Anda di halaman 1dari 33

ISSN 2502-1567

Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya

MAYANGKARA Edisi 3 / 2016


Buletin Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya

MAYANGKARA Edisi 3 / 2016

Sampul Depan:
Gapura Masjid Gedhe
Mataram Kotagede
Uneg-uneg Redaktur
SUSUNAN REDAKSI Rubrik
PENANGGUNG JAWAB:
Drs. Umar Priyono, M. Pd. KORI: rubrik pembuka berisi informasi mengenai sejarah dan
penjelasan tema buletin edisi kali ini.
PEMIMPIN REDAKSI:
Dian Lakshmi Pratiwi, S.S, M.A. PENDHAPA: tajuk utama dalam buletin.
Kotagede merupakan sebuah wilayah yang sudah Pelestarian Kawasan Cagar Budaya Kotagede Nunik Arzakiah, S. Si, M.T.
tidak asing lagi di telinga kita. Saat ini Kotagede merupakan wujud nyata dari keinginan bersama PLATARAN: rubrik ringan yang berisi perjalanan ataupun
informasi situs Warisan Budaya di berbagai tempat, khususnya
menjadi nama administrasi Kecamatan Kotagede yang untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya yang ada di DIY.
REDAKTUR:
ada di Kota Yogyakarta. Meskipun demikian, secara di Kotagede agar dapat diwariskan bagi setiap orang di
Rully Andriadi, S.S.
kontekstual Kotagede kemudian digunakan sebagai dunia dari generasi ke generasi. PRINGGITAN: rubrik berisi kajian maupun penelitian yang
nama Kawasan Cagar Budaya yang ada di 2 wilayah Pada beberapa bagian, pembaca akan dikenalkan membahas mengenai tema Buletin Mayangkara edisi kali ini.
administrasi, yaitu Kota Yogyakarta dan Kabupaten dengan potensi yang dimiliki oleh Kotagede. Pada EDITOR:
Sony Saifuddin S.S. PAGELARAN: rubrik mengenai kegiatan masyarakat dalam
Bantul. Bersama dengan beberapa kawasan lainnya, bagian lain, akan disajikan beberapa pemikiran upaya pelestarian terhadap warisan budaya dan cagar budaya
Kotagede telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar akademisi mengenai pelestarian yang dilakukan. Dan Anglir Bawono, S.S.
di Kotagede.
Budaya dengan Surat Keputusan Gubernur Daerah beberapa bagian lainnya akan disajikan mengenai
Istimewa Yogyakarta pada tahun 2011. harapan dari para praktisi pelestarian dari Kotagede. REPORTER: EMPU: rubrik wawancara interaktif dengan tokoh-tokoh yang
Mayangkara pada Edisi 3 ini berusaha menghadirkan Mayangkara Edisi 3 ini juga merupakan salah satu Pradipta Agung Kumara, S.S. berpengaruh dalam Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar
Budaya.
Kotagede dari berbagai sudut pandang yang berbeda upaya untuk mensosialisasikan pelestarian yang sudah Ruuddoni Yoga Dharma Akbar, S.S.
kepada seluruh pembaca. Hal ini dimaksudkan agar dilakukan di Kawasan Cagar Budaya Kotagede. Semoga TEBENG: rubrik berisi pandangan masyarakat terhadap
tema ini bisa memberikan warna baru terkait dengan edisi ini dapat memberikan informasi, wawasan, dan FOTOGRAFER: Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya di DIY.
tulisan yang membahas tentang Kotagede. Tulisan yang manfaat bagi semua pihak. G. Ardi Saptomo, S. T.
ada pada edisi ini berasal dari berbagai sumber terpilih, KAWRUH: rubrik berisi informasi-informasi yang tidak banyak
diketahui oleh masyarakat umum.
yang kemudian diolah dan disajikan sedemikian rupa “Lestari Warisan Budaya dan Cagar Budaya Kotagede!” DESIGN & LAYOUT:
dapat memberikan gambaran kepada pembaca secara Gilang Swara Sukma, S.S. SRAWUNG: rubrik berisi serba-serbi mengenai Warisan Budaya
lebih luas. Rully Andriadi dan Cagar Budaya.
Redaktur
DISTRIBUSI & SIRKULASI:
Haryo Mungkastoro
Bhaskara Ksatria, S.T.

Sketsa Oleh: Riza Istanto


SEKRETARIAT:
Hastin Mintoasih Puntaningrum
Muasomah, S.S.

KONTRIBUTOR:
Prof. Dr. Inajati Adrisijanti
Dr. Sri Margana, M. Phil.
Drs. Prijo Mustiko
Drs. Priyo Salim
Andi Putranto, S.S., M.Sc.
Jujun Kurniawan, S.S., M.A.
Indrayanti, S.T.
Joko Nugroho
Erwito Wibowo
Erwando Abadi
Afifah Sholihah

PENERBIT:
Dinas Kebudayaan DIY

Rully Andriadi Alamat Redaksi:


Redaktur Dinas Kebudayaan DIY Redaksi menerima tulisan mengenai Warisan Budaya dan Cagar Budaya yang ada di DIY
Jl. Cendana No. 11, Yogyakarta 55166 dan sekitarnya (dengan ketentuan maks. 3 halaman A4, font Arial 11, dan disertai foto
atau gambar jika ada). Tulisan dilengkapi dengan identitas yang jelas dan nomor yang bisa
No. Telp (0274) 562628
dihubungi. Tulisan dapat dikirim ke alamat redaksi. Bagi tulisan yang sesuai dengan tema
Email: heritagediy@gmail.com akan dicantumkan dalam edisi berikutnya, sedangkan yang tidak masuk kriteria akan
dicantumkan pada website www.travelheritage.id.
Mayangkara | EDISI 2 | 2016
4 5

UBARAMPE
»»36
36 Watu gilang dan orang eropa pertama di
kotagede
Sudah tidak asing lagi bila kita berkunjung ke Kotagede dan
mendengar nama Watu Gilang. Banyak kisah legenda yang melatar
                                   belakangi asal usul situs tersebut. Banyak yang mengatakan Watu
Gilang dulunya merupakan singgasana Panembahan Senapati,
hingga kisah terbunuhnya Ki Ageng Mangir di situs berbentuk batu
6 KOTAGEDE: BERDIRI DAN SURUTNYA ini. Namun apakah benar seperti itu kisah mengenai batu tersebut?!
»»6 Oleh: Sri Margana
Kotagede merupakan ibukota pertama kerajaan Mataram
Islam. Berawal dari sebuah hutan bernama Alas
Mentaok, Ki Pemanahan mendirikan sebuah kota. Pada 44 pelestarian warisan budaya tak benda di
perkembangannya, Kotagede menjadi jantung pemerintahan kotagede
dan perekonomian Mataram Islam, hingga kemudian
ditinggalkan karena perpindahan ibu kota kerajaan. »»50
Kotagede mencapai era keemasan pada masa pemerintahan
Oleh: Inajati Adrisijanti Sultan Agung. Pada era keemasan inilah nilai-nilai
budaya Mataram tumbuh berkembang dan mewarnai pola
14 Pelestarian berbasis masyarakat di kehidupan masyarakat Mataram, yang ditandai dengan
ajaran Sastra-Gending dan Tarich Tahun Jawa. Saat ini
kawasan cagar budaya »»56 nilai-nilai budaya tersebut wajib kita lestarikan bersama.
Oleh: Prijo Mustiko
Warisan budaya sebagaimana halnya dengan Kotagede
akan mendatangkan manfaat baik bagi masyarakat di
dalamnya maupun masyarakat luas. saat ini Kotagede 50 Between two gates kotagede
telah dikenal sebagai salah satu destinasi wisata budaya, Istilah Between Two Gates diperkenalkan oleh seorang arsitek
sejarah, spiritual, kuliner yang terkenal di Yogyakarta. bernama L. Indarto. Istilah ini mengacu kepada sebuah jalan
Selain memiliki dampak positif, hal tersebut juga berdampak rukunan yang tersisa di Kotagede. Di dalam Between Two
negatif bagi pelestarian cagar budaya di Kotagede. Untuk Gates ini terdapat bangunan-bangunan tradisional yang
itu diperlukan dukungan dari segenap elemen masyarakat dapat menggambarkan suasana Kotagede di masa lampau.
dalam usaha pelestarian Kawasan Cagar Budaya Kotagede »»24 Oleh: Jujun Kurniawan
Oleh: Andi Putranto

»»14 18 Mengukir sejarah perak kotagede 24 jejak pesona masjid tertua di yogyakarta
Awal mula perak Kotagede dimulai ketika pertama Oleh: Afifah Sholihah
kali kota ini dibangun pada abad XVI Masehi. Untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga, para pengrajin perak
32 pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian
dikumpulkan dari berbagai daerah. Seiring bertambah kawasan cagar budaya kotagede
pesatnya perdagangan, permintaan akan perak terus Oleh: Erwito Wibowo
melonjak, hingga pada suatu masa, Kotagede menjadi
pusat kerajinan perak. Namun, cerita indah mengenai 48 Delik Malam DI makam panembahan senopati
jaman keemasan perak tersebut perlahan luntur dan Oleh: Erwando Abadi
»»18 akhirnya menghancurkan identitas Kotagede sebagai
kota perak. Saat ini Kotagede mulai merangkak kembali 54 Lawang pethuk: Melestarikan warisan budaya
menggapai masa-masa jaya sebagai pusat kerajinan perak. dan cagar budaya kotagede melalui pariwisata
Oleh: Priyo Salim Oleh: Joko Nugroho

28 Ahmad charis zubair: kotagede harus 56 Tadhah alas, ruang sosial warga kotagede
Oleh: Indrayanti
tumbuh berkembang sesuai akar
kulturnya 58 serba-serbi
Pada kesempatan kali ini, tim redaksi Mayangkara mendapat
kesempatan berbincang-bincang dengan salah satu tokoh
ternama di Kotagede. Bersama budayawan satu ini, kita
»»28 akan diajak menelusuri Kotagede dari masa ke masa.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


6 Kori Kori 7

KOTAGEDE
BERDIRI DAN SURUTNYA
OLEH: INAJATI ADRISIJANTI

Kotagede merupakan ibukota pertama Kerajaan


Mataram Islam. Disebut ibukota pertama karena
dalam perjalanan sejarahnya ibukota kerajaan ini
mengalami perpindahan lokasi sampai tiga kali,
yakni dari Kotagede pindah ke Plered, lalu pindah
ke Kartasura, dan terakhir pindah ke Surakarta.
Masing-masing dengan sebab dan latar belakang
yang berbeda-beda.

Watu Gilang Tahun 1925


Menurut masyarakat setempat, Situs
Watu Gilang merupakan singgasana
Panembahan Senopati semasa beliau
menjadi penguasa di kotagede.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


8 SEJARAH
Kori Kori 9

> Peta Lama Wilayah Kotagede


Gambar disamping merupakan peta lama kawasan Kotagede.
Peta tersebut dibuat sekitar tahun 1890.

Sebagaimana diketahui, Sultan Hadiwijaya sebagai


penguasa Pajang menghadiahkan Alas Mêntaok kepada
Ki Pêmanahan dan anaknya – Sutawijaya – serta Ki
Pênjawi, atas bantuan mereka memenangkan perang
antara Hadiwijaya dengan Arya Penangsang. Sumber-
sumber historiografi Jawa menuliskan bahwa Sutawijaya
diangkat anak oleh Sultan Hadiwijaya. De Graaf (1985:
21-22) berpendapat bahwa hal tersebut merupakan
jaminan kesetiaan Ki Pêmanahan kepada Pajang. Akan
tetapi, tidak dapatkah hal tersebut ditafsirkan sebagai
upaya legitimasi dari pihak Mataram pada kurun waktu
yang lebih muda? Mengingat Sutawijaya kemudian
menjadi raja pertama Mataram-Islam (Adrisijanti: t.th.: ^ Pasar Legi Kotagede
40). Suasana Pasar Legi ketika hari pasaran. Banyak warga dan pedagang
Terlepas dari dugaan tersebut, Ki Pêmanahan dengan burung memadati Pasar Legi Kotagede.
keluarga dan pengikutnya kemudian pindah ke wilayah
Alas Mêntaok. Di dalam Babad Tanah Jawi (Olthof,
1941: 64) digambarkan bahwa mereka berangkat Manggisan ke arah selatan sampai wilayah Sareman,
dalam satu rombongan besar, dan beristirahat di berbelok ke utara mengikuti aliran Sungai Gajahwong
beberapa tempat antara lain di Taji (dekat Prambanan sampai wilayah Belehan, lalu berbelok ke timur sampai
sekarang), kemudian menyeberang Sungai Opak, lalu Kampung Baluwarti lagi (Adrisijanti: t.th., 51). Namun,
menuju Alas Mêntaok. Di tempat ini mereka kemudian sampai sekarang belum didapatkan tanda-tanda tempat
membuka hutan untuk dijadikan permukiman, yang pintu gerbangnya.
menjadi embrio Kotagede. Di wilayah Kêdhaton dan Dalêm juga terdapat struktur
Nama Kotagede diduga berasal dari kata Kutha dari bata dan batu putih yang di beberapa tempat masih
Gede yang berarti benteng besar. Mengapa disebut agak utuh, dan mengelilingi wilayah tersebut. Struktur
“benteng besar”? Karena wilayah Kotagede ini dahulu ini adalah sisa-sisa tembok cêpuri, yaitu benteng dalam
dilindungi oleh benteng dua lapis yang melingkupi area yang mengelilingi kraton. Kedua benteng tersebut juga
seluas sekitar 200 ha. Lapis luar yang disebut baluwarti dilengkapi dengan jagang yakni parit lebar dan dalam
sekarang masih dapat disaksikan sisa-sisanya di di luar benteng untuk pertahanan dan keamanan.
Kampung Baluwarti, kemudian mengikuti aliran Sungai Keberadaan benteng dan parit pertahanan di Kotagede
juga dinyatakan di dalam Babad Momana (PBE 100,
243), dan Babad Tanah Jawi (Olthof, 1941: 79-80,
v Sisa-sisa Benteng Cepuri Kotagede
Foto dibawah ini menunjukkan sisa-sisa Benteng Cepuri Kotagede.
108); bahkan pembangunannya dipakai sebagai tanda
Oleh masyarakat sekitar sisa benteng tersebut dipercaya sebagai bahwa Senapati akan melepaskan diri dari Pajang. Di
benteng yang pernah dijebol oleh Raden Rangga. dalam Babad Momana disebutkan bahwa benteng kota
Mataram selesai dibangun pada tahun 1516 Ç = 1591
M. Keberadaan benteng serta jagang juga disebut-sebut
dalam laporan perjalanan orang-orang Belanda yang
berkunjung ke Kotagede pada perempat pertama abad
XVIII (Koloniaal Archief no. 992, Leemans, 1855).
Diriwayatkan dalam Babad Tanah Jawi bahwa
setelah Ki Pêmanahan membuka Alas Mêntaok
menjadi permukiman baru, banyak orang datang
untuk berdagang hasil bumi dan keperluan hidup
lainnya, bahkan kemudian menetap. Perdagangan yang
semula berlangsung dalam skala kecil itu makin lama
makin besar, bahkan pasar di Kotagede berkembang
menyaingi pasar di ibukota sebelumnya, yakni Pajang,
kemudian menjadi pasar utama bagi daerah Mataram
dan sekitarnya. Oleh karena itu, Kotagede juga dijuluki
Pasar Gede, dan pasar itu masih hidup sampai saat

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


10 Kori Kori 11

ini. Memang seperti pasar-pasar tradisional lain sesudah itu tahun 1533 Ç (1611 M) beliau
sampai saat inipun komoditi dagang di Pasar juga memerintahkan membuat krapyak, yang
Legi (nama pasar di Kotagede) sangat bervariasi. setahun kemudian tahun 1534 Ç (1612 M)
Mulai dari barang-barang konsumsi, hasil bumi, sudah dapat digunakan. Dalam surat yang ditulis
pecah belah, tanaman, unggas, alat-alat rumah oleh orang Belanda yang ditawan di Mataram
tangga, sampai sandang, ada semua. Sampai bertanggal 22 Juni 1620 M, diberitakan bahwa
sekarang pada hari pasaran Legi pasar Kotagede Sultan Agung memerintahkan membuat kolam
ini “tumpah” sampai ke jalan. di halaman istana untuk tempat bersenang-
Sebagaimana halnya kota-kota pusat senang para wanita kraton.
pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam pada Menurut Hourani (t.t.: 21-23) suatu kota tidak
umumnya, di Kotagede juga dibangun masjid terdiri dari kumpulan bangunan saja, melainkan
agung. Di dalam Babad Momana (PBE 100, ada penduduk yang menghidupkan kota itu.
242) disebutkan bahwa pembangunannya Kelompok-kelompok masyarakat penghuni kota
selesai pada tahun 1511 Ç (1589 M). Di dapat dikelompokkan atas beberapa kriteria,
halaman belakang Masjid Agung Mataram yaitu: atas dasar jenis pekerjaannya, atas dasar
terdapat Makam Agung, tempat pemakaman tempat asalnya, dan atas dasar strata sosialnya.
para peletak dasar kerajaan Mataram Islam, Di kota-kota kuno biasanya hunian masyarakat
di antaranya: Ki Pemanahan, Panembahan dijadikan cluster-cluster sesuai dengan kriteria
Senapati, Sunan Seda ing Krapyak, serta di atas, dan nama cluster-cluster itu masih
keluarga kerajaan lainnya. Pemakaman ini ada sampai sekarang, meskipun kelompok
tentunya mulai dibuat setelah masjid selesai asalnya sudah tidak dijumpai lagi. Nama-nama
dibangun. cluster itulah yang disebut toponim. Selain
Sebagai suatu kota pusat pemerintahan, nama kelompok masyarakat, toponim juga
Kotagede juga mempunyai kraton sebagai mengindikasikan bangunan atau bagian dari
kediaman raja beserta keluarganya. Berdasarkan kraton.
beberapa sumber tertulis, salah satunya de Graaf Masih banyak dijumpai toponim yang
(1985: 53) menyimpulkan bahwa pembangunan menggambarkan kehidupan masyarakat pada
kraton Mataram-Islam terjadi pada tahun 1500 masa lalu di Kotagede ini, antaralain: Pandhéyan,
Ç (1578 M). Sayang, sekarang kita tidak Kemasan, Mranggèn, Singasarèn, Purbayan,
mendapatkan lagi jejak-jejak kraton tersebut di Kêdhaton, dan Dalêm. Kesulitan dalam
Kotagede, kecuali toponim (nama tempat) yang menganalisis konteks sejarah toponim-toponim
mengindikasikan bagian kraton, yakni Kêdhaton itu adalah kurangnya data tentang kapan atau
dan Dalêm. Pada toponim Kêdhaton disimpan pada masa pemerintahan siapa toponim itu
Watu Gilang yang dipercaya sebagai bekas muncul, tetapi toponim atas nama bangsawan
singgasana Panembahan Senapati, berbentuk tertentu justru dapat dilacak kronologinya.
tempayan batu. Berkaitan erat dengan kraton, Dalam perkembangannya para raja Mataram
biasanya ada Alun-Alun. Di Kotagede tidak Islam juga mendesain pemakaman terutama
ditemukan lagi data ekofaktual tentang Alun- bagi keluarga kraton. Pertama kali dibangun
Alun, hanya ada kampung Alun-Alun yang pemakaman kerajaan di halaman belakang
sudah berupa permukiman penduduk. Menilik Masjid Agung. Babad Momana (hlm. 242)
lokasinya, diduga kampung tersebut dahulu mencatat tahun 1528 Ç (1606 M) sebagai
adalah Alun-Alun kraton Mataram pada masa selesainya pembangunan makam tersebut.
keemasan Kotagede sebagai ibukota kerajaan Berikutnya dibangun pemakaman di bukit
Mataram Islam. Girilaya pada tahun 1551 Ç / 1553 Ç (1629 M /
Sumber babad dan catatan orang-orang 1631 M), meskipun masa penggunaannya tidak
Belanda menyebutkan tentang taman kerajaan panjang. Selanjutnya Sultan Agung memulai
dan krapyak (hutan perburuan kerajaan) di pembangunan pemakaman kerajaan di bukit
lingkungan kota. Akan tetapi, data kebendaan Merak pada tahun 1554 Ç. Babad Momana (hlm.
tentang keduanya tidak ditemukan kembali. 248) mencatat sebagai berikut: “ .... awit babad
Disebutkan bahwa Panembahan Seda ing malih ing rêdi Mêrak, badhé antakapura ...” ,
Krapyak memerintahkan untuk membuat Taman artinya: ... mulai membuka (hutan) lagi di Bukit
Gapura Masuk Sendang Seliran Danalaya yang selesai pada tahun 1527 Ç Merak, untuk pemakaman kerajaan ...”; dan
Sendang Seliran merupakan salah satu (1605 M) (Babad Momana, 244). Dalam Babad disebutkan bahwa pembangunan pemakaman
komponen yang terdapat di Kompleks Momana juga disebutkan bahwa enam tahun itu selesai pada tahun 1567 J (= 1645-1646
Masjid Gede Kotagede. Sendang
tersebut terletak di sebelah selatan
Makam Kotagede.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


12 Kori Kori 13

berikutnya kerajinan perak juga membangkitkan Kotagede,


antara lain karena para perajin perak di wilayah Kemasan dapat
melayani dan mengembangkan permintaan pasar. Demikian
pula pasar (yang kemudian dinamai Pasar Legi) tetap hidup,
bahkan makin ramai pada saat ini.
Meskipun jejak-jejak kebendaan kerajaan Mataram Islam di
Kotagede tinggal sedikit, tetapi jejak-jejak budaya intangible
masih eksis di sana-sini. Bangunan-bangunan yang menandai
perjalanan sejarah panjang Kotagede masih dapat disaksikan.
Akan tetapi, semua itu memerlukan tindakan-tindakan
pelestarian dan pengembangan, supaya maknanya dikenal dan
dihargai oleh masyarakat luas.

DAFTAR PUSTAKA

Adrisijanti, Inajati, t.th. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, Yogyakarta:


Penerbit Jendela
Babad Momana, naskah koleksi Museum Sonobudoyo, no. PBE 100

Graaf, H.J.de, 1985. Awal Kebangkitan Mataram. Masa Pemerintahan


Senapati ( terj.), Jakarta: Pustaka Graffiti Pers.

-------------------, 1986. Puncak Kebesaran Mataram. Politik Ekspansi


Sultan Agung (terj.), Jakarta: Pustaka: Graffiti Pers.

Kolonial Archief no. 1031, Koleksi Arsip Nasional

Leemans, C., 1855. “Javaansche Tempel bij Prambanan”, dalam BKI 3deel,
pp. 1-26

Olthof, W.L., ed., 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking
Nabi Adam Doemoegi ing Tahoen 1647, ‘sGravenhage: M. Nijhoff

Ricklefs, M.C., 1974. Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792. A


history of the Division of Java. London: Oxford University Press

^ Situs Bokong Semar Inajati Adrisijanti


mendapat tempat terhormat di Nama Inajati Adrisijanti sudah
Situs yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Bokong Semar tersebut merupakan sisa-sisa benteng Baluwarti
dalam masyarakat, bahkan sampai tidak asing lagi ditelinga para
Kotagede. Masyarakat sekitar menyebutnya Bokong Semar karena bentuknya yang lengkung dianggap mirip
ketika kerajaan Mataram Islam dibagi pemerhati budaya. Profesor di
dengan Bokong tokoh pewayangan Semar. Saat ini, situs tersebut dikelilingi oleh pemukiman padat penduduk.
menjadi dua, menjadi Surakarta dan bidang arkeologi ini bisa dibilang
Yogyakarta. Kotagede tidak ikut dibagi pakar perkotaan kuno, termasuk
M). Menurut seorang sejarawan, Ricklefs (1978: di Karta, dan mulai tinggal di kraton baru pada dua, melainkan dikelola bersama- Kotagede. Desertasi untuk
44-45) tidak sampai setahun setelah pembangunan tahun 1540 Ç (1618 M). Akan tetapi ibu suri sama oleh kedua kerajaan, karena gelar doktornya yang berjudul
itu selesai, Sultan Agung mangkat dan dimakamkan masih tinggal di kraton lama (Kotagede). Setelah di Kotagedelah makam para peletak “Arkeologi Perkotaan Mataram
di pemakaman yang dibangunnya itu, sebagai yang Sultan Agung mangkat, raja yang baru yaitu dasar kerajaan berada. Jauh sesudah Islam” menjadi buku pegangan
pertama. Susuhunan Amangkurat I tidak bersedia tinggal masa kejayaan Kotagede sebagai penting bagi orang-orang yang
Tampaknya pembangunan pemakaman kerajaan di kraton Kerta. Ia membangun kota yang baru di ibukota kerajaan, geliat kehidupan ingin mengkaji mengenai kota-
di bukit berkaitan dengan peningkatan kekuasaan Plered. Dengan demikian Kotagede sebagai ibukota ekonomi di lokasi itu mulai semarak kota kuno. Kini ia didapuk
politik, ekonomi, dan sosial kerajaan. Karena kerajaan Mataram Islam ditinggalkan sepenuhnya. lagi ketika golongan Kalang berjaya sebagai salah satu Tim Ahli
pembangunan pemakaman di atas bukit, tentu Namun, diduga banyak di antara aspek-aspek dengan bisnis transportasi, batik, dan Cagar Budaya DIY.
memerlukan perencanaan serta pelaksanaan yang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang pegadaian. Banyak bangunan megah
lebih cermat dan lebih matang, didukung oleh masih didukung dari warga Kotagede. Dugaan ini dengan gaya arsitektur campuran
kekuasaan yang besar. diperkuat oleh sedikitnya toponim di wilayah Plered Jawa – Indis didirikan, terutama di
Menarik perhatian bahwa sewaktu Sultan yang menunjukkan profesi pendukung kehidupan wilayah Tegalgendu (di bagian barat
Agung bertahta – sebelum membangun makam di sosial dan ekonomi. Kotagede), karena keberhasilan
Girilaya--, beliau sudah mulai membangun kraton Sebagai kota bersejarah Kotagede masih materiil mereka. Pada masa

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


14 TEBENG TEBENG 15

KOTAGEDE
KONSERVASI BERBASIS MASYARAKAT
DI KAWASAN CAGAR BUDAYA
Oleh: Andi Putranto

Kawasan Kotagede saat ini telah menjadi kerajaan di Nusantara. Sebagai sebuah ibukota
sebuah kawasan yang dalam ranah kebudayaan kerajaan besar di Nusantara pada waktu itu
merupakan sebuah kawasan cagar budaya melalui tentu Kotagede memiliki cukup banyak struktur,
SK Gubernur DIY No. 121/KPTS/1989. Sesuai bangunan, maupun situs cagar budaya yang hingga
dengan surat tersebut dan merujuk pada UU saat ini masih dapat dinikmati keberadaanya dan
Republik Indonesia No. 11 Thn. 2010 Tentang menjadi sebuah asset berharga bagi kebudayaan
Cagar Budaya, maka Kotagede telah dinyatakan Jawa.
sebagai sebuah satuan ruang geografis yang di Pada saat ini Kotagede telah menjadi aset
dalamnya terdapat situs-situs cagar budaya yang yang dimanfaatkan sebagai objek pariwisata yang
memiliki tata ruang yang khas, memiliki nilai menonjol di Yogyakarta, baik dalam bentuk wisata
penting yang harus dijaga kelestariannya. budaya, wisata kuliner, wisata sejarah dan arsitektur
Sebagai sebuah kawasan cagar budaya, hingga wisata belanja khususnya kerajinan perak,
Kotagede memiliki banyak aset yang bernilai khusus seperti yang ditulis Maretiya Pusporetno dalam
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama artikelnya berjudul “Kotagede sebagai Kawasan
dan kebudayaan. Jenis cagar budaya yang berupa Wisata Budaya dan Sejarah, Wisata Spiritual,
kawasan secara hirarkhi menempati tingkatan Wisata Kuliner dan Belanja”.
atau kedudukan yang paling kompleks (selain itu Hal ini tentunya berdampak positif bagi
ada benda, struktur, bangunan, dan situs cagar masyarakat setempat dengan dikenalnya Kotagede
budaya). Kompleksitas inilah yang juga dapat oleh masyarakat luas baik di dalam maupun di luar
dijumpai di Kotagede. negeri. Dampak positif dari adanya pemanfaatan
Menurut Inajati Adrisijanti, Kotagede juga kawasan cagar budaya salah satunya adalah
menandai suatu era perubahan pemilihan lokasi sebagai aset yang bernilai ekonomis sebagai
ibukota kerajaan yang lebih berada di pedalaman destinasi kunjungan wisata yang diharapkan dapat
daripada di pesisir pantai sebagaimana tren meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
yang berkembang pada masa-masa sebelumnya
berkaitan dengan karakter fisik lahan dari kerajaan-

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


16 TEBENG TEBENG 17

Kotagede Sebagai Aset Budaya Hal ini sangat penting khususnya


Dalam konsep global mengenai heritage atau dengan ciri yang khas yang masih kental melekat ketika berbicara Kotagede sebagai
warisan budaya (di dalamnya termasuk peninggalan melalui hubungan sosial dan tradisi yang masih aset budaya bernilai tinggi yang di
cagar budaya) nilai ekonomi dan budaya akan selalu dilestarikan. Kotagede juga penuh dengan nilai masa depan akan menjadi penguat
menjadi elemen penting yang menjadi perhatian, simbol yang terus bertahan seiring perkembangan identitas masyarakat setempat yang
khususnya dalam konteks konservasi cagar budaya. jaman. akan diwariskan kepada generasi
Menurut David Trosby dalam bukunya yang berjudul penerusnya.
“Economic and Cultural Value In the Work of Tantangan, Peluang dan Pelestarian Kawasan Kurmo Konsa pernah
Creative Artist”, peninggalan kebudayaan baik yang Kotagede mencetuskan sebuah gagasan untuk
bersifat tangible maupun intangible memiliki nilai- Warisan budaya (benda maupun tak benda) menangani masalah semacam yang
nilai budaya yang di dalamnya mengandung: merupakan sebuah daya tarik tersendiri yang ke dialami di Kotagede. Gagasan yang
• Nilai estetika ( keindahan, harmoni) depannya secara perlahan akan menjadi penggerak dapat diajukan disini adalah sebuah
• Nilai spiritual (pencerahan, pemahaman, aktifitas ekonomi dan pembangunan suatu konservasi berbasis masyarakat,
pengayaan batin) wilayah, begitulah pendapat Marianne Lehtimaki khususnya adalah masyarakat pada
• Nilai sosial (hubungan antar manusia, seorang arsitektur dari Finlandia. Warisan budaya saat ini. Dalam hal ini bagaimana
pembentuk identitas kelompok masyarakat) sebagaimana halnya dengan Kotagede akan proses pelestarian harus dapat
• Nilai historis (keterkaitan dengan peristiwa menjadi aset ekonomi yang akan mendatangkan bersinergi dengan masyarakat di
masa lalu) manfaat baik bagi masyarakat didalamnya maupun sekitarnya. Keterlibatan masyarakat ^ Membersihkan Pintu
• Nilai simbol (tempat dimana suatu arti atau dalam kegiatan pelestarian harus selalu Seorang pekerja sedang membersihkan pintu Rumah Kalang
masyarakat luas. Saat ini Kotagede telah dikenal
di Jl. Tegalgendu. Dalam sebuah kegiatan Rehabilitasi Cagar
makna tersimpan) sebagai salah satu destinasi wisata budaya, sejarah, dikedepankan, Pelestarian harus diupayakan
Budaya, masyarakat selalu dilibatkan.
Nilai-nilai tersebut cukup mudah dapat ditemukan spiritual, kuliner yang terkenal di Yogyakarta. Hal berjalan selaras antara harapan dan tujuan yang
di Kotagede. Secara estetika tidak ada yang menolak ini juga didukung oleh peran serta masyarakat ingin dicapai baik oleh pihak pemerintah, stakeholder Lehtimaki, Marianne. 2010. “Safeguarding Regional Richness
bahwa peninggalan budaya baik bendawi maupun setempat dalam mendukung eksistensinya. dan masyarakat setempat di Kotagede. Hubungan of Cultural Heritage”.in Conference Proceedings of Cultural
Heritage-Contemporary Challenge. 4th Baltic Sea Region
tak benda di Kotagede mampu menciptakan kesan Selain dampak positif, tentu saja tidak dapat yang baik dan keterlibatan masyarakat setempat Cultural Heritage Forum. Riga: State Inspection for Heritage
keindahan dan harmoni/keselarasan yang tercermin dikesampingkan potensi munculnya dampak negatif akan memberikan pengaruh yang signifikan dalam Protection of Latvia.page 8-10.
dalam pola susunan keletakan antar komponen sebagai konsekuensi yang akan dihadapi Kotagede kegiatan pelestarian peninggalan di Kotagede.
Pusporetno, Maretiya. 2014. “Kotagede Sebagai Kawasan
yang ada di dalamnya. Kraton, masjid, alun-alun, sebagai sebuah kawasan wisata yang bernilai Rumusan konservasi berbasis masyarakat Wisata Budaya dan Sejarah, Wisata Spiritual. Wisata Kuliner
dan komponen lainnya memberikan suatu pola yang ekonomi tinggi. Pada tahap ini, isu kelestarian di Kotagede pada saat ini telah dirintis sejak dan Belanja”. Jurnal Destinasi Kepariwisataan Indonesia. Vol. 1.
jelas mengenai tata ruang sebuah kota kerajaan di mungkin akan semakin mengemuka terkait dengan beberapa waktu silam. Keterlibatan kelompok sadar No.1. Jakarta: Kemenpar.
Jawa lengkap beserta tradisinya. peninggalan cagar budaya yang berada di dalamnya. wisata, pemerhati budaya, dan lembaga lainnya Trosby, David. 2000. “Economic and Cultural Value In the Work
Kotagede juga memiliki nilai spiritual yang Peran serta masyarakat dan pemerintah dalam semakin menunjukkan adanya animo yang cukup of Creative Artist. In Avrami”, Erica. et.al. Values and Heritage
mampu membawa siapapun yang berkunjung mengantisipasi hal ini sangat diperlukan. Tanpa besar dalam keterlibatannya terhadap pelestarian Conservation. Los Angeles: The Getty Conservation Institute.
Page 26-30.
dapat memperoleh suatu pengayaan batin dengan kesadaran yang tinggi dampak negatif akan terlambat peninggalan cagar budaya di Kotagede sekaligus
merasakan atmosfir kebudayaan yang ada. Nilai untuk diantisipasi yang pada akhirnya justru akan pemanfaatannya sebagai bagian tidak terpisahkan.
historis Kotagede jelas sudah tidak diragukan lagi merugikan bagi peninggalan cagar budaya maupun Diharapkan pada masa mendatang hal ini akan
sangat berperan besar dalam perjalanan bangsa. masyarakat yang tinggal di dalamnya. semakin berkembang dengan baik, saling bersinergi
Nilai sosial yang berkembang di Kotagede pada Pengembangan dan pemanfaatan Kotagede bersama antara masyarakat, dan pemerintah
masyarakatnya sangat kental secara turun temurun sebagai aset budaya sekaligus aset ekonomi sehingga mampu memberikan dampak positif yang
khususnya sebagai obyek pariwisata kuat dan meminimalkan dampak negatif.
harus selalu berbasis pada Konservasi berbasis masyarakat idealnya juga
pelestarian baik aspek peninggalan dapat dicoba diterapkan di kawasan cagar budaya
cagar budaya maupun budaya yang lainnya di Yogyakarta pada khususnya dan di
masih berlangsung hingga saat ini. Indonesia pada umumnya. Hal ini disebabkan karena
peninggalan cagar budaya dalam suatu kawasan
< Peziarah Makam Panembahan
adalah milik dan menjadi bagian tak terpisahkan
Senopati dari masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Andi Putranto
Makam Panembahan Senopati
Referensi Dosen berambut gondrong ini sudah malang melintang
merupakan salah satu Cagar Budaya
yang diminati oleh pengunjung di
dalam bidang konservasi. Sepak terjang dalam kajian
Adrisijanti, Inajati. 2007. “Kota Gede: An Archaeological mengenai konservasi sudah tidak perlu ditanyakan lagi.
Kotagede. Makam tersebut memiliki Perspective of A Capital City in Java in The 17th Century”.
nilai penting yang luar biasa dalam Jurnal Humaniora. Vol.17. No. 2. Juni. Yogyakarta: FIB UGM. Ia telah banyak menkaji mengenai konservasi kawasan di
konteks sejarah Kawasan Cagar Budaya Hlm.125-134. berbagai kota di Indonesia. Baginya, Kotagede merupakan
Kotagede. Pada foto tersebut terlihat salah satu kota tua yang menarik untuk diperhatikan.
Konsa, Kurmo. 2015. Modern Conservation: Connecting
rombongan pengunjung makam Objects, Values and People.Latvia.
Panembahan Senopati sedang melewati
Gapura untuk masuk ke dalam areal
makam.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


18 PRINGGITAN PRINGGITAN 19

MENGUKIR SEJARAH
PERAK KOTAGEDE
Oleh Priyo Salim

Pernahkah Anda berpikir bagaimana Kotagede bisa menjadi pusat


kerajinan Perak? Kapan itu terjadi? Bagaimana Perak berkembang disini?

Seperti kebanyakan warga Eropa, Mary Agnes van Gesseler Verschuir, istri PRW van
Gesseler Verschuir, Gubernur Jogjakarta tahun 1929, rutin mengadakan acara minum
teh di kediamannya. Peralatan perak yang digunakannya polos tanpa ukiran yang ia
bawa langsung dari Belanda. Pada suatu hari Agnes tertarik dengan seni tatah ukir
perak yang banyak dikerjaan orang Kotagede pada masa itu.
Dia mempunyai ide memesan alat makan dan minum perak dari pengrajin perak
Kotagede yang diberi ornamen budaya Jawa. Nyonya Agnes meminta seniman untuk
menggambarkan relief yang ada di Candi Prambanan (abad IX M). Kemudian gambar
tersebut diserahkan kepada pengrajin perak di Kotagede yang kemudian dilukiskan pada
bokor atau piring yang dipesannya. Puas dengan hasil pesanan pertama pada tahun
1929 itu, pesanan pun terus bertambah, baik untuk memenuhi kebutuhan pribadi
ataupun sebagai souvenir bagi para relasi. Ornamen yang digunakan pun bertambah,
mengambil contoh ukiran dari Candi Boko, Candi Borobudur (abad VIII M), ukiran
Masjid Mantingan Jepara (abad XVI M), ukiran yang terdapat pada Pura Pakualaman
bahkan juga motif khas Sumatera Barat dan Palembang.
Tahun 1932 Mary Agnes membuka showroom di Kepatihan yang menampung hasil
kerajinan perak Kotagede serta menetapkan standar kadar perak kerajinan harus 800.
Showroom tersebut sangat berguna karena pada saat itu di Kotagede sendiri belum
berdiri satupun toko perak. Aneka produk perak yang dipamerkan merupakan hasil
asimilasi budaya, serta diterapkan pada berbagai produk baik yang asli digunakan
bangsawan Jawa ataupun perlengkapan ala Eropa. Beberapa diantaranya berupa
perabotan makan minum, tempat buah, tempat anggur, tempat rokok, tempat permen,
tempat lilin, tempat serbet, bokor, piala, asbak, serta perhiasan gaya Eropa. Semua
produk itu dihias dengan teknik ukir perak khas Kotagede yang terinspirasi motif ukiran
kayu dan motif relief candi dan lain sebainya. Produk-produk tersebut mengundang
perhatian kaum ekspatriat lain maupun wisatawan Belanda yang berkunjung ke
Kotagede. Permintaan pun meningkat tajam, baik dari mereka yang berkunjung sendiri
ke Kotagede maupun lewat relasi yang berkunjung ke Yogyakarta. Sebagian dari koleksi
Mary Agnes ini termasuk diantara ratusan kerajinan perak Kotagede yang dipamerkan
di Museum Tropen Belanda pada tahun 2005.
Pada tahun 1932 itu juga atas bantuan Sultan HB VIII, pemerintah Kolonial
Belanda membentuk Stichting Beverdering van het Yogyakarta Kenst Ambacht (disebut
juga Pakaryan Ngayogyakarta). yang berfungsi untuk mengembangkan dan mengecek
kualitas dan desain produk perak dan kerajinan lainnya di Yogyakarta.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


20 PRINGGITAN PRINGGITAN 21

Tentang Kantor Pakaryan


Pakaryan Ngayogyakarta
ini memberikan pelatihan
tentang teknik pembuatan
kerajinan perak dan
pengembangan akses pasar.
Kegiatannya antara lain
mengikuti Pekan Raya di
Jepang tahun 1937 dan di
Amerika tahun 1938. Istilah
pakaryan perak dimaksudkan
sebagai usaha membuat
barang-barang seni dari
perak. Semula, barang-barang
tersebut dibuat tidak untuk
diperdagangkan apalagi
memperoleh profit secara
besar-besaran, tetapi sekedar
untuk mencukupi kebutuhan ^ Mengolah Kepingan Perak
sehari-hari. Usaha pakaryan Seorang pengrajin perak binaan Priyo Salim sedang mengolah kepingan perak. Kepingan tersebut
perak ujung-ujungnya nantinya akan dijadikan perhiasan seperti pin maupun liontin.
mengalami perkembangan
dengan adanya organisasi dan Bengkel Perak Kraton Yogyakarta menginvestasikan uang dan pengetahuan
spesialisasi, hingga akhirnya Awal mula perak Kotagede dimulai mereka dalam kegiatan ekonomi baru,
mendorong tumbuhnya ketika kota ini mulai dibangun pada abad termasuk menjadi pengusaha perak.
perusahaan perak di
XVI Masehi. Kotagede yang merupakan Sejak saat itulah perak Kotagede
Kotagede. Ada 4 perusahaan
pusat kerajaan yang berkembang sangat menggeliat setelah beberapa dekade
besar dengan karyawan rata-
rata 10 orang dan beberapa pesat. Untuk memenuhi kebutuhan sebelumnya sangat minim produksi.
perusahaan kecil yang menjadi rumah tangga serta perdagangan, Perang Dunia I mengakibatkan
supplier bagi perusahaan- Kotagede mulai meningkatkan produksi berkurangnya pasokan mori dari
perusahaan besar yang ada. perak yang merupakan salah satu simbol Eropa, Kurangnya kesediaan bahan
Meskipun begitu, perak kemewahan masa itu. Perak menjadi mengakibatkan kejayaan batik surut dan
Kotagede masih dikerjakan komoditas yang sangat prestis kala itu, secara perlahan digantikan kerajinan
dengan cara yang sama, yaitu bahkan sudah ada sejak sebelumnya perak. Inneke Felix, seorang antropolog
sebagai suatu bentuk kerajinan
(masa Hindu-Buddha). pengikut Nakamura menyatakan bahwa
yang menuntut keterampilan
Ketika sudah tidak menjadi ibu jaman batik Kotagede terjadi pada tahun
tangan.
Pada masa kejayaan perak, kota kerajaan, Kotagede tetap menjadi sebelum 1925 dan jaman perak pada
warga Kotagede dapat dibilang kota perdagangan yang sangat penting. 1930 -1942.
cukup makmur. Sebagai Hingga pada masa Kraton Yogyakarta. Secara tak langsung, Mary Agnes
perbandingan, penghasilan Awal abad 20 perak Kotagede memiliki peran atas kemajuan Perak
penatah perak yang terkenal diproduksi guna memenuhi pesanan alat Kotagede. Usaha yang ia lakukan
saat itu setara dengan 30 kg rumah tangga serta perhiasan keraton mempelopori para pengrajin perak di
beras atau saat ini mencapai Yogyakarta, selain untuk perdagangan Kotagede untuk mengembangkan usaha
Rp 300.000 perhari. Jumlah
tentunya. Motif ukirannya khas yang kerajinan perak mereka.
yang cukup besar tentunya,
dikenal tatah ukir Jawa, seperti Lung Kegilaan Sultan HB VIII akan perak
terlebih karena saat itu tidak
semua kalangan mampu dan Gurda. Teknik tatah ukir pun masih semakin mendorong Kotagede sebagai
mengkomsumsi beras 3x sederhana yaitu teknik cawen, tanpa pusat kerajinan perak. Andaikata
sehari. Sayangnya banyak yang wudulan. tidak didukung oleh kolaborasi Kraton
tidak menurunkan keahlian Yogyakarta dan Pemerintah Kolonial
itu pada keturunannya. Tak Zaman Keemasan Belanda, mungkin jaman keemasan
hanya itu, belum maraknya Pada tahun 1930 kejayaan kerajinan perak di Kotagede tidak akan tercapai. Melebur Perak
aktivitas keagamaan di perak di Kotagede mengalami masa Seorang pengrajin perak sedang melebur
Kotagede pada saat itu
kejayaan. Nakamura, dalam penelitian Redupnya Perak-perak Kotagede perak. Foto tersebut merupakan foto sekitar
mendorong budaya hedonis di
di Kotagede menyatakan bahwa Setelah mengalami masa tahun 1930 koleksi dari KITLV-media.
kalangan pengrajin perak.
keberhasilan usaha batik menciptakan keemasannya, perak-perak di Kotagede
beberapa pedagang baru yang lambat laun mulai redup. Pecahnya

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


22 PRINGGITAN PRINGGITAN 23

perang dunia II dan kedatangan bangsa Jepang produksi tatahan kemudian diikuti oleh kreasi mulia yang ‘tanggung’ menjadi
menjadi faktor dimulainya kemunduran perak miniatur dari teknik produksi trap-trapan yang berupa salah satu alasan kenapa hal
Kotagede. Orang Belanda sebagai konsumen perahu layar dalam berbagai bentuk dan ukuran, tersebut susah untuk digapai.
utama produksi kerajinan perak Kotagede perlahan berbagai macam binatang seperti burung merpati, Perak dikatakan sebagai logam
meninggalkan Jawa. Hal ini berakibat menurunnya burung merak, ikan koki, ikan arwana, kijang, gajah, mulia ‘tanggung’ karena dari segi
produksi kerajinan perak Kotagede. Tak hanya alat musik biola, mobil kuno, motor gede, pesawat, bahan bakunhya terbilang mahal,
penurunan secara kuantutas, kualitas produk perak becak, andong, rumah adat dll. Kreasi miniatur trap- namun hasil kerajinan perak tidak
Kotagedepun merosot tajam. Banyak perusahaan trapan ini dipelopori oleh Subono (almarhum). dapat menjadi sebuah investasi
perak beralih memproduksi kerajinan lain. Pada periode 80-an muncul generasi muda seperti logam emas contohnya.
Sesudah Indonesia merdeka, Presiden Sukarno yang dilahirkan setelah kemerdekaan yang Meskipun akhir-akhir ini sudah
memberikan bantuan perak bahan bagi pengrajin memiliki background pendidikan seni-rupa dan ada beberapa masyarakat yang
perak Kotagede dengan harga dibawah harga menggembangkan design-design baru. Design yang sadar untuk berinvestasi perak.
pasar. Namun karena desakan ekonomi dan kurang dihasilkan lebih inovatif dengan mengkombinasi Sebenarnya yang menjadi
berorientasi ke depan, banyak diantara penerima berbagai macam bahan material selain perak seperti inti dari budaya perak Kotagede
bantuan tersebut menjual kembali bantuan yang kulit penyu, tanduk, kulit ular, kerang, kayu dll. adalah gaya seni ukirnya. Salah
diperolehnya, hingga tidak dapat berproduksi. Eksplorasi design etnik seperti design Asmat, design satu cara untuk melestarikan
Pada dekade ini pengrajin perak Kotagede Kalimantan, design Sumba dan design klasik untuk budaya perak tersebut yaitu
menyerap ilmu trap-trapan (filligree) yang berasal perhiasan modern. dengan mempertahankan
dari Kendari, Sulawesi Tenggara. Hal ini mendorong Kemudian di awal tahun 90-an bermunculan seni ukir perak asli Kotagede.
munculnya perusahaan perak dengan spesialisasi design perhiasan dengan sentuhan yang lebih luas Selain itu dibutuhkan ide-ide
trap-trapan. Semula produksi trap-trapan hanya karena pengaruh masuknya ide-ide dari tamu asing kreativitas dari para pengrajin, pengusaha, serta
berujud perhiasan dengan motif bunga-bungaan. yang banyak memesan perhiasan perak di Kotagede, ^ Pernak-Pernik Perak seluruh elemen masyarakat yang masih peduli akan
dan juga masuknya teknologi produksi perhiasan Pengrajin perak di Kotagede tidak hanya memproduksi perak budaya perak Kotagede. Salahsatunya dengan cara
Booming Moda Transportasi Tradisional dan perak yang lebih maju karena terbukanya hubungan yang berukuran besar, melainkan pernak-pernik yang berukuran mengaplikasikan ukiran khas perak Kotagede pada
Pemanfaatan Teknologi Modern dengan tamu asing. kecil mulai dari cincin hingga liontin. Pernak pernik perak elemen lain (logam, kayu, maupun benda-benda
Sebuah inovasi yang dilakukan Salim Widarjo tersebut masih diminati hingga saat ini
lain).
(almarhum) mampu menggairahkan industri perak Kehancuran Budaya Perak tea set dan coffee set perak yang dibutuhkan cukup Perlu penanganan yang serius dan terpadu
Kotagede. Berawal dari dekade ini muncul design Di tahun 90-an harga perak sekitar Rp 400,000/ banyak. Sebelum 1998, satu tea set membutuhkan dari berbagai pihak untuk melestarikan kekayaan
miniatur kerajinan perak yang berujud kereta kuda, kg. Namun setelah krisis, pada tahun 1998 perak 5 kg perak dengan harga Rp 400000/kg dan ongkos budaya Kotagede dalam karya seni perak dan
kereta kencana kraton Yogyakarta, becak, gerobak, melonjak menjadi Rp 3,000,000/kg. Tingginya produksi sekitar 1,5 juta dapat dipasarkan senilai 5 mengembangkan warisan budaya yang adi luhung
garu, luku, penjual sate, penggembala kerbau, dll. harga bahan membuat industri perak Kotagede juta rupiah. Saat krisis terjadi ongkos produksi satu ini. Tentunya dukungan dan kerjasama antara
Kemunculan kreasi design miniatur dari teknik merosot drastis terlebih karena bila diterapkan di tea set menjadi menjadi hampir 20 juta. Kenaikan pemerintah dengan masyarakat juga menjadi faktor
harga yang sangat drastis hingga 4 kali lipat dalam yang sangat penting untuk mengembalikan budaya
waktu 6 bulan ini membuat daya jual menurun tajam, perak Kotagede sangat diperlukan agar usaha perak
dan margin keuntungan yang diperoleh sangat tipis. di Kotagede mampu bersaing dengan pusat-pusat
Tingginya harga perak, juga membuat koleksi kerajinan perak di tempat lain.
yang dimiliki sebagian besar pengrajin yang tidak
memiliki pertimbangan pelestarian budaya, dilebur
untuk dimurnikan kembali sehingga bisa lebih
gampang dijual dan mendapat uang cash yang
besar. Karena tingginya harga perak pasca krisis
ekonomi 1998, pesanan untuk kerajinan perak
peralatan makan minum yang membutuhkan bahan
baku banyak tak lagi datang. Peleburan perak
besar-besaran terulang lagi pada 2008, saat harga
perak mencapai Rp 6,000,000/kg. Jadi dalam satu
dekade (1998-2008) sangat banyak hasil kerajinan
perak yang dilebur. Pada tahun 2012 harga perak
pernah mencapai RP. 13,000,000/kg, namun saat Priyo Salim
ini Oktober 2016 stabil pada kisaran angka Rp Kecintaannya terhadap perak tak lepas dari peran ayahnya
7.000.000/kg. yang merupakan pengusaha perak di Kotagede. Berkat
Replika Relief di Candi Sukuh
ayahnya tersebut, Priyo Salim menggeluti kerajinan perak
Salah satu hasil kerajinan perak
Kotagede berupa replika salah satu Mengembalikan Budaya Perak Kotagede dan meneruskan usaha yang telah dirintis ayahnya. Ia
relief yang terdapat di Candi Sukuh. Mengembalikan Kotagede sebagai pusat budaya beranggapan perak Kotagede merupakan salah satu
relif tersebut menggambarkan para perak seperti masa keemasannya dulu merupakan bentuk kebudayaan yang wajib dilestarikan.
undagi (pandai besi) usaha yang sangat sulit. Posisi perak sebagai logam

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


24 Pelataran Pelataran 25

JEJAK PESONA
MASJID TERTUA
DI YOGYAKARTA
Oleh: Afifah Sholihah

Masjid dengan halamannya (plataran) terletak antara Solo di utara dan Yogya
di selatan. Halaman mesjid ditanami dengan tanaman-tanaman yang teratur dan
sangat indah. Mesjid ini dilingkupi dengan sepasang bak air (kulah) yang terletak
di bagian depan untuk berwudlu. Suara sapu yang dilakukan oleh penyapu
halaman memberi suasana tentram dan teduh menembus sampai ke ruang
tengah masjid yang agak gelap; demikian pula suara para pembaca Al Qur’an.
Suara anak-anak yang sedang bermain-main di bawah pohon yang rindang
mengusik suasana sepi. Bayangan serta dedaunan yang rimbun terlihat dalam
air yang tenang berkilauan di kulah. Umat beragama yang masuk dan keluar
melewati bayang-bayang sinar matahari memberi gambaran mempesona. Pada
umumnya semua tempat-tempat suci dan makam orang-orang Jawa memberi
kesan yang serasi antara pekerjaan manusia dan alam sehingga menciptakan
suasana tenang dalam jiwa.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


26 Pelataran Pelataran 27

B egitu lah van Mook menggambarkan Masjid


Gedhe Mataram Kotagede dalam tulisannya
yang berjudul “Kutha Gedhe” yang ia tulis pada
teduh dan tenang pun terasa. Atap tajug bertingkat
tiga dari ruang utama masjid juga atap limasan dari
serambinya semakin jelas terlihat. Halaman masjid
1926. Apa yang ia tulis mampu membuat dihiasi pepohonan rindang nan meneduhkan. Selain
ketenanganan dan kebersahajaan masjid pada masa pepohonan, di halaman masjid juga terdapat sebuah
itu terbayang. tugu peringatan jumenengan Pakubuwono X (1893-
Sudah lima abad berlalu sejak Masjid Gedhe 1939 M).
pertama kali dibangun. Pembangunannya selesai Di halaman masjid ini pula akan ditemukan dua
pada 1511 ç atau 1589 M, menurut Babad buah bangsal yang unik. Pramono, dalam skripsinya
Momana. Ini membuatnya menjadi masjid agung yang berjudul Sendang Seliran di Dalam Kompleks
tertua di Yogyakarta. Masjid, Makam dan Sendang Kotagede menulis
Kini, masjid itu berdiri di Desa Jagalan, bahwa bangsal utara diperuntukkan bagi kerabat
Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Kasunanan Surakarta. Sementara bangsal selatan
Letaknya tak seberapa jauh dari pusat kota untuk kerabat Kasultanan Yogyakarta.
Yogyakarta. Karenanya kawasan ini tetap menjadi Keberadaan dua bangsal itu menunjukkan kedua
destinasi wisata yang ramai dikunjungi. kerajaan ini tak pernah melupakan leluhur mereka.
Memasuki halaman masjid, pengunjung akan Mereka tetap menghormati tanah Kotagede hingga
disambut deretan rumah di sepanjang kiri dan kini. Itu meski kedua kerajaan ini tak memiliki
kanan jalan. Menurut data yang dihimpun Dinas hubungan yang cukup baik dan keberadaan
Kebudayaan DIY, rumah-rumah yang disebut keduanya merupakan hasil dari perjanjian Giyanti
dhondhongan itu kini sebagian dihuni oleh para abdi sebagai jalan tengah puncak perseteruan di tubuh
dalem Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Di ujung wangsa Kerajaan Mataram Islam.
deretan dhondhongan itu, berdiri gapura paduraksa. Berjalan mendekati serambi, akan ada kolam
Dari sini akan dapat dirasakan atmosfer gaya yang memisahkannya dengan halaman masjid.
arsitektur Hindu. Itu meski yang dimasuki adalah Kolam atau jagang yang berisi air jernih ini
kawasan peribadatan umat Islam. Perpaduan gaya mengelilingi bangunan Masjid Gedhe. Salah satu ^ Masjid Gedhe Mataram Kotagede
ini wajar mengingat pembangunan Masjid Gedhe gunanya untuk membersihkan kaki para jamaah Masjid ini adalah masjid tertua di Yogyakarta. Masjid yang dibangun pada tahun 1589 M ini masih kokoh berdiri. Kegiatan
masuk dalam periode awal kerajaan Islam di Jawa. yang hendak melaksanakan sembahyang di masjid. pemeliharaan masjid ini menjadi salah satu program rutin setiap tahunnya yang dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan DIY
Kala itu, peralihan dari era Hindu-Buddha ke Islam Tentu dulunya, masyarakat tak seperti sekarang
terjadi. Maka, kedatangan budaya Islam tidak yang mengenal alas kaki sebagai hal yang pokok dikhususkan untuk membuat kita fokus dalam Kompleks Masjid, Makam dan Sendang Kotagede. Yogyakarta:
beribadah kepada Tuhan dan melupakan dunia yang Skripsi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. hlm
lantas membuat pemeluknya meninggalkan budaya dan mendasar dalam berpakaian. 35.
yang telah lama ada. Mereka memadukan budaya Serambi di Masjid Gedhe Mataram Kotagede bising diluar sana.
tersebut kedalam nilai-nilai Islam. ini dulunya berfungsi sebagai tempat untuk Sudah sembilan puluh tahun lamanya, sejak Supangat, Sri Surayati dan Kayato Hardani. 2009. “Kota Gede:
van Mook mengalirkan pesona Masjid Gede Ibukota Tua yang Kian Rapuh Karena Gempa.” Lindhu Ageng
Setelah melewati gerbang paduraksa, seolah bersosialisasi masyarakat. Sesuai dengan konsep Ngayogyakarta: Warisan Budaya Pascagempa. Yogyakarta:
pengunjung akan dihadapkan pada tembok hablum min annas yaitu hubungan manusia dengan Mataram lewat tulisannya. Namun, suasana penuh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta. hlm 111.
penghalang. Tembok ini seakan “menyuruh” untuk sesamanya. Sedangkan bangunan induk memiliki kesahajaaan itu kini pun dapat dinikmati. Duduk
berbelok ke arah kanan, baru kemudian dapat konsep hablum min allah yaitu hubungan manusia di dalam bangunan utama masjid memang begitu
melihat halaman masjid. Tembok inilah yang disebut dengan Tuhannya. tentram. Apalagi sembari membayangkan apa yang
sebagai kelir. Kini, para jamaah memanfaatkan serambi masjid terjadi selama empat abad berselang, dimana pernah
Ketika memasuki halaman masjid, suasana untuk bercengkrama satu sama lain atau sekedar para leluhur melaksanakan ibadah, mengagungkan
menikmati sepoi angin selepas menunaikan ibadah nama Allah dan menghiasi masjid dengan suara-
sholat dzuhur. Beberapa memanfaatkan serambi suara bacaan Qur’an. Sayangnya, pesona yang
untuk beristirahat sejenak meneduhkan diri dari van Mook kagumi itu kini tengah berjuang agar
terik matahari. tak pernah pudar dan digilas dinamika kehidupan
Ketenangan semakin mendekam dalam jiwa modern saat ini.
ketika kaki telah melangkah memasuki bagian
utama masjid. Pencahayaan akan berkurang namun Daftar Pustaka
kesan keagungan masjid juga semakin terasa. DIY, D. K. 2014. Kotagede Khasanah Arsitektur dan Ragam
Afifah Sholihah
Suara manusia bercakap-cakap di serambi tak lagi Hias. Dinas Kebudayaan DIY. hlm 31. Gadis kelahiran Bantul 20 tahun yang lalu ini terdaftar
terdengar. Seolah zona pokok masjid ini memang sebagai salah satu anggota Himpunan Mahasiswa
Mook, H. J. van 1894-1965. (1986). Kutha Gedhe: sebuah Arkeologi. Salah satu alasannya tertarik menulis tentang
artikel karangan H. J. van Mook dalam Tijdschrift Batavia’s
< Kelir Masjid Genootschap voor Taal, Land en Volkenkunde (TBG), 1926. cagar budaya karena ia ingin membagikan ilmu Arkeologi
Masjid Mataram Kotagede yang merupakan masjid tertua Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat yang ia dapatkan di bangku perkuliahan. Berkontribusi
di Yogyakarta merupakan masjid bergaya arsitektur Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan dalam menumbuhkan serta meningkatkan kecintaan
Dokumentasi Sejarah Nasional.
tradisonal. Salah satunya dapat dilihat dari adanya kelir masyarakat terhadap cagar budaya, merupakan salah
yang terdapat di depan masjid atau setelah gapura masuk Pramono, Eka Setya. 2004. Sendang Seliran di Dalam satu cita-cita mahasiswi semester 6 yang juga gemar
ke halaman masjid.
membaca ini.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


28 EMPU EMPU 29

AcHMAD CHArRIS ZUBAIR


KOTAGEDE HARUS TUMBUH
BERKEMBANG SESUAI AKAR KULTURALNYA
Keberadaan Kotagede tidak bisa dipandang sebelah mata. Terutama bagi perkembangan Yogyakarta
secara luas. Kotagede dapat dibilang sebagai cikal bakal Yogyakarta masa kini. Sebagai kota atau wilayah
yang sudah dihuni sejak ± 5 abad, Kotagede memiliki kultur atau budaya yang sangat kuat. Budaya-
budaya yang ada di Kotagede tersebut masih dapat kita rasakan hingga kini. Namun bagaimana nasib
warisan budaya dan cagar budaya tersebut? Bagaimana pelestariannya? Serta bagaimana masyarakat
Kotagede memandang warisan nenek moyang mereka?
Untuk menjawab rasa penasaran tersebut, Tim Redaksi Buletin Pelstarian Warisan Budaya dan Cagar
Budaya Mayangkara mencoba menemukan jawabannya kepada seorang tokoh yang sudah malang
melintang dalam urusan pelestarian budaya di Kotagede. Tokoh tersebut adalah Achmad Charris Zubair,
warga asli Kotagede yang namanya sudah terkenal diseluruh penjuru Yogyakarta.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


30 EMPU EMPU 31

Sejak kapan Anda tinggal di Kotagede? Itu suatu hal yang positif. Sebab dengan adanya Kotagede bersama ayah, ibu, dan ke 5 saudaranya itu.
Saya lahir di Kotagede, orang tua asli Kotagede, lembaga dan organisasi berarti ada harapan untuk agar Masa kecilnya Ia habiskan di Kotagede hingga SMP.
walaupun ibu berasal dari bandung yang kemudian kepedulian dan kesadaran tersebut tidak hanya terserak Kemudian jejaka yang bercita-cita memiliki bioskop ini
menikah dengan ayah saya yang memang asli Kotagede. dalam benak masing-masing, namun ada tindakan memutuskan melanjutkan sekolah SMA-nya di Wates.
Jadi sejak lahir saya tinggal disini. Meskipun ada yang kongkrit. Tentu lembaga itu semestinya saling Lulus SMA di tahun 1972 Charris yang sudah mulai
periode saya ketika tinggal di Balerejo, Timoho antara bekerjasama, karena dalam merawat warisan budaya beranjak dewasa ini kemudian memutuskan kuliah di
tahun 1980-an. Kemudian di tahun 1988 sepeninggal dan cagar budaya bukan semata-mata bersaing meraup Akademi Bank Bandung, namun hanya beberapa bulan
ayah, saya kembali ke Kotagede lagi. keuntungan masing-masing. disana, Ia merasa tidak betah dan memutuskan kuliah
Dan saya kira dibentuknya Forum Badan Pengelola di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.
Menurut anda apa yang menarik dari Kotagede? Kawasan Cagar Budaya (BPKCB) Kotagede yang Ada cerita yang cukup menarik mengenai alasannya
Kita ketahui Kotagede memiliki perjalanan sejarah pertama untuk Kawasan Cagar Budaya di DIY bahkan memilih Filsafat, yaitu karena yang penting sekolah,
yang cukup panjang, dimulai dari sebuah wilayah di Indonesia, ini menjadi satu penanda bahwa marilah maka dari itu ia memutuskan memilih Fakultas yang
biasa, kemudian tumbuh menjadi ibukota kerajaan, lembaga-lembaga tadi yang peduli akan pelestarian mahasiswanya sedikit. Pria yang masuk dalam 33
dan akhirnya ditinggalkan. warisan budaya dan cagar budaya melewati satu pintu Alumni UGM Terpilih ini menjelaskan bahwa pada
Meskipun sudah tidak menjadi ibukota kerajaan, ini yaitu BPKCB Kotagede. waktu itu Ia mendaftar di UGM dan berhasil diterima
Kotagede tetap tumbuh dan berkembang menjadi kota di 2 Fakultas, yaitu SOSPOL (sekarang FISIPOL) dan
yang disatu sisi tetap mempertahankan ciri khas kota ^ Achmad Charris Zubair ditengah sesi wawancara yang Menurut anda, bagaimana peran BPKCB Kotagede Filsafat. Karena mahasiswa Filsafat lebih sedikit, Ia
lama dengan tinggalan-tinggalan budaya yang sangat dilakukan selama ini, apakah sudah efektif bagi Kotagede secara memutuskan kuliah disana.
kental, disisi lain Kotagede juga tumbuh dinamis keseluruhan? Akhirnya hingga tahun 1979 Charris berhasil
mengikuti perubahan jaman. Namun dinamika yang barangkali ada perubahan atas fungsi tata ruang Saya kira ini sebuah proses. BPKCB merupakan menyelesaikan kuliahnya. Selepas menyandang gelar
terjadi di Kotagede tidak lantas mengubah seluruh tersebut. Beberapa unsur bangunan dalam tata ruang lembaga baru, masih butuh sosialisasi keberadaannya. sarjana, Ia didapuk menjadi Asisten Dosen. Dan
wajah Kotagede, namun bahkan dinamika yang terjadi jawa mereka ubah sesuai kebutuhan, namun sejatinya Sebab masih banyak masyarakat beranggapan, lhoh kok kemudian pria yang kini bergelar doktor tersebut aktif
memperkuat ciri Kotagede sebagai kota lama. masyarakat masih sadar akan pentingnya unsur-unsur muncul lembaga baru, padahal sudah banyak lembaga- mengajar sebagai dosen Filsafat hingga sekarang.
Hal ini menurut saya sangat menarik. Ketika kota- bangunan tersebut. Kemudian perubahan bisa terjadi lembaga lain di Kotagede. BPKCB Kotagede dibentuk Sejak umur 29 tahun, lulusan Filsafat ini sudah aktif
kota lain tumbuh menjadi modern dengan wajah-wajah karena generasinya berganti, kemudian muncul masalah untuk menjadi satu forum dimana gagasan dan konsep menyelamatkan cagar budaya. Ayah dari 7 anak ini
baru, namun Kotagede justru tetap mencerminkan kota pembagian warisan bangunan yang dapat merubah tata mengenai pelestarian Kotagede diolah, yang nantinya beranggapan bahwa hidup manusia itu tidak mungkin
yg memiliki keunikan nuansa, warna maupun suasana ruang rumah Jawa. Belum lagi ada masalah ekonomi akan dilaksanakan bersama-sama oleh semua pihak. lepas dari kebudayaannya. Hal ini yang mendasari
Jawa-nya. yang mendorong masyarakat untuk menjual beberapa Saat ini anda masih menjabat sebagai Ketua Umum kecintaannya terhadap budaya. Maka dari itu, ketika ada
warisan budaya mereka. Namun secara prinsip mereka Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta, bagaimana anda tawaran untuk bergabung sebagai Dewan Kebudayaan
Tadi anda mengatakan Kotagede merupakan kota yang masih sadar dan sangat peduli dengan apa yang ada di melihat potensi Kotagede untuk kota Yogyakarta dan Kota Yogyakarta, Ia tak ambil pusing lagi. Bahkan sejak
dinamis. Bagaimana anda memandang kedinamisan Kotagede ini. DIY secara keseluruhan? tahun 2003 hingga 2016 ini Charris selalu ditunjuk
Kotagede tersebut? Kotagede itu bisa dikatakan pusatnya sejarah menjadi ketua.
Dinamika merupakan hal yang wajar dalam Menurut anda sebaiknya yang dilakukan masyarakat Yogyakarta. Selain itu Kotagede menjadi salah satu Saat ini selain aktif mengajar di Fakultas Filsafat UGM
kehidupan. Kotagede untuk memepertahankan warisan budaya KCB di DIY. Ini harus kita jaga, agar masyarakat dapat dan kegiatan di Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta,
Kotagede sendiri sebetulnya merupakan sebuah dan cagar budaya mereka? belajar mengenai sejarah Kotagede yang memilki Achmad Charris Zubair juga aktif di berbagai lembaga
kota atau bentang wilayah yang memiliki sejarah Yang pertama kesadaran. Kesadaran akan sejarah, implikasi berdirinya Yogyakarta secara keseluruhan. yang Ia ikuti, seperti Ikatan Cendikiawan Muda
yang cukup penting, sehingga penghuni yang datang kesadaran nilai-nilai budaya itu harus ditanamkan Indonesia (ICMI), Penasehat Muhammadiyah Cabang
kemudian pun merasa harus mempertahankan tradisi sejak dini. Yang kedua saya kira apa yang disebut Harapan anda terhadap Kotagede? Kotagede, Dewan Pengarah BPKCB Kotagede, dan
sejarah itu. Selain itu Kotagede juga memilki masyarakat dengan upaya pelestarian semestinya jangan sampai Kotagede sebetulnya harus tumbuh berkembang berbagai ceramah serta diskusi kebudayaan di berbagai
yang genealogis, dimana masyarakat Kotagede masih mengabaikan apa yang disebut kemanfaatan. Jadi sesuai dengan akar kulturalnya. Di masa depan nanti kesempatan.
merupakan satu keluarga yang masih memiliki ikatan pelestarian tidak akan dapat berjalan jika subjek tentu dinamika tak dapat dicegah, tetapi perubahan
kekrabatan, sehingga dinamika yang terjadi tak lantas maupun objek dianggap lagi tidak bermanfaat, yang sehat adalah yang berakar pada potensi
mengubah pandangan masyarakat Kotagede terhadap sehingga ada kepentingan ekonomi yang dijamin dan masyarakatnya sendiri, berakar kulturnya sendiri,
tempat tinggalnya, baik dulu maupun saat ini. kesejahteraan yang tidak boleh dilupakan. berakar pada kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya
Dengan begini apa yang disebut dengan upaya sendiri. Bahkan saya berani mengatakan bahwa konsep
Apakah masyarakat Kotagede saat ini masih peduli melestarikan itu tidak semata-mata kita ingin merawat seperti ini dapat diterapkan bukan hanya lingkup kecil
dengan pelestarian warisan budaya dan cagar budaya dan kembali ke masa lalu, dsb. Tetapi apa yang menjadi Kotagede, namun juga secara luas di tempat-tempat
di tempat mereka? masa lalu itu dapat kita rasakan manfaatnya hari ini lain.
Saya lihat secara prinsip ada kesadaran mengenai yang menjamin kesejahteraan masyarakat itu sendiri. ******
hal tersebut. Tetapi sebagai kota yang dibangun sejak Jadi nonsense lah jika kita bicara pelestarian, merawat, Bercita-cita Memiliki Bioskop Pribadi
lama, tentunya ada persoalan-persoalan yang tidak menjaga, tanpa ada jaminan mengenai kesejahteraan. Achmad Charris Zubair lahir di Kotagede, 25 Juli
dapat dihindarkan. Seperti perubahan fungsi dari tata 1952. Ia merupakan putra asli Kotagede. Ayahnya
ruang rumah. Kita ketahui, sekarang di Kotagede banyak sekali merupakan warga asli Kotagede yang menikah dengan
Pada masa lalu masyarakat Kotagede jika tumbuh lembaga atau organisasi yang memiliki ibunya yang merupakan orang Bandung.
membangun rumah harus ada pendopo, sentong, kepentingan yang sama untuk melestarikan Kotagede, Charris begitu Ia akrab dipanggil, merupakan
gandok, dll. Namun dengan dinamika yang baru, bagaimana anda menanggapinya? anak ke 2 dari 6 saudara. Sejak kecil Ia menetap di

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


32 TEBENG TEBENG 33

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM PELESTARIAN
KAWASAN CAGAR BUDAYA
KOTAGEDE
Oleh: Erwito Wibowo

T elah sekian lama Warisan Budaya dan Cagar


Budaya di Kotagede dipandang sebagai
peninggalan masa lalu belaka. Namun, suatu
perubahan sikap masyarakat Kotagede terhadap
lingkungannya telah muncul beberapa dekade
terakhir ini. Sikap masyarakat yang semula kurang
peduli terhadap peninggalan seperti situs, rumah-
rumah tradisional, lingkungan budaya, dan penanda
kawasan yang unik telah diangkat menjadi isu penting
sehingga memperoleh perhatian pemerhati budaya,
aktifis pelestarian, serta lembaga dana internasional
dan pemerintah.
Cagar Budaya di Kawasan Cagar Budaya (KCB)
Kotagede, adalah aset “hidup” yang tidak saja
memberikan manfaat bagi perkembangan sosial,
ekonomi dan budaya suatu bangsa, namun juga bagi
ilmu pengetahuan. Pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan baru untuk Kawasan Cagar Budaya
Kotagede agar bukan saja menjadi peninggalan jejak
masa lalu belaka, akan tetapi menjadi milik bersama
masyarakat yang wajib dilestarikan.
Bangunan-bangunan kuno di Kotagede ini tidak
hanya merupakan bangunan yang klasik secara
arsitektural, melainkan mengandung nilai sejarah
yang sangat penting. Kesinambungan sejarah yang
terjadi di Kotagede telah meninggalkan bukti yang
sampai sekarang masih dapat kita lihat.
Tahun 2008, World Bank menyatakan Kotagede
sebagai salah satu dari seratus situs yang paling
terancam dalam daftar pantauan monumen dunia.
Kabar tersebut cepat menyebar dan menjalar ke
seluruh dunia, sehingga banyak lembaga international
mengulurkan tangannya untuk Kotagede. Mereka
ingin menyelamatkan rumah-rumah tradisional,
Pendhapa Dalem Ropingen lingkungan dan kawasannya. Karena menurut
Salah satu rumah tradisional Joglo yang mereka, jika identitas itu hilang dan lenyap,
ada di Kotagede ini pernah direhabilitasi
merosotlah karakter kuat Kotagede sebagai Heritage
oleh Dinas Kebudayaan DIY pada tahun
2011 City.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


34 TEBENG TEBENG 35

1 bangunan-bangunan kuno itu juga berstatus Hal itu bisa dijelaskan bahwa lingkungan permukiman
terancam bencana karena faktor usianya, perlu tradisional merupakan tatanan kehidupan dalam
penanganan. Program dokumentasi identifikasi batas teritori tertentu, yang membentuk secara
penataan kembali permukiman dan kawasan yang konvensional dengan tata cara masyarakat yang telah
rusak dan mengalami kehancuran karena usia, mentradisi, biasa disebut vernacular architecture.
dilakukan oleh JRF Rekompak bersama masyarakat Setelah gempa, banyak sekali uluran tangan
JRF Rekompak membuat konsep skema 17 datang di Kotagede dan memerlukan mitra lokal dari
langkah penanganan melibatkan masyarakat masyarakat. Masyarakat lokal inilah yang disiapkan
sebagai relawan di tingkat kalurahan. Pemetaan kemampuannya untuk membantu penanganan
rona awal secara swadaya dilakukan di tingkat sekaligus melanjutkan melakukan pemeliharaan
RT di 5 kalurahan. Sampai terbentuknya wadah ketika program sudah ditinggalkan mitra relasinya.
relawan yang disebut OPKP (Organisasi Pelestari Salah satunya kegiatan membangun kesadaran
Kawasan Pusaka) di Kotagede di 5 kalurahan, serta masyarakat akan keberadaannya di tengah kawasan
mereka berhimpun dalam Forum Joglo di Kotagede. cagar budaya. Masyarakat dibantu mengingat
Bangunan yang memperoleh eksekusi penangaanan kembali kesadarannya bahwa jika pembangunan di
dikerjakan dengan membentuk PP (Panitia tengah lingkungan permukiman dibiarkan berlarut-
Pelaksana) lokal. Masyarakat lokal belajar membuat larut tanpa terkendali, akan terjadi penyeragaman
dokumentasi rencana usulan, sampai anggaran dan yang dapat merusak kawasan cagar budaya. Deretan
pelaporan. 2010 ketika Gunung Merapi bergolak, rumah baru yang seragam menggantikan rumah
JRF Rekompak diarahkan melakukan penanganan lama. Muncul visual lingkungan dan kawasan baru
di sana yang memerlukan penanganan yang sifatnya yang menggantikan wajah kawasan lama. Apalagi
darurat, meskipun program di Kotagede belum jika nantinya deretan rumah-rumah tradisional
selesai, ‘terpaksa’ ditinggalkan. di Kotagede itu hilang dan lenyap, maka dapat
Pemberdayaan masyarakat pada perintisan awal dipastikan wajah Kotagede sulit diingat, tak ada
dimulai dengan melibatkan masyarakat secara bedanya kita berada di Kotagede atau di tempat-
luas melalui FGD-FGD dan Pelatihan Peningkatan tempat lain.
Sementara itu dari dalam negeri, Badan Kapasitas Masyarakat, ketika masyarakat masih
2 Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) Jakarta ikut turun memiliki paradigma pemahaman bahwa benda cagar
tangan bersama Jogjakarta Heritage Society (JHS) budaya sebagai suatu artefak atau fragmen yang
menyentuh penanganan pelestarian di Kotagede. kurang memiliki nilai ekonomi dan membutuhkan
BBPI dan JHS berperan mencarikan donatur melalui pengeluaran anggaran biaya yang cukup besar
Bank Dunia serta mencari relasi lokal yang memiliki dalam perawatan dan pemeliharaannya. Orientasi
peran strategis di Kotagede seperti Yayasan Pusdok ekonomi selalu menjadi pemicu terjadinya fenomena
dan Yayasan Kanthil. yang berdampak negatif terhadap keberlangsungan
Banyak sentuhan program masuk melalui pelestarian aset cagar budaya di Kotagede.
Forum Group Discussion (FGD) yang melibatkan Dampak gempa yang melanda wilayah Yogyakarta
masyarakat setempat. FGD-FGD yang pernah banyak dan pemulihan kembali pembangunan (fisik) baru
diselenggarakan di Kotagede dalam rangka penyiapan yang dibimbing oleh selera pemilik uang, tapi tidak
wawasan akan sumber daya lokal untuk menghadapi memiliki wawasan budaya, seringkali berlangsung
tugas melestarikan cagar budaya di Kotagede. secara parsial dan terkotak-kotak, dimana kesatuan
^ Omah UGM (1) Sebelum gempa hebat tahun 2006, struktur kawasan dan keserasian lingkungan kurang
Sesuai dengan namanya, bangunan tradisional Joglo pemberdayaan masyarakat terhadap kepedulian dan tidak diperhatikan berakibat pada penurunan Erwito Wibowo
tersebut merupakan Universitas Gadjah Mada. Omah UGM cagar budaya sudah mulai melibatkan masyarakat kondisi fisik kawasan, buruknya kualitas visual Erwito Wibowo merupakan Sekretaris Forum BPKCB
merupakan salah satu bangunan hasil rekonstruksi pasca lokal secara luas. Dimulai tahun 2005 oleh Japan lingkungan dan ketidakserasian antar bangunan baru
gempa 2006 oleh Dinas PU-Rekompak-JRF. Kotagede. Ia aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan
International Corporation Agency (JICA), mereka dengan yang lama mengakibatkan rusaknya citra BPKCB. Selain aktif bersama Forum BPKCB Kotagede,
^ Plakat (2)
melakukan pemetaaan kawasan untuk identifikasi dan karakter kawasan lama bersejarah. Kotagede Erwito juga aktif dalam Yayasan Pusat Studi Dokumentasi
Setiap bangunan yang di rekonstruksi lewat bantuan pasca dan dokumentasi, agar nantinya dapat ditindaklanjuti memang disebut sebagai kota bersejarah, namun Kotagede serta sebagai ketua Pusat Informasi dan
gempa 2006 yang digagas oleh Dinas PU-Rekompak-JRF dengan action plan oleh lembaga international yang fisik mukanya sudah banyak dicakar oleh perubahan Pengendali Living Museum Kotagede. Tahun 2015
diberi plakat keterangan. Contoh diatas merupakan salah datang berikutnya. yang tidak terkendali. kemarin, ia memperoleh penghargaan Pelestari dan
satu plakat pada salah satu bangunan di dalam Between Two Tahun 2008-2010 datang JRF Rekompak, Java Padahal yang ketahui oleh para pemerhati Penggiat Kebudayaan DIY sebagai Penggagas upacara
Gates (Jalan Rukunan). Reconstruction Fund, Rehabilitasi dan Rekonstruksi lingkungan permukiman masyarakat, bahwa deretan Bedhol Keprajan di Kotagede. Ide-idenya sangat
Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas. rumah tradisional Jawa yang membentuk cluster dinantikan masyarakat, terlebih lagi ide-ide mengenai
Semula JRF Rekompak datang ke Kotagede yang langka atau unik, masih memiliki arti penting pelestarian warisan budaya dan cagar budaya Kotagede.
konsentrasi pada perkara mitigasi bencana. Ternyata pada kelangsungan berkehidupan masyarakat Jawa.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


36 PENDHAPA PENDHAPA 37

WATU GILANG
DAN
N G E R O P A P E R T AMA
ORA
DI KOTAGEDE
NA
OLEH: SRI MARGA

K otagede masih menyimpan banyak misteri. Sebagai pusat Kerajaan


Mataram Islam, artefak yang ditinggalkan tak banyak. Banyak sebab
yang membuat artefak-artefak itu sebagian besar menghilang.
Ternyata, dari sedikit itu, masih bisa dijumpai Watu Gilang, yang katanya
adalah tempat duduk raja. Cerita tutur masyarakat mengisahkan batu andesit
berbentuk persegi panjang itu merupakan tempat duduk bagi Panembahan
Senopati, Raja Mataram yang pertama.
Penduduk setempat juga percaya Watu Gilang pernah menewaskan Ki
Ageng Mangir atau Wanabaya pada saat ia menghadap Panembahan Senopati.
Juru Kunci Watu Gilang sering bercerita, sisi batu yang penyok itu adalah
bekas benturan kepala Ki Ageng Mangir yang dikenal sangat sakti
Di luar itu, tersebutlah Mbah Kjogja, seorang penulis yang juga mencoba
menjelaskan mengenai asal usul Watu Gilang melalui bukunya, Jogja Hidden
Story: Menguak Kisah-Kisah Misteri Tak Kasat Mata. Menurutnya, batu itu
merupakan material yang terlempar dari erupsi Gunung Merapi sebelum istana
Mataram dibangun. Batu itu, oleh seorang pengikut Ki Ageng Pemanahan
yang bernama Ki Bangun Martopo, kemudian ditatah menjadi singgasana
Panembahan Senopati. Tidak lama setelah bertahta di Mataram Panembahan
Senopati mengundang 6 orang awak kapal Portugis yang terdampar di Pantai
Selatan Jawa karena kehabisan logistik.
Mbah Kjogja menulis, Orang-orang Portugis yang dipimpin oleh Cornelis
de la Vonte itu sebenarnya hendak berlayar ke Afrika dari pulau Timor (Timor
Leste sekarang). Namun, setelah terdampar di Ibukota kerajaan Mataram,
Cornelis de la Vonte justru memutuskan untuk tinggal. Selama di sana, ia
mengubah penampilannya, dengan mengenakan pakaian serba putih. Ia pun
mengubah namanya menjadi Kiai Abdul Segaran.
Setelah 7 tahun tinggal di Ibukota kerajaan, Kiai Abdul Segaran akhirnya
memutuskan untuk kembali ke negerinya. Sebagai peringatan keberadaanya
selama di Mataram ia pun menulis inskripsi di Watu Gilang buatan Ki Bangun
Martopo.
Sayang, Mbah Kjogja tidak menyebutkan secara jelas, sumber penulisannya.
Itu kecuali dua buah foto yang diambil dari laman kitlv.nl. Akibatnya, sangat
sulit untuk menguji lebih jauh validitas dari uraiannya ini. Sumber lain
yang sangat penting untuk menguak misteri Watu Gilang ini adalah laporan
perjalanan dari William Barrington D’Almaida. Situs Watu Gilang
Salah satu situs di Kawasan Kotagede ini
dipercaya sebagai singgasana Panembahan
Senopati. Foto tersebut adalah Watu Gilang
pada tahun 1896.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


38 PENDHAPA PENDHAPA 39

Laporan Perjalanan William Barrington D’Almaida Namun rupanya seorang gadis setempat merasa
Adalah William Barrington D’almaida, seorang kasihan terhadap orang Portugis ini. Setiap malam
keturunan Inggris-Spanyol yang kemudian menetap di ia membawakan makanan dan kain untuk menutupi
Singapura. Pada tahun 1864 ia menerbitkan dua jilid tubuhnya dari dinginnya malam. Lama kelamaan
memoir yang berisi cerita perjalanannya mengelilingi hubungan ini menumbuhkan rasa saling suka, dan
Jawa, dari ujung Barat hingga ujung Timur Jawa. muncul keinginan untuk membebaskan si Portugis
Pada kesempatan itu ia tidak melewatkan untuk dari belenggunya.
berkunjung di Yogyakarta. Akhirnya atas bantuan si gadis, ia bisa melepaskan
Dalam laporanya mengenai Yogyakarta ia belenggu kaki dan tangannya, dan bersama-sama
menceritakan tentang Kotagede dan salah satu melarikan diri dari tempat itu. Mereka menyusuri
situs penting yang hingga saat ini masih ada, hutan hingga ke pesisir selatan, dan dengan perahu
yaitu Watu Gilang yang ditempatkan di bawah dua penduduk setempat untuk mencapai Banten. Konon
pohon beringin tua yang besar. Penduduk setempat di Banten ia kemudian menjadi penasehat raja
mempercayai Watu Gilang dulunya adalah tempat setempat dan mengembangkan usaha dagangnya
duduk dari Panembahan Senapati. Sebuah foto lama dengan sukses.
dari tahun 1860-an menyebutkan batu itu sebagai Versi lain menyebutkan bahwa awalnya orang
“singgasana Senapati”. Namun D’Almaida tidak Portugis itu diminta Panembahan Senapati untuk
menerima begitu saja penjelasan singkat tersebut, membuatkan meriam namun tidak mau, sehingga
apalagi setelah ia mengamati di permukaan batu itu ia dikerangkeng. Namun Panembahan Senapati
terdapat inskripsi yang ditulis dalam empat bahasa, akhirnya melepaskannya setelah ia menyanggupi
yaitu, Italia, Prancis, Latin, dan Belanda. permintaan membuat meriam, dengan syarat ia diberi
Keingintahuan yang besar ini mendorong waktu sewindu untuk mencari bahan mesiunya dan
D’Almaida untuk mencari generasi tertua di sekitar meminta bantuan teman-teman lainnya di Banten. ^ Inskripsi yang tertulis di Watu Gilang
tempat itu yang mungkin bisa menceritakan tentang Pada permukaan atas Watu Gilang terdapat inskripsi berupa goresan-goresan yang ditulis dalam berbagai macam bahasa
asal usul batu berbentuk pipih persegi panjang
tersebut. Keingintahuannya akhirnya terjawab
1 asing. Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Barrington D’Almaida, goresan-goresan tersebut dibuat oleh seorang tawanan
yang berkebangsaan Portugis.
setelah salah seorang penduduk menceritakan
tentang asal-usul Watu Gilang. Inskripsi dalam Watu Gilang
Menurut penutur setempat, seperti yang Jika cerita rakyat setempat kepada Barington ini mengagumkan dalam kondisi sehat)
diceritakan D’Almaida dalam laporannya berjudul dapat dipercaya, maka ada kemungkinan inskripsi Bagian Selatan:
Life in Java (D’almaida, 1864: 91-121), ada sebuah yang terdapat di Watu Gilang dibuat oleh tawanan Videte ignari et ridete, mix...lec.... (tak dapat
kapal Portugis yang karam di Pantai Selatan Jawa. Portugis itu. Mengenai inskripsi empat bahasa itu apa-apa dan tertawa,...)
Salah seorang awak kapalnya diselamatkan oleh memang tidak semua dapat terbaca dengan jelas. Bagian Barat:
nelayan setelah terdampar di pantai. Keberadaan Dari yang terbaca itu antara lain sbb: Song out..p... tavi contemtu vere digni----(1)
orang Portugis ini mengundang perhatian masyarakat inv..... (celaan dan hinaan, sangat pantas untukmu)
sekitar, sehingga banyak yang datang untuk melihat Inskripsi bagian paling atas tertulis:
langsung. Kabar ini pun didengar oleh raja Mataram 2 Ad aeternam memoriam sortis infelicis (kenangan
abadi tentang nasib yang tak menyenangkan)
Masih ada tulisan lain yang tidak semua terbaca
yang kemudian memerintahkan agar membawa seperti:
orang Potugis itu ke Ibukota. Smaadt, gij die versmading waardig zijt. (celaan,
Karena keberadaanya dianggap akan Inskripsi yang berbentuk Lingkaran, di luar segi kamu yang layak dihina)
membahayakan atau berpengaruh buruk pada empat dalam satu lingkaran, dari timur, selatan dan Waarom wordt gij ontsteld of verbaasd, gij
masyarakatnya, maka raja memerintahkan untuk barat tertulis dalam empat bahasa: dwaas (mengapa kamu terperanjat dan heran,
membelenggu orang Portugis ini di sebuah batu, Ainsi va le monde -------Cosi va il mondo ----- kamu bodoh)
yang kemudian dikenal dengan Watu Gilang. Raja Zoo gaat de wereld -----Ita movetur mundus (Ke- Ziet, ontwetenden en lacht, (lihatlah bodoh dan
juga melarang dan menghukum siapapun yang empatnya memiliki makna yang sama kurang lebih: tertawalah)
mendekati tawanan itu. Itulah hidup) Lotgenooten! Vaarwel!! (teman, selamat tinggal)
3 Di luar inskripsi yang melingkar ada kotak lebih Dari inskripsi ini rupanya si penulis hendak
> Watu Gilang, Watu Gatheng, dan Watu Genthong
Foto 1 menunjukkan Watu Gilang. besar, sebagian sudah tidak terbaca, bunyinya: mengenang nasib dirinya dan kawan-kawan mereka
Bagian Utara: yang tewas dalam perjalanan, serta mengabadikan
Foto 2 menunjukkan Watu Gatheng. penyebutan Watu
Gatheng oleh masyarakat setempat dikarenakan bentuknya In fortuna consortes, idioni valete, amelan, lie... nasib buruk yang menimpanya dalam mengarungi
yang bulat seperti peralatan bermain gatheng. (pasangan dalam keberuntungan, teman selamat samudera. Si penulis mengungkapkan perasaannya
jalan) yang sangat kompleks; merasa bodoh, terhina dan
Foto 3 oleh masyarakat setempat disebut dengan Watu
Genthong karena bentuknya menyerupai gentong air. Bagian Timur: tidak mendapatkan apapun, namun juga bersyukur
Iasi. Quid stupearis in sani, ----1x---vid (batapa dan heran bisa selamat dan dalam keadaan sehat.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


40 PENDHAPA PENDHAPA 41

menyimpan naskah Jawa di Surakarta, Yogyakarta,


Jakarta maupun di Belanda.* Naskah ini telah
mendapat perhatian khusus dari peminat sastra,
filolog dan sejarawan.
Orang pertama yang berminat terhadap naskah
ini adalah A.B. Cohen Stuart, seorang peneliti Sastra
dan Bahasa Jawa. Ia menyunting naskah ini dalam
dua jilid dan terjemahannya dalam bahasa Belanda.
Naskah ini juga dikaji oleh Th. Pigeaud. Dalam
esainya yang panjang (Pigeaud, 1927: 321-361) ia
membandingkan naskah ini dengan sebuah naskah
Melayu yang berjudul Hikayat Iskandar Zulkarnaen.
Kajian lain terhadap Serat Baron Sakender (SBS)
dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo.
Berbeda dengan Stuart dan Pigeaud, Sartono tidak
menghakimi akurasi dan nilai faktual dari SBS tetapi
mengaji fungsinya secara politik sebagai legitimasi
kekuasaan. Dengan mengadopsi konsep Ernst
Cassier tentang fungsi mitos, Sartono berkesimpulan
bahwa Serat Baron Sakender menampilkan kisah
yang konsisten dan koheren tentang hubungan
Belanda-Jawa.
Serat Baron Sakender ditulis untuk menegakkan
prinsip-prinsip harmoni hubungan Belanda-Jawa.
Mitos itu menjadi cara untuk mengintegrasikan nilai
yang merupakan perangkat pola hubungan yang
damai. Mitos tentang Baron Sakender, tokoh utama
dalam Serat Baron Sakender, dapat dipandang
sebagai pengakuan terhadap realitas kolonial dan
mungkin penerimaan setengah hati atau keengganan
terhadapnya. (Kartodirdjo, 1988: 209-225)
Kisah Baron Sekeber ini rupanya berkaitan
dengan tokoh Juru Taman yang diceritakan dalam
Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, Babad Pati, dan
juga Babad Nitik. Tokoh ini diduga oleh H.J. De Graaf
sebagai orang niaga Eropa pertama yang tinggal di
istana Mataram. Dalam Babad Tanah Jawi, versi
Meinsma**, disebut-sebut seorang tokoh misterius
yang bernama “Juru Taman”.
Tokoh ini memiliki peran penting dalam beberapa
peristiwa sejarah kerajaan Mataram sejak masa-
^ Lukisan Pelabuhan Jepara masa pemerintahan Senapati (1558-1603),
Bukti-Bukti Kartografis
Lukisan tersebut menggambarkan situasi dan suasana Hanyakrawati (1603-1613) hingga masa-masa
Untuk menguji keterangan cerita penduduk setempat yang ditulis oleh Barrington, maka perlu dikaji apakah benar
di Pelabuhan Jepara. Terlihat kapal-kapal besar tengah
pada periode awal kekuasaan Mataram telah terjadi peristiwa kapal karam di Samudera Hindia. awal pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).
merapat ke pelabuhan. Pelabuhan merupakan salah satu
Ada beberapa sumber yang dapat dirujuk tentang tenggelamnya kapal-kapal niaga Eropa di abad ke-16. Yang pertama
pintu masuk bangsa Eropa ke Nusantara.
Menurut Babad Tanah Jawi (Meinsma, 1874:
adalah karya Tony Wells, seorang pemburu harta karun kapal-kapal kuno di perairan Asia Tenggara. Dalam karyanya ini 89-90), Juru Taman adalah sahabat Panembahan
Wells mengidentifikasi 450 kapal karam yang pernah terjadi di perairan Asia Tenggara, salah satunya yang terkenal adalah Senapati, yang diidentifikasikan sebagai seorang
kapal Flor do Mar, sebuah kapal portugis yang telah berhasil digali di lepas pantai Sumatera. bule (kulit putih) namun pada kesempatan
Kedua adalah karya C.R. Boxer yang menyunting kisah-kisah tragis di lautan dalam dua jilid buku. Legenda Baron Sekeber dan Juru Taman lain digambarkan sebagai laweyan putih (Jin).
Ketiga karya Richardson seorang sejarawan maritim yang meneliti tentang shipwreck. Dalam penelitiannya ia Apa yang diceritakan oleh Barrington mirip
menemukan tiga peta yang menjadi bukti lokasi dari tenggelamnya kapal-kapal Portugis di Samudera Hindia, antara Dalam kecamuk perang antara Mataram-Pajang
dengan legenda Baron Sekeber yang ditemukan di muncul Juru Taman menawarkan jasanya kepada
lain adalah Sau Paulo. Mengenai peta-peta itu Richardson menulis lokasi karamnya kapal Sau Paolo berada di setengah
perjalanan dari barat daya pantai Sumatra di dekat equator. (Richardson, 1992: 3) beberapa babad, antara lain Serat Sekeber, Serat Panembahan Senapati untuk membunuh Sultan
Kronologi tenggelamnya Kapal Portugis Sau Paulo ini diceritakan secara detil oleh Henrique Diaz, salah seorang Baron Sakender dan Babad Pati. Ketiga babad ini Pajang. Panembahan Senapati tidak merestui tetapi
awak kapal yang selamat dari tragedi ini. Cerita dari Diaz ini dimuat juga dalam buku Boxer jilid II (Boxer, 1968:58-107). menceritakan tentang kedatangan bangsa Barat juga tidak melarang. Mendengar jawaban itu Juru
Tenggelamnya kapal Portugis Sau Paulo terjadi pada tahun 1561, artinya saat itu penguasa pertama Mataram, Panembahan pertama di Mataram. Variasi dan salinan naskah Taman berangkat ke Pajang dan membunuh Sultan
Senapati berusia 27 tahun karena ia lahir pada tahun 1534. ini ditemukan hampir di semua lembaga yang Hadiwijaya.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


42 PENDHAPA PENDHAPA 43

Sejarawan Barat pertama yang menaruh perhatian Dalam surat itu Sultan Agung menulis Alih prosa ini dilakukan oleh Ngabehi Kertapraja, atas inisiatif Hakluyt Society for University Press, 1968), hlm., 58-107
tentang sosok Juru Taman adalah H.J. De Graaf. Ia “selama tiga tahun pada masa pemerintahan Meinsma, sehingga sering disebut “Babad Tanah DJawi versi H.J. de Graaf, Puncak kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi
Meinsma.” Versi lain dari Babad Tanah Djawi adalah karya Sultan Agung, (Jakarta: Grafiti Pers, 1986)
menduga bahwa Juru Taman itu tidak lain adalah seorang ayahnya, ia (si orang Italia) tidak tinggal di
Pangeran Adilangu II yang diselesaikan tahun 1722. Pada tahun ------------------, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan
berkebangsaan Italia yang menjadi utusan raja Mataram istana, tetapi di luar, di krapyaknya”. 1941 Babad Tanah Djawi versi Meinsma diterbit ulang dalam Senapati, (Jakarta: Grafiti Pers, 2001)
menemui Gubernur VOC di Maluku, Peter Both. Fakta ini Sejarawan Belanda ini juga memperkuat huruf latin dibawah suntingan W.L. Olthoff, Babad Tanah Jawi, Ian Buruma & Avishai Margalit, Occidentalisme: The West in The
dicatat dalam Daghregister, sebuah catatan harian yang argumennya dengan keterangan yang Saking Nabi Adam dumugi in Tahun 1657). Oleh J.J. Ras naskah Eyes of its Enemy, (New York: The Penguin Press, 2004).
berupa rangkuman surat-surat atau laporan dari pejabat diberikan dalam Babad Tanah Jawi, bahwa ini diterbitkan ulang tahun 1987. J.J. Meinsma, Babad Tanah Djawi, (s-Gravenhage: Martinus
Raja Mataram itu telah membuatkan Juru ***) Taman yang dimaksud adalah Taman Danalaya seperti Nijhoff, 1874)
VOC.
disebut Babad Tanah Djawi. Serat Kanda menyatakan Penggalian J.K.J. de Jonge, De Opkomst van het Nederlandsch Gezag op Java,
Dalam bukunya berjudul Awal Kebangkitan Mataram, Taman sebuah taman yang akan menjadi kolam dalam taman Danalaya. Babad Sangkala, menyebut Jil. IV (s’Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1885)
Masa Pemerintahan Senapati de Graaf menulis: raja kedua tempat tinggalnya. Ia juga menyebut pembangunan “segaran ing sirna bumi tahun” J. 1527, artinya Mbah KJogja, Jogja Hidden Story: Menguak Kisah-Kisah Misteri
Mataram, Panembahan Krapyak atau Sunan Hanyakrawati pendapat Poerbatjaraka yang menyatakan pengerukan tanah pembuatan kolam. Tak Kasat Mata (Yogyakarta: Narasi, 2014)
juga memiliki seorang pembantu berkebangsaan Italia bahwa di istana Mataram profesi Juru Taman Sartono Kartodirdjo, “The Baron Sakender Story, Mythical Aspects
bernama Juan Pedro Italiano, yang konon telah masuk memang biasa diberikan kepada orang asing Daftar Pustaka of Javanese Histotiography” dalam Modern Indonesia; Tradition
A.B. Cohen Stuart, Serat Baron Sakendher, 2 jilid (Batavia: 1850- and Transformation, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
Islam. Hanyakrawati telah mengutus orang ini untuk yang biasa dipanggil “Pak Jenggot”. Oleh
1851). 1988), hlm., 209-224
menemui Gubernur Both di Maluku agar orang-orang karena itu pula orang Italia ini dinamai Juru Ahmad Nugroho, “Lahirnya Murjangkung: Tinjauan Pupuh- Serat Sekeber, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Belanda mau membuka kantor dagangnya di wilayah Taman.*** pupuh Awal Serat Sakeber” (Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1993-1994)
Mataram. Di kemudian hari permohonan ini dituruti, ketika 1987). Tashadi dkk, Refleksi Nilai-nilai Budaya Jawa: Suatu Kajian
Mataram mengijinkan Belanda membuka kantor dagang di Epilog Babad Nitik (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, terhadap Serat Sakeber, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Jepara. (de Graaf, 2001: 116-117) Tidak ada bukti yang jelas untuk 1991-1992), hlm., 173-177 Kebudayaan, 1993)
Babad Pati, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Th. Pigeaud, “Alexander, Sakender en Senapati” dalam Djawa, Vol
Menurut De Graaf, orang Italia ini telah mengabdi memastikan apakah Juru Taman adalah
1980) XII (1927), hlm., 321-361
sejak masa awal pemerintah Senapati hingga cucunya orang Italia, seperti diduga oleh de Graaf, Baron Sakender, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Tony Wells, Shipwrecks and Sunken Treasure in Southeast Asia:
Sultan Agung. Ia juga menduga bahwa orang ini pula yang orang Portugis seperti dalam tradisi tutur, Kebudayaan, 1978) With over 450 Wrecks including the Flor Do Mar, (Singapore:
disinggung oleh Sultan Agung dalam suratnya kepada Dr. orang Belanda atau Spanyol seperti dalam C.R. Boxer, Tragic History of the Sea, 1559-1565: Narratives of the Times Editions, 1953)
De Haan pada tahun 1622. kronik-kronik Jawa. Seperti halnya tidak Shipwrecks of Portuguese East Indiamen, (Cambridge: Published W.A.R. Richardson, “Cartographical Clues to Three Sixteenth
dapat dipastikan bahwa Juru Taman itu for Hakluyt Society for University Press, 1959) Century Shipwrecks in the Indian Ocean”, Great Circle, 14, 1992,
---------------, Further Selection from Tragic History of the hlm. 1-19
adalah Conerlis de La Vonte ataupun Juan Sea, 1559-1565: Narratives of the Shipwrecks of Portuguese William Barrington D’almaida, Life in Java, 1 (London: Hurst and
Pedro Italiano. Namun jika dikaitkan dengan East Indiamen Aguia and Garca (1559), Sau Paulo (1561) and Blackett, 1864)
inskripsi Watu Gilang di Kotagede tampak the Misadvantures of the Brail-ship Santo Antonio (1565), William Barrington D’almaida, Life in Java, 2 (London: Hurst and
bahwa inskripsi itu ditulis oleh orang yang (Cambridge: Published for Hakluyt Society for University Press, Blackett, 1864)
mengalami nasib yang buruk seperti dialami 1968) W.L. Olthoff, Babad Tanah Jawi, Saking Nabi Adam dumugi in
Henrique Diaz, The Voyage of sao Paulo, dalam C.R. Boxer, Tahun 1657 (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1941).
oleh awak kapal yang karam itu.
Further Selection from Tragic History of the Sea, 1559-1565: Yudi Saro, Baron Sakender, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Narratives of the Shipwrecks of Portuguese East Indiamen Aguia Kebudayaan, 1978)
*) Mengenai berbagai variasi naskah ini yang ada and Garca (1559), Sau Paulo (1561) and the Misadvantures of
di Indonesia lihat, Ahmad Nugroho, “Lahirnya the Brail-ship Santo Antonio (1565), (Cambridge: Published for
Murjangkung: Tinjauan Pupuh-pupuh Awal Serat
Sakeber”. Dalam kajian filologis ini Nugroho mengaji
naskah koleksi Javanologi Yogyakarta. Kajian filologis
lain dilakukan oleh Tashadi dkk, Refleksi Nilai-nilai Sri Margana
Budaya Jawa: Suatu Kajian terhadap Serat Sakeber, Sejarawan satu ini tercatat sebagai salah satu dosen di
yang didasarkan pada naskah koleksi Balai Kajian Departement Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM. Setelah
Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional Yogyakarta. lulus S1 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, Margana
Masih ada transkrispsi lain dari Serat Baron Sakeber
melanjutkan S2nya di Universitas Leiden. Kemudian
yang dilakukan oleh Yudi Saro dengan judul Baron
Sakender. Keempat Kraton di Jawa Tengah, Kasunanan, mendapatkan gelar S3 dari Universitas Leiden Belanda dengan
Kesultanan, Mangkunegaran dan Pakualaman memiliki topik riset Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of
naskah serupa sejenis. Demikian juga Perpustakaan Blambangan, c. 1763-1813. Baginya, sebagai bekas ibukota
Fakultas Pengetahuan Budaya UI (Koleksi Pigeaud), kerajaan, kotagede memiliki problem yang sampai sekarang
Perpsuatakaan Nasional RI Jakarta dan Perpustakaan belum diungkap secara detail historisnya dan masih banyak
Museum Sana Budaya, Yogyakarta.
**) Babad Tanah Djawi versi Meinsma merupakan
misteri yang perlu digali lagi mulai dari sejarah maupun
bentuk prosa dari Serat babad Tanah Jawi karya Carik arkeologinya.
Bajra yang digubah atas perintah Pakubuwana III.

< Watu Gilang tahun 1900


Berdasarkan laporan perjalanan Berrington
D’Almaida yang berjudul “Life In Java” , dahulunya
Watu Gilang merupakan penjara bagi seorang pelaut

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


44 PRINGGITAN PRINGGITAN 45

PELESTARIAN
WARISAN BUDAYA
TAK BENDA
DI KOTAGEDE
Oleh: Prijo Mustiko

S ejarah budaya Kotagede bisa dilacak sejak


Ki Ageng Pemanahan mulai membangun
tlatah hutan Mentaok yang menjadi cikal bakal
budaya, pola arsitektur peninggalan warisan budaya
maupun kehidupan sosial-ekonomi masyarakatnya
yang bernuansa budaya lokal.
pusat kerajaan Mataram Islam di tahun 1577 M, Permasalahan aktual di Kotagede adalah
Ia menempati istana barunya di Kotagede dan terjadinya proses perusakan yang berjalan sangat
meninggal pada tahun 1584 M. Menurut De Graaf cepat disebabkan oleh faktor fisis, chemis, dan
dan Pigeaut, selama hidupnya Ki Ageng Pemanahan mekanis seiring dengan berjalannya waktu,
adalah seorang vasal Raja Pajang yang taat dan namun juga (terutama) disebabkan oleh intrusi
patuh. pemukiman yang gencar maupun laju konversi yang
Kotagede mencapai jaman keemasannya pada pesat menggerogoti keberadaan warisan budaya,
masa pemerintahan Sultan Agung, raja ketiga dari baik berupa puing-puing artefak maupun pola
dinasti Mataram Islam. Ia berkuasa dari tahun arsitektur warisan budaya dan tata nilai budaya
1613 M sampai 1645 M. Sultan Agung merupakan masyarakatnya. Kerusakan tersebut semakin
raja Mataram Islam yang paling menonjol diantara diperparah dengan adanya bencana gempa bumi
ke-11 raja-raja Mataram Islam lainnya. Pada teknonik pada tanggal 27 Mei 2006.
lima tahun pertama kekuasaannya, Sultan Agung Tantangan ke depan Kotagede sebagai Kawasan
bertempat tinggal di Kotagede, namun pada tahun Cagar Budaya andalan di Daerah Istimewa
1618 M ia berkraton di Kerta sampai wafatnya. Yogyakarta sangat tergantung pada sinergitas
Berdasar fakta ini, Kotagede eksis sebagai ibukota para pemangku kepentingan antara empat pihak
kerajaan selama kurang lebih 41 tahun (1577 M atau sering disebut sebagai “quadro helix”, yakni
sampai 1618 M). Komunitas, Pemerintah, Akademisi/Budayawan
Pada masa keemasan itulah nilai-nilai budaya dan Dunia Bisnis. Masing-masing mempunyai Lorong Kotagede
Mataram tumbuh berkembang yang mewarnai pola tanggungjawab peran dan fungsi sesuai dengan Keberadaan lorong-lorong di Kotagede
kehidupan masyarakat Mataram, yang ditandai kompetensinya. Namun terutama dan utama merupakan daya tarik tersendiri.
dengan ajaran Sastra-Gending dan Tarich Tahun adalah seberapa besar tingkat kesadaran budaya Suasana ketika melewati lorong tersebut
Jawa yang diciptakan oleh Sultan Agung. Sebagai Komunitas di Kawasan Cagar Budaya Kotagede merupakan bagian dari Kawasan Cagar
bekas ibukota pertama kerajaan Mataram Islam, sendiri memiliki tingkat perhatian, pemahaman dan Budaya Kotagede yang harus dilestarikan
Kotagede kaya dengan peninggalan warisan kepedulian terhadap pelestarian warisan budaya sebagai warisan budaya tak benda.
budaya, baik dalam bentuk benda/bangunan cagar Kotagede.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


46 PRINGGITAN PRINGGITAN 47

diperkampungan Kotagede. Pada senja hari atau Islam. Tentunya perlu pendampingan dan bimbingan
1 malam hari mulai terdengar titok-titok penjual para Pamong Budaya yang asli dan berdomisili di
bakmi keliling ataupun terdengar musik keroncong Kotagede sebagai narasumber ataupun parampara
maupun suara terbangan dari kelompok kesenian tentang rujukan budaya Kotagede, seperti dapat
yang sedang latihan. Profesor Shin Nakagawa disebutkan antara lain: Kyai Abdul Muhaimin dan
menyebutnya sebagai “soundscape” atau artinya Kang Achmad Charris Zubair yang ahlli dibidang
pemandangan yang berupa suara atau bunyi. filosofi dan budaya spiritual, Kang Musthofa W.
Keindahan suara atau bunyi ini dapat menggugah Hasyim sebagai sastrawan merangkap kamus hidup
kesadaran bahwa kemampuan indra manusia yang Kotagede, Mas Priyo Salim sebagai Disainer Perak
semakin berkurang karena kemajuan tehnologi handal tingkat internasional, Mas Subardjo sebagai
dapat disadarkan untuk selalu menggunakan lima Maestro Keroncong tingkat Nasional maupun Ki
indra yang kita punyai. Basis Hargito sebagai Pembina Seni Srandul yang
Dengan demikian living museum di Kotagede tekun dan telaten.
dapat terus dilestarikan, dengan resep tetap Akhirnya dapat dinyatakan bahwa sejarah
menjaga “Sight, Smell, Sound, Taste dan Touch”, panjang Kotagede sebagai ibu kota kerajaan Mataram
artinya ada pandangan mata (sight) yang masih Islam sejak tahun 1577 M adalah kerajaan terbesar
dapat menyaksikan keaslian deretan rumah Joglo ke-3 setelah Sriwijaya dan Majapahit di Nusantara
asli Kotagede dengan siku Bahu-dayang-nya, adalah sebagai fakta sejarah yang tidak dapat
semerbak bahu (smell) masakan khas Kotagede dipungkiri. Ini merupakan sumberdaya sejarah
seperti roti kembang waru atau kipo, suara (sound) dan budaya yang tidak ada habisnya untuk digali
dentingan perajin maupun gamelan, merasakan nilai-nilai budaya luhur dan bermakna bagi para
(taste) nikmatnya sate Karang dan menyentuh generasi penerus bangsa. Festival Budaya Kotagede
(touch) Watu Gatheng peninggalan Raden Rangga merupakan suatu bentuk atau ajang puncaknya
2 < Keroncong Kotagede (1)
Musik Keroncong juga termasuk dalam salah
di kampung Dalem.
Pelestarian Warisan Budaya tak Benda di
untuk melestarikan warisan budaya tak benda dan
sekaligus diberdayakan untuk kemaslahatan seluas-
satu kesenian yang terdapat di Kotagede. Foto Kotagede untuk seterusnya bisa berlanjut apabila luasnyanya bagi kesejahteraan masyarakat.
disamping menggambarkan salah satu grup musik memenuhi syarat seperti disampaikan oleh
Keroncong asli Kotagede yang sedang tampil Referensi:
ahli Wisata Budaya, Frans Schouten, bahwa
dalam acara Penyiapan Kelembagaan Badan De Graaf, H.J., dan T.H. Pigeaud. 2003. Kerajaan Islam
Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede.
pengembangan wisata budaya dengan dasar
Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI.
pengembangan budaya berkelanjutan harus Pustaka Utama Grafika: Jakarta, hlm. 252
< Kembang Waru (2) mempertimbangkan tiga kunci utama yakni:
Salah satu kue tradisional Kotagede ini terbuat • Menjaga kualitas pengalaman, terutama untuk Nakagawa, Shin. 2000. Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar
dari tepung beras yang dicetak ke dalam cetakan konsumen atau penikmat/wisatawan. Etnomusikologi. Yayasan Obor Indonesia: Yogyakarta, hlm.
berbentuk bunga dari Pohon Waru. Kue Kembang • Menjaga kualitas sumberdaya, terutama pada 106-109.
Waru terbuat dari campuran tepung, telur, gula pelestarian nilai dan sumber budaya.
pasir, mentega, vanili, dan kayu manis yang Schouten, Frans. 1993. Cultural Tourism and Sustainable
• Menjaga kualitas kehidupan, terutama Cultural Development, hlm. 35.
dimasukkan ke dalam cetakan kembang waru,
mempunyai dampak peningkatan
kemudian dipanggang.
kesejahteraan masyarakat lokal.
Hubungan ketiga unsur diatas merupakan filosofi
Sejak tahun 1995 telah diselenggarakan Soma-Ngajiran di kelurahan Rejowinangun dan dasar pengembangan budaya yang berkelanjutan
pembinaan kawasan cagar budaya di Kotagede pendopo budaya di desa Singosaren. Puncaknya karena kualitas pengalaman tidak dapat diperoleh
terutama di Kelurahan Purbayan dan Prenggan serta setiap tahun diselenggarakan Festival Budaya para penikmat atau wisatawan dari luar Kotagede
desa Jagalan. Mulai tumbuh kesadaran konservasi Kotagede yang dikoordinasikan Forum Joglo apabila kualitas sumberdaya budaya dan kualitas
budaya baik yang benda maupun tak benda melalui Kotagede dengan selalu mengambil tema besar kehidupan masyarakat setempat tidak dapat
pembentukan dan pengembangan Living Museum Sejarah Kebesaran Kerajaan Mataram Islam, yang dipelihara bahkan ditingkatkan. Suatu ketika bisa
Budaya Kotagede, yang pusat kegiatannya di rumah misi utamanya adalah menanamkan kesadaran didapati dan ini yang tidak boleh terjadi adalah
budaya Dolahan dengan ketua penggeraknya Kang bersejarah dan nilai-nilai budaya Kotagede kepada berkunjung ke Kawasan Cagar Budaya Kotagede
Erwito Wibowo. Dari sinilah nafas budaya Kotagede masyarakat Kotagede terutama generasi mudanya seperti berkunjung di reruntuhan kota atau kampung
dapat tetap terpelihara dan bahkan direvitalisasi serta masyarakat di luar Kotagede maupun para yang mati.
antara lain seni musik Keroncong dan drama tari wisatawan mancanegara. Oleh karena itu sekali lagi dari “quadro helix” Priyo Mustiko
tradisional Dadung Awuk. Sekarang ini kalau kita jalan-jalan menyusuri yang mendukung pelestarian Kawasan Cagar Budaya Priyo Mustiko merupakan anggota Dewan Kebudayaan
Kemudian diikuti dengan pusat kegiatan budaya lorong-lorong Kotagede, kita akan mendengar Kotagede, yang utama adalah semakin tinggi tingkat DIY. Tak perlu diragukan lagi, sepak terjangnya dalam
di masing-masing kelurahan atau desa, antara lain dentingan para perajin perak, tapak kaki kuda kesadaran budaya masyarakat Kotagede untuk pelestarian budaya di Yogyakarta. Kini disamping
pendopo Kajengan di kelurahan Prenggan, pendopo yang hilir-mudik di jalanan, suara ayam berkokok melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan kesibukannya sebagai anggota Dewan Kebudayaan DIY,
Ijo dan pendopo UGM di desa Jagalan, pendopo bersahut-sahutan sepanjang hari dan suara nilai-nilai budaya Kotagede yang telah diwariskan pria asli Kotagede ini juga sibuk sebagai Dewan Pembina
Bumen di kelurahan Purbayan, rumah budaya burung perkutut atau derkuku yang dipelihara turun-temurun sejak jaman kerajaan Mataram Forum BPKCB Kotagede.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


48 PELATARAN PELATARAN 49

DELIK MALAM
DI MAKAM PANEMBAHAN
SENOPATI
Oleh: Erwando Abadi

U mumnya, masyarakat menganggap Malam


Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon sebagai hari
yang angker atau menyeramkan, namun hal tersebut
sebagai raja pertama
Mataram Islam.
M a s y a r a k a t
bertolak belakang dengan pertanggalan Jawa, bahwa melakukan tirakat
hari tersebut merupakan waktu yang terbaik untuk dengan cara bermalam
melakukan tirakat. Hari Selasa Kliwon dan Jumat di kompleks makam ini.
Kliwon dianggap baik karena Kliwon jatuh di tengah Rutinitas bermalam di
dalam pertanggalan Jawa (Pon, Wage, Kliwon, Legi, makam Panembahan
Pahing). Senopati sampai
^ Makam Panembahan Senapati
Ya, tirakat namanya. Tirakat merupakan proses sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Kotagede
Kesakralan Makam Panembahan Senopati di Kotagede masih dapat dirasakan hingga saat ini. Hal tersebut ditunjukkan oleh
pembersihan jiwa yang dilakukan dengan cara bahkan orang-orang dari luar daerah Yogyakarta. sebagian kelompok masyarakat yang masih melakukan ritual Ngalap Berkah di depan Gapura Masuk Makam Panembahan
menyeimbangkan tujuan hidup jasmani dan rohani Masyarakat Kotagede menganggap bahwa dengan Senapati. Berdasarkan foto diatas masyarakat melakukan ritual Ngalap Berkah dengan menaruh sesaji, berdoa hingga tidur
dengan tujuan untuk mencari ketenangan batin, tirakat di makam Panembahan Senopati akan di depan Gapura Makam Kotagede.
sehingga diri kita mampu memahami arti hidup ini. dikabulkan doanya, karena sosok Panembahan
Tirakat dianggap oleh beberapa orang Jawa Senopati dianggap sebagai utusan Allah sehingga cara supaya mampu diterima oleh masyarakatnya, berbagai tujuan untuk tirakat ini maka seharusnya
sebagai salah satu bentuk dimana masyarakat mampu membantu menyampaikan doa kepada dengan adanya kebiasaan orang Jawa yang seringkali setiap individu menyadari sendiri bahwa segalanya
melestarikan budaya Jawa atau dalam Bahasa Jawa Allah SWT. melakukan tirakat di tempat-tempat tertentu maka adalah milik Tuhan Yang Maha Esa dan sudah
disebut “Nguri-uri kabudayaan Jawi” yang dengan Tirakat di Makam Panembahan Senopati dibuatlah masjid di sekitar lokasi tirakat. selayaknya meminta kepada Tuhan.
melakukan hal tersebut secara turun-temurun dilakukan dengan melantunkan doa-doa kepada Akulturasi budaya yang cukup kompleks dalam
mampu menunjukkan jati diri masyarakat Jawa. Tuhan Yang Maha Esa pada malam hari hingga proses Islamisasi selayaknya kita pahami untuk
Sebenarnya, bertirakat dapat dilakukan kapan menjelang matahari terbit atau dalam istilah Jawa membatasi diri dalam ikut melestarikan kebudayaan Erwando Abadi
pun dan dimana pun juga. Namun kebanyakan disebut “ngebyar”. Untuk pelaksanaan tirakat bebas atau hanya sekedar mempelajarinya saja. Wando, begitu ia akrab dipanggil
masyarakat, khususnya masyarakat Jawa melakukan tidak terikat aturan tertulis ingin seperti apa cara Pembangunan masjid di dekat lokasi pemakaman di kalangan Himpunan Mahasiswa
kegiatan tersebut pada malam hari. Tempat yang berdoanya, namun tetap harus sopan dan tidak sekiranya mungkin menjadi alasan untuk Arkeologi, merupakan pemuda
menjadi tujuan tirakat juga biasanya adalah tempat merusak. mengantisipasi atau hanya sekedar mengurangi kelahiran Kotagede 22 tahun silam.
yang dianggap ‘sakral’ oleh masyarakat sekitar. Menurut Abdi Dalem selaku penjaga Makam sifat syirik yang mungkin saja terjadi dalam kegiatan Latar belakang lingkungan tempat
Begitu pula yang terjadi di Kotagede. bahwa tirakat merupakan salah satu cara “ngalap tirakat.. tinggalnya tersebut mendorong ia
Sebagai bekas ibukota kerajaan besar, Kotagede berkah” atau berharap berkah dari Tuhan dengan Tidak mudah memang untuk meyakinkan orang untuk memutuskan melanjutkan
memiliki banyak sekali tinggalan yang beberapa media berdoa di pelataran makam Panembahan untuk mengikuti sebuah ajaran atau agama tertentu, pendidikan kuliahnya di Arkeologi
diantaranya masih terjaga hingga sekarang. Senopati. Uniknya meskipun setiap hari ada yang maka dari itu kegiatan tirakat tidak bisa dihilangkan UGM. Banyaknya budaya di
Diantaranya yaitu Masjid Gede Mataram Kotagede tirakat, pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon karena jika itu terjadi akan membuat suatu penolakan Kotagede mendorong Wando
beserta kompleks makam Kotagede. terjadi peningkatan jumlah jamaah yang berkunjung. karena tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat. untuk menulis, salah satunya
Kompleks makam pendiri kerjaan Mataram Adanya akivitas tirakat di makam merupakan Tirakat memang seharusnya dilakukan untuk tulisannya kali ini. Ia merasa
berada sekitar 100 meter dari pasar Kotagede, hal yang mungkin bertolak belakang dengan agama melestarikan kebudayaan dan menjadi metode tertarik akan keunikan yang
dikelilingi tembok besar dan kokoh yang terbuat Islam. Secara logika syirik atau musrik mungkin akan tersendiri untuk memanjatkan doa kepada Allah dilakukan orang-orang dalam
dari bata. Di tempat ini masyarakat Kotagede sering terfikirkan oleh masyarakat, namun apabila kita SWT, namun pada kenyataanya terdapat beberapa beribadah, mereka berdoa tidak
melakukan kegiatan tirakat. Masyarakat menganggap melihat kondisi situs tersebut dengan seksama maka orang yang memiliki tujuan lain dari itu, seperti hanya di tempat ibadah, tetapi
kompleks makam Kotagede sakral, karena disanalah kita akan menemukan jawabannya. Proses Islamisasi pesugihan atau kekuatan spiritual yang di dapatkan juga di makam.
dimakamkan Panembahan Senopati, yang dianggap di Nusantara terutama di Jawa membutuhkan dari Makam Panembahan Senopati. Dengan adanya

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


50 PRINGGITAN PRINGGITAN 51

BETWEEN TWO GATES


KOTAGEDE
Oleh: Jujun Kurniawan

M enengok sejarah peradaban di


Nusantara terdapat suatu masa
pengaruh kebudayaan Islam. Pada masa ini
muncul kota-kota yang umumnya berlokasi
di wilayah pantai dan pedalaman. Hingga
akhir abad ke-16 M wilayah pedalaman
yang bercorak agraris menjadi tempat pusat
kerajaan Islam. Hal ini ditandai dengan
munculnya kerajaan Mataram Islam beserta
rangkaian kota-kota pusat pemerintahannya,
yaitu: Pajang, Kotagede, Kerta, Plered,
Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta.
Kota-kota tersebut ada pula yang masih
hidup dan berkembang hingga saat ini,
seperti Surakarta, dan Yogyakarta. Namun
akibat dari proses perkembangan sejarah
dari masa ke masa, kota-kota tersebut
mengalami perubahan struktur baik fisik
bangunan maupun sosialnya. Bahkan yang
dahulu pernah menjadi ibukota kerajaan,
kondisinya saat ini justru hanya berfungsi
sebagai desa atau kampung saja.

> Denah dan beberapa foto di Sudut Gang Rukunan


(Between Two Gates)
Jalan Rukunan atau yang lebih dikenal dengan
Between Two Gates adalah salah satu bentuk
kekhasan dari segi arsitektur yang ada di Kotagede.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


52 PRINGGITAN PRINGGITAN 53

Kotagede pun tak luput dari perubahan permukiman para kaum/ulama); dan Mandarakan (bekas daripada satu unit rumah. Beberapa di antaranya, Masing-masing menampilkan Jawa-Hindu, Jawa-
ini, namun di antara bekas ibukota kerajaan lokasi kediaman Adipati Mandaraka–patih Panembahan antar rumah tersebut memiliki hubungan khusus Islam dan Kolonial.
Mataram Islam, Kotagede memiliki Senopati). atau masih satu kerabat. Fenomena Between Two Gates ini merupakan
karakteristik yang paling menonjol. Sisa Seiring berjalannya waktu Kotagede kini telah menjelma Jalur penghubung antar rumah yang dikelilingi salah satu bentuk permukiman khas permukiman di
jejak fisik dari keberadaan suatu ibukota sebagai kawasan berkarakter urban dengan permasalahan oleh tembok ini menghasilkan suatu jalan kolektif Kotagede yang sekaligus juga suatu bentuk ekspresi
kerajaan masih dapat dijumpai di sini yang umum dihadapi baik bersifat fisik keruangan-arsitektural pemukiman yang terbentuk dari ruang pringgitan dari values of sharing. Lingkungan permukiman ini
seperti: sisa tembok keliling/benteng (baik maupun permasalahan sosial-budaya. Kondisi ini tentunya atau ruang emperan rumah. Jalan semacam ini seperti halnya sebuah rumah besar yang ditinggali
yang mengindikasikan benteng cepuri berbeda dari empat abad yang lalu ketika pernah menjadi disebut Jalan Rukunan atau Gang Rukunan yang satu keluarga besar dengan sikap kerukunan dan
maupun benteng baluwarti), bekas jagang/ awal kota pemerintahan kerajaan Mataram Islam. menimbulkan suatu tatanan ruang yang unik di gotong royong yang tinggi. Hal itu terlihat dari sikap
parit keliling kota, kompleks pasar, situs Kenyataan wajar yang muncul kemudian adalah banyak Kotagede. mereka merelakan sebagian lahan rumahnya untuk
watu gilang–lempengan batu andesit yang lahan yang mengandung potensi sejarah berubah menjadi Tahun 1992 seorang arsitek UGM bernama L. kepentingan bersama, berupa jalan rukunan.
dipercaya sebagai salah satu komponen permukiman padat. Perubahan karakter masyarakat Indartoro pernah meneliti mengenai sistem tata Arsitektur rumah Jawa menampilkan dasar
bekas singgasana Panembahan Senopati, pemukim berkaitan erat pula dengan karakter bentuk- ruang ini dan menyatakan bahwa terdapat 21 lokasi dari kondisi sosial. Ekspresi pemikiran dari bentuk
dan bangunan masjid agung yang dilengkapi bentuk arsitektur bangunan yang diasumsikan mengubah di seluruh Kotagede yang memiliki karakter Jalan rumah ini juga terdapat pada bangunan-bangunan
dengan pemakaman kerajaan dan kompleks wajah arsitektur tradisional Kotagede. Rukunan ini. Namun yang tersisa hanya terdapat di lainnya yang membentuk suatu struktur fisik
pemandian/sendang. Meskipun demikian, Kotagede tetap menampilkan Kampung Alun-Alun RT 37/RW 09 yang kemudian dari masyarakat. Hubungan antar rumah dengan
Di samping tinggalan-tinggalan keunikan karakternya. Kawasan inilah yang masih memiliki dikenal dengan nama Between Two Gates. Ungkapan aktivitas di komunitasnya mengindikasikan suatu
arkeologis tersebut, terdapat pula nama- karakter arsitektur dan tata ruang tradisional Jawa, sehingga ini dipopulerkan oleh Rahmat Wondoamiseno dan materialisasi dari nilai-nilai dan cara pandang suatu
nama tempat yang dapat menggambarkan bangunan lama dan suasana lama masih dominan. Saat ini Sigit Seogya Basuki dari Arsitektur UGM pada tahun masyarakat.
komponen Kotagede pada saat itu. Beberapa misalnya, kurang lebih dari 400 rumah di kampung Jagalan, 1986. Dalam hal itu, perubahan sosial, teknologi,
di antaranya adalah: Kampung Alun-Alun; lebih dari 35 rumah yang dibangun sejak abad ke-19 Masehi Between Two Gates di Kampung Alun-Alun dan budaya menjadi salah satu faktor pendorong
Kampung Kedhaton; Prenggan, JagaragIan, memiliki bentuk atap joglo. ini berupa satuan lingkungan yang terbentuk dari perubahan yang terjadi di banyak tempat, termasuk
Purbayan, (toponimi bekas lokasi kediaman Pada umumnya karakter fisik lain yang masih sangat sembilan rumah (terdiri dari dalem dan pendhapa) Kotagede. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin
pangeran–putra Panembahan Senopati); terasa hingga saat ini adalah lebar jalanan yang cukup yang berderet dari barat ke timur milik saudagar banyak warga Kotagede yang tidak lagi mengenali
Bumen, Singasaren (toponim bekas lokasi sempit, dan lorong permukiman yang berliku di antara pagar Atmosoeprobo, rata-rata dibangun pada abad ke-19 dengan baik budaya dan karakter asli Kotagede.
kediaman saudara Panembahan Senopati); tembok tinggi antar rumah. Masehi. Di kedua ujungnya terdapat pintu gerbang Kepedulian akan pelestarian nilai-nilai budaya
Mutihan, Kauman (bekas lokasi permukiman Bangunan berarsitektur Jawa yang ada saat ini memang yang dahulu selalu ditutup saat malam hari, gerbang lokal Kotagede merupakan hal yang sangat penting
abdi dalem mutih [alim-ulama] dan kemungkinan bukan berasal dari masa Kotagede awal barat berhubungan langsung dengan jalan utama karena melalui pelestarianlah penerjemahan
pada saat menjadi ibukota Kerjaan Mataram Islam, namun dan gerbang timur berbatasan dengan rumah lain. khasanah budaya lokal dapat dipahami dengan baik
bangunan-bangunan yang ada dapat dilihat sebagai Pada prinsipnya, jalan rukunan ini merupakan oleh masyarakat.
kelanjutan bentuk bangunan pada masa Kotagede awal satuan lingkungan terkecil permukiman yang bersifat
tersebut. semi-tertutup, karena diapit oleh dua gerbang pada
Bentuk rumah secara umum di Kotagede ini selalu kedua ujungnya. Jalan yang terbentuk dari ruang
menghadap ke selatan dan menampilkan arsitektur antara dalem dan pendapa rumah-rumah tersebut
tradisional Jawa-Mataram yang ditandai dengan keberadaan saling sambung menyambung sehingga membentuk
tiga komponen pokok rumah yaitu pendhapa, dalem, dan sebuah gang atau lorong dengan pintu gerbang di
gandok yang dilengkapi dengan tembok keliling tinggi. ujung barat dan ujung timur. Kondisi inilah yang
Baik rumah tunggal maupun dua atau lebih rumah selalu memunculkan sebutan between two gates.
dikelilingi oleh dinding tembok. Meskipun tiap rumah Fungsi jalan rukunan ini memenuhi kebutuhan
dipisahkan oleh keberadaan tembok keliling ini, seseorang jalan kaki ke pasar, sekaligus juga sebagai jalan
dapat dengan mudah memasuki rumah tetangganya pintasan antar kelompok permukiman. Jalan rukunan
langsung dari halaman rumahnya sendiri melalui pintu ini juga menjadi ruang terbuka bagi penghuninya,
gerbang bersama tanpa harus keluar melalui jalan terlebih sekaligus menjadi tempat aktivitas keseharian, juga Jujun Kurniawan
dahulu. tempat penyelenggaraan upacara-upacara religius, Jujun lahir di Bandung 7 Juni 1979. ia lulus pendidikan
Pada banyak tempat di Kotagede, bagian halaman depan tradisional, aktivitas sosial, dan perayaan. S1 di Arkeologi UGM dengan skripsi berjudul
rumahnya (pringgitan: ruang antara bangunan dalem dan Karena bentuknya ini pula, jalan rukunan “Perkembangan Kota Malang 1914-1942: Kajian atas
pendhapa) bahkan diperuntukan bagi jalan lintas umum, memiliki tingkat privasi yang tinggi, karena Intervensi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda”.
terutama di waktu siang hari. Oleh karena itu, seseorang hubungan antara keluarga penghuni ke sembilan Selepas itu langsung bekerja selama setahun pada
bisa saja mendapati dirinya tiba-tiba berada di dalam rumah tersebut memiliki keterikatan emosional. pengangkatan (salvaging) kapal tenggelam di perairan
halaman rumah orang lain. Sering kali dijumpai di Kotagede Dari kesembilan rumah tersebut empat di antaranya Laut Jawa kemudian aktif mengajar di Jurusan
satu lingkup tembok keliling terdapat beberapa rumah masih lengkap menampilkan arsitektur Jawa- Arkeologi (sekarang Departemen Arkeologi) UGM dan
Mataram, sedangkan lima rumah lainnya telah menamatkan S2 nya di bidang pengelolaan sumber
< Pintu Gerbang Masuk Between Two Gates mengalami perubahan di bagian pendhapanya. daya budaya. Minat risetnya terhadap arsitektur
Salah satu pintu gerbang menuju Jalan Rukunan (Between Two Meskipun demikian, tata ruangnya masih terjaga, dan perkembangan kota-kota kuno di Indonesia,
Gates) yang terletak di sisi barat jalan rukunan. deretan rumah ini memiliki ornamen yang berbeda. mendorongnya untuk menulis satu tulisan ini.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


54 PAGELARAN PAGELARAN 55

Komunitas Lawang Pethuk bermula dari


gagasan-gagasan sekelompok orang yang
mencoba menemukan celah kosong sebagai
bentuk partisipasi pelestarian, sampai
akhirnya menemukan bahwa pariwisata
menjadi sebuah alternatife untuk menjawab
tantangan konservasi Warisan Budaya
(heritage conservation) sekaligus sebagai
bagian dari upaya pembangunan sosial.
Istilah lawang pethuk merujuk pada
sebuah pendhapa di salah satu gang rukunan
Kotagede yang sering disebut Between Two
Gates, nama ini muncul dari hasil peneltian
Ir. Rachmat Wondoamiseno dan Ir. Sigit
Sayogya Basuki Staf Pengajar Jurusun
Arsitektur Fakultas Tehnik Universitas Gadjah ^ Memasak Bersama
Mada Tahun 1986. Gagasan tersebut lahir dan Salah satu paket wisata yang ditawarkan oleh Komunitas
berkembang sedemikian rupa yang pada akhirnya Lawang Pethuk yaitu memasak masakan tradisional.
membentuk sebuah komunitas peduli pelestarian Kegiatan tersebut dilakukan guna mengenalkan masakan
Warisan Budaya. tradisional Kotagede kepada wisatawan
Pendhapa tersebut tidak hanya menjadi public
space namun sekaligus menjadi public share. dalam bentuk dan suasana tradisional. Untuk
Lawang yang berarti pintu menunjukkan bahwasanya menunjang program kegiatan tersebut komunitas
letak pendopo tersebut berada diantara 2 gerbang Lawang Pethuk mengadakan pelatihan tehnik
(timur dan barat). Sedangkan pethuk mempunyai pemanduan, pemasaran dan pelatihan bahasa asing
arti kata bertemu. Sehingga dapat diartikan bahwa (inggris dan spanyol), mengikuti sertifikasi pemandu
lawang pethuk merupakan sebuah ide, gagasan wisata lokal yang diselenggarakan Dinas Pariwisata
maupun pemikiran-pemikiran yang muncul dan Kota Yogyakarta Tahun 2015 serta mengadakan
bertemu ditengah-tengah ruangan antara dua pintu saresehan dengan menghadirkan narasumber yang
tersebut. berkompeten.
Sebagai bekas ibukota kerajaan, Kotagede Kegiatan wisata yang berbasis pelestarian Warisan
merupakan kota heritage yang amat berpotensi bagi Budaya tadi bukan hanya dapat menghasilkan nilai
kemakmuran masyarakatnya salah satunya melalui yang bersifat meteriil, namun juga dapat menggugah
sektor pariwisata karena di Kotagede terdapat kesadaran masyarakat untuk menjaga Warisan
Komunitas Lawang Pethuk beberapa situs seperti Beteng Cepuri, Watu Gilang Budaya sekaligus memanfaatkannya.
Salah satu komunitas di Kotagede yang ikut melestarikan Warisan Budaya dan Cagar Budaya yang ada di Kotagede. Komunitas
dan Watu Gatheng, Jebolan Beteng Raden Ronggo, Komunitas Lawang Pethuk adalah sebagian
tersebut melestarikan dengan cara mengenalkan potensi warisan budaya di Kotagede melalui pariwisata yang dikemas dengan kecil dari sebuah Kawasan Cagar Budaya Kotagede,
paket wisata menarik Masjid Gede Mataram serta Komplek Pemakaman
Raja Raja Mataram. Keunikan Kotagede nampak namun dari langkah kecil ini Komunitas Lawang

LAWANG PETHUK melalui kampung-kampungnya dengan bangunan- Pethuk ingin menggapai upaya Pelestarian Warisan
bangunan berarsitektur tradisonal yang kental akan Budaya di Kawasan Cagar Budaya Kotagede.
sejarah dan gang-gang sempit serta jalan rukunan
Melestarikan warisan budaya dan cagar budaya Kotagede Melalui Pariwisata yang terbentuk dari halaman rumah-rumah yang ada. Joko Nugroho
Para wisatawan sembari blusukan dapat melihat Joko Nugroho adalah
Oleh: Joko Nugroho
kerajinan perak, menimati kuliner khas Kotagede warga asli Kotagede.
serta merasakan atmosphere tradisional Kotagede. Rumahnya berada
G empa bumi pada tanggal 27 Mei 2006
menghantam hampir seluruh wilayah
Yogyakarta, tanpa terkecuali di Kotagede. Gempa yang
sangat terasa. Bagaimana sebuah bencana mampu
membuat fenomena kerekatan sosial menjadi nyata
dan terlihat lebih jelas.
Menyadari betapa potensialnya Kotagede untuk
bisa menjadi tujuan wisata budaya, maka Komunitas
di dalam salah satu
situs Cagar Budaya
Lawang Pethuk membuat Paket Wisata Berbasis yang terkenal di
berpusat di Bantul ini telah memberikan dampak yang Kondisi pasca gempa yang menimbulkan Kotagede, Between
Budaya sebagai wujud ataupun bentuk Pelestarian
cukup besar, baik secara moral maupun material. berbagai dampak fisik terhadap keberadaan situs- Two Gates. Hal
Warisan Budaya dan Cagar Budaya karena salah
Tidak sedikit bangunan bahkan korban yang terkena situs bersejarah maupun rumah-rumah tradisional, tersebut mendorong
satu prinsip pelestarian adalah azas manfaat.
dampak kerusakan akibat gempa. ternyata menimbulkan hal positif, kesadaran akan dirinya untuk aktif melestarikan warisan budaya dan
Beberapa Paket Wisata Lawang Pethuk yang telah
Namun disisi lain, munculnya bencana seringkali kehilangan Warisan Budaya mulai muncul. Gerakan- cagar budaya Kotagede. Salah satunya dengan aktif
berjala: Paket Makan Siang, Paket Makan Malam,
disertai pula dengan munculnya kesholehan sosial, gerakan pelestarian mulai tumbuh dan berkembang dalam komunitas Lawang Pethuk. Saat ini, selain sibuk
Paket Blusukan Kotagede (Kotagede Heritage Trail),
begitu pula dengan yang terjadi di Kotagede. Pasca sesuai dengan konsentrasinya, salah satunya adalah aktif dalam komunitas Lawang Pethuk, Joko juga tercatat
Cooking Class dan Silver Class, semua paket dikemas
gempa, ikatan sosial dalam masyarakat Kotagede Komunitas Lawang Pethuk Kotagede. sebagai sekretariat Forum BPKCB Kotagede sejak 2015.

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


56 Kawruh Kawruh 57

hubungan-hubungan antar manusia di dalam hidup Sumber Bacaan :


bermasyarakat. Hubungan kekerabatan dan prinsip
hidup yang menganut filosofi Jawa seperti area lahan Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa
yang terdiri dari beberapa rumah kerabat/ saudara, Yogyakarta (2009) Ensiklopedi Kotagede: Yogyakarta
kepercayaan sosial, filosofi Jawa yang pada intinya
sebagai manusia kita harus saling menghormati Endraswara, Suwardi (2006) Budi Pekerti Jawa
dan menghargai satu sama lain. Hal ini menjadi (Tuntunan Luhur dari Budaya Adiluhung), Gelombang
kebiasaan yang sudah dilakukan berulang kali, terus Pasang: Yogyakarta
terbina dari dulu hingga saat ini.
Warga Kotagede mempunyai tradisi dan Indiatoro.L (1995) Kesinambungan dan perubahan
kehidupan sosial budaya cukup menarik dan khas peran jalan rukun di kampung Kotagede,: Tesis UGM,
yang turun-temurun. Masyarakat Kotagede tumbuh Yogyakarta.
berkembang seiring dengan perjalanan waktu yang
mengakibatkan beberapa perubahan di wilayah ini. Setiawan, B. dan Haryadi (1995), Arsitektur
Perubahan tersebut telah menjadikan warga Kotagede Lingkungan dan Perilaku; Proyek Pengembangan
memiliki jati diri yang selaras dengan lingkungan fisik Pusat Studi Lingkungan Direktorat Jenderal
dan spiritualnya. Berbekal pengalaman yang dimiliki, Pendidikan Tinggi, Depdikbud RI: Yogyakarta.
warga membangun kehidupan sosial,
budaya dan spiritual yang terus menerus
dari waktu ke waktu untuk menemukan
jawaban mengenai kehidupan baru bagi
diri dan lingkungannya.

Tadhah Alas
Haryadi dan B. Setiawan dalam sebuah
penelitiannya pernah mengatakan, “ruang
terbentuk dengan melihat bagaimana
Ruang Sosial Warga Kotagede masyarakat memanfaatkan
Begitulah yang terjadi di Kotagede,
ruang”.

Oleh: Indrayanti masyarakat mampu memanfaatkan ruang


di sekitar mereka.
Letak tadhah alas yang berada di
^ Bercengkrama
Beberapa orang sedang bercengkrama bersama di Tadhah Alas depan rumah. Tadhah Alas memiliki fungsi sebagai ruang
luar rumah memberikan kemudahan
sosial bagi warga Kotagede. Tadhah Alas memiliki bentuk persegi panjang dan terletak di depan rumah. warga sekitar berinteraksi dengan santai.
Warga sekitar maupun masyarakat umum
dapat menggunakannya sebagai tempat
T idak bisa asal lewat di Jalan Kerukunan,
Kota Gede, Yogyakarta. Pasti akan sungkan
jika tidak menyapa basa basi warga yang biasanya
bersosialisasi warga.
“Sudah ada sejak kecil,” ujar Kismo.
Bapak berumur 89 tahun itu menjelaskan,
beristirahat sementara. Tadhah alas
mempunyai hubungan kedekatan dengan
ruang luar, dimana alam yang menjadi
memang sering berada di luar rumah itu. Gang yang kalaupun bukan untuk mengobrol, warga kerap batas ruang. Ruang luar memiliki sifat
bahkan tak kan muat dimasuki satu mobil sedan itu memilih duduk di tadhah alas dibanding di dalam sebagai ruang publik, dimana semua
memang telah menjadi ruang umum bagi masyarakat rumah. Ngisis, begitu katanya. Kondisi cuaca Kota warga dapat masuk ke area tersebut.
sekitar melakukan berbagai kegiatan. Gede yang sering panas, memang membuat warga Tadhah alas merupakan produk budaya
Meski sempit, menariknya mereka tetap rela tak melulu betah berdiam di dalam rumah. yang mengandung nilai-nilai kehidupan
menyita lahannya untuk membangun bangku-bangku Menurut Indartoro, seorang arsitek yang pernah yang tinggi yaitu menjadi wadah atas
permanen. Ada alasan mengapa ini dilakukan. mengkaji mengenai Kotagede, berkurangnya ruang motif-motif aktivitas warga yang dipahami
Mengobrol dengan tetangga adalah rutinitas. Tak terbuka mengakibatkan aktivitas sosial lebih banyak sebagai respon terhadap perilaku sosial
melulu soal lingkungan, masalah politik juga mereka dilakukan pada jalan rukunan. Pada tempat-tempat atau budaya, yang mengandung makna
obrolkan. Namun, tradisi yang sudah ada puluhan tertentu terutama di pinggir jalan rukunan dibangun dan simbol yang telah disepakati antar
tahun ini tetap harus bergelut dengan modernisasi di tempat duduk permanen atau tadhah alas ini. kelompok masyarakat tertentu.
tengah warganya. Jalan Kerukunan tidak seriuh lima Terbentuknya tadhah alas tak luput karena
puluh tahun silam. modal sosial yang dimiliki warga Kotagede. Modal
Tadhah alas, begitu warga biasa menyebutnya. sosial yang dimaksud adalah nilai-nilai tradisi yang > Tadhah Alas
Dibuat dengan menyusun bata dan kemudian diberikan orangtua mereka sejak kecil tentang Foto disamping merupakan Tadhah Alas yang
diplester halus dengan semen. Biasanya tadhah alas menjalin hubungan baik antara individu dengan terdapat pada salah satu bangunan di Jalan
dibuat di bawah tritisan. Selama sekira 50 tahunan individu atau antara individu dengan kelompok. Rukunan (Between Two Gates) Kotagede.
ini, tadhah alas sudah menjadi bagian dari aktivitas Modal sosial berkembang sebagai hasil dari

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


58 SRAWUNG SRAWUNG 59

Langgar Dhuwur
Langgar Dhuwur adalah salah satu bagian bangunan yang tak

Serba-Serbi
terpisahkan dari rumah-rumah tradisional di Kotagede. Bangunan
ini digunakan sebagai tempat bersembahyang masyarakat pada
waktu itu. Bentuknya adalah bangunan bertingkat, dengan
arsitektur Melayu, pada bagian atas digunakan untuk beribadah,

KOTAGEDE
sedangkan pada bagian bawahnya digunakan sebagai kamar
mandi dan tempat wudhu. Saat ini keberadaan Langgar Dhuwur
sangat langka, karena berkembangnya rumah-rumah tradisional
di Kotagede.

Pasar Legi Kotagede


Pasar merupakan komponen penting dari sebuah kota.
Pusat perekonomian dan tempat berkumpulnya masyarakat dari
Sebagai kota yang sudah ratusan tahun berdiri, Kotagede memiliki keragaman budaya yang sangat berbagai macam latar belakang. Begitu pula pasar yang ada di
banyak. Tak terhitung apa saja budaya-budaya yang dimiliki bekas ibukota Mataram Islam ini. Tim redaksi Kotagede ini. Terletak ± 100 meter di Timur Laut Masjid Gede
buletin Mayangkara mencoba untuk merangkai hal-hal menarik yang ada di Kotagede tersebut. Mataram Kotagede, Pasar Legi Kotagede dipadati masyarakat
pada saat pagi dan sore hari. Berbagai macam kebutuhan sehari-
hari, makanan khas, hewan, tanaman, dll dapat dengan mudah
ditemui disini.
Bahu Dhanyang
Bahu Dhanyang adalah sebutan untuk bagian konsul
tritisan rumah tradisional yang ada di Kotagede. Struktur ini
menggunakan material kayu, dengan hiasan ukiran diseluruh
bagiannya. Sangat mudah menemukan kontruksi seperti ini di Lorong Kotagede
Kotagede, karena hampir di setiap rumah tradisional memiliki Kotagede terkenal dengan lorong-lorong sempit yang mudah
kontruksi Bahu Dhanyang. ditemui ketika kita memasuki perkampungan warga. Lorong-
lorong ini menjadi objek menarik bagi para fotografer maupun
wisatawan yang ingin sekedar merasakan atmosfir tradisional
Kotagede.
Kipo
Jika berkunjung ke Kotagede, jangan sampai anda
melewatkan makanan ringan satu ini !! Kipa merupakan kue
khas Kotagede yang terbuat dari campuran bahan ketan, santan,
garam, dan gula kemudian dikukus serta dibakar. Ukurannya Tembok Kotagede
kecil dan bewarna hijau dengan beberapa bagian nampak hasil Status sebagai bekas ibukota kerajaan mmpengaruhi pola
pembakaran. Disebut Kipa karena berasal dari pertanyaan “iki tata ruang kota dan bangunan-bangunan penunjangnya.
apa” (ini apa)?, oleh orang yang akan memakannya. Kini, beberapa bangunan tersebut masih bisa kita nikmati
keberadaannya. Beberapa di antaranya menjadi icon yang tidak
boleh luput dari jepretan kamera atau sekedar ber-selfie dengan
Masyarakat Kalang latar belakang bangunan-bangunan tersebut.
Adalah sekelompok kaum marginal yang berada di
Kotagede, tepatnya di daerah Tegalgendu. Menurut cerita yang
berkembang, masyarakat Kalang sering digunakan oleh raja-raja
Mataram untuk mencari kayu guna membangun kraton. Selain Sido Semi
itu, masyarakat Kalang memiliki ketrampilan dalam berdagang. Sido semi merupakan warung makan yang terletak tepat
Tak heran pada perkembangannya, masyarakat Kalang dikenal di depan tempat parkir Masjid Gede Mataram Kotagede sisi
sebagai orang yang kaya raya. Di wilayah Tegalgendu, kita dapat Timur. Warung ini sudah buka sejak tahun 1950-an. Di
menjumpai bangunan-bangunan megah, yang oleh masyarakat tempat ini kita dapat menikmati makanan dan minuman
sekitar disebut rumah Kalang (rumah orang-orang Kalang). tradisional yang jarang kita temui di tempat lain. Namun,
Saat ini keberadaan masyarakat Kalang masih eksis dan hidup Saat ini warung tersebut sudah tutup. Akan tetapi, kita masih
berdampingan dengan masyarakat sekitar. bisa menikmati kuliner khas warung Sido Semi di sebelah
utara Masjid Perak Kotagede.
DIPTA DONI

Mayangkara | EDISI 3 | 2016 Mayangkara | EDISI 3 | 2016


60

Edisi Sebelumnya:

Sampul Belakang:
Gapura Makam Kotagede tahun 1890.
Foto tersebut diambil oleh Kasian
Sketsa Gapura Makam Penembahan Chepas.
Senopati, Kotagede Sumber: kitlv-media.nl
Oleh: Rahmat Sunyoto
(Peserta Lomba Sketsa Heritage 2014)

Mayangkara | EDISI 3 | 2016

Anda mungkin juga menyukai