Anda di halaman 1dari 13

Latar Belakang Peristiwa

Peristiwa 17 Oktober 1952 merupakan salah satu peristiwa yang melibatkan


Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Dewan Perwakilan Rakyat Sementara
(DPRS), dan masyarakat sipil. Peristiwa ini berawal dari keadaan labil Indonesia yang
baru tujuh tahun merdeka karena masih menggunakan sistem demokrasi liberal model
Eropa (Belanda). Keadaan ini diperparah dengan buruknya kondisi sosial-ekonomi,
merebaknya praktik korupsi di pemerintahan, dan pembebasan Irian Barat yang terus
tertunda. Akhirnya, hal tersebut terakumulasi dan berujung pada pertentangan dan
konflik internal antar aparatur pemerintahan Indonesia.1
Tentara Nasional Indonesia (TNI) ketika itu terdiri atas pejuang-pejuang dari
masa Perang Kemerdekaan. Melalui kebijakan Nederlanse Militaire Missie (NMM)
dalam kabinet Perdana Menteri Wilopo, mutu teknis militer TNI akan ditingkatkan,
kemudian mereka juga akan diikat oleh disiplin yang melembaga oleh Kepala Staf
Angkatan Perang (KSAP) dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).2 Angkatan perang
tersebut diharapkan dapat berada di tingkatan yang sama dengan partai-partai politik di
pemerintahan.
Hal tersebut memancing kegelisahan dari partai-partai politik. Mereka
menganggap keberadaan Angkatan Perang kelak dapat menimbulkan persaingan sosial-
politik antar aparatur pemerintah. Internal Angkatan Darat (AD) pun merasa tidak siap,
apalagi terdapat isu bahwa akan dilangsungkan demobilisasi atau dipensiunkannya ex-
PETA secara besar-besaran. Upaya profesionalisme ini ditolak dan oposisi didukung
oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).3
Pada tanggal 13 Juli 1952, mantan tentara PETA bernama Bambang Supeno
melayangkan surat kepada Perdana Menteri Wilopo, Menteri Pertahanan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, dan Parlemen. Sebelumnya, Supeno menjabat sebagai ketua
Akademi Militer Candradimuka di Bandung yang ditutup oleh Nasution dengan alasan
penghematan anggaran. Sebagai counter-act dari tindakan Nasution tersebut, muncul
1
A.H. Nasution, “Tentang Peristiwa 17 Oktober 1952”, Sinar Harapan, 9 November 1972
2
T.B. Simatupang, “Dua Puluh Tahun Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952”, Sinar Harapan, 16-21
Oktober 1972
3
Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2002), hal. 74
keinginan Supeno untuk mengajukan penggantian Nasution sebagai KSAD, serta
mencari dukungan bagi dirinya di beberapa daerah di Indonesia. Surat tersebut berisikan
pernyataan Supeno yang telah hilang kepercayaan kepada atasannya, yaitu A.H.
Nasution. Ia juga meminta parlemen untuk mengadakan perbaikan pimpinan atau
reorganisasi Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang.4
Menanggapi surat Supeno, KSAP mengirim surat desakan kepada pemerintah
untuk menindaklanjuti surat Supeno sesuai dengan prosedur militer karena Supeno
dianggap melanggar disiplin. KSAP menginginkan Supeno untuk dibebastugaskan
melalui Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Namun, keinginan
Supeno kelihatannya didukung oleh Presiden Soekarno. Indikasi dukungan tersebut
terlihat pada saat Presiden Soekarno menolak pengajuan pembebastugasan Supeno oleh
Hamengkubuwono IX.
Konflik Internal TNI AD ini kemudian menjadi perhatian parlemen setelah
“Surat Kolonel Bambang Supeno”, sebagaimana surat tersebut disebut oleh A.H.
Nasution, dimuat di media pers dan sampai ke DPRS sehingga menimbulkan
perdebatan sengit di DPRS dan berujung pada sidang-sidang yang memunculkan mosi-
mosi dari berbagai pihak.5 Pada tanggal 28 September 1952, keluar mosi tidak percaya
dari Zainul Baharuddin dan Ir. Sakirman (PKI, Partai Murba, dan Partai Buruh) kepada
parlemen yang menuntut reformasi dan reorganisasi pimpinan Kementrian Pertahanan
dan TNI AD atas ketidakmampuan Menteri Pertahanan dalam menyelesaikan konflik
internal TNI AD, serta membentuk komisi di parlemen untuk menyelidiki
penyelewengan-penyelewengan administratif dan keuangan dalam Kementrian
Pertahanan dan Angkatan Perang.6
Pada tanggal 10 Oktober 1952 dilangsungkan Rapat Kolegial atas usulan
Kolonel Djatikusumo. Dalam rapat tersebut, dibicarakan mengenai perdebatan di DPRS
dan mosi yang diajukan pada Kementrian Pertahanan. Mereka sepakat untuk terus
memantau perdebatan di DPRS dan menunggu perkembangan apakah akan muncul
mosi-mosi lain.7

4
Ibid., hal. 75
5
Dr. A.H. Nasution, Kekarjaan ABRI, (Jakarta: Seruling Masa, 1971), hal. 367
6
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta: LP3ES, 1988), hal. 116-117
Tidak lama setelahnya, pada tanggal 13 Oktober 1952 muncul mosi dari I.J.
Kasimo dan Moh. Natsir (Partai Katolik dan Masyumi) untuk menyudahi program
NMM dan membentuk komisi penyelidik masalah yang dikemukakan di mosi
Baharuddin sebelumnya dengan anggota dari parlemen dan kabinet. Lalu pada tanggal
14 Oktober 1952 muncul mosi lain dari Manai Sophiaan, Arudji, dan Idham Chalid (NU
dan PSII) yang berisikan tentang peninjauan kembali pimpinan TNI AD.8
Kemunculan dua mosi lainnya inilah yang menjadi persoalan karena DPRS
dinilai terlalu mencampuri konflik internal TNI AD dan intervensi tersebut dirasa dapat
menimbulkan krisis di pemerintahan karena melanggar hak prerogatif TNI AD. Mosi
Baharuddin ditolak, sementara mosi Kasimo dianggap lemah, dan mosi Sophiaan
dipertahankan setelah memenangkan 91 suara melawan 54 suara yang tidak
menyetujui.9
Pasca disetujuinya mosi Sophiaan pada tanggal 16 Oktober 1952, Golongan
Elang, yaitu golongan paling keras di kalangan perwira AD menggerakkan massa
sebanyak 30.000 orang untuk bergerak ke Parlemen, lalu ke Istana Negara untuk
menuntut pembubaran parlemen dan penyelenggaraan pemilihan umum. Golongan
Elang merupakan golongan perwira yang menginginkan dilibatkannya militer dalam
pengambilan keputusan politik, suatu keinginan yang ditahan oleh Simatupang dan
Nasution selaku KSAP dan KSAD guna mencegah terjadinya kudeta.

Peristiwa 17 Oktober 1952

PNI merasa tidak senang terhadap setiap usaha untuk mengurangi birokrasi,
sedangkan pengurangan-pengurangan yang direncanakan di kalangan militer
menimbulkan konflik yang gawat dalam tubuh TNI AD. Sri Sultan Hamengkubuwono
IX, A.H. Nasution, T.B. Simatupang, dan sebagian pendukung terdekat mereka
merupakan orang non-partai. Para tokoh di atas mempunyai suatu rencana sentralisasi

7
Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka,
2010), hal. 339
8
Yahya A. Muhaimin, Op.Cit., hal. 77
9
Ulf Sundhaussen, Op.Cit., hal. 118
dan demobilisasi untuk mengurangi jumlah anggota tentara dari 200.000 menjadi
100.000 orang.
Usulan ini mengadu domba kelompok pusat dengan para panglima tentara
daerah yang bersimpati kepada Soekarno. Kritik terhadap rencana tersebut menyatakan
bahwa para petinggi TNI ini menginginkan suatu organisasi militer yang hanya setia
kepadanya dan kemudian dapat melancarkan suatu kudeta.10
Para panglima daerah berusaha menentang usaha tersebut. Mereka didukung
oleh sekutu-sekutu politik mereka yang ada di Jakarta. Di DPRS sendiri, muncul
tuntutan agar kepemimpinan tentara pusat dibubarkan dan Kementrian Pertahanan
direorganisasikan sebagai tuntutan tandingan yang diajukan pihak militer. Menghadapi
tantangan ini, maka kelompok tentara pusat mengadakan unjuk kekuatan di depan Istana
Negara. Pada tanggal 17 Oktober 1952, mereka membawa tank-tank beserta artileri
militer dan demonstran yang berjumlah sekitar 30.000. Demonstrasi ini bergerak
menuju depan Istana Negara, menuntut pembubaran parlemen setelah sebelumnya
mampir di Gedung Parlemen dan melakukan sejumlah tindakan anarkis dengan
mengacak-acak isi gedung tersebut. Menanggapi hal ini, Soekarno berbicara kepada
massa yang berkerumun.11
Soekarno menjelaskan bahwa parlemen tidak dapat begitu saja dibubarkan
karena dirinya bukanlah seorang diktator yang dapat bebas melakukan apa saja karena
ia butuh pertimbangan, dan jika ia menuruti begitu saja maka akan tidak sesuai dengan
ideologi negara. Presiden menolak desakan itu dan berkata akan menyelidiki lebih
dahulu keinginan rakyat di luar Jakarta dan akan mendesak pemerintah agar
mempercepat pemilu. Namun, presiden menyatakan menolak pembubaran DPRS karena
ia bukan diktator. Dikatakannya pula bahwa para demonstran hanya merupakan
sebagian dari rakyat Jakarta yang tidak mewakili seluruh rakyat Indonesia. 12 Lalu
mengenai pemilu, presiden setuju bahwa pemilu akan diadakan secepatnya. Presiden
lalu memerintahkan masa untuk membubarkan diri.13

10
Marwati Djoened Poesponegoro. Op. Cit. hal. 510
11
Yahya A. Muhaimin, Op.Cit., hal. 77
12
Marwati Djoened Poesponegoro. Op. Cit. hal. 340
13
Ulf Sundhaussen, Op.Cit., hal. 123
Selesai menghadapi para demonstran, Soekarno menerima delegasi tentara yang
terdiri dari golongan yang loyal tehadap pimpinan TNI yang diantaranya adalah T.B.
Simatupang, Kolonel Nasution, Letkol Soetoko, Kolonel Alex Kawilarang, Kolonel
Gatot Subroto dan beberapa Perwira TNI AD. Pada saat itu, perwira-perwira senior
telah mendapat izin dari Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan untuk menyampaikan
pendapat mereka kepada Presiden atau Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Dalam
pertemuan tersebut, Golongan Elang yang paling keras di antara perwira-perwira
menuntut agar Angkatan Darat diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan
dalam kebijaksanaan politik. Dalih mereka adalah karena kemerdekaan sebagian besar
dicapai berkat perjuangan mereka sendiri, maka mereka berhak untuk ikut menentukan
nasib negara di bidang politik.14
Delegasi TNI antara lain menyatakan bahwa DPRS yang ada tidaklah
representatif dan merupakan sumber ketidakstabilan politik sehingga menyebabkan
kabinet-kabinet tidak dapat melaksanakan program-programnya dengan tepat waktu.
Selain itu, terkait intervensi yang dilakukan oleh DPRS terhadap kebijakan TNI amatlah
membahayakan negara. Karena itu dinyatakan oleh mereka, Presiden agar segera
mengatasi “jalan buntu” di parlemen dengan membubarkan parlemen dan membentuk
kembali secepat mungkin sesuai keinginan rakyat.15 Oleh karena itu, pimpinan
Angkatan Perang mendesak kepala negara untuk membubarkan DPRS dan membentuk
DPR baru. Pernyataan itu ditandatangani oleh KSAD, para Panglima Teritorium,
asisten-asisten KSAD serta inspektur-inspektur kesenjataan/jawatan sebanyak 16 orang
perwira menengah.
Soetoko yang bertindak sebagai juru bicara menyatakan kepada Presiden bahwa
parlemen yang sekarang bertanggung jawab terhadap keadaan negara yang tidak stabil
karena parlemen tidak mengijinkan kabinet-kabinet untuk bekerja cukup lama dalam
menyusun kebijaksanaan dan melaksanakannya. Dia juga menyatakan bahwa parlemen
yang ada tidaklah mewakili rakyat karena angggota-anggotanya tidak dipilih dan
sebagian orang-orang yang berada di parlemen pernah bekerjasama dengan Belanda di
saat TNI sedang berjuang untuk kemerdekaan nasional dan karena itulah ia menjelaskan

14
Ibid., hal. 122
15
Yahya A. Muhaimin, Op.Cit., hal. 78
bahwa orang-orang seperti itu tidak seharusnya diberi kekuasaan dan juga tidak berhak
untuk mencela dan menyerang tentara.16
Setelah perwira-perwira tinggi tersebut meninggalkan istana, Presiden dan
tokoh-tokoh politik yang hadir memutuskan untuk mereseskan parlemen. Pada sore
harinya tentara memutuskan jaringan telekomunikasi dan melarang terbitnya beberapa
surat kabar. Enam tokoh politik ditangkap, jam malam diberlakukan, dan pertemuan
yang dihadiri lebih dari lima orang dilarang. Namun, setelah beberapa hari kemudian
orang-orang sipil yang ditangkap itu dibebaskan kembali dan semua pembatasan
dicabut.17

Pasca Peristiwa 17 Oktober 1952: Kejatuhan Kabinet dan Pengunduran Diri

Implikasi yang terlihat jelas dari peristiwa ini adalah terjadinya perpecahan
dalam tubuh TNI AD, sehingga kemudian timbullah kelompok pro 17 Oktober dan anti
17 Oktober. Setelah terjadinya peristiwa 17 Oktober banyak muncul penafsiran terhadap
peristiwa tersebut. Para politisi sipil menganggap bahwa peristiwa itu merupakan
sebuah ”kudeta yang gagal”. Sedangkan Presiden Soekarno dan Nasution sendiri
mengatakan bahwa peristiwa 17 Oktober sebagai suatu ”peristiwa setengah kudeta”
atau half-coup.18
Peristiwa 17 Oktober 1952 mengakibatkan banyak hal dalam berbagai sektor.
Akibat terbesar dirasakan secara langsung oleh Angkatan Darat Republik Indonesia
dengan adanya perpecahan yang membutuhkan waktu beberapa tahun untuk
mengembalikan persatuan di tubuh Angkatan Darat Republik Indonesia.
Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Jenderal Mayor T.B. Simatupang
diberhentikan dan dihapuskan jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Perang. Kepala
Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution pun mengambil sikap dengan pengunduran

16
Ulf Sundhaussen, Op.Cit., hal. 125
17
Ibid., hal. 125
18
Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, (Jakarta: Yayasan Bung Karno,
2007)
dirinya sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas terjadinya peristiwa 17 Oktober
1952. Posisi A.H. Nasution kemudian digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng.19
Para perwira yang tidak senang dengan Nasution melakukan tindakan anti
Nasution dengan melancarkan aksi anti 17 Oktober. Padahal petisi yang disampaikan
para pemimpin Angkatan Darat sama sekali tidak menunjukkan sikap yang memusuhi
Presiden Soekarno, sekaligus juga tidak menginginkan jatuhnya Kabinet Wilopo.
Namun, gerakan yang mereka lakukan ternyata tidak mendapatkan dukungan yang
cukup, bahkan Presiden Soekarno mengatakan bahwa akan ada aksi balasan terhadap
para “pembaharu dalam tentara” itu, dan ia memastikan akan menepati janjinya
tersebut.
Perpecahan dan timbulnya kubu-kubu dalam Angkatan Darat pun tidak dapat
dielakkan, yaitu ketika muncul kubu pro dan kontra. Selama beberapa waktu, terdapat
suasana saling menentang antara yang pro dan yang anti gerakan 17 Oktober.
Pendekatan baru terjadi antara Masyumi dan PNI menghadapi PSI yang ketika
perdebatan berlangsung berpihak kepada golongan 17 Oktober.
Pada tanggal 5 Desember 1952, secara resmi A.H. Nasution diberhentikan
sebagai KSAD20. Selain itu Perdana Menteri juga memberhentikan Letnan Kolonel
Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman dari segala jabatan mereka. Kemudian pada
tanggal 16 Desember 1952, pemerintah mengangkat Kolonel Bambang Sugeng sebagai
KSAD menggantikan kedudukan Nasution.
Walaupun begitu, kebijakan yang diambil Perdana Menteri dalam menghadapi
permasalahan tersebut kurang mendapat persetujuan dari partai-partai pendukung
kabinetnya. Dalam kongres partai di Surabaya pada bulan Desember 1952, PNI
menyatakan bahwa peristiwa 17 Oktober merupakan “pemerkosaan demokrasi”. Mereka
kemudian menuntut agar pemerintah dapat menyelesaikan masalah itu secepatnya,
dengan pengertian bahwa cara penyelesainnya harus mendapat persetujuan dari Presiden
Soekarno.
Akan tetapi Perdana Menteri dalam menyelesaikan permasalahan peristiwa 17
Oktober seperti yang dijelaskan dalam rapat tertutup parlemen dan kepada para

19
Sundhaussen, Op.Cit., hal. 144
20
Rosihan Anwar, Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia: Volume 4, (Jakarta: KOMPAS, 2004), hal.
85
panglima dijelaskan bahwa Perdana Menteri hanya bersedia menjalankan kebijakan
sebagai berikut: (1) Penggantian pimpinan Angkatan Darat yang secara formal dan
obyektif dianggap bertanggungjawab atas peristiwa tersebut; (2) Penggantian beberapa
pejabat dalam Kementrian Pertahanan; (3) Reorganisasi melalui Undang-Undang Pokok
Pertahanan yang segera dibuat; (4) Membuka parlemen kembali setelah direseskan
beberapa waktu sementara menunggu keadaan kembali tertib; (5) Pelanggaran-
pelanggaran yang bersifat criminal, seperti pengerusakan-pengerusakan dalam gedung
parlemen, akan diusut oleh Jaksa Agung; (6) Pertikaian dalam kalangan Angkatan Darat
pada pokoknya juga hanya dapat diselesaikan oleh internal Angkatan Darat sendiri.
Maka dari itu kemudian, para Panglima Angkatan Darat dikumpulkan di Jakarta untuk
membicarakan permasalahan tersebut dan hasilnya akan diindahkan oleh Perdana
Menteri dengan sungguh-sungguh.
Tindakan pemerintah atas permasalahan tersebut adalah diterbitkannya Surat
Keterangan pada tanggal 22 November 1952 yang menyatakan bahwa pada tanggal 17
Oktober 1952 tidak terjadi kudeta atau percobaan kudeta apapun. Pemerintah tidak
dapat mewujudkan persatuan di lingkungan Angkatan Perang, tetapi hanya berhasil
mengusahakan Angkatan Perang kembali kepada tugasnya sehari-hari21. Dapat
dikatakan pula peristiwa ini mulai menggoyahkan kabinet pada masa itu.
Pejabat Panglima TT V/Brawijaya, Letnan Kolonel dr. Suwondo mendukung
sikap pimpinan Angkatan Darat serta mengajukan pengunduran dirinya. Sikap ini
ditentang oleh salah seorang komandan resimennya, yakni Letnan Kolonen Sudirman,
Pengunduran diri Letnan Kolonel dr. Suwondo ditindaklanjuti dengan penempatan
Sudirman sebagai pejabat panglima.
Peristiwa serupa terjadi pula di lingkungan TT VII/Sulawesi. Kepala Staff TT
VII Letnan Kolonel J.F Warrouw mengambil alih pimpinan dari tangan panglimanya,
Kolonel Gatot Subroto, yang mendukung peristiwa 17 Oktober 1952. Pengambilalihan
jabatan terjadi pula di TT II/Sriwijaya dari Pejabat Panglima Letnan Kolonel Kosasih ke
tangan Letnan Kolonel Kretarto. Namun, pemerintah mengambil tindakan lain, yakni
mengangkat Kolonel Bambang Utoyo yang sudah dipensiunkan pada September 1952
dengan menjabat sebagai Panglima TT II yang baru.

21
Wilopo S.H., Zaman Pemerintahan Partai-partai, (Jakarta, 1978), hal. 30
Pada akhirnya, penyelesaian yang diupayakan pemerintah mengenai masalah 17
Oktober 1952 tidak memuaskan semua golongan. Namun, Perdana Menteri tetap pada
pendiriannya yang didasarkan atas pertimbangan bahwa negara kita yang masih muda
ini baru mulai merintis pembangunan di segala bidang, termasuk bidang pertahanan.
Perintisan Indonesia sebagai “negara muda” tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik
jika angkatan perangnya terpecah-belah. Sementara itu, pemerintah terus didesak oleh
berbagai partai dan golongan dalam masyarakat yang merasa tidak puas dengan cara
penyelesaian peristiwa 17 Oktober.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX turut mengundurkan diri sebagai Menteri
Pertahanan pada bulan Januari 1953, disusul oleh Sekjen Pertahanan Ali Boediardjo
pada bulan Maret dan oleh T.B Simatupang bulan November ketika jabatannya sebagai
Kepala Staf Angkatan Perang dihapus.22 Kekuasaan pimpinan pusat TNI telah
dipatahkan, anggaran belanja tentara pun dikurangi.
Agar perpecahan di Angkatan Darat dapat diselesaikan, maka dilaksanakanlah
musyawarah antara golongan pro 17 Oktober dengan golongan anti 17 Oktober.
Pertemuan ini dihadiri oleh 29 orang perwira senior Angkatan Darat. Yogyakarta
menjadi tempat dilaksanakannya musyawarah antargolongan ini, dari tanggal 21-25
Februari 1955. Pertemuan yang disebut Rapat Collegiaal (Raco) ini membahas tiga
masalah pokok, yaitu23:
1. Keutuhan dan persatuan Angkatan Darat;
2. Penyelesaian Peristiwa 17 Oktober 1952;
3. Pembangunan Angkatan Darat.
Dalam pertemuan tersebut dihasilkan Piagam Keutuhan Angkatan Darat
Republik Indonesia yang juga disebut Piagam Yogyakarta. Dengan adanya
penandatanganan piagam tersebut oleh 29 Perwira Senior Angkatan Darat, maka
Peristiwa 17 Oktober 1952 dianggap sudah selesai. Namun, pelaksanaan piagam
tersebut tidak dapat berjalan dengan baik, karena setelah berakhirnya Konferensi Asia
Afrika (KAA) di Bandung, KSAD Kolonel Bambang Sugeng meletakkan jabatannya
karena merasa tidak mampu melaksanakan isi Piagam Yogyakarta.

22
Rosihan Anwar. Op.Cit., hal. 85
23
Marwati Djoened Poesponegoro. Op. Cit. hal. 342
Pemerintah kemudian memutuskan untuk mengangkat Kolonel Bambang Utojo,
Panglima Tentara dan Territorium II/Sriwijaya sebagai KSAD. Pengangkatan ini
menimbulkan respon dari Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis dan kalangan Angkatan
Darat sendiri. Upacara pelantikan KSAD pada tanggal 27 Juni 1955 diboikot oleh para
perwira senior Angkatan Darat dan Kolonel Zulkifli Lubis sendiri menolak untuk
melakukan serah terima dengan Bambang Utoyo, bahkan KSAD yang baru ini tidak
diijinkan untuk memasuki Markas Besar Angkatan Darat (Mabes AD).
Adanya kekacauan ini mengakibatkan Ketua Seksi Pertahanan dalam Parlemen,
Zainal Baharuddin, dengan dukungan B.M. Diah, Margono Djojohadikusumo, Mr. T.M.
Hassan, dan Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri mengundurkan diri dari
jabatannya.24 Hal ini sempat membuat Pemerintahan Indonesia menjadi kacau.

Kesimpulan: Analisis Hubungan Sipil-Militer

Dinamika hubungan sipil dan militer pada masa Demoktasi Liberal (1950-1959)
sangat menarik untuk dikaji. Militer adalah organ penting yang dimiliki oleh negara,
guna mempertahankan bangsa dari ancaman baik dari luar maupun dalam. Pada masa
Demokrasi Liberal, militer berada di bawah supremasi sipil. Sistem Demokrasi Liberal
menyebabkan berkembangnya partai-partai politik di Indonesia sehingga berdampak
pada usia kabinet.
Pada masa Kabinet Natsir hubungan sipil dan militer berjalan dengan baik,
namun pada tahun 1952 muncul pertikaian pandangan antara sipil dan militer pada masa
Kabinet Wilopo dengan meletusnya peristiwa 17 Oktober 1952.25 Dampak dari peristiwa
17 Oktober menyebabkan militer terbagi kedalam dua golongan, yaitu golongan pro 17
Oktober dan anti 17 Oktober. Peristiwa 17 Oktober dapat dikatakan merupakan aksi
protes militer terhadap pemerintahan sipil, terutama kepada parlemen. Peristiwa 17
Oktober menjadi salah satu penyebab jatuhnya Kabinet Wilopo yang digantikan oleh
Kabinet Ali Sastroamidjojo kemudian. Yang menjabat Menteri Pertahanan pada masa
Kabinet Ali adalah Iwa Kusumasumantri yang menyebabkan keretakan dalam tubuh
militer semakin besar.

24
Kedaulatan Rakjat, 30 Juni 1995
25
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1986) hal. 27
Keretakan dalam tubuh militer semakin besar. Kelompok pro dan anti 17
Oktober mengadakan serangkaian pertemuan untuk menciptakan kembali kesatuan
militer. Pada tanggal 17 Februari 1955 militer berhasil melaksanakan serangkaian
pertemuan. Pertemuan ini berlangsung di daerah Yogyakarta dan berakhir pada tanggal
25 Februari 1955 dengan menghasilkan resolusi yang diterima oleh seluruh perwira
yang hadir dan disahkan oleh KSAD Bambang Sugeng. Isi dari Piagam Yogyakarta 26
adalah:
1. Menekankan bahwa Korps Perwira akan selalu mempertahankan persatuan
dan profesionalisme di dalam tubuh TNI-AD, tidak membenarkan campur
tangan politik didalam masalah militer yang didasarkan atas senioritas dan
kecakapan.
2. Korps Perwira TNI-AD akan mematuhi segala keputusan yang diambil oleh
pemerintah bersama-sama Dwitunggal (Soekarno-Hatta).
3. Peristiwa 17 Oktober dianggap tidak pernah terjadi dan meminta kepada
pemerintah sebelum peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1955
pemerintah sudah menyelesaikan secara formil mengenai peristiwa tersebut.

Pada dasarnya, dengan adanya dukungan pemerintah secara berturut-turut tahun


1950 hingga 1952, kepemimpinan militer teknokratik telah berupaya membina suatu
kekuatan yang lebih kecil, lebih berdisiplin, dan lebih “profesional”. Rencana mereka
untuk mengadakan rasionalisasi dan demobilisasi ditentang oleh banyak perwira bekas
PETA yang kurang terlatih, yang merasa bahwa kedudukan mereka akan diturukan
sebanding dengan perwira-perwira yang telah “diwesternisasi” dari Jakarta dan
Bandung27. Ketika para politisi oposisi turut mendukung para perwira bekas PETA
sebagai bagian dari serangan mereka terhadap pemerintah, maka para perwira bekas
PETA tentu saja menerima baik dukungan parlemen dalam usaha mereka melawan
kepemimpinan tentara. Namun oleh pihak oposisi di parlemen dianggap sebagai
penggunaan yang sah dari penguasa sipil terhadap angkatan bersenjata, diterima oleh
pimpinan tentara sebagai campur tangan dalam soal-soal interen Angkatan Darat yang
tidak dapat diterima dan dibiarkan.

26
Marwati Djoened Poesponegoro, Op.Cit., hal. 342
27
Harold Crouch, Op.Cit., hal. 27
Peristiwa 17 Oktober sesungguhnya bukanlah usaha dari para pimpinan
Angkatan Darat untuk menggulingkan pemerintah sebagai cerminan kekecewaan
mereka sebagai teknokrat-teknokrat militer, tetapi lebih ditujukan kepada usaha-usaha
kelompok sipil yang menghalangi mereka untuk melakukan apa yang mereka anggap
sebagai kebijakan penting. Mereka pun menyadari, bahwa pembubaran parlemen akan
menempatkan mereka ke dalam posisi yang amat kuat untuk melakukan tindakan-
tindakan politik lebih lanjut.
Peristiwa ini pun telah menunjukkan bahwa jika tentara tetap terpecah-belah
dalam kelompok-kelompok yang kurang lebih seimbang, para perwira akan
memanfaatkan kesempatan-kesempatan politik yang ditimbulkan oleh persaingan sengit
di antara kelompok-kelompok politik sipil untuk melanjutkan kepentingan-kepentingan
kelompok mereka sendiri.
Selama tahun-tahun berikutnya, konsep tentara sebagai alat negara yang
nonpolitik dengan cepat mendapatkan gagasan yang lebih tua, yaitu bahwa tentara
adalah pembela dan pelindung kepentingan nasional dengan tanggung jawab untuk
campur tangan dalam persoalan politik jika kelemahan-kelemahan dari pemerintahan
sipil memang membutuhkannya.
Sementara itu, ketidakpuasan terhadap sistem parlementer makin meluas, baik di
kalangan tentara, maupun di kalangan yang lebih besar. Partai-partai politik dalam
penampilannya merupakan alat pelindung belaka, terutama bagi kepentingan-
kepentingan para pengikut, tanpa memperdulikan kepentingan bangsa secara
keseluruhan. Sementara dari sistem demokrasi parlementer makin sering dipertanyakan,
upaya-upaya untuk mencari pilihan lain juga semakin dilipatgandakan.
Daftar Pustaka

Sumber Buku
Adams, Cindy. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta:
Yayasan Bung Karno, 2007.
Anwar, Rosihan. Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia: Volume 4. Jakarta:
KOMPAS, 2004.
Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1986.
Muhaimin, Yahya A. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-
1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.
Nasution, A.H. Kekarjaan ABRI. Jakarta: Seruling Masa, 1971.
Poesponegoro, Marwati Djoened. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta:
Balai Pustaka, 2010.
Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967. Jakarta: LP3ES, 1988.
Wilopo. Zaman Pemerintahan Partai-partai. Jakarta, 1978.

Sumber Koran
Nasution, A.H. “Tentang Peristiwa 17 Oktober 1952”, Sinar Harapan, 9
November 1972.
Simatupang, T.B. “Dua Puluh Tahun Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952”, Sinar
Harapan, 16-21 Oktober 1972.
Kedaulatan Rakjat, 30 Juni 1995.

Anda mungkin juga menyukai