Anda di halaman 1dari 5

D.

Peran Budaya popular dalam modernisasi

Pembentukan budaya pop selalu berjalan beriringan dengan perkembangan komunikasi


massa. Komunikasi massa dan segala institusinya memiliki peranan yang sangat signifikan dan
efektif dalam kaitannya untuk menajamkan opini dan mempengaruhi perilaku massa secara
massal serta pembentukan homogenitas budaya dalam masyarakat. Komunikasi massa yang
direpresentasikan oleh media massa mempercepat penyebaran budaya pop terutama ke tempat-
tempat (daerah) yang dapat dijangkau oleh teknologi Informasi. Ia (media massa), dengan
kekuatannya, lalu mengarahkan dan membentuk perilaku (dan pemikiran) khalayak dan
menjadikan khalayak sebagai pasar dari produk yang mereka ciptakan.1 Masyarakat (secara
sengaja) diarahkan (dalam arah satu dimensi) untuk membeli aneka produk budaya massa lewat
senjata hipnotis teknologi yang dengan sigap dan cermat mempengaruhi dan sekaligus merasuk
nalar awam masyarakat. Nalar masyarakat sengaja dibekukan dan diarahkan lewat pencitraan
yang dibentuk melalui bahasa-bahasa iklan yang menarik dan memikat.

Saat ini, teknologi informasi, yang diwakili oleh media massa, memiliki kredibilitas yang
tinggi dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat akan suatu produk budaya yang dihasilkan.
Teknologi informasi telah membuat batas-batas yang kabur antara produk budaya tinggi yang
merupakan hasil daya cipta masyarakat dan produk budaya pop yang merupakan rekayasa.
Teknologi informasi menyulap sedemikian rupa sehingga masyarakat (konsumen) tidak lagi
dapat membedakan mana produk otentik yang lahir dari masyarakat dan mana yang merupakan
hasil rekayasa. Media dan konsumsi telah menggeser ikatan sosial yang semula mementingkan
aspek moral dan kognitis dengan ikatan estetik2. Masyarakat (dengan mudah) percaya bahwa apa
yang dikemukakan media massa adalah realitas yang sepenuhnya berasal dari kebenaran yang
aktual. Dengan kata lain, realitas media dianggap sebagai representasi dari fakta. Oleh karena itu,
media massa telah menjadi “ruang” yang menghadirkan realitas nyata bagi khalayak dan realitas
tersebut diakui sebagai kebenaran umum yang (selalu) dapat diterima

1
Dominic Srinati, Popular Culture : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer, terj. Abdul
Muchid, Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2009, hlm 13
2
Ibid., hlm., 36
E. Contoh Budaya Populer

1. Shopping Mall

Shopping mall disebut oleh Yasraf Amir Piliang sebagai manifestasi budaya massa yang
bersifat fantasi3. Dalam shopping mall, kegiatan belanja yang semata-mata transaksi jual beli
mengalami perubahan. Dalam shopping mall kegiatan belanja berubah fungsi sebagai pengisi
waktu senggang (leisure time) atau tempat membolos bagi siswa sekolah yang nakal. Ini dapat
kita lihat pada berapa banyak setiap harinya orang-orang berkeliling shopping mall tanpa
berbelanja apapun. Terkadang mereka cuma berkeliling, berbincang, atau mengagumi barang-
barang produk baru.

Shopping mall memuaskan rasa penasaran manusiawi akan hal baru. Shopping mall terus
meremajakan diri lewat sajiannya atas wahana-wahana toko baru, permainan kanak-kanak, serta
lingkungan yang semakin nyaman (taman, tempat duduk, AC, dan kebersihan). Jumlah shopping
mall ini terus bertambah setiap tahunnya di Indonesia. Di Jakarta terdapat kurang lebih 60
shopping mall yang tersebar di kota-kota madyanya seperti Mall of Indonesia, Tamini Square,
Town Square, Mal Kelapa Gading, Kota Casablanca atau Grand Indonesia.

Pada satu sisi, berdirinya mall merupakan upaya dari para pemerintah daerah untuk
menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah. Mall terdiri atas beragam diversifikasi usaha
seperti bank, toko makanan, toko buku, toko mainan, taman bermain prabayar, bioskop, dan
sejenisnya. Tenaga kerja yang direkrut pun cukup banyak, termasuk potensi-potensi yang
dibawanya yaitu bergeliatnya kegiatan ekonomi di sekeliling mall seperti rumah kontrakan, kos,
angkutan umum, warung makan, dan sebagainya. Namun, dari sisi budaya, mall menjadi agen
massalisasi. Produk-produk barang dan jasa yang ditawarkan setiap mall cenderung homogen.
Bioskop, sebagai misal, adalah Twenty One yang menjadi milik dari satu perusahaan. Lalu,
hampir di setiap mall, department-department store relatif homogen seperti Naga, Matahari,
Ramayana, Borobudur, dan sejenisnya. Department-department store tersebut menawarkan
produk-produk barang pabrikan yang jenis produknya relatif sama dari satu tempat ke tempat
lain. Jadi, pabrik menggunakan agen mereka (department store) untuk memasarkan produk

3
Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya melampaui Batas-batas Kebudayaan
(Yogyakarta: Jalasutra, 2004) h.209.
mereka. Maka jadilah produk-produk mereka digunakan secara massal oleh masyarakat. Dari
penghujung mall yang ada di Aceh hingga Papua, tawaran produk relatif sama.

Kapitalisasi produk – bahkan manusia – pun berlangsung di mall. Relatif sering terlihat di
hampir setiap department store, manusia (umumnya kaum perempuan) dipajang menjajakan
produk pabrikan tertentu seperti kosmetik dan pakaian. Layaknya manequin mereka berdiri statis
dan bedanya sekadar bisa tersenyum dan menyapa. Selain shopping mall, kini berkembang pula
fenomena hypermall, yang berbeda dengan shopping mall yang beraneka agen. Hypermall
ditandai satu agen tunggal. Homogennya produk dijual lebih tinggi dalam hypermall. Ia pun
seolah memindahkan satu pasar tradisional ke dalam sebuah toko tunggal. Carrefour, Giant,
Hypermart, dan sejenisnya kini pun telah berkembang di Indonesia. Barang yang mereka jual,
kendati satu agen tunggal, sangat bervariasi dari bahan mentah makanan hingga barang
elektronik canggih semisal televisi flat dan laptop. Terkadang kendaraan roda dua dan empat pun
dijajakan di sana. Konsumen begitu dimanjakan dengan sifat segala ada, nyaman, cepat,
terklasifikasi, seperti disediakan oleh hypermall. Fenomena hypermall ini mendukung teori
penciptaan kebutuhan konsumen oleh produsen barang. Hypermall adalah sekadar agen, barang-
barang yang mereka jual berasal dari beragam produsen. Namun, produsen tersebut biasanya
tetap. Misalnya untuk odol, merk-merk seperti Pepsodent, Formula, Oral-B, dan sejenisnya
adalah pasti ditemukan di setiap hypermall.

Berbeda dengan pasar tradisional, interaksi sosial antara penjual dan pembeli di
hypermall sepenuhnya ditentukan pengelola. Misalnya, barcode yang ditempelkan di setiap
barang adalah harga pasti tanpa bisa ditawar. Negosiasi harga tidak ada antara penjual dan
pembeli dan demikian satu aspek interaksi sosial berkurang. Kemasan setiap produk lebih
menentukan ketimbang isi, dan ini berbeda dengan pasar tradisional di mana hampir seluruh
produk dagangan tidak dikemas (kecuali produk-produk pabrikan). Pembeli sulit memaknai
barang akibat pemaknaan disekat kemasan. Pembeli jadi amat bergantung pada informasi yang
terkandung di dalam kemasan, dan kalaupun bertanya, paling banter ia akan dilayani oleh tenaga
marketing produk bersangkutan yang intinya memperkuat informasi tertoreh di kemasan.
2. Makanan Cepat Saji dan Makanan Tradisional-Populer

Makanan merupakan salah satu unsur budaya. Umumnya restoran cepat saji, menyajikan
makanan yang sama setiap harinya. Menu dari tiap restoran juga memiliki kemiripan satu dengan
yang lainnya. Restoran cepat saji merupakan produsen budaya massa. Media adalah agen yang
mempopulerkan makanan cepat saji seperti fried chicken, burger, kentang goreng, sup krim,
soda, ice cream float, dan sebagainya. Media massa, agen periklanan, serta produsen restoran
cepat saji membuat strategi periklanan sedemikian rupa agar tercipta konsep, bahwa makanan
cepat saji identik dengan praktis, mengenyangkan, simbol makanan berkelas, namun tetap bisa
dinikmati siapa saja. Dampaknya adalah, timbul budaya massa yang cenderung praktis karena
mengonsumsi makanan cepat saji, dibanding makanan olahan yang bergizi. Hal ini juga
berkaitan dengan status sosial. Media sudah berhasil menaikan mobilitas sosial masyarakat
dengan cara membentuk image, mempersuasi, hingga membuat perubahan sikap masyarakat,
yang menunjukan kenaikan daya beli khalayak.

Terlepas dari peran media massa yang mempopulerkan kepraktisan restoran cepat saji,
masih ada makanan tradisional yang masih populer di masa kini. Contohnya: Masakan Padang,
gado-gado, rujak, dan sejumlah makanan lain yang masih lekat citarasanya dengan masyarakat
Indonesia. Masakan ini merupakan folk culture yang berkembang menjadi popular culture.

3. Korean Wave dan Japanese Wave

Drama Korea sekrang ini menjadi tontonan favorit bagi kaum muda di Indonsia. Hal itu
diakibatkan karena penyebaran dan pengaruh budaya Korea di Indonesia, terutama melalui
produk-produk budaya populer. Film, drama, musik dan pernak-pernik merupakan contoh dari
produk budaya popular. Elemen-elemen budaya populer Korea ini menyebarkan pengaruhnya di
negara-negara Asia salah satunya Indonesia. Di Indonesia, penyebaran budaya popular dari
negeri gingseng ini dilihat sekitar tahun 2002 dengan tayangnya salah satu ikon budaya popular
berbandrol drama seri berjudul Autumn in My Heart atau Autumn Tale yang lebih popular
dengan judul Endless Love , ditayangkan stasiun TV Indosiar. Keberhasilan drama seri Korea
tersebut yang dikenal dengan Korean drama (K-drama) diikuti oleh Koean drama lainnya.
Tercatat terdapat sekitar 50 judul K-drama tayang di tv swasta Indonesia.
Selain Itu ada juga Japanese Wave dimana budaya jepang sudah marak kita jumpai di
Indonsia, hal itu tidak lepas dari banyaknya unsur-unsur kebudayaan jepang yang di bawa oleh
anime, J-pop, idol grup seperti JKT48. Masyarakat Indonesia mengenal budaya popular dari
jepang sejak tahun 1990an dimana ada sebuah serial anime Doraemon yang disiarkan oleh salah
satu TV swasta di Indonesia, bahkan sampai sekarang masih disiarkan setiap hari minggu dan
serial yang ditayangkan sama halnya yang diyangkan di TV jepang. Dalam hal ini kita bisa
melihat bagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya sudah ”terdidik” oleh budaya popular
jepang sejak Kecil, karena kebanyakan penontonya adalah anak-anak. Dari anime Doraemon
juga dapat diambil sebuah fenomena dimana karakter utama yaitu Doraemon menyukai sebuah
makan yaitu dorayaki, makanan tersebut bahkan kita bisa dapatkan dengan mudah di pasar
tradisonal di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai