudian dapat
diringkus oleh Indra Sambada. Tapi masih ada pula diantara orang-orang itu yang kurang puas dengan
keterangan yang diberikan oleh Kyai Tunggul, bahkan ada pula yang segera melontarkan rasa
kemarahannya pada orang yang diikat tadi dengan memberikan tinju kearah muka orang itu.
— Bunuh saja, orang yang macam begini ini! — teriaknya. Indra segera menyapih orang-orang yang
sedang marah tadi dengan berkata — Sudahlah kisanak, jangan turut campur dalam urusan ini. Orang ini
akan aku serahkan kepada punggawa praja yang berwenang dikota nanti malam.—

Orang-orang tetangga segera pulang kerumah masing-masing dengan menahan perasaan yang
kurang puas.
Nyai Tunggul turut sibuk pula mengurus dua anak tadi. Martinem masih juga menangis dan selalu
menanyakan ibunya. Kakaknya Martiman dengan kata-kata membujuk menghibur adiknya. Sambil
menyuapkan nasi kepada Martinem Nyai Tanggul sebentar-sebentar mengusap matanya dengan ujung
bajunya karena selalu mengembeng air mata. Nyai Tunggul tak tega melihat kepada kedua anak
tersebut yang tertimpa kemalangan sedemikian rupa.
--- Diam ya manis, jangan menangis lagi.— kata Nyai Tunggul menghibur.
Saya inilah gantinya ibumu selama ibumu belum pulang. Tak lama lagi ibumu pasti menyusul
kemari.—
— Diamlah Nem, kakaknya turut menghibur: — Besok ibu tentu datang kemari !— Setelah dua anak
tadi makan kenyang dan diberi pakaian sekedar menutupi badannya, rnereka segera merebahkan
badannya diatas bale-bale dengan ber-himpit-himpitan, dan tak lama kemudian tidur dengan
nyenyaknya.
Nyai Tunggul masih tetap duduk menunggu disisinya, sambil mendengarkan percakapan Kyai Tunggul
dengan Indra Sambada yang duduk tidak seberapa jauh dibale-bake sebelahnya. Sujud menguntit terus
dibelakang Kyai Tunggul dan memasang telinganya lebar-lebar untuk mengikuti percakapan bapaknya?

— Bagaimana menurut pendapat bapak, akan tindakan kita selanjutnya? — Indra bertanya.
— Hal itu memang sangat sulit sekali, untuk memecahkannya. — Kyai Tunggul menjawab dengan
memejamkan matanya sesaat, seolah-olah sedang ada yang dipikirkan berat. Kemudian ia melanjutkan.
— Segala sesuatu harus dipikirkan masak-masak nakmas, tak boleh kita asal bertindak.—
— Akan tetapi jangan sampai kita terlambat, pak! — desak Indra Sambada.
— Ya, tentunya demikian. Kukira dalam hal ini nakmas mempunyai kelebihan daripada saya. Berlainan
halnya apabila menolong seseorang yang sedang sakit …….—
— Akh ……., lagi-lagi bapak masih juga merendahkan diri, — Indra Sambada menyahut sambil
bergumam.
— Hasratku untuk menumpas perampok itu memang besar, tetapi apa daya, kemampuanku tidak
memungkinkan untuk mendapat hasil yang baik, bahkan mungkin akan terjadi sebaliknya. Maka saya
menyerahkan akan kebijaksanaan nakmas Indra Sambada saja, bagaimana sebaiknya, — Kyai Tunggul
menjawab.
Mendengar jawaban Kyai Tunggul itu, Indra sebenarnya timbul rasa kecewanya. Namun demi untuk
menghormat orang tua itu sebagai gurunya ia melanjutkan bicaranya dengan merendah. - Baiklah, saya
akan mengemukakan pendapat saya, setelah saya memeriksa tawanan itu. — Berkata demikian Indra
Sambada bangkit dan berdiri dimuka orang yang duduk dilantai sebagai tawanannya itu.
Ternyata setelah mengadakan tanya jawab dengan orang yang diikat tangannya itu Indra Sambada
tidak dapat menghasilkan jawaban yang diharapkan. Rupa-rupnyanya orang itu hanya seorang bawahan
biasa yang disuruh untuk mengadakan pengawasan didesa Trinil tadi, berkenaan dengan akan
datangnya para perampok pada besok petang harinya.
Tiga orang pemuda desa yang berada dipondok Kiai Tunggul segera dipanggil dan diperintah uutuk
menjaga tawanan itu bergiliran. Kini orang tahanan tndi dibawa kebelakang di-kandang pedati dan
dijaga oleh tiga orang pemuda tadi secara bergilir.
— Bagaimana halnya jika orang tadi besok pagi-pagi lepaskan, pak.— Indra Sambada bertanya
kembali kepada Kyai Tunggul, setelah orang tahanan tadi dipindahkan kebelakang.
— Jangan, jangan nakmas! — jawab Kyai Tunggul dengan sungguh-sungguh.
— Walaupun orang itu tidak ada artinya bagi kita, tapi jangan sampai dilepaskan besok pagi, itu dapat
menggagalkan siasat kita!.
— Dalam hati Indra Sambada merasa geli juga. Kini setelah dia mengusulkan supaya dilepaskan
tahanan tadi. Kyai Tunggul mencegah karena takut akan kegagalan siasatnya, sedangkan sebelumnya ia
menyerahkan akan kebijaksanaannya. Indra Sambada sama sekali tidak memperlihatkan rasa gelinya ia
tetap bicara dengan wajar. — Lalu mau kita apakan tahanan itu, pak? --- Indra Sambada melanjutkan
kata-katanya.
--- Kita lepaskan juga, akan tetapi setelah nakmas Indra berhasil menumpas Kerta Gembong dengan
gerombolannya.—

Jawab Kyai Tunggul. Usul ini sebenarnya sependapat pula dengan fikiran Indra Sambada, namun ia
hanya berpura-pura saja, untuk mengetahui siasat Kyai Tunggul.
— Mengapa justru saya sendiri yang harus menumpasnya, bukankah kita berdua bersama Bapak Kyai?
Karena saya sendiri belum tahu akan kesaktian yang dimiliki oleh Kerta Gembong. Kenal namanya saja
baru sekarang.— Kembali Indra Sambada mendesak Kyai Tunggul.
— Bagaimanapun kesaktian Kerta Gembong, aku percaya bahwa nakmas pasti dapat
menundukkannya. Saya akan mengawasi dari kejauhan, karena jika saya turut serta, nanti bahkan akan
mengacaukan gerakan nakmas Indra. Saya hanya bermaksud untuk menolong kakek tadi keluar dari
desa Trinil—
Kini Indra menaruh curiga pada Kyai Tunggul. Sewaktu Kyai Tunggul diserang deagan tiba-tiba Indra
melihat dengan jelas, bahwa gerakan cara mengelakkan serangan-serangan tadi adalah mentakjubkan.
Kiranya jarang yang memilikinya. Tetapi sekarang kelihatannya Kyai Tunggul takut menghadapi Kerta
Gembong dengan gerombolannya. Apakah ini hanya merupakan sandiwara saja dari Kyai Tunggul, Indra
Sambada tidak da-pat menebaknya. -Biarlah, besok toh akan terbongkar juga rahasianya - pikir Indra
*

**

Bayangan hitam berkelebat bergerak pesat dikegelapan malam, memasuki suatu pekarangan didesa
Trinil. Dengan tangkasnya bagaikan seekor kuciing ia memanjat pohon nangka dan melompat mlembar
kewuwungan sebuah rumah Genteng. Gerakan itu dilakukan dengan ketangkasan yang luar
biasa,menilik tidak adanya suara bergoyangnya dahan ataupun suaranya genteng pecah. Cepat
bayangan hitam itu mengguling ke bawah dan untuk kemudian menjatuhkan diri ditalang antara
bangunan dapur dan rumah besar, dengan tidak mengeluarkan suara sedikitpun, se-olah-olah seperti
daun kering saja jatuhnya. Sungguhpun langit cerah, dan bintang-bintang bergemerlapan diangkasa,
namun cahaya bulan sedikitpun tiada nampak. Bulan purnama telah berselang beberapa waktu yang
lalu.
Indra Sambada dengan pakaian ringkasnya yang serba hitam dengan keris pusakanya dipinggang dan
kantong berisi taji disebelah kanan, sedang melihat melalui celah-celah genteng keruangan dalam
rumah yang terang benderang mendapat sinarnya cahaya lampu minyak yang tergantung di tengah-
tengah ruangan. Lima orang sedang duduk di bale-bale dengan bercakap-cakap keras, yang diselingi
dengan gelak ketawa. Satu diantara lima orang itu adalah Kerta Gembong sendiri. Ia memakai baju
hitam dengan disulam benang emas berbentuk kepala harimau didadanya. Sedang golok panjang
hamper menyerupai klewang dengan tangkainya dari gading terselip dipinggang menonjol kedepan.
Celananya hitam panjang sampai dibawah lutut, dengan sarung warna dasar merah yang dilipat
menyelubungi perutnya. Orangnya bertubuh tinggi besar, mukanya bersih berseri-seri dengan matanya
yang agak cekung dan bersinar tajam. Rambutnya panjang terurai sampai dipundaknya dan kelihatan
telah berwarna dua. Ikat kepalanya lebar segitiga diikat kebelakang berwarna merah. Sungguhpun ia
dalam percakapan tadi lancer menggunakan Bahasa daerah Jawa namun logatnya menunjukkan bahwa
ia bukan berasal dari daerah sekitar Kota Raja ataupun dari daerah Martapura. Ketiga orang yang berada
dihadapannya semua berpakaian serba hitam pula, dengan bersenjatakan klewang, sedangkan seorang
yang duduk disamping kiri Kerta Gembong, pakaiannya menyerupai Kerta Gembong. Hanya sulamannya
dengan benang perak didadanya, berbentuk kepala harimau pula.

Orang yang berkumis tebal tidak berjenggot dan alisnya tebal berbentuk sepasang golok. Mukanya
kasar dan bopeng, dengan sinar pandang matanya yang bengis. Menunjukkan bahwa ia adalah seorang
yang kejam yang tidak berkeperikemanusiaan. Dihalaman luar kelihatan adanya empat ekor kuda yang
ditambatkan pada pohon dadap, dan ringkikannya terdengar jelas.

Dari percakapan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Kerta Gembong akan menyerahkan pimpinannya
kepada orang yang berada disampingnya. Dan dari pembicaraan itu dapat diketahui pula bahwa orang
itu bernama Suronggolo, atau digelari oleh anak buahnya Suro Macan.

Sedangkan orang-orang banyak yang mengenalnya, menamakan dia sebagai Surodaksiyo, dengan
melihat kekejaman yang telah dilakukan.

— Adi Suro, saya akan pergi jauh selama kurang lebih satu tahun, maka desa Trinil ini supaya kau jaga
dan pertahankan sebagai tempat kita menetap untuk melebarkan sayap kita kearah timur hingga sampai
di Kota Raja. Kelak apabila saya kembali akan langsung datang didesa ini. Panggilah besok pagi-pagi Den
Demang Jlagran itu, dan angkatlah dia sebagai wakilmu. Dengan dia berarti kita mempunyai tambahan
anak buah yang tidak sedikit jumlahnya. Lagi pula ia adalah punggawa narapraja, yang mempunyai
pengaruh luas didaerah ini.—Kerta Gembong berhenti sejenak dan mulai lagi menghisap pipanya dalam-
dalam dan menghembuskan asap tembakaunya keluar dari mulutnya.
Kakang Kerta.— orang disamping yang diajak bicara menjawab dengan suara parau — Perintahmu
akan saya taati semua, tapi sebelum kau berangkat hendaknya simpanan harta benda kita, kita bagi-
bagikan lebih dahulu.
— O, soal itu tak usah kau khawatirkan, semua harta akan aku serahkan semua padamu, sedangkan
aku hanya akan membawa bekal secukupnya saja untuk keperluanku diperjalanan. — sahut Kerta
Gembong.
Salah satu dari ketiga orang yang berada dihadapannya memotong bicara:— Percaya saja kepada Pak
Gem- bong, kang Suro. Sedari dahulu Pak Gembong tidak pernah rakus dalam pembagian harta. Bahkan
sebagian besar selalu diberikan kepada anak-anak buah seperti kita-kita ini.—
Belum juga Suronggolo menjawab, tiba-tiba genteng diatasnya jatuh pecah berantakan dilantai, dan
bersamaan dengan itu meloncat jatuh tegak berdiri seorang pemuda yang berpakaian serba hitam
didepan mereka, dengan tangan kiri bertolak pinggang, sedangkan tangan kanannya menuding sambil
berkata Menyerah semua!-
Dengan tidak menjawab akan seruan itu Suronggolo dengan suatu gerakan meloncat langsung
menyerang dengan babatan klewangnya kearah pinggang Indra Sambada. Dengan tangkasnya Indra
Sambada memiringkan badannya dan surut setindak untuk mengelakkan serangan tadi.
Dengan satu loncatan kesamping kiri Indra Sambada langsung memukul lampu yang tergantung dengan
telapak tangannya. Lampu padam dan kini ruangan menjadi gelap gulita. Segera suara gaduh terdengar.
Lima orang serentak maju dengan senjata masing-masing ditangan menerjang Indra Sambada. Tetapi
kiranya tidak mudah menyerang dalam kegelapan, dimana semua kebetulan memakai pakaian serba
hitam. Satu sama lain bertubrukan, bahkan ada yang terkena bacokan klewang kawannya sendiri.
Kerta Gembong bersiul panjang dan nyaring, serta menerjang keluar dengan pukulan yang dahsyat
ditujukan kearah pintu. Pintu kaju jati yang kokoh segera hancur berantakan dan terbuka lebar. Semua
itu hanya terjadi dalam sekejap mata saja. Semua segera mengikuti gerakan Kerta Gembong ketuar
rumah. Namun dua diantara orang-orang tadi yang segera jatuh tersungkur didepan pintu dengan tidak
bernafas lagi. Dua buah taji yang dilemparkan Indra Sambada tepat mengenai kepala bagian belakang
dari kedua orang tadi.
Melesatnya Kerta Gembong seperti bayangan dalam kegelapan malam, diikuti oleh Suronggolo
menuju ketegalan pinggiran desa Trinil. Sesaat ketnudian menusul Indra Sambada dengan tidak kalah
gesitnya. Kiranya untuk tanya jawab sudah tidak ada kesempatan lagi. Kerta Gembong segera
membalikkan badannya dengan golok terhunus langsung menyerang Indra Sambada yang baru saja. tiba
mengejar. Demikian pula Suranggala membantu menyerang Indra dengan klewangnya. Pertarungan
sangit terjadi, Indra Sambada sangat sibuk melayani dua musuhnya yang tangguh dan bersenjata.
Dengan suara teriakan nyaring Indra Sambada meloncat tinggi untuk menghindari dua senjata yang
menyerang dari arah yang berlawanan, untuk kemudian jatuh disamping. Dengan demikian kini ia dapat
melayani serangan-seranga hanya dari depan dan samping.
Tapi Kerta Gembong rupanya telah menduga akan maksud yang akan dilakukan oleh Indra Sambada.
Dengan tidak kalah tangkasnya pula ia meloncat tinggi dengan goloknya membabat kearah kepala Indra.
Kembali Indra Sambada menjadi sibuk, dan segera ia merendahkan diri untuk menghindari serangan
yang dilancarkan mengarah kekepalanya. Dengan demikian kedudukan Indra Sambada kembali seperti
semula, yang mana ia harus melayani serangan-serangan msuhnya dari arah yang berlawanan lagi yaitu
dari arah muka dan belakang.
Kedudukan yang demikian itu kurang menguntungkan bagi kedudukan Indra Sambada. Namun ia
tetap masih dapat melayani dengan tangan kosong. Untuk mencabut keris pusakanya dirasakan belum
pada saatnya. Ia menyesal mengapa ia tadi tidak membawa klewang ataupun tongkat. Kesempatan
untuk menggunakan lemparan tajinya tidak ada, karena datangnya serangan dari arah yang berlawanan
itu sangat bertubi-tubi, ditambah jarak antara keduanya sangat terlalu dekat. Benar-benar Kerta
Gembong memiliki kemahiran dalam menggerakkan goloknya. Gerakannya menyamai gerakan seorang
perwira tamtama yang tangguh. Kini ia tahu sudah akan segi kekuatan dan kelemahan lawan Indra
Sambada berniat menggempur Suronggolo terlebih dahulu, yang tidak begitu mahir dan tangkas
dibandingkan dengan Kerta Gembong.
Suronggolo hanya mengandalkan pada kekuatan dalam gerakan menggunakan klewang untuk
membabat serta memutarkannya sebagat perisai, apabila diserang.
Dalam pertempuran ia banyak mengeluarkan tenaga, tidak seperti halnya dengan Kerta Gembong
yang selalu menyerangnya dengan perhitungan-perhitungan yang cermat serta berbahaya. Seringkali
gerakan golok Kerta Gembong hanya merupakan pancingan saja, yang kemudian disusul dengan
tendangan-tendangan yang dahsyat atau pukulan tebangan dengan tangan kirinya disertai loncatan
yang indah.
Pertempuran berjalan dengan serunya, Kerta Gembong bersiul nyaring lagi mengulangi panggilan
kepada bawahannya dengan melancarkan serangan-serangan yang berbahaya. Namun agaknya ia
menjadi heran, setelah sesaat mengawasi kanan kiri tidak ada anak buahnya yang datang.
Ternyata niat Indra Sambada untuk lebih dahulu menggempur Suronggolo tidak mendapat
kesempatan, dan tidak mudah pelaksanaannya, sebagaimana ia perkirakan lebih dahulu. Tiap kali ia
akan menerjang Suronggolo, golok Kerta Gembong selalu berkelebat menyerangnya dari arah yang tidak
diduga.
Tusukan golok Kerta Gembong kembali datang dari arah belakang, yang cepat dielakkan oleh Indra
Sambada dengan merendahkan badannya, tetapi segera disusul lagi dengan tendangan yang dahsyat.
Ternyata tusukan goloknya hanya merupakan tipu belaka. Serangan semacam itu sudah dapat diduga
dan mendapat perhatian lndra akan datangnya tendangan yang beruntun.

Namun sekarang kiranya sukar untuk dielakkan. Kerta Gembong tertawa nyaring demi melihat serangan
tendangan kakinya mengenai sasarannya dan bersarang dilambung Indra Sambada. Dengan jatuh ber-
guling-guling Indra bangkit merapat dengan badannya Suronggolo yang sedang mengayunkan
klewangnya kearah kepala lawannya.
Kesempatan demikian tidak di-sia-siakan oleh Indra Sambada. Dengan pukulan pada pergelangan
tangan kanan Suronggolo, klewang yang dipegang dengan eratnya telah terpental jatuh sejauh dua
langkah dari tempat itu. Bersamaan dengan terpentalnya klewang, bayangan hitam berkelebat
mendatangi dan langsung memukul Suronggolo dengan pukulan tongkat yang tepat mengenai
kepalanya, hingga Suronggolo jatuh terlentang untuk tidak berkutik lagi. Dalam saat yang sama Kerta
Gembong meloncat surut kebelakang dan lari terus meninggalkan gelanggang pertempuran. Kerta
Gembong sadar bahwa tendangan yang diperkirakan dapat mematikan ternyata memang sengaja
diterimanya dengan kekuatan dalam yang luar biasa sebagai gerak tipuan. Gerak tipu Indra Sambada
ternyata hanya setengah berlindung karena gerak tipunya cepat dapat diketahui oleh lawannya. Pada
waktu tendangan dari Kerta Gembong diterimanya, Indra Sambada memang sudah mematek aji
kesaktiannya Bandung Bondowoso yang disalurkan keseluruh badannya untuk membuat dirinya kebal
terhadap serangan pukulan-pukulan dan tendangan yang sudah diduga terlebih dahulu datangnya.
Indra Sambada segera meloncat mengejar larinya Kerta Gembong. Tetapi Kyai Tunggul dengan
tangkasnya melemparkan tongkat penjalinnya menghadang didepan Indra Sambada. Ternyata tongkat
yang dilemparkan tadi tepat beradu dengan sebatang golok pendek yang meluncur dengan pesatnya
kearah Indra.
Kiranya sambil berlari cepat Kerta Gembong melemparkan golok pendeknya kearah Indra Sambada
untuk mencegah pengejaran. Indra Sambada terpaksa berhenti sejenak untuk mengelak kesamping.
Dalam hati ia memuji ketangkasan Kyai Tunggul dalam melepaskan tongkat penjalinnya. Dengan
demikian terang sndah bahwa Kyai Tunggul memiliki pula suatu ilmu yang tinggi. Dengan melihat
jatuhnya dua benda yang berbenuran diudara tadi, Indra Sambada
dapat mengukur pula akan kekuatan Kyai Tunggul dan Kerta Gcmbong adalah seimbang.
Kini jarak antara Indra Sambada, dan Kerta Gembong telah lebih dari lima puluh langkah, maka Indra
Sambada segera melemparkan tajinya kearah Kerta Gembong dengan kekuatan bathin yang telah
disalurkan lewat tangannya.
Taji meluncur cepat, berkelebat sepintas dalam kegelapan. Namun kiranya Kerta Gembong telah
waspada akan datangnya bahaja dari belakang. Golok panjang disabetkan dengan berpusingan sambil
terus lari dengan membongkok. Suara beradunya taji dan golok yang tepat berpapasan terdengar
nyaring.
Kyai Tunggul maju mendekati Indra Sambada dan mengambil tongkatnya yang jatuh ditanah. Ia
memegang lengan Indra dan tangan kanannya menunjuk kearah larinya Kerta Gembong dalam
kegelapan.- Lihatlah, nakmas. Ada bayangan baru yang muncul mengejar Kerta Gembong
— Siapakah dia, pak ?—Indra menyahut dan bertanya. Bukankah kita hanya berdua ,saja?-. Tapi jarak
dua bayangan yang sedang kejar mengejar itu agak jauh, sung guhpun jarak antara keduanya terlihat
makin dekat. Tiba-tiba sampai diujung desa Kerta Gembong meloncat tinggi, dan kemudian ….. ternyata
ia telah menaiki kudanya yang ditambatkan dikegelapan diujung desa tadi.
Ia memacu kudanya dengan berteriak lantang:— Tunggulah setahun lagi aku pasti datang kembali
disini!. — Suaranya jelas terdengar sebagai ancaman. Hanya tertuju kepada siapa, Indra Sambada tidak
tahu.
Kyai Tunggul dan Indra Sambada masih mengikuti larinya bajangan yang kedua sampai diujung desa
pula, tetapi bayangan tadi kini hilang di kegelapan dan tidak meninggalkan bekas. Kyai Tunggul
membisikan kata-kata ketelinga Indra Sambada dengan pelan, kemudian mereka berdua segera masuk
kembali didesa Trinil dan memasuki rumah rusak yang ditempati oleh kakek-kakek waktu kemarin.
Berdua mereka menjumpai kakek-kakek itu. yang sedang duduk bertopang dagu dengan tongkatnya
ditangan, serta menggigil ketakutan.
— Mbah, apakah tadi tidak ada orang masuk kemari?— Indra Sambada menegur.

— Tidak nak!— yang saya dengar ialah keributan diluar sana, tapi saya takut untuk melihatnya,—
djawab kakek-kakek dengan kata-kata terputus, karena ketakutan- Kyai Tunggul dengan Indra Sambada
segera keluar lagi menudju kerumah bekas tempat pertempuran tadi. Pun disitu sunyi sepi tak ada suara
orang ataupun ringkikan kuda. Mereka segera memasuki halaman. Dan alangkah terkejutnya setelah
melihat empat orang bergelimpangan menjadi mayat, demikian pula ke-empat-empat kuda mengalami
nasib yang sama. Seingat Indra, dalarn pertempuran tadi hanya dua oranglah yang menjadi korban
lemparan taji-nya. Indra Sambada memandang kepada Kyai Tunggu dengan penuh curiga, namun Kyai
Tunggul tiba-tiba menegur Indra; — aach, kuda-kuda itu sebenarnya tak perlu dibunuh, nakmas! Tetapi
sudah terlanjur!— gumamnya.
— Bukankah ini semua bapak yang melakukannya? — Indra Sambada bertanya dengan rasa curiga!
--- Ha? …… Tak mungkin saya sekejam ini!— jawabnya tegas:— Mari kita kembali ketempat kakek-
kakek tadi!—
Mereka segera keluar halaman menyeberangi jalan desa menuju ketempat kakek-kakek tadi yang
sedang duduk menggigil ketakutan. Tetapi keduanya lebih lagi terperanjat, penuh dengan keheranan.
Setelah mencarinya didalam kegalapan dimana kakek-kakek tadi telah tidak berada dirumah itu.
Mereka segera keluar rumah yang sudah tinggal separo itu, menuju kehalaman belakang. Dan
terdengarlah suara rintihan orang. Setelah didekati ternyata ada lima orang yang diikat kakinya dan
tangannya dalam keadaan tidak sadarkan diri. Hanya seorang diantara mereka telah kembali sadar dan
merintih kesakitan. Kyai Tunggul segera menyiramnya dengan air yang ditimbanya dari perigi yang
berada dlalaman. Setelah keempat lainnya sadar kembali, mereka mulai mengerang kesakitan daa
menggigil ketakutan minta diampuni.
Kelima orang tadi setelah berjanji tidak akan melakukan lagi perbuatannya menjadi perampok, segera
dilepaskan dari ikatannya dan disuruh pergi dari desa Trinil, dengan membawa mayat-mayat kawan-
kawannya serta mengubur kuda-kuda yang telah mati. Dari keterangan yang diperoleh dari kelima orang
anggota perampok itu bahwa isteri Jajadipa kini berada dirumahnya Demang Jlagran.

— Mari kita pulang dahulu, nakmas, nanti setelah kita beristirahat sejenak, akan saya ceriterakan
dengan jelas persoalan yang rumit ini! — Kyai Tunggul berkata. Waktu itu telah hampir fajar.
Dengan janji Kyai Tunggul itu, Indra Sambada agak merasa lapang hatinya. Ia percaya bahwa teka teki
yang selarna ini terkandung dalam hatinya akan dapat segera dipecah oleh keterangan Kyai Tunggul itu.
Sampai dirumah keduanya segera duduk berjajar ber sama-sama mengatur pernafasannya, untuk
kemudian bersemedi. Lama mereka tenggelam dalam semedinya.
Terebih dahulu Kyai Tunggul dan Indra Sambada melakukan sembahyang kepada Dewata Yang Maha
Agung yang telah memberikan akan segala kemurahanNya, dan kemudian memulihkan tenaganya
kembali. Mereka lalu merebahkan badannya untuk membiarkan syaraf-syarafnya dan jalan darah
kembali tenang dan berjalan seperti keadaan sebagaimana mestinya.
Memang bagi orang yang telah tinggi ilmu bathinnya, jika dikehendaki, ia tidak memerlukan waktu
terlalu lama untuk istirahat dan memulihkan tenaganya walaupun telah lebih kurang sehari semalam tak
mengaso. Waktu itu waktu telah pagi. Orang-orang petani telah berada disawah untuk mengerjakan
tanahnya, sedangkan orang yang pergi ke-pasarpasar desa telah pulang pula. Para wanita dari petani-
petani itu, telah pula siap untuk berangkat kesawah dengan rnembawa makanan dan minuman untuk
merangsum kepadn suaminya atau keluarganya yang sedang mengerjakan sawahnya dengan giat.
Matahari dari timur memancarkan sinarnya dengan teriknya. Anak-anak kecil ber- main-main
dipekarangan dan ditegalan dengan asyiknya.
--- Marilah nakmas, kita berangkai mencari ikan dikali Bengawan, sambiI nanti kuceriterakan rahasia
yang selama ini menjadi tanda tanya bagi nakmas! — Kyai Tunggul mengajak Indra Sambada.
Dengan membawa jaring dan kantong tempat ikan yang lazim disebut "kenis". Mereka pergi menuju
kekali Bengawan dengan diikuti oleh Sujud.
Bersampan mereka bertiga menuju kehulu sungai dengan pelan. Sebentar-sebentar Kyai Tunggul
melemparkan jaringnya yang mengembang seperti Iingkaran jatuh diair dangkal ditepi, dan kemudian
ditariknya pelan-pelan untuk diangkat. Jaring yang berkembang melingkar dengan pelan menjadi kecil
kembali dan melipat. Ikan-ikan kecil, wader dan sebangsanya berkolejotan didalam jaring, dan Sujud
membantu mengambil ikan-ikan itu untuk kernudian dimasukkan dalam kantong yang dibawanya.
Yaitu kepis yang terbuat dari bambu yang dianyam. Indra Sambada mendayung sampan dengan
pelan-pelan, terus menyusuri tepi Bengawan menuju kehilir.
Kini kantong ikan telah terisi hampir penuh. Tiga per-empat dari kepis itu penuh dengan ikan yang
ber-macam-macam. Setelah mengawasi kekanan kekiri yang ternyata sepi, perahu sampan segera
dibelokkan ketepian, dan Kyai Tunggul segera memulai bicara. — Nakmas Indra, kurasa sekarang telah
tiba saarnya aku membuka rahasia yang aku pendam, dan juga mengenai kejadian kemarin dulu itu
kepadamu!-
Indra Sambada membetulkan duduknya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
— Sebetulnya aku telah mengenaI si Kerta Gembong — Kyai Tunggul melanjutkan kata-katanyanya.—
Kerta Gembong itu dulunya adalah Bupati tamtama juga dari Kerajaan Pajajaran dan bernama Kertanata
Kusumah. Terang bahwa baginya ada maksud-maksud tertentu dibalik memimpin rampok yang
mengganas didaerah ini. Semalam aku mengintai pula dari luar dengan jelas dari celah-celah gebyok
untuk meyakinkan. Ternyata yang telah aku dengar, sejak waktu lama berselang itu benar.—Kyai
Tunggul menghela nafas panjang.
— Jika dernikian apa kira-kira maksud yang sebenarnya, pak?— Dan siapakah kakek-kakek itu yang
serba aneh itu?— Indra memotong pembicaraan.
— Sabarlah dahulu.— Kyai Tunggul menjawab. — Untuk menjawab pertanyaanmu itu, ceritanya
sangat pan yang. Sewindu yang lalu sewaktu perang Bubat yang menyedihkan itu terjadi, hingga
merupakan malapetaka bagi seluruh Narapraja dan tamtama bahkan meliputi pula sebagian besar
rakyat. Banyaklah para perwira tamtama yang meninggalkan Kota Raja dan kini mereka berada didaerah
Sumedang, yang disebut orang Gunung Nyalindung.
Mereka berkumpul disitu untuk menghimpun kembali kekuatan baru yang maksudnya untuk merebut
kembali Kerajaan Pajajaran.

Tetapi ternyata Kerajaan Majapahit telah lebih cepat menggantikan para pimpinan tamtama dan
punggawa narapraja untuk menggagalkan maksud-maksud itu. Punggawa narapraja dari Kerajaan
Majapahit yang memerintah daerah Pajajaran itu, ternyata dari sebagian diantaranya ada yang kejam
dan menindas rakjatnya. Rasa kurang puas dalam hati tiap-tiap para perwira tamtama yang memang
sudah tertanam itu, menjadi lebih melonjak lagi. Namun ada pula diantara para perwira tamtama dan
bekas narapraja Pajajaran yang ingin mengetahui lebih dalam lagi, sebelum menentang kekuasaan yang
menindas daerah Pajajaran itu.
Bahkan ada pula para perwira tamtama yang berpendapat bahwa perang Bubat itu disebabkan
adanya Durno-durno dalam istana Kerajaan Majapahit jadi bukan atas kehendak Baginda Rajasanegara
ataupun Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada.
Kiranya para perwira tamtama masih terus akan melanjutkan usaha-usahanya itu hingga berhasil.
Mereka tidak mau berhenti sebelum mengetahui siapa Durno-durno yang berada di Istana Kerajaan
Majapahit. Dengan semboyan mereka akan menuntut kembalinya daerah Pajajaran. Hal ini dapat
dimengerti dengan adanya tindakan-tindakan dari para punggawa-punggawa yang ditempatkan untuk
memerintah dari Kerajaan Majapahit yang telah memeras dan menindas secara kejam didalam daerah
yang dikuasai.— Kyai Tunggul menceriterakan dengan semangat yang bernyala-nyala dan kelihatanlah
diwajahnya bahwa ia juga turut dendam pada punggawa-punggawa yang menyeleweng itu.
Karena tidak adanya perpaduan pendapat dalam hal pelaksanaan cara menentangnya kebijaksanaan
Kerajaan Majapahit yang semena-mena itu, maka para perwira tamtama yang mempunyai keberanian
dan kecintaan terhadap Tanah Air dan rakyatnya bertindak sendiri-sendiri. Ada yang bermaksud untuk
membalas mengacau didaerah Majapahit dan ada pula yang bermaksud untuk membalas membunuh
pada Durno-durno yang berada di Istana. Namun adapula yang mengambil jalan secara halus dengan
berniat menyampaikan kepada Baginda di Kerajaan Majapahit, keadaan yang sebenarnya demi
kepentingan rakyat banyak. Tetapi maksud yang terakhir ini sukar dicapai, sebelum menyelidiki lebih
dalam lagi tentang kebijaksanaan Kerajaan Ma-japahit yang sesungguhnya, dalam memperlakukan
rakyat daerah bekas Kerajaan Pajajaran. Dan pula tidak mudah untuk menghadap secara langsung
kehadapan Sri Baginda Maharaja Rajasanegara.
Jika diteliti keadaan dahulu sebelum perang Bubat terjadi, hubungan antara kedua Kerajaan dan
hubungan rakyatnya itu sangat baik sekali, namun sekarang masing-masing terutama dari sebagian
besar rakyat Pajajaran telah menyimpan benih kedendaman yang mendalam terhadap rakyat Kerajaan
Majapahit, yang sukar dipadamkan.
Telah tiba saatnya aku sekarang akan membeberkan semua rahasiaku sendiri kepadamu dengan se-
jujur-jujurnya. Sampai disini Kyai Tunggul berhenti bicara sejenak dan mengawasi kembali kanan- kiri
sekitarnya, untuk kemudian memandang tajam kepada Indra Sambada.
— Nakmas Indra, sebagai muridku tentunya nakmas tahu apa yang kumaksudsan — Kyai Tunggul
melanjutkan ceritanya kembali — Janganlah nakmas melihat dari kacamata sepihak, apabila hendak
bertindak adil dan bijaksana demi kepentingan rakyat banyak. Rakyat tak mungkin mau diajak bertindak
yang bukan-bukan, seperti memberontak atau menuntut yang bukan-bukan apabila mereka
diperlakukan wajar dan bijaksana olch para punggawa yang menguasai.
Dan kurasa dengan jalan yang bijaksana dapat pula Kerajaan Majapahit menaungi Kerajaan Pajajaran,
dengan mengangkat para bekas perwira tamtama dan para punggawa narapraja untuk ditempatkan
dalam kedudukan yang wajar. Tentunya dalam hal ini memerlukan penelitian dan penyaringan lebih
dahulu terhadap kelakuan dan sifat-sifat para perwira tamtama dan punggawa narapraja tadi.
Aku jakin bahwa hubungan baik antara rakyat Pajajaran dan Majapahit akan terjalin pulih baik kembali.
Dan dengan demikian nama keagungan Kerajaan Majapahit akan lebih harum. Rakyat akan dapat
bersatu kembali dalam naungan satu bendera Kerajaan Majapahit seperti dahulu kala.
— Apakah yang bapak maksudkan itu, agar Kerajaan Pajajaran dihidupkan kembali? — Sela Indra
Sambada.
--- Bukan, bukan dernikian maksudku nakrnas. — menjawab Kyai Tunggul dengan cepatnya. Jika
pemerintahan diserahkan kepada orang-orang Pajajaran sendiri aku yakin bahwa ketenteraman dan
kesejahteraan rakyat akan lebih dapat dicapai. Hal ini tidak perlu dengan menghidupkan kembali
Kerajaan Pajajaran yang telah musna itu. Dahulu Sri Baginda Raja menyerahkan putrinya untuk
dipersunting oleh Sri Baginda Rajasanegara, adalah dengan maksud mempererat hubungan kedua
Kerajaan yang telah terjalin lama, dan rela pula untuk dinaungi dibawah satu bendera Kerajaan. Tetapi
kiranya ada Durno-durno dalam Istana, sehingga perang Bubat terjadi dan sangat menyedihkan.
Tujuh tahun lebih aku tekun menyelidiki tata Pemerintahan Kerajaan Majapahit, dan sekarang aku
telah mengetahui dengan jelas, bahwa Priyagung-priyagung pimpinan Pernerintahan Kerajaan
Majapahit pada umumnya bersifat ksatrya dan arif bijaksana. Demikian pula sifat Gusti Patih
Mangkubumi Gaja Mada yang lebih mendekati seorang Brahmana. Atas dasar pengetahuanku ini, aku
yakin bahwa apabila salah seorang Priyagung mengetahui keadaan daerah Pajajaran yang sebenarnya
tentu akan sependapat dcngan usulku.
Hanya kepadamulah aku berani bicara terus terang, karena yakin bahwa nakmas yang dapat
menyelesaikan persoalan ini dengan jalan penuh arif dan bijaksana. — Kyai Tunggul berhenti lagi
berbicara, untuk menunggu kesediaan jawaban Indra Sambada dalam hal ini.

— Pak, kiranya hal ini tidak menyimpang dari tugas saya sebagai tamtama mengingat akan janji pasti
Panca Setia tamtama yang telah menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasku. Saya tidak berjanji
akan berhasilnya ataupun tidaknya dalam menghadapi tugas baru yang dibebankan oleh bapak, tetapi
sudahlah menjadi kewajiban saja uatuk melaksanakannya.
Hanya ada pertanyaan saya yang belum dijawab oleh bapak Kyai Tunggul, siapakah sebenarnya Bapak
Kyai Guruku ini?— Indra menjawab dan mengajukan pertanyaan lagi.— Dan siapakah kakek-kakek
kemarin malam yang aneh itu.—
— Bagiku tak ada alasan lagi untuk seialu menyembunyikan dan membohongi kepadamu. Aku adalah
bekas punggawa narapraja pula dari Kerajaan Pajajaran, Bupati didaerah Indramaju. Dan namaku yang
sebenarnya adalah Wirahadinata. Sejak daerahku diperintah oleh Bupati Tumenggung Praja-ratmaka,
saya lalu meninggalkan Kabupaten Indramayu dan menetap di Ngawi ini, dengan nama samaran Kyai
Tunggul. Dengan bekal keakhlianku dalam ilmu usadha, saya dapat mengenal lebih banyak Priyagung-
priyagung dari Kerajaan Majapahit dan telah tujuh tahun lamanya aku dapat bertahan tinggal disini.
Maksud dan tujuanku telah aku utarakan padamu tadi, namun hingga sekarang belum memungkinkan
untuk langsung menghadap berhadapan dengan Baginda Maharaja Rajasa-negara ataupun Gusti Patih
Mangkubumi Gajah Mada. Sekali lagi hanya nakmas Indralah yang menjadi harapanku dapat
menyelesaikan maksudku, demi kepentingan rakyat banyak, dan demi keharuman nama Kerajaan kita
semua Majapahit.
Tentang kakek-kakek semalam, saya tidak banjak mengetahui. Hanya menurut dugaanku ia adalah
Kyai Pandan Gede, yang telah dijuluki oleh orang-orang dengan "Siluman ambek paraamerta„ Dahulu
tempat kediamannya adalah di Gunung Pandan tak jauh dari sini, namun sekarang orang tak tahu akan
tempat tinggalnya yang tetap. Di-mana-dimana diwaktu ada peristiwa-peristiwa yang penting ia selalu
muncull. Maksud dan tujuannyapun tidak banyak saya mengetahuinya. Tetapi selama tujuh tahun aku
berdiam disini tak pernah mendapat gangguan dari Kyai Pandan Gede, bahkan ketemu saja baru
kemarin malam itu. Itupun jika tebakanku benar. Dulu saya kuatirkan bila rahasiaku akan bocor, dan ia
bertindak terhadapku.
Namun kekuatiranku itu kini telah hilang lenyap. Karena orang-orang selalu hanya menceritakan
tentang kebaikannya dari tindakan Kyai Pandan Gede dan kesaktian sebagai siluman yang dimilikinya.
Asya pernah berusaha menemuinja, tetapi sudah dua kali aku mendaki Gunung Pandan, tidak pernah
dapat berhasil menemui. Mungkin jika nakmas dapat menemuinya akan banyak manfaatnya dalam
menunaikan tugasmu itu.
— Kyai Tunggul bcrhenti lagi sejenak. Kiranja panas teriknya matahari yang menyinari langsung dari
atas kepalanya mengganggunya. Sebentar-sebentar ia menyeka peluhnya. Indra Sambada
mendengarkan cerita Kyai Tunggul dengan saksama. Kalimat demi kalimat diperhatikan dengan
sungguh-sungguh. Sedangkan Sujud lama-lama duduk terkantuk dengan sendirinya,
Setelah puas mereka bercakap cakap dengan tiada gangguan, maka mereka bertiga kembali pulang,
dengan sampannya mengikuti mengalirnya air kali Bengawan. Dalam perjalanan pulang tidak banyak
yang mereka bicarakan, karena masing-masing terbawa dalam alam lamunan mereka sendiri. Hanya
Sujudlah sebentar-sebentar mengajukan pertanyaan yang bukan-bukan kepada Kyai Tunggul.
Karena ia kini tahu pula, bahwa ayah angkatnya sebenarnya adalah seorang bekas Bupati. Diam? iapun
turut mengikuti jalan ceritanya.

**

Sedang ia duduk bersemadi memuji akan kebesaran Yang Maha Agung serta mohon penerangan dan
kekuatan padaNya, demi untuk mengabdi pada Kerajaan dan rakyat, terdengar suara ketukan pelan tiga
kali dari dinding kayu yang berada dibelakangnya. Indra Sambada setelah mengambil keris pusakanya
yang berada dibawah bantal, segera keluar lewat pintu belakang, untuk tidak mengganggu seisi rumah
yang sedang tidur nyenyak.
Malam itu telah tengah malam. Cuaca gelap, awan hitam menggantung diangkasa. Di-sela-selanya
memancar bintang-bintang dengan sinarnya yang pudar.
Tak kuasa sinarnya menembus tebalnya awan yang menghalang. Angin basah meniup dari selatan,
membuat segarnya badan. Dcngan pelan ia menutup pintu belakang kembali dan berjalan dengan
penuh kewaspadaan menuju kearah suara ketukan yang tadi didengarnya, dengan hati yang ber –
debar-debar. Tetapi alangkah herannya setelah didatangi, ternyata tidak ada seorang manusia. Keadaan
disekitarnya sunyi sepi. Ia segera bertindak pelan memasuki kandang sapi dan memeriksa dengan teliti
pula, didalam dan dikolong pedati. Namun tidak nampak juga apa yang dicarinya. Kembali ia berdiri di-
tengah-tengah pekarangan serta mengawasi kearah atas pohon-pohon yang rindang. Tetapi ternyata
dahan serta rantingnya sedikitpun tidak bergerak. Dengan tangkas ia meloncat naik kegenteng dapur,
dan berjalan mengikuti membujurnya wuwungan. Pun disitu kelihatan sepi, dan tidak ada bekas tanda-
tanda injakan orang. Ia segera turun kembali dengan rasa penuh keheranan. Suara ketukan tadi
walaupun pelan tapi terdengar jelas olehnya, tidak mungkin ia salah dengar.

Kini ia berdiri seperti patung dikegelapan malam yang sunyi itu. Hanya suara air yang deras mengalir
dari kali Bengawan terdengar semakin jelas seperti tak pernah merasa lelah dan jemu.
Tiba - tiba tergerak rasa hatinya untuk pergi ketanggul tepi kali Bengawan. Kakinya melangkah
mengikuti suara hatinya. Kini ia telah berdiri ditebing kali Bengawan mengawasi kekanan kiri sejauh ia
dapat memandang menembus dikegelapan malam.
Tetap tidak ada tanda-tanda berkelebatnya bayangan manusia. Ia berjalan pelan rnenyusuri tebing
kearah utara. Setelah merasa lelah berjalan menyusuri tebing kali Bengawan, ia du-duk tenang diatas
rumput yang tumbuh lebat diatas tanggul. Ia tengah memikirkan nasib ibunya Martinem, dan nasib
rakyat didaerah Pajajaran yang menurut Wiriahadinata, hidup dalam penderitaan. Sedang ia tenggelam
dalam lamunan disertai dengan khayalan yang melantur. Tiba-tiba terdengar suara orang
memanggilnya: — Tumenggung Indra, lekas pulang dan berangkatlah segera kelereng Gunung Sumbing

Begitu suara itu lenyap, bayangan orang bertongkat dise-berang kali Bengawan berkelebat dengan
pesatnya menjauhi kearah barat. Tak mungkin ia mengejar untuk mengetahui lebih jelas, siapa orang itu.
Dan demikian tak ada jalan lain kecuali ia harus mengikuti perintah suara itu. Melihat berkelebatnya
bayangan tadi adalah orang bertongkat, maka tak ada lain rabaannya kecuali Kyai Pandan Gede. Tetapi
apa maksudnya ia harus pergi kelereng Gunung Sumbing, dan pula kesempatan untuk bertanya
menjelaskan tak diberinya. Lereng Gunung sebelah manakah yang dimaksud oleh Kyai Pandan Gede tadi
? Penasaran akan rasa ingin tahu ia cepat berjalan laksana bayangan berkelebat ditengah malam menuju
kerumah. Dengan tangkas ia melompati pagar bambu yang mengelilingi halaman untuk kemudian
menuju kepintu depan dengan langkah yang penuh kewaspadaan, karena mendengar adanya suara
percakapan yang ramai didalam rumah, dengan diselingi suara tangis anak terisak-isak.
Ternyata pintupun tak tertutup rapat, dan lampu minyak didalam rumah menyala terang. Kini rasa
cemasnya hilang seketika setetah melihat Kyai Tunggul bersama Nyai Tunggul sedang duduk
berdampingan, menghadapi seorang perempuan yang dikerumuni oleh Martiman dan Martinem.
Martinem duduk dipangkuan orang itu sedangkan Martiman dalam pelukan menyandarkan badannya
dekat-dekat kedada orang perempuan tadi. Indra Sambada melangkah masuk rumah sambil
membungkukkan badannya tertuju kepada orang perempuan yang tak dikenalnya. Ia segera mengambil
tempat duduk disisi Kyai Tunggul. Dengan datangnya Indra Sambada, percakapan tadi berhenti scbentar,
dan kini Kyai Tunggul bicara tertuju kepada Indra.
— Nakmas Indra, harap kenalkan dahulu pada tamu kita ini, ia adalah Nyai Jayadipa ibunya
Martiman.—
Indra segera membetulkan duduknya, sambil menganggukkan kepalanya. — Kenalkan mbakyu, saya
Indra Sambada anak kemenakan Kyai Tunggul, kata Indra dengan penuh sopan, yang disambut oleh Nyai
Jayadipa dengan anggukan kepala pula sebagai balasan untuk menghormatnya.
— Menurut katanya, datangma kemari diantarkan oleh seorang kakek-kakek bertongkat—, Kyai
Tunggul melanjutkan bicaranya ! — Dan nakmas tadi dari mana? Apakah tidak ketemu dengan kakek-
kakek itu? tanya Kyai Tunggul kepada Indra.
Saya tadi dari tanggul Bengawan situ, pak! Tapi tidak berjumpa dengan siapapun jawab Indra singkat.
— Coba nak Jaya, teruskan ceritamu tadi, biarlah nakmas Indra ini turut mendengarkan. Bagairnana
kakek-kakek dapat menolongmu ---. Kyai Tunggul kembali mempersilahkan Kyai Jayadipa untuk
melanjutkan ceritanya yang terhenti.
--- Setelah saya berada dikamar yang pintunya tertutup dari luar, di Kademangan Jlagran, dari sela-sela
papan pintu itu saya melihat banyak sekali orang-orang yang berkumpui disitu, mungkin kira-kira ada
duapuluhan, termasuk yang membawa saya. Menurut percakapan mereka yang dapat saya tangkap,
saya hanya akan dititipkan selama, tiga hari, dan setelah itu entah mau dibawa kemana lagi oleh orang
yang kasar itu. Oleh Demang Jlagran dan istrinya saya diperlakukan baik-baik, tapi selalu saya menangis
bersedih hati, teringat kepada anak-anak saya yang nasib kelanjutannya tak kuketahui.
Tentunya Pak Kyai dan Ibu Nyai ataupun si adi, dapat membayangkan, betapa kesedihan yang sedang
menimpa diriku itu,— Nyai Jayadipa berhenti sebentar sambil mengusap air mata yang mengenang
dipelupuk matanya dengan ujung bajunya. -- Bapaknya anak-anak dibunuh, saya dibawa tak tahu akan
kemana lagi, sedangkan anak-anak saya yang masih kecil ditinggalkan tak ada yang memperdulikan
nasibnya. — kembali ia berhenti bicara, sambil menahan isaknya.
— Maka saya sangat berterima kasi kepada Kyai, siadi maupun Bu Nyai yang telah dengan susah
payah sudi merawat anak-anak saya. Semoga Dewata Agung melimpahkan karunia yang setimpal akan
jasa Bapak Kyai sekeluarga itu ….. Setelah malam ketiga tiba, kawanan rampok datang kembali di
Kademangan Jlagran, dipimpin oleh orang yang sangat kasar itu. Dari percakapan mereka baru saya
dapat mengetahui, bahwa nama orang yang kasar itu adalah Suronggolo. Semakin menggigil seluruh
badanku karena ketakutan. Nama itu telah tersohor di-mana-mana sebagai orang yang sangat kejam.
Suronggolo hanya sebentar singgah di Kadernangan Jlagran, dan katanya mau berangkat lagi menuju
kedesa Trinil.
Pesannya kepada Demang Jlagran dengan jelas dapat kudengarkan.— Nanti malam menjelang pagi
setelah pertemuan dengan Pak Kerta Gembong, saya kemari pagi dan mengambil simpanan saya— Yang
dimaksudkan simpanan, tentulah diriku ini. Hatiku ber-debar-debar, nafasku terasa sesak, setelah
mendengar percakapan itu, namun apa dayaku. Ingin aku membenturkan kepalaku ke-dinding-dinding
kaju jati itu. Tetapi teringat kembali akan anak-anakku yang aku tinggalkan.— sampai disini ia menghela
nafas panjang untuk kemudian melanjutkan ceritanya lagi: — Semalam suntuk saya tak dapat
memejamkan mataku, tapi merasa heran hingga fajar pagi orang yang kasar itu tidak nampak datang
kembali . Den Demang kelihatan gelisah juga. Wajahnya kelihatan kusut dan pucat. Saya dapat menduga
tentu ada hal-hal yang terjadi atas dirinya para perampok.
Harapanku untuk dapat menyelamatkan diri dari noda timbul kembali. Sungguhpun belum tahu apa
yang telah terjadi. Tiba-tiba datang lima orang langsung masuk kedalam dan kembali pintu kamarku
ditutup rapat-rapat dari luar. Saya hampir jatuh pingsan, karena mengira bahwa Suramenggala dan
kawan-kawannya telah datang kembali. Harapanku kini terbang seketika—
Kyai Tunggul dan Indra Sambada mendengar dengan penuh perhatian dan sebentar-sebentar
menganggu-anggukan kepala mereka. Sedangkan Nyai Tunggul tak henti-hentinya mengeluarkan suara
gersahnya, sambil mengusap air mata. Kembali Nyai Jayadipa melanjutkan ceritanya:

— Tetapi setelah saya dapat menguasai diriku kembali, saya menilingkan dengan seksama akan
percakapan mereka yang setengah berbisik itu. Ternyata tak dapat kudengar banyak, Hanya jelas bahwa
Sura Macan tidak ada diantara lima orang itu. Kudengarkan Den Demang Jlagran mengumpat dan
mengumam pada orang-orang itu.— Jika saya ada, tak mungkin itu terjadi, hanya kata-kata itulah yang
dapat dengan jelas kudengar. Pada hari siangnya pintu kamarku dibukak, dan saya diajak makan
bcrsama Den Demang. tapi isterinya kelihatan tak berada dirumah. Ternyata Den Demang itu juga orang
berhidung belang pula. ---
Sudahlah, dari pada kau diambil Suronggolo, kan lebih senang kalau saya kawin saja— kata dia
kepadaku. Saya tak menjawab hanya terisak-isak menangis ingat anakanakku kembali.
Kiranya ia dingin saja tak memperdulikan kesedihanku. Sudah tak usah nangis dan lekas masuk kamar
kembali, bentaknya kepadaku. Makanan yang disediakan tadi sedikitpun aku tidak menjamahnya. Baru
saja aku bangkit akan masuk kekamar, isterinya Den Demang telah kelihatan datang. Dan dalam hatiku,
saya mengucap syukur kehadlirat Dewata Yang Maha Agung akan kemurahan Nya. Karena dengan
demikian, tak dapat terjadi sesuatu atas diri saya.
Kembali tangisku ter-isak-isak tak dapat kutahan setelah berada didalam kamar. Akh nasib apa yang
sedang kualami ini. Tapi tak lupa aku selalu sembahyang kepada Dewata, semoga saya dan anak-anakku
dilindungi olehNya ….. Dan kiranya Dewata mendengarkan tangisku. Jaaaahhh …… bapak Kyai
sekeluarga yang menjadi perantaraannya. — Ia terhenti lagi dan menghela napas panjang.
— Lalu bagaimana mbakyu dapat lolos dari Kademangan Jlagran itu? Indra memotong dengan tak
sabar.
— Inilah yang akan aku ceritakan sekarang adi. — Nyai Jayadipa menjawab. la menidurkan Martinem
yang ternyata telah tidur nyenyak dipangkuannya diatas bale-bale sisinya, sedangkan Martiman juga
telah ber-ulang-ulang menguap karena kantuknya. Martiman segera turut merebahkan dirinya disisi
adiknya dan tak lama kemudian kedua anak tadi tidur dengan nyenyaknya. Nyai Jayadipa melanjutkan
ceritanya. ---- Waktu itu telah tengah malam, sedang Den Demang duduk dipendapa dengan dua orang,
enth peronda entah kebayannya, mendadak ketiga – tiganya jatuh tersungkur dengan suara jeritan
pendek tertahan. Kemudian pintu kamarku terbuka, dan dihadapan saya berdiri seorang kakek-kake
yang bercelana hitam tak memakai baju atas, dengan tongkatnya, mendekati saya --- Lekas ikut aku
keluar! — katanya singkat. Dan seperti didorong oleh kekuatan gaib, saya mengikutinya dengan
setengah sadar. — Diluar rumah Kademangan, orang-orang penjaga Kademangan semua
bergelimpangan ditanah. Mati ataupun pingsan, saya tidak mengetahuinya dengan jelas. Untuk
menanyakan pada kakek-kakek itu, rasanya mulutkupun seperti tersumbat.—Nyai Jayadipa berhenti lagi
dan memejarnkan matanya sesaat, se-olah ada yang di-ingat-ingat kembali.
— Aneh ……Aneh .... — Indra Sambada berkata kepada dirinya sendiri. — Lalu selain kakek itu, apa ada
orang lain yang berada disitu? tanya Indra kemudian.
— Tidak ada. — jawab Nyai Jayadipa. — Yang ada ya hanya kakek-kakek itu. Entah kalau orang-orang
yang menghajar Den Demang serta kawan-kawannya tadi sudah pergi terlebih dahulu, saya tidak tahu.
Saya ditarik lari keluar oleh kakek-kakek tadi dalam keadaan setengah sadar. Dan selanjutnya saya tak
ingat lagi. Tahu-tahu saya diturunkan dari gendongan pundaknya didepan pintu ini. Setelah saya sadar
kembali, ia membisikkan ketelingaku, bahwa rumah ini rumahnya Kyai Tunggul yang menolong anak-
anakku, dan supaya segera aku mengetok pintunya. Baru saja aku mengetok pintu depan itu yang segera
kemudian dibukanya oleh pak Kyai sendiri, ternyata kakek-kakek yang kuduga berada dibelakangku itu
telah menghilang. Maka itu tadi setelah pintu dibuka oleh pak Kyai saya kembali jatuh pingsan karena
ketakutan!—
— Ya, nakmas ! Tadi saya juga terperanjat karena begitu pintu saya buka, ada orang perempuan yang
jatuh tersungkur kedalam. Untunglah Ibumu Nyai cepat menolongku dengan mernbawa air yang
kemudian kuminumkan.— Kyai Tunggul memperkuat cerita Jayadipa.
— Jadi terangnya, yang menolong saya tadi mungkin memang bukan orang, tetapi siluman yang baik
hati, di ---- Nyai Jayadipa menegaskan.
Nyai Jayadipa bertubuh sedang seperti lazimnya wanita-wanita daerah itu, namun potongan badannya
ramping gangnya yang ramping pula — nawon kemit --- dan buah dadanya yang padat. Raut mukanya
bulat telur, dengan sepasang alisnya yang tipis mclengkung. Matanya agak sipit bening berseri-seri.
Rambutnya hitam lebat dan pajang, sungguhpun waktu itu kelihatan kusut tidak disisir. Bicaranya
lantang, tapi sedap didengar memikat hati, dengan mulutnya yang mungil. Kulitnya kuning ke-merah-
merahan. Usianya kurang lebih duapuluh dua tahun. Kiranya ia adalah perempuan yang cantik terkenal
menjadi buah bibir selalu disekitar daerah itu.

Diluar dari kejauhan, suara ayam jantan mulai ber-saut-sautan dikandangnya masing-masing yang
kemudian suara itu semakin mendekat, karena sautan ajam jantan yang berada disekitar rumah. Dan
sebentar kemudian disusul suaranya orang-orang yang sedang menimba air dari perigi, dan suara orang-
orang menyapu pekarangan masing-masing. Hari telah fajar pagi

— Sudahlah nak Jaya. — Nyai Tunggul turut bicara. — Tinggallah dipondokku ini dengan anak-anakmu,
sambil menentramkan hatimu yang sedang risau itu, dan biarlah pak Kyai nanti yang menengoknya
rumahmu itu, berkata demikian Nyai Tunggul berpaling kepada Kyai Tunggul untuk menanti usul
pendapatnya.

— Ia, sebaiknya nak Jaya menuruti akan nasehat ibumu Nyai, biarlah nanti aku dan nakmas Indra
menengok di Trinil — Kyai Tunggul berkata.

Indra Sambada diam tak turut bicara, ia masih mengagumi akan keluhuran budi dan kesaktian Kyai
Pandan Gede. Pun ia masih memikirkan akan keberangkatannya kelereng Gunung Sumbing, mengikuti
perintah Kyai Pandan Gede yang tidak jelas tadi.

**
B A G I A N III
MATAHARI mulai kelihatan nampak disebelah timur. Sinarnya memancarkan cahaya yang indah,
merah membara, kuning keemas-emasan, namun sayang agak terhalang oleh Gunung Merbabu yang
berdiri megah laksana raksasa yang sedang duduk bersemadi. Langit cerah menambah resapnya
pandangan.
Burung-burung terbang simpang siur diangka,a clengan tak henti-hentinya kearah semua penjuru,
sambiI berkicau. Banyak pula yang hinggap didahan pohon-pohon rindang dengan bersiul-siul nyaring,
merupakan irama alam diwaktu pagi. Se-olah-olah mereka sedang mengucapkan syukur kepada yang
Maha Agung, akan kebesaran Nya.
Hawa pagi terasa segar. Angin meniup pelan, dan daun2-daun kering jatuh bertebaran ditanah. Lama-
lama sinar cahaja merah kuning keemasan tadi naik diketinggian dan kemudian nampak terang
benderang. Sang Surya menerangi seluruh alam dengan teriknya.
Dua orang muda sedang bertempur dengan serunya melawan tiga orang, yang menilik usianya tak
sebanding. Demikian pula jika dilihat senjata-senjata yang digunakannya. Seorang diantara orang muda
tadi hnya bersenjatakan tongkat penjalin sebesar ibu jari dan sepanjang setengah depa, melawan dua
orang yang bersenjatakan kampak dan sepasang golok pendek. Seorang lagi kelihatan lebih muda
bersenjatakan klewang, melawan orang setengah tua bersenjatakan cemeti ditangan kiri dan keris
ditangan kanan. Namun pertempuran berjalan seru dan seimbang. Ternyata dua orang muda tadi tetap
dapat melayani tiga orang setengah tua dengan tidak terdesak.
Panas teriknya matahari yang sedang memancarkan cahayanya tak mengganggu sama sekali jalanya
pertempuran di-tengah hutan dekat dukuh Kapuan, dilembah sebelah barat Gunung Merbabu. Kira-kira
jarak lima puluh langkah dari tempat pertempuran tadi, duduk seorang gadis tanggung berusia kurang
lebih 15 tahun bersandar dipohon, dan sebentar-sebentar menutup mukanya dengan kedua belah
tangannya, serta mangeluarkan suara jeritan yang nyaring mengikuti jalannya pertempuran.
— Adi Rimang, awas sabetan cemeti! — Jaka Wulung memperingatkan adiknya. Ternyata dalam
bertempur melayani dua orang, masih sempat juga ia memberikan petunjuk-petunjuk kepada adiknya
Jaka Rimang. Yang diperingatkan segera meloncat dengan tangkas kesamping kiri, dengan diiringi
bacokan klewangnya kearah datangnya cambukan cemeti tadi. Tapi orang setengah tua yang memegang
cemeti ditangan tak kurang tangkasnya Ia segera membatalkan cambukan dan meloncat surut
kebelakang, untuk kemudian mendesak lagi maju dengan serangan-serangan tusukan keris, kearah
lawannya yang berbahaya. Kembali suara Jaka Wulung memperingatkan adiknnya. Awas, susulan
tendangan! — Pertempuran berlangsung terus dengan serunya. Jaka Wulung berusia kira2 20 tahun,
berbadan kokoh tidak tinggi atau disebutnya sedepah.
Warna kulitnya hitam kemerah-rnerahan. Matanya agak cekung dengan sinar pandangannya yang
tajam. Raut mukanya mendekati bulat, dan bersih berwibawa. Rambutnya hitam lebat sedikit
berombak, dan lepas terurai sampai ditengkuknya.
Pita hitam selebar tiga jari yang melingkari kepalanya, diikat dikepala bagian belakang. Pakaiannya
lurik hitam tenunan sederhana, dengan sarung tenun pula yang dilipat diperutnya untuk tidak
menghalang gerakannya. Lengan-lengannya kokoh berotot namun geraknya sangat tangkas dan ringan,
menunjukkan bahwa ia telah menguasai ilrnu pembelaan diri yang mendekati tingkat kesempurnaan.
Lawannya yang aeorang, bertubuh tinggi besar dengan raut mukanya yang kejam. Kamis jenggot dan
cambang bauknya bertumbuh lebat. Hidungnya melengkung seperti paruh burung hantu. Ikat kepalanya
lebar segitiga diikat kebelakang menutupi rambutnya. Kampak yang besar selebar satu jengkal ditangan
kanannya, ber-tubi-tubi dibacokkan kearah lawan dengan ringannya. Ternyata ia memiliki tenaga yang
kuat, sesuai dengan bentuk tubuhnya. Jubahnya dari sutra berwarna ungu. Sedangkan seorang lagi
bertubuh kurus tinggi dengan matanya melotot. Raut mukanya panjang, berjenggot pula, tapi tak
berkumis. Rambutnya telah berwarna dua dan bertumbuh jarang botaknya di – tengah-tengah kepala.
Ia tidak memakai ikat kepala. Baju atasnya warna hitam dengan seret kuning keemasan pada lengan
bajunya dengan memakai celana hitam panjang sampai dibawah lututnya, dan berseret kuning sutra
pula. Kainnya dilipat dan diikatkan kebelakang. Ia bersenjatakan sepasang golok pendek yang
panjangnya masing-masing setengah hasta, ditangan kanan dan kirinya. Dilihat dari pakaiannya tentunya
ia adalah seorang narapraja.
Jaka Rimang memiliki bentuk dan raut muka hampir menyerupai kakaknya, hanya ia lebih langsing
sedikit jika dibanding dengan bentuk tubuh kakaknya. Usianya tak jauh berbeda pula, kira-kira 18
tahunan. Pakaiannya sederhana dari tenun lurik hitam bintik-bintik merah, dan kainnya serupa pula. Ia
tak memakai pita untuk ikat kepalanya, tetapi memakai sisir panjang melengkung diatas kepalanya
terbuat dari tanduk. Kelewang ditangannya menari-nari dengan tangkasnya. Sebentar-sebentar
merupakan serangan tusukan-tusukan, dan kemudian disusul dengan serangan babatan yang berbahaya
ke arah lawan.
Yang sedang dihadapi adalah orang setengah tua dengan punggungnya yang agak bongkok, yang
bersenjatakan cambuk pendek berduri dan sebilah keris ditangan kanannya. Pakaiannya pakaian
seragam menyerupai pakaian tamtama, berseret putih diatas dasar warna merah. Ikat kepalanya seutas
pita selebar dua jari berwarna merah diikatkan erat-erat kebelakang.
Serangan-serangan maut ber-tubi-tubi dilancarkan oleh kedua fihak, karena masing-masing ingin
segera mengakhiri pertempuran dengan kemenangan difihaknya. Pertempuran tadi telah berlangsung
lama melihat pada dahi masing-masing telah basah dengan air peluh.
Serangan-serangan kampak dari orang yang bertubuh tinggi besar selalu diiringi dengan bentakan-
bentakan memekakkan telinga. Namun ketenangan dan ketangkasan Jaka Wulung membuat kampaknya
selalu jatuh ditempat kosong, demikian pula serangan sepasang golok dari Panewu Gunung Pring raden
Projopangarso.

Panewu Prodiopangarso dan Wongsobojo kini telah mengeluarkan semua kepandaiannya dan
memeras tenaga habis-habisan untuk menghadapi Jaka Wulung yang hanya bersenjatakan tongkat
penjalin itu. Semula mereka berdua memandang ringan kepada Jaka Wulung, karena melihat usianya
yang masih muda itu. Sedangkan Wongsoboyo telah terkenal dengan kampak mautnya disekitar daerah
Gunung Pring. Pun Panewu Projopangarsa adalah orang terpandang didaerahnya. Baik sebagai Panewu
maupun sebagai guru peatiak silat. Ia terkenal juga sebagai Panewu yang berhidung belang, dan selalu
mengganggu ketentraman para gadis didaerahnya
Tapi kiranya orang-orang banyak yang segan dan takut akan akibatnya apabila mereka meughaiangi
kehendaknya. Lebih-lebih muigingat Wongsobojo yang selalu mendampingi Prodjopa-ngarso sebagai
tangan kanannya. Wongsobojo sudah dikenal oleh seluruh penduduk Gunung Pring sebagai seorang
yang kejam tak mengenal prikemanusiaan. Tapi kini mereka kiranya telah ketemu dengan batunya.
Untuk mengelakkan pukulan dan sodokan tongkat penjalinnya Jaka Wulung saja, telah memerlukan
seluruh kepandaiannya dan tenaga yang dimilikinya. Sebentar-sebentar mereka berdua meloncat surut
kebelakang dan berjumpalitan, menghindari Dukulan soddokan tongkat Jaka Wulung yang berbahaja.
Ternyata ia makin lama mereka berdua semakin terdesak kedudukannya.
Kampak dan sepasang golok yang silih berganti menyerang tak pernah mengenai sasarannya. Tetapi
sebaliknya Jaka Wulung sungguhpun dapat mendesak kedudukan lawan, belum juga dapat
menundukkan. Tiap kali tongkatnya akan mengenai sasarannya segera ditarik kembali karena datangnya
serangan senjata lawan yang berganti-ganti itu.
Pula ia seialu terganggu akan pemusatan pikirannya, karena terpaksa harus memperhatikan pula
nada adiknya yang selalu terdesak dan mendapat serangan-serangan yang berbahaya, dengan
menyerukan peringatan-peringatan tertuju pada Jaka Rimang.
Kampak berkelebat kearah pelipisnya, sedangkan sepasang golok datang pula menyerang kearah
perutnya. Jaka Wulung tak mau melangkah surut kebelakang tapi ia menjatuhkan dirinya dan berguling
merapat mendekati lawan.

Bersamaan dengan gerakan itu tongkatnja disodokan kearah perut Projopangarso.


Dengan tak kurang tangkasnja Projopangarso menangkis dengan golok berada ditangan kiri dan surut
selangkah kebelakang. Itulah yang dinanti-nantikan Jaka Wulung, ternyata gerakan tipuaanya beehasil.
Cepat ia menarik kembali tongkat penjalinnya untuk kemudian berubah menjadi pukulan kearah
pergelangan tangan kiri Projopangarso yang sedang menyulurkan tangan kirinya bersenjatakan golok
untuk menangkis datangnya sodokan. Pukulan tepat mengenai sasarannya. Golok yang ditangan kiri
terpental jatuh ditanah dengan diiringi jeritan ngeri tulang pergelangan tangan kirinya terasa patah dan
tidak dapat digerakkan kembali. Sambil menjerit Panrwu Projopangarso melompat jauh kesamping
kanan. Secepat itu pula Jaka Wulung meloncat mengejar Projopangarso sambil menghindari datangnya
serangan kampak dari Wongsoboyo.
Tiba-tiba pukulan tongkat kearah Projopangarso yang hampir mengenai sasaranya segera ditarik
kembali oleh Jaka Wulung dan melompat surut jauh kabelakang, karena mendengar suara jeritan
adiknya yang dang bergelimpangan dengan berlumuran darah dipaha kanannya.
Gijanti, anak gadis— tanggung yang bersandarkan pohon tadi, turut menjerit pula dan bangkit
mendekati kakaknya yang sedang luka dan bergelimpangan ditanah. Dengan satu lompacan Jaka
Wtaung telah menggagalkan serangan camhukan dan tusukan yang akan dilancarkan kedua kalinya
kearah Jaka Rimang yang sedang jatuh ditanah.
Bertepatan dengan adegan yang mendebarkan itu, dari balik hatu besar dibelakang pohon climana
Gijanti tadi bersandar, melompat seorang pemuda dengan gayanjya yang sangat indah, langsung berdiri
ditengah antara Jjaka Wulung dan Projopangarso.
— Berhenti dulu ! — bentak Indra Samhada: — Apakah yang kalian perebutkan ?- Memang
sebenarnya sudah sejak lama Indra Sambada bersembunyi dibalik batu besar tadi, dan mengikuti
jalannya pertempuran dengan saksamna. Tapi baginya serba ragu-ragu untuk campur tangan dalam
pertempuran itu.

Jika menilik keadaan sewajarnya, ia harus membantu fihak Jaka Wulung dengan adiknya, akan tetapi
jika ditilik bahwa lawan Jaka Wulung adalah petugas Kerajaan, tenturtia ia harus mernbantu menangkap
Jaka Wu-lung dan adiknya.
Karena dalam pertempuran yang seru itu ia tak dapat mengetahui sebab musababnya yang
sebenarnya, maka ia hanya melihat saja. Tetapi kini Jaka Rimang jatuh terluka karena tusukan keris
berbisa dipahanya, sehingga ia tak tega untuk melihat kelanjutan pertempuran yang tidak seimbang itu.
Lagi pula jika Jaka Rimang tak ditolong dengan cepat akan berbahayalah akibatnya.
Tidak seorangpun mau menjawab pertanyaan yang diajukan namun bentakan yang berwibawa
memaksa pertenapuran berhenti sesaat.
— Hai anak muda, bedebah, tak perlu kau turut menghalangi maksudku! Wongsoboyo menyahut
dengan lantangnya. Kini difihaknya mendapat angin baru, setelah Jaka Rimang dapat ditundukkan
temannya. Tentu saja dengan munculnya seorang lagi, mereka merasa sangat dongkol.
Berkata demikian Wongsobojo sambil rnengajunkan kampaknya kearah Indra Sambada yang berdiri
tegak. Tetapi Indra Sambada telah berpengalaman luas dalam menghadapi serangan yang tiba-tiba.
Dengan perasaan naluri yang telah dimiliki Indra Sambada tidak bergeser sedikitpun. dan hanya dengan
merendahkan badannya kesamping kanan dengan mukanya mendongak, tangannya bergerak cepat
memukul dengan telapak tangan kanannya kearah pundak lawan, yang segera melepaskan pegangan
pada tangkai kampaknya. Wongsoboyo melompat kesamping dan berdiri dengan ternganga, demi ke-
nyataan dalam segebrakan saja kampaknya telah lepas dari genggamannya. Demikian pula
Projopangarso, segera membatalkan niatnya untuk menyerang.
Indra Sambada masih berdiri di-tengah-tengah mereka sebagai pemisah.
— Hentikan dahulu pertempuran ini! — katanya dengan pcenuh berwibawa. Orang yang berpakaian
seragam yang menyerupai tamtama tidak mau menghiraukan akan kata-kata Indra Sambada tadi. la
segera mengayunkaa cambuknya dan kerisnya yang ditangan kanan, dan mulai bergerak menyerang
pula. Dengan tangkas Indra Sambada mendahului melancarkan serangan tendangan dan disusul pukulan
tindjunya. Cepat penyerang menarik kembali tusukan kerisnya dan meloncat kebelkang, menghindari
datangnya tendangan dan pukulan yang dahsjat itu. Kali ini Indra memang sengaja akan memperlihatkan
simpanan keknatannya, demi memudahkan berhentinya pertempuran.

Kekuatan yang telah terpusat didalam bathinnya disalurkan kearah tangan kanannya, untuk
kemudian mengepal dan melancarkan tinjunya dengan dahsyat kearah pohon jambu sebesar paha lebih,
yang berdiri dibelakang penyerang tadi.
Kiranya memang bukan orang yang bersenjatakan cemeti dan keris yang menjadi sasaran Indra. Tak
ajal lagi pohon jambu sebesar paha lebih segera patah dan tumbang. Ranting dan daun daun keringnya
rnendahului jatuh bertebaran ditanah, menyusul sesaat kemudian tumbangnya pohon dengan suara
berderak. Semua iang menyaksikan berdiri ternganga. Baru kali ini mereka m-nyaksikan keampuhan
tinju dari seorang yang masih semuda itu. Kejadian itu hanya berjalan sebentar, karena dengan tak
diduga duga Panewu Projopangatso meloncat kebelakang untuk kemudian melarikan diri dengan
kencangnya. Wongsoboyo dan seorang temannya lari pula mengikuti tindakan Panewu Prodiopangarso.
Jika dikehendaki, kiranya tidaklah sukar bagi Indra untuk mengejarnya tapi ia segera membalikkan
badannya dan mendekati Jaka Wulung yang sedang mengawasinya dengan cermat.
Sementara itu Djaka Rimang masih berbaring ditanah dengan mengerang kesakitan, dan didekatnya,
Giyanti duduk dengan memegang paha kakaknya yang luka, sambil menangis.
— Adik sekalian itu siapa? — Indra memulai bertanya kepada Djaka Wulung, dan apa kesalahan kalian
hingga di kejar-kejar oleh petugas Kerajaan?
--- Apakah tuan itu gusti Tumenggung Indra? — Jaka Wulung berganti tanya dengan tidak menjawab
pertanyaan Indra, sambil masih memandangnya penuh perhatian.

— Darimana kau tahu, bahwa aku adalah Tumenggung Indra ? Indra menjawab dengan pertanyaan
pula.
— Gusti, maafkan terlcbih dahulu, bahwa kami tak segerra memberi hormat sebagaimana lajaknya, —
berkata demiklan Jaka Wulung segera duduk bersila di tanah dan akan menyembahnya, tetapi Indra
segera memegang kedua belah tangannya dan turut duduk disebelahnya.
— Ach, tidak perlu kau memakai adat yang demikian terhadapku. Seperti kau ketahui, bukankah aku
sengaja menyamar sebagai petani desa saja ? -- Indra Sambada berkata dan mengulangi lagi
pertanyaannya,— dari mana kau tahu bahwa aku ini Indra ? —
— Guruku pernah bercerita tentang Gusti Indra Sambada — jawab Jaka Wulung.
— Siapakah gurumu, jika aku boleh mengetahuinya ?— Indra mendesak bertanya lagi.
---Guruku adalah Kyai Pandan Gede, dan menurut ceritanya, beliau pernah ketemu dengan Gusti di
Trinil. — Jaka Wulung rnenjawab. : --- dan yang terluka itu adalah adikku Jaka Rimang, dan Giyanti
adalah adikku yang paling bungsu--
— Panggil saja untuk selanjutnya Kakang pada saya. Dengan demikian kalian membantu dalam
penyamaranku. — Coba kulihat luka adikmu itu. — berkata demikian Indra segera mendekati Jaka
Rimang yang masih saja mengerang kesakitan. Giyanti tersipu malu menggeser duduknya kebelakang
menjauhi Indra.
— Jangan kau takut dan malu kepadaku di. Anggaplah saya seperti kakakmu sendiri. — Indra berkata
kepada Giyanti dengan bersenyum.
Indra segera memegang paha kanan Jaka Rimang dan memeriksa lukanya dengan teliti. Sekitar tempat
luka kini telah menjadi bengkak dan berwarna hitam. Terang, bahwa keris yang melukai paha Jaka
Rimang adalah beracun. Indra segera melepaskan gelang akar baharnya yang dipakai di-pergelangan
tangan kiri, untuk kemudian ditempelkan ditempat luka tadi. Ternyata apa yang telah dikatakan oleh
Pendeta Gurunya benar adanya. Gelang akar bahar yang hitam mengkilat, kini menempel erat mcnyedot
racun yang telah masuk melalui pembuluh-pembuluh darah.

Darah hitam bercampur hijau keluar menetes sedikit demi sedikit. Tetapi kiranya pertolongan tadi
telah terlambat datangnya, karena kini ternyata Jaka Rimang tak sadarkan diri dengan muka yang
semakin hitam dan suhu badannya menjadi panas membara. Cepat Indra mengeluarkan sebuah pel
merah yang berada di dalam boneka kecil terbuat dari emas, pel mana dengan tidak ragu-ragu lagi,
dimasukkan kedalam mulut Jaka Rimang, dengan paksa, karena mulut Jaka Rimang mulai terkatub rapat.
Jaka Wulung membantu memegang kepalanya, sedang Giyanti mulai menangis kembali ter-isak-isak
sambil memanggil beruIang ulang nama Jaka Rimang.
— Biarkanlah, baringkan ia disini. — Indra berkata kepada Jaka Wulung — dan tolong ambilkan air.—
perintahnya.
— Baik kakang, berkata dernikian Jaka Wulung segera bangkit dan lari menuju kee Desa Kapuan yang
dekat letaknya dari tempat itu. la kembali dengan membawa tempurung yang telah berisikan air dari
perigi, dan diberikan kepada Indra.
Indra menuangkan air itu demi sedikit ke mulut Jaka Rimang, setelah itu, ia menempelkan mulutnya
sendiri kemulut Jaka Rimang dan meniupnya pelan. Semua pusat tenaga batinnya dicurahkan napasnya
yang kemudian ditiupkan kemulut Diaka Kimaag, untuk membantu geraknya jalan pernapasan dan
jalinan-jalinan syaraf, agar pel penolak racun dapat masuk dalam pencernakannya. Ternyata
pertolongannya berhasil dengan memuaskan.
Pelan-pelan panasnya berkurang, dan pernapasannya ber-angsur-angsur menjadi tenang kernbali.
Indra istirahat sejenak, sambil memperhatikan raut muka Jaka Rimang dengan penuh pengharapan agar
segera sembuh kembaii.
Jaka Wulung dan Gijanti duduk terpaku mengawasi wajah Jaka Rimang dengan hati yang ber-debar-
debar penuh kekhawatiran akan nasib Jaka Rimang. Tetapi segera timbul harapannya kembali, akan
sembuhnya Jaka Rimang, setelah ia mulai mengigau dan merintih-rintih merasakan sakitnya.
Benar benar ajaib. Akar bakar jatuh terlepas dari lukanya, sedangkan raut muka Jaka Rimang kini ber
angsur-angsur menjadi merah, kembali. Kini ia telah sadarkan diri, dan mengawasi orang yang duduk
disisinya tak dikenal.
— Tenanglah dulu, adi Rimang ! Jangan banyak bergerak.
Lukamu sedang diobati oleh kakang Indra,— a,ka Wulung berusaha menenangkan adiknya. — Aku haus
sekali, kakang Wulung, — Jaka Rimang mulai berkata pelan. Indra mengambil tempurung yang berisi air
disisinya dan diberikan pada Jaka Rimang, yang segera diminumnya.
— Kini kau harus dapat menahan sakitmu sebentar, adi Rimang.— Indra berkata padanya,— Luka
dipahamu akan kukorek dengan pisau tajiku. — berkata demikian Indra mengambil sebilah taji yang
berada dikantongan dan memegang paha yang terluka dengan tangan kirinya, sedang tangan kanan-nya
yang memegang taji segera bekerja dengan tangkasnya. Kembali Jaka Rimang mengerang kesakitan,
tetapi oleh Indra tak didengarkan. Bekal ramuan obat luka luar yang dibawanya, ditempelkan di tempat
luka yang baru dikoreknya tadi, dan selanjutnya dibalut dengan sobekan baju yang diambilkan dari
lengan bajunya sendiri.
— Bagaimana sekarang rasa lukamu?— Indra bertanya.
--- Tinggal rasa pedihnya, tetapi tak mengapa. Kiraku saya telah dapat berjalan sendiri lagi. Tapi
siapakah, kakang itu. Saja belum mengenalkan,— jawab Jaka Rimang sambil pelan-pelan berusaha
duduk. Jaka Wulung menolong adiknya dengan memegang bahunya dan mendudukkan.
— Ja, ini, yang namanya Gusti Indra Sambada. Bagaimana Kyai guru menceritakan ber ulang-ulang
kepada kita dulu,— Jaka Wulung menyahut, menjelaskan pada adiknya. — Tetapi beliau tak mau
dipanggil Gusti, dan atas perintahnya kita harus memanggilnya dengan kakang Indra saja. Tetapi
mumpung tak ada orang yang melihatnya, lekaslah menyembah dan berterima kasihlah padanya.
Kiranya jika tidak ada pertolongan dari beliau, kati telah tidak dapat ditolong lagi...
Jaka Rimang segera berusaha akan bersila dan me-nyembah, tetapi Indra Sambada cepat memegang
bahunya serta berkata: — Tak usah kau susah-susah bersila dan menyembahku. Perhatikanlah lukamu
sendiri itu. Dan tidak perlu kau berterima kasih padaku, karena pel obat dan akar bahar yang kugunakan
untuk mengobatimu adalah asal dari pemberian orang pula.
Saya adalah hanya perantara belaka. Berterima kasihlah-Dewata Yang Maha Agung kemurahan Nya.—

— Baiklah kakang Indra tetapi saya tetap merasa berhutang budi se-lama-lamanya. Kiranya jika Kakang
Indra tidak berada disini, saya mungkin sudah tinggal nama saja. Ingin aku memperlihatkan kesetiaanku
mengabdi pada kakang. Jaka Rimang menggagalkan sembahnya serta berkata dengan nada yang
sungguh-sungguh.
— Akh, hal itu jangan dibicarakan sekarang disini dan jangan pula memujiku beriebihan. Yang penting
taatilah apa perintah gurumu, karena gurumu itu terkenal sebagai orang tua yang berambeg paramerta.
Sekarang yang ingin kutanyakan, apa sebabnya tadi, adi-adi berdua bertempur mwlawan punggawa
praja?— Indra melanjutkan dengan pertanyaanya kembali.
— Begini, kakang Indra. Saya bertiga sedang berjalan dicegatnya dipersimpangan jalan diujung desa
Kapuan tadi, dengan ancarnan supaya saya berdua meninggalkan adik saya Giyantiitu. Penghinaan yang
demikian memaksa saya bertindak. Mereka bertiga saya layani sendiri, sedangkan adi Rimang saya suruh
melarikan Gijanti di hutan disini. Tetapi saya tidak dapat lama bertahan, karena seorang diantaranya
mengejar adikku itu. Saya berlari mengikuti, sampai ditempat ini, dan kembali bertempur lagi. Karena
disini banyak pohon-pohon yang rindang, saya merasa lebih aman akan adikku Gijanti.
Segera ia kusuruh jauh-jauh berteduh dipohon besar itu, dan kami berdua dapat menghadapi mereka
bertiga dengan agak tenang. Selanjutnya,kukira kakang Indra melihat dengan mata kepala sendiri dari
balik sebuah batu yang besar itu, dimana kakang tadi bersembunyi— Jaka Wulung mejawab.
— Untunglah, kakang Indra segera keluar dari persembunyian, jika tidak, mungkin saya bertiga ini
telah menjadi korban keganasannya. Memang jika menilik dari pakaiannya dan percakapan mereka,
yang satu orang tadi adalah Panewu Gunung Pring. tetapi saya tak dapat mengerti, mengapa seorang
punggawa praja ,yang seharusnya rnelindungi rakyatnyaa bertindak demikian kejinya. — Jatka Wulung
menjelaskan.
— O, ….. begitu, Indra. Sambada memotong. — Jika demikian, memang sepantasnyalah mendapat
hajaran dari kita.

Sayang tadi. adi Jaka Wulung tak mau menjelaskan duduk perkaranya padaku. Kiranya kini banyak
punggawa praja yang menyeleweng, menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan memuaskan diri
sendiri. — Indra Sambada berhenti sebentar untuk memakai gelang akar baharnya kembali setelah
dicucinya, dan kemudian ia melanjutkan bertanya. — Dan adi bertiga itu tadi dari mana dan akan
kemana?—
— Kami berdua akan keSecang perlu mengantarkan adik saya yang bungsu itu, — menjawab
pertanyaan itu, Jaka Wulung sambil menunjuk kearah Giyanti yang sedang duduk di sisinya Jaka Rimang
dengan muka tertunduk menahan rasa malu. — maksud kami, ia akan kami titipkan kepada paman agar
mendapat asuhan yang baik. Setelah itu kami akan meneruskan perjalanan menuju ke lereng Gunung
Sumbing memenuhi perintah Kyai Guru. Kami bertiga tinggal didesa Deles dilereng gunung Merbabu.
Sepekan yang lalu Guruku datang dan memberikan perintah itu. — jawab Jaka Wulung dengan jelas.
— Jika demikian, sebaiknya kita jalan bersama saja, itu kalau adi bertiga tidak berkeberatan. Karena
saya juga akan pergi kelereng gunung Sumbing memenuhi perintah gurumu yang aneh itu. Dan terus
terang aku tak tahu dilereng sebelah mana yang dimaksudkan, dan untuk apa? — aku harus pergi
kesana, — Indra berkata mengemukakan usulnya. —
— Kang Wulung, …… memang Kyai Guru itu seringkali bertindak aneh. Mungkin yang dimaksud Kyai
Guru juga di Kaliangkrik, sebagaimana beliau memerintahkan kita, — sahut Jaka Rimang tertuju pada
kakaknya, dan kemudian melanjutkan bicara tertuju pada Indra, — buat kita bertiga kebetulan sekali,
jika kakang Indra mau jalan bersama-sama kita. Dengan demikian, tak akan lagi kuatir adanya gangguan
ditengah jalan. Bukankah demikian kakang Wulung?—
— Jika hanya gangguan ditengah perjalanan saja, kiranya kakakmu Jaka Wulung tentu dapat
mengatasinya, — lndra Sambada memotong pembicaraan Jaka Rimang.
— Aku telah menyaksikan sendiri akan ketangkasan gerakan tongkatnya yang sukar mendapat
tandingan, — lndra Sambada berkata memuji kepada Jaka Wulung.

--- Ah, ….. Kakang Indra ini pandai juga berkelakar menyindir orang — Jaka Wulung menyahut dengan
tersenyum.
— Kata-kataku tadi bukan sindiran, tetapi sungguh-sungguh aku mengagumi akan permainan
tongkatmu yang tunggal itu. — Indra Sambada menjawab dengan kejujurannya.
— Pujian kakang Indra terlalu tinggi. Buktinya, jika tadi tidak dibantu kakang, kami bertiga mungkin
sudah tidak dapat meneruskan perjalanan. Saya masih mengagumi akan kesaktian kakang Indra yang
serba lengkap itu.
Kesaktian bertempurmu mungkin melebihi guruku, masih pula memiliki kesaktian mengobati orang
yang mendekati ajalnya. Kiranya cerita dongengan guruku itu benar-benar merupakan kenyataan. Jaka
Wulung membalas memujinya.
— Tidak akan habis-habisnya jika kita saling merendahkan diri. Mari kita berangkat sekarang, supaya
malam nanti kita telah sampai di desa sebelah utara sana. Kita berjalan pelan-pelana saja—. Indra
berkata sambil bangkit berdiri. Jaka Rimang segera bangkit pula dengan pelan-pelan dan dibantu oleh
Jaka Wulung dan Giyanti. Mereka segera meneruskan perjalanannya dengan berjalan pelan, mengingat
akan luka yang diderita oleh Jaka Rimang.
Gijanti berjalan menggandeng tangannya Jaka Rimang didepan, sedangkan Indra Sambada berjalan
berdampingan dengan Jaka Wulung dibelakangnya.
Dalam perjalanan, mereka berampat segera menunjukan keakrabannya, tak ubahnya sebagai empat
bersaudara sekandung. Kiranya Gijanti adalah gadis yang selalu dimanja oleh kakak-kakaknya. Setelah
hilang rasa malunya, ternyata ia pandai bergurau dan pandai pula menggoda kakak-kakaknya dan Indra.
Wajahnya cantik dengan warna kulitnya hitam manis. Bibirnya yang merah mungil selalu dihias dengan
senyum kekanak-kanakan. Matanya redup, dengan kerlingannya yang menggairahkan. Rambutnya yang
hitam panjang digelung dengan tusuk konde terbuat dari tanduk. Subang bermata intan menghiasi daun
telinganya, yang selalu gemerlapan karena gerakan kepalanya. Lengannya berlenggang lemah gemulai
dengan jari-jarinya yang halus meruncing. Potongan badannya ramping dan padat berisi. Bajunya lurik
tenunan desa warna brongsong dengan berkain lurik pula berwarna merah, menambah indahnya. —
Alangkah bangganya aku jika mempunyai adik yang demikian ini — kata bathin Indra pada diri sendiri.
Kini ia diam merenung sambil berjalan karena terkenang kembali akan nasibnya. Tak beribu, tak
bersaudara dan jauh dari ayahnya. Hidup sebatangkara terlunta-lunta dengan tidak bertujuan pasti.
Seandainya ia mempunyai saudara sekandung seperti Jaka Wulung ini, tentulah dapat ia mencurahkan
segaIa kesedihannya.
Kini mereka berempat asyik bercerita ber-ganti-ganti sambil berjalan hingga jarak jauh yang telah
ditempuhnya tidak terasa olehnya.
Jaka Wulung dan Jaka Rimang menjelaskan akan maksud kepergiannya mereka kelereng Gunung
Sumbing didukuh Kaliangkrik. Atas perintah gurunya Kyai Pandan Gede, mereka berdua supaya
menyantrik pada "Wiku Sepuh„ dipadepokannya, untuk mencari tambahnya ilmu. Menurut keterangan
Kyai Pandan Gede, Wiku Sepuh adalah kakaknya Kyai Pandan Gede seperguruan. Ia telah lama sekali
berscmbunyi dipadepokan Kaliangkrik, dan tidak pernah mencampuri urusan masyarakat ramai.
Namanya dulu terkenal harum, jauh mengumandang .sampai dikota Raja. Beliau dulu bernama Sidik
Pamungkas dan oleh orang-orang lawannya dijuluki " Yamadipati ,,.
Kesaktiannya jauh diatas Kyai Pandan Gede gurunya. Demikian mereka berdua menceriterakan
dengan semangat yang berjalan nyala. Dalam hati Indra turut mengagumi pula, sungguhpun ia belum
pernah kenal dengan Wiku Sepuh itu.
Akan kesaktian Kyai Pandan Gede Si Siluman aneh itu; ia telah merasa kagum, tetapi kini masih ada
orang yang kesaktiannya jauh melebihi Kyai Pandan Gede. Bagaimana kesaktian Wiku Sepuh ia tidak
dapat membayangkan. Keinginannya untuk turut serta menyantrik padanya kini bertambah besar tetapi,
segera timbul rasa takutnya, jika seandainya ia tidak diterima sebagai muridnya.
Perasaan itu segera terhibur kembali dengan mengenangkan ajaran-ajaran guru Pendetanya. Semua
adalah kehendak Dewata Yang Maha Agung namun manusia harus berikhtiar. Kini semangatnya timbul
kembali, setelah mengenang ajaran-ajaran Guru Pendetanya. Dan bukankan ia mencari ilmu untuk
mengabdi pada Kerajaan dau rakyatnya ?

Jaka Wulung dan Jaka Rimang juga menjelaskan bahwa menurut kata-katanya Kyai Pandan Gede, kini
dimana mulai timbul kerusuhan-kerusuhan yang bermacam-macam coraknya. Didesa-desa banyak
perampokan-perampokan dan maling, sedangkan dikota kota banyak pembrontakan kecil-kecil,
sehingga kewibawaan Kerajaan mulai menurun karenanya. Para Punggawa Narapraja banyak yang mulai
menyeleweng, bahkan tidak sedikit yang merangkul para perampok, demi keselamatan dan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mewah yang berlebih-lebihan untuk kepentingan diri pribadinya.
Memang hal ini telah dirasakan sendiri akan kebenarannya oleh Indra Sambada.
Sejak ia mengembara banyaklah hal-hal yang dialaminya, dan diketahuinya. Bahkan sering pula ia
terpaksa turut campur turun tangan memberantas kerusuhan-kerusuhan yang dijumpainya demi
pembelaan terhadap rakyat jelata. Pengalaman-pengalaman ini merupakan tambahan ilmu pula yang
tidak ternilai dalam melanjutkan pengabdiannya.
Setelah bermalam disebuah desa kecil yang dilalui, mereka esok paginya melanjutkan perjalanannya
menuju ke Secang, yang dapat ditempuh selama satu hari berjalan kaki dari desa yang telah dipakai
untuk bermalam.
Pada senja hari mereka berempat telah sampai di Secang. Dengan mudah mereka segera menemukan
tempat kediaman Pamannya. Karena didesa itu Pamannya adalah orang yang terpandang juga. Ia adalah
abdi dalem Punggawa Narapraja merangkap sebagai Lurah didesa Secang. Pangkatnya Bekel dan nama
lengkapnya Raden Bekel Jayengguno. Ia dulu pernah mengabdi di Kepatihan di Kota-Raja sebagai abdi
dalem jajar, dan karena kesetiaannya ia diangkat menjadi Bekel Lural, ditempat asalnya ialah desa
Secang yang kini dibawahkan oleh Bupati Kebanjaran Agung Mataram.
Pak Lurah Bekel Jayengguno usianya telah lanjut, mendekati tujuh puluhan tetapi masih kelihatan
kuat, menilik dari jalannya tidak bertongkat dan tegak. Rambutnya telah putih beruban, dan diikat
kebelakang menyerupai gelung yang kecil. Sedangkan dikepalanya melingkar sebuah sisir lebar yang
lengkung terbuat dari tanduk. Dahinya yang lebar telah pula kelihatan banyak kerutnya. Wajahnya
kuning bersih berkeriput.

Rasa rindu yang telah lama dikandungnya kepada anak-anak kemenakannya, kini dilampiaskan
sepuasnya. Karena sikap Indra Sambada yang selalu dapat menyesuaikan dirinya dimanapun dia berada,
maka Pak Bekel Jayenguno memperlakukan tak ubahnya sebagai anak kemenakannya scndiri. Sampai
jauh malarn mereka bercakap-cakap dan tak henti-hentinya, Pak Bekel Jayengguno menanyakan
keadaan para keluarga yang berada di Deles Merbabu, terutama tentang keadaan ayah dan ibu Jaka
Wulung sendiri. Hanya Jaka Rimanglah yang segera mendahului istirahat sejak sore malam tadi, karena
kakinya yang luka dipahanya dirasakan pegal dan sakit. Giyanti setelah membantu bibinya didapur kini
turut pula mendengarkan percakapan yang mengasikkan itu. Ibu bibinya yang telah lanjut pula usianya,
merasa sangat bahagia dan bangga atas kemenakan-kemenakannya yang setelah dewasa ternyata
kelihatan gagah perkasa itu, dan anak kemenakan putrinya yang cantik. Sebentar-sebentar ia bangkit
dari tempat duduknya, untuk melihat keadaan Jaka Rimang yang sedang berbaring. Sifat-sifat keibuan
yang penuh rasa kasih sayang terhadap kemenakan-kemenakannya, telah melekat padanya.
Pak Jayengguno beserta isteri merasa sangat girang sekali dan mengucapkan syukur kepada Dewata
Yang Maha Agung setelah Jaka Wulung mengatakan, bahwa kedatangannya ialah akan menyerahkan
adiknya yang bungsu Giyanti agar diasuh oleh Pamn dan Bibinya, yang memang tidak mempunyai
keturunan. Dulu pula Giyanti telah pernah dimintanya, tetapi karena Giyanti juga merupakan satu-
satunya anak perempuan, maka oleh orang tuanya Jaka Wulung dipertahankan.
Tetapi pendirian itu kiranya kini tak dapat dibenarkan, karena apabila Gijanti hanya tinggal didesa
pegunungan tak mungkin la akan mendapat kemajuan pendidikan yang layak bagi umumnya para
wanita sebagai idaman orang tua.
Atas pesan Indra Sambada sewaktu diperjalanan, Jaka Wulung tak mau juga menceritakan tentang
keadaan yang sebenarnya, tentang Siapa Indra Sambada itu kepada Paman dan Ibu bibinya. Ia hanya
mengatakan bahwa Indra Sambada adalah kakak angkatnya.
Sambil menunggu sembuhnya luka Jaka Rimang mereka tinggal dirumah Bekel Jayengguno lima hari
lamanya …..
Jaka Wulung, Jaka Rimang dan Indra Sambada setelah berpamitan kepada Jayengguno dan isterinya
serta memberikan pesan berupa petunjuk-petunjuk seperlunya kepada Giyanti, yang ditinggalkan di
Secang, mereka berangkat meneruskan perjalanan dengan jalan kaki menuju Lereng Gunung Sumbing,
ke Padepokan Wiku Sepuh di Kaliangkrik. Giyanti menangis ter-sedu-sedu dengan air mata bercucuran
sewaktu kedua kakaknya dan Indra Sambada berpamit padanya.
Ber-ulang-ulang Giyanti berpesan pada kakak-kakaknya dan Indra Sambada, agar mereka sering pergi
ke Secang menjenguknya. Demikian pula Ibu bibinya, yang isak tangisnyapun tak dapat ditahan pula.
— Memang didunia itu tak ada yang kekal. — kata Jayengguno menghibur.
— Ada waktu bertemu, tentu pula ada waktu berpisah. Semua itu adalah kehendak Dewata yang Maha
Agung. Kita semua tak dapat menentang akan kehendak Nya, Maka ingatlah selalu akan kebesaran Nya.
— pesannya ber-ulang-ulang— dan mohonlah selalu penerang dan petunjuk dari Nya.
— Adegan demikian membuat semakin pedih rasa hatinya Indra Sambada. Dan terkenanglah kembali
akan kejadian sewaktu ia meninggalkan rumahnya Kebanjaran Agung Bandawasa, serta semua petuah-
petuah ayah serta Guru pendetanya.
Ia terkenang pula akan peristiwa sewaktu ia akan berangkat menunaikan tugas menggempur bajak
laut di Pontianak sebagai Perwira Tamtama. Dibalik kenangan-kenangan yang indah itu, perasaan sedih
yang tak terhingga akan fitnah yang terkutuk, selalu mengejarnya.
Ya!! Kapan dia akan dapat mencuci noda yang telah melekat itu??? Dapatkah kelak ia hidup bahagia,
dengan noda-noda yang masih tetap melekat padanya? Tetapi Dewata Yang Maha Kuasa, adalah Maha
Pengasih. Manusia hanya wajib berikhtiar, namun ketentuan adalah dalam kekuasaanNya Perobahan
raut muka yang memancarkan rasa kesedihan itu selalu menjadi perhatian Jaka Rimang. Maka dalam
perjalanan menuju ke Lereng Gunung Sumbing, Indra Sambada selalu didesaknya untuk menjelaskan.

— Kakang Indra,— Jaka Rimang mulai menghibur sambil menanyakan pada Indra.
— Aku selalu melihat pancaran kesedihan diwajah kakang. Gerangan apakah yang selalu membikin
bangkitnya rasa kesedihan kakang Indra? Sejak semula aku kenal kakang, aku telah berjanji pada diriku
sendiri, bahwa aku akan mengabdi selamanya padamu, kakang lndra! Kesedihanmu aku turut
merasakan pula. Apabila sekiranya tak menyinggung perasaanmu, dan aku dapat membantu
meringankan deritamu itu, sudilah kakang Indra menjelaskan padaku!—
— Adi Wulung dan adi Rimang,— Jawab Indra Sambada — Sungguhpun adi berdua dalam hatiku telah
kuanggap sebagai adikku sekandung, tetapi mengenai kesedihanku ini sukar untuk kujelaskan padamu.
Penderitaanku adalah hukuman atas akibat perbuatanku sendiri.
--- Tetapi apabila kakang Indra hanya salah dalam perbuatan, apakah tidak dapat segera ditebus
dengan perbuatan pula.— Jaka Rimang mendesak.
— Tidak mungkin karena perbuatanku menyalahi pada janjiku sendiri. Dan bukan terhadap lain orang.
Itulah yang selalu aku merasa menderita,— Indra Sambada menjelaskan. Keterangan Indra Sambada
semakin sukar dimengerti oleh Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
— Tetapi jika tidak berkeberatan, ingin aku mengerti persoalanmu itu, kakang Indra ! — Jaka Rimang
semakin mendesak: — Ingatlah kakang, bahwa kakang Indra bukan hanya sebagai kakangku, tetapi juga
sebagai guru dan pepundenku.—
Karena desakan dari Jaka Rimang maka Indra Sambada menceritakan kisah yang dialaminya dari awal
hingga sampai akhir. Jaka Wulung dan Jaka Rimang saling berpandangan, turut merasakan penderitaan
bathin yang dialami oleh Indra Sambada, terutama Jaka Rimang. -
--- Bagaimana jika kita nanti minta petunjuk-petunjuk dari Paman Guru Wiku Sepuh ?— Jaka Rimang
mengemukakan pendapatnya.
— Hal itu memang sudah menjadi tujuanku. — Indra Sambada menyahut: --- Tetapi apakah Kyai Wiku
Sepuh berkenan menerimaku sebagai muridnya, itulah saya masih meragukan.—
— Aku rasa beliau akan bergirang hati menerimamu sebagai murid, karena beliau menurut Guruku,
adalah seorang yang waskita, artinya dapat melihat jauh akan sifat-sifat ksatrya yang dimiliki oleh
kakang Indra. — Jaka Wulung berkata.
— Justru karena Paman Gurumu itu waskita, saya malah beranggapan sebaliknya. Dapatkah beliau
menerimaku sebagai murid dengan nodaku yang melekat pada jiwaku ini? — lndra membuka isi hatinya
dengan kejujuran.
— Kakang Indra terlalu mendalam memikirkan kekeliruan perbuatan yang telah lampau, — Jaka
Wulung berkata menghibur. — Bukankah pepatah mengatakan, tak ada orang yang sempurna, — dan
pula menurut pelajaran guruku, Dewata Yang Maha Agung itu Maha Pengasih sayang terhadap umat-
Nya, apabila umat itu percaya penuh kepadaNya.—
— Ya, katamu memang benar. Tetapi perasaanku belum dapat tenang apabila belum mendapat
petunjuk-petunjuk tentang bagaimana aku harus membersihkan nodaku, walaupun jiwa ragaku kini
kuserahkan untuk mengabdi sebagai tamtama, — lndra Sambada menjawab. Dalam hati Indra Sambada
berterima kasih akan nasehat-nasehat Jaka Wulung dan Jaka Rimangpun ia memuji pula akan budi luhur
yang oleh dua pemuda itu.
— Sebaiknya kita nanti mengaso dahulu setelah menyebeangi Kali Progo, dan pada hari tengah malam
menjelang fajar kita lanjutkan, supaya dapat sampai di Padepokan pada pagi hari. Dengan demikian
kedatangan kita tidak mengganggu orang-orang yang sedang tidur nyenyak dimalam hari. — Indra
memberikan saran kepada Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
— Kami sangat menyetujui saran kakang Indra. — jawab mereka berdua hampir berbareng.— Dan
juga kita akan mempunyai tenaga yang segar, sewaktu menghadap Paman Guru Wiku Sepuh.—
Setelah berjalan setengah harian. mereka kini berjalan lebih cepat lagi sambil asyik ber-cakap-cakap.
Pada waktu senja sampailah mereka bertiga diseberang Kali Progo. Kali Progo, sunggulipun lebar tapi
airnya tak begitu deras.

Kali Progo itu bermata air dari lereng-lereng Gunung Bismo kemudian mengitari Gunung Sumbing dan
mengalir ke selatan untuk kemudian bermuara di Laut bebas Nuswantara dipantai selatan daerah
Kabupaten Kebanjaran Agung Mataram.
Sawah-sawah dan tegalan membentang luas sampai gunung Sumbing, dengan tanaman-tanaman
polowijo yang beraneka warna jenisnya dan sayur mayur seperti kobis dan sebagainya. Desa-desanya
terpencar jauh satu sama lain. Ternyata daerah disekitar seberang barat Kali Progo sampai dilereng-
lereng gunung Sumbing adalah merupakan daerah yang makmur dan sejahtera, berkat dari rakyat desa
disekitar itu yang sangat rajin akan mengolah tanah-tanah dan pemeliharaan ternak hewan-hewannya.
Walaupun letaknya daerah itu agak terpencil dan jauh dari pusat pemerintahn ataupun tempat
Punggawa Narapraja, tetapi selalu aman dan tenteram. Setiap kali para perampok ataupun penjahat-
penjahat lainnya mencoba masuk didaerah itu, selalu dapat digagalkan oleh murid-murid Wiku Sepuh
yang bersemayam di Padepokan Kaliangkrik. Setelah mereka beristirahat disebuah gubug ditengah
tegalan ber-sama-sama dengan orang yang menjaga tanaman, maka sebelum fajar tiba, berangkadah
mereka menuju Kaliangkrik, Dan waktu pagi hari mereka telah sampai dipadepokan Wiku Sepuh ……
Halaman muka Padepokan itu sangat luas dengan tanaman kembang liar pegunungan beraneka warna
dan pohon pohon buah-buahan beraneka macam. Halaman yang luas itu kelihatan bersih, dan tanam-
tanamannya segar terpelihara. Di-tengah-tengah halaman Padepokan bagian depan yang luas itu, ada
berdiri sebuah pohon beringin yang rindang sebagai lambang pengayoman. Padepokan itu terdiri dari
tiga bangunan rumah besar dengan pendapa-pendapa.yang luas, berjajar semuanya menghadap
keutara. Semuanya terbuat dari kayu jati yang kokoh kuat dan beratap genting. Namun rumah yang di-
tengah-tengah semua tiangnya diukir dengan ukir-ukiran berbentuk kembang-kembang dan daun-daun
yang indah sekali. Disebelah kiri dalam Pendapa yang luas itu, kelihatan serakit gamelan terbuat dnri
perunggu yang mengkilap bersih karena selalu terawat dengan baik. Sedangkan disebelah kanan dalam
pendapa terdapat sebarak tempat duduk dari bambu yang sangat lebar hampir selebar seperempat
pendapa, dengan digelari tikar anyaman dari mendong putih, yang umumnya disebut pula tikar pasir
dan kelihatan sangat bersih.

Didalam pendapa-pendapa rumah kanan kiri, terdapat pula bale-bale serupa itu dan digelari dengan
tikar pasir pula.
Sebelum memasuki ruang pendapa rumah tengah, ada sebuah kolam seluas kira-kira sepuluh langkah
persegi, dengan airnya yang jernih sedalam selutut. Kolam itu disediakan untuk mencuci kaki, sedangkan
padasan yang selalu berisi air disamping kolam adalah untuk mencuci tangan dan muka bagi mereka
yang akan memasuki ruang pendapa.
Sungguhpun rumah yang berada disamping kanan kiri kelihatan sederhana dibanding dengan
bangunan rumah ditengah, namun kiranya tidak kalah bersihnya. Taman-taman disekitarnyapun
kelihatan teratur dan terawat baik.
Dibelakang rumah padepokan itu terbentang luas tegalan dengan ber-macam-macam tanaman, dan
sebagian besar ditanami jagung, ketela, polowijo dan sayur-sayuran, sedangkan sebagian kecil lainnya
ditanami rempah-rempah bahan obat-obatan, seperti laos, lempuyang, temulawak, klembak dan daun-
daun obat-obatan beraneka jenis.
Dikala pagi itu, Kyai Wiku Sepuh sedang duduk dibale-bale diruang pendapa dengan lima orang
muridnya yang telah di-angkatnya sebagai pamong atau pemimpin-pemimpin dari pada murid-murid
lainnya. Muridnya semua ada 40 orang pemuda, dan tiap pagi hari mereka bekerja dalam tugasnya
masing-masing bergiliran. Ada yang sedang berlatih bela diri dihalaman belakang, ada pula yang sedang
bercocok tanam ditegalan dan ada pula yang sedang memasak ataupun mengatur balai rumah.
Wiku Sepuh usianya telah mencapai tujuh puluhan, namun bentuk badan dan wajahnya masih
kelihatan segar, se-olaholah beliau baru berusia sekitar ampat puluh lima . Badannya kokoh kuat dengan
tingginya yang sedang. Rambutnya terurai lepas sampai ditengkuknya.. Beliau tidak memakai ikat
kepala. Pakaiannya seperti pakaian petani biasa dengan celana hitam panjang sampai dibawah lututnya.
Tiga deret kerut keningnya kelihatan jelas. Namun kulit mukanya kuning bersih agak kemerah-merahan
dan tidak berkeriput. Alisnya tebal dan telah putih pula. Sinar matanya tajam dan memancarkan daya
perbawa yang kuat.
Kelima pamong muridnya pakaiannyapun serupa seperti petani biasa, hanya mereka kelima-lima nya
memakai ikat kepala lebar segi tiga dari tenun lurik sederhana, bintik-bintik kuning diatas warna hitam.
Mereka sedang duduk berjajar dihadapan gurunya Wiku Sepuh dengan muka yang tertunduk,
mendengarkan petunjuk-petunjuk yang sangat berguna baginya. Kelima pamong muridnya oleh Wiku
Sepuh diberi nama masing-masing yang tertua Waspadha Paniling, yang kedua Wasangka Pandulu, yang
ke-tiga Panyuluh, yang keempat Watangan dan yang- kelima Landeyan. Waspadha Paniling berusia kira-
kira 40 tahun, dan dulunya ia berasal dari Banten. Ia menjadi murid Wiku Sepuh sejak berusia 18 tahun,
dan dulu ia selalu mengikuti pengembaraan Wiku Sepuh tatkala Wiku Sepuh masih hernama Sidik
Pamungkas. Waspadha Paniling adalah murid kesayangan dari Wiku Sepuh, yang kelak diharapkan dapat
menggantikan kedudukan Wiku Sepuh di Padepokan. Nama itu memang sesuai sekali dengan sifat-sifat
yang dimiliknya. Ia memiliki sifat ketenangan dan dalam tindakannya selalu cermat dengan penuh
perhitungan. Bentuk tubuhnya tinggi agak kurus. Ia jarang tertawa, dan ketawanyapun hanya
merupakan senyuman saja.
Semua murid-murid selalu taat mematuhi. perintahnya. Wasangka Pandulu adalah tangan kanannya
dalam tugasnya sehari-hari mengasuh para murid atas petunjuk-petunjuk Wiku Sepuh. Wasangka
Pandulu bentuk tubuhnya sedang, tidak tinggi dan kelihatan kokoh kuat dengan urat-urat yang kelihatan
menonjol dilengan-lengannya. lapun mempunyai sifat-sifat yang hampir serupa dengan Waspadha
Paniling, tenang dan cermat dengan perhitungan dalam segala tindakan Ia berusia kurang lebih 35
tahun.
Panyuluh mempunyai sifat-sifat yang lain dari kedua kakak seperguruannya. Ia gemar berbicara dan
bicaranya selalu diiringi dengan ketawa, Ia adalah murid yang cerdas, dan pandai menceritakan kembali
apa yang ia dapat dengar dari gurunya. Bentuk tubuhnya agak kecil dengan wajah yang lucu. Ia berusia
kira-kira tigapuluhan tahun dan dahulunya berasal dari Tuban.
Watangan dan Landejan umurnya sebaya kira-kira duapuluh delapan taltun. Bentuk tubuhnya hampir
sama dan hampir merupakan sepasang kembar. Namun sifat-sifatnya berlainan. Jika watangan
mempunyai sifat tenang dan sabar. Lain halnya Landejan. la sebaliknya mempunyai sifat-sifat yang selalu
tergesa-gesar, dan lekas marah. Kedua-duanya dulu berasal dari daerah Mantaram. Kedua-duanyapun
mempunyai kesaktian dalam ilmu bertempur yang seimbang dan dapat mempergunakan ber-macam-
macam senjata, tetapi semua murid tak terkecuali para pamong murid, setelah mahir dalam
mempergunakan bermacam-macam senjata tajam, selanjutnya dilarang oleh Wiku Sepuh
mempergunakannya. Mereka hanya diperbolehkan memakai tongkat penjalin sebagai senjata dalam
menghadapi segenap bahaja serangan lawan yang mendatang. Itulah ciri asli dari murid-murid Wiku
Sepuh. Karena bagi orang yang telah mahir dalam ilmu bela diri, tongkat penjalin tak kalah ampuhnya
dibanding dengan senjata-senjata tajam lainnya. Dan dapat digunakan sebagai tongkat biasa yang tidak
mempunyai sifat-sifat pamer.
— Paniling dan adi-adimu semua!— Wiku Sepuh berkata kepada murid-muridnya: -- Harap semua
muridku nanti tidak turut campur tangan apabila aku sedang menyambut datangnya tiga orang tamu
yang masih muda. Cukup kau semua mendengarkan saja dara duduk tenang, sekali apapun yang akan
terjadi. Perlu kau ketahui semua, bahwa dua orang diantaranya tamu tersebut adalah murid Pandan
Gede adikku, yang akan menyantrik disini. Sedangkan seorang lagi adalah priagung dari Kerajaan yang
berpangkat Bupati Manggala Muda Tamtama.
Semua murid dihadapannya mendengarkan dengan penuh perhatian. Dan kini kata - kata Gurunya
benar-benar menjadi kenyataan ……
Tiga orang pemuda berjalan memasuki halaman menuju kerumah Padepokan. Mereka bertiga setelah
mencuci kaki masing-masing dikolam dan mencuci muka serta tangannya dengan air yang telah
memancur dari padasan, segera masuk keruang pendapa. Tak ada satu muridpun yang berani
menyambut kedatangannya tiga orang pemuda itu. Wiku Sepuh masih duduk bersila tenang
ditempatnya, seolah-olah tidak mempedulikan atas kedatangan tiga orang pemuda yang tidak lain
adalah Jaka Wulung, Jaka Rimang dan Indra Sambada …..
Belum pernah Indra Sambada menghadap seorang dengan rasa ragu seperti sekarang ini. Keraguan
yang diiiputi rasa ketakutan. Kekuatan bathin yang tabah akan memusat, selalu buyar kembali, dan
jantungnya ber-debar-debar penuh rasa kecemasan. Berulang ulang ia berusaha mengurnpulkan tenaga
bathinnya, tetapi selalu gagai dalam samadhinya. Tahulah dia kini, bahwa perbawa Wiku Sepuh yang
sedang dihadapi jauh lebih tinggi dari pada daya perbawanya sendiri. Tak kuat ia menatap pandang
kearah Wiku Sepuh.
— Dirgahajulah kau bertiga yang baru datang!— Wiku Sepuh menyambut sujud mereka bertiga
dengan tenang.
Tetapi belum juga ke – tiga-tiganya dapat sempat menjawab, Wiku Sepuh segera berobah wajahnya
dmgan kemarahan yang bernyala nyala, diiringi kata-kata keras penuh daya perbawa! — Hai, Banteng
Majapahit. Tumenggung lndra! serunya — Nodamu tak cukup dicuci dengan air kolam dan padasan.
Apabila kau benar - benar bertobat, mohonlah ampun pada Dewata Yang Maha Agung, dan
berangkatlah sekarang juga ke Candi Arjuna didataran tinggi Dieng. Bersamadilah untuk mencuci
nodamu selama ampatpuluh hari lamanya, dan tanggalkan semua senjata yang meiekat dibadanmu itu.-
-……
Mendengar kata-kata Wiku Sepuh yang penuh dengan kemurkaan, India Sambada tak kuasa untuk
bangkit. Un uk menjawab saja rasa tenggorokkannya seperti tersumbat. Mukanya tertunduk lesu, Itulah
daya perbawa aji sakti; Wiku Sepuh yang dinamakan aji sakti — Panggendaman Rajawana. — Kini
setelah melihat Indra Sambada te tunduk tak berdaya, Wiku Sepuh melanjutkan kata-katanya dengan
nada kemarahan yang berkurang — Pesanku dalam perjalanan menuju ke Dieng, kau tak diperkenankan
membunuh binatang-binatang liar, sekalipun mereka akan menerkammu. Serahkanlah akan
keselamatan jiwa ragamu kepada Dewata Yang Maha Agung. Jika mendapat lindungan- Nya, tentu kau
dapat kembali pulang kemari dengan selamat.---
--- Perintah Bapak Wiku Sepuh, akan saya laksanakan. Hanya doa restu Bapak Wiku Sepuh saya minta
untuk menyertaiku---, Hanya itulah kata-kata Indra Sambada yang dapat diucapkan. Dengan berkata
demikian, ia segera melepaskan keris pusakanya dari pinggang sebelah kiri dan kantong yang berisikan
taji dipinggang sebelah kanan, un tuk kemudian diserahkan kepada Wiku Sepuh. Semua yang
menyaksikan turut terharu. Terutama Jaka Rimang. Ia tak tahan melihat Indra Sambada diperlakukan
secara demikian.

Ingin ia turut berkata untuk membela, namun karena terkena perbawa aji sakti penggendaman
rajawana, tak mampu pula ia bergerak.
Wajah Wiku Sepuh yang memancarkan kemurkaan kini berangsur-angsur berobah menjadi tenang
kembali dan berkata pelan. — Dari jauh aku akan selalu semadi berdoa untuk keselamatanmu. — Kini
rasa daya perbawa yang menekan telah lenyap, seakan-akan disapu bersih oleh suara kata-kata yang
penuh ketenangan tadi.
— Jika Kyai Guru Wiku Sepuh memperkenankan saya akan menyertai kakang Indra Sambada dalam
perjalanan. — Jaka Rimang memotong bicara.
— Itu tidak mungkin, kau tidak kuperkenankan, karena tak ada perintah gurumu Pandan Gede
demikian jawab Wiku Sepuh singkat! — Kelak apabila Tumenggung Indra kembali dengan selamat, kau
baru dapat rnenyertainya, dalam perjalanan mengemban tugas amanat penderitaan rakjat selaku
pengikut setia dari pada Banteng Ivlajapahit. —
Setelah meninggalkan keris pusakanya dan semua senjata yang ada padanya. Indra Sambacla segera
sujud kembali, untuk berpamit, dan kemudian bangkit meninggalkan rumah Padepokan, Jaka Wulung
dan Jaka Rimang dengan para pamong murid mengantarkan perginya Indra Sambada sampai dipagar
halaman depan, dengan penuh rasa iba. Sedangkan Wiku Sepuh masih tetap duduk bersila tenang
ditempatnya, dengan berkata pelan pada dirinya sendiri — Selamat, selamat, selamat.
Candi Arjuna terletak di-tengah-tengah dataran tinggi Dieng, dengan dikelilingi candi-candi lainnya,
seperti candi Bima, candi Dwarawati, candi Gatotkaca dan candi-candi kecil lainnya dan merupakan
kelompok candi-candi yang terpisah - pisah.
Pintu gerbang candi Arjuna bingkainya berupa ukiran lukisan Kalamakara, dan tak seberapa jauh dari
tempat itu ada sebuah danau dengan airnya yang sangat jernih. Air danau itu mengalir kekali Tulis, yang
kemudian bertemu dengan kali Seraju, dan terus mengalir keselatan bermuara pantai Cilacap. Tidak
sebuah pohonpun dapat bertumbuh didalam dataran Dieng dekat candi-candi itu. Hal itu mungkin
karena tanahnya mengandung uap belirang.

Candi tersebut didirikan oleh Keradjaan Mantaram, dikala Sri Baginda Sanjaya Raka I Bhumi
Mantaram bertakhta pada lebih kurang tahun 700. Beliau beragama Hindu syiwa.
Belum lagi lenyap kenangan pedih yang diderita, ujian berat telah menyusul …….. ia harus berpisah
dengan kedua adik angkatnya yang disayang …….

Namun ……. semuanya itu diterima dengan hati tabah, dan tawakkal……! Selesai menyepi, bersamadi,
dan mensucikan diri, tugas berat telah menanti …… , diatas pundak Indra Sambada yang Sakti.
Dan ……. dalam membasmi Tokoh Sakti golongan Dursila ia tetap pada pegangan yang diajarkan oleh
Ayah, dan ke-empat orang Gurunya yang Sakti : bahwa : SURADIRA JAYANINGRAT LEBUR DENING,
PANGASTUTI

**

B A G I A N IV.
KEMBALI LAGI kini Indra Sambada sebatang kara dalam perjalanan, sambil merenungkan dan
memikirkan kepedihan nasib yang sedang dialaminya. Baru saja ia terhibur karena pertemuannya
dengan Jaka Wulung dan Jaka Rimang serta Giyanti, bahkan bersama-sama menempuh perjalanan dari
Kapuan sampai di Secang dan kemudian bersarna sama kedua pemuda itu melanjutkan perjalanan
sampai dilereng Gunung Sumbing sambil bersendau gurau dengan mesranya, kini tiba-tiba sebelum ia
dapat duduk tenang beristirahat, diusir dari Padepokan, supaya berangkat menuju ke Dieng. Badannya
terasa letih lunglai seperti tidak bertulang. Sedangkan kakinya dirasakan berat untuk melangkah
sewaktu ia keluar halaman, ia tak berani memalingkan kepala kebelakang sebentar, untuk menjawab
lambaian tangan dari Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
Seruan-seruan perpisahan dari Jaka Wulung dan Jaka Rimang, tak pula ia mendengarkan. Ia berjalan
terus lurus kearah utara melewati pematang-pematang ditengah sawah yang luas membentang, untuk
kemudian tiba didesa berikutnya. Kini ia menempuh jalan-jalan desa, dan sampailah ia disuatu lembah
dengan banyak pohon-pohonnya yang rindang. Indra Sambada berhenti, dan duduk beristirahat
dibawah pohon asam yang rindang.
Dikala itu sang surya telah condong kebarat. Sinar teriknya memancar memenuhi alam. Benda - benda
yang terkena sinarnya sang surya menciptakan bayangan-bayangan hitam ditanah, menyerupai bentuk
wujudnya masing - masing. Sewaktu ia sedang duduk bertopang dagu dan tenggelam dalam
lamunannya, tiba-tiba suara tertawa nyaring terdengar dari belakang dan membuatnya terkejut. Cepat
ia memalingkan kepala kearah datangnya suara tertawa tadi, dan siap sedia menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi ……Dan ternyata ….. Seorang kakek kakek kurus bertongkat telah berdiri
dibelakangnya.
— Tak kusangka orang yang bergelar Banteng Majapahit, semangat juangnya mudah patah. kakek-
kakek itu berseru menyindir — Jika Tumenggung Indra masih memiliki aji shakti Bandung Bondowoso,
kejarlah aku ! ! ! — berkata demikian kakek-kakek bertongkat itu melesat lari kejurusan utara bagaikan
berkelebatnya bayangan. Mendengar kata-kata yang mengejek dirinya itu, Indra Sambada segera
terbangun sadar, dan tahulah ia dengan pasti, bahwa kakek-kakek itu tak lain dari pada Kyai Pandan
Gede adanya. Secepat Pandan Gede melesat lari keutara, Indra Sambada segera mematek aji shak tinya
Bandung Bondowoso memusatkan tenaga bathinnya untuk kemudian menghilangkan rasa berat
badannya, dan secepat kilat itu pula Indra Sambada melesat mengejar larinya Pandan Gede. Dua orang
kejar-kejaran, laksana berkelebatnya bayangan. Ternyata dua orang memiliki kesaktian yang sama
tingkatannya dalam lomba lari, menilik jarak antaranya yang selalu tidak berobah. Sang surya telah
memasuki cakrawala, tetapi samar-samar masih kelihatan dua orang lari ber-kejar-kejaran, menuruni
jurang-jurang yang curam untuk kemudian menaiki tebing yang terjal, dan memasuki lembah hutan
belukar. Waktu itu telah tengah malam. Pandan Gede mengurangi kecepatan larinya yang segera
tersusul oleh Indra San.bada.
— Ha …. Ha …. ha ….. menyerah kalah aku — Pandan Gede berkata sambil berhenti lari dan duduk
bersandar pada pohon ditengah hutari. Indra Sambada segera mengikuti duduk ditanah ber-hadap-
hadapan dengan Kyai Pandan Gede. — Salah ….. salah dugaanku tadi. Ternyata gelar Banteng Majapahit
sesuai dengan pemiliknya --- Pandan Gede mulai bicara dengan kata pujian tertuju pada Indra Sambada.
--- Kyai Pandan Gede, sengaja mengalah — jawab Indra Sambada dengan jujurnya – Gelar siluman
shakti ambeg paramaarta tepat benar untuk Kyai — Indra Sambada membalas memuji — Dan kiranya
saya baru setingkat dengan murid Kyai — Indra bicara merendah.
— Aneh ….. aneh ….. selalu merendahkan diri. — Kyai Pandan Gede berkata dengan tertawa, dan
meneruskan bica-
ranya — Aku menyerah kalah, dan lomba lari selesai sampai disini saja. PesanKu terimalah pengabdian
Jaka Rimang sebagai muridmu. Dan ingatlah, bahwa jeritan rakyat menunggu pertolongan dari Pendekar
Majapahit — berkata demikian Pandan Gede melesat menghilang dikegelapan malam. Dengan kata-kata
lomba lari sampai disini saja, tahulah Indra Sambada, bahwa mengejar larinya Kyai Pandan Gede tidak
ada gunanya. Bagaikan seorang yang baru bangun dari tidurnya, kini Indra Sambada semangat juangnya
berkobar kembali menyala. Ia mengenangkan kembali pesan Wiku Sepuh yang terakhir dan pesan
Pandan Gede yang baru saja berselang. Ia telah mendapatkan kebulatan tekad untuk pergi mencuci
nodanya dicandi Arjuna, untuk kemudian melanjutkan pengabdiannya sebagai seorang tamtama, demi
amanat penderitaan rakyat dan demi keagungan nama Kerajaan Majapahit. Ia melanjutkan berjalan
cepat dikegelapan malam melalui lereng-lereng Gunung Sindoro, untuk kemudian mengitari lereng-
lereng gunung Bismo, dan menaiki tebing-tebing terjal menuju ke-Gunung Dieng, dengan pusat
perhatiannya kearah candi Arjuna. Duabelas hari lamanya ia berjalan melalui jurang-jurang lembah-
lembah dan tebing yang terjal yang sukar dilalui oleh manusia biasa. Binatang liar yang dijumpai dalam
perjalanan segera menyimpang jauh, tak kuat menatap wajah Indra Samloada yang bersinar yang
dilindungi oleh aji shakti Bandung Bondowoso.
Dengan langkah yang gontai, ia memasuki Candi Arjuna dan bermaksud akan bersemadhi di sudut
ruang sebelah dalam. Akan tetapi tiba-tiba detak jantungnya berdebar-debar, dan sebagai Ksatrya shakti
cepat pula ia dapat menguasai dirinya kembali untuk menenangkan serta menghentikan langkahnya,
sambil mengawasi,sekeliling ruangan dengan penuh waspada.
Sesaat ia menjadi terkesiap, demi dilihatnya dengan jelas, bahwa disudut dalam ruangan yang terang
samar-samar sebelah kanan, nampak adanya seorang berpakaian seragam sebagai Lurah tamtama
Kerajaan, sedang duduk bersila dengan muka tertunduk sambil memegang keris pusaka yang telah
terhunus. Sedang Indra Sambada melangkah mendekat, untuk menegornya, tiba-tiba …… orang itu
bangkit berdiri dengan masih menggenggam keris pusaka ditangan kanannya.

Indra Sambada melompat surut ke belakang selangkah, untuk ber jaga menghadapi segala
kemungkinan yang akan mendatang. Namun demi diingatnya kembali, akan pesan Wiku Sepuh, bahwa
apapun yang terjadi atas dirinya. ia tak diperkenankan melawan dengan ilmu kanuraganya. Maka cepat
ia menyalurkan segenap tenaga dalamnya yang telah terpusat ke-arah sinar pedang matanya, untuk
kemudian menatap pada muka orang yang kini berada dihadapannya dengan pandang tajam penuh
perbawa.
Orang itu tiba-tiba ter-huyung-huyung kebelakang selangkah, dan keris pusaka ditangan kanannya
berkelebat laksana kilat menembusi dadanya sendiri. Ia roboh terkulai dilantai dengan mandi darah.
Dengan tangkas lndra Sambada meloncat maju selangkah, dan kemudian berjongkok disisih orang
yang kini tengah bergulat dengan maut itu.
Kiranya tak mungkin lagi ia dapat tertolong. Keris pusaka yang tertancap di dada orang itu demikian
dalamnya, hingga hampir tembus sampai di punggungnya.
Sedang Indra Sambada membantu menyilangkan tangan orang itu didadanya tiba-tiba, sambil
membuka matanya sesaat, orang itu berbicara dengan suara yang amat lemah dan hampir tak
kedengaran serta terputus-putus.
— Gus…. ti …..In. .dra …..Ampu….. In…. do…. .sa….. hamba yang….. hina…. di….. na…. Pun…. su….
rat…. Itu … ham ….ba…. yang….. membu….. St…..
Ia berhenti sesaat sambil berusaba mengerahkan tangannya yang terakhir serta mernbuka lagi
matanya yang kian suram untuk melanjutkan kata-katanya.
Kematian Ki Lurah Somad dan istrinya bukan bunuh diri tapi hambalah yang mernbunuhnya.
Sampai disini suara orang itu terputus. Nafasnya tersengal-sengal... dan kemudian badannya
berkelejetan bergulat melawan maut yang kiranya telah menyengkeramnya semakin kuat.
— Lurah Sampar ! ! ! Sampaaaaarrr ! ! ! — Seru Indra Sambada sambil meng-goyang-goyang
tubuhnya yang ternyata telah mulai rnembeku itu. Namun orang yang dipanggil namanya oleh Indra
Sambada itu, ternyata telah tak bernafas lagi.
Dan suasana kini menjadi sunyi hening kembali.

Ia tak menduga sama sekali, bahwa lurah Tamtama Sampar yang selalu taat dan dipercayai serta
dianggapnya sangat setia itu, ternyata adalah orang yang mengkhianatinya. Orang yang melakukan
perbuatan pengkhianatan yang amat rendah, keji serta terkutuk.
Tetapi semua itu telah terjadi dan segala sesuatu yang telah terjadi tak perlu disesalkan dan diungkap
kembali.
--- Yah, semoga Dewata Yang Maha Agung dapat pula mengampuni dosa-dosamu itu— lndra Sambada
berkata lirih, setelah mana ia mengubur mayat Lurah tamtama Sampar dibelakang candi.
Kegelapan yang selalu rnenyelimuti dirinya kini perlahan-lahan menyingkir bagaikan tertimpa oleh
sinar cahaya nyala-nya pelita.
Kini ia kembali memasuki candi Arjuna lagi dan dengan tenangnya ia mulai duduk bersila disudut …..
Mematikan daya rasa panca indranya. Dan terciptalah — trimurti jati manunggal ialah . bersatu padunya
cipta, rasa dan karsa, untuk kemudian menyerah dengan tekad yang bulat dan menghadap pada
kekuasaan Dewata Yang Maha Agung dan Maha Pengasih, bagaikan daun-daun kering menyerah pada
hembusan angin yang maniupnya. la duduk bersila dan tenggelam dalam samadhinya laksana patung.
Yang ada padanya hanya, — mohon ampun, dan mohon petunjuk Nya dalam kelanjutan hidupnya
demi mengabdi padaNya.—

**

B A G I A N : V.
DIWAKTU SENJA seorang bangsawan dengan pakaian kebesarannya sebagai Senopati Muda
Manggala Tamtama Pengawal Raja bertubuh tinggi besar, bercambang bauk wajahnya, dengan dadanya
yang bidang memasuki halaman Padepokan Kaliangkrik tempat Wiku Sepuh bersemayam. Kedatangan
Gusti Senopati Adityawardhana didampingi oleh Tumenggung Sunata dan diiringkan oleh sepasukan
tamtama sebanyak 30 orang.
Kelima pamong murid sibuk menyambutnya, sedangkan para murid lainnya sibuk menambatkan kuda-
kuda tunggangannya dibelakang Padepokan. Pasukan tamtama pengiring dipersilahkan istirahat diruang
pendapa dirumah sebelah kanan, sedangkan Gusti Senapati Muda dan Tumenggung Sunata langsung
dipersilahkan masuk ke ruang pendapa dirumah tengah.
Wiku Sepuh segera keluar menyambut dengan didampingi oleh Jaka Wulung dan Jaka Rimang,
mempersilahkan Gusti Senapati Muda dan Tumenggung Sunata duduk di-bale-bale yang lebar itu
diruang pendapa. Menyusul kemudian kelima pamong, turut duduk berjajar dibelakang Wiku Sepuh
yang sedang menghadapi tamu agung dari kota Raja.—
— Maafkan jika kami menyambut kedatangan Gusti Senapati serba kurang pantas. Wiku Sepuh
berkata dengan kerendahan hati —Dan perkenankanlah kami mengucapkan dirgahayu atas kedatangan
Gusti Senapati.—
— Sangat berterima kasih atas kesediaan menerima kedatanganku, Bapak Kyai Wiku Sepuh.— Gusti
Senapati menjawab.—Tak kusangka bahwa padepokan yang terpencil, demikian indahnya.—ia
melanjutkan berkata dengan memuji. Tetapi dibalik kata-kata pujian, Gusti Senapati mengerahkan
tenaga dalamnya dengan menatap wajah Kyai Wiku Sepuh. Kyai Wiku Sepuh tak mau menatap wajah
Sang Senapati. Sengaja ia menundukkan mukanya, tetapi dengan pelan ia menghembuskan nafas yang
disertai pemusatan kekuatan bathinnya dengan aji kesaktian panggendaman rajawana. Sang Senapati
segera terperanjat sesaat, setelah merasa bahwa ujung kain bajunya bergetar sebentar. Tahulah
sekarang, bahwa yang di hadapinya ialah Sang Wiku Sepuh yang memiliki kesaktian mendekati
sempurna. Ia segera menundukkan mukanya, menyesal akan kecerobohannya yang telah dilakukan.
— Gustiku Senopati, hendaknya jangan merasa canggung dalam padepokan yang buruk ini. Sudilah
berlapang hati dan menganggap seperti di Istana sendiri, Wiku Sepuh berkata dengan bersenyum. —
Saya hanya seorang petani biasa, dan tak mampu membangun lebih baik dari pada ini.—
— Kami sangat kagum akaa indahnya pandangan dan segarnya hawa disini, rasanya aku tak ingin
pulang kerumahku sendiri. — jawab Sang Senopati dengan tak kurang tangkasnya dalam beradu lidah.
Kyai Wiku Sepuh tersenyum simpul, mendengar kata-kata pujian yang tak langsung itu. — Tak
kusangka, bahwa Gustiku Senopati pandai pula bergurau.— sahut Wiku Sepuh dengan mengalihkan
bicaranya.
Tumenggung Sunata dan kelima pamong murid serta Jaka Wulung dan Jaka Rimang duduk diam,
rnendengarkan kedua tokoh sakti yang sedang ber-cakap-cakap. Dua tokoh sakti, tetapi berlainan
kedudukannya, Kyai Wiku Sepuli sebagai tokoh rakyat yang termasyur, sedangkan Sang Senopati sebagai
Tamtama Kerajaan yang terpandang.
Percakapan berhenti sejenak, karena datangnya para murid yang mengantarkan hidangan makanan
berupa nagasari, wajik, ketan dan minuman teh hangat.
— Silahkan Gusti-gusti, hanya inilah hidangan yang dapat kami sajikan. — Wiku Sepuh mulai
mempersilahkan untuk menikmati hidangan pada kedua tamunya, yang segera disambutnya dengan
riang dan akrab. Sambil menikmati hidangan yang telah tersedia itu, percakapan masih berlangsung
terus dengan asyiknya.
Murid-murid Kyai Wiku Sepuh disamping mahir dalam ilmu kanuragan, kebathinan, kiranya mahir
pula memasak. — Sang Senopati Muda birjara sarnbil menikmati hidangan makanan.
— Saya memang melatih murid-murid saya, agar kelak dapat terpakai sebagai juru masak di
Senopaten. — Kyai Wiku Sepuh menyahut sambil tersenyum riang.
— Sedangkan ajaran-ajaran lain yang dapat kuberikan hanya merupakan pelengkap mengingat
pengetahuanku yang masih sangat dangkal itu. — Kyai Wiku Sepuh melanjutkan bicaranya dengan
merendah hati, yang sekali gus merupakan sindiran tak langsung. Sungguhpun percakapan itu telah agak
lama berlangsung, tetapi masih tetap berkisar pada pembicaraan yang ringan-ringan saja. Sang Senopati
belum juga memberikan penjelasan maksud kedatangannya, sedangkan Wiku Sepuh belum juga mau
menanyakan maksud kedatangannya.

( Bersambung jilid III )


PENDEKAR MAJAPAHIT
INDRA - SAMBADA
Jilid 3
(TAMAT)

Karya : KUSDIO KARTODIWIRJO


Gambar : OYI SOEDOMO
Penerbit : SINTA - RISKAN

Pustaka Koleksi : pak Aditya Indra Jaya


Image Source : Awie Dermawan
Convert by : Eddy Z

Jan 2019, Kolektor - Ebook


PENDEKAR MAJAPAHIT
PENDEKAR MAJAPAHIT

BAGIAN I

HARI telah malam. Sang bulan telah mulai memakai mahkotanya menggantikan sang surya yang
telah berselang turun dari takhta, laksana permaisuri yang cantik sedang duduk disinggasana. Cahayanja
yang memancar menembus di kegelapan-menerangi ibu pertiwi. Angin pegunungan meniup pelan, dan
terasalah sejuk menjegarkan badan.
Wiku Sepuhpun minta diri untuk bersemadhi sembahyang di candi halaman belakang dengan diikuti
oleh para pamong murid dan para murid-murid semua, tak ketinggalan Jaka Wulung dan Jaka Rimang
mengikuti pula.
Kedua tamu priyagung bangkit dari duduknya dan ber-jalan-jalan mengelilingi halaman sambil
menikmati hawa pegunungan yang sejuk itu. Tak lama kemudian, kembalilah mereka semua diruang
pendapa, dan melanjutkan percakapannya.
Para murid kembali mengganggu percakapan yang sedang berlangsung, dengan mengantarkan
hidangan makan malam, ialah nasi putih dengan lauk pauknya, yang berupa ayam goreng, sayur mayur,
masakan ikan air tawar, dan sebagai buahnya ialah pisang raja sebesar pergelangan tangan.
— Silahkan menikmati hidangan hasil dari parlepokan, Gusti, --- Wiku Sepuh mulai mempersilahkan
untuk menikmati hidangan makan malam. Dengan lahapnya Sang Senapati Muda Gusti Adityawandhana
dan Tumenggung Sunata menikmati makanan yang lezat itu. Kiranya para pasukan tamtama pengiring
yang berada dirumah samping kanan juga sedang berpesta dengan riangnya, bersama-sama para murid
yang sedang tidak bertugas. Gelak tertawa para tamtama pengiring terdengar jelas dari ruang pendapa
rumah tengah. Mereka sangat bersuka ria atas sambutan yang meriah dan akrab itu. Satu sama lain
asyik menceriterakan pengalaman mmasing-masing dengan sebentar-sebentar diselingi suara tertawa
nyaring. Sedang mereka asyik menikmati hidangan yang lezat itu, tiba-tiba datang seorang murid
mengantarkan tamu.
Tamu yang datang itu telah setengah lanjut usianya. la berpakaian seperti petani biasa dengan
kantong kulit besar dipinggangnya, bertubuh kurus tidak tinggi dengan ikat kepala hitam lebar segitiga
yang telah kumal.
Kumis dan jenggotnya putih beruban, panjang tak terawat. Ia membimbing seorang anak lelaki
berbadan gemuk agak pendek, berusia kurang lebih mendekati 13 tahun. Setelah tamu itu memasuki
ruang pendapa tengah, Tumenggung Sunata segera bangkit berdiri dan menyambutnya dengan penuh
hormat. — Tak kuduga bahwa guruku, Bapak Kyai Tunggul datang pula dipadepokan.— Kata
Tumenggung Sunata dengan perasaan heran kepada tamu yang baru datang itu, yang tidak lain memang
Kyai Tunggul berserta Sujud anak angkatnya adanya. Mendengar ucapan kata-kata sambutan dari
Tumenggung Sunata itu, serentak semua berdiri menyambut kedatangannya, dan mempersilahkan
untuk duduk bersama-sama.
— Kedatangan seorang tabib besar yang termasyur dipadepokan ini adalah suatu kehormatan besar
bagi kami,— Wiku Sepuh mulai bicara. — Perkenankanlah saya menyambutnya dengan ucapan
dirgahaju pada Kyai Tunggul.—
— Sangat diperbanyak terima kasih atas kesudian menerima kedatangan kami, Kyai Wiku.— Kyai
Tunggul menjawab.
—. Kedatangan Kyai Tunggul sangat menggirangkan hatiku,— Senapati Muda Adityawardhana
mcmotong pembicaraan. — Namanya telah mengambar harum di Kerajaan, tetapi baru kali ini aku
dapat kesempatan bertemu dengan orangnya,— berkata demikian Sang Senapati Muda
PENDEKAR MAJAPAHIT

membungkukkan badannya, sebagai tanda menghormat.


— Terima kasih atas kata pujian Gustiku Senapati, yang berlebih-lebihan itu.— Kyai Tunggul
menjawab.
— Silahkan Kyai Tunggul turut serta menikmati hidangan makan ber-sama-sama,— Wiku Sepuh
mempersilahkan Kyai Tunggul dan Sujud untuk segera menyusul makan bersama.
— Tak kusangka bahwa perjalananku selalu dihadang rejeki. Mari Jud, tak usah kuatir, padepokan ini
makmur sejahtera,— Kyai Tunggul bicara sambil memulai makan dengan lahapnya.

Kedatangan Kyai Tunggul menambah ramainya percakapan. Namun belum juga mereka
membicarakan kepentingan mmasing-masing. Dan Kyai Wiku Sepuh memang sengaja tak mau
menanyakan maksud kedatangannya.
Selesai makan, mereka masih melangsungkan percakapan dengan asYiknya hingga larut malam.
Dengan masih menyimpan persoalan mmasing-masing dalam kalbunya, mereka kemudian beristirahat
merebahkan badan hingga esok pagi.
Pada esok paginya mereka kembali berkumpul diruang pendapa rumah tengah dan melanjutkan
percakapan yang tak ada ujung pangkalnya itu. Tiba-tiba Gusti Adityawardhana memotong pembicaraan
dengan usul acara baru.
--- Jika Kyai Wiku Sepuh mengijinkan, ingin sekali saya melihat para murid Padepokan yang sedang
berlatih kanuragan--
--- Untuk menghormat Gustiku Senapati, tentu saya tidak berkeberatan, tetapi hendaknya Gusti nanti
jangan mentertawakan permainan para muridku yang sangat dangkal itu.— jawab Kyai Wiku Sepuh
merendah.
--- Dangkal ataupun tidak, saya ingin sekali melihatnya, agar mendapat tambahan pengetahuan, untuk
mengisi ke-kurangan-kurangan. Ilmu yang ada pada para tamtama Kerajaan. Dan aku kira Kyai
Tunggulpun ingin pula menyaksikannya,— Gusti Senapati Muda mendesak.
--- Saya sangat setuju akan usul Gusti Senapati Muda, karena pertunjukan itu tentu akan menyegarkan
pandangan,— Kyai Tunggul menyahut. Dengan demikian maka kini Kyai Wiku Sepuh terdesak kesudut,
dan sebagai tuan rumah ia harus melayaninya.
--- Baik, baik". jawab Kyai Wiku Sepuh :" Hanya saja janganlah Gusti-gusti dan Kyai Tunggul
mentertawakan. Peniling!", Kyai Wiku Sepuh memalingkan kepalanya dan berkata kepada Waspadha
Paniling;" Supaya semua para murid berkumpul dihalaman belakang tempat latihan, Jaka Wulung dan
Jaka Rimang bantulah kakakmu itu, Paniling dan para pamong laid", katanya tertuju pada Jaka Wulung
dan Jaka Rimang. Para pamong murid dengan diikuti oleh Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera
meninggalkan ruang pendapa, menuju kehalaman belakang, untuk mempersiapkan tempat latihan para
murid beserta bermacam-macam senjata tajam dan tongkat-tongkat penjalin dari bermacam - macam
ukuran. Tempat latihan itu luasnya kira-kira 500 langkah persegi dan merupakan padang rumput hijau
yang rapih teratur, menyerupai permadani hijau yang digelar. Di-tiap-tiap sudut terdapat tempat khusus
untuk menaruh senjatasenjata tajam dan tongkat-tongkat penjalin. Para murid segera pula berkumpul
duduk berjajar - jajar dibatas garis tempat latihan sebelah barat dengan tak memakai baju atas. Mereka
bercelana hitam panjang sampai dibawah lututnya dengan ikat pinggang pita berwarna, menurut
tingkatan mmasing-masing. Yang termuda atau terendah ikat pinggangnya berwarna merah, sedangkan
tingkatan diatas terendah atau tengah, memakai ikat pinggang pita kuning. Kemudian tingkat yang
teratas ialah para pamong murid memakai ikat pinggang pita sutra berwarna putih. Para tamtama
pengiring dari Kerajaan turut pula menyaksikan latihan yang akan diselenggarakan itu, dan mereka
berjajar duduk dibatas sebelah timur.
PENDEKAR MAJAPAHIT

Dengan berpakaian seragam merah berseret putih, sebagai tamtama pengawal Raja. Bagi para
tamtatna, kesempatan menyaksikan pertunjukan ini adalah merupakan kegemaran mereka, bahkan
banyak diantara mereka yang ingin pula turut serta memamerkan ketangkasannya mmasing-masing
dalam hal krida yudha, hanya saja sebelum ada ijin dari Sang Senapati Muda, mereka tak berani
bergerak.
Kini Kyai Wiku Sepuh mempersilahkan kepada para tamunya menuju ke tempat latihan halaman
dibelakang yang telah disiapkan itu, dan mengambil tempat dnduk disebelah diatas tikar pandan yang
telah digelar. Wiku Sepuh segera memberi isyarat kepada Waspadha Paniling agar latihan segera
dimulai. Semua para murid dengan dipimpin oleh para pamong murid kini mulai bersemadhi
mengheningkan cipta sebentar. Jaka Wulung dati Jaka Rimang duduk meadampingi Wiku Sepuh dan
berjajar dengan Tumenggung Sunata, dengan memakai ikat pinggang pita sutra putih. Empat orang
murid dari tingkat terendah tampil kedepan, duduk bersila menghadap Kyai Wiku Sepuh dan bersujud
serentak, untuk kemudian berdiri ditengah-tengah gelanggang dan memulai dengan mempertunjukkan
ketangkasannya mmasing-masing, dengan gaya gerakan kembang-kembang yang indah, yang lebih
menyerupai tarian dari pada pertempuran. Senjata-senjata yang berada disudut dipakai juga satu demi
satu dalam gerakan tarian kembang-kembang itu. Inilah latihan dasar dari olah kanuragan ciptakan Wiku
Sepuh.
Para tamtama memperhatikan dengan seksama, dan banyak diantara mereka memuji akan
ketangkasan gerakan-gerakan itu, tetapi banyak pula yang merasa tidak puas akan pertunjukan yang
baru saja dipamerkan itu dengan mengerutu. — Tarian yang demikian indah itu bagi kira tak ada artinya.

Gusti Senapati Muda segera turut pula bertepuk tangan sebagai pujian, setelah permainan kembang-
kembang itu berakhir.
Kemudian dua orang pemuda dengan ikat pinggang warna kuning pada mmasing-masing pinggangnya
tampil kedepan dan bersujud paka Wiku Sepuh. Wiku Sepuh memberi isyarat sebagai ijin untuk segera
memulai.
Dengan tangkasnya kedua pemuda tadi meloncat dengan gaya yang indah surut kebelakang dan
berdiri ditengah-tengah gelanggang, dengan saling beradu punggung. Dengan cepatnya mereka
bergerak lagi ketempat senjata yang berada disudut di depan mmasing-masing. Yang satu mengambil
sebuah pedang, sedangkan seorang pemuda yang lain sebagai lawannya mengambil tongkat penjalin
berukuran panjang sedepa dan besarnya kira-kira satu setengah ibu jari kaki.
Kini pertarungan pedang melawan tongkat panjang, mulai mendebarkan hati para penonton. Semua
perhatian para tamtama terpusat kearah pertunjukan pertarungan itu. Mmasing-masing
memperlihatkan ketangkasannya yang mengagumkan.
Tumenggung Sunata kini mulai tertarik pula akan pertunjukan Itu, bahkan Sang Senapati sendiri
seringkali mengeluarkan pujian — ah ,…… hebat — hingga berulang-ulang. Tongkat penjalin yang
berada ditangan murid Kyai Wiku Sepuh dapat bergerak cepat berputar menjadi lingkaran, tak ubahnya
seperti payung baja sebagai pemegangnya. Pedang ditangan lawan tak mampu menyerannya. Tiap kali
serangan tusukan dengan ujung pedang dilancarkan, selalu pula dapat digagalkan karena rapatnya
perisai yang diciptakan oleh lawan, sipemegang tongkat penjalin. Bahkan berkali-kali hampir pedang
terlepas dari genggaman, karena terbabit oleh benturan gerakan tongkat penjalin yang dahsyat itu. Kini
berganti pemegang rotan me ancarkan serangan-serangan sabetan dan pukulan yang tak kalah
berbahayanya. Pemegang pedang sibuk menangkis dengan-gerakan yang mentakjubkan pula. Tiap kali
tangkisan di iringi dengan sebuah gerakan serangan babatan ataupun tusukan kearah lawan. Namun
PENDEKAR MAJAPAHIT

kiranya ke-dua-duanya memiliki ketangkasan dan kemahiran yang seimbang. Tepuk tangan terdengar
riuh setelah pertunjukan berakhir. Sang Senapati tersenyum girang melihat pertunjukan itu, sedangkan
Kyai Tunggul selalu berseru pada anak angkatnya Sujud:
— Hebat, hebat, kau harus banyak belajar dari pertunjukan ini. —Sujud tidak menjawab, tetapi
memperhatikan dengan cermatnya akan pertunjukkan yang mengasyikan dan menarik perhatiannya
para penonton. Sedangkan dalam hatinya ia tidak merasa puas akan pertunjukan yang hanya
merupakan permainan saja. Yang ia inginkan, ialah suatu pertempuran yang sungguh-sungguh, dan
berakhir dengan ada pihak yang menang. Pikirnya: — Bagaimana bisa tahu, mana yang lebih mahir, jika
hanya merupakan permainan demikian saja. —
— Jika kiranya tak keberatan, saya juga ingin turut meramaikan pertunjukan ini. Lagi pula biarlah salah
seorang tamtamaku dapat menerima pelajaran-pelajaran yang berguna dari murid Kyai Wiku Sepuh,—
tiba-tiba Sang Senapati Muda bicara memecah kesunyian, kepada Kyai Wiku Sepuh.
-- Bagus, bagus,— cljawab Kyai Wiku Sepuh, dan melanjutkan kata-katanya sambil bersenyum. —
Saya telah menduga, bahwa Gusti Senapati sangat gemar akan pertunjukan olah kanuragan, tetapi
sudilah Gustiku mcmperingatkan kepada tamtama yang akan tampil supaya pertunjukan ini berlangsung
dengan rasa persahabatan. —
— O, tentu, hal itu tak usah Kyai Wiku Sepuh kuatirkan, — sahut Sang Senapati dengan tersenyum
pula.

Sang Senapati segera berbisik kepada Tumenggung Sunata, supaya memanggil seorang tamtama
yang telah ditunjuknya. Seorang tamtama yang dimaksudkan segera tampil kedepan menghadap Sang
Senapati untuk menyembah, dan kemudian berdiri tegak ditengah gelanggang, menunggu datangnya
lawan.
— Paniling, — Wiku Sepuh berseru memanggil. — Biarlah adikmu Watangan melayani tamu kita, agar
ia mendapat pengalaman dan petunjuk-petunjuknya yang berguna. Watangan segera berujud
menghadap Kyai Wiku Sepuh. Dengan tenang ia mendekati seorang tamtama yang berdiri ditengah
gelanggang, serta menganggukkan kepalanya sambil bersenyum. Tamtam yang berdiri itu membalas
dengan anggukkan kepala pula dan segera menghunus pedangnya dan langsung menyerang Watangan
yang masih berdiri dengan tangan kosong itu, sambil berseru. — Awas senjata —
Serangan pedang itu merupakan serangan tebangan kearah pinggang lawan dengan suatu loncatan
yang tangkas. Semua orang menahan nafas, melihat serangan yang tiba - tiba, seJagi lawannya belum
siap dan bertangan kosong. Dan Serangan itu secepat kilat datangnya serta sangat berbahaya.
— Serang curang Sujud berteriak, tetapi Kyai Tunggul segera memberi isyarat agar Sujud menutup
mulutnya. Tetapi pada saat pedang akan jatuh pada sasarannya, penonton dikejutkan lagi oleh gerakan
Watangan yang sangat mentakjubkan. Watangan meloncat tinggi melewati kepala sipenyerang dengan
suatu seruan yang nyaring, dan dilanjutkan dengan suatu susulan lompatan berangkai sewaktu ia berada
diatas kepala tamtama. Dengan demikian ia dapat jatuh berdiri ditanah lagi, tepat disudut belakang
penyerang, dimana senjata-senjata ditempatkan. Gerakan loncatan itu sangat indah, dan merupakan
pameran ketangkasan yang menjadi perhatian para penonton terutama Sang Senapati Muda. Dengan
cepat Watangan meraih sebatang tongkat penjalin, yang panjangnya kira-kira setengah depa, sebesar
ibu jari kaki.
Kini mereka, kedua-duanya cepat membalikkan badannya dan kembali berhadap-hadapan dan saling
serang menyerang dengan serunya. Ternyata tongkat penjalin pendek tak kalah dahsyatnya dan
berbahaya, dibandingkan dengan serangan-seragan pedang yang tajam berkilat. Sebentar-sebentar
adegan pertarungan menegangkan syaraf penonton. Tak selang berapa lama pertarungan yang seru itu
PENDEKAR MAJAPAHIT

tiba-tiba berobah menjadi berat sebelah. Gerakan pedang tamtama yang tadinya bergetar menyilaukan
mata penonton, seolah-olah merupakan cahaya yang bergulung-gulung menyelubungi Watangan kini
tak dapat bergerak leluasa. Kemana saja pedang berkelebat, selalu terbentur oleh serangan tongkat
penjalin yang disusul dengan rentetan serangan sodokan dan sabetan tongkat itu.
— Si tamtama menjadi sibuk karenanya, dan pedangnya hanya dapat digunakan untuk menangkis
saja. Dalam keadaan terdesak, si tamtama selalu meloncat kesamping atau surut kebelakang, untuk
menghindari datangnya serangan tongkat yang bertubi-tubi.
— Biarlah dia sekali - kali merasakan pedihnya dipukul tongkat rotan, — Sang Senapati menggerutu.
Karena melihat lawannya terdesak tak berdaya, Watangan segera mengurangi dan memperlambat
gerakan serangannya, dengan maksud akan segera menghentikan pertempuran itu. Tetapi segera ia
meloncat surut kebelakang, tiba2 b r e- b e t ……. celana dipahanya robek terkena goresan pedang.
Untunglah bahwa kulit dagingnya tak turut terkupas.
— Berhenti ….. berhenti ……Seru Sang Senapati Muda dengan suara teriakan yang nyaring.
Tamtama yang masih akan melanjutkan serangannia, segera menggagalkan maksudnya dan
berhenti seketika dengan berdiri tegak ditempatnya. Demikian pula watangan segera meloncat
kesamping dan berdiri disudut, untuk kemudian menaruh kembali tongkat penjalin ditempat
penempatan senjata-senjata Si tamtama segera menghadap dan duduk bersila dihadapan Sang Senapati
Muda, dengan maksud akan menyembah. Tetapi sebelum ia mengangkat kedua belah tangannya,
tamparan Sang Senopati tepat mengenai pelipisnya.
Tamtama tadi jatuh terkulai ditanah, dengan tak sadarkan diri. Seorangpun tak berani mendekat
untuk memberi pertolongan. Tetapi tak tahu, dengan cara bagaimana, tamtama itu segera dapat bangkit
kembali dan menyembah lagi.
— Permainan pedang kanak-kanak, kau pertunjukan disini.— Sang Senopati mengguman padanya. —
Tahukah, jika murid Kjai Wiku Sepuh tadi menghendaki kau telah mampus terkena pukulan rotannya.—
Dengan nada marah Sang Senapati melanjutkan perintahnya — Lekas menyembah kepada Kyai Wiku
Sepuh dan menghaturkan terirna kasih.—
Tamtama itu segera menggeser duduknya dan menghadap Kyai Wiku Sepuh dengan menyembah. —
Terima kasih atas kemurahan Bapak Kyai.— Katanya.
— Bagus, saya juga terima kasih padamu. Permainanmu pedang cukup baik.— Kyai Wiku Sepuh
menjawab dengan tersenyum. Tamtama kemudian bangkit dan dengan muka yang merah padam ia
kembali duduk ditempatanya semula, berjajar dengan kawan-kawannya.
Kyai Wiku Sepuh terlalu memanjakan para tamtamaku.— Sang Senapati berkata pada Kyai Wiku
Sepuh.-- Terima kasih atas kemurahan Kyai Wiku Sepuh pada orangku tadi. - kata Sang Senapati.
Ternyata pada waktu si tamtama jatuh pingsan tadi, Kyai Wiku Sepuh mengerahkan pemusatan
tenaga bathinnya, yang disalurkan lewat pernafasannya, untuk kemudian ditiipkan kearah si tamtama
dengan pelan. Jarak antaranya kurang lebih ada lima langkah. Karena bantuan Kyai Wiku Sepuh itulah,
maka tamtama yang tak sadarkan diri, segera siuman kembali dan bangkit. Hanya Sang Senapati dan
Kyai Tunggullah yang dapat mengetahui adanya pertolongan dari Wiku Sepuh kepada tamtama tadi.
Mereka menyadari, bahwa ilmu yang dimiliki oleh Wiku Sepuh adalah mendekati titik sempurna. —
Sayalah yang harus mengucapkan terima kasih kepada Gustiku. — jawab Kyai Wiku Sepuh dengan
merendah hati—Murid-muridku telah menerima banyak pelajaran dari Gusti yang sangat berguna. Saya
masih ingin sekali lagi mengagumi permainan tongkat penjalin dari seorang murid Kyai Wiku Sepuh.
Sang Senapati berkata lagi — Dan kali ini biarlah Tumenggung Sunata yang melayaninya, agar
pertunjukan dapat sedikit menyegarkan pandangan Berkata demikian Sang Senapati memalingkan
PENDEKAR MAJAPAHIT

kepalanya kearah Sunata dengan mengerdipkan matanya sebelah sambil bersenyum.


— Kiranya kini Sang Senapati ingin mengetahui lebih banyak dasar-dasar keseluruhan dari permainan
tongkat penjalin hasil ciptaan Kyai Wiku Sepuh. Ingin pula beliau mengetahui sendi-sendi kelemahan dan
sendi-sendi keampuhannya. Sebagai seorang Manggala tamtama, beliau memang selalu menaruh
perhatian besar dalam pelbagai macam ilmu krida yudha. Hal inipun telah dapat dimengerti oleh Kyai
Wiku Sepuh, katanya. — Atas perhatian Gusti Senapati akan permainan tongkat penjalin dari murid-
muridku yang masih dangkal itu, saya merasa mendapat suatu kehotmatan besar, Gusti. — Setelah
mengucapkan kata-kata itu Kyai Wiku Sepuh segera berpaling kepada Jaka Wulung yang berada
disampingnya, serta berkata. — Jaka Wulung …….Kesempatan untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk
dari Gusti Tumenggung yang sangat berguna untukmu, jangan kau sia-siakan. — Jaka Wulung segera
dapat menangkap pula apa yang di-maksudkan gurunya itu.
Bersamaan waktunya Sunata dan Jaka Wulung duduk bersila menghadapi Sang Senapati dan Kyai
Wiku Sepuh untuk menyembah. Setelah mana mereka berdua menuju ke-tengah-tengah gelanggang
dengan senjata ditangan masing-masing. Sunata bersenjatakan pedang, sedangkan Jaka Wulung
bersenjatakan tongkat penjalin yang tadi dipergunakan oleh Watangan.
— Saya hanya melayani Gustiku Tumenggung. Silahkan, Gustiku memulai lebih dahulu, — kata Jaka
Wulung dengan hormatnya. Berkata demikian Jaka Wulung berdiri dengan kaki kuda-kuda. Serta
melintangkan tongkat penjalin didepan dadanya.
— Pemuda yang kuhadapi ini sungguh bersifat kesatrya — pikir Sunata.
— Baiklah, tapi jangan terlalu menghormat padaku, — kata Sunata singkat dengan diiringi senyuman.
Belum juga senyuman itu lenyap dari bibirnya, ia menerjang maju kearah Jaka Wulung, dengan
berteriak. — Awas pedang — Yang diserang, segera menghindari datangnya sabetan pedang yang
diarahkan kelambung kiri, dengan satu langkah, surut kesamping kanan. Badannya merendah serta
tangan yang memegang tongkat penjalin cepat bergerak menangkis datangnya pedang.
Dua senjata beradu keras, dan mmasing-masing segera surut kebelakang satu langkah. Ternyata
dengan gerakan tadi kedua-duanya ingin saling mengukur tenaga milik lawan. Kembali Sunata
menyerang lagi dengan suatu bacokan pedang yang dahsyat kearah kepala, yang oleh Jaka Wulung
hanya dengan memiringkan tubuhnya serangan tersebut dapat dengan mudah dihindari, dan disusul
dengan sabetan tongkat penjalin kearah kaki Sunata. Sunata meloncat menghindari sambil manusukkan
pedangnya, menahan serangan rangkaian. Setelah ke-dua-duanya dapat saling menyelami permainan
lawannya, kini mulai ganti berganti serang menyerang dengan serunya.
Bukan hanya senjata saja yang digunakan untuk saling menyerang tetapi tinju dan tendangan tak
ketinggalan juga.
— Permainan pedang Gusti Tumenggung Sunata sungguh bermutu tinggi, — Wiku Sepuh berkata
kepada Sang Senapati Muda Gusti Adityawardhana.
— Tetapi muridmu pun tak kalah tangkasnya, dan permainan tongkatnya banyak berbeda dengan
murid-murid yang tadi. — jawab Sang Senapati Muda.
— Dasar permainan tongkat Kyai Wiku Sepuh yang diajarkan ada dua macam — Kyai Tunggul
memotong Kyai Wiku Sepuh bersenyum kepada kedua-duanya dan menjawab pelan sambil
memperhatikan berlangsungnya pertarungan.
— Kiranya Gusti Senapati dan Kyai Tunggul sangat tajam penglihatannya. Sudilah Gustiku dan Kyai
Tunggul sabar sebentar, nanti akan kujelaskan.
— Sang Senapati sebagai Manggala dan Kyai Tungul yang banyak pengalaman, segera mengetahui,
bahwa permainan tongkat penjalin Jaka Wulung adalah terdiri dari dua macam dasar. Hal ini memang
PENDEKAR MAJAPAHIT

disengaja oleh Kyai Wiku Sepuh agar Jaka Wulunglah yang tampil kemuka, dengan permainan
tongkatnya ciptaan Kyai Pandan Gede dan digabung dengan ciptaannya sendiri yang baru dua bulan
dipelajari oleh Jaka Wulung. Dengan demikian, sukarlah untuk tepat diketahui dasar-dasar keseluruhan
dari pada permainan tongkat ciptaannya sendiri.
Kiranya ke-dua-duanya yang sedang bertanding, memiliki ketangkasan dan tenaga seimbang,.
Kembali kini pedang Sunata melancarkan serangan tusukan kearah perut Jaka Wulung. tetapi dengan
tangkasnya, tongkat penjalin menghadang didepan, dan menahan mengikuti segala gerakan pedang.
Dua senjata seperti saling melekat ujungnya. Dan kedua-duanya saling mengerahkan tenaga untuk dapat
mendahului menyerang, dengan mmasing-masing saling menahan geraknya senjata lawan, Peluh mulai
keluar ber-bintik-bintik dikeningnya mmasing-masing. Mereka saling mengagumi akan kekuatan
lawannya. Semua pandangan mata terpusat dalam adegan yang tegang ini, dan semua ingin tahu pula
siapakah yang akan memenangkan pertandingan yang seru ini.
Tiba-tiba terdengar suara seruan Jaka Wulung yang nyaring; — Lepas. — Tongkat rotan dengan
cepatnya berkelebat terlepas dari ujung pedang dan langsung menyapu kaki Sunata dua kali susul
menyusul kekanan kiri. Sabetan tongkat kearah bawah lawan sangat cepatnya, sehingga sukar diikuti
dengan penglihatan mata biasa. Tetapi Sunata adalah Tumenggung tamtama yang banyak
pengalamannya dalam krida yudha. Secepat geraknya tongkat penjalin itu, Sunata melesat tinggi
melambung melampaui kepala Jaka Wulung menghindari sabetan tongkat, dan sekaligus menyerang
dengan pedangnya kearah dada Jaka Wulung dengan gaya tusukan.
Semua menahan nafas dengan penuh kecemasan, melihat serangan kedua-duanya yang sangat
berbahaya bagi masing-masing. Serangan yang saling dilancarkan oleh mereka itu, harus diperhitungkan
dengan cermat sekali, karena baik bagi penyerangnya maupun bagi yang diserang sama-sama
berbahaya. Jaka Wulung tak kurang tangkasnya menjatuhkan diri dan bergulingan ditanah tiga kali,
untuk menghindari datangnya serangan tusukan pedang. Cepat ia bangkit kembali untuk melintangkan
tongkatnya diatas kepalanya, menangkis datangnya serangan bacokan pedang Sunata yang datang
menyusul.
…. Hebat ! ...... hebat ! ...... — Sang Senapati berseru sambil bertepuk tangan.
Pertarungan itu masih terus berlangsung dengan serunya, dan kini mmasing-masing memamerkan
simpanan ketangkasannya. Baru kali ini para tamtama melihat jelas suatu pertandingan krida yudha
dengan ketangkasan yang mentakjubkan. Tebasan dan bacokan pedang tak dapat mematahkan tongkat
penjalal. Dan sebaliknya pukulan sedokan dan sabetan tongkat penjalin tak pernah dapat mengenai
sasarannya. Disela-sela dua senjata yang bergerak cepat, kaki dan tangan masih pula dapat menyerang
dengan tendangan dan tinjunya. Gaya loncatan mmasing-masing sungguhpun berlainan dasarnya, indah
dipandangnya. Demikian pula Sujud. Ia duduk terpaku dengan mulut ternganga melihat hebatnya jalan
pertarungan.
PENDEKAR MAJAPAHIT

Tetapi sedang mereka bertempur dengan serunya, tiba tiba seoang bertubuh gemuk pendek dan
berwajah penuh dengan cambang bauk dan telah lanjut usianya, memperlihatkan diri dari balik rumah
samping dengan berkata keras.
— Tak kusangka, bahwa Sidik Pamungkas, yang katanya telah menjauhi keduniawiaan, ternyata
menjadi pelatih para priyagung Kerajaan. —
Kata-kata itu demikian kerasnya sehingga semua orang berpaling kearah datangnya suara. Pun yang
PENDEKAR MAJAPAHIT

sedang bertanding segera berhenti dan memandang kejurusan orang gemuk pendek tadi.
Para pamong murid segera bangkit dan menyambut datangnya tamu yang belum dikenal, tetapi
segera dibentaknya dengan suara yang kasar dari tamu yang disambut itu. — Tak usah kalian
Menyambutku dangan sopan santun. Kedatanganku hanya ingin menagih hutang pada Pandan Gede
dan Banteng Majapahit. Dan hanya Gurumu Wiku Sepuh yang pantas menyambutku, apabila kedua
duanya yang kucari tetap disembunyikan oleh Wiku Sepuh.—
— Paniling! — Wiku Sepuh berseru pada ketua pamong murid yang sedang menyambut tamu tadi. —
Kembaliah ke tempatmu berserta adi adimu, biarlah aku yang menyambutnya.— Berkata demikian, Kyai
Wiku Sepuh bangkit berdiri dengan pelan, serta berkata. — Tambakraga, kedatanganmu akan kuterima
dengan kegirangan hati. Lama nian kita tak berjumpa, rasanya aku telah rindu padarnu. Silahkan duduk,
diruang pendapa, nanti akan kuperkenalkan dengan tamuku ini ---
---- Wiku Sepuh pandai juga berlaku pura-pura. Saya hanya seorang diri dan berada disarang harimau,
tak mungkin aku mudah kau jebak dengan lidahmu yang berbisa. Ketahuilah bahwa yang saya perlukan
adalah adimu Pandan Gede dan priyagung si Pendekar Majapahit. Jika memang mereka tak mau keluar
dari persembunyiannya, dapat juga kau mewakilinya.— Jawab Tambakraga Dan melanjutkan kata-
katanya.
--- Jauh-jauh dari hutan Wonogiri aku datang, hanya untuk menagih hutang pada dua orang pengecut
itu. ---
Sabarlah dahulu Tambakraga. — Wiku Sepuh menyambut dengan tenang. Aku belum dapat
menangkap isi maksudmu. Jika yang kau kehendaki adalah adiku Pandan Gede, dia tak ada disini,
demikian pula Tumenggung Indra. Kiranya urusanmu dengan kedua-duanya aku tak mungkin
mewakilinya, karena aku tak tahu duduk perkaranya. Jika kau mau sabar menunggu, mungkin mereka
hari ini atau besok akan datang kemari. —
Senapati Muda Gusti Adityawardhana, setelah mendengar Indra Sambada di sebut-sebut segera
bangkit berdiri pula dan memotong percakapan yang tengah berlangsung itu.— Tuan yang baru datang!
Tadi tuan menyebutnya nama Pendekar Majapahit. Jika yang dimaksud adalah Tumenggung Indra
Sambada, saya akan mewakilinya untuk menyelesaikan urusan dengan Tuan, karena semua perbuatan
Tumenggung Indra adalah langsung menjadi tanggung jawab saya, bila ia tidak berada ditempat.-
Ha, ha, ha...... tak Iuput dugaartku, — Tambakraga menyahut. — hampir-hampir aku terjebak. Siapa
lagi yang akan mewakiinya? Asalkan terang orangnya dan jumlahnya saja.
— Karena Guruku tak berada disini, biarlah kami berdua mewakilinya. Jaka Wulung dan Jaka Rimang
serentak berdiri disamping Gusti Adityawardhana.
--- Bagus, bagus, kini sudah ada tiga orang yang berterus terang. Apakah masih ada Iagi? —
Tambakraga bertanya.
— Nanti dulu semua perkara dapat diselesaikan dengan tenang, Sayaa selaku tuan rumah, tidak
menghendaki adanya keributan yang tak ada ujung pangkalnya. Sebaiknya kau terangkan terlebih
dahulu, apa soalnya yang sebenarnya, agar semua dapat mengerti maksudmu itu. — kyai Wiku Sepuh
berkata tertuju kepada Tambakraga. — Sekalipun sudah ada yang mewakili mmasing-masing sebaiknya
aku tahu juga agar dapat menjadi penengah.
--- Baiklah, jika kau Wiku tua masih pura-pura belum tahu, — Tambakraga berkata menjelaskan. —
Kira-kira seratus hari yang telah lalu, muridku Suronggolo yang masih dalam asuhanku, dikeroyok oleh
adimu siluman Pandan Gede dan si Pendekar Majapahit hingga menemui ajalnya. Pertarungan itu
sungguh tidak jujur. Seorang yang masih hijau dikeroyok oleh dua orang yang namanya telah termasyur.
Apakah hal ini dapat dibenarkan? Suronggolo adalah sejajar dengan muridmu yang bodoh, tetapi ia
PENDEKAR MAJAPAHIT

adalah orang yang selalu taat dan setia pada gurunya. Jika ini dimaksudkan sebagai tantangan kepada
gurunya, tentunya sebagai tokoh yang telah termasyur tak perlu membunuh mundku yang tidak berdosa
itu. Dan yang kedua bagaimana kau Wiku tua dapat bertindak sebagai penengah, mengingat yang
berbuat itu adalah adikmu seperguruan sendiri dan seorang priyagung yang tentunya akan mengangkat
derajatmu.— Kata-kata itu dilontarkan dengan jelas sekali dengan disertai suara tawa ejekan yang
sangat memuakkan.
Bagi orang lain nama Tambakraga memang cukup membuat orang menggigil ketakutan. Ia terkenal
kejam tak berperikemanusiaan. Kesaktiannya hampir mendekati titik sempurna pula. Jari-jari tangannya
berkuku panjang beracun, Kayu-kayu yang bagaimana kerasnya dapat ditembus dengan totokan jari-jari
nya. Cengkeraman kuku-kukunya merupakan cengkeraman maut. Ia terkenal pula dengan gelarnya "Raja
rampok si Iblis tangan berbisa", Gelar ini dikarenakan banyaknya para rampok dan banyak begal-begal
yang tunduk dibawah perintahnya, bahkan tidak sedikit jumlahnya diantara para pejahat yang menjadi
muridnya. Oleh para murid dan bawahannya ia digelari "Macan Kumbang". Para perampok dan begal
yang berhasil mendapatkan rampasan harta benda dan lain-lainnya dengan taatnya menyerahkan
bagian dari pada hasilnya kepada rajanya itu, la bertempat tinggal di sebuah gua ditengah hutan
Wonogiri, te-tapi gua itu tak ubahnya seperti bangunan istana didalam tanah saja. Didalam gua itu ia
tinggal bersama-sama dengan isterinya yang berjumlah tiga orang dan para budaknya, sedangkan diluar
gua para murid-muridnya selalu siap berjaga-jaga demi keamanannya.
Rakyat didesa sekitar hutan itu, tak ada yang berani memasuki hutan Wonogiri yang lebat itu. Mereka
menganggap bahwa hutan itu sangat angker. Cerita-cerita tahayul banyak tersebar luas dikalangan
rakyat desa sekitarnya bahwasanya hutan Wonogiri didiami oleh raja siluman dan sebagainya. Dan
siapapun yang berani memasuki tak akan dapat diharapkan kembali selamat.
Konon ceritanya dalam sejarah, hutan Wonogiri pernah digunakan sebagai tempat sembunyi oleh
Raja Langga putra Udayana Raja Bali. Beliau melarikan diri dengan para pengiring, pada waktu
Dharmawangsa diserang oleh Raja Wurantari pada tahun lebih kurang 1007. Dimana kemudian setelah
turun takhta wafat sebagai petapa dalam gua ditengah hutan itu, Th 1049 Dulunya hutan Wonogiri
dianggap sebagai tempat keramat oleh rakyat sekitarnya, tetapi kini setelah kenyataan banyak orang-
orang yang hilang dihutan Wonogiri itu, mereka mengira bahwa tempat keramat itu didiami oleh raja
siluman yang jahat. Sedemikian hebatnya anggapan rakyat sekitarnya, hingga menceritakan hutan
Wonogiri saja bagi rakyat sekitar itu merupakan pantangan ataupun tabu.
Sejak Tambakraga si Iblis tangan berbisa itu naendapat laporan dari Demang Jlagran, bahwa muridnya
Suronggolo mati terbunuh oleh seorang yang masih muda dan siluman Pandan gede,dan ternyata
setelah diselidiki, sipemuda itu adalah perwira tamtama Kerajaan yang bergelar Pendekar Majapahit,
maka ia timbul kekhawatirannya, kemungkinan akan diserbu tempat kediamannya oleh pasukan
tamtama Kerajaan.
Menurut anggapan Tambakraga tentunya Pandan Gede, akan minta bantuan dari priyagung Pendekar
Majapahit itu, untuk menyerang dengan pasukan kehutan Wonogiri. Daripada didahului, baginya lebih
baik mendahului mencari dan membunuh Pandan Gede untuk selanjutnya membunuh Pendekar
Majapahit. Dengan demikian ia tak perlu kuatir akan terbongkarnya rahasia tempat tinggalnya. Akan
tetapi kiranya tak mudah mencari Pandan Gede si Siluman sakti itu, maka dicarilah ketempat kediaman
Wiku Sepuh dilereng Gunung Sumbing, karena ia ingat bahwa Wiku Sepuh adalah kakak seperguruan
Pandan Gede. Sungguhpun ia merasa ragu akan menghadapi Wiku Sepuh yang terkenal sakti tiada
bandingannya. Maka tak heranlah apabila ia selalu penuh kecurigaan dalam menghadapi Wiku Sepuh
itu. Sama sekali ia tidak menduga bahwa yang memukul mati Suronggolo itu adalah Kyai Tunggul yang
PENDEKAR MAJAPAHIT

kinipun berhadapan pula dan berada didepannya.


Adanya tamu seorang Senapati Muda Kerajaan beserta pasukannya pengiring di Padepokan Wiku
Sepuh, memperkuat dugaannya yang sebenarnya salah terka itu. Ia datang dipadepokan Kaliangkrik itu,
bukan hanya seorang diri, melainkan membawa anak buahnya sebanyak 20 orang, yang bersembunyi
agak jauh sedikit dari Padepokan itu. Ia cukup mengenal sifat-sifat dan kesaktian Wiku Sepuh. Sewaktu
Wiku Sepuh masih bergelar Sidik Pamungkas ataupun Yamadipati. Cemoohan yang dilontarkan pada
Wiku Sepuh sebagai pengejar pangkat, sebenarnya mengandung maksud agar Wiku Sipuh tergugah sifat
kesatryaannya untuk tidak turut campur dalam pertikaian ini, antara dia dan Pandan Gede maupun
dengan tamtama Kerajaan.

— Macan Kumbang — Wiku Sepuh berkata dengan suara pelan tetapi jelas menahan kemarahan —
Jika seandainya apa yang kau katakan itu benar seluruhnya, itupun bukan menjadi urusanku. Saya hanya
menyarankan agar semua urusan diselesaikan dengan secara damai.
Dan ingatlah! Bunuh membunuh dihalaman ku ini, tetap menjadi larangan, — suara Wiku Sepuh itu
walaupun pelan, tetapi cukup jelas dan mengandung daya perbawa: — Kau datang dari jauh, dan
kusambut sebagai tamuku, tetapi tingkah lakumu meninggalkan kesopanan sebagaimana layaknya
seorang tamu. Jika sekiranya memang tak mau berurusan denganku, haraplah segera meninggalkan
tempatku ini. — Wiku Sepuh melanjutkan bicaranya dengan suara yang masih menahan rasa marah.
Mendengar ucapan kata dari Wiku Sepuh yang disertai ancaman dan penuh wibawa itu, membuat
Tambakraga serba ragu-ragu dalam tindakannya. Hanya dalam hatinya ia merasa beruntung, bahwa
Wiku sepuh tak akan turut campur tangan dalam urusan ini antara dirinya dan Pandan Gede maupun
dengan Pendekar Majapahit.
— Jika kaum Wiku tua berjanji tak akan turut campur tangan dalam hal ini baiklah, aku juga tak akan
mengganggumu. Tetapi aku tetap akan menunggu kedatangan adimu si Siluman Pandan Gede disekitar
tempatmu ini, — sahut Tambakraga dengan suara lantang dengan diiringi tawanya yang nyaring Berkata
demikian, ia membalikkan badannya, hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba suara Kyai Tunggul
menghentikan langkahnya: — Tambakraga!, — serunya dengan nada suara menantang. — Tak perlu kau
menunggu datangnya Pandan Gede, karena akulah orangnya yang membunuhnya. Dan kiranya sudah
sepantasnya muridmu Suronggolo binasa ditanganku itu. karena perbuatannya yang tak pernah
mengenal perikemanusiaan terhadap rakyat kecil. Ketahuilah bahwa muridmu kubunuh pada waktu ia
sedang merampok dan membunuhi orang-orang tani tak berdosa didesa Trinil. Bahkan melarikan
dengan paksa seorang perempuan yang telah bersuami dan mempunyai anak. Sekarang apakah kau juga
masih akan membenarkan dan membela muridmu yang durhaka itu?.
— Kata-kata Kyai Tunggul itu dirasakan sebagai halilintar yang menyambar disiang bolong, oleh
Tambakraga. Ia tak akan mengira sebelumnya bahwa orang setengah tua itu berani terang-terangan
menantangnya. Namun tetap ia menduga bahwa pembunuh Suronggolo adalah Pandan Gede,
sedangkan orang setengah tua itu menurut dugaannya hanyalah membela Pandan Gede saya.
— Hai orang tua kurus yang telah hampir mati I Janganlah kau turut-turut dalam persoalan saya
dengan Pandan Gede. Jika hanya mau mengantar jiwamu silahkan aku tak keberatan memenuhi
permintaanmu. — Tambakraga cepat membalikan badannya kembali, dan siap untuk melajani
tantangan yang tiba-tiba itu akan tetapi sebelum Kyai Tunggul datang mendekat, Sang Senapati Muda
Adityawardhana telah mencegah niat Kyai Tunggul. Sang Senapati melangkah sambil berkata dengan
nada yang penuh kemarahan. Wajahnya kelihatan merah padam, matanya memandang tajam kearah
Tambakraga dengan menyala nyala, suaranya lantang mendesis agak parau: Keparat Tambakraga. Sejak
tadi, aku telah muak mendengar kata-katamu yang tidak kenal sopan itu. Tak usah kau mencari Pandan
PENDEKAR MAJAPAHIT

Gede ataupun Tumenggung Indra. Aku yang mewakili mereka semua, dan matinya muridmupun
merupakan tanggung jawabku. Jika kau takut karena pangkatku, baik . . . . .. akan kutanggalkan pakaian
kebesaranku ini. Demi untuk menjaga kebersihan nama Kyai Wiku Sepuh yang memang tidak tahu
menahu. Soal itu, mari kita bertempur diluar halaman sana. —
Berkata demikian Sang Senapati cepat menanggalkan pakaian kebesarannya, dan kini hanya tinggal
memakai celana saya, tetapi pedang tamtama masih tetap menggantung dipinggangnya. Ia memberi
isyarat agar tak ada yang turut campur dalam pertandingan ini. Dengan tangkasnya Sang Senapati
mendahului meloncat keluar halaman dan berdiri tegak ditegalan luas menunggu datangnya
Tambakraga, yang hanya terpaut lima langkah saja.
— Aku tak bermaksud bermusuhan dengan seorang Senapati priyagung Kerajaan, tetapi kata-kata
penghinaan yang telah tuan ucapkan tak mungkin kubiarkan. — Tambakraga menjawab sambil
mengikuti meloncat keluar halaman.
-- Saat ini kau menghadapi aku sebagai orang biasa, tak perlu pangkatku disebut sebut. Lepas dari
semua persoalan, anggaplah aku sebagai musuhmu. Tak usah khawatir, bahwa aku akan membawa-
bawa pangkat dan kedudukanku untuk membasmi kau yang tak mengenal sopan itu. — Kiranya berkata
demikian kemarahan Sang Senapati telah sampai dipuncaknya. Dengan pedang terhunus ia langsung
menyerang menusuk kearah ulu hati Tambakraga.
Sebagai seorang yang berpengalaman luas, serta memiliki kesaktian dan mahir dalam krida yudha.
Tambakraga cepat menundukkan kepala serta merendahkan badannya. Dan dengan tangan kirinya yang
memegang tombak pendek, ia berganti menyerang lawan kearah perutnya. Tambakraga memegang
tombak ditangan kiri bukan karena ia kidal, tetapi senjata itu sebenarnya hanya digunakan sebagai alat
penangkis senjata lawan dan serangan parcingan saja. Tangan kanannya mengembangkan tegang jari-
jarinya yang berkuku panjang serta berbisa itu dalam gaya cengkeraman, dan merupakan serangan maut
yang lebih berbahayaa dari pada tombaknya. Tetapi sebagai seorang Senapati tamtama yang telah
berpengalaman luas dalam pertempuran dan memiliki kesaktian pula, ia telah mengetahut cara-cara
bertempurnya lawan yang sedang dihadapinya itu. Ia meloncat surut kebelakang untuk menghindari
serangan tombak yang mendatang kearah perutnya, dan menghindari cengkeraman kuku-kuku beracun
itu. Ia tidak mau anggauta badaanya tersentuh oleh kuku-kuku lawan yang beracun itu Dalam saat ia
meloncat surut kebelakang, tenaganya sebagian besar yang telah memusat disalurkan ketangan
kanannya yang memegang pedang dan digunakan untuk menyabet kearah datangnya tombak sebagai
tangkisan serangan lawan yang dahsyat itu. Dua senjata beradu keras, dan mmasing-masing meloncat
surut kebelakang satu langkah dengan suara tertahan …. he ….. Ternyata kedua-duanya saling
mengagumi tenaga mmasing-masing. Senjata-senjata ditangan mmasing-masing hampir lepas dari
genggaman, dan telapak tangannya sama-sama dirasakan pedih karena bergetarnya senjata mmasing-
masing yang digenggamnya erat-erat. Pertempuran berlangsung seru. Semua yang menyaksikan
menahan nafas, dan tak ada seorangpun yang berani turut campur tangan. Para tamtama hanya duduk
mengitari gelanggang, taat akan perintah atasannya. Jaka Wulung dan Jaka Rimang menekan
kermarahan yang dikandungnya dengan berdiri seperti patung mengikuti jalannya pertempuran. Ingin
meraka menggantikan Sang 'Senapati utttuk melawan Tambakraga, tetapi atas perintah larangan
Temenggung Sunata, terpaksa mereka hanya berdii terpaku saja. Demikian pula Kyai Tunggul Wiku
Sepuh tak mau keluar halaman. Ia bahkan masuk dalam ruang pendapa tengah dan duduk bersamadi.
Dan hanya para pamong muridlah yang disuruh turut me-ngamat-amati dari dekat melihat jalannya
pertempuran.
Ke dua-duanya yang sedang bertempur, melancarkan serangan-serangan maut, namun ternyata
PENDEKAR MAJAPAHIT

kedua-duanya ketangkasan yang cukup tinggi, dan tenaga kesaktian yang sukar dicari bandingannya.
Jari-jari tangan yang dipentang tegang oleh Tambakraga, tak mampu menyentuh badannya Sang
Senapati. Dimana tangan kanan Tambakraga bergerak menyerang, segera dapat digagalkan karena
berkelebatnya pedang Sang Senapati. Tetapi serangan-serangan pedang dengan kecepatan yang luar
biasa serta sangat berbahaya, selalu jatuh ketempat kosong. Kembali kini Sang Senapati mengumpulkan
daya pemusatan kekuatan bathinnya, untuk disalurkan ditangan kanannya, dengan maksud ingin sekali
lagi menguji kekuatan lawan. Pedang ditangan kanan bergerak berputaran cepat, hingga merupakan
bentuk lingkaran seperti dayung baja yang menyilaukan pandangan. Dengan perisai ciptaan itu ia
bergerak maju mendesak lawan. Akan tetapi Tambakraga telah mengetahui maksud tujuan lawan, pun
ia ingin mengukur sampai dimana tenaga keseluruhan milik lawannya.
Ia mundur selangkah, untuk kembali mengatur pernafasan nya, dan memusatkan seluruh tenaga
simpanan ditangan kiri ia memegang tombak pendek. Dengan meloncat selangkah maju kedepan ia
menerjang perisai pedang, dengan tusukan tombaknya yang dahsyat itu.
Kini kedua-duanya telah, mengerahkan hampir seluruh tenaga kekuatan dalam tangan mmasing-
masing yang memegang senjata. Dua senjata berbentur, saling beradu dengan disertai tenaga yang
dahsyat Dan mmasing-masing mengeluarkan seruan nyaring serta ter-huyung-huyung surut kebelakang
dua langkah. Ternyata karena kerasnya benturan, kedua senjata itu terpental lepas dari genggaman dan
melambung jauh untuk kemudian jatuh hampir sepuluh langkah dari pemilik mmasing-masing. Tangan-
tangan mereka berdua dirasakan sangat pedih dan matanya ber-kunang-kunang hampir keduanya jatuh
pingsan tak sadarkan diri. Semua yang menyaksikan berseru terkejut, bahkan Sunata dan Kyai Tunggul
sudah berniat untuk melangkah maju untuk menolong Sang Senapati, tetapi dengan cepatnya mereka
ke-dua-duanya telah menguasai dirinya mmasing-masing dan kembali mengumpulkan tenaganya yang
baru saja terpukul buyar itu. Dengan ketangkasan yang luar biasa mereka kini saling mendahului
menyerang dengan tak bersenjata. Sesungguhnya sekalipun dilihat sepintas lalu, pertandingan ini sama-
sama tak memegang senjata, akan tetapi Tambakraga dengan kukunya yang runcing beracun adalah
merupakan senjata yang lebih dahsyat daripada senjata tajam lainnya. Menghadapi demikian itu Sang
Senapati harus berlaku lebih tangkas menghindari datangnya serangan jari-jari beracun yang ber-tubi-
tubi itu. Jika tadi ia berani memapaki datangnya cengkeraman beracun dengan pedangnya, kini tak
berani ia memapakinya dengan kekuatan tangan. Ia menggagalkan serangan Jawannya hanya dengan
selalu mengelakkan diri ataupun mendahului menyerang dengan tendangan dan tinjunya kearah tempat
tempat kelemahan lawan. Kecepatan gerakannya ternyata membuat Tambakraga mencengkeram angin
selalu. Pertempuran bertangan kosong, kiranya lebih seru dari pada sewaktu keduanya memegang
senjata. Ternyata Tambakragapun memiliki ketangkasan yang mentakjubkan. Badannya yang gemuk
kiranta bukan merupakan penghalang dalam gerakan kelincahannya.
Pertempuran telah berlangsung lama, namun belum ada tanda-tanda siapa yang akan dapat
menundukkan lawannya. Sebentar-sebentar terdengar seruan nyaring dengan gerakan loncatan yang
berkelebat seperti bayangan menyambar - nyambar. Tetapi Adityawardhana adalah seorang Senapati
tamtama sebagai Manggala tamtama Pengawal Raja.
Disamping ketangkasan dan keFaktian dalam krida yudha, iapun memiliki kecerdasan lebih dari pada
Tambakraga. Sewaktu ia sedang bertempur mengadu jiwa, masih sempat pula menggunakan kecerdasan
otaknya untuk memperhatikan dengan saksama seluruh gerakan lawannya hingga dapat memahami dan
mengetahui segi- segi kelemahan gerakan lawan. Dengan perhitungan yang cermat, kini dengan sengaja
Sang Senapati memperlambat gerakkannya.
Melihat gerakkan Sang Senapati yang kini berobah menjadi lambat, Tambakraga mengira bahwa
PENDEKAR MAJAPAHIT

lawannya telah letih kehabisan tenaga. Dengan satu loncatan yang diiringi seruan nyaring Tambakraga
membentangkan jari-jarinya menerjang menyerang kearah kepala lawan. Semua yang menyaksikan
menahan nafas dengan rasa penuh cemas, karena mengira pula bahwa Sang Senapati telah letih
kehabisan tenaga, dan tak dapat mengelakkan serangan yang dahsjat dan dapat merenggut jiwanya.
Tiba-tiba sebelum cengkeraman maut menyentuh sasarannya, dan selagi Tambakraga terapung
diatas tanah, tendangan Sang Senapati tepat mengenai dada Tambakraga. Tendangan itu disertai
pemusatan seluruh tenaga kekuatannya dan merupakan suatu tendangan yang dahsyat.
Maka tak ayal lagi Tambakraga terpental kebelakang dan jatuh tersungkur dengan memutahkan
darah segar, Sang Senapati segera melesat akan menerjang lawan yang sedang jatuh tersungkur, tetapi
kini ia jatuh terduduk kembali karena kakinya yang kiri yang baru saja digunakan untuk melancarkan
tendangan kiranya terasa pegal dan pedih serta tak dapat digerakkan.
la berdiri lagi dengan kakinya yang kanan, tetapi kembali kaki kirinya tak dapat bergerak untuk
melangkah. Pada saat itu Tambakraga telah bangkit laga dengan terhuyung-huyung untuk kemudian lari,
dengan meninggalkan kata-kata yang terdengar dengan jelas: -- Saya tak dapat melayani tuan Iebih
lama, tetapi saya tetap akan berada sekitar daerah ini, menunggu kedatangan Pandan Gede dan si
Pendekar Majapahit. — Berkata demikian Tambakraga sambil melarikan diri dan menyelinap dihutan
yang tak jauh letaknya dari Padepokan itu. Para tamtama yang akan mengejarnya dicegah oleh Sang
Senapati, karena ia ingat pada janjinya sendiri, bahwa pertarungan ini tak akan ia membawa-bawa
pangkat dan kekuasaannya. Kiranya Sifat-sifat ksatryanya itu telah menjadi satu dengan darahnya. Kyai
Tunggul dan Sunata serta para pamong murid segera mendekati Sang Senapati dan membimbingnya
masuk ke Padepokan. Alangkah terkejutnya setelah KyaiTunggul melihat kaki kirinya Sang Senapati, kini
kelihatan membengkak dan menjadi biru hitam hampir sampai dilututnya. Dibetis kaki kiri itu ternyata
kelihatan goresan bekas kuku Tambakraga. Dan hal ini adalah diluar pengetahuan Tambakraga sendiri.
Kiranya sewaktu kaki kirinya Sang Senapati melancarkan tendangan yang dahsyat dengan tak sadar
Tambakraga menangkis dengan tangannya karena kemungkinan untuk menghindari sudah tidak
mungkin. Pemusatan tenaganya disalurkan keseluruh badannya untuk menerima tendangan yang
dahsyat itu, tetapi karena tenaga tendangan Sang Senapati lebih terpusat, maka tak mampulah
Tambakraga mengandalkan kekebalannya.
Cepat Kyai Tunggul membaringkan Sang Senapati, dan mengambil ramuan obat penolak racun. Wiku
Sepuh segera pula mengetahui akan bahayanya racun yang sedang bekerja dalam buluh-buluh darah
dikaki Sang Senapati. Ia cepat mengerahkan tenaga bathinnya yang kemudian disalurkan lewat
pernafasannya untuk ditiupkan pelan dalam mulut Sang Senapati, hingga demikian kedua tokoh itu
beradu mulut. Warna biru hitam yang hampir mendekati lututnya, kini pelan-pelan turun kembali
sampai kebetis Sang Senapati. Dengan tiupan sakti daya alir racun itu tertahan dan tak dapat mengalir
ber-sama-sama darah. Ramuan obat setelah masak segera diminumkan, dan kini rasa membeku telapak
kakinya mulai berkurang, namun tetap warna hitam dan bengkak kaki itu belum hilang. Goresan kecil
bekas tapak kuku beracun oleh Kyai Tunggul dibelahnya dengan pisau yang tajam, dengan demikian
maka luka menjadi agak lebar, dan darah hitam mengucur keluar dari luka itu. Wiku Sepuh mengulangi
lagi dengan tiupan saktinya, untuk menahan mengalirnya racun keatas. Sewaktu Wiku Sepuh meniup,
Sang Senepati diharuskan diam menahan napas, Jaka Wulung dan Jaka Rimang sibuk pula turut melayani
Sang Senapati.
— Seandainya Indra Sambada ada — pikir mereka berdua — tentu luka beracun itu dapat segera
disembuhkan. — Mereka ingat kembali pada waktu Jaka Rimang terluka oleh tusukan keris dipahanya —
Akan tetapi tak berani mereka mempercakapkan mengenai Indra Sambada. Pada waktu itu para pamong
PENDEKAR MAJAPAHIT

murid sibuk pula mengatur penjagaan disekitar halaman Padepokan, untuk menjaga kemungkinan
datangnya serangan dari anak buah Tambakraga. Ini adalah atas saran Sang Senapati. Waktu itu
matahari telak terbenam dibawah Cakrawala. Hari telah mulai gelap remang-remang.

Sang Senapati masih juga terbaring dengan ditunggu oleh Kyai Tunggul dan Tumenggung Sunata
berserta Sujud.
Warna hitam biru dikakinya telah banyak berkurang, namun bengkaknya masih tetap belum mau
mengering. Darah hitam masih saja menetes keluar, mungkin karena desakan obat pemunah racun yang
telah dibuatkan oleh Kyai Tunggul tadi. Suhu badannya panas, namun jelas Sang Senapati merasakan
dingin menggigil. Hebat sekali bekerjanya racun yang merangsang. Sebentar-sebentar Kyai Tunggul
mengerahkan tenaga dalamnya untuk meniup pelan kedalam mulut Sang Senapati, sebagaimana tadi
telah dilakukan oleh Kyai Wiku Sepuh, untuk menekan kembali mengalirnya sisa racun keatas. Wiku
Sepuh telah kembali lagi keruang pendapa dan meneruskan semadhinya, seolah-olah tak ada suatu
kejadian. Para pamong murid dan para penjaga yang bertugas, sibuk menyiapkan hidangan makan
malam. Tak seorang murid yang berani mendekat dan mengganggu semadhinya Kyai Wiku Sepuh.

**

B A G I A N II
DUA SOSOK bayangan berkelebat dalam kegeralapan malam yang samar-samar memasuki Padepokan
dari pagar samping, tanpa diketahui oleh para murid yang sedang berjaga.
Namun mereka setelah sampai dibawah pohon beringin ditengah- tengah halaman depan segera
mengurangi kecepatan dan berjalan lenggang biasa menuju kekolam tempat mencuci kaki, Para pamong
murid dan Jaka Wulung serta Jaka Rimang yang sedang menghadap Kyai Wiku Sepuh diruang pendapa
segera memalingkan kearah kolam, untuk kemudian tergopoh-gopoh menyambut kedatangan dua tamu
itu. Dan tamu itu segera langsung mendekati Kyai Wiku Sepuh yang sedang duduk bersila, dan satu
diantaranya segera bersujud dihadapan Kyai Wiku Sepub. Wiku Sepuh bangkit dari tempat duduknya
seraya memegang bahu yang sedang duduk bersujud dan mengangkatnya sambil berkata pelan.
— Dirgahayulah, Gusti muridku yang baru datang — Berkata demikan Kyai Wiku Sepuh sambil
memberi isyarat pada para pamong murid untuk tidak turut bicara.
— Berkah restumu Bapak Guru WIku Sepuh, saya telah kembali dengan selamat bersama Bapak Kyai
Pandan Gede, indra Sambada menyahut pelan.
— Gusti muridku indra dan Pandan Gede, marilah kita bertiga masuk kedalam kamar semadhiku. Ada
hal yang penting yang akan kubicarakan bersama kalian.— Wiku Sepuh mempersilahkan kedua orang itu
masuk kedalam kamar semadhinya yang berada di dalam. Para pamong murid dan kedua Jaka
bersaudara saling berbisik pelan mempercakap kan kedatangan Indra Sambada dan Kyai Pandan GEde.
Kiranya pada waktu Indra Sambada selesai mencuci nodanya dengan bersemadhi di Candi Arjuna
selama empat puluh hari. Pandan Gede datang menjemputnya didataran tinggi Dieng atas perintah Kyai
Wiku Sepuh. Selama dalam perjalanan pulang menuju ke Padepokan Kaliangkrik Indra Sambada banyak
menerima petunjuk-petunjuk yang sangat berguna dari Kyai Pandan Gede, baik mengenai ilmu lahiriyah
maupun ilmu kerohanian tentang ketangkasan permainan tongkat dan sebagainya. Dengan tak disadari
olehnya sendiri, lndra Sambada kini telah memiliki kesaktian yang jauh lebih dahsyat daripada sebelum
PENDEKAR MAJAPAHIT

bersemadhi di Candi Arjuna. Hawa murni mengalir didalam tubuhnya, dan wajahnya memancarkan
cahaya jernih serta berwibawa.
Ia dapat cepat menangkap petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Pandan Gede, dan cepat pula
mengambil kesimpulan guna memecahkan persoalan-persoalan yang sulit. Pernah Pandan Gede menguji
keskaktian Indra Sambada sewaktu dalam perjalanan pulang, dan ternyata Pandan Gede sendiri kini
merasa setingkat berada dibawahnya. Pandan Gede kagum bercampur girang setelah menyaksikan
sendiri kesaktian Indra Sambada yang hampir mendekati titik sempurna itu.
Kesanggupan Indra Sambada untuk menerima pengabdian kedua muridnya Pandan Gede, menambah
rasa girangnya Kyai Pandan Gede yang tak terhingga.
Setelah mereka bertiga duduk ber-hadap-hadapan dikamar semadhi Wiku Sepuh dengan pintu kamar
tertutup dari dalam Wiku Sepuh segera memulai membuka percakapan:
— Saya tak akan menanyakan hasil yang telah dicapai oleh Gusti muridku selama bersemadhi di Candi
Arjuna, karena dari pancaran sinar wajahmu, aku telah mengetahui bahwa Gusti muridku tentu
mendapat kemajuan yang tak ternilai. --- Kyai Wiku Sepuh berkata tertuju kepada Indra Sambada.
— Itu semua adalah karena jasa Bapak Guruku Kyai Wiku Sepuh dan jasa Bapak Kyai Pandan Gede,
dan saya merasa berhutang budi pada Bapak Guru dan Bapak Pandan Gede, — indra Sambada
memotong bicaranya Kyai Wiku Sepuh yang belum selesai.
— Akh, semua itu memang telah digariskan oleh Dewata Yang Maha Agung. Jika bukan karena
kehendak Nya, tak mungkin Gusti muridku dapat bertemu dengan kami berdua. — Kyai Wiku Sepuh
manyahut dan melanjutkan bicaranya --- Ketahuilah adi Pandan Gede dan Gusti muridku, bahwa
sekarang ini Padepokanku telah penuh dengan tamu, bahkan diluar halaman Padepokanku pula masih
ada tamu serombongan.
— Adanya tamu disini telah kami ketahui dari kejauhan, kakang Wiku Sepuh, tetapi siapakah
sebenarnya tamu-tamu yang berada disini ini ? — Pandan Gede bertanya mendesak dengan tak sabar.
Kiranya kedatangan Pandan Gade dan Indra Sambada, lewat pagar samping tadi memang disengaja agar
tidak diketahui oleh para murid penjaga dan tamu. Keadaan Padepokan dan sekitarnya, dirasa oleh
mereka berdua mencurigakan.
--- Para tamu ini mempunyai kepentingan mmasing-masing yang ada hubungannya erat dengan Gusti
muridku Indra. Kata Wiku Sepuh menjelaskan. Ia berhenti sesaat dan kembali melanjutkan bicaranya —
Yang datang pertama adalah Gusti Sang Sanapati Adityawardhana dan Gusti Tumenggung Sunata
beserta pasukan pengiring. Sedangkan menyusul kemudian Kyai Tunggul dengan anak angkatnya.
— Dimanakah Gustiku Senapati Adityawardhana dan Kangmas Tumenggung Sunata ,sekarang berada?
— Tanya Indra Sambada dengan tidak sabar.
— Tenangkanlah dahulu Gusti muridku. ---Jawab Kyai Wiku Sepuh, sambil menghela nafas panjang,
Kyai Wiku Sepuh kemudian melanjutkan bicaranya. — Kini Gusti Senapati berbaring didalam rumah
samping itu, berkata demikian Kyai Wiku Sepuh sambil menunjuk dengan jari telunjuknya kearah rumah
samping sebelah timur.
Beliau terluka dibetisnya dan kini sedang dirawat oleh Kyai Tunggul dan Gusti Tumenggung Sunata.
Beliau terluka kena goresan kuku beracun, tetapi telah dapat ditolong dan tidak membahayakan. Hanya
masih terdapat sisa racun sedikit yang mengumpul dibetisnya, dan belum mau mengucur keluar. Tetapi
aku percaya penuh pada ke-akhlian Kyai Tunggul yang telah termasyhur namanya itu. Jaka Rimang
pernah juga bercerita padaku, bahwa Gusti muridku juga pandai dan mahir dalam ilmu usadha, maka
cobalah nanti supaya turut memeriksa luka Gusti Senapati.-
— Dalam ilmu usadha pengertian saya hanya sedikit sekali, jika dibandingkan dengan Kyai Tunggul.
PENDEKAR MAJAPAHIT

Karena Depp yang telah kumiliki adalah hanya sebagian dari pada ilmu usadha yang dimiliki oleh Kyai
Tunggul, Bapak Guru Wiku. Jelasnya dalam ilmu usadha, saya adalah muridnya Kyai Tunggul.—
O. …….. begitu. Saya sebenarnya telah mendapat penjelasan dari adikku Pandan Gede, akan tetapi
pengakuanmu itu kini meyakinkan apa yang masih menjadi keraguanku. — Jawab Kyai Wiku Sepuh
dengan tenang.
Indra Sambada mendengarkan dengan penuh rasa heran, bahwa demikian jauhnya Kyai Wiku Sepuh
mengetahui tentang dirinya.
— Nanti dulu kakang Wiku Sepuh, Kyai Pandan Gede memotong percakapan.
— Tadi kakang mengatakan bahwa Gusti Senapati terluka goresan kuku beracun. Menurut
pengetahuanku, orang yang memiliki kesaktian dan kuku-kuku beracun itu hanya Tambakraga dari hutan
yang mendapat julukan Si Iblis tangan berbisa. Apakah Gusti Senapati pernah bertempur dengannya? —
-- Memang benar dugaanmu itu — jawab Kyai Wiku Sepuh dengan tenang.— Tadi siang Tambakraga
datang kemari, dan maksudnya mencari adi Pandan Gede dan Gusti muridku, untuk membalas dendam.
Menurut katanya, muridnya yang bernama Suronggolo pada kira-kira 100 hari yang telah lalu dikeroyok
oleh kalian berdua hingga menemui ajalnya didesa Trinil pinggir Bengawan. Sayapun setelah mendengar
tak percaya akan omongannya. Gusti Senapati mendengar nama Gusti muridku Indra di-sebut-sebut
oleh Tambakraga, marahnya meluap tak dapat ditahan. Mereka lalu bertempur diluar halaman
padepokan hingga senja tadi. Tambakraga melarikan diri dengan memuntahkan darah karena kena
tendangan Gusti Senapati, sedangkan Gusti Senapati ternyata terluka pula terkena goresan kuku
beracun dikakinya. Menurut cerita yang menyaksikan sewaktu Tambakraga melarikan diri, ia
meninggalkan pesan bahwa masih tetap akan membalas dendam pada adi Pandan Gede dan Gusti
muridku Indra Sambada, serta menunggu disekitar daerah ini, maka para pamong murid mengadakan
penjagaan disekitar halaman ini, sungguhpun hal ini sebenarnya aku tak menghendaki. Maka kini
terserahlah bagaimana sebaiknya, kuserahkan pemecahannya kepada kalian berdua.—
— Cerita mengenai matinya Suronggolo sangat panjang Bapak Guru Wiku Sepuh. — Indra Sambada
menyahut pelan dengan mengerutkan keningnya untuk meng-ingat-ingat sesuatu, dan kemudian
melanjutkan bicaranya. — Dalam hal ini Bapak Pandan Gede sama sekali tidak turut campur. Waktu itu
saya bertempur melawan dua orang perampok, ialah si Kerta Gembong dan Suronggolo. Pada waktu
Suronggolo kutendang dan jatuh terlempar, Kyai Tunggul datang membantuku dan memukul dengan
tongkatnya kekepala Suronggolo hingga menemui ajalnya. Jadi jelaslah bahwa yang membunuh
Suronggolo adalah saya dengan Kyai Tunggul dalam pertempuran dua orang melawan dua orang, dan
bukan Bapak Pandan Gede. Akan tetapi latar belakang perampokan itu luas sekali dan langsung ada
hubungannya dengan nama Kerajaan. Yang dapat menjelaskan hal ini adalah Kyai Tunggul. Maka
sebaiknya besok pagi saja kita semua merundingkan mencari pemecahan mengenai soal yang besar ini.
Dan karena saya telah berpisah satu setengah tahun dengan Gusti Senapati Adityawardhana dan kakang
Tumenggung Sunata, perkenankanlah sekarang akan menemuinya dan sambil melihat luka yang diderita
oleh beliau, Bapak Guru, — selesai kerkata Indra Sambada kembali menundukkan kepalanya, menunggu
jawaban Gurunya Kyai Wiku Sepuh.
Baiklah kalau demikian, dan marilah kita bertiga menjenguk Gusti Senapati yang sedang berbaring, —
Kyai Wiku Sepuh menjawab serta bangkit mendahului keluar menuju rumah samping dengan diikuti oleh
Pandan Gede dan Indra Sambada. Dalam hati Indra Sambada kagum akan keluhuran budi Gusti
Adityawardliana, yang telah terluka hanya karena membela nama Indra Sambada, sebagai bawahannya,
padahal belum tentu mengetahui dengan jelas tentang duduk perkaranya. Semua terkejut girang setelah
melihat Indra Sambada dengan tiba-tiba berdiri diambang pintu memasuki ruangan di mana Sang
PENDEKAR MAJAPAHIT

Senapati sedang berbaring itu. Sunata meloncat dari tempat duduknya dan merangkul Indra yang baru
datang dengan seruan yang mengejutkan: — Dimas lndra. — teriaknya.
Kyai Tunggul bersama Sujud bangkit serentak dan menyambut pula kedatangannya Indra Sambada.
Sujud memegang tangan kanan Indra dan berkata— Tak kukira, bahwa kakang Indra datang kemari. —
Sang Senapati yang sedang berbaring setelah melihat bahwa yang datang itu adalah Indra Sambada,
segera bangkit dan duduk dipembaringan dengan tersenyum girang — Kemarilah Tumenggung Indra, —
katanya pelan.
Wiku Sepuh dan Pandan Gede berdiri terpaku melihat betapa akrabnya hubungan mereka dengan
Indra Sambada itu. Indra segera datang mendekat dan berjongkok di hadapan Senapati Muda serta
menyembah.— Hamba tak mengira, bahwa Gustiku Senapati berada disini. Ampunilah segala perbuatan
hamba yang telah banyak menyalahi Panca Setya Tamtama Gusti? kata Indra Sambada dengan pelan.
— Aku telah mengetahui semua persoalanmu, dan kau tak bersalah. Si Sampar yang mengkhianatimu
kini telah pergi menghilang tak keruan, setelah ia meninggalkan sepucuk surat pengakuan atas
perbuatannya yang terkutuk itu. Saya mengucap syukur atas pertemuan kita kembali. Jasamu dalam
pengembaraan tak sedikit pula. Saya telah banyak menerima laporan mengenai dirimu. Kau kiranya kini
menjadi sedikit kurus dan pucat, hanya wajahmu tersinar lebih bersih daripada dahulu. Saya bangga
akan hasil yang telah kau capai itu. — Sang Senapati berkata sambil memegang bahu Indra. —
Bangkitlah dan silahkan duduk disampingku. — Sang Senapati melanjutkan bicaranya, lalu mengangkat
kakinya untuk kemudian diletakkan dipembaringan, dan beliau sendiri kembali rebah berbaring. lndra
Sambada dengan tak diperintah segera memeriksa luka dibetis Sang Senapan, yang kini masih
membengkak dan kelihatan hitam. Dengan seijin Wiku Sepuh ia mengambil kantong taji yang berisi pula
gelang akar bahar didalamnya, serta memanggil Jaka Rimang untuk membantu mengobati luka Sang
Senaoati. Kini semua berdiri mengelilingi Indra Sambada yang sedang sibuk itu, dengan penuh perhatian.
Indra Sambada segera bersamadhi memusatkan tenaga dalamnya, untuk kemudian meniup pelan
bersamaan dengan keluarnya nafas kemulut Sang Senapati. Setelah tiga kali ber-turut-turut ia
meniupkan tenaga sakti kemulut Sang Senapati, paha Sang Senapati dibalutnya erat-erat, dan akar
bahar dilekatkan ditempat luka. Darah merah kehitamm-hitaman menetes deras keluar, dan berangsur -
angsur kaki yang masih bengkak itu menjadi merah. Setelah gelang akar bahar jatuh dengan sendirinya,
Jaka Rimang diperintahkan oleh Indra Sambada agar menghisap dari tempat luka itu dengan mulutnya,
untuk mengeluarkan darah yang masih bercampur dengan sisa racun. Kini darah merah segar mengucur
keluar, dan warna kehitam-hitaman dikaki Sang Senapati telah hilang sama sekali. Pun bengkaknya ber-
angsur-angsur mengering, tak sedemikian besarnya seperti semula.
Suhu badan Sang Senapati menjadi biasa kembali. Pembalut dipaha dilepas, sedangkan luka dibetis
segera diobati oleh Kyai Tunggul dengan ramuan-ramuan yang telah tersedia dan segera dibalut
kembali. Kini Sang Senapati dapat bergerak leluasa kembali, hanya luka yang dibetis itu dirasakan masih
pegal sedikit. Dipilihnya Jaka Rimang untuk menghisap darah bercampur racun itu, karena Jaka Rimang
telah memakan obat pil pemunah racun, pada waktu terluka dipahanya dulu. Ia telah menjadi kebal
terhadap semua racun selama lima tahun.
— Takkan aku percaya, jika tidak menyaksikan sendiri, bahwa ada seorang murid yang kesaktiannya
melebihi gurunya. — Kyai Tunggul berkata memecah kesunyian dengan kata-kata pujian tertuju kepada
Indra Sambada disertai senyum girang.
— Apa susahnya hanya tinggal melanjutkan sesuatu yang telah hampir selesai? — sahut Indra
Sambada untuk mengelakkan pujian Kyai Tunggul. Sang Senapati segera bangkit dan duduk kembali
dipembaringannya, dan berkata dengan tersenyum: — Terima kasih ….. terima kasih Tumenggung
PENDEKAR MAJAPAHIT

Indral. Tak kusangka sama sekali bahwa kau juga memiliki ilmu usadha yang tinggi.
---- Ini semua hamba dapat belajar dari guru hamba Kyai Tunggul, Gusti. Dan hamba hanyalah tinggal
menyelesaikan apa yang telah dikerjakan oleh guru hamba Kyai Tunggul, jawab Indra Sambada
merendah. — Aku telah lama juga menjadi murid Kyai Tunggul, tetapi sama sekali tidak mengetahui,
bahwa Dimas Indra sebenarnya saudaraku seperguruan, bahkan lebih lama dari aku sendiri.
Mengapakah dahulu Dimas tak pernah berceritera tentang ini ? — Tumenggung Sunata menyahut dan
bertanya kepada Indra Sambada
— Janganlah kangmas salah faham. Saya menjadi murid Kyai Tunggul baru kira-kira satu setengah
tahun berselang, — jawab Indra Sambada dengan jujur.
— Ha ….. Jika demikian, apakah saya yang memang berotak tumpul? Ataukah Guruku Kyai Tunggul
yang berat sebelah? Sunata memotong dengan nada yang tak puas terhadap Kyai Tunggul Gurunya.
--- Nakmas Tumenggung Sunata, jangan tergesa-gesa menuduh gurumu ini kurang adil, — Kyai
Tunggul cepat menjawab kembali dengan ketawa — Saya sendiri sekarang merasa setingkat berada
dibawah nakmas Tumenggung Indra dalam hal ilmu usadha, entah dari mana lagi, nakmas melanjutkan
pelajarannya, saya sendiri kurang mengetahui. Tetapi bagaimanapun, saya turut bangga, akan kesaktian
nakmas lndra Sambada.
— Hal ini sebenarnya mudah dimengerti, mengapa dalam waktu singkat, semua racun dapat diusir
dari peredaran darah Sang Senapati. Pertama: Sang Senapati telah merasakan daya tiupan Indra
Sambada lebih dahsyat dibanding dengan tiupan Kyai Tunggul, bahkan menyamai dengan tiupan yang
pertama kali dilakukan oleh Kyai Wiku Sepuh. Kedua: sisa racun yang berkumpul dikaki dan tertahan
oleh daya tiupan, diisap oleh akar bahar yang memang mempunyai daya penghisap racun, dan
ketiganya. Sisa-sisa racun sedikit yang bercampur darah merah masih diisap lagi oleh Jaka Rimang,
hingga keluar darah merah, juga meyakinkan bahwa racun telah dapat dikeluarkan melalui luka dibetis
itu.
Sebenarnya Indra Sambada telah pula siap dengan pil pemunah racun yang tinggal sebutir itu, untuk
diminumkan kepada Sang Senapati, apabila hasil usaha pengobatannya kurang memuaskan, akan tetapi
ia segera menggagalkan maksudnya, karena ternyata Sang Senapati telah sembuh dari serangan racun.
Percakapan segera berlangsung dengan ramainya, dan sebentar-sebentar terdengar pula suara gelak
tertawa. Mmasing-masing menceriterakan pengalamannya sendiri-sendiri, selama mereka tak bertemu.
Kini lima orang sakti telah saling berkenalan dan bertemu wajah. Satu sama lain saling mengagumi, dan
hubungan akrab terjalin dalam hati orang-orang shakti itu.
Dikala para murid Padepokan sedang sibuk dengan tugasnya mmasing-masing pada pagi hari itu,
kelima tokoh shakti meneruskan percakapannya diruang dalam yang semalam terhenti, karena
mmasing-masing memerlukan waktu untuk istirahat sejenak.
— Sebagai Senapati Muda, kedatangatku adalah atas titah Gustiku Senapati Manggala Yudha dengan
dua tugas utama, pertama ialah mencari Tumenggung Indra Sambada, dan yang kedua mencari tahu
latar belakang dari pada kerusuhan-kerusuhan yang kini sedang berkobar di mana-mana.— terdengar
suara Sang Senapati Muda Adityawardhana yang sedang menjelaskan maksud kedatangan di
Padepokan.— Ketahuilah Tumenggung Indra, Sejak kau meninggalkan Senapaten, hingga kini banyak
terjadi kerusuhan-kerusuhan baik berupa perampokan-perampokan, pembakaran-pembakaran desa,
maupun perang kecil-kecilan antar desa, ataupun antar suku. Menurut keterangan dari Gustiku Patih
Mangkubumi Gajah Mada, kerusuhan-kerusuhan itu tak mungkin dapat dipadamkan hanya dengan
kekerasan saja. Sebelum diketahui dengan pasti latar belakangnya. Dan tugas itu diserahkan penuh
kepadaku, karena kuatir akan merembet hingga menyuramkan kebesaran nama Gustiku Sri Baginda
PENDEKAR MAJAPAHIT

Maharaja Rajasanegara. Untuk tugas ini, oleh Gustiku Senapati Harya Banendra disarankan agar aku
mencarimu untuk kemudian membawamu serta dalam mengemban titah itu. Maka sengaja aku mencari
orang-orang sakti guna minta bantuannya baik berupa petunjuk-petunjuk yang berguna dalam
mengetahui latar belakang kerusuhan itu maupun berupa tenaga kesktiannya dalam menumpas
kerusuhan-kerusuhan tsb.
Menurut saran dari Tumenggung Cakrawirya aku supaya menemui Kyai Tunggul dipinggir Bengawan,
dan untuk memudahkan perjalanan supaya Tumenggung Sunata menyertai aku. Ternyata setelah
sampai di Ngawi Kyai Tunggul tidak berada dipadepokan hanya kudamu kulihat berada dikandang
belakang pondok.
— Sampai disini Sang Senapati berhenti bicara sebentar untuk minum air teh yang berada
dihadapannya, lalu melanjutkan kata-katanya lagi — Menurut keterangan Nyai Tunggul kepada
Tumenggung Sunata, Kyai Tunggul sedang berpergian ke lereug Gunung Sumbing, dan berapa lamanya
tak dapat ditentukan. Berdasarkan itu semua, aku langsung menuju kemari, dengan maksud mencari
Tumenggung Indra Sambada, dan sekaligus minta bantuan Kyai Wiku Sepuh yang menurut kabar telah
berpengalaman luas. Pun saja berkeinginan pula bertemu muka dengan Kyai Tunggul, karena ada
beberapa hal yang akan aku tanyakan padanya. — Berkata demikian Sang Senapati memalingkan
kepalanya kearah Kyai Tunggul yang duduk disamping kirinya, dan sambil melanjutkan bicaranya. —
Menurut pendapatku tentunya Kyai Tunggul, Kyai Wiku Sepuh serta Kyai Pandan Gede tidak akan
keberatan membantuku dalam menjunjung titah Gustiku Maganggala Yudha itu. — Sampai disini Sang
Senapati berhenti bicara, menunggu jawaban dari ketiga orang shakti itu.
— Demi kepentingan rakyat banyak, tentulah kami berdua akan membantu sesuai dengan
kemampuan kami, Gustiku Senapati — jawab Kyai Wiku Sepuh dengan sangat berhati-hati.
— Sayapun demikian — Kyai Tunggul menyahut, dan melanjutkan kata-katanya. — Sesungguhnya
mengenai latar belakang kerusuhan-kerusuhan itu, telah saya bentangkan dengan jelas kepada nakmas
Tumenggung Indra Sambada, dan atas saran saya itu maka Tumenggung Indra Sambada meninggalkan
Ngawi dengan maksud yang sama seperti tujuan Gustiku Senapati. Kiranya tak perlu saya memakai
kedok lagi, karena kini sudah waktunya saja berterus terang kehadapan Gustiku Senapati
Adityawardhana, bahwa saya sesungguhnya adalah bekas Bupati Indramayu, narapraja dari Pajajaran
dulu, sedangkan nama saya yang sebenarnya adalah Wirahadinata. Dan hal ini semua telah pula saya
jelaskan pada nakmas Tumenggung Indra Sambada. Kiranya sudah tidak ada lagi rahasia yang
kusembunyikan terhadap nakmas Tumenggung Indra itu. Maka saya persilahkan Gustiku Senapati
mendengar sendiri dari nakmas Tumenggung Indra Sambada.
Dengan sinar pandangan tajam, Sang Senapati menatap mukanya Bupati Wirahadinata, sambil
mendengarkan pembicaraannya dengan saksama, Kini kelima-limanya saling ber-pandang-pandangan,
dengan demikian suasana menjadi hening sesaat. Diantara kelima orang sakti itu Tumenggung Sunata
merasa dirinya yang terendah. Demikian bodohku pikirnya — hingga aku tak tahu bahwa guruku Kyai
Tunggul adalah narapraja Bupati Pajajaran.—
— Gusti hamba Senapati ataupun kangmas Tumenggung Sunata. — Indra Sambada memecah
kesunyian dan bicara dengan tenang. — Hendaknya Gusti hamba Senapati jangan salah terka terhadap
Bapak Bupati Wirahadinata. Maksud Bapak Bupati Wirahadinata menyamar sebagai Kyai Tunggul adalah
suatu tujuan suci yang pantas kita hormati. Demi kepentingan rakyat banyak Bapak Bupati Wirahadinata
telah berani mengorbankan segala-galanya, dan hidup sebagai seorang dukun petani di pinggir
Bengawan. Dilihat dari segi itu saja, kiranya Gusti hamba sudah dapat mengukur jiwa ksatrya yang ada
padanya. Hanya belum ada kesempatan dapat membuktikan pengabdiannya kehadapan Gusti hamba Sri
PENDEKAR MAJAPAHIT

Baginda Maharaja Rajasanegara ---


Kiranya belum sampai aku sempat bertanya, kini telah mendapat jawabannya. — Sang Senapati
memotong pembicaraan Indra Sambada, dan diperintahkannya Indra Sambada untuk melanjutkan
membeberkan ceritanya. — Coba teruskan keteranganmu itu sejelas-jelasnya.
--- Baiklah Gusti, hamba akan melanjutkan membeberkan latar belakang kerusuhan-kerusuhan yang
hamba dapat dari Bapak Bupati Wirahadinata, — Indra Sambada menyahut dengan tenang dan
melanjutkan bicaranya. — Pangkal mula dari pada kerusuhan-kerusuhan itu ialah akibat kurang
bijaksananya dalam hal penempatan-penempatan para narapraja yang menggantikan narapraja dari
Pajajaran. Banyak diantaranya dari narapraja yang diangkat untuk menggantikan para narapraja yang
memerintah daerah Pajajaran, menyalahgunakan kekuasaannya, hingga jauh menyeleweng dari pada
tugas-tugas yang dibebankan. Dengan demikian membangkitkan rasa tidak puas terhadap para bekas
perwira-perwira tamtama Pajajaran dan sebagian besar rakyat yang merasa tertindas. Dari para bekas
perwira tamtama yang merasa tidak puas itu terpecah lagi menjadi dua golongan.
— Satu golongan menghendaki berdirinya kembali Kerajaan Pajajaran yang telah hancur itu, dengan
cara menghimpun kekuatan kembali sedikit demi sedikit. Dan golongan kedua menghendaki menjadi
daerah Kerajaan Agung Majapahit dibawah satu bendera gula klapa, tetapi bukan sebagai daerah
jajahan, melainkan sebagai daerah bagian. Dari golongan kedua itu, mereka mempunyai usul, agar para
narapraja yang menyalah gunakan kekuasaan diganti dengan para narapraja yang berasal dari pribumi
daerah Pajajaran sendiri, demi kewibawaan Kerajaan Agung Majapahit dan demi membina ketentraman
rakyat daerah itu. Usul itu telah lama dikandung, tetapi karena tak ada hubungan dengan para priyagung
Kerajaan, maka Bapak Bupati Wirahadinata sangat berhati -hati menjaga jangan sampai salah alamat.
— Bukankah demikian Bapak Bupati Wirahadinata ? — Indra Sambada menutup ceritanya dengan
pertanyaan kepada Wirahadinata.

— Benar apa yang telah dijelaskan oleh nakmas Tumenggung Indra Sambada. Gustiku Senapati, dan
sedikitpun kiranya tidak menyimpang dari kenyataan. — Bupati Wi-rahadinata menjawab langsung
tertuju pada Sang Senapati dan melanjutkan ceritanya. — Agar Gustiku Senapati mendapat gambaran
yang lebih jelas, maka yang disebut, golongan pertama akan saya uraikan se-jelas-jelasnya dihadapan
Gustiku Senapati. Golongan pertama itu terdiri dari para Perwira-perwira dan orang-orang sakti yang
memiliki keberanian, tidak seperti halnya dengan golongan yang kedua, yang pada umumnya terdiri dari
para Punggawa narapraja dan sebagian perwira perwira taattama serta orang-orang terkemuka yang
cinta akan perdamaian. Dalam golongan pertama tadi terdapat pula dua aliran, satu sama lain saling
mempertahankan pendiriannya, dan tak dapat bekerja sama. Aliran pertama didasari oleh rasa dendam
kesumat terhadap para priyagung Kerajaan Majapahit, dan berkeinginan untuk mengadakan
pembalasan dendam mengingat jalan terjadinya perang Bubat, hingga hancurnya Kerajaan Pajajaran.
Oleh mereka dianggapnya sebagai suatu tindakan penghinaan yang penuh kelicikan. Akan tetapi karena
mereka merasa tak mampu untuk melaksanakan maksudnya, maka mereka berusaha mengadakan
kekacauan dimana mana, dengan maksud untuk menanam benih ketidak puasan dikalangan rakyat
banyak, dan juga menyebarkan benih-benih perpecahan antar suku di Jawa ini.
Sedangkan aliran yang kedua selalu berusaha menghimpun kekuatan untuk menuntut kembalinya
daerah Pajajaran menjadi daerah yang mandirengpribadi sebagai dasarnya jelasnya berusaha
mendirikan kembali Kerajaan Pajajaran, dengan tidak mau mengorbankan rakyat banyak. Tindakan-
tindakan para narapraja yang kini berkuasa didaerah bekas Kerajaan Pajajaran ternyata banyak
menyeleweng menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadinya. Hal ini mempercepat
bernyalanya kembali semangat dari pada yang clisebut golongan pertama tadi. Sedangkan golongan
PENDEKAR MAJAPAHIT

kedua yang didasari cinta kepada kesatuan bangsa, pengaruhnya semakin surut karena kalah
pembuktian.
Dengan selalu tidak adanya titik pertemuan antara dua golongan dan ditambah lagi dengan tindakan
sebagian para punggawa narapraja yang menyeleweng menyalah gunakan kekuatannya itu, maka
rakyatlah menjadi korban. Mereka diadu domba, dirampok dan masih tertindas pula. Dapatkah keadaan
demikian dibiarkan berlangsung terus ? Maka sekarang saya serahkan kehadapan kebijaksanaan Gustiku
Senapati, untuk menentukan langkah selanjutnya demi kepentingan rakyat banyak, kesatuan dan
keharuman nama Kerajaan Agung kita Majapahit. — Sampai disini Bupati Wirahadinata berhenti bicara,
dan menatap wajah Sang Senapati sesaat, uatuk kemudian menundukkan muka kembali.
Sang Senapati mengerutkan keningnya, dan mendengarkan cerita Bupati Wiradinata dengan penuh
perhatian, Suasana menjadi hening kembali, setelah Bupati Wirahadinata mengakhiri ceritanya. Semua
menyimpan pendapatnya mmasing-masing dengan menarik kesimpulan sendiri, namun tak seorangpun
berani mengemukakan pendapatnya.
— Kenalkah Bupati Wirahadinata dengan para pemimpin dari apa yang disebut golongan pertama dan
kedua ? — Sang Senapati memecah kesunyian, dan bertanya dengan tanda kepada Bupati
NiVirahadinata,
— Tentu saja saya mengenalnya, Gustiku Senapati,— jawab Wirahadinata —Bahkan nakmas
Tumenggung Indra Sambada pernah bertempur melawan satu diantara pimpinan bekas perwira
Pajajaran yang dimaksud itu, dimana terlihat pula Suronggolo, murid Tambakraga hingga menemui
ajalnya.
Tetapi yang bertempur melawan nakmas Tumenggung Indra Sambada dapat lolos dan melarikan
diri.—
— Siapa orang itu ? Sang Senapati memotong dengan nada tak sabar. Ia terkenal sebagai pemimpin
para rampok dengan gelarnya Kerta Gembong, tetapi nama yang sebenarnya adalah Kertanatakusumah.
Ia, adalah seorang perwira tamtama yang memiliki kesaktian dan keberanian, serta pendiriannya sukar
ditundukkan. Dan itulah yang saya maksudkan dengan golongan pertama tadi.
- Jika demikian adakah hubungannya antara Kertanatakusumah dengan Tambakraga ?— Sang
Senapati bertanya pada Bupati Wirahadinata.
— Hal itu saya kurang mengetahui, Gustiku. - Yang terang murid-murid Tambakraga banyak yang
menjadi alat Kertanatakusumah, untuk membangkitkan kerusuhan di-mana-mana, — jawab Bupati
Wirahadmata singkat.
-- Adakah Kyai Wiku Sepuh ataupun Kyai Pandan Gede mengetahui banyak hal ini ? — Sang Senapati
memalingkan kepala kearah Kyai Wiku Sepuh dan Kyai Pandan Gede serta bertanya dengan
mengerutkan keningnya.
— Hal itu dapat diketahui lebih banyak, apabila kita dapat menangkap hidup-hidup si Tambakraga ---
Pandan Gede mendahului menjawab pertanyaan Sang Senapati.
— Bupati Wirahadinata. — Sang Senapati menegor dengan pelan dan kelihatan sangat berhati-hati
dalam ucapannya. Keteranganmu menjadi bahan pertimbangan bagiku untuk melangkah lebih lanjut
dalam memadamkan kerusuhan-kerusuhan yang timbul sekarang, akan tetapi aku belum dapat
memenuhi usul-usulmu seluruhnya.
—Aku masih minta bukti akan kesetiaanmu, kesanggupan untuk menyertai Tumenggung Manggala
Muda Indra Sambada menemui para pemimpin yang berkehendak mengabdi pada Kerajaan Majapahit,
demi tercapainya penatuan seluruh rakyat senuswantara dibawah naungan satu bendera gula klapa.
— Saya berjanji akan menjunjung tinggi titah Gustiku Senapati. Bupati Wirahadinata menjawab
PENDEKAR MAJAPAHIT

singkat sambil bersujud.


— Tugasmu selanjutnya terserah pada Tumenggung Indra Sambada, sebagai wakilku dalam
menjunjung tinggi titah Gusti Senapati Manggala Yudha.
— Berkata demikian Sang Senapati sambil mengangkat bahu Bupati Wirahadinata yang kemudian
duduk bersila kembali.
Sang Senapati melanjutkan bicaranya: — Kyai Wiku Sepuh serta Kyai Pandan Gede, — kata Sang
Senapati: — Ingin juga aku minta pendapatnya Kyai berdua, sebagai tambahan bahan-bahan
pertimbanganku. Dan aku kira Kyai berdua akan bersedia membantu demi kepentingan nusa dan bangsa
kita ini, bukankah demikian Kyai Wiku Sepuh dan Kyai Pandan Gede? —
Pandan Gede menyarankan agar Sang Senapati menunggu munculnya kembali Tambakraga dalam
beberapa hari lagi. Karena menurut dugaan Kyai Pandan Gede, Tambakraga terpaksa menyembuhkan
luka didadanya yang akan memakan waktu kurang lebih 7 hari lamanya. Setelah Tambakraga muncul
maka supaya dapat ditangkap hidup-hidup.
Dengan demikian pada persoalan kerusuhan itu akan segera dapat bertambah lebih terang, dan lagi
Tambakraga dapat digunakan untuk mengumpulkan dan menundukkan semua pimpinan para penjahat
yang berada dibawah pengaruhnya.
Hal ini akan banyak artinya dalam memadamkan kerusuhan-kerusuhan dan membendung
merembesnya pengaruh bekas perwira tamtama Pajajaran, yang bermaksud menyurutkan nama
kebesaran Kerajaan Majapahit. Saran dari Kyai Wiku Sepuh disamping menyetujui usul Kyai Pandan
Gede, supaya Sang Senapati berlaku waspada dan bertindak adil serta bijaksana. Segala sesuatu
tindakan hendaknya didasarkan sebagai pengabdian pada Kerajaan dan sebagai pengemban amanat
penderitaan rakyat. Kedua saran itu oleh Sang Senapati diterima dengan penuh pengertian. Kini Sang
Senapati bermaksud akan menanti kedatangan Tambakraga selama tiga hari di Padepokan. Apabila
dalam waktu tiga hari itu Tambakraga tidak menampakkan dirinya, Kyai Pandan Gede dan Indra
Sambada diperintahkan untuk mencarinya disekitar lereng Gunung Sumbing, sedangkan Tumenggung
Sunata supaya menggempur sarang Tambakraga dihutan Wonogiri dengan pasukan.
Pada malam harinya, sewaktu semua sedang tidur dengan nyenyaknya, kecuali para murid yang
bertugas jaga, Indra Sambada membangunkan Jaka Rimang untuk kemudian di ajaknya keluar halaman
Padepokan. Dengan bersenjatakan tongkat penjalin, dan kantong kulit dipinggang, mereka berdua
berjalan cepat laksana berkelebatnya bayangan yang segera menyelinap dalam kegelapan memasuki
hutan, dimana kemaren Tambakraga menghilang.
Disebuah tempat didesa yang terpencil disebelah barat dari hutan itu, terlihat dari kejauhan adanya
sebuah rumah dengan lampu yang bersinar terang didalamnya.Suara orang-orang bercakap-cakap pelan
terdengar jelas diwaktu malam yang sangat sunyi itu.

— Bagaimana pendapat Bapak Guru jika kita semua pulang saja ke Wonogiri hingga Bapak Guru
sembuh kembali, — seorang diantaranya berkata. Yang disebut dengan panggilan Bapak Guru, adalah
seorang berbadan gemuk yang telah lanjut usianya dengan wajah yang penuh dengan cambang bauk
dan sedang berbaring di-bale-bale yang berada ditengah rumah itu. Dibalik cambang bauknya yang telah
berwarna dua itu, wajahnya kelihatan pucat pasi, serta sebentar-sebentar batuk-batuk kecil dengan
memuntahkan darah.
Delapan orang yang mengelilingi sedang sibuk melayani dengan penuh hormatnya sebagaimana murid
yang menunjukkan kesetiaannya terhadap Gurunya, ada yang sedang memijit mijit kakinya, adapula
yang sadang mengusap dengan bobok parem.
— Tak perlu, — jawab Tambakraga pelan dengan diselingi nafas yang tersengal-sengal, ia
PENDEKAR MAJAPAHIT

melanjutkan bicaranya. — Lebih baik beristirahat disini tiga atau empat hari lagi. Aku akan segera
sembuh kembali, dan janganlah kuatir akan kesehatanku. Tolonglah ambilkan lagi obat yang dipinggan
itu, dan biarlah saya minumnya sekali lagi.
— Salah seorang yang duduk mengelilingi cepat bangkit dan mengambil mangkok yang berisikan jamu
yang sebagaimana dimaksudkan untuk kemudian diminumkan pada Macan Kumbang gurunya. Dengan
sekali teguk isi mangkok diminun sekali tenggak habis oleh Tambakraga, dan nafasnya yang ter-engah-
engah berangsur-angsur menjadi tenang kembah. Tetapi demikian ini tak berlangsung lama, segera
dirasakan kembali oleh Tambakraga dadanya sesak kembali, dan nafasnya terengah-engah lagi.
— Bagaimana jika kami menculik Wiku Sepuh dan membawanya kemari malam ini, agar penyakit
dalam Bapak Guru dapat diobati ? — kata orangnya yang mengambilkan mangkok obat tadi.
PENDEKAR MAJAPAHIT

— Tak mungkin bisa …… tak mungkin. — jawab Tambakraga terputus-putus karena nafasnya dirasakan
sesak. - ltu namanya mengantarkan jiwa …… —Kyai Wiku Sepuh..... bukan ……. anak keijil ……. Jangan
berbuat yang bukan-bukan ,,,,,, — jika tidak seijinku …… Tambakraga berkata pelan — Besok pagi ambil
saja …… rempah-rempah obat-obatanan yang ditegalannya, seperti tadi.
— Baik, bapak guru. — jawab dua orang serentak.
— Tiba-tiba delapan orang yang sedang mengelilingi gurunya itu bangkit serentak karena terkejut
dengan terbukanya pintu depan yang terpentang lebar, dan menyusul kemudian masuknya dua
orangmuda yang langsung masuk keruang tengah.

— Delapan orang itu mmasing-masing cepat menghunus senjatanya dan bermaksud hendak
menyerang serentak, tetapi dua orang muda dengan tenangnya melangkah maju dan satu diantaranya
berkata dengan nada penuh wibawa .— Saya datang untuk mengobati gurumu, dan janganlah mulai
membuat keributan --. Kedelapan oraug segera menggagalkan niatnya dan berdiri termangu dengan
penuh pertanyaan.
— Siapa berani datang kemari di tengah malam ini ….. terdengar suara Tambakraga yang parau itu.
Dua orang itu tidak menjawab, tetapi malah langsung mendekati Tambakraga yang sedang berbaring,
dengan tidak memperdulikan adanya delapan orang yang sedang menjaganya.
— Sayalah yang datang dengan maklud untuk mengobatimu Tambakraga—Indra Sambada berkata
dcngan pelan dan tegas serta langsung duduk dibale - bale dimana Tambakraga sedang berbaring.
— Siapa kau berdua?— Tambakraga bertanya dengan suara lantang yang dipaksakan dengan
mengerahkan tenaganya, dan matanya memandang tajam kearah Indra Sambada dan Jaka Rimang,
serta berusaha untuk bangkit
— Sayalah Indra Sambada dan adikku Jaka Rimang yang akan menolongmu. Kuharap janganlah menaruh
kecurigaan pada kami, dan tenanglah berbaring berkata demikian Indra Sambada sambil memegang
bahunya Tambakraga dan membaringkannya.
Delapan orang kembali berdiri mengelilingi Indra Sambada dan Jaka Rimang yang sedang duduk dengan
senjatanya mmasing-masing yang masih digenggam dengan erat-erat, menunggu perintah gurunya.
— Tak perlu murid-muridmu bersusah payah untuk menculik Kyai Sepuh, kami muridnya datang
mewakilinya---- Ternyata Indra Sambada dengan Jaka Rimang telah lama meugintai dari celah-celah
dinding bambu, dan mendengarkan percakapan mereka dengan jelas.
Semua tertegun heran, bahwa satupun diantara mereka ….. tiada yang mengetahui adanya dua orang
muda yang sedang mengintai dari Iuar rumah. Lebih heran lagi, karena tidak ada laporan daripada para
penjaga yang memang ditugaskan berjaga disekitar pinggir desa itu. Sedangkan jumlah penjaga yang
ditugaskan ada duabelas orang. Mendengar kata-kata terakhir dari Indra Sambada, delapan orang
serentak mengacungkan senjata mmasing-masing kearah Indra Sambada, dan Jaka kimang, serta satu
diantaranya berseru. — Keparat, akan kuperiksa terlebih dahulu apakah kalian tidak bermaksud jahat. ---
--- Jika kami bermaksud jahat, tentunya sudah sejak tadi dapat kulakukan ---, jawab Indra Sambada
dengan tenang. Berkata demikian Indra Sambada sambil mendorong dengan tangan kirinya kepada
Tambakraga yang akan memaksakan dirinya untuk bangkit dari pembaringan, sedangkan tangan
kanannya meraba punggungnya. Tambakraga jatuh berbaring kembali dengan tak berdaya.
— Siapa kamu ini, dan apa maksudmu? Tambakraga bersuara lemah dan ter-putus putus.
— Tadi aku telah berkata, bahwa kedatanganku untuk menolongmu, maka dan itu suruhlah orang-
orangmu jangan mengganggu kami.- Indra Sambada menjawab dengan tegas.
Dengan lambaian tangannya Tambakraga memberikan perintah isyarat agar anak buahnya segera
menyimpan senjatanya mmasing-masing.
PENDEKAR MAJAPAHIT

— Luka dalammu agak berat, — kata Indra Sambada dengan melepaskan tangannya yang meraba
punggungnya me-mijit-mijit pelan didadanya Tambakraga, dengan mengerahkan tenaga dalamnya.
Ber angsur-angsur jalan pernafasannya dirasakan tidak sedemikian menekan seperti semula.
Kini Tambakraga terpaksa menurut apa perintahnya Indra Sambada. Jaka Rimangpun telah sibuk
menyiapkan ramuan obat yang kemudian direbusnya sendiri didapur, untuk kemudian diminumkan
pada Tambakraga- Delapan orang murid Tambakraga hanya diam berdiri, dengan mengamat-amati apa
yang dilakukan oleh kedua orang muda itu. Tambakraga setelah minum obat yang diterimanya dari Jaka
Rimang, oleh Indra Sambada segera diperintah untuk duduk bersila menghadap-kan punggungnya.
Kembali Indra Sambada mengerahkan tenaga dalamnya yang disalurkan lewat jari-jari tangan kanannya
untuk mengurut jalan darah dan jalinan syaraf yang sejalan dengan ruas tulang belakang hingga ber-
ulang-ulang.
PENDEKAR MAJAPAHIT

Setelah Tambakraga dapat bernafas seperti biasa, dan di rasanya tidak sedemikian sakit dadanya,
maka diperintahkan untuk berdiri dengan kepala dibawah dan kaki-kakinya lurus keatas. Ampat orang
muridnya disuruh membantu memegang kedua kakinya Tambakraga, agar dapat berjungkir balik dengan
lurus.
Kini Indra Sambada memusatkan ienaga bathinnya, untuk kemudian dihembuskan keluar dengan
tiupan kearah mulut Tambakraga, dan dalam waktu yang bersamaan itu, ia diperintahkan untuk menarik
nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian Tambakraga memuntahkan darah hitam bergumpalan, dan tak
PENDEKAR MAJAPAHIT

sadarkan diri. Segera badan Tambakraga dibaringkan kembali, serta mukanya dibersihkan dengan air
hangat, dan secepat itu pula ia sadar kembali. Kini wajahnya kelihatan menjadi merah dan tidak sepucat
tadi, sedangkan pernafasannya dirasakan tak terganggu. Jaka Rimang kembali lagi menyiapkan ramuan
obat yang lain, dan segera diminumkan kepada Tambakraga yang sedang berbaring itu. Setelah minum
obat ramuan untuk kedua kalinya, Tambakraga merasa hilang sakitnya yang selalu menekan didadanya.
kini dapat bernafas dengan lapang dan dapat berbicara dengan bebas, hanya kekuatan tenaganya yang
di rasakan sangat lemah, belum kembali seperti semula. Tiba-tiba Tambakraga menatap wajah Indra
Sambada dengan pandangan mata yang bernyala-nyala, dan berseru: Pendekar Majapahit! Janganlah
kau bertindak sebagai pengecut, mempermainkan seorang yang sedang terluka.
— Tenanglah, Tambakraga, janganlah kau cepat me-nganggap aku ingin mempermainkan kamu, tetapi
dengan kesungguhan hati kami mengharap agar kamu lekas sembuh dan bebas dari penderitaan
lukamu, — Indra Sambada men-jawab dengan tenang, dan dalam hatinya ia memuji akan sifat-sifat
kejantanannya.
—Memang aku tadi semula akan bermaksud menangkapmu dengan bertanding secara jantan, tetapi
setelah aku mengetahui bahwa kau terluka hebat, maksudku telah kubatalkan dan ingin rasanya aku
harus menolongmu terlebih dahulu, sebagaimana kuwajiban seorang manusia biasa terhadap sesama.

Dan ketahuilah, bahwa kau masih perlu istirahat untuk waktu lebih dari dua bulan untuk
mengembalikan tenagamu.—
Tambakraga memandang dengan rasa kagum. Belum pernah ia menjumpai orang shakti semuda lndra
Sambada dengan iifat-sifatnya kesatrya sedemikian. Tetapi sebagai seorang yang namanya telah
terkenal dan ditakuti serta memiIiki kesaktian, tak mau ia memperlihatkan kekagumannya. Dengan
angkuhnya ia bicara — Priyagung yang berwatak ksatrya, — serunya. Jika kau memang memiliki jantan,
tunggulah sampai saya pulih kembali tenagaku, untuk mengadu jiwa denganmu. Dan jasa jerih pauahmu
sekarang ini akan kubayar menurut permintaanmu. Harta bendaku cukup banyak dan selirkupun cantik-
cantik. Kau boleh memilih sebagai upah akan pertolonganmu itu. Bukankah menjadi priyagung tamtama
itu mengejar harta benda dan hidup mewah —
Berkata demikian disertai suara tawa yang mengejek- Hampir-hampir Jaka Rimang tak tahan
mendengar ejekan Tambakraga yang memuakkan itu, tetapi sedang ia mengangkat tongkatnya, Indra
Sambada cepat menahan dengan tangan kanannya serta memberi isyarat, agar ia tetap tenang dan
jangan mengumbar nafsunya.
— Aku tidak membutuhkan harta ataupun perempuan — Indra menyahut dengan tandas serta
dengan ketenangannya tetap menguasai dirinya. — Jika kau tak berkeberatan, aku mempunyai usul
permintaan sebagai pembayaran atas jerih payahku Indra Sambada sengaja menekankan minta ganti
kerugian akan jasanya, karena mengingat sifat-sifat yang dimiliki Tambakraga, adalah orang yang tak
mau berhutang budi. Semuanya dinilai dengan kebendaan. Hanya karena sifat kejantanannya. Indra
Sambada tetap menghargai lawannya.
--- Cobalah kemukakan usulmu itu, jika sekiranya tidak merupakan penghinaan bagiku, tentu akan
kupenuhi --- Tambakraga menjawab, dan dengan penuh curiga menunggu permintaan apa yang kiranya
akan dikemukakan oleh Indra Sambada.
— Sama sakali aku tidak akan bermaksud merendahkan dirimu, Tambakraga.— Indra Sambada
menjelaskan, — Aku akan memberi waktu padamu selama satu tahun, agar tenagamu dapat pulih
kembali seperti semula, jika kau masih penasaran ingin membunuhku sebagai balas dendam, aku akan
melayanimu dengan tidak mengecewakan. Tetapi selama kau menunggu kedatanganku satu tahun lagi
aku mengharapkan supaya kerusuhan-kerusuhan yang ditimbulkan oleh anak buahmu dihen-tikan. Baru
PENDEKAR MAJAPAHIT

setelah kita bertanding. dan jika kemenangan berada dipihakmu kau boleh berbuat dengan anak
buahmu sekehendak hatimu. Aku percaya, bahwa kau tak akan mengingkari janjimu, jika kau menerima
usulku itu.—
— Bagus, bagus, Gelarmu ternyata tak mengecewakan. Tapi ingat dalam pertandingan yang akan
datang, aku akan menganggapmu sebagai lawan yang harus kumusnakan, dan hutangku padamu akan
kubayar dengan memenuhi permintaanmu tadi. Ketahuilah jika ada terjadi kerusuhan disepanjang kali
Bengawan sampai memasuki Kota Raja, sebelum kita bertanding, adalah menjadi tanggung jawabku,
dan kau boleh berbuat sekehendak hatimu atas diriku. Sampaikan juga janjiku ini pada Pandan Gede si
Siluman tua itu. Aku menunggu kedatangannya bersamamu Tambakraga berkata dengan sinar mata
yang menyala-nyala.
—Baiklah, selamat berpisah dan sampai jumpa kembali. Jaga baik-baik dirimu dan peganglah teguh
janjimu. — berkata demikian Indra Sambada segera bangkit dan meninggalkan rumah itu yang diikuti
oleh Jaka Rimang. Delapan orang murid Tambakraga menghantar sampai diambang pintu, dan sesaat
kemudian kedua pemuda tersebut, melesat sebagai bayangan tak berbekas, hilang ditelan oleh
kegelapan malam yang mendekati fajar.
Orang-orang murid Tambakraga yang bertugas jaga, ternyata tadi diikat kaki dan tangannya mmasing-
masing oleh mereka berdua dan dikumpulkan manjadi satu, bergelimpangan dipinggir desa. Sewaktu
meninggalkan desa, masih sempat Indra Sambada dan Jaka Rimang membebaskan mereka terlebih
dahulu.
Setelah diberitahukan, Sang Senapati sangat menyetujui dan memuji akan tindakan Indra yang cepat
serta bijaksana itu. Untuk langkah selanjutnya Sang Senapati memerintahkan kepada Indra Sambada
agar segera berangkat kedaerah Pajajaran ber sama sama dengan Bupati Wirahadinata untuk menemui
para bekas perwira tamtama kerajaan Parijajaran, untuk mengadakan perundingan dan bertindak
sebagai wakil berkuasa penuh dari Sang Senapati, demi kejayaan dan keagungan nama Kerajaan
Majapahit. Saran Sang Senapati agar Indra Sambada membawa pasukan tamtama, ditolak-nya, dengan
alasan akan lebih meruncingkan serta lebih mengeruhkan suasana. Tetapi untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak dikehendaki, Tumenggung Sunata diperintahkan untuk menyiapkan pasukan
tamtama sebanyak limaratus orang didaerah Banyumas. Dengan demikian jika sewaktu waktu
diperlukan, akan dapat bergerak cepat. Atas usul Indra Sambada, Jaka Wulung dan Jaka Rimang diterima
pengabdiannya sebagai lurah penatus tamtama, dan diperintahkan untuk mengikuti Indra Sambada
dalam perjalanannya ke Pajajaran sebagai pemban-tu pribadinya.
— Berhasilnya dalam menjunjung titah Gustiku Senapati Manggala Yudha, kubebankan seluruhnya
padamu, dan bawalah dua ekor burung merpatiku, agar kau dapat secepatnya mengirim laporan
padaku, Kata Sang Senapati berulang-ulang.
— Doa restu Gusti hamba, semoga menyertai hamba selalu, dan sampaikan sembah sujud hamba
kehadapan Gusti hamba Senapati Manggala Yudha Gusti Harya Banendra, serta para priyagung sepuh
lainnya — Indra berkata dengan merendah.
Kyai Pandan Gede pun diminta bantuannya agar mengawasi Tambakraga, jangan sampai Tambakraga
mengingkari janjinya. Sedangkan Kyai Wiku Sepult dimohon doanya demi kesejahteraan rakyat semua.
— Gusti muridku Tumenggung Indra.— Kyai Wiku Sepuh berkata pelan — Aku akan selalu berdoa
pada Dewata Yang Maha Agung, Agar Gusti muridku berhasil dalam menunaikan tugasnya sebagai
pengemban amanat penderitaan rakyat, dan selamat tak kurang suatu apapun hingga kembali kekota
Raja.
Bimbinglah adimu Jaka Wulung dan Jaka Rimang arah jalan yang benar, agar kelak menjadi tamtama
PENDEKAR MAJAPAHIT

tauladan. Ingatlah selalu bahwa tugas hidup manusia adalah sembahyang, bekerja dan amal. Jelasnya
sembahyanglah menyembah mengagunkan pada Dewata Yang Malla Agung sebagai pencipta alam
semesta serta isinya, bekerja untuk mempertahankan hidup dan kehidupan demi menjunjung tinggi
karyaNya, sedangkan amal ialah pengabdian padaNya dan pengabdian pada Nusa Bangsa serta semua
umat pada umumnya, — sampai disini Kyai Wiku Sepuh berhenti sejenak dan kemudian melanjutkan
bicaranya.

— Berangkatlah dengan langkah yang penuh kepercayaan, bahwa Yang Maha Kuasa selalu menyertaimu
…… selamat …. selamat …..--

**

B A G I A N III
--Nakmas Indra.— Wirahadinata berkata sambll berjalan serta memalingkan kepalanya kearah Indra
Sambada yang berjalan disampingnya. — Marilah kita mengaso dahulu di-warung yang berada dipinggir
jalan sebuah desa didepan itu.–
— Baiklah, Bapak Wirahadinata.— jawab Indra dengan tersenyum. — Akan tetapi bukankah lebih
baik kita beristirahat clisini saja, sambil ber-cakap-cakap merundingkan hal-hal yang perlu kita pecahkan
bersama.—
-- Maksudku ialah untuk mengisi perut sambil mengaso, karena laparku telah lama kutahan nakmas.
Wirahadinata menjelaskan dengan jujur.
— O …… jika itu yang dimaksudkan, kita semua tentu setuju, akan tetapi kiraku adi Wulung dan adi
Rimang dapat mancarikan makanan untuk kita berlima, sedangkan kami bertiga menunggu sambil
mengaso disini. Dengan demikian kita dapat bebas bercakap-cakap sambil mengaso, dan tak perlu kuatir
didengar orang lain. — Berkata demikian Indra Sambada mendahului duduk diatas rumput dibawah
pohon yang rindang yang berada dipinggir jalan kecil yang sunyi itu. Wirahadinata dan Sujud segera
mengikuti duduk dihadapannya, menyusul kemudian Jaka Wulung dan Jaka Rimang ikut serta duduk di
sampingnya.—
— Benar juga pendapat nakmas Indra. Hampir-hampir aku lupa bahwa kita sekarang hampir sampai
diperbatasan daerah Kabupaten Indramayu, — Wirahadinata berkata sambil memandang dataran luas
yang terbentang disampingnya. Se-akan-akan ia meng-ingat-ingat untuk mengenal kembali daerahnya.
Ternyata dataran luas yang membentang kebarat utara itu merupakan tanah kosong yang subur tetapi
tak ada yang memelihara. Pohon-pohon besar tumbuh liar tak teratur, sedangkan rumput-rumput
Alang-alang disana sini kelihatan lebat. Matahari telah berada di-ketinggian diatas kepala, menunjukkan
bahwa kini waktu telah tengah hari siang.
---- Maka dari itu, kita sebaiknya mulai selalu berlaku waspada. Bukankah demikian Bapak
Wirahadinata, — Indra Sambada berkata pelan: — Adi Wulung dan adi Rimang, tolonglah carikan apa
saja yang dapat untuk meagisi perut kita ini didesa depan kita itu. Tetapi berlakulah baik-baik dan
merendah terhadap rakyat desa itu, dan bayarlah apa yang kau dapat dari mereka dengan uang
secukupnya.
--- Tak usah kakang Indra gelisah akan hal itu, — jawab Jaka Wulung dengan tersenyum. Berkata
demikian Jaka Rimang segera turut bangkit dan mengikuti kakaknya, pergi menuju sebuah desa yang
PENDEKAR MAJAPAHIT

dimaksud dengan air muka yang selalu bersinar girang. Memang selama dalam perjalanan, mereka
berdua kakak beradik selalu menunjukkan rasa gembiranya. Kiranya mercka belum pernah mimpi,
bahwa dengan mudahnya kini telah menjadi tamtama Kerajaan dan berpangkat lurah penatus tamtama,
sungguhpun hingga sekarang belum pernah mereka mengenakan pakaiannya tamtama. Seringkali
mereka berdua menyebut Indra dengan Gusti Tumenggung, tetapi berulang kali pula dilarang oleh Indra
Sambada sendiri. Mereka supaya tetap memanggilnya dengan kakang saja, hanya di tempat-tempat
resmilah, mereka diperkenankan menyebut Gusti pada Indra Sambada. Sujud sejak ketemu dengan
Indra Sambada kembali dilereng Gunung Sumbing dulu, selalu mendekatinya dan ingin dimanjakan tak
ubahnya seperti adik yang masih belum dewasa menghadapi kakaknya. Pun ia selalu turut bangga,
apabila nama Indra Sambada di sebut-sebut orang. Sewaktu mengaso dalam perjalanan dan ada
kesempatan yang baik, Sujud selalu di suruh mengulangi pelajaran-pelajaran pembelaan diri yang telah
pernah diberikan, serta ditambah pula sedikit demi sedikit. Ternyata cepat Sujud dapat menangkap dan
menguasai pelajaran yang diberikan oleh Indra Sambada dengan baiknya. Tak lama kemudian Jaka
Wulung dan Jaka Rimang telah kembali dengan membawa nasi serta lauk pauknya dan kelapa muda
sebagai minumnya Sebentar saja nasi dengan lauk pauknya serta air kelapa muda habis ludes masuk
dalam perut kelima orang itu. Kiranya setelah kenyang, Sujud merasa mengantuk dan merebahkan diri
dan tidur disisih Indra dengan nyenyaknya. Kini mereka berampat mulai ber-cakap-cakap pelan kembali.
— Nanti setelah kita sampai di desa Majalengka, sebaiknya saya dengan Sujud mendahului berjalan
menuju kota Indranmayu, dan nakmas bertiga menyusul kemudian. Dengan cara demikian perjalanan
kita tidak menjadi perhatian orang. — Wirahadinata memberikan usul siasatnya.
— Siasat yang bagus sekali, — Indra Sambada menjawab, sambil masih berfikir mencari siasat yang
lebih tepat lagi. Ia diam sejenak, dan meneruskan bicaranya: — Saya juga ada pendapat yang mungkin
lebih baik. Mengingat bahwa Bapak adalah bekas kepala daerah ini, sebaiknya bapak menyamar
entahlah sebagai apa, agar tidak mudah dikenal orang. Bapak berjalan lebih dahulu dengan di-bayang-
bayangi dari jauh oleh adi Jaka Wulung dan Jaka Rimang, dan kemudian saya menyusul dengan Sujud.
Kiraku dengan demikian akan mengurangi kemungkinan datangnya kesukaran-kesukaran dalam
perjalanan ini.
--- Jika nakmas menghendaki demikian, sayapun sangat setuju, dan sebaliknya kita melanjutkan
perjalanan setelab nanti matahari tenggelam, — Wirahadinata menambah.
Pada malam harinya mereka berjalan berpisah-pisah, sebagaimana yang mereka rencanakan. Jika
Wirahadinata sewaktu memasuki kota Indramaju tak menarik perhatian karena ia menyamar sebagai
seorang tua pengemis dengan bajunya yang compang camping, serta bertongkat sebatang dahan kering,
maka lain halnya dengan Jaka Wulung dan Jaka Rimang. Dari tingkah laku dan percakapannya mudah
diketahui, bahwa mereka adalah orang pendatang dari lain daerah.
Hal ini disebabkan terutama karena mereka tak mengenal akan bahasa daerah setempat. Pagi itu
kebetulan hari pasaran di-kota. Orang-orang berduyun-duyun datang memasuki kota dengan membawa
barang dagangannya mmasing-masing yang beraneka macam. Ada yang membawa bahan makanan
berupa beras, jagung, kedelai dan lain-lain hasil tanaman seperti sayur-sayuran dan sebagainya. Dan
adapula yang membawa ternak seperti ayam, itik dan lain-lain serta bahkan ada yang berjalan sambil
menghalau kerbau sapi dan lain sebagainya, untuk nanti dijual dipasar kota. Ampat orang punggawa
praja sibuk menghadang para pendatang untuk mengumpulkan bea masuk kota yang tidak sedikit
jumlahnya. Yaitu seperempat bagian dari tafsiran harga nilai dagangannya, para pedagang itu harus
menyerahkan pada empat orang punggawa praja itu, yang memang ditugaskan oleh Bupati Kepala
Daerah lndramayu. Mereka diharuskan membayar tunai dengan mata uang ataupun meninggalkan
PENDEKAR MAJAPAHIT

barang dagangannya sebanyak seperempat bagiannya. Mungkin hal itu telah menjadi kebiasaan,
sehingga semua pendatang tak ada yang berhasrat menentangnya. Walaupun sesungguhnya dirasakan
berat sekali olehnya. Sebentar saja pedati dipinggir jalan yang tadinya kosong itu kini penuh dengan ber-
macam-macam barang hasil pungutan dari para pedagang itu, sedangkan kantong goni yang dipentang
oleh dua punggawa praja itu cepat juga penuh berisikan uang perak dan tembaga.
Ada dua tiga orang yang menggerutu, tetapi pada hakekatnya, mereka juga membayar penuh. bea
masuk kota yang ditentukan oleh ampat orang punggawa praja tadi . Tak seorang dapat lolos dari
keharusan membayar bea masuk kota, kecuali pengemis tua, karena memang tak ada yang harus
ditinggalkan. Dengan pakaian yang compang campingr, dan dekil itu, para punggawa praja segan untuk
menggeledahnya.
--- Cepat, serahkanlah kantong kulitmu mmasing-masing itu, untuk kuperiksa dulu isinya, — seorang
punggawa praja berseru memerintah pada Jaka wulung dan Jaka Rimang yang kini tiba gilirannya untuk
digeledah. Mendengar seruan ini muka Jaka. Rimang seketika menjadi merah padam menahan rasa
marahnya, dan menjawablah dengan bentakan yang tak kalah kerasnya. — Peraturan manakah yang
mengharuskan orang berlalu digeledah dan meninggalkan seperempat bagian miliknya padamu.—
— Bangsat ….. membantah ketentuan ini, sama halnya dengan memberontak terhadap Gustiku
Bupati, tahu. — Salah scorang punggawa praja yang tinggi besar membentak keras.
— Tak usah di jawab. Tangkap saja dua orang itu.---- perintah seorang punggawa yang berdiri
dibelakang, sambil memperhatikan Jaka Wulung dan Jaka Rimang dengan pandangan mata yang tajam.
Dua orang punggawa yang sedang menghadapi segera merangsang maju hendak menangkap
pergelangan tangan Jaka Wulung dan Jaka Rimang, untuk menyeretnya, akan tetapi kedua punggawa
praja itu segera jatuh terjungkal kebelakang, dan kepalanya babak belur terbentur batu yang berserakan
ditanah.
Punggawa praja yang berdiri dibelakang tadi, cepat menghunus golok panjangnya serta menerjang maju
dengan serangan kilat yang berbahaya. Sedangkan seorang punggawa lainnya yang sedang memegang
kantong goni yang berisi uang itu, cepat pula turut menyerang dengan kelewangnya. Orang-orang
pendatang banyak pula yang tidak mempedulikan atas keributan ini, dan mengambil kesempatan untuk
cepat-cepat berlalu dari tempat itu, dengan tanpa membayar bea masuk. Dari gerakan para penyerang
itu, Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera dapat mengukur ketangguhan lawan, yang ternyata jauh
berada dibawah tingkatannya.
— Adi Rimang, biarlah kau melayani mereka sendiri, aku akan membagi bagi rejeki pada para
penonton — berkata demikian Jaka Wulung melompat kesamping menuju tempat kantong goni yang
beriskan uang. Dengan tangkasnya kantong goni disodok dengan tongkatnya, dan uang dalam goni itu
berkerincingan tersebar dijalanan. Kini tanpa diperintah lagi, orang yang berlalu disitu berebut
memunguti uang yang tersebar dijalanan, sewaktu Jaka Rimang sibuk dengan tongkatnya
mempermainkan dua punggawa praja yang menyerangnya. Dua orang punggawa praja yang jatuh
terjungkal karena tendangan Jaka Wulung dan Jaka Rimang tadi, telah pula merayap-rayap bangun dan
menyerbu kearah Jaka Rimang, untuk membantu teman-temannya.
Kini pertandingan menjadi satu lawan ampat. Tetapi Jaka Wulung masih juga berdiri tenang dengan
bersenyum simpul sambil melihat jalannya pertempuran. Tak lama kemudian senjata mmasing-masing
yang berada ditangan ampat orang punggawa praja itu serentak terpental lepas dari pegangan dan jatuh
ditanah, dengan diiringi suara jeritan dan mengaduhnya dua orang punggawa praja yang jatuh terpental
kebelakang tiga langkah dari tempat pertempuran itu.
Belum juga suara tertawa hilang dari mulut Jaka Rimang, yang merasa girang karena berhasil
PENDEKAR MAJAPAHIT

serangannya, tiba-tiba ia sendiri jatuh terjungkal dengan pelipisnya sebelah kiri berdarah. Jaka Wulung
melompat, untuk menolong adiknya, tetapi suara desis jatuhnya batu krikil datang kearahnya terpaksa
ia merobah gerakannya dan dengan tongkatnya Jaka Wulung menangkis datangnya serangan gelap itu.

Batu kerikil sebesar ibu jari tangan terpental jatuh karena terbentur dengan ujung tongkat Jaka
Wulung. Terkejut ia setelah merasakan betapa pedihnya telapak tangan yang memegang tongkat.
Kembali suara desingan terdengar, dan tongkat ditangannya berputaran cepat untuk digunakan sebagai
perisai, sambil merendahkan badannya, dan dua buah kerikil terpental melambung jauh, karena
terbentur dengan tongkat penjalinnya. Kini ia tahu, bahwa penyerang gelap itu adalah orang yang duduk
dalam pedati dipinggir jalan. Orang itu tenang-tenang duduk dalam pedati dipinggir jalan dengan tangan
kirinya memegang cambuk, dan bandringan atau alat pelempar batu ditangan kanannya, dengan ketawa
terkekeh kekeh.
— Hai bedebah, kusir pedati, — Jaka Wulung berseru dengan lantang. — Jangan kau menyerang
dengan sembunyi.—
— Ha ..... haaaa ….. haaaa ….. akan kulihat sampat dimana ketangkasan permainan tongkatmu itu. —
berkata demikian orang yang duduk dalam pedati segera meloncat keluar dengan cambuk pedatinya
ditangan kiri.
— Sebelum kau hancur kuhajar dengan cambukku ini, siapakah kau, berani berlagak sebagai
peraberontak.—
Pakaian orang itu hitam kumal sebagai kusir pedati biasa dengan topi anyaman bambu sebagai
penutup kepalanya. Bentuk tubuhnya tinggi kurus agak bongkok, namun wajahnya kelihatan bersih
bersinar. Melihat raut mukanya, usianya orang itu tak lebih dari 30 tahun. Matanya juling, menyimpan
silat-sifat kepalsuan. Ketawanyapun di-buat-buat dengan nada penuh ejekan. Ampat orang punggawa
praja tadi cepat mengundurkan diri dan berdiri agak jauh dibelakang orang itu dengan rasa ke-takutan.

---- Akulah Jaka Wulung. Jaka Wulung menyahut cepat. — Dan maksudku bukan untuk
memberontak, tetapi sekedar memberi hajaran pada punggawa praja yang memeras rakyat dengan se-
mena-mena. Siapakah kau berani turut campur dengan urusanku.—
Belum juga pertanyaan itu terjawab, pecutnya telah menyambar dengan mengeluarkan suara yang
memekakkan telinga, langsung menyambar kearah kepala Jaka Wuiung. Sementara itu Jaka Rimang
telah sadarkan diri kembali dan bangkit berdiri dengan tongkat siap ditangan. Dengan hanya
menundukkan kepalanya dan badan merendah sedikit, Jaka Wulung terhindar dari cambukan. Tetapi
secepat ia terhindar dari cambukan yang pertama, serangan cambuk yang kedua segera menyusul pula
dari arah yang bertentangan ditujukan pada lambung kirinya. Dengan tangkas Jaka Wulung meloncat
tinggi menghindari serangan cambuk sambil menyerang kearah dada lawan. Serangan Jaka Wulung
dahsyat sekali hingga bagi orang yang kurang pengalaman akan merasa sukar terhindar. Tetapi kiranya
lawannya adalah orang yang memiliki ketangkisan yang luar biasa. Sebelum ujung tongkat menyentuh
lehernya, dengan tangkasnya ia memiringkan badannya, dan sekaligus mengirimkan tendangan dengan
kaki kanannya. Serangan yang tak terduga ini sukar sekali untuk dihindarkan, karena saat itu Jaka
Wulung belum berpijak ditanah. Jaka Wulung mengerahkan tenaganya untuk menerima tendangan
lawan dengan tangkisan siku tangannya, dan ia terpental dua langkah kebelakang dengan berjumpalitan.
Ternyata tenaga tendangan lawan tadi dahsyat sekali. Cepat Jaka Wulung bangkit dan membalikan
badannya, siap untuk mengelakkan serangan tusukan dari lawan. Tiba tiba Jaka Rimang telah menerjang
lawan yang sedang melancarkan serangan dengan cambuknya. memukul dengan tongkatnya kearah
pergelangan tangan kiri lawan, yang memegang cambuk itu.
PENDEKAR MAJAPAHIT

Cepat serangan cambuk itu ditarik kembali untuk menghindari pukulan cepat tongkat Jaka Rimang,
sambil menangkis dengan cambukan pada tongkat yang menerjang itu serta berseru nyaring — lepas.
Tak ayal lagi tongkat Jaka Rimang terlepas dari genggaman dan terlempar jatuh dua langkah
kesamping, Jaka Rimang melompat surut kebelakang dengan wajah yang pucat serta berpeluh dingin.
Dalam saat yang sama Jaka Wulung menyerang pula dengan tongkatnya menyapu kaki lawan, tapi tak
kurang tangkasnya lawan meloncat tinggi sambil menggerakkan cambuknya memapak datangnya
serangan tongkat. Tongkat Jaka Wulung kini terlibat oleh cambuk lawan yang kemudian ditariknya
dengan hentakan yang mengejutkan serta tendangan kearah pergelangan tangan: lepaskan tongkat ……
Ternyata tongkat Jaka Wulung dengan mudahnya lepas dari genggaman dan melambung tinggi untuk
kemudian jatuh ditanah sejauh kurang dari sepuluh langkah. Jaka Wulung meloncat kebelakang dengan
tangannya dirasakan pedih terkena tendangan lawan, tetapi belum juga ia berpijak tanah, cambuk
datang menyapu kearah kakinya dan terdengarlah suara mengaduh dari Jaka Wulung untuk kemudian
jatuh terkulai ditanah. Kakinya sebelah dirasakan lumpuh tak dapat cligerakkan. Melihat keadaan
kakaknya, Jaka Rimang, dengan marahnya menerjang lawan dengan serangan tendangan berangkai.
Kakinya bergerak menendang silih terganu kearah dada dan lambungnya, namun lawannya tangguh dan
lebih tangkas. Pada tendangan yang ketiga kalinya lawan sengaja tak menghindari, tetapi menangkis
dengan pukulan telapak tangan kanan yang tepat mengenai tulang sambungan pergelangan kaki Jaka
Rimang. Jaka Rimang jatuh tersungkur dan tidak berdaya lagi. Ampat punggawa praja yang berdiri
menonton itu, kini lari mendekati dan mengikat tangan dan kaki Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
— Kuwu, lekas masukkan dua tawanan itu kedalam pedati, dan bawalah langsung ke Kepatihan, —
perintah Patih Lingganata — aku menunggu jemputan kudaku. — Lingganata adalah patih Kabupaten,
yang baru saja diangkatat sebagai pengganti patih Kabupaten yang namanya juga Lingganata.
Sesubgguhnya nama patih yang baru itu sebelum diangkat terkenal dengan nama Durgawangsa seorang
bekas kepala rampok.
Suara cambuk terdengar sekali lagi dan pedati yang ditarik oleh sepasang sapi mulai bergerak berjalan
pelan-pelan. Jaka Wulung dan Jaka Rimang berbaring berhimpitan dengan dibelenggu kaki dan
tangannya mmasing-masing diatas tumpukan barang-barang yang berada didalam pedati itu dengan
dijaga oleh dua orang punggawa praja, sedangkan dua orang punggawa praja lainnya duduk didepan
memegang tali kemudi. Tak lama kemudian seorang punggawa praja berkuda datang dengan
mengantarkan kudanya Patih Lingganata. Dengan tangkas Patih Lingganata naik kepelana kudanya dan
memacunya memasuki kota Indramayu. Pedati berjalan pelan, dan makin lama makin ketinggalan jauh
dari dua orang yang berkuda. Pada waktu pedati melalui tikungan, tiba-tiba dua orang berpakaian
seperti saudagar kaya, berkelebat meloncat kedalana pedati dan langsung menyerang ampat orang
punggawa praja yang berada dalam pedati. Dalam tempat yang sempit itu mereka bergumul saling
menyerang. Kiranya dua orang penyerang memiliki ketangkasan yang jauh lebih tinggi dari pada para
punggawa praja yang diserangnya.
Dalam waktu yang singkat ampat orang punggawa praja telah terpukul pingsan, bahkan dua
diantaranya terlempar ke luar dari pedati dan tak sadarkan diri. Sementara itu dengan tangkas tali
belenggu Jaka Wulung dan Jaka Rimang di putusnya dengan tebasan golok, dan kedua Jaka bersaudara
itu dipondong oleh kedua orang diatas pundaknya, serta meloncat keluar lari memasuki lorong-lorong
jalan kecil di kampung-kampung. Pedati masih terus berjalan tanpa kusir yang mengemudikan.
— Tuan, turunkanlah, kami berdua dapat berjalan sendiri dengan dibimbing, — Jaka Wulung mulai
membuka mulutnya dengan bicara pelan. Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera diturunkan oleh dua
orang penolong itu, dan kini berjalan pelan dengan dipapah mmasing-masing oleh kedua orang yang
PENDEKAR MAJAPAHIT

menolong itu dengan tak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya. Dengan isyarat ini Jaka Wulung dan
Jaka Rimang menundukkan mukanya dengan terdiam sambil terus berjalan pelan, dengan kaki sebelah
diseret. Kini mereka berampat memasuki sebuah rumah bilik yang cukup luas, tetapi sepi tak kelihatan
penghuninya.
Dengan ber – hati-hati pintu ditutupnya kembali dari dalam dengan palang pintu kayu yang cukup
kuat. Jaka Wulung dan Jaka Rimang segera dipersilahkan berbaring di-bale-bale yang telah tersedia.
Karena dua orang pcnolong itu belum memulai bidara, Jaka Wulung dan Jaka Rimang juga masih tetap
bungkam dan saling ber-pandang-pandangan dengan penuh pertanyaan.
Seorang diantara dua penolong itu memandang tajam kearah Jaka Wulung dan Jaka Rimang ber-
ganti-ganti dan mulai bicara dengan suara pelan: — Sebagai seorang lurah tamtama penatus, kau
berdua cukup memiliki ketangkasan dan keberanian, tetapi dalam tugasmu sekarang ini, kau berdua
kurang ber-hati-hati. Kecerobohan tindakanmu dapat menggagalkan seluruh rencana Gustimu
Tumenggung Indra, tahukah lurah Wulung dan lurah Rimang? —

Jaka Wulung serta Jaka Rimang serentak bangkit dan duduk dengan mulut ternganga dengan penuh
rasa heran dan takut, karena tidak menduga bahwa penolongnya itu telah tahu bahwa mcreka berdua
telah diangkat oleh Sang Senapati Muda Adityawardhana sebagai lurah tamtama.
— Memang kejadian ini adalah akibat kebodohan kami berdua, mohon penjelasan …… siapakah
sebenarnya tuan-tuan berdua ini, — Jaka Wulung bertanya dengan sangat merendah. Karena ia
menduga bahwa penolongnya tak mungkin orang biasa. Tentulah orang yang dekat hubungannya
dengan para perwira tamtama Kerajaan — demikian pikirnya.
— ya . . . . memang kita belum saling mengenal. Ketahuilah bahwa aku adalah Bupati tamtama
Cakrawirya dan sebutan pangkatku Tumenggung. Pembantuku ini ialah lurah tamtama Durpada! —
Cakrawirya menjelaskan.
Jaka Wulung serta Jaka Rimang setelah jelas mendengar kata-kata itu, segera memaksakan duduk
bersila dan menyembah serta berkata. — Ampunilah, Gusti Tumenggung. Kami berdua tak sengaja
berlaku kurang hormat kepada Gustiku. Dan kami menghaturkan banyak terima kasih atas kemurahan
Gustiku Tumenggung Cakrawirya. — Jaka Wulung berkata dengan menundukkan mukanya.
— Tak mengapalah, sebagai tamtama baru, kalian berdua cukup menunjukkan kesetiaan. Untuk
selanjutnya se-waktu-waktu kita berjumpa dalam perjalanan jangan sekali kali menyebut dengan Gusti,
tetapi cukup dengan Tuan atau Saudara saudagar saja. Dan sekarang berbaringlah kembali, biar lurah
tamtama Durpada mengobati kakimu yang pecah itu.—
Tanpa diperintah untuk kedua kalinya Durpada segera memeriksa kaki ke-dua-duanya, ternyata
hanya terkilir saja, dan kiranya Jaka Wulung dan Jaka Rimang dapat saling mengurut sendiri, dengan
membobokkan ramuan obat yang dibekalnya. Cakrawirya dan Durpada segera meninggalkan mereka
berdua dalam rumah itu, dengan maksud mencari jejaknya Indra Sambada yang berjalan bersama
dengan Sujud. Jaka Rimang dan Jaka Wulung taat mematuhi perintah Cakrawirja, dimana mereka harus
beristirahat dirumah itu selama satu hari satu malam, hingga kakinya yang terkilir sembuh kembali.
Dirumah itu selain telah disediakan makanan lebih dari cukup juga pakaian bermacam-macam bentuk
dan ber-aneka warnanya telah tersedia. Kedatangan tamtama nara sandi Tumenggung Cakrawirya dan
Lurah Durpada, adalah atas perintah Patih Mangkubumi Gajah Mada untuk memberikan bantuan pada
Tumenggung lndra Sambada yang sedang mengemban tugas dari Sang Senapati Manggala Yudha,
Perintah ini adalah memenuhi usul Sang Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti
Adityawardhana, setelah mana beliau memberikan laporan selengkapnya tentang hasil peninjauannya
serta rencana selanjutnya untuk memadamkan kerusuhan-kerusuhan yang sedang berkobar itu.
PENDEKAR MAJAPAHIT

lndra Sambada dengan Sujud sengaja tak mau melalui jalan besar. Mereka menyusuri tebing kali
Cimanuk mengikuti arusnya air kemuara. Dengan demikian mereka mengambil jalan memutar kearah
utara untuk kemudian kembali ketimur melalui jalan-jalan desa yang ber-liku-liku dan kemudian masuk
kekota dengan tak mendapatkan rintangan sesuatupun. Berdua mereka langsung menuju kepasar Kota
Kabupaten, yang penuh sesak dengan orang-orang berdagang dan orang yang sedang berbelanja. Sujud
berjalan dengan dua ekor burung merpatinya ditangan, sedangkan Indra Sambada berjalan berlenggang
dengan kantong kulit tergantung dipinggangnya. Keris pusakanya tak ketinggalan diselipkan didalam
baju dipinggang sebelah kiri agak kedepan. Berkali kali Sujud mengajak ber-henti untuk melihat barang-
barang yang beraneka warna dan bentuknya yang sedang diperdagangkan serta yang menarik
perhatiannya.
Didalam pasar itu Indra Sambada membeli pakaian yang indah untuk Sujud serta untuk dirinya sendiri,
tak ubahnya seperti pakaian seorang saudagar yang kaya raya. Kini mereka keluar dari pasar yang ramai
itu dan menuju ke kali Cimanuk yang tak jauh dari kota Indramayu. Memang letak kota Indramayu
berada disebelah timur kali Cimanuk, yang mana kali ini bermuara dipantai utara laut Jawa dekat kota
Indra-mayu. Kali Cimanuk kini tidak dapat dilalui oleh perahu-perahu layar, karena tidak dalam dan
luasnyapun tidak seluas kali Bengawan.
Perahu-perahu layar hanya dapat memasuki sampai dimuara saja. Setelah sampai dipinggir kali
Ciinanuk, pada tempat yang sepi, Indra Sambada serta Sujud segera mengenakan pakaian barunya, yang
baru saja dibelinya dari pasar tadi. Memang benar apa kata pepatah yang menyatakan, bahwa pakaian
dapat merobah wajah dan bentuk Orang. Dengan pakaian baru itu, lndra Sambada kelihatan tampan
dan gagah, sedangkan Sujud mirip dengan seorang putra bangsawan. Pakaian atasnya dari sutra
berwarna merah muda, dengan celana panjang berwarna biru tua, serta memakai sarang tenun benang,
sutra buatan daerah Garut yang telah terkenal. Ikat kepalanya, pita sutra kuning.
Sujud memakai ikat kepala lehar segitiga dari sutra warna kuning pula, dengan baju sutra betwarna
merah muda, dan memakai sarung tenun benang sutra dilipat sampai diatas lututnya. Celananya
Panjang kepalang sampai dibawah lututnya, berwarna merah tua. Sebentar-sebentar Sujud meraba
halusnya pakaian sutra yang dikenakan itu, dengan ketawa gembira dan wajahnya kelihatan ber-seri-
seri. Kiranya seingat dia baru kali inilab ia mengenakan pakaian seindah dan samahal ini. Mereka segera
kembali lagi kepasar yang masih sesak dengan pengunjung, dan langsung memasuki sebuah warung
makan.
Memang warung itu hanya khusus disediakan untuk para pedagang-pedagang besar serta para
hartawan yang sedang berbelanja. Masakaanya terkenal lezat dengan pelayan-pelayannya wanita yang
cantik-cantik. Dengan tidak menghiraukan tamu pengunjung yang lain, Indra Samhada dan Sajud
mengambil tempat duduk yang masih kosong, serta memesan makanan dan minuman yang
dikehendaki, Dengan gaya sebagai seorang hartawan, Indra Sambada memerintah pelayan wanita untuk
membelikan sebuah sangkar guna menempatkan merpati yang dipegang oleh Sujud itu.
Uang emas sepotong dilemparkan pada pelayan wanita yang diperintah tadi, yang olehnya segera
diterimanya dengan senyum gairah yang menarik. Uang kembalinya sengaja diberikan semua kepada
pelayan wanita itu, seperti gayanya seorang hartawan muda yang beloboh dan pemboros. Sikap
demikian ini membikin irihatinya tamu-tamu lainnya.
Karena kini semua para pelayan berebut untuk melayaninya dengan sangat sopan dan hormatnya.
Sudah menjadi kebiasaan warung makan itu, sewaktu hari pasaran, buka terus sampai jauh malam, dan
waktu itu senjapun belum tiba. Kira-kira masih tiga jengkal lagi matahari mendekati garis cakrawala
dibagian bumi sebelah barat.
PENDEKAR MAJAPAHIT

Tiba-tiba seorang saudagar yang duduk sendiri disudut ruangan, datang mendekati Indra Sambada
dengan bersenyum dan menganggukkan kepalanya, serta langsung mengambil tempat duduk dihadapan
Iridra Sambada, dengan tidak menunggu lagi dipersilahkan.
— Baru kali ini saya melihat Tuan dipasar Indramayu. Dagangan apakah yang Tuan bawa?— saudagar
itu menegor Indra Sambada dengan sopan sekali yang di-buat-buatnya.
— Memang baru kali ini, saya berkunjung kemari—jawab Indra Sambada dengan tersenyum pula. —
Dan perkenalkanlah, aku adalah Indra dari Banyumas---
--- Dan saya adalah Saputra, pedagang dari Indramayu sini saja. Dan maafkan, barang2 apakah yang
tuan Indra akan dijualnya disini? — Kembali saudagar itu mendesak ingin tahu barang dagangan Indra
untuk kedua kalinya. — Dagangan saya adalah barang-barang permata, yang akan saya tawarkan kepada
Gusti Bupati. Karena me nurut cerita kawan-kawan saya, Gusti Bupati gemar akan barang-barang
permata yang indah-indah. —
Orang yang mengaku bernama Saputra itu tubuhnya kekar gagah, tingginya sedang dengan pakaian yang
indah pula sebagai lajaknya seorang pedagang besar. Wajahnya bersinar bersih dengan kumis tipis
menambah tampannya. Dibalik wajahnya yang tampan itn tersembunyi sifat-sifat angkuh dan sombong.
Usianya masih muda sebagai usia Indra Sambada. Usianya kurang lebih sekitar dua puluh tiga tahunan.
— Memang benar kata-kata teman-teman Tuan, — kata Saputra. — Gusti Bupati gemar sekali
membeli barang-barang permata yang benar indah ataupun permata-permata kuno dari negeri luar. Jika
seandainya Tuan Indra memang bermaksud menawarkan pada Gusti Bupati, saya sanggup menjadi
perantaranya, karena tidak mudah sebagai saudagar yang belum dikenal untuk memasuki lstana
Kabupaten ! Berkata demikian Saputra memandang dengan penuh selidik kepada Indra Sambada,
seakan-akan ia kuatir bahwa barang-barang permata dagangan Indra akan tidak memenuhi syarat-syarat
untuk ditawarkan pada Bupati Indramayu.
Indra Sambada sangat menyetujui tawaran Saputra itu, dan untuk tidak mengecewakan yang akan
menjadi perantaranya, Indra Sambada segera menunjukkan sebuah cincin mas murni bermatakan
jamrut sebesar ibu jari dengan berlian-berlian kecil, dan disamping itu Indra Sambada juga menunjukkan
pula tangkai keris pusakanya yang berada didalam bajunya.
Saputra mengangguk-anggukkan kepalanya serta bersenyum girang serta puas. Dalam hati iapun kagum
akan keindahan barang yang ditunjukkan padanya itu. Mereka berdua telah sepakat untuk besok pagi-
pagi ketemu lagi dirumah makan ni, dan berangkat bersama sama menuju ke Kabupaten Malam nanti.
Indra Sambada dimintanya bermalam dirumah Saputra, tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Indra,
dengan alasan bahwa ia masih menunggu kedatangan kawannya yang membawa barang2 berharga
lainnya. Saputra mendahului meninggalkan warung makan, sedangkan Indra Sambada dan Sujud masih
tetap duduk-duduk dengan tenang sambil menikmati hidangan yang dihadapinya. Sewaktu Indra
Sambada dan sujud menikmati hidangan makanan kecil, terdengar suara pelayan membentak bentak
pengemis yang duduk meminta belas kasihan diambang pintu.
— Pergi …. pergi .... pergi …… dan jangan menggangu Tuan-tuan yang sedang makan disini. —
bentaknya.
Tetapi pengemis tua itu bandel, dan tidak mau mengindahkan bentakan para pelayan. Karena
kejengkelan para pelayan, maka pengemis tua diusirnya dengan disiram air kearah kepalanya. Melihat
pengemis yang basah kepalanya karena diguyur air itu, Sujud segera akan bangkit, tetapi cepat Indra
Sambada menangkap maksud Sujud dan mencegah dengan memegang pergelangan tangan Sujud. Dan
kiranya Sujud juga dapat memahami maksud tujuan Indra Sambada. la kembali duduk tenang sambil
mengawasi pengemis tua yang pelan-pelan meninggalkan warung makan. Waktu itu hari telah mulai
PENDEKAR MAJAPAHIT

gelap samar-samar Sang surya baru saja menyelinap memasuki permukaan samudra. Tak berselang
antara lama, sipengemis meninggalkan rumah makan itu, Indra Sambada dan Sujud, segera bangkit dan
meninggalkan pula rumah makan, setelah membayar semua harga makanan yang telah dipesannya dan
memberi hadiah uang perakan pada para pelayan-pelayan.
Berdua mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil dan lorong-lorong yang berliku-liku, mengikuti
pengemis tua yang berjalan didepannya. Ternyata pengemis tua itu bukan lain adalah Wirahadinata
adanya. Kini mereka tiba disebuah desa,yang terpencil dibatas kota. Setelah mereka bertiga
memperhatikan sekelilingnya dengan cermat, dan tak ada hala hal yang mencurigakan mereka segera
memasuki sebuah rumah dinding jang dibuat dari anyaman bambu serta telah kelihatan reyot. Tidak
diduganya sama sekali, bahwa Tumenggung Cakrawirya dan lurah Durpada lelah berada didalam rumah
itu sejak sore tadi. Kedua priyagung tamtama setelah berjumpa segeta saling merangkul dengan amat
akrabnya untuk menyatakan kerinduanaja mmasing-masing yang telah lama dikandungnya. Setelah
mereka mmasing-masing menceritakan pengalaman dalam perjalanan, Indra Sambada menjelaskan pula
rencana tindakan pada hari esok paginya. Setelah jelas tentang pembagian tugas mmasing-masing,
Cakrawirya dan Durpada meninggalkan rumah reyot itu untuk menuju tempat yang telah disewanya,
dimana tadi Jaka Wulung dan Jaka Rimang ditinggalkan.

**

Dua orang saudagar muda turun dari kudanya mmasing-masing, dan memasuki pintu gerbang
Kabupaten Indramayu dengan disambut oleh dua punggawa praja yang sedang bertugas sebagai
pengawal, untuk kemudian diantar menuju keruang tamu dalam gedung Kabupaten yang luas itu.
Bupati Prajaraimaka dengan didampingi oleh Patih Lingganata serta dua orang punggawa praja
rendahan dang duduk berhadap-hadapan diruang tamu diatas permadani yang indah. Setelah
berkenalan, Indra Sambada segera menunjukkan barang, perhiasan permata, yang beraneka macam dan
jenisnya untuk ditawarkan kepada Bupati Prajaratmaka. Barang-barang perhiasan itu ganti berganti
dilihat dengan telitinya oleh Patih Lingganata dan kemudian pindah lagi ketangan Bupati Prajaratmaka
yang memeriksanya hanya sepintas lalu saja. Kiranya semua ketentuan dalam membeli barang-barang
itu terletak ditangan Patih Lingganata. Hal ini sangat menarik perhatian Indra Sambada namun ia tak
mau menunjukkan rasa herannya, Bupati Prajaratmaka usianya telah setengah lanjut, sekitar
limapuluhan, dan berperangai halus, namun wajahnya kelihatan pucat sayu mengandung rasa sedih, dan
sedikitpun tak nampak kegembiraannya. Sikap ini jauh berbeda dengan Patih Liugganata, bahkan dapat
dikatakan sebaliknya? Patih Lingganata melihat perhiasan-perhiasan dagangan itu dengan penuh nafsu,
sedangkan Bupati Prajaratmaka melihatnya hanya sepintas lalu dengan tidak menunjukkan minatnya
sama sekali. Nada bicaranya tak mengandung semangat sebagaimana layaknya seorang priyagung
narapraja yang menjadi kepala daerah. Segala tindakan dan gerakannya se akan-akan hanya ,sekedar
untuk memenuhi permintaan Patih Lingganata.
-- Hanya yang tuan ajukan itu sangat mahal! Gustiku Bupati hanya bersedia membeli ini semua
dengan harga separo , dari apa yang telah tuan tawarkan tadi, — Patih Lingganata menawar barang-
barang perhiasan Indra Sambada. Kata-kata itu membuat Indra Sambada sangat heran. Lingganata
mengajukan penawaran yang sangat rendah, tanpa mendapatkan persetujuan Bupari Prajaratmaka,
tetapi menyatakan bahwa yang akan membeli adalah Bupati sendiri.
Hal ini menambah rasa curiganya, akan tetapi ketenangan tetap dapat menguasai dirinya. — Harga
yang saya tawarkan ini merupakan harga pasti, sedikitpun Gusti Patih tak dapat menguranginya, —
PENDEKAR MAJAPAHIT

jawab Indra Sambada. — Dan jika memang tak ada kecocokan soal harga, saya mohon diri untuk
pulang- dengan membawa barang-barang saya kembali —
— Nanti dahulu. Bukankah tuan belum pula membayar bea masuk kota? — Patih Lingganata berseru
dengan senyum mengejek dan melanjutkan bicaranya. — Ataukah tuan bermaksud meninggalkan
seperempat bagian dari barang-barang milik tuan ini sebagai pelunasan bea masuk? —
Bupati Prajaratmaka kini kelihatan lebih pucat lagi. setelah Patih Lingganata mengakhiri kata-katanya.
Perobahan wajah itupun tak lepas dari pengamatan Indra Sambada, Kini Indra Sambada telah dapat
menarik kasimpulan yang pasti bahwa Bupati Prajaratmaka adalah seorang yang lemah sekali dan
menjadi boneka, alat para perampok yang mengejar kekayaan.
— Sebagai seorang pedagang saya telah merantau sampai , dikota Raja, tetapi belum pernah
menjumpai peraturan yang mengharuskan meninggalkan seperempat bagian dari miliknya sendiri
sebagai bea masuk kota, — Indra Sambaka menjawab dengan sinar pandangan tajam menatap wajah
patih Lingganata. Dua pandangan tajam berbenturan dengan perbawa mmasing-masing, namun jelas
bahwa Patih Lingganata cepat memalingkan kepalanya kearah Bupati Prajaratmaka, karena kalah
Perbawa, Bupati Prjaratmaka semakin kelihatan gemetar tangannya dan ia tetap membungkam seribu
bahasa, dengan menundukkan kepalanya.
— Ketahuilah tuan saudagar, bahwa ketentuan pembayaran bea masuk kota ini adalah peraturan
yang dikeluarkan oleh Gusti Bupati sendiri. Siapakah yang tidak mentaati peraturan ini dapat dianggap
sebagai pemberontak, bukankah demikian Gusti Bupati? — Patih Lingganata menjelaskan dengan
menunggu persetujuan Prajaratmaka, olehnya hanya dijawab dengan anggukkan kepala saja.
— Pemerasan yang tidak pantas, — Indra Sambada berseru lantang. Mendengar makian Indra
Sambada, Lingganata segera bangkit berdiri dan langsung menyerang dengan tinjunya kearah pelipis
Indra. Dengan hanya menundukkan kepalanya Indra Sambada telah bebas dari serangan tinju. Untuk
kedua kalinya Lingganata menghantam dengan tinjunya, tetapi kembali kepalan tanganya jatuh
ketempat kosong. Pada saat serangan yang kedua kalinya itu, Indra Sambada telah bangkit berdiri.
— Keparat ! Berani kau menentang kekuasaanku — Lingganata berseru sambil meloncat dan
melancarkan serangan tendangan kearah dada Indra Sambada tetapi tidak mengenai sasarannya. Indra
Sambada, meloncat kesamping untuk menghindari tendangan sambil memilih tempat yang agak luas,
Saputra turut bangait dan melesat menerjang Indra Sambada dengan golok panjang terhunus. Sejak tadi
Indra Sambada, telah menduga bahwa Saputra adalah adik Lingganata, mengingat persamaan perangai
mukanya. Dan ini memang merupakan kenyataan yang tak dapat dielakkan. Akan tetapi Indra Sambada
adalah Manggala Muda Tamtama Pengawal Raja, yang memiliki kesaktian yang hampir mendekati titik
kesempurnaan. Serangan tendangan dan tusukkan golok panjang dibiarkan hingga hampir mengenai
tubuhnya.
Tetapi sebelum menyentuh bajunya, pergelangan tangan Saputra yang sedang menjulur itu tiba-tiba
ditangkapnya dengan cengkeraman remasan yang dasyat. Saputra menjerit kesakitan, beramaan dengan
jeritan itu golok panjangnya telah jatuh gemerincing di lantai. Dengan satu dorongan telapak tangan kiri
Saputra jatuh terguling dilantai. Dalam saat yang sama, Lingganata telah menyerang pula dengan
sabetan klewangnya kearah pinggang.
Dengan tangkas Indra Sambada meloncat tinggi menghindari datangnya klewang yang berkelebat
kearah pinggangnya, dengan berpusingan diatas untuk kemudian jatuh berdiri tepat dibelakang
Lingganata. Pada saat itu pula telapak tangan Indra Sambada memukul jalinan syaraf penggerak tangan
dipundak Lingganata, dengan berseru nyaring — Lepaskan klewangmu, Lingganata jatuh tertelungkup
dan bergulingan menghindari rangkaian serangan lawan, dengan tangan kanan yang tak dapat
PENDEKAR MAJAPAHIT

digerakkan, sedangkan klewangrija terpental lepas dari genggaman dan jatuh dilantai lima langkah
jauhnya. Bahwa dalam satu gerakan, klewangnia telah terlepas dari genggamannya, Lingganata tidak
menduga sama sekali. Mukanya pucat pasi dan peluh dingin berbintik bintik keluar dari dahinya. Belum
pernah ia kehilangan senjata dalam bertanding hanya satu gebrakan saja. Sebagai perampok ulung,
nama Durgawangsa pernah menggetarkan daerah Sumedang sampai Indramayu. Tctapi dalam
menghadapi Indra Sambada, kini ia sama sekali tidak berdaya. Ia masih harus berterima kasih, bahwa
Indra Sambada tidak meneruskan dengan serangan pukulan mautnya. Namun perasaan benci dan
kemarahan kiranya lebih menguasai dirinya,
Cepat Durgawangsa bangkit dan meloncat selangkah kesamping dengan berteriak nyaring. — Kurung
rapat ! Dan tangkap bangsat pemberontak ini ! Berkata demikian ia melolos cambuk dari pinggangnya
sambil menerjang maju. Tujuh orang berpakaian punggawa praja meloncat datang dari ruang samping
dan mengurung Indra Sambada dengan bersenjatakan klewang dan tombak. Kini Indra Sambada
menghadapi delapan orang bersenjata lengkap menyerang secara serentak kearahnya. Seruan
melengking yang memekakkan telinga terdengar dengan disertai gerak loncatan menghindari serangan
yang datang bertubi-tubi. Ia meloncat kesamping kanan dan kiri dengan membagi-bagikan pukulan pada
penyerangnya dengan telapak tangan dan tendangan kakinya. Tiap kali tangan dan kakinya berkelebat,
scorang penyerang jatuh dengan jeritan yang mengerikan, Tetapi belum pula ada lima orang yang jatuh
tersungkur tak berdaya, telah datang lagi penyerang baru sepuluh orang, dan kesemuanya bersenjata
tajam.
Melihat datangnya penyerang yang bergelombang bertambah lagi. Indra Sambada menjadi sibuk
sekali. Gerakannya bertambah bersemangat laksana banteng mengamuk yang pantang menyerah. Pada
saat yang bersamaan didepan balai pengawalan, terdengar pula suara gaduh, bertempurnya seorang
pengemis tua melawan para pengawal. Pengemis tua yang tidak lain adalah Wirahadinata dengan
bersenjatakan tongkat bertanding lawan enam orang pengawal yang bersenjatakan klewang. Akan
tetapi keenam orang pengawal tersebut ternyata bukanlah tandingannya. Dalam waktu yang singkat
saja tiga pengawal diantaranya telah jatuh dengan kepala mengeluarkan darah karena pukulan tongkat
pengemis sakti. Sedang tiga orang pengawal lainnya terdesak tak dapat membalas menyerang, mereka
hanya berlompatan kesamping dan kebelakang untuk menghindari gerakan tongkat pengemis tua yang
sangat dahsyat, dan memusingkan kepala mereka.
Tongkat dahan kering ditangan Wirahadinata, sama bahayanya. dengan berkelebatnya tombak yang
tajam. Sebentar-sebentar tongkat berputar membuat peningnya kepala. dan sebentar-sebentar berobah
menjadi gerakan sodokkan ataupun sebentar dengan gerakan-gerakan loncatan mengejar lawan yang
sukar dihindari.
Seorang pengeroyoknya jatuh terlentang terkena sodokan tongkat tepat pada ulu hatinya. Dengan
jeritan ngeri tertahan pengawal tadi jatuh terkulai dan tak dapat bergerak lagi. Dengan tidak
menghiraukan dua orang pengawal yang mengeroyoknya yang sedang dihadapinya, Wirahadinata
menerjang langsung masuk dalam gelanggang pertempuran diruang pendapa yang berlangsung dengan
sengitnya. Tetapi belum juga Wirahadinata dapat masuk di-tengah-tengah kalangan, terdengar suara
yang sangat berpengaruh dari lndra Sambada memberikan perintah padanya: — Kyai Tunggul! Amankan
Bupati Prajaratmaka. Dan biarlah saya sendiri yang akan menghadapi gerombolan perampok ini ! ! ! ! ! .
— Secepat kilat Wirahadinata melesat menuju tempat dimana Bupati Prajaratmaka sedang duduk
gemetar dengan kedua belah tangannya menutupi mukanya.
Dengan tangkasnya Wirahadinata menyambar badan Prajaratmaka dengan tangan kiri dan
membawanya pergi kesebuah kamar dibelakang. Dua orang mengejar dan menyerang Wirahadinata dari
PENDEKAR MAJAPAHIT

arah belakang, sebelum ia dapat memasuki kamar.


Dengan tangan kanan memegang tongkat Wirahadinata terpaksa membalikan badannya untuk
melayani dua orang penyerangnya yang bersenjatakan klewang. Tiba - tiba empat orang berpakaian
tamtama Kerajaan berkelebat mendatang, dengan suatu loncatan yang mengagumkan dari tembok
belakang yang menjulang tinggi itu. Mereka adalah Tumenggung Cakrawirya, Lurah Durpada Lurah Jaka
Wulung dan Jaka Rimang. Dengan tidak memberi kesempatan pada kedua penyerang Wirahadinata,
Jaka Wulung mengajunkan tongkatnya yang tepat mengenai tengkuk para penyerang, dan tak ajal
mereka jatuh tersungkur dan tak dapat bergerak lagi. Tumenggung Cakrawirya dan Durpada langsung
menyerbu dengan bersenjatakan pedang tamtamanya membantu Indra Sambada yang sedang
bertempur menghadapi sembilan orang.
Tanpa bantuan Cakrawirya dan Durpada sesungguhnya Indra Sambada dapat menghadapi lawan-
lawannya dengan tidak terdesak, tetapi karena ia bertangan kosong, maka agak sukar untuk dalam
waktu yang singkat dapat menjatuhkan sembilan lawannya.
Cakrawirya dan Durpada dengan pedang tamtamanya, tak mau membuang-buang waktu lagi. Dalam
segebrakan dua orang penyerang telah berteriak ngeri, dan jatuh bergelimpangan karena tangannya
mmasing-masing terbabat kutung. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, para penyerang
menjadi kacau balau, dan berebut untuk melarikan diri, tetapi maksud ini selalu dapat digagalkan karena
berkelebatnya pedang ataupun tendangan yang tak dapat di-duga-duga menghadang dihadapannya.
Sementara itu Jaka Wulung dan Jaka Rimang telah pula menerjang dan menutup jalan keluar. Hanya
Lingganatalah yang masih tetap mengamuk dengan cambuknya yang panjang, sungguhpun, gerakan
cambuknya tak pernah mengenai sasarannya. Lima orang penyerang kini telah bergelimpangan mandi
darah, namun Lingganata masih terus mengamuk tidak mau menyerah. Melihat demikian ini
Tumenggung Cakrawirya semakin meluap marahnya. Dari samping kanan pedang tamtamanya
berkelebat tak mengenal ampun lagi, membabat leher Lingganata hingga putus seketika.

Darah menyembur dan kepalanya jatuh menggelinding dilantai. Indra Sambada yang bergerak untuk
mencegahnya ternyata telah terlambat. Tiga orang lainnya cepat-cepat membuang senjatanya mmasing-
masing dan mengangkat tangan dua-duanya keatas, tanda menyerah.
— Terima kasih kangmas Cakrawirya, — Indra Sambada mulai bicara — Sayang bahwa Durgawangsa
telah mati—, katanya melanjutkan.
— Maafkan dimas Indra. Saya telah kehilangan kesabaran melihat sikapnya yang kepala batu itu
Cakrawirya menjawab.
Sementara dua orang priyagung itu bercakap-cakap. Jaka Wulung dan Jaka Rimang membelenggu tiga
orang yang menyerah. Sedangkan Lurah Durpada membelenggu orang-orang yang masih pingsan tapi
tak terluka berat.
Kini lndra Sambada, Cakrawirya clan Kiai Tunggul berkumpul memeriksa Bupati Prajaratmaka yang
sedang duduk dengan muka pucat pasi dengan kepala tertunduk. Dari tanya jawab mereka mendapat
penjelasan bahwa, Prajaratmaka sebagai Bupati, sebenarnya telah dikuasai oleh para perampok
dibawah Durgawangsa dan kawan-kawannya selama lima tahun. Demi untuk mencari keselamatan
keluarganya. Prajaratmaka menyerah dalam cengkeraman para perampok tadi. Hal ini memang
beralasan, karena dua putranya yang kecil diculik dan hingga sekarang ini tak tahu bagaimana nasibnya.
Setiap waktu Bupati Prajaratmaka menentang tindakan para perampok, selalu diancamnya dengan akan
dibunuhnya kedua anaknya.
Maka menghadapi keadaan yang demikian ia tak dapat berdaya, dan hanya menyerah dalam
cengkeraman para penjahat. Dengan paksaan dan ancaman bupati Prajaratmaka terpaksa mengangkat
PENDEKAR MAJAPAHIT

para rampok menjadi punggawa praja. Sedangkan Patih Kabupaten Lingganata yang aslipun tidak
diketahui pula nasibnya. Mungkin juga ia telah dibunuh oleh para perampok keji yang diketahui oleh
Durgawangsa sendiri.
Dengan hilangnya Patih Lingganata, Durgawangsa memaksakan dirinya untuk diangkat menjadi
pengganti patih Lingganata dan untuk tidak mengeruhkan suasana, maka nama Lingganata dilintirnya
oleh Durgawangsa yang kini telah menjadi mayat.

Peraturan yang bersifat menindas rakyat, dikeluarkan atas desakan Durgawangsa. Para petani
diharuskan menyerahkan hasil panenannya sepertiga bagiannya, sedangkan sisanya yang akan dijualnya
dipasar masih pula dikenakan bea sebanyak seperempat bagian. Hasil dari pemerasan itu, Prajaratmaka
sedikitpun tidak turut mengenyamnya, dan mengalir seluruhnya kegudang-gudang Kepatihan untuk
kemudian dibagi-bagi dengan kawan-kawannya. Ini semua tidak diketahui oleh rakyat, mereka hanya
mengetahui bahwa Bupati Prajaratmaka yang diangkat oleh Kerajaan Majapahit adalah kejam sekali,
dan dikenal sebagai pemeras keringat rakyat yang tidak mengenal belas kasihan.
Dengan menangis tersedu srdu Bupati Praharatmaka minta belas kasihan untuk diampuni
kesalahannya yang hanya dkarenakan sifat-sifat kelemahan pada dirinya. Pun ia mohon dengan sangat,
agar sudi mencarikan kembali anak-anaknya yang diculik dan telah lima tahun berpisah dengan dirinya.
Dengan tidak diduganya menurut keerangan dari Saputra yang kini menjadi tawanan, dapat diketahui
bahwa kedua anaknya Prajaratmaka sebenarnya telah dibunuh oleh Daragawangsa kakaknya, pada
ampat tahun yang telah lalu.
Mendengar keterangan itu, Bupati Prajaratmaka seketika jatuh pingsan dan tak sadarkan diri untuk
beberapa saat lamanya. Cakrawirya dan Indra Sambada meng-geleng-gelengkan kepalanya, tidak akan
mengira bahwa ada manusia yang sedemikian kejamnya, Wirahadinata segera turut merasa duka akan
nasib Prajaratmaka yang tertimpa penuh dengan kemalangan itu. Ia sangat menyesal akan anggapannya
sebelumnya, bahwa ia sampai mengira Prajaratmaka adalah Bupati penggantinya yang kejam dan
menyalah gunakan kekuasaannya untuk menindas rakyat daerahnya. Sambil mengaso dan
merundingkan langkah-langkah selanjutnya, mereka mengaso di gedung Kabupaten Indramayu. Pada
hairi itu juga seekor burung merpati yang bawa oleh Sujud, dengan dikalungi sepucuk surat kecil dilepas
oleh lndra Sambada, sebagai laporan yang tertuju pada ke-hadapan Gusti Senapati Muda
Adityawardana.
Lima hari kemudian Tumenggung Sunata datang dengan dua ratus pasukan tamtama berkuda,
sementara tigaratus tamtama lainnya ditinggalkan di Banyumas sebagai pasukan cadangan.

Kota Indramayu kini bertambah ramai dengan datangnya para tamtama Kerajaan itu. Di-mana-
mana rakyat ber-kelompok-kelompok mempercakapkan penambahan tamtama pemerintahan daerah
dengan bermacam macam tafsiran.
Para Kuwu, Demang ataupun Lurah dipanggilnya semua, untuk menerima penjelasan dari Indra
Sambada, dengan pesan bahwa mereka harus tetap pada tugasnya mmasing-masing, akan tetapi tidak
diperbolehkan memeras rakyat lagi. Peraturan-peraturan yang memberatkan beban kehidupan rakyat
digantinya dengan peraturan yang lazim diperlakukan, dan untuk sementara menunggu ketentuan lain,
bekas Bupati Wirahadinata dengan di dampingi oleh Jaka Wulung ditugaskan sebagai pejabat Kepala
Daerah Kabupaten lndramayu.
Tigapuluh orang tamtama berkuda dikepalai oleh Lurah tamtama Jaka Rimang berangkat menuju ke
Banyumas untuk menyerahkan tawanan, dan kemudian secara berangkaipun tawanan itu supaya
dibawa ke Kota Raja untuk diadili. Bupati Prajaratmaka diperintahkan pula untuk mengikuti rombongan
PENDEKAR MAJAPAHIT

tamtama itu untuk menghadap langsung kehadapan Gusti Pangeran Pekik Manggala Nara Praja guna
memberikan laporan yang se-jelas-jelasnya.
Dua pekan lamanya Indra Sambada dan Cakrawirya berserta semua tamtama beristirahat di
Kabupaten Indramayu, sambil mengatur tamtama baru demi kesejahteraan rakyat daerah itu.
Sementara itu Jaka Rimang telah kembali lagi dengan pasukan pengiringnya.
Atas saran Tumenggung Cakrawirya yang mendapat persetujuan pala dari Tumenggung Sunata dan
Bupati Wirahadinata, Indra Sambada bermaksud mengadakan perundingan dengan para bekas Perwira
Pajajaran di Linggarjati sebuah desa yang terletak dilereng kaki Gunung Cerme. Sebagai utusan untuk
menyampaikan undangan itu ditunjuk Bupati Wirahadinata dengan didampingi Lurah tamtama Durpada
dan Lurah tamtama Jaka Rimang. Mereka bertiga segera berangkat berkuda menuju ke Sumedang untuk
menaiki Gunung Nyalindung tempat para bekas perwira Pajajaran bersarang. Jalannya menanjak melalui
tebing-tebing yang terjal dan berliku-liku. Sementara itu Jaka Wulung diserahi memegang tapuk
pemerintahan dengan kekuatan seratus tamtama pilihan.

Tumenggung Bupati Anom Tamtama Sunata dengan seratus orang tamtama lainnya mengantarkan
Indra Sambada dan Sujud serta Tumenggung Cakrawirya menuju ke Linggarjati. Mereka mengambil jalan
mclalui pantai utara menuju ke timur, untuk kemudian setelah tiba di Cerebon membelok kanan lurus
kearah selatan. Dengan meninggalkan sepuluh orang pasukan tamtamanya. Tumenggung Sunata setelah
tiba di Linggarjati meneruskan perjalanannya kembali ke Banyumas.
Linggarjati adalah merupakan dataran dilereng Gunung Cerme sebelah timur. Pemandangan alam
dari Linggarjati itu sangat indahnya. Memandang kesebelah utara tampak lembah luas membentang
yang sangat subur dengan sawah-sawahnya yang sedang menguning, dan lapat-lapat kelihatan pantai
laut utara kesebelah timur tampaklah kali Cisenggarung yang berliku liku dan bermuara dipantai utara
laut Jawa tanjung Losari, sedangkan kearah barat kelihatan tebing-tebing terjal menghijau ialah lereng-
lereng Gunung Cerme yang menjulang tinggi dan disebelah selatan merupakan tanah pegunungan yang
sambung menyambung membujur ke barat.
Hawanyapun sangat sejuk. Sebagai seorang perwira tamtama nara sandi, Tumenggung Cakrawirya selalu
bertindak sangat hati-hati dengan penuh rasa curiga. la menyarankan agar Indra Sambacla mengundang
para bekas tamtama Pajajaran di Linggarjati, dengan dua pokok pertimbangan.
Pertama adalah mendekati Banyumas, tempat dimana pasukan Sunata yang selalu dalam keadaan
siap siaga. Dan kedua mengkhawatirkan Indra Sambada terjebak ditangan para bekas Perwira tamtama
Pejajaran yang masih mempunyai dendam kesumat, apabila Indra Sambada langsung mendatangi di
Gunung Nyalindung. Sedangkan jika terjadi demikian, maka sulit baginya untuk metnberikan bantuan
dalam waktu singkat.
Setelah menantikan di Linggarjati dengan sabar, sebulan lamanya tiba-tiba dari arah kejauhan nampak
duapuluh ampat orang berkuda mendatangi. Debu mengepul tinggi dan suara ringkikan kuda terdengar
ber-saut-sautan. Mereka memacu kuda-nya dan berebut saling susul menyusul untuk mendahului
sampai ditempat yang dituju.

Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya berdiri ditempat yang agak tinggi mengawasi
rombongan orang-orang berkuda yang kian mendekat itu. Tetapi alangkah terkejutnya, setelah melihat
dengan saksama bahwa yang datang dalam rombongan itu tidak terdapat para utusannya.
Namun jelas, bahwa mereka adalah orang-orang bekas para perwira tamtama Pajajaran, dengan
melihat dari pakaiannya yang dikenakan. Indra Sambada dan Cakrawirya diam sesaat saling
berpandangan dengan mengerutkan keningnya masing-masing.
PENDEKAR MAJAPAHIT

— Melihat para pendatang berkuda itu hatiku merasa was-was, dimas Indra.— Cakrawirya berkata
membuka isi hatinya.
— Sayapun demikian halnya, kangmas Cakrawirya,— jawab Indra Sambada dengan masih
mengerutkan keningnya. — Sebaiknya kita bersikap tenang dan hati-hati kangmas.—
— Hendaknya para tamtama pengawal cepat bersembunyi disekitar tempat tni, sedangkan kita
berdua menyambut kedatangannya, — Cakrawirya memberikan saran dengan rasa penuh kecemasan.
Jud.— Indra Sambada memanggil Sujud. dan segera Sujud lari mendatangi. — Lekas kau panggil
salah seorang tamtama untuk menghadapku.—
Sesaat kemudian Sujud telah kembali dengan bersama salah seorang tamtama.
— Lekas perintahkan kawan-kawanmu semua untuk bersembunyi disekitar tempat ini, jangan jauh-
jauh, siapkan senjata masing-masing dan menunggu perintahku, nanti jika mendengar seruan dariku
atau dari Gustimu Tumenggung Cakrawirya jangan ragu ragu lagi seranglah para pendatang itu. — Indra
Sambada memberikan perintah dengan tegas serta sambil menunjuk kearah orang-orang berkuda yang
kian mendekat itu. — Sujud supaya disembunyikan pula.— perintahnya kemudian.
Tamtama dan Sujud cepat meninggalkan tempat itu, untuk kemudian ber-sama-sama sembilan
tamtama lainnya bersembunyi di-semak-semak sekitar rumah pesanggrahan darurat. Kini orang-orang
berkuda telah tiba didepan pasanggrahan.
Duapuluh orang pendatang itu segera berpencaran mengepung rumah pesanggrahan, sedangkan
empat orang diantaranya turun dari kudanya, dan langsung memasuki pesanggrahan, yang segera
disambutnya oleh Indra Sambada dau Cakrawirya, dengan sikap sopan dan tenang.

Tetapi dibalik ketenangan, kedua perwira itu tidak meninggalkan kewaspadaannya. Keempat orang itu
memakai pakaian seragam hitam dari sutra dengan gambar lukisan kepala harimau didadanya masing-
masing tersulam dari benang emas.
Tidak salah lagi bahwa orang yang tinggi besar berjalan didepan sendiri adalah Kertanatakusumah
atau terkenal dengan sebutan Kerta Gembong. Menyusul kemudian dibelakangnya seorang bertubuh
tinggi besar pula dengan berkumis dan berjenggot lebat, bernama Jaksa-kusuma. Kemudian seorang tua
kurus tinggi dengan mukanya yang penuh coretan bekas luka, ialah Elangkusuma dan orang yang
keempat bertubuh pendek kecil, dengan raut mukanya yang bersih dan sinar pandangannya yang tajam.
Ia bernama Gandakusuma. Ke-empat-empatnya ber-senjatakan pedang yang tergantung dipinggang kiri
dan sebuah golok pendek diselipkan dipinggang kanan agak menonjol kedepan. Melihat cara turun dari
pelana kudanya, sudah dapat diketahui bahwa keempat orang itu memiliki ketangkasan yang tak dapat
dipandang ringan. Tiga diantara duapuluh orang yang mengurung rumah pesanggrahan darurat itu
berdiri didepan pmtu dengan memakai jubah sutra berwarna abu-abu. Melihat bentuk tubuhnya dan
warna mukanya, mereka adalah tiga bersaudara, dan terkenal dengan nama gelarnya sebagai
parangjingga dari Gunung Guntur. Hal ini dikarenakan adanya tanda lukisan sebuah golok merah yang
tersulam didada diubahnya, dan memang mereka adalah orang-orang sakti dari Gunurig Guntur yang
waktu itu diminta bantuannya oleh Kartanatakusumah untuk membalas dendam membinasakan para
perwira tamtama yang berada di Linggarjati. Ketiga para berjubah abu-abu itu masing-masing
bersenjata, yang tertua memegang tongkat besi, sepanjang setengah depa dengan sebuah golok
panjang, yang kedua bersenjatakan dua batang golok pendek, sedangkan yang termuda bersenjatakan
kampak dan golok pendek yang terselip dipinggangnya kanan kiri.
— Wahai Tumenggung Indra Pendekar Majapahit. — Kertanatakusumah mulai bicara dengan
lantangnya: — Bukankah kita dahulu pernah bertemu dipinggir kali Bengawan?. — Suaranya terdengar
jelas menggetar, disertai daya kekuatan bathin yang cukup menegakkan bulu roma. Cepat Indra
PENDEKAR MAJAPAHIT

Sambada memusatkan tenaga bathinnya dengan menjawab tenang dan sambil bersenyum.
— Daya ingatan Tumenggung Kertanatakusumah memang kuat sekali. Benar dugaanmu. saya adalah
indra Sambada yang pernah bertemu denganmu didesa Trinil dahulu, — berkata demikian Indra
Sambada sengaja menyalurkan daya tenaganya yang telah terpusat itu melalui suaranya, dan terkejutlah
keempat orang yang berada dihadapannya, karena bajunya bergetar seperti tertiup angin kencang.-
— Tidak terduga, bahwa gelar Pendekar Majapahit bukan merupakan gelar yang kosong belaka.—
sahut Kertanatakusumah kembali dengan wajah merah padam menahan kemarahan, tetapi cepat ia
dapat menguasai kembali ketenangannya serta melanjutkan bicaranya : — Ketahuilah, demi untuk ber-
dirinya kembali Kerajaan Pajajaran, Tuan2 supaja menyerah sebagai tawanan kami.—
— Bedebah pemberontak!!. Kamu semua yang harus menyerah menjadi tawanan kami !! —
Cakrawirya dengan tak sabar membentak lantang, sambil menyerang dengan pedang tamtamanya
kearah leher Kertanatakusumah.
Keempat bekas perwira Pajajaran, serentak menyambut serangan dan sebentar kemudian telah
terjadi pertempuran yang sengit. Ternyata keempat lawannya memiliki pula ketangkasan yang tangguh.
Tiga orang berjubah abu-abu masih tetap berdiri dengan tenang dan mengawasi jalannya pertempuran
dengan acuh tak acuh. Seolah-olah mereka yakin, bahwa keempat orang kawannya segera dapat
merobohkan Indra Sambada dan Cakrawirja. Tetapi dugaan itu semakin lama semakin jauh dari
kenyataan. Kini pertandingan merupakan dua kalangan, Indra Sambada menghadapi Kertanatakusumah
dan Elangkukuma, sedangkan Tumenggung Cakrawirya menghadapi Jaksa-kusuma dengan
Gandakusuma.
Pedang ditangan lndra Sambada bergerak cepat seperti menarinya kup-kupu dan menyilaukan
pandangan mata yang melihatnya. Beradunya senjata sebentar. sebentar mengeluarkan percikan api
yang berpijar dengan diiringi suara gemerincingan nyaring.

Cakrawirapun menunjukkan ketangkasannya yang menakjubkan. Pedangnya dapat berputaran cepat


laksana perisai baja, untuk membatalkan semua serangan senjata yang datang kearahnya. Dan
kemudian dengan tidak ter-duga-duga berobah menjadi gerakan serangan tusukan dan babatan yang
sangat berbahaya.
Tetapi Gandakusuma yang pendek kecil itu memiliki ketangkasan yang tak kalah mengagumkan.
Gerakkannya sangat lincah, dan serangannya disertai tenaga yang dahsyat. Se-akan-akan merupakan
burung bersayap yang menyambar-nyambar mangsanya.
Sungguhpun Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya mmasing-masing melawan dua orang yang
tangguh, namun kelihatan masih tetap seimbang.
Kertanatakusumah yang telah mengenal kesaktian Indra Sambada, kini bertindak sangat berhati-hati
sekali, Ia tidak berani menyerang dengan tendangan, dan selalu menghindari beradunya gempuran
tenaga.
Tangan kanannya memegang pedang sedangkan yang tangan kiri memegang golok pendek. Sebentar
sebentar berloncatan dengan seruan nyaring yang diiringi dengan gerakan serangan memakai kedua
senjatanya.
Tetapi tiba-tiba Indra Sambada mengikuti berloncatan dengan serangan pedangnya yang lebih cepat
dan memusingkan kepala lawan.
Dengan tidak diketahui bagaimana caranya tiba-tiba Elang-kusuma menjerit ngeri dan melompat
surut kebelakang dengan sebuah lengannya terbabat kutung. Ia melesat lari meninggalkan gelanggang
dan jatuh terkulai dihalaman pesanggrahan dengan mandi darah.
Melihat robohnya Elangkusuma, seorang termuda yang berjubah abu-abu segera menerjang Indra
PENDEKAR MAJAPAHIT

Sambada dengan ajunan kampaknya, membantu Kertanatakusumah yang telah terdesak kesudut.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya senjata kampak dipapaknya dengan pedang Indra Sambad,
sambil berseru nyaring — Lepas senjatamu ……
Tak ayal lagi kampak terpental jatuh ditanah empat langkah jauhnya. Ternyata sewaktu pedang
berkelebat memapaki datangnya kampak Indra Sambada sempat pula melancarkan tendangan yang
tepat mengenai pergelangan tangan lawan yang memegang kampak.
Dua orang kakaknya yang berjubah abu-abu melihat kagum, bahwa kampak adiknya dalam satu
gebrakan dapat lepas dari genggaman dan terpental jatuh. Kedua-duanya segera ikut menyerbu Indra
Sambada dengan masing-masing senjatanya. Bersamaan dengan itu terdengar suara Cakrawirya
memerintah para tamtama — Serbu lawan semua ! 1 ! !. Sepuluh orang tamtama yang bersembunyi
berloncatan menerjang orang-orang yang mengurung pesanggrahan.
Kini pertempuran menjadi berkobar sengit seketika. Sungguhpun mereka tahu bahwa lawannya
memang dalam jumlah yang besar, akan tetapi para tamtama Kerajaan dengan gigihnya menerjang
lawan dengan bersembojan pantang menyerah.
Jika para tamtama rata-rata satu orang menghadapi dua orang lawan, demikian pula Tumenggung
Cakrawirya, maka Indra Sambada kini menghadapi empat orang lawan yang sangat tangguh-tangguh.
Kertanatakusumah yang tadi telah terdesak kesudut, kini dapat bergerak leluasa karena bantuan dari
tiga orang saudara parangjingga. Ternyata gerakan serangan keempat orang itu kini merupakan
serangan dengan silih berganti serta saling membantu dalam satu ikatan rasa.
Menghadapi serangan yang rapih itu, Indra Sambada merasa terdesak dan tak ada kesempatan untuk
membalas menyerang.
Dalam hatinya ia kagum akan gerakan lawannya yang ternyata merupakan gerakan persamaan
seirama.
Demi melihat Tumenggung Cakrawirya dapat mendesak dua orang lawannya yang tangguh itu, Indra
Sambada semangat tempurnya menjadi bertambah. Dalam saat yang sangat terdesak itu, Indra
Sambada dengan ketenangannya masih sempat pula menghindari serangan-serangan sambil
melancarkan serangan balasan sekedar untuk mengacau kedudukan lawan.
Diluar pesanggrahan pertempuran tak kalah sengitnya. Suara jeritan mengerikan susul menyusul
terdengar dengan diiringi suara jatuhnya para korban yang bergelimpangan. Seorang tamtama Kerajaan
dengan tangkasnya melesat naik kuda dengan membawa Sujud serta memacu kudanya kearah Timur
dengan tujuan kembali ke Banyumas untuk melapor kepada Tumenggung Sunata.

Sambil memacu kudanya tamtama itu memutar pedangnya dibelakang punggungnya sebagai perisai
untuk menangkis serangan lima batang anak panah yang melesat mendatang. Untunglah bahwa satu
batang anak panahpun tidak melukainya, akan tetapi tetapi karena terkejutnya seekor burung merpati
terlepas dari genggaman Sujud dan terbang tinggi menghilang kearah timur.
Dengan menangis tersedu-sedu, Sujud menyesali akan kecerobohan tindakannya itu. Ia selalu ingat
akan pesan Indra Sambada. bahwa burung merpati itu jangan dilepaskan jika tanpa ijinnya. Tidak henti-
hentinya si tamtama berkata menghiburnya, bahwa perbualan yang telah terlanjur tidak perlu disesali
lagi. Dan atas kesalahannya itu iapun akan turut bertanggung jawab.
Waktu itu pertempuran masih berlangsung terus dengan serunya. Tiba-tiba empat orang Pajajaran
dapat menerobos masuk dalam pesanggrahan dan langsung menyerang Tumenggung Cakrawirya yang
sedang mendesak kedua lawannya. Serangan gencar yang akan mematikan lawannya itu, segera
ditariknya kembali, untuk menangkis dan menghindari datangnya serangan empat orang yang tiba-tiba.
Tumenggung Cakrawirya menjadi sibuk dan berloncatan kian kemari, untuk menghindari serangan yang
PENDEKAR MAJAPAHIT

dahsyat dari enam orang lawan sekaligus. Semakin lama Tumenggung Cakrawirya semakin terdesak, dan
bahkan dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Dua senjata pedang menyerang merangsang kearah lehernya, dan tiga golok pendek menyambar
kearah pahanya masih pula disusul berkelebatnya pedang yang langsung menerjang dari atas kearah
kepalanya.
Melihat Tumenggung Cakrawirja dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, Indra Sambada
mengerahkan seluruh tenaganya. Dengan berseru nyaring yang memekakkan telinga, ia meloncat tinggi
menghindari serangan yang datang ber-tubi-tubi kearahnya, menerjang para penyerang Tumenggung
Cakrawirya dengan sabetan pedang berangkai.
Serangan maut yang tiba-tiba itu tak diduga sama sekali oleh para penyerang Tumenggung
Cakrawirya. Sebuah pedang dan dua buah batang golok lawan terpental dan jatuh gemerincingan di
tanah, disusul dengan suara jeritan ngeri dari Jaksakusuma yang jatuh terkapar ditanah dengan
pundaknya bermandikan darah, terkena sabetan pedang Indra Sambada.
Akan tetapi sebelum Indra Sambada berpijak ditanah kembali sebatang golok pendek beracun
berkelebat dan menancap dipunggung lndra Sambada. Itulah lemparan dahsyat dari seorang tertua
parangjingga Gunung Guntur yang terkenal memiliki kesaktian tangguh.
Tetapi dengan pengerahan tenaga yang telah terpusat itu, Indra Sambada dengan golok tertancap di
pundak kirinya, masih dapat melancarkan serangan rangkaiannya dengan satu tusukan pedang yang
tepat mengenai dada Gandakusuma, yang kemudian jatuh terkulai ditanah dan tidak dapat berkutik lagi.
Tetapi bersamaan dengan robohnya Gandakusuma, sebuah tongkat besi berkelebat kearah
pinggangnya dengan mengeluarkan angin pukulan yang dahsyat. Indra Sambada berseru melesat tinggi
surut kebelakang menghindari sabetan tongkat besi yang hampir menyentuh pinggangnya itu, sambil
merogoh sebutir pel pemunah racun yang berada dalam kantongnya untuk kemudian ditelannya.
Hal ini dilakukan, karena pundaknya terasa pedih dan tangan kirinya mulai tak dapat digerakkan.
Akan tetapi perbuatan itu justru menghambat gerakannya dalam menghindari serangan yang bertubi-
tubi itu. Kembali Kertanatakusumah merangsang dengan sabetan goloknya yang tepat mengenai paha
kanan Indra Sambada dan susulan sabetan tongkat besi dari parangjingga tertua bersarang dibetisnya.
Dengan suara tertahan, Indra Sambada roboh terguling ditanah.
Waktu itu hari telah mulai gelap remang-remang dan senja baru saja berlalu. Sesaat kemudian
menyusul robohnya Tumenggung Cakrawirya dengan lengan kanan terluka dan pedangnya terpental
jatuh sejauh lima langkah. Bersamaan dengan robohnya Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya,
tiba-tiba empat bayangan berkelebat terjun dalam kancah pertempuran.
Dua diantaranya dengan tangkas menyambar tubuh Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya
untuk kemudian menyelinap dikegelapan, sedangkan dua orang lagi dengan bersenjatakan tongkat
penjalin mengamuk menerjang para penyerang yang datang bergelombang silih berganti.
Itulah Watangan dan Landejan yang diperintahkan oleh Kjai Wiku Sepuh untuk menyusul perjalanan
Indra Sambada. Sedangkan dua bayangan yang menyelamatkan lndra Sambada dan Tumenggung
Cakrawirya adalah Waspada Paniling dan Wasangka Pandulu, sesepuh pamong murid dari padepokan
lereng Gunung Sumbing. Kini dihalaman lebih dari sepuluh orang bergelimpangan menjadi mayat, belum
terhitung yang merintih-rintih karena luka berat.
Sewaktu Watangan dan, Landejan bertempur mati-matian untuk menghadapi lawan yang jauh tak
seimbang jumlahnya, kini datang bayangan berloncatan menyerbu membantunya. Ternyata mereka
adalah Wirahadinata, Jaka Rimang Lurah Durpada dan para perwira Pajajaran serta tokoh-tokoh rakyat
Pajajaran yang datang untuk memenuhi undangan Indra Sambada.
PENDEKAR MAJAPAHIT

Satu bentakan yang nyaring dan berpengaruh menggema memekakkan telinga, memaksa
berhentinya pertempuran seketika.
— Berhenti ! ! I ! Dan tahan senjata —
Suara itu demikian dahsyat pengaruhnya, sehingga dengan tidak terasa semua melepaskan senjatanya
mmasing-masing, dan bergemerincingan jatuh ditanah. Syaraf-syaraf yang tadinya tegang dirasakan
lemah dan mengendur. Semua orang yang tadi bertempur dengan sengit kini tidak berdaya, dan hanya
berdiri dengan mulut ternganga memandang kesatu jurusan kearah datangnya suara. Dengan tidak
diketahui datangnya, seorang berjubah kuning keemasan telah berdiri diambang pintu dengan seekor
harimau kumbang yang besar disampingnya.
— Hai …… Kesatrya-kesatrya Pajadiaran —. nada suaranya berat dan berpengaruh namun kata demi
kata terdengar jelas dan suaranya mendatangkan rasa ketenangan.
— Demi tergalangnya persatuan se Nuswantara, aku harap para ksatrya Pajajaran segera mentaati
akan perintah-perintah Tumenggung lndra Sambada Pendekar Majapahit yang bijaksana itu. Ketahuilah
hahwa kita semua rakiat Pajajaran ataupun rakyat Majapahit adalith satu ketu-runan. Lenyapkan rasa
permusuhan, dan bersatulah dibawah naungan satu Iambang kebesaran Sang Gula Klapa. Dalam abad-
abad yang akan datang, aku percaya bahwa para ksatrya Pajajaran akan menurunkan pahlawan-
pahlawan Nuswantara yang dituliskan dengan tinta emas dalam sejarah ……. Taatilah pesanku ini ……
Datangnya Pendekar Majapahit ini adalah lambang tergalangnya persatuan kembali. Sambutlah dia
sebagai pahlawan pengemban amanat penderitaan rakyat. — Ber-kata demikian beliau menunjuk
kearah datangnya dua orang yang membimbing Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya. Semua
orang berpaling kearah ,yang ditunjuk olch beliau. Dan pada saat itulah beliau dengan harimau
kumbangnya melesat dikegelapan, lenyap dari pandangan tidak berbekas. Seakan - akan beliau dapat
menghilang dengan kesaktiannya.
Hanya suara mengaumnya harimau terdengar dari kejauhan:
Inilah pendeta tertua dari Pajajaran yang bergelar Ajengan Cahaya Buana, dan bersemayam disebuah
goa di Gunung Tangkubanprahu. Tak seorangpun mengetahui nama aslinya. Harimau kumbang
peliharaannya tak pernah berpisah dengannya, dimanapun beliau berada. Orang banyak hanya
mendengar nama dan mengenyam jasa-jasanya, namun jarang yang pernah melihat wajahnya. Beliau
terkenal sebagai seorang pertapa sakti yang selalu mendatangkan kesejahteraan dan ketenteraman.
Banyak dongengan rakyat tentang Ajengan Cahaya Buana ini dengan tambahan tafsiran yang ber-
macam-macam coraknya. Ada yang menceritakan, bahwa beliau adalah pertapa sakti yang dapat
menghilang dan ada pula yang menceritakan bahwa Ajengan Cahaya Buana adalah keturunan dewa dan
harimau kumbangnya adalah jelmaan dari seorang pertapa pula. Bahkan ada dongengan rakyat yang
menceritakan bahwa pertapa sakti itu sebenarnya telah wafat, sedangkan sekarang yang masih ada
yalah rohnya saja. Namun semua cerita itu tidak ada yang benar. Kenyataannya adalah bahwa Ajengan
Cahaya Buana adalah pertapa shakti dengan piaraannya harimau kumbang yang setia, dan beliau adalah
pecinta kedamaian serta pencinta kesejahteraan rakyat tanpa pamrih, dan sebagai seorang pertapa yang
menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, mengejar kemulyaan abadi.

Kini mereka semua merasa seperti terhisap tenaganya, dan tanpa diperintah semua membungkukkan
badannya menyambut datangnya Indra Sambada.
Dikala itu malam bulan purnama. Langi t cerah dan bulan memancarkan cahayanya menerangi
remang-remang seluruh alam dan malampun kemudian menjadi pagi…….
Para bekas perwira tamtama Pajajaran dan Narapraja serta tokoh-tokoh rakyat Pajajaran barsatu padu
menunggu suara keputusan Indra Sambada.
PENDEKAR MAJAPAHIT

Mereka semua duduk berjajar dalam pertemuan yang sangat akrab.


Sementara itu orang-orang yang terluka dirawat dan di obati seperlunya, sedangkan jenazah-jenazah
yang bergelimpangan telah pula dirawat dan dikubur dengan upacara selajaknya. Mereka gugur sebagai
ksatrya semua, dalam mempertahan-kan pendmannyl. Lawan ataupun kawan akan tetap menghargai
kepahlawanan mereka…….

— Kini saya telah banyak mengetahui tentang daerah Pajajaran dengan rakyatnya yang sebenarnya,—
Indra Sambada mulai membuka pertemuan.
— Ketahuilah, Tuan2, bahwa tidak ada lagi yang saya salahkan, dan tidak ada lagi yang saya sesalkan
atas kejadian-kejadian yang telah berselang. Semua itu hanya terdorong oleh nafsu mempertahankan
pendirian mmasing-masing yang tak dipertimbangkan lebih jauh. Tapi saya percaya, bahwa Tuan-tuan
semua adalah pencinta tanah tumpah darah. Sebagaimana dijelaskan oleh Ajengan Cahaya Buana, kita
semua adalah satu keturunan dan merupakan satu bangsa. Tanah air kita bukan hanya merupakan
sebidang halaman dan rumah dimana kita mmasing-masing dilahirKan, akan tetapi se Nuswantara, —
sampai disini Indra Sambada berhenti sejenak dengan memandang tajam, menyapu wajah hadirin
samua. Suaranya tenang, penuh dengan perbawa. Semua menundukkan kepalanya dan mendengarkan
dengan khikmad. — Tuan-tuan, saya sebagai Manggala Muda Tamtama Kerajaan, menjunjung titah
Gustiku Senapati Manggala Yudha, untuk memadamkan kerusuhan-kerusuhan yang timbul, demi
tercapainya persatuan se Nuswantara. Apabila kita semua bersatu padu, maka ketentraman dan
kesejahteraan rakyat akan terwujud.

Kita dapat bersatu padu, apabila kita semua membuang jauh-jauh sifat ke akuan, dan sifat kesukuan.
Kita semua adalah satu keturunan dalam satu pimipinan Kerajaan ialah Kerajaan Majapahit dibawah
naungan satu lambang keagungan, ialah bendera Gula Klapa. Ketahuilah Tuan-tuan, bahwa apabila kita
terpecah-belah bercerai-berai, maka bangsa kulit kuning akan mudah mencengkeram kita, untuk
kemudian menindas dan memusnahkan kita. Bahaya kulit kuning selalu mengancam, dan menunggu
kelengahan kita. Hanya persatuanlah yang merupakan perisai Negara yang terkuat.
Maka marilah Tuan2 ber-sama-sama kami, mencurahkan jiwa raga kita untuk terwujudnya, persatuan
se Nuswantara sebagai pengabdi Kerajaan Majapahit yang setia. Amalkan kesaktian Tuan-tuan untuk
mempertahankan tanah air yang luas ini dan mempertahankan lambang kebesaran kita Sang Gula Klapa.
Semua hadirin diam tertunduk, dan tidak seorangpun membantah keterangan Indra Sambada
sebagai pengemban titah Kerajaan.
Dengan persetujuan para hadlirin semua, Indra Sambada berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang
ada padanya mengangkat Wirahadinata dan para bekas narapraja serta tokoh-tokoh rakyat Pajajaran
yang telah menunjukkan kesetiaannya, serta mengucapkan sumpah setia terhadap kerajaan Agung
Majapahit, menjadi punggawa narapraja ditempat asing-masing. Sedangkan para bekas perwira
tamtama Pajajaran yang menyatakan setianya, akan dihadapkan kehadapan Gusti Senapati Manggala
Yudha Harya Banendra. Dengan demikian, maka bekas Kerajaan Pajajaran menjadi daerah bagian dari
pada Kerajaan Agung Majapahit, dan sejarahnyapun selanjutnya akan mengikuti perkembangan
Kerajaan Majapahit.
Semua merasa puas akan keputusan yang tegas dan bijaksana yang digariskan oleh Indra Sambada.
Dengan membayangkan hidup rukun damai sejahtera di-tengah-tengah keluarga masing-masing yang
segera mendatang, menggerakkan rasa gembira, penuh keharuan. Semua segera bersemadi,
sembahyang dalam pimpinan Indra Sambada, untuk mengucapkan rasa terima kasih kehadapan Tuhan
PENDEKAR MAJAPAHIT

Yang Maha Kuasa atas kemurahanNya yang dilimpahkan. Dan hari itu dirayakan dengan pesta
sederhana.

Dengan akrabnya mereka ber-cakap-cakap, menceritakan pengalaman asing-masing, sambil


menikmati hidangan pesta yang dihadapi. Suasana menjadi gembira ria. Ternyata Indra Sambada dan
Tumenggung Cakrawirja telah sembuh kembali, karena mujarabnya obat-obat yang diberikan oleh
Waspada Partiling dan Pandulu serta pengobataan dari Wirahadinata. Pun racun yang merangsang pada
tubuh Indra Sambada telah punah semua, karena mujarabnya pel pamunah racun yang dibekalnya
sendiri, hasil pemberian dari Cek Sin Cu yang tinggal sebutir itu, dan kini telah ditelannya sendiri.
Selagi mereka tenggelam dalam bersukaria, dari arah kejauhan kelihatan pasukan tamtama Kerajaan
berkuda mendatang.
Semakin lama semakin dekat, dan kini nampak jelas, bahwa yang berada didepan sendiri adalah
Tumenggung Sunata dengan Sujud, di apit-apit oleh dua tamtama kerkuda dengan membawa panji-panji
kebesaran.
Indra Sambada segera memerintahkan Jaka Rimang dan lima orang tamtama berkuda mcnyambut
kedatangan Tumenggung Sunata berserta pasukannya. Indra Sambada dan Tumenggung Cakrawirya
berdiri diketinggian dengan melambaikan tangannya.
Daerah yang selalu sunyi sepi, kini berubah menjadi sangat ramai, penuh dengan tamtama berserta
para priyagung. Mereka semua segera turut serta berpesta pora. Setelah berjumpa kembali dengan
Indra Sambada, serta diketahui bahwa ia dalam keadaan sehat wal'afiat serta gembira. Sujud menari-
nari dengan penuh kegembiraan. Ia selalu duduk berdekatan dengan Indra Sambada, seakan-akan tidak
mau berpisah lagi.
Tumenggung Sunata turut pula bersuka ria, dan tidak henti-hentinya ia memuji akan keberanian dan
kebijaksanaan lndra Samhada dan Tumenggung Cakrawirya. Untuk merayakan hari yang bahagia itu
semua akan tinggal di Linggarjati tiga hari lagi, sambil menunggu sembuhnya para tamtama yang
terluka. Belum juga tiga hari berialu, pasukan besar dari Kerajaan yang dipimpin sendiri oleh Gusti
Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Adityawardhana datang berkunjung ke Linggarjati.
Semua menyambut kedatangannya dengan ter-gopoh-gopoh karena kedatangan beliau berserta
pasukan adalah diluar dugaan.
Kiranya setelah burung merpati yang terlepas dari genggaman tangan Sujud itu tiba di Istana
Senapaten, tanpa membawa berita sedikitpun, Gusti Adityawardhana me-raba-raba dengan penuh
kecemasan akan nasib Indra Sambada ber sama-sama kawan-kawannya. Beliau segera berangkat
dengan membawa pasukan besar dengan panji-panji atas perintah Gusti Senapati Harya Banendra untuk
menghadapi segala kemungkinan. Amanat Gusti Senapati Manggala Yudha Harya Banendra tegas —
Demi tercapainya persatuan dan ketenteraman es Nuswantara, jika di pandang perlu, ujung pedang
harus turut berbicara. Berdasarkan amanat itulah, beliau membawa pasukan berkuda berkekuatan 1000
orang tamtama, dengan membawa perbekalan yang Iengkap.
Demi melihat hasil Indra Sambada yang gilang gemilang itu, beliau turut ketawa lebar. Dengan
bangga Indra Sambada di sanjung sanjung dan ditepuk tepuk bahunya.
Pesta yang semula hanya dilakukan secara sederhana itu, mendadak sontak berubah menjadi pesta
pora yang besar. Tenda-tenda dipasang, perbekalan-perbekalan diturunkan untuk melengkapi pesta
pora yang besar itu. Panji berkibar diatas perkemahan tenda-tenda dengan megahnya. Dalam pesta pora
itu beliau berdasarkan wewenang penuh, berkenan pula mcngangkat syah para bekas perwira tamtama
Pajajaran menjadi perwira tamtama Kerajaan menurut tingkatan asing-masing dengan disesuaikan
berdasarkan kecakapan dan pengalaman.
PENDEKAR MAJAPAHIT

Pesta ditutup. Tenda-tenda dilipat.


Para narapraja yang baru diangkat oleh Sambada menyembah kehadapan Gusti Adityawardhana
Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja, untuk mohon diri dan mohon doa restunya dalam
menunaikan tugasnya asing-masing. Setelah mereka berpamitan dengan para priyagung semua, mereka
berangkat bersimpang jalan menuju arah daerahnya asing-masing.
Kecuali Wirahadinata yang bermaksud akan ke Ngawi terlebih dahulu untuk memboyong istrinya ke
Indramaju, ia diperkenankan turut serta dalam rombongan pasukan besar sampai dikali Bengawan.

Para tatama telah siap duduk dipclana kudanya masing-masing. Tumenggung Tamtama Sunata
memberikan aba-aba. Genderang dipukul bertalu-talu, dan pasukan besar berkuda mulai bergerak
meninggalkan Linggarjati menuju kearah timur. Panji-panji kebesaran tamtama Kerajaan Agung
Majapahit berkibar-kibar dengan megahnya dibawa oleh empat orang tamtama berkuda yang berjalan
didepan sendiri, mengapit-apit Sang Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja Gusti
Adityawardhana. Dibelakangnya menyusul tiga penunggang kuda berjajar, ialah Tumenggung Sunata,
Tumenggung Indra Sambada dengan Sujud dan Tumenggung Cakrawirya. Kemudian menyusul lagi
berjajar berkuda, para perwira tamtama yang baru diangkat. Dan terakhir pasukan besar tamtama
berkuda laksana air bah. Semua mengenakan pakaian kebesaran dengan tanda dan warnanya masing
menurut tingkatan dan kesatuannya.
Rakyat berduyun duyun datang menyambut dengan sorak sorai disepanjang jalan yang dilalui, dengan
rasa bangga akan pasukan besar Kerajaan Agung Majapahit. Mereka melambai-lambaikan tangannya
dan mengawasi dengan penuh kekaguman sampai dikejauhan. Sang Senapati berserta para perwira
tamiama membalas melambaikan tangan pula kepada rakyat yang berjejal-jejal berdiri di-pinggir-pinggir
jalan.

**

Bertepatan dengan datangnya kembali Gusti Adityawardhana beserta Para Priyagung tamtama kerajaan
Agung Majapahit dengan pasukan pengiringnya, Gusti Patih Mangkubumi Gajah Mada telah mangkat ,
sebagai Pahlawan Kusuma Bangsa se Nuswantara, (th. 1364 ). Nama beliau harum semerbak memenuhi
angkasa se Nuswantara, ya ……. bahkan menghambar keseluruh dunia, dan dikenang sepanjang masa
sebagai suri tauladan bagi semua umat manusia.
Kerajaan Agung Majapahit kehilangan seorang Putra yang Besar. Namun semua itu adalah kehendak
Tuhan yang Maha Kuasa.
Manusia berhak berkabung dan menyesali, akan tetapi tidak kuasa menentang akan KehendakNya.
Tuhan adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang terhadap semua umatNya.

Kehilangan seorang Putra Nuswantara yang besar tak perlu disesalkan. Patah tumbuh hilang
berganti. Pahlawan-pahlawan Bangsa menyusul akan lahir, seperti tumbuhnya cendawan dimusim
hujan.
Selama seratus hari Kerajaan Agung Majapahit berserta rakyat se Nuswantara dalam suasana
berkabung. Dengan mangkatnya Sang Patih Mangkubumi Gajah Mada susunan serta pemerintahan
Kerajaan Majapahit, mengalami perobahan dan pergeseran. Gajah Enggon diangkat menjadi Patih
sebagai pengganti Sang Patih Gajah Mada. Gusti Harya Banendra diangkat sebagai penasehat Agung Sri
Baginda Maha Raja, sedangkan Gusti Adityawardhana diangkat menjadi Manggala Yudha Kerajaan
Agung Majapahit menggantikan Gusti Senapati Harya Banendra.
PENDEKAR MAJAPAHIT

Indra Sambada diangkat menjadi Senapati Muda Manggala Tamtama Pengawal Raja, menggantikan
kedudukan Gusti Adityawardhana, dengan didampingi oleh Gusti Tumenggung Manggala Muda
Tamtama pengawal Raja Tumenggung Cakrawirya sebagai wakilnya.

**

Sebagai seorang kesatrya yang selalu ingat akan menepati janjinya, Gusti Senapati Muda Manggala
Tamtama Pengawal Raja, pada suatu hari berkenan berkunjung ke hutan Wonogiri dengan dikawal oleh
Lurah tamtama Jaka Wulung dan Jaka Rimang.
Beliau turun dari kudanya, dikawal oleh kedua lurah tamtama, dengan bersenyum lebar, setelah
melihat penyambutan yang meriah dari Tambakraga berserta anak buahnya yang telah sejak pagi buta
menantikan kedatangannya. Kyai Pandan Gede tak ketinggalan, telah hadir pula dalam penyambutan
itu. Hal itu adalah tepat satu tahun berselang, sewaktu ketiga orang shakti itu bcrtemu dilereng Gunung
Sumbing.
Yang Baskara masih duduk disinggasana dengan tenangnya, ditimur sejauh mata memandang dan
telah naik segalah tingginya diatas permukaan bumi, menunjukkan bahwa hari masih pagi. Langit biru
membentang bersih dan angin berlalu menampar pohon-pohon rindang yang menghamburkan daun-
daun kering berterbangan untuk kemudian jatuh ketanah. Sinar matahari memancar cerah, dan
membuat bayangan-bayangan hitam ditanah, melukiskan benda-benda yang tertimpa oleh cahayanya.

Hutan Wonogiri adalah lembah hutan lebat, yang luas antara kali Bengawan disebelah timur dan kali
Dengkeng disebelah barat, sedangkan disebelah utara adalah titik perpaduan kedua sungai itu yang
merupakan kali tempuran, mengalir menjadi satu menunjukkan kali Bengawan yang besar.
Disebelah selatan adalah tanah dataran tinggi yang membujur mengikuti mengalirnya kali Oya.
Gunung Lawu nampak berdiri tegak ditimur sebelah utara, laksana Yaksa yang sedang duduk bersila,
menengadah pancaran sinarnya matahari.
Tidak seorangpun akan mengira bahwa di-tengah-tengah hutan belukar itu, terdapat sebuah gua
yang luas tak ubahnya seperti bangunan rumah gedung besar yang berada dibawah tanah.
Dengan diikuti oleh semua anak buahnya, Tambakraga berturut-turut berlutut menyembah sewaktu
menyambut kedatangannya lndra Sambada.
— Kami merasa bahagia akan kunjungan Gustiku Senapati dihutan Wonogiri ini,— berkata demikian
Tambakraga melepaskan sembahnya, sambil mengerahkan tenaga saktinya yang disalurkan ketelapak
tangannya dan mengeluarkan angin dorongan kearah Indra Sambada yang sedang berdiri tegak. Indra
Sambada tertegun sesaat, dan cepat mengerahkan pesatan tenaga dalamnya untuk menghadapi dan
menghisap lenyap datangnya tenaga dorongan tadi, sambil berkata dengan diiringi senyuman lirih.
— Kedatanganku, bermaksud mengunjungi sahabat karibku yang bernama Tambakraga.—
Dengan lenyapnya tenaga dorongan kiranya tenaga penghisap masih bersisa, dan merupakan daya
tarik, sehingga Tambakraga tertunduk sedikit karenanya. Tambakraga terkejut dan bulu tengkuknya
berdiri, setelah menyaksikan sendiri akan kesaktian lndra Sambada yang ternyata lebih tinggi dari
padanya.
— Gustiku Senapati adalah ksatrya sejati, dan pantas menjadi junjungan kami, tetapi Tambakraga
hanya berupa tonggak-tonggak kering di-tengah-tengah hutan belukar tanpa arti,— Tambakraga
menjawab dengan amat merendah.
Kyai Pandan Gede memejamkan matanya sesaat sambil bersenyum, menyaksikan pertemuan kedua
PENDEKAR MAJAPAHIT

orang sakti itu. Seakan-akan ia mengucap syukur kehadapan Dewata Yang Maha Agung, bahwa
pertemuan kali ini tidak bersifat permusuhan.

Jaka Wulung dan Jaka Rimang, berlutut pula dihadapan Kyai Pandan Gede, sebagaimana lazimnya
seorang murid yang menghormat gurunya. Tiga orang sakti kini bertemu dalam suasana yang akrab,
saling hormat menghormati, didalam ruangan yang luas serta indah disebuah gua dihutan
— Sekedar memenuhi janji kita setahun yang telah lampau, tentunya Gustiku Senapati dan kakang
Pandan Gede tidak berkeberatan untuk kita saling menghidangkan pertunjukan yang dapat kita nikmati
bersama dalam pertemuan ini.
Tambakraga berkata tenang dengan bersenyum riang, sambil melanjutkan bicaranya. — Marilah, kita
keluar sebentar, untuk pindah tempat duduk ber-cakap-cakap didepan gua sambil menghirup hawa yang
sejuk, Berkata demikian Tambakraga mendahului bangkit berdiri dan melangkah keluar, ikuti oleh Indra
Sambada, Kyai Pandan Gede dan Jaka Rimang serta Jaka Wulung. Pandan Gede dan Indra Sambada
saling berpandangan dengan mengerutkan keningnya asing-masing karena tidak mengetahui apa yang
dikehendaki oleh Tambakraga namun mereka terus berjalan inengikuti dibelakang Tambakraga.
Ternyata didepan gua telah pula digelari tikar babut permadani diatas tanah yang tak beratap itu,
lengkap dengan hidangan makanan clan minuman seria buah-buahan segar. Tambakraga segera
mempersilahkan para tamunya untuk mengambil tempat duduk masing-masing serta kemudian
memanggil seorang muridnya. — Suta, ambilkan nampan yang telah berada dikamarku ……—
Perintahnya.
Sejenak kemudian Suta datang menghadap dan menyerahkan sebuah nampan yang berisikan enam
buah pisau belati yang sama bentuknya dan besarnya, asing-masing sepanjang satu jengkal. Nampan
diterima oleh Tambakraga dan diletakkan ditengah-tengah para tamu.
— Adi Tambakraga, — Pandan Gede bertanya dengan tidak sabar — Apa maksudmu, adi menjamu
kita dengan alat-alat yang tidak menyedapkan. pandangan ini ?—
Jangan kakang salah faham, — Tambakraga menjawab tenang — Kali Ini aku ingin menghidangkan
suatu pertunjukkan untuk menghormat Gustiku Senapati dan kakang Pandan Gede sendiri, tetapi
setelah itu sayapun ingin melihat pertunjukan dari Gustiku Senapati dan dari kakang Pandan
PENDEKAR MAJAPAHIT

Gede sendiri sebagai hidangan yang akan kukenang sepanjang masa hidupku —
Berkata demikian Tambakraga mengambil sebilah pisau belati untuk di timang -timang sambil duduk
bersila. Kemudian pisau belati dilemparkan kearah sebuah batu sebesar padasan yang berada
PENDEKAR MAJAPAHIT

didepannya antara jarak duapuluh langkah. Pisau belati melesat dari tangan Tambakraga dan tertancap
setengah jengkal dalamnya dibatu yang besar itu, dengan tangkainya masih bergetar. Semua yang
menyaksikan tertegun kagum memuji kehebatan Tambakraga dalam mengeluarkan kesaktiannya.
Belum juga lenyap rasa herannya, Tambakraga mengulangi lagi lemparannya dengan sebatang pisau
belati yang kedua. Dan pisau itu menancap tepat dibawah pisau belati yang pertama sedalam setengah
jengkal pula, dan merupakan suatu garis lurus dari atas kebawah. Hanya terdapat retak sedikit karena
kerasnya benda yang menjadi sasaran. Apabila sasarannya itu kayu ataupun pohon, mungkin tidak akan
begitu mengagumkan.
Kyai Pandan Gede dan Indra Sambada ketawa memuji setelah menyaksikan akan pertunjukkan yang
mentakjubkan itu.
— Kakang Pandan Gede jangan mentertawakan pertunjukkanku yang dangkal ini, — Tambakraga
berkata merendah —Dan sekarang giliran kakang untuk memulai menyuguh kami. ---
Ach……….. adi Tambakraga, memang benar-benar orang yang berkeras hati. —
Pandan Gede menjawab dengan ketawa nyaring.
— Bagus, bagus …… bagus …… aku tidak akan berani menggurat diatas guratanmu, — berkata
demikian Kyai Pandan Gede cepat meraih sebuah pisau belati yang dihadapannya, dan dengan
tangkasnya sambil duduk bersila melemparkan pisau belatinya kearah batu besar itu. Dengan cepatnya
pisau belati menancap dibawah pisau belatinya Tambakraga, dan merupakan bentuk garis lurus
menyambung goretan diatasnyapun tangkainya kelihatan serempak dengan kedua tangkainya yang lain.
Pandan Gede melemparkan sekali lagi sebuah pisau belati yang kedua dan tertancap setengah jengkal
dalamnya tepat dibawah pisau yang pertama, tetapi jelas bahwa sedikit keretakan dalam goretan tidak
tampak ada.

— Aku menyerah kalah, kakang Pandan Gede ……. Tambakraga mengeluarkan kata-kata pujian —
Benar-benar aku harus meninggalkan hutan Wonogiri, untuk bertapa di Gunung Lawu. Katanya dengan
sungguh-sungguh. — Hanya sebelum aku meninggalkan gua yang penuh noda ini, ingin aku menyaksikan
pertunjukkan dari Gustiku Senapati sekalipun berupa apa saja. ---
---- Saudaraku Tambakraga, memang pandai berkelakar, menghibur tamu-tamunya —
Indra menjawab. — Hanya sajang sekali aku tidak dapat melemparkan pisau ,Indra melanjutkan
bicaranya dengan ketawa lirih. Dengan tidak diketahui dari mana tangan kanan Indra Sambada kini telah
menggenggam sekuntum bunga kemboja.
— Hanya sekuntum bunga inilah yang akan kupersembahkan kepada saudaraku Tambakraga. —
Berkata demikian Indra Sambada memegang bunga kemboja itu dengan jepitan ibu jari dengan
telunjuknya, sebagaimana lazimnya seseorang yang memegang sebatang paser, untuk kemudian dengan
pelan dilemparkan kearah batu yang besar itu.
Semua yang menyaksikan segera duduk dengan mulutunya ternganga penuh rasa kekaguman,
setelah melihat dengan nyata, bahwa bunga kemboja itu dapat menancap ……. sejari dalamnya pada
batu besar itu, tepat diatas pisau belati yang tertancap paling atas sendiri, dan merupakan hiasan yang
indah dipandang.
Tambakraga beserta murid-muridnya melihat sekaligus dari dekat, se-akan-akan tidak percaya apa
yang telah dilihatnya.
— Gustiku Senapati junjungan hamba. — Tambakraga berkata dengan suara berat. — Ijinkanlah
hamba, segera meninggalkan hutan Wonogiri ini untuk bertapa Gunung Lawu. Hamba ingin
menghabiskan sisa hidup hamba untuk mencuci semua noda diri hamba dan mengabdi pada Dewata
Yang Maha Agung. Hamba hanya mohon doa restu dari Gusti Senapati dan kakang Pandan Gede serta
PENDEKAR MAJAPAHIT

para pinisepuh sekalian. Tolonglah kakang Pandan Gede menyampaikan berita ini kepada kakang Wiku
Sepuh. Dan mulai saat ini namaku dengan disaksikan oleh Gusti Senapati dan kakang Pandan Gede serta
semua murid-muridku yang hadir disini kuganti dengan nama Tunggakraga.

Mendengar kata-kata Tambakraga itu semua merasa terharu, tidak berdaya untuk mencegahnya.
Kehendak hati Tambakraga sekeras baja yang tidak mungkin dapat ditundukkan oleh siapapun.
Pandan Gede berdiri dengan menganggukkan kepalanya, tidak mampu ia mengeluarkan kata-kata
jawabannya, untuk kemudian berlalu meninggalkan hutan Wonogiri menuju lereng Gunung Sumbing.
Sedangkan Tunggakraga meninggalkan hutan Wonogiri tanpa berpaling kembali, langsung menuju ke
Gunung Lawu.
Indira Sambada dengan dikawal oleh Lurah tamtama Jaka Wulung dan Jaka Rimang berkuda, kembali
menuju ke Kota Raja.
Tiga orang sakti bersimpang jalan dengan arahnya masing-masing, namun jelas satu tujuan ialah: —
pengabdian —
Sejarah berjalan terus dengan kisah ceritanya yang tidak mengenal ujung, serta tanpa menghiraukan
mengeringnya mata pena ………..

TAMAT

Siapakah Sujud dari manakah asalnya?

dan apakah hubungannya dengan perang Bubat.

Bacalah buku " PENDEKAR darah PAJAJARAN„


Lima jilid tamat

Anda mungkin juga menyukai