Sampul Depan:
Gapura Masjid Gedhe
Mataram Kotagede
Uneg-uneg Redaktur
SUSUNAN REDAKSI Rubrik
PENANGGUNG JAWAB:
Drs. Umar Priyono, M. Pd. KORI: rubrik pembuka berisi informasi mengenai sejarah dan
penjelasan tema buletin edisi kali ini.
PEMIMPIN REDAKSI:
Dian Lakshmi Pratiwi, S.S, M.A. PENDHAPA: tajuk utama dalam buletin.
Kotagede merupakan sebuah wilayah yang sudah Pelestarian Kawasan Cagar Budaya Kotagede Nunik Arzakiah, S. Si, M.T.
tidak asing lagi di telinga kita. Saat ini Kotagede merupakan wujud nyata dari keinginan bersama PLATARAN: rubrik ringan yang berisi perjalanan ataupun
informasi situs Warisan Budaya di berbagai tempat, khususnya
menjadi nama administrasi Kecamatan Kotagede yang untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya yang ada di DIY.
REDAKTUR:
ada di Kota Yogyakarta. Meskipun demikian, secara di Kotagede agar dapat diwariskan bagi setiap orang di
Rully Andriadi, S.S.
kontekstual Kotagede kemudian digunakan sebagai dunia dari generasi ke generasi. PRINGGITAN: rubrik berisi kajian maupun penelitian yang
nama Kawasan Cagar Budaya yang ada di 2 wilayah Pada beberapa bagian, pembaca akan dikenalkan membahas mengenai tema Buletin Mayangkara edisi kali ini.
administrasi, yaitu Kota Yogyakarta dan Kabupaten dengan potensi yang dimiliki oleh Kotagede. Pada EDITOR:
Sony Saifuddin S.S. PAGELARAN: rubrik mengenai kegiatan masyarakat dalam
Bantul. Bersama dengan beberapa kawasan lainnya, bagian lain, akan disajikan beberapa pemikiran upaya pelestarian terhadap warisan budaya dan cagar budaya
Kotagede telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar akademisi mengenai pelestarian yang dilakukan. Dan Anglir Bawono, S.S.
di Kotagede.
Budaya dengan Surat Keputusan Gubernur Daerah beberapa bagian lainnya akan disajikan mengenai
Istimewa Yogyakarta pada tahun 2011. harapan dari para praktisi pelestarian dari Kotagede. REPORTER: EMPU: rubrik wawancara interaktif dengan tokoh-tokoh yang
Mayangkara pada Edisi 3 ini berusaha menghadirkan Mayangkara Edisi 3 ini juga merupakan salah satu Pradipta Agung Kumara, S.S. berpengaruh dalam Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar
Budaya.
Kotagede dari berbagai sudut pandang yang berbeda upaya untuk mensosialisasikan pelestarian yang sudah Ruuddoni Yoga Dharma Akbar, S.S.
kepada seluruh pembaca. Hal ini dimaksudkan agar dilakukan di Kawasan Cagar Budaya Kotagede. Semoga TEBENG: rubrik berisi pandangan masyarakat terhadap
tema ini bisa memberikan warna baru terkait dengan edisi ini dapat memberikan informasi, wawasan, dan FOTOGRAFER: Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya di DIY.
tulisan yang membahas tentang Kotagede. Tulisan yang manfaat bagi semua pihak. G. Ardi Saptomo, S. T.
ada pada edisi ini berasal dari berbagai sumber terpilih, KAWRUH: rubrik berisi informasi-informasi yang tidak banyak
diketahui oleh masyarakat umum.
yang kemudian diolah dan disajikan sedemikian rupa “Lestari Warisan Budaya dan Cagar Budaya Kotagede!” DESIGN & LAYOUT:
dapat memberikan gambaran kepada pembaca secara Gilang Swara Sukma, S.S. SRAWUNG: rubrik berisi serba-serbi mengenai Warisan Budaya
lebih luas. Rully Andriadi dan Cagar Budaya.
Redaktur
DISTRIBUSI & SIRKULASI:
Haryo Mungkastoro
Bhaskara Ksatria, S.T.
KONTRIBUTOR:
Prof. Dr. Inajati Adrisijanti
Dr. Sri Margana, M. Phil.
Drs. Prijo Mustiko
Drs. Priyo Salim
Andi Putranto, S.S., M.Sc.
Jujun Kurniawan, S.S., M.A.
Indrayanti, S.T.
Joko Nugroho
Erwito Wibowo
Erwando Abadi
Afifah Sholihah
PENERBIT:
Dinas Kebudayaan DIY
UBARAMPE
»»36
36 Watu gilang dan orang eropa pertama di
kotagede
Sudah tidak asing lagi bila kita berkunjung ke Kotagede dan
mendengar nama Watu Gilang. Banyak kisah legenda yang melatar
belakangi asal usul situs tersebut. Banyak yang mengatakan Watu
Gilang dulunya merupakan singgasana Panembahan Senapati,
hingga kisah terbunuhnya Ki Ageng Mangir di situs berbentuk batu
6 KOTAGEDE: BERDIRI DAN SURUTNYA ini. Namun apakah benar seperti itu kisah mengenai batu tersebut?!
»»6 Oleh: Sri Margana
Kotagede merupakan ibukota pertama kerajaan Mataram
Islam. Berawal dari sebuah hutan bernama Alas
Mentaok, Ki Pemanahan mendirikan sebuah kota. Pada 44 pelestarian warisan budaya tak benda di
perkembangannya, Kotagede menjadi jantung pemerintahan kotagede
dan perekonomian Mataram Islam, hingga kemudian
ditinggalkan karena perpindahan ibu kota kerajaan. »»50
Kotagede mencapai era keemasan pada masa pemerintahan
Oleh: Inajati Adrisijanti Sultan Agung. Pada era keemasan inilah nilai-nilai
budaya Mataram tumbuh berkembang dan mewarnai pola
14 Pelestarian berbasis masyarakat di kehidupan masyarakat Mataram, yang ditandai dengan
ajaran Sastra-Gending dan Tarich Tahun Jawa. Saat ini
kawasan cagar budaya »»56 nilai-nilai budaya tersebut wajib kita lestarikan bersama.
Oleh: Prijo Mustiko
Warisan budaya sebagaimana halnya dengan Kotagede
akan mendatangkan manfaat baik bagi masyarakat di
dalamnya maupun masyarakat luas. saat ini Kotagede 50 Between two gates kotagede
telah dikenal sebagai salah satu destinasi wisata budaya, Istilah Between Two Gates diperkenalkan oleh seorang arsitek
sejarah, spiritual, kuliner yang terkenal di Yogyakarta. bernama L. Indarto. Istilah ini mengacu kepada sebuah jalan
Selain memiliki dampak positif, hal tersebut juga berdampak rukunan yang tersisa di Kotagede. Di dalam Between Two
negatif bagi pelestarian cagar budaya di Kotagede. Untuk Gates ini terdapat bangunan-bangunan tradisional yang
itu diperlukan dukungan dari segenap elemen masyarakat dapat menggambarkan suasana Kotagede di masa lampau.
dalam usaha pelestarian Kawasan Cagar Budaya Kotagede »»24 Oleh: Jujun Kurniawan
Oleh: Andi Putranto
»»14 18 Mengukir sejarah perak kotagede 24 jejak pesona masjid tertua di yogyakarta
Awal mula perak Kotagede dimulai ketika pertama Oleh: Afifah Sholihah
kali kota ini dibangun pada abad XVI Masehi. Untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga, para pengrajin perak
32 pemberdayaan masyarakat dalam pelestarian
dikumpulkan dari berbagai daerah. Seiring bertambah kawasan cagar budaya kotagede
pesatnya perdagangan, permintaan akan perak terus Oleh: Erwito Wibowo
melonjak, hingga pada suatu masa, Kotagede menjadi
pusat kerajinan perak. Namun, cerita indah mengenai 48 Delik Malam DI makam panembahan senopati
jaman keemasan perak tersebut perlahan luntur dan Oleh: Erwando Abadi
»»18 akhirnya menghancurkan identitas Kotagede sebagai
kota perak. Saat ini Kotagede mulai merangkak kembali 54 Lawang pethuk: Melestarikan warisan budaya
menggapai masa-masa jaya sebagai pusat kerajinan perak. dan cagar budaya kotagede melalui pariwisata
Oleh: Priyo Salim Oleh: Joko Nugroho
28 Ahmad charis zubair: kotagede harus 56 Tadhah alas, ruang sosial warga kotagede
Oleh: Indrayanti
tumbuh berkembang sesuai akar
kulturnya 58 serba-serbi
Pada kesempatan kali ini, tim redaksi Mayangkara mendapat
kesempatan berbincang-bincang dengan salah satu tokoh
ternama di Kotagede. Bersama budayawan satu ini, kita
»»28 akan diajak menelusuri Kotagede dari masa ke masa.
KOTAGEDE
BERDIRI DAN SURUTNYA
OLEH: INAJATI ADRISIJANTI
ini. Memang seperti pasar-pasar tradisional lain sesudah itu tahun 1533 Ç (1611 M) beliau
sampai saat inipun komoditi dagang di Pasar juga memerintahkan membuat krapyak, yang
Legi (nama pasar di Kotagede) sangat bervariasi. setahun kemudian tahun 1534 Ç (1612 M)
Mulai dari barang-barang konsumsi, hasil bumi, sudah dapat digunakan. Dalam surat yang ditulis
pecah belah, tanaman, unggas, alat-alat rumah oleh orang Belanda yang ditawan di Mataram
tangga, sampai sandang, ada semua. Sampai bertanggal 22 Juni 1620 M, diberitakan bahwa
sekarang pada hari pasaran Legi pasar Kotagede Sultan Agung memerintahkan membuat kolam
ini “tumpah” sampai ke jalan. di halaman istana untuk tempat bersenang-
Sebagaimana halnya kota-kota pusat senang para wanita kraton.
pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam pada Menurut Hourani (t.t.: 21-23) suatu kota tidak
umumnya, di Kotagede juga dibangun masjid terdiri dari kumpulan bangunan saja, melainkan
agung. Di dalam Babad Momana (PBE 100, ada penduduk yang menghidupkan kota itu.
242) disebutkan bahwa pembangunannya Kelompok-kelompok masyarakat penghuni kota
selesai pada tahun 1511 Ç (1589 M). Di dapat dikelompokkan atas beberapa kriteria,
halaman belakang Masjid Agung Mataram yaitu: atas dasar jenis pekerjaannya, atas dasar
terdapat Makam Agung, tempat pemakaman tempat asalnya, dan atas dasar strata sosialnya.
para peletak dasar kerajaan Mataram Islam, Di kota-kota kuno biasanya hunian masyarakat
di antaranya: Ki Pemanahan, Panembahan dijadikan cluster-cluster sesuai dengan kriteria
Senapati, Sunan Seda ing Krapyak, serta di atas, dan nama cluster-cluster itu masih
keluarga kerajaan lainnya. Pemakaman ini ada sampai sekarang, meskipun kelompok
tentunya mulai dibuat setelah masjid selesai asalnya sudah tidak dijumpai lagi. Nama-nama
dibangun. cluster itulah yang disebut toponim. Selain
Sebagai suatu kota pusat pemerintahan, nama kelompok masyarakat, toponim juga
Kotagede juga mempunyai kraton sebagai mengindikasikan bangunan atau bagian dari
kediaman raja beserta keluarganya. Berdasarkan kraton.
beberapa sumber tertulis, salah satunya de Graaf Masih banyak dijumpai toponim yang
(1985: 53) menyimpulkan bahwa pembangunan menggambarkan kehidupan masyarakat pada
kraton Mataram-Islam terjadi pada tahun 1500 masa lalu di Kotagede ini, antaralain: Pandhéyan,
Ç (1578 M). Sayang, sekarang kita tidak Kemasan, Mranggèn, Singasarèn, Purbayan,
mendapatkan lagi jejak-jejak kraton tersebut di Kêdhaton, dan Dalêm. Kesulitan dalam
Kotagede, kecuali toponim (nama tempat) yang menganalisis konteks sejarah toponim-toponim
mengindikasikan bagian kraton, yakni Kêdhaton itu adalah kurangnya data tentang kapan atau
dan Dalêm. Pada toponim Kêdhaton disimpan pada masa pemerintahan siapa toponim itu
Watu Gilang yang dipercaya sebagai bekas muncul, tetapi toponim atas nama bangsawan
singgasana Panembahan Senapati, berbentuk tertentu justru dapat dilacak kronologinya.
tempayan batu. Berkaitan erat dengan kraton, Dalam perkembangannya para raja Mataram
biasanya ada Alun-Alun. Di Kotagede tidak Islam juga mendesain pemakaman terutama
ditemukan lagi data ekofaktual tentang Alun- bagi keluarga kraton. Pertama kali dibangun
Alun, hanya ada kampung Alun-Alun yang pemakaman kerajaan di halaman belakang
sudah berupa permukiman penduduk. Menilik Masjid Agung. Babad Momana (hlm. 242)
lokasinya, diduga kampung tersebut dahulu mencatat tahun 1528 Ç (1606 M) sebagai
adalah Alun-Alun kraton Mataram pada masa selesainya pembangunan makam tersebut.
keemasan Kotagede sebagai ibukota kerajaan Berikutnya dibangun pemakaman di bukit
Mataram Islam. Girilaya pada tahun 1551 Ç / 1553 Ç (1629 M /
Sumber babad dan catatan orang-orang 1631 M), meskipun masa penggunaannya tidak
Belanda menyebutkan tentang taman kerajaan panjang. Selanjutnya Sultan Agung memulai
dan krapyak (hutan perburuan kerajaan) di pembangunan pemakaman kerajaan di bukit
lingkungan kota. Akan tetapi, data kebendaan Merak pada tahun 1554 Ç. Babad Momana (hlm.
tentang keduanya tidak ditemukan kembali. 248) mencatat sebagai berikut: “ .... awit babad
Disebutkan bahwa Panembahan Seda ing malih ing rêdi Mêrak, badhé antakapura ...” ,
Krapyak memerintahkan untuk membuat Taman artinya: ... mulai membuka (hutan) lagi di Bukit
Gapura Masuk Sendang Seliran Danalaya yang selesai pada tahun 1527 Ç Merak, untuk pemakaman kerajaan ...”; dan
Sendang Seliran merupakan salah satu (1605 M) (Babad Momana, 244). Dalam Babad disebutkan bahwa pembangunan pemakaman
komponen yang terdapat di Kompleks Momana juga disebutkan bahwa enam tahun itu selesai pada tahun 1567 J (= 1645-1646
Masjid Gede Kotagede. Sendang
tersebut terletak di sebelah selatan
Makam Kotagede.
DAFTAR PUSTAKA
Leemans, C., 1855. “Javaansche Tempel bij Prambanan”, dalam BKI 3deel,
pp. 1-26
Olthof, W.L., ed., 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking
Nabi Adam Doemoegi ing Tahoen 1647, ‘sGravenhage: M. Nijhoff
KOTAGEDE
KONSERVASI BERBASIS MASYARAKAT
DI KAWASAN CAGAR BUDAYA
Oleh: Andi Putranto
Kawasan Kotagede saat ini telah menjadi kerajaan di Nusantara. Sebagai sebuah ibukota
sebuah kawasan yang dalam ranah kebudayaan kerajaan besar di Nusantara pada waktu itu
merupakan sebuah kawasan cagar budaya melalui tentu Kotagede memiliki cukup banyak struktur,
SK Gubernur DIY No. 121/KPTS/1989. Sesuai bangunan, maupun situs cagar budaya yang hingga
dengan surat tersebut dan merujuk pada UU saat ini masih dapat dinikmati keberadaanya dan
Republik Indonesia No. 11 Thn. 2010 Tentang menjadi sebuah asset berharga bagi kebudayaan
Cagar Budaya, maka Kotagede telah dinyatakan Jawa.
sebagai sebuah satuan ruang geografis yang di Pada saat ini Kotagede telah menjadi aset
dalamnya terdapat situs-situs cagar budaya yang yang dimanfaatkan sebagai objek pariwisata yang
memiliki tata ruang yang khas, memiliki nilai menonjol di Yogyakarta, baik dalam bentuk wisata
penting yang harus dijaga kelestariannya. budaya, wisata kuliner, wisata sejarah dan arsitektur
Sebagai sebuah kawasan cagar budaya, hingga wisata belanja khususnya kerajinan perak,
Kotagede memiliki banyak aset yang bernilai khusus seperti yang ditulis Maretiya Pusporetno dalam
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama artikelnya berjudul “Kotagede sebagai Kawasan
dan kebudayaan. Jenis cagar budaya yang berupa Wisata Budaya dan Sejarah, Wisata Spiritual,
kawasan secara hirarkhi menempati tingkatan Wisata Kuliner dan Belanja”.
atau kedudukan yang paling kompleks (selain itu Hal ini tentunya berdampak positif bagi
ada benda, struktur, bangunan, dan situs cagar masyarakat setempat dengan dikenalnya Kotagede
budaya). Kompleksitas inilah yang juga dapat oleh masyarakat luas baik di dalam maupun di luar
dijumpai di Kotagede. negeri. Dampak positif dari adanya pemanfaatan
Menurut Inajati Adrisijanti, Kotagede juga kawasan cagar budaya salah satunya adalah
menandai suatu era perubahan pemilihan lokasi sebagai aset yang bernilai ekonomis sebagai
ibukota kerajaan yang lebih berada di pedalaman destinasi kunjungan wisata yang diharapkan dapat
daripada di pesisir pantai sebagaimana tren meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
yang berkembang pada masa-masa sebelumnya
berkaitan dengan karakter fisik lahan dari kerajaan-
MENGUKIR SEJARAH
PERAK KOTAGEDE
Oleh Priyo Salim
Seperti kebanyakan warga Eropa, Mary Agnes van Gesseler Verschuir, istri PRW van
Gesseler Verschuir, Gubernur Jogjakarta tahun 1929, rutin mengadakan acara minum
teh di kediamannya. Peralatan perak yang digunakannya polos tanpa ukiran yang ia
bawa langsung dari Belanda. Pada suatu hari Agnes tertarik dengan seni tatah ukir
perak yang banyak dikerjaan orang Kotagede pada masa itu.
Dia mempunyai ide memesan alat makan dan minum perak dari pengrajin perak
Kotagede yang diberi ornamen budaya Jawa. Nyonya Agnes meminta seniman untuk
menggambarkan relief yang ada di Candi Prambanan (abad IX M). Kemudian gambar
tersebut diserahkan kepada pengrajin perak di Kotagede yang kemudian dilukiskan pada
bokor atau piring yang dipesannya. Puas dengan hasil pesanan pertama pada tahun
1929 itu, pesanan pun terus bertambah, baik untuk memenuhi kebutuhan pribadi
ataupun sebagai souvenir bagi para relasi. Ornamen yang digunakan pun bertambah,
mengambil contoh ukiran dari Candi Boko, Candi Borobudur (abad VIII M), ukiran
Masjid Mantingan Jepara (abad XVI M), ukiran yang terdapat pada Pura Pakualaman
bahkan juga motif khas Sumatera Barat dan Palembang.
Tahun 1932 Mary Agnes membuka showroom di Kepatihan yang menampung hasil
kerajinan perak Kotagede serta menetapkan standar kadar perak kerajinan harus 800.
Showroom tersebut sangat berguna karena pada saat itu di Kotagede sendiri belum
berdiri satupun toko perak. Aneka produk perak yang dipamerkan merupakan hasil
asimilasi budaya, serta diterapkan pada berbagai produk baik yang asli digunakan
bangsawan Jawa ataupun perlengkapan ala Eropa. Beberapa diantaranya berupa
perabotan makan minum, tempat buah, tempat anggur, tempat rokok, tempat permen,
tempat lilin, tempat serbet, bokor, piala, asbak, serta perhiasan gaya Eropa. Semua
produk itu dihias dengan teknik ukir perak khas Kotagede yang terinspirasi motif ukiran
kayu dan motif relief candi dan lain sebainya. Produk-produk tersebut mengundang
perhatian kaum ekspatriat lain maupun wisatawan Belanda yang berkunjung ke
Kotagede. Permintaan pun meningkat tajam, baik dari mereka yang berkunjung sendiri
ke Kotagede maupun lewat relasi yang berkunjung ke Yogyakarta. Sebagian dari koleksi
Mary Agnes ini termasuk diantara ratusan kerajinan perak Kotagede yang dipamerkan
di Museum Tropen Belanda pada tahun 2005.
Pada tahun 1932 itu juga atas bantuan Sultan HB VIII, pemerintah Kolonial
Belanda membentuk Stichting Beverdering van het Yogyakarta Kenst Ambacht (disebut
juga Pakaryan Ngayogyakarta). yang berfungsi untuk mengembangkan dan mengecek
kualitas dan desain produk perak dan kerajinan lainnya di Yogyakarta.
perang dunia II dan kedatangan bangsa Jepang produksi tatahan kemudian diikuti oleh kreasi mulia yang ‘tanggung’ menjadi
menjadi faktor dimulainya kemunduran perak miniatur dari teknik produksi trap-trapan yang berupa salah satu alasan kenapa hal
Kotagede. Orang Belanda sebagai konsumen perahu layar dalam berbagai bentuk dan ukuran, tersebut susah untuk digapai.
utama produksi kerajinan perak Kotagede perlahan berbagai macam binatang seperti burung merpati, Perak dikatakan sebagai logam
meninggalkan Jawa. Hal ini berakibat menurunnya burung merak, ikan koki, ikan arwana, kijang, gajah, mulia ‘tanggung’ karena dari segi
produksi kerajinan perak Kotagede. Tak hanya alat musik biola, mobil kuno, motor gede, pesawat, bahan bakunhya terbilang mahal,
penurunan secara kuantutas, kualitas produk perak becak, andong, rumah adat dll. Kreasi miniatur trap- namun hasil kerajinan perak tidak
Kotagedepun merosot tajam. Banyak perusahaan trapan ini dipelopori oleh Subono (almarhum). dapat menjadi sebuah investasi
perak beralih memproduksi kerajinan lain. Pada periode 80-an muncul generasi muda seperti logam emas contohnya.
Sesudah Indonesia merdeka, Presiden Sukarno yang dilahirkan setelah kemerdekaan yang Meskipun akhir-akhir ini sudah
memberikan bantuan perak bahan bagi pengrajin memiliki background pendidikan seni-rupa dan ada beberapa masyarakat yang
perak Kotagede dengan harga dibawah harga menggembangkan design-design baru. Design yang sadar untuk berinvestasi perak.
pasar. Namun karena desakan ekonomi dan kurang dihasilkan lebih inovatif dengan mengkombinasi Sebenarnya yang menjadi
berorientasi ke depan, banyak diantara penerima berbagai macam bahan material selain perak seperti inti dari budaya perak Kotagede
bantuan tersebut menjual kembali bantuan yang kulit penyu, tanduk, kulit ular, kerang, kayu dll. adalah gaya seni ukirnya. Salah
diperolehnya, hingga tidak dapat berproduksi. Eksplorasi design etnik seperti design Asmat, design satu cara untuk melestarikan
Pada dekade ini pengrajin perak Kotagede Kalimantan, design Sumba dan design klasik untuk budaya perak tersebut yaitu
menyerap ilmu trap-trapan (filligree) yang berasal perhiasan modern. dengan mempertahankan
dari Kendari, Sulawesi Tenggara. Hal ini mendorong Kemudian di awal tahun 90-an bermunculan seni ukir perak asli Kotagede.
munculnya perusahaan perak dengan spesialisasi design perhiasan dengan sentuhan yang lebih luas Selain itu dibutuhkan ide-ide
trap-trapan. Semula produksi trap-trapan hanya karena pengaruh masuknya ide-ide dari tamu asing kreativitas dari para pengrajin, pengusaha, serta
berujud perhiasan dengan motif bunga-bungaan. yang banyak memesan perhiasan perak di Kotagede, ^ Pernak-Pernik Perak seluruh elemen masyarakat yang masih peduli akan
dan juga masuknya teknologi produksi perhiasan Pengrajin perak di Kotagede tidak hanya memproduksi perak budaya perak Kotagede. Salahsatunya dengan cara
Booming Moda Transportasi Tradisional dan perak yang lebih maju karena terbukanya hubungan yang berukuran besar, melainkan pernak-pernik yang berukuran mengaplikasikan ukiran khas perak Kotagede pada
Pemanfaatan Teknologi Modern dengan tamu asing. kecil mulai dari cincin hingga liontin. Pernak pernik perak elemen lain (logam, kayu, maupun benda-benda
Sebuah inovasi yang dilakukan Salim Widarjo tersebut masih diminati hingga saat ini
lain).
(almarhum) mampu menggairahkan industri perak Kehancuran Budaya Perak tea set dan coffee set perak yang dibutuhkan cukup Perlu penanganan yang serius dan terpadu
Kotagede. Berawal dari dekade ini muncul design Di tahun 90-an harga perak sekitar Rp 400,000/ banyak. Sebelum 1998, satu tea set membutuhkan dari berbagai pihak untuk melestarikan kekayaan
miniatur kerajinan perak yang berujud kereta kuda, kg. Namun setelah krisis, pada tahun 1998 perak 5 kg perak dengan harga Rp 400000/kg dan ongkos budaya Kotagede dalam karya seni perak dan
kereta kencana kraton Yogyakarta, becak, gerobak, melonjak menjadi Rp 3,000,000/kg. Tingginya produksi sekitar 1,5 juta dapat dipasarkan senilai 5 mengembangkan warisan budaya yang adi luhung
garu, luku, penjual sate, penggembala kerbau, dll. harga bahan membuat industri perak Kotagede juta rupiah. Saat krisis terjadi ongkos produksi satu ini. Tentunya dukungan dan kerjasama antara
Kemunculan kreasi design miniatur dari teknik merosot drastis terlebih karena bila diterapkan di tea set menjadi menjadi hampir 20 juta. Kenaikan pemerintah dengan masyarakat juga menjadi faktor
harga yang sangat drastis hingga 4 kali lipat dalam yang sangat penting untuk mengembalikan budaya
waktu 6 bulan ini membuat daya jual menurun tajam, perak Kotagede sangat diperlukan agar usaha perak
dan margin keuntungan yang diperoleh sangat tipis. di Kotagede mampu bersaing dengan pusat-pusat
Tingginya harga perak, juga membuat koleksi kerajinan perak di tempat lain.
yang dimiliki sebagian besar pengrajin yang tidak
memiliki pertimbangan pelestarian budaya, dilebur
untuk dimurnikan kembali sehingga bisa lebih
gampang dijual dan mendapat uang cash yang
besar. Karena tingginya harga perak pasca krisis
ekonomi 1998, pesanan untuk kerajinan perak
peralatan makan minum yang membutuhkan bahan
baku banyak tak lagi datang. Peleburan perak
besar-besaran terulang lagi pada 2008, saat harga
perak mencapai Rp 6,000,000/kg. Jadi dalam satu
dekade (1998-2008) sangat banyak hasil kerajinan
perak yang dilebur. Pada tahun 2012 harga perak
pernah mencapai RP. 13,000,000/kg, namun saat Priyo Salim
ini Oktober 2016 stabil pada kisaran angka Rp Kecintaannya terhadap perak tak lepas dari peran ayahnya
7.000.000/kg. yang merupakan pengusaha perak di Kotagede. Berkat
Replika Relief di Candi Sukuh
ayahnya tersebut, Priyo Salim menggeluti kerajinan perak
Salah satu hasil kerajinan perak
Kotagede berupa replika salah satu Mengembalikan Budaya Perak Kotagede dan meneruskan usaha yang telah dirintis ayahnya. Ia
relief yang terdapat di Candi Sukuh. Mengembalikan Kotagede sebagai pusat budaya beranggapan perak Kotagede merupakan salah satu
relif tersebut menggambarkan para perak seperti masa keemasannya dulu merupakan bentuk kebudayaan yang wajib dilestarikan.
undagi (pandai besi) usaha yang sangat sulit. Posisi perak sebagai logam
JEJAK PESONA
MASJID TERTUA
DI YOGYAKARTA
Oleh: Afifah Sholihah
Masjid dengan halamannya (plataran) terletak antara Solo di utara dan Yogya
di selatan. Halaman mesjid ditanami dengan tanaman-tanaman yang teratur dan
sangat indah. Mesjid ini dilingkupi dengan sepasang bak air (kulah) yang terletak
di bagian depan untuk berwudlu. Suara sapu yang dilakukan oleh penyapu
halaman memberi suasana tentram dan teduh menembus sampai ke ruang
tengah masjid yang agak gelap; demikian pula suara para pembaca Al Qur’an.
Suara anak-anak yang sedang bermain-main di bawah pohon yang rindang
mengusik suasana sepi. Bayangan serta dedaunan yang rimbun terlihat dalam
air yang tenang berkilauan di kulah. Umat beragama yang masuk dan keluar
melewati bayang-bayang sinar matahari memberi gambaran mempesona. Pada
umumnya semua tempat-tempat suci dan makam orang-orang Jawa memberi
kesan yang serasi antara pekerjaan manusia dan alam sehingga menciptakan
suasana tenang dalam jiwa.
Sejak kapan Anda tinggal di Kotagede? Itu suatu hal yang positif. Sebab dengan adanya Kotagede bersama ayah, ibu, dan ke 5 saudaranya itu.
Saya lahir di Kotagede, orang tua asli Kotagede, lembaga dan organisasi berarti ada harapan untuk agar Masa kecilnya Ia habiskan di Kotagede hingga SMP.
walaupun ibu berasal dari bandung yang kemudian kepedulian dan kesadaran tersebut tidak hanya terserak Kemudian jejaka yang bercita-cita memiliki bioskop ini
menikah dengan ayah saya yang memang asli Kotagede. dalam benak masing-masing, namun ada tindakan memutuskan melanjutkan sekolah SMA-nya di Wates.
Jadi sejak lahir saya tinggal disini. Meskipun ada yang kongkrit. Tentu lembaga itu semestinya saling Lulus SMA di tahun 1972 Charris yang sudah mulai
periode saya ketika tinggal di Balerejo, Timoho antara bekerjasama, karena dalam merawat warisan budaya beranjak dewasa ini kemudian memutuskan kuliah di
tahun 1980-an. Kemudian di tahun 1988 sepeninggal dan cagar budaya bukan semata-mata bersaing meraup Akademi Bank Bandung, namun hanya beberapa bulan
ayah, saya kembali ke Kotagede lagi. keuntungan masing-masing. disana, Ia merasa tidak betah dan memutuskan kuliah
Dan saya kira dibentuknya Forum Badan Pengelola di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta.
Menurut anda apa yang menarik dari Kotagede? Kawasan Cagar Budaya (BPKCB) Kotagede yang Ada cerita yang cukup menarik mengenai alasannya
Kita ketahui Kotagede memiliki perjalanan sejarah pertama untuk Kawasan Cagar Budaya di DIY bahkan memilih Filsafat, yaitu karena yang penting sekolah,
yang cukup panjang, dimulai dari sebuah wilayah di Indonesia, ini menjadi satu penanda bahwa marilah maka dari itu ia memutuskan memilih Fakultas yang
biasa, kemudian tumbuh menjadi ibukota kerajaan, lembaga-lembaga tadi yang peduli akan pelestarian mahasiswanya sedikit. Pria yang masuk dalam 33
dan akhirnya ditinggalkan. warisan budaya dan cagar budaya melewati satu pintu Alumni UGM Terpilih ini menjelaskan bahwa pada
Meskipun sudah tidak menjadi ibukota kerajaan, ini yaitu BPKCB Kotagede. waktu itu Ia mendaftar di UGM dan berhasil diterima
Kotagede tetap tumbuh dan berkembang menjadi kota di 2 Fakultas, yaitu SOSPOL (sekarang FISIPOL) dan
yang disatu sisi tetap mempertahankan ciri khas kota ^ Achmad Charris Zubair ditengah sesi wawancara yang Menurut anda, bagaimana peran BPKCB Kotagede Filsafat. Karena mahasiswa Filsafat lebih sedikit, Ia
lama dengan tinggalan-tinggalan budaya yang sangat dilakukan selama ini, apakah sudah efektif bagi Kotagede secara memutuskan kuliah disana.
kental, disisi lain Kotagede juga tumbuh dinamis keseluruhan? Akhirnya hingga tahun 1979 Charris berhasil
mengikuti perubahan jaman. Namun dinamika yang barangkali ada perubahan atas fungsi tata ruang Saya kira ini sebuah proses. BPKCB merupakan menyelesaikan kuliahnya. Selepas menyandang gelar
terjadi di Kotagede tidak lantas mengubah seluruh tersebut. Beberapa unsur bangunan dalam tata ruang lembaga baru, masih butuh sosialisasi keberadaannya. sarjana, Ia didapuk menjadi Asisten Dosen. Dan
wajah Kotagede, namun bahkan dinamika yang terjadi jawa mereka ubah sesuai kebutuhan, namun sejatinya Sebab masih banyak masyarakat beranggapan, lhoh kok kemudian pria yang kini bergelar doktor tersebut aktif
memperkuat ciri Kotagede sebagai kota lama. masyarakat masih sadar akan pentingnya unsur-unsur muncul lembaga baru, padahal sudah banyak lembaga- mengajar sebagai dosen Filsafat hingga sekarang.
Hal ini menurut saya sangat menarik. Ketika kota- bangunan tersebut. Kemudian perubahan bisa terjadi lembaga lain di Kotagede. BPKCB Kotagede dibentuk Sejak umur 29 tahun, lulusan Filsafat ini sudah aktif
kota lain tumbuh menjadi modern dengan wajah-wajah karena generasinya berganti, kemudian muncul masalah untuk menjadi satu forum dimana gagasan dan konsep menyelamatkan cagar budaya. Ayah dari 7 anak ini
baru, namun Kotagede justru tetap mencerminkan kota pembagian warisan bangunan yang dapat merubah tata mengenai pelestarian Kotagede diolah, yang nantinya beranggapan bahwa hidup manusia itu tidak mungkin
yg memiliki keunikan nuansa, warna maupun suasana ruang rumah Jawa. Belum lagi ada masalah ekonomi akan dilaksanakan bersama-sama oleh semua pihak. lepas dari kebudayaannya. Hal ini yang mendasari
Jawa-nya. yang mendorong masyarakat untuk menjual beberapa Saat ini anda masih menjabat sebagai Ketua Umum kecintaannya terhadap budaya. Maka dari itu, ketika ada
warisan budaya mereka. Namun secara prinsip mereka Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta, bagaimana anda tawaran untuk bergabung sebagai Dewan Kebudayaan
Tadi anda mengatakan Kotagede merupakan kota yang masih sadar dan sangat peduli dengan apa yang ada di melihat potensi Kotagede untuk kota Yogyakarta dan Kota Yogyakarta, Ia tak ambil pusing lagi. Bahkan sejak
dinamis. Bagaimana anda memandang kedinamisan Kotagede ini. DIY secara keseluruhan? tahun 2003 hingga 2016 ini Charris selalu ditunjuk
Kotagede tersebut? Kotagede itu bisa dikatakan pusatnya sejarah menjadi ketua.
Dinamika merupakan hal yang wajar dalam Menurut anda sebaiknya yang dilakukan masyarakat Yogyakarta. Selain itu Kotagede menjadi salah satu Saat ini selain aktif mengajar di Fakultas Filsafat UGM
kehidupan. Kotagede untuk memepertahankan warisan budaya KCB di DIY. Ini harus kita jaga, agar masyarakat dapat dan kegiatan di Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta,
Kotagede sendiri sebetulnya merupakan sebuah dan cagar budaya mereka? belajar mengenai sejarah Kotagede yang memilki Achmad Charris Zubair juga aktif di berbagai lembaga
kota atau bentang wilayah yang memiliki sejarah Yang pertama kesadaran. Kesadaran akan sejarah, implikasi berdirinya Yogyakarta secara keseluruhan. yang Ia ikuti, seperti Ikatan Cendikiawan Muda
yang cukup penting, sehingga penghuni yang datang kesadaran nilai-nilai budaya itu harus ditanamkan Indonesia (ICMI), Penasehat Muhammadiyah Cabang
kemudian pun merasa harus mempertahankan tradisi sejak dini. Yang kedua saya kira apa yang disebut Harapan anda terhadap Kotagede? Kotagede, Dewan Pengarah BPKCB Kotagede, dan
sejarah itu. Selain itu Kotagede juga memilki masyarakat dengan upaya pelestarian semestinya jangan sampai Kotagede sebetulnya harus tumbuh berkembang berbagai ceramah serta diskusi kebudayaan di berbagai
yang genealogis, dimana masyarakat Kotagede masih mengabaikan apa yang disebut kemanfaatan. Jadi sesuai dengan akar kulturalnya. Di masa depan nanti kesempatan.
merupakan satu keluarga yang masih memiliki ikatan pelestarian tidak akan dapat berjalan jika subjek tentu dinamika tak dapat dicegah, tetapi perubahan
kekrabatan, sehingga dinamika yang terjadi tak lantas maupun objek dianggap lagi tidak bermanfaat, yang sehat adalah yang berakar pada potensi
mengubah pandangan masyarakat Kotagede terhadap sehingga ada kepentingan ekonomi yang dijamin dan masyarakatnya sendiri, berakar kulturnya sendiri,
tempat tinggalnya, baik dulu maupun saat ini. kesejahteraan yang tidak boleh dilupakan. berakar pada kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya
Dengan begini apa yang disebut dengan upaya sendiri. Bahkan saya berani mengatakan bahwa konsep
Apakah masyarakat Kotagede saat ini masih peduli melestarikan itu tidak semata-mata kita ingin merawat seperti ini dapat diterapkan bukan hanya lingkup kecil
dengan pelestarian warisan budaya dan cagar budaya dan kembali ke masa lalu, dsb. Tetapi apa yang menjadi Kotagede, namun juga secara luas di tempat-tempat
di tempat mereka? masa lalu itu dapat kita rasakan manfaatnya hari ini lain.
Saya lihat secara prinsip ada kesadaran mengenai yang menjamin kesejahteraan masyarakat itu sendiri. ******
hal tersebut. Tetapi sebagai kota yang dibangun sejak Jadi nonsense lah jika kita bicara pelestarian, merawat, Bercita-cita Memiliki Bioskop Pribadi
lama, tentunya ada persoalan-persoalan yang tidak menjaga, tanpa ada jaminan mengenai kesejahteraan. Achmad Charris Zubair lahir di Kotagede, 25 Juli
dapat dihindarkan. Seperti perubahan fungsi dari tata 1952. Ia merupakan putra asli Kotagede. Ayahnya
ruang rumah. Kita ketahui, sekarang di Kotagede banyak sekali merupakan warga asli Kotagede yang menikah dengan
Pada masa lalu masyarakat Kotagede jika tumbuh lembaga atau organisasi yang memiliki ibunya yang merupakan orang Bandung.
membangun rumah harus ada pendopo, sentong, kepentingan yang sama untuk melestarikan Kotagede, Charris begitu Ia akrab dipanggil, merupakan
gandok, dll. Namun dengan dinamika yang baru, bagaimana anda menanggapinya? anak ke 2 dari 6 saudara. Sejak kecil Ia menetap di
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM PELESTARIAN
KAWASAN CAGAR BUDAYA
KOTAGEDE
Oleh: Erwito Wibowo
1 bangunan-bangunan kuno itu juga berstatus Hal itu bisa dijelaskan bahwa lingkungan permukiman
terancam bencana karena faktor usianya, perlu tradisional merupakan tatanan kehidupan dalam
penanganan. Program dokumentasi identifikasi batas teritori tertentu, yang membentuk secara
penataan kembali permukiman dan kawasan yang konvensional dengan tata cara masyarakat yang telah
rusak dan mengalami kehancuran karena usia, mentradisi, biasa disebut vernacular architecture.
dilakukan oleh JRF Rekompak bersama masyarakat Setelah gempa, banyak sekali uluran tangan
JRF Rekompak membuat konsep skema 17 datang di Kotagede dan memerlukan mitra lokal dari
langkah penanganan melibatkan masyarakat masyarakat. Masyarakat lokal inilah yang disiapkan
sebagai relawan di tingkat kalurahan. Pemetaan kemampuannya untuk membantu penanganan
rona awal secara swadaya dilakukan di tingkat sekaligus melanjutkan melakukan pemeliharaan
RT di 5 kalurahan. Sampai terbentuknya wadah ketika program sudah ditinggalkan mitra relasinya.
relawan yang disebut OPKP (Organisasi Pelestari Salah satunya kegiatan membangun kesadaran
Kawasan Pusaka) di Kotagede di 5 kalurahan, serta masyarakat akan keberadaannya di tengah kawasan
mereka berhimpun dalam Forum Joglo di Kotagede. cagar budaya. Masyarakat dibantu mengingat
Bangunan yang memperoleh eksekusi penangaanan kembali kesadarannya bahwa jika pembangunan di
dikerjakan dengan membentuk PP (Panitia tengah lingkungan permukiman dibiarkan berlarut-
Pelaksana) lokal. Masyarakat lokal belajar membuat larut tanpa terkendali, akan terjadi penyeragaman
dokumentasi rencana usulan, sampai anggaran dan yang dapat merusak kawasan cagar budaya. Deretan
pelaporan. 2010 ketika Gunung Merapi bergolak, rumah baru yang seragam menggantikan rumah
JRF Rekompak diarahkan melakukan penanganan lama. Muncul visual lingkungan dan kawasan baru
di sana yang memerlukan penanganan yang sifatnya yang menggantikan wajah kawasan lama. Apalagi
darurat, meskipun program di Kotagede belum jika nantinya deretan rumah-rumah tradisional
selesai, ‘terpaksa’ ditinggalkan. di Kotagede itu hilang dan lenyap, maka dapat
Pemberdayaan masyarakat pada perintisan awal dipastikan wajah Kotagede sulit diingat, tak ada
dimulai dengan melibatkan masyarakat secara bedanya kita berada di Kotagede atau di tempat-
luas melalui FGD-FGD dan Pelatihan Peningkatan tempat lain.
Sementara itu dari dalam negeri, Badan Kapasitas Masyarakat, ketika masyarakat masih
2 Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) Jakarta ikut turun memiliki paradigma pemahaman bahwa benda cagar
tangan bersama Jogjakarta Heritage Society (JHS) budaya sebagai suatu artefak atau fragmen yang
menyentuh penanganan pelestarian di Kotagede. kurang memiliki nilai ekonomi dan membutuhkan
BBPI dan JHS berperan mencarikan donatur melalui pengeluaran anggaran biaya yang cukup besar
Bank Dunia serta mencari relasi lokal yang memiliki dalam perawatan dan pemeliharaannya. Orientasi
peran strategis di Kotagede seperti Yayasan Pusdok ekonomi selalu menjadi pemicu terjadinya fenomena
dan Yayasan Kanthil. yang berdampak negatif terhadap keberlangsungan
Banyak sentuhan program masuk melalui pelestarian aset cagar budaya di Kotagede.
Forum Group Discussion (FGD) yang melibatkan Dampak gempa yang melanda wilayah Yogyakarta
masyarakat setempat. FGD-FGD yang pernah banyak dan pemulihan kembali pembangunan (fisik) baru
diselenggarakan di Kotagede dalam rangka penyiapan yang dibimbing oleh selera pemilik uang, tapi tidak
wawasan akan sumber daya lokal untuk menghadapi memiliki wawasan budaya, seringkali berlangsung
tugas melestarikan cagar budaya di Kotagede. secara parsial dan terkotak-kotak, dimana kesatuan
^ Omah UGM (1) Sebelum gempa hebat tahun 2006, struktur kawasan dan keserasian lingkungan kurang
Sesuai dengan namanya, bangunan tradisional Joglo pemberdayaan masyarakat terhadap kepedulian dan tidak diperhatikan berakibat pada penurunan Erwito Wibowo
tersebut merupakan Universitas Gadjah Mada. Omah UGM cagar budaya sudah mulai melibatkan masyarakat kondisi fisik kawasan, buruknya kualitas visual Erwito Wibowo merupakan Sekretaris Forum BPKCB
merupakan salah satu bangunan hasil rekonstruksi pasca lokal secara luas. Dimulai tahun 2005 oleh Japan lingkungan dan ketidakserasian antar bangunan baru
gempa 2006 oleh Dinas PU-Rekompak-JRF. Kotagede. Ia aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan
International Corporation Agency (JICA), mereka dengan yang lama mengakibatkan rusaknya citra BPKCB. Selain aktif bersama Forum BPKCB Kotagede,
^ Plakat (2)
melakukan pemetaaan kawasan untuk identifikasi dan karakter kawasan lama bersejarah. Kotagede Erwito juga aktif dalam Yayasan Pusat Studi Dokumentasi
Setiap bangunan yang di rekonstruksi lewat bantuan pasca dan dokumentasi, agar nantinya dapat ditindaklanjuti memang disebut sebagai kota bersejarah, namun Kotagede serta sebagai ketua Pusat Informasi dan
gempa 2006 yang digagas oleh Dinas PU-Rekompak-JRF dengan action plan oleh lembaga international yang fisik mukanya sudah banyak dicakar oleh perubahan Pengendali Living Museum Kotagede. Tahun 2015
diberi plakat keterangan. Contoh diatas merupakan salah datang berikutnya. yang tidak terkendali. kemarin, ia memperoleh penghargaan Pelestari dan
satu plakat pada salah satu bangunan di dalam Between Two Tahun 2008-2010 datang JRF Rekompak, Java Padahal yang ketahui oleh para pemerhati Penggiat Kebudayaan DIY sebagai Penggagas upacara
Gates (Jalan Rukunan). Reconstruction Fund, Rehabilitasi dan Rekonstruksi lingkungan permukiman masyarakat, bahwa deretan Bedhol Keprajan di Kotagede. Ide-idenya sangat
Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas. rumah tradisional Jawa yang membentuk cluster dinantikan masyarakat, terlebih lagi ide-ide mengenai
Semula JRF Rekompak datang ke Kotagede yang langka atau unik, masih memiliki arti penting pelestarian warisan budaya dan cagar budaya Kotagede.
konsentrasi pada perkara mitigasi bencana. Ternyata pada kelangsungan berkehidupan masyarakat Jawa.
WATU GILANG
DAN
N G E R O P A P E R T AMA
ORA
DI KOTAGEDE
NA
OLEH: SRI MARGA
Laporan Perjalanan William Barrington D’Almaida Namun rupanya seorang gadis setempat merasa
Adalah William Barrington D’almaida, seorang kasihan terhadap orang Portugis ini. Setiap malam
keturunan Inggris-Spanyol yang kemudian menetap di ia membawakan makanan dan kain untuk menutupi
Singapura. Pada tahun 1864 ia menerbitkan dua jilid tubuhnya dari dinginnya malam. Lama kelamaan
memoir yang berisi cerita perjalanannya mengelilingi hubungan ini menumbuhkan rasa saling suka, dan
Jawa, dari ujung Barat hingga ujung Timur Jawa. muncul keinginan untuk membebaskan si Portugis
Pada kesempatan itu ia tidak melewatkan untuk dari belenggunya.
berkunjung di Yogyakarta. Akhirnya atas bantuan si gadis, ia bisa melepaskan
Dalam laporanya mengenai Yogyakarta ia belenggu kaki dan tangannya, dan bersama-sama
menceritakan tentang Kotagede dan salah satu melarikan diri dari tempat itu. Mereka menyusuri
situs penting yang hingga saat ini masih ada, hutan hingga ke pesisir selatan, dan dengan perahu
yaitu Watu Gilang yang ditempatkan di bawah dua penduduk setempat untuk mencapai Banten. Konon
pohon beringin tua yang besar. Penduduk setempat di Banten ia kemudian menjadi penasehat raja
mempercayai Watu Gilang dulunya adalah tempat setempat dan mengembangkan usaha dagangnya
duduk dari Panembahan Senapati. Sebuah foto lama dengan sukses.
dari tahun 1860-an menyebutkan batu itu sebagai Versi lain menyebutkan bahwa awalnya orang
“singgasana Senapati”. Namun D’Almaida tidak Portugis itu diminta Panembahan Senapati untuk
menerima begitu saja penjelasan singkat tersebut, membuatkan meriam namun tidak mau, sehingga
apalagi setelah ia mengamati di permukaan batu itu ia dikerangkeng. Namun Panembahan Senapati
terdapat inskripsi yang ditulis dalam empat bahasa, akhirnya melepaskannya setelah ia menyanggupi
yaitu, Italia, Prancis, Latin, dan Belanda. permintaan membuat meriam, dengan syarat ia diberi
Keingintahuan yang besar ini mendorong waktu sewindu untuk mencari bahan mesiunya dan
D’Almaida untuk mencari generasi tertua di sekitar meminta bantuan teman-teman lainnya di Banten. ^ Inskripsi yang tertulis di Watu Gilang
tempat itu yang mungkin bisa menceritakan tentang Pada permukaan atas Watu Gilang terdapat inskripsi berupa goresan-goresan yang ditulis dalam berbagai macam bahasa
asal usul batu berbentuk pipih persegi panjang
tersebut. Keingintahuannya akhirnya terjawab
1 asing. Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Barrington D’Almaida, goresan-goresan tersebut dibuat oleh seorang tawanan
yang berkebangsaan Portugis.
setelah salah seorang penduduk menceritakan
tentang asal-usul Watu Gilang. Inskripsi dalam Watu Gilang
Menurut penutur setempat, seperti yang Jika cerita rakyat setempat kepada Barington ini mengagumkan dalam kondisi sehat)
diceritakan D’Almaida dalam laporannya berjudul dapat dipercaya, maka ada kemungkinan inskripsi Bagian Selatan:
Life in Java (D’almaida, 1864: 91-121), ada sebuah yang terdapat di Watu Gilang dibuat oleh tawanan Videte ignari et ridete, mix...lec.... (tak dapat
kapal Portugis yang karam di Pantai Selatan Jawa. Portugis itu. Mengenai inskripsi empat bahasa itu apa-apa dan tertawa,...)
Salah seorang awak kapalnya diselamatkan oleh memang tidak semua dapat terbaca dengan jelas. Bagian Barat:
nelayan setelah terdampar di pantai. Keberadaan Dari yang terbaca itu antara lain sbb: Song out..p... tavi contemtu vere digni----(1)
orang Portugis ini mengundang perhatian masyarakat inv..... (celaan dan hinaan, sangat pantas untukmu)
sekitar, sehingga banyak yang datang untuk melihat Inskripsi bagian paling atas tertulis:
langsung. Kabar ini pun didengar oleh raja Mataram 2 Ad aeternam memoriam sortis infelicis (kenangan
abadi tentang nasib yang tak menyenangkan)
Masih ada tulisan lain yang tidak semua terbaca
yang kemudian memerintahkan agar membawa seperti:
orang Potugis itu ke Ibukota. Smaadt, gij die versmading waardig zijt. (celaan,
Karena keberadaanya dianggap akan Inskripsi yang berbentuk Lingkaran, di luar segi kamu yang layak dihina)
membahayakan atau berpengaruh buruk pada empat dalam satu lingkaran, dari timur, selatan dan Waarom wordt gij ontsteld of verbaasd, gij
masyarakatnya, maka raja memerintahkan untuk barat tertulis dalam empat bahasa: dwaas (mengapa kamu terperanjat dan heran,
membelenggu orang Portugis ini di sebuah batu, Ainsi va le monde -------Cosi va il mondo ----- kamu bodoh)
yang kemudian dikenal dengan Watu Gilang. Raja Zoo gaat de wereld -----Ita movetur mundus (Ke- Ziet, ontwetenden en lacht, (lihatlah bodoh dan
juga melarang dan menghukum siapapun yang empatnya memiliki makna yang sama kurang lebih: tertawalah)
mendekati tawanan itu. Itulah hidup) Lotgenooten! Vaarwel!! (teman, selamat tinggal)
3 Di luar inskripsi yang melingkar ada kotak lebih Dari inskripsi ini rupanya si penulis hendak
> Watu Gilang, Watu Gatheng, dan Watu Genthong
Foto 1 menunjukkan Watu Gilang. besar, sebagian sudah tidak terbaca, bunyinya: mengenang nasib dirinya dan kawan-kawan mereka
Bagian Utara: yang tewas dalam perjalanan, serta mengabadikan
Foto 2 menunjukkan Watu Gatheng. penyebutan Watu
Gatheng oleh masyarakat setempat dikarenakan bentuknya In fortuna consortes, idioni valete, amelan, lie... nasib buruk yang menimpanya dalam mengarungi
yang bulat seperti peralatan bermain gatheng. (pasangan dalam keberuntungan, teman selamat samudera. Si penulis mengungkapkan perasaannya
jalan) yang sangat kompleks; merasa bodoh, terhina dan
Foto 3 oleh masyarakat setempat disebut dengan Watu
Genthong karena bentuknya menyerupai gentong air. Bagian Timur: tidak mendapatkan apapun, namun juga bersyukur
Iasi. Quid stupearis in sani, ----1x---vid (batapa dan heran bisa selamat dan dalam keadaan sehat.
Sejarawan Barat pertama yang menaruh perhatian Dalam surat itu Sultan Agung menulis Alih prosa ini dilakukan oleh Ngabehi Kertapraja, atas inisiatif Hakluyt Society for University Press, 1968), hlm., 58-107
tentang sosok Juru Taman adalah H.J. De Graaf. Ia “selama tiga tahun pada masa pemerintahan Meinsma, sehingga sering disebut “Babad Tanah DJawi versi H.J. de Graaf, Puncak kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi
Meinsma.” Versi lain dari Babad Tanah Djawi adalah karya Sultan Agung, (Jakarta: Grafiti Pers, 1986)
menduga bahwa Juru Taman itu tidak lain adalah seorang ayahnya, ia (si orang Italia) tidak tinggal di
Pangeran Adilangu II yang diselesaikan tahun 1722. Pada tahun ------------------, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan
berkebangsaan Italia yang menjadi utusan raja Mataram istana, tetapi di luar, di krapyaknya”. 1941 Babad Tanah Djawi versi Meinsma diterbit ulang dalam Senapati, (Jakarta: Grafiti Pers, 2001)
menemui Gubernur VOC di Maluku, Peter Both. Fakta ini Sejarawan Belanda ini juga memperkuat huruf latin dibawah suntingan W.L. Olthoff, Babad Tanah Jawi, Ian Buruma & Avishai Margalit, Occidentalisme: The West in The
dicatat dalam Daghregister, sebuah catatan harian yang argumennya dengan keterangan yang Saking Nabi Adam dumugi in Tahun 1657). Oleh J.J. Ras naskah Eyes of its Enemy, (New York: The Penguin Press, 2004).
berupa rangkuman surat-surat atau laporan dari pejabat diberikan dalam Babad Tanah Jawi, bahwa ini diterbitkan ulang tahun 1987. J.J. Meinsma, Babad Tanah Djawi, (s-Gravenhage: Martinus
Raja Mataram itu telah membuatkan Juru ***) Taman yang dimaksud adalah Taman Danalaya seperti Nijhoff, 1874)
VOC.
disebut Babad Tanah Djawi. Serat Kanda menyatakan Penggalian J.K.J. de Jonge, De Opkomst van het Nederlandsch Gezag op Java,
Dalam bukunya berjudul Awal Kebangkitan Mataram, Taman sebuah taman yang akan menjadi kolam dalam taman Danalaya. Babad Sangkala, menyebut Jil. IV (s’Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1885)
Masa Pemerintahan Senapati de Graaf menulis: raja kedua tempat tinggalnya. Ia juga menyebut pembangunan “segaran ing sirna bumi tahun” J. 1527, artinya Mbah KJogja, Jogja Hidden Story: Menguak Kisah-Kisah Misteri
Mataram, Panembahan Krapyak atau Sunan Hanyakrawati pendapat Poerbatjaraka yang menyatakan pengerukan tanah pembuatan kolam. Tak Kasat Mata (Yogyakarta: Narasi, 2014)
juga memiliki seorang pembantu berkebangsaan Italia bahwa di istana Mataram profesi Juru Taman Sartono Kartodirdjo, “The Baron Sakender Story, Mythical Aspects
bernama Juan Pedro Italiano, yang konon telah masuk memang biasa diberikan kepada orang asing Daftar Pustaka of Javanese Histotiography” dalam Modern Indonesia; Tradition
A.B. Cohen Stuart, Serat Baron Sakendher, 2 jilid (Batavia: 1850- and Transformation, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
Islam. Hanyakrawati telah mengutus orang ini untuk yang biasa dipanggil “Pak Jenggot”. Oleh
1851). 1988), hlm., 209-224
menemui Gubernur Both di Maluku agar orang-orang karena itu pula orang Italia ini dinamai Juru Ahmad Nugroho, “Lahirnya Murjangkung: Tinjauan Pupuh- Serat Sekeber, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Belanda mau membuka kantor dagangnya di wilayah Taman.*** pupuh Awal Serat Sakeber” (Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1993-1994)
Mataram. Di kemudian hari permohonan ini dituruti, ketika 1987). Tashadi dkk, Refleksi Nilai-nilai Budaya Jawa: Suatu Kajian
Mataram mengijinkan Belanda membuka kantor dagang di Epilog Babad Nitik (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, terhadap Serat Sakeber, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Jepara. (de Graaf, 2001: 116-117) Tidak ada bukti yang jelas untuk 1991-1992), hlm., 173-177 Kebudayaan, 1993)
Babad Pati, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Th. Pigeaud, “Alexander, Sakender en Senapati” dalam Djawa, Vol
Menurut De Graaf, orang Italia ini telah mengabdi memastikan apakah Juru Taman adalah
1980) XII (1927), hlm., 321-361
sejak masa awal pemerintah Senapati hingga cucunya orang Italia, seperti diduga oleh de Graaf, Baron Sakender, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Tony Wells, Shipwrecks and Sunken Treasure in Southeast Asia:
Sultan Agung. Ia juga menduga bahwa orang ini pula yang orang Portugis seperti dalam tradisi tutur, Kebudayaan, 1978) With over 450 Wrecks including the Flor Do Mar, (Singapore:
disinggung oleh Sultan Agung dalam suratnya kepada Dr. orang Belanda atau Spanyol seperti dalam C.R. Boxer, Tragic History of the Sea, 1559-1565: Narratives of the Times Editions, 1953)
De Haan pada tahun 1622. kronik-kronik Jawa. Seperti halnya tidak Shipwrecks of Portuguese East Indiamen, (Cambridge: Published W.A.R. Richardson, “Cartographical Clues to Three Sixteenth
dapat dipastikan bahwa Juru Taman itu for Hakluyt Society for University Press, 1959) Century Shipwrecks in the Indian Ocean”, Great Circle, 14, 1992,
---------------, Further Selection from Tragic History of the hlm. 1-19
adalah Conerlis de La Vonte ataupun Juan Sea, 1559-1565: Narratives of the Shipwrecks of Portuguese William Barrington D’almaida, Life in Java, 1 (London: Hurst and
Pedro Italiano. Namun jika dikaitkan dengan East Indiamen Aguia and Garca (1559), Sau Paulo (1561) and Blackett, 1864)
inskripsi Watu Gilang di Kotagede tampak the Misadvantures of the Brail-ship Santo Antonio (1565), William Barrington D’almaida, Life in Java, 2 (London: Hurst and
bahwa inskripsi itu ditulis oleh orang yang (Cambridge: Published for Hakluyt Society for University Press, Blackett, 1864)
mengalami nasib yang buruk seperti dialami 1968) W.L. Olthoff, Babad Tanah Jawi, Saking Nabi Adam dumugi in
Henrique Diaz, The Voyage of sao Paulo, dalam C.R. Boxer, Tahun 1657 (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1941).
oleh awak kapal yang karam itu.
Further Selection from Tragic History of the Sea, 1559-1565: Yudi Saro, Baron Sakender, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Narratives of the Shipwrecks of Portuguese East Indiamen Aguia Kebudayaan, 1978)
*) Mengenai berbagai variasi naskah ini yang ada and Garca (1559), Sau Paulo (1561) and the Misadvantures of
di Indonesia lihat, Ahmad Nugroho, “Lahirnya the Brail-ship Santo Antonio (1565), (Cambridge: Published for
Murjangkung: Tinjauan Pupuh-pupuh Awal Serat
Sakeber”. Dalam kajian filologis ini Nugroho mengaji
naskah koleksi Javanologi Yogyakarta. Kajian filologis
lain dilakukan oleh Tashadi dkk, Refleksi Nilai-nilai Sri Margana
Budaya Jawa: Suatu Kajian terhadap Serat Sakeber, Sejarawan satu ini tercatat sebagai salah satu dosen di
yang didasarkan pada naskah koleksi Balai Kajian Departement Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM. Setelah
Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional Yogyakarta. lulus S1 Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, Margana
Masih ada transkrispsi lain dari Serat Baron Sakeber
melanjutkan S2nya di Universitas Leiden. Kemudian
yang dilakukan oleh Yudi Saro dengan judul Baron
Sakender. Keempat Kraton di Jawa Tengah, Kasunanan, mendapatkan gelar S3 dari Universitas Leiden Belanda dengan
Kesultanan, Mangkunegaran dan Pakualaman memiliki topik riset Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of
naskah serupa sejenis. Demikian juga Perpustakaan Blambangan, c. 1763-1813. Baginya, sebagai bekas ibukota
Fakultas Pengetahuan Budaya UI (Koleksi Pigeaud), kerajaan, kotagede memiliki problem yang sampai sekarang
Perpsuatakaan Nasional RI Jakarta dan Perpustakaan belum diungkap secara detail historisnya dan masih banyak
Museum Sana Budaya, Yogyakarta.
**) Babad Tanah Djawi versi Meinsma merupakan
misteri yang perlu digali lagi mulai dari sejarah maupun
bentuk prosa dari Serat babad Tanah Jawi karya Carik arkeologinya.
Bajra yang digubah atas perintah Pakubuwana III.
PELESTARIAN
WARISAN BUDAYA
TAK BENDA
DI KOTAGEDE
Oleh: Prijo Mustiko
diperkampungan Kotagede. Pada senja hari atau Islam. Tentunya perlu pendampingan dan bimbingan
1 malam hari mulai terdengar titok-titok penjual para Pamong Budaya yang asli dan berdomisili di
bakmi keliling ataupun terdengar musik keroncong Kotagede sebagai narasumber ataupun parampara
maupun suara terbangan dari kelompok kesenian tentang rujukan budaya Kotagede, seperti dapat
yang sedang latihan. Profesor Shin Nakagawa disebutkan antara lain: Kyai Abdul Muhaimin dan
menyebutnya sebagai “soundscape” atau artinya Kang Achmad Charris Zubair yang ahlli dibidang
pemandangan yang berupa suara atau bunyi. filosofi dan budaya spiritual, Kang Musthofa W.
Keindahan suara atau bunyi ini dapat menggugah Hasyim sebagai sastrawan merangkap kamus hidup
kesadaran bahwa kemampuan indra manusia yang Kotagede, Mas Priyo Salim sebagai Disainer Perak
semakin berkurang karena kemajuan tehnologi handal tingkat internasional, Mas Subardjo sebagai
dapat disadarkan untuk selalu menggunakan lima Maestro Keroncong tingkat Nasional maupun Ki
indra yang kita punyai. Basis Hargito sebagai Pembina Seni Srandul yang
Dengan demikian living museum di Kotagede tekun dan telaten.
dapat terus dilestarikan, dengan resep tetap Akhirnya dapat dinyatakan bahwa sejarah
menjaga “Sight, Smell, Sound, Taste dan Touch”, panjang Kotagede sebagai ibu kota kerajaan Mataram
artinya ada pandangan mata (sight) yang masih Islam sejak tahun 1577 M adalah kerajaan terbesar
dapat menyaksikan keaslian deretan rumah Joglo ke-3 setelah Sriwijaya dan Majapahit di Nusantara
asli Kotagede dengan siku Bahu-dayang-nya, adalah sebagai fakta sejarah yang tidak dapat
semerbak bahu (smell) masakan khas Kotagede dipungkiri. Ini merupakan sumberdaya sejarah
seperti roti kembang waru atau kipo, suara (sound) dan budaya yang tidak ada habisnya untuk digali
dentingan perajin maupun gamelan, merasakan nilai-nilai budaya luhur dan bermakna bagi para
(taste) nikmatnya sate Karang dan menyentuh generasi penerus bangsa. Festival Budaya Kotagede
(touch) Watu Gatheng peninggalan Raden Rangga merupakan suatu bentuk atau ajang puncaknya
2 < Keroncong Kotagede (1)
Musik Keroncong juga termasuk dalam salah
di kampung Dalem.
Pelestarian Warisan Budaya tak Benda di
untuk melestarikan warisan budaya tak benda dan
sekaligus diberdayakan untuk kemaslahatan seluas-
satu kesenian yang terdapat di Kotagede. Foto Kotagede untuk seterusnya bisa berlanjut apabila luasnyanya bagi kesejahteraan masyarakat.
disamping menggambarkan salah satu grup musik memenuhi syarat seperti disampaikan oleh
Keroncong asli Kotagede yang sedang tampil Referensi:
ahli Wisata Budaya, Frans Schouten, bahwa
dalam acara Penyiapan Kelembagaan Badan De Graaf, H.J., dan T.H. Pigeaud. 2003. Kerajaan Islam
Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede.
pengembangan wisata budaya dengan dasar
Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI.
pengembangan budaya berkelanjutan harus Pustaka Utama Grafika: Jakarta, hlm. 252
< Kembang Waru (2) mempertimbangkan tiga kunci utama yakni:
Salah satu kue tradisional Kotagede ini terbuat • Menjaga kualitas pengalaman, terutama untuk Nakagawa, Shin. 2000. Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar
dari tepung beras yang dicetak ke dalam cetakan konsumen atau penikmat/wisatawan. Etnomusikologi. Yayasan Obor Indonesia: Yogyakarta, hlm.
berbentuk bunga dari Pohon Waru. Kue Kembang • Menjaga kualitas sumberdaya, terutama pada 106-109.
Waru terbuat dari campuran tepung, telur, gula pelestarian nilai dan sumber budaya.
pasir, mentega, vanili, dan kayu manis yang Schouten, Frans. 1993. Cultural Tourism and Sustainable
• Menjaga kualitas kehidupan, terutama Cultural Development, hlm. 35.
dimasukkan ke dalam cetakan kembang waru,
mempunyai dampak peningkatan
kemudian dipanggang.
kesejahteraan masyarakat lokal.
Hubungan ketiga unsur diatas merupakan filosofi
Sejak tahun 1995 telah diselenggarakan Soma-Ngajiran di kelurahan Rejowinangun dan dasar pengembangan budaya yang berkelanjutan
pembinaan kawasan cagar budaya di Kotagede pendopo budaya di desa Singosaren. Puncaknya karena kualitas pengalaman tidak dapat diperoleh
terutama di Kelurahan Purbayan dan Prenggan serta setiap tahun diselenggarakan Festival Budaya para penikmat atau wisatawan dari luar Kotagede
desa Jagalan. Mulai tumbuh kesadaran konservasi Kotagede yang dikoordinasikan Forum Joglo apabila kualitas sumberdaya budaya dan kualitas
budaya baik yang benda maupun tak benda melalui Kotagede dengan selalu mengambil tema besar kehidupan masyarakat setempat tidak dapat
pembentukan dan pengembangan Living Museum Sejarah Kebesaran Kerajaan Mataram Islam, yang dipelihara bahkan ditingkatkan. Suatu ketika bisa
Budaya Kotagede, yang pusat kegiatannya di rumah misi utamanya adalah menanamkan kesadaran didapati dan ini yang tidak boleh terjadi adalah
budaya Dolahan dengan ketua penggeraknya Kang bersejarah dan nilai-nilai budaya Kotagede kepada berkunjung ke Kawasan Cagar Budaya Kotagede
Erwito Wibowo. Dari sinilah nafas budaya Kotagede masyarakat Kotagede terutama generasi mudanya seperti berkunjung di reruntuhan kota atau kampung
dapat tetap terpelihara dan bahkan direvitalisasi serta masyarakat di luar Kotagede maupun para yang mati.
antara lain seni musik Keroncong dan drama tari wisatawan mancanegara. Oleh karena itu sekali lagi dari “quadro helix” Priyo Mustiko
tradisional Dadung Awuk. Sekarang ini kalau kita jalan-jalan menyusuri yang mendukung pelestarian Kawasan Cagar Budaya Priyo Mustiko merupakan anggota Dewan Kebudayaan
Kemudian diikuti dengan pusat kegiatan budaya lorong-lorong Kotagede, kita akan mendengar Kotagede, yang utama adalah semakin tinggi tingkat DIY. Tak perlu diragukan lagi, sepak terjangnya dalam
di masing-masing kelurahan atau desa, antara lain dentingan para perajin perak, tapak kaki kuda kesadaran budaya masyarakat Kotagede untuk pelestarian budaya di Yogyakarta. Kini disamping
pendopo Kajengan di kelurahan Prenggan, pendopo yang hilir-mudik di jalanan, suara ayam berkokok melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan kesibukannya sebagai anggota Dewan Kebudayaan DIY,
Ijo dan pendopo UGM di desa Jagalan, pendopo bersahut-sahutan sepanjang hari dan suara nilai-nilai budaya Kotagede yang telah diwariskan pria asli Kotagede ini juga sibuk sebagai Dewan Pembina
Bumen di kelurahan Purbayan, rumah budaya burung perkutut atau derkuku yang dipelihara turun-temurun sejak jaman kerajaan Mataram Forum BPKCB Kotagede.
DELIK MALAM
DI MAKAM PANEMBAHAN
SENOPATI
Oleh: Erwando Abadi
Kotagede pun tak luput dari perubahan permukiman para kaum/ulama); dan Mandarakan (bekas daripada satu unit rumah. Beberapa di antaranya, Masing-masing menampilkan Jawa-Hindu, Jawa-
ini, namun di antara bekas ibukota kerajaan lokasi kediaman Adipati Mandaraka–patih Panembahan antar rumah tersebut memiliki hubungan khusus Islam dan Kolonial.
Mataram Islam, Kotagede memiliki Senopati). atau masih satu kerabat. Fenomena Between Two Gates ini merupakan
karakteristik yang paling menonjol. Sisa Seiring berjalannya waktu Kotagede kini telah menjelma Jalur penghubung antar rumah yang dikelilingi salah satu bentuk permukiman khas permukiman di
jejak fisik dari keberadaan suatu ibukota sebagai kawasan berkarakter urban dengan permasalahan oleh tembok ini menghasilkan suatu jalan kolektif Kotagede yang sekaligus juga suatu bentuk ekspresi
kerajaan masih dapat dijumpai di sini yang umum dihadapi baik bersifat fisik keruangan-arsitektural pemukiman yang terbentuk dari ruang pringgitan dari values of sharing. Lingkungan permukiman ini
seperti: sisa tembok keliling/benteng (baik maupun permasalahan sosial-budaya. Kondisi ini tentunya atau ruang emperan rumah. Jalan semacam ini seperti halnya sebuah rumah besar yang ditinggali
yang mengindikasikan benteng cepuri berbeda dari empat abad yang lalu ketika pernah menjadi disebut Jalan Rukunan atau Gang Rukunan yang satu keluarga besar dengan sikap kerukunan dan
maupun benteng baluwarti), bekas jagang/ awal kota pemerintahan kerajaan Mataram Islam. menimbulkan suatu tatanan ruang yang unik di gotong royong yang tinggi. Hal itu terlihat dari sikap
parit keliling kota, kompleks pasar, situs Kenyataan wajar yang muncul kemudian adalah banyak Kotagede. mereka merelakan sebagian lahan rumahnya untuk
watu gilang–lempengan batu andesit yang lahan yang mengandung potensi sejarah berubah menjadi Tahun 1992 seorang arsitek UGM bernama L. kepentingan bersama, berupa jalan rukunan.
dipercaya sebagai salah satu komponen permukiman padat. Perubahan karakter masyarakat Indartoro pernah meneliti mengenai sistem tata Arsitektur rumah Jawa menampilkan dasar
bekas singgasana Panembahan Senopati, pemukim berkaitan erat pula dengan karakter bentuk- ruang ini dan menyatakan bahwa terdapat 21 lokasi dari kondisi sosial. Ekspresi pemikiran dari bentuk
dan bangunan masjid agung yang dilengkapi bentuk arsitektur bangunan yang diasumsikan mengubah di seluruh Kotagede yang memiliki karakter Jalan rumah ini juga terdapat pada bangunan-bangunan
dengan pemakaman kerajaan dan kompleks wajah arsitektur tradisional Kotagede. Rukunan ini. Namun yang tersisa hanya terdapat di lainnya yang membentuk suatu struktur fisik
pemandian/sendang. Meskipun demikian, Kotagede tetap menampilkan Kampung Alun-Alun RT 37/RW 09 yang kemudian dari masyarakat. Hubungan antar rumah dengan
Di samping tinggalan-tinggalan keunikan karakternya. Kawasan inilah yang masih memiliki dikenal dengan nama Between Two Gates. Ungkapan aktivitas di komunitasnya mengindikasikan suatu
arkeologis tersebut, terdapat pula nama- karakter arsitektur dan tata ruang tradisional Jawa, sehingga ini dipopulerkan oleh Rahmat Wondoamiseno dan materialisasi dari nilai-nilai dan cara pandang suatu
nama tempat yang dapat menggambarkan bangunan lama dan suasana lama masih dominan. Saat ini Sigit Seogya Basuki dari Arsitektur UGM pada tahun masyarakat.
komponen Kotagede pada saat itu. Beberapa misalnya, kurang lebih dari 400 rumah di kampung Jagalan, 1986. Dalam hal itu, perubahan sosial, teknologi,
di antaranya adalah: Kampung Alun-Alun; lebih dari 35 rumah yang dibangun sejak abad ke-19 Masehi Between Two Gates di Kampung Alun-Alun dan budaya menjadi salah satu faktor pendorong
Kampung Kedhaton; Prenggan, JagaragIan, memiliki bentuk atap joglo. ini berupa satuan lingkungan yang terbentuk dari perubahan yang terjadi di banyak tempat, termasuk
Purbayan, (toponimi bekas lokasi kediaman Pada umumnya karakter fisik lain yang masih sangat sembilan rumah (terdiri dari dalem dan pendhapa) Kotagede. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin
pangeran–putra Panembahan Senopati); terasa hingga saat ini adalah lebar jalanan yang cukup yang berderet dari barat ke timur milik saudagar banyak warga Kotagede yang tidak lagi mengenali
Bumen, Singasaren (toponim bekas lokasi sempit, dan lorong permukiman yang berliku di antara pagar Atmosoeprobo, rata-rata dibangun pada abad ke-19 dengan baik budaya dan karakter asli Kotagede.
kediaman saudara Panembahan Senopati); tembok tinggi antar rumah. Masehi. Di kedua ujungnya terdapat pintu gerbang Kepedulian akan pelestarian nilai-nilai budaya
Mutihan, Kauman (bekas lokasi permukiman Bangunan berarsitektur Jawa yang ada saat ini memang yang dahulu selalu ditutup saat malam hari, gerbang lokal Kotagede merupakan hal yang sangat penting
abdi dalem mutih [alim-ulama] dan kemungkinan bukan berasal dari masa Kotagede awal barat berhubungan langsung dengan jalan utama karena melalui pelestarianlah penerjemahan
pada saat menjadi ibukota Kerjaan Mataram Islam, namun dan gerbang timur berbatasan dengan rumah lain. khasanah budaya lokal dapat dipahami dengan baik
bangunan-bangunan yang ada dapat dilihat sebagai Pada prinsipnya, jalan rukunan ini merupakan oleh masyarakat.
kelanjutan bentuk bangunan pada masa Kotagede awal satuan lingkungan terkecil permukiman yang bersifat
tersebut. semi-tertutup, karena diapit oleh dua gerbang pada
Bentuk rumah secara umum di Kotagede ini selalu kedua ujungnya. Jalan yang terbentuk dari ruang
menghadap ke selatan dan menampilkan arsitektur antara dalem dan pendapa rumah-rumah tersebut
tradisional Jawa-Mataram yang ditandai dengan keberadaan saling sambung menyambung sehingga membentuk
tiga komponen pokok rumah yaitu pendhapa, dalem, dan sebuah gang atau lorong dengan pintu gerbang di
gandok yang dilengkapi dengan tembok keliling tinggi. ujung barat dan ujung timur. Kondisi inilah yang
Baik rumah tunggal maupun dua atau lebih rumah selalu memunculkan sebutan between two gates.
dikelilingi oleh dinding tembok. Meskipun tiap rumah Fungsi jalan rukunan ini memenuhi kebutuhan
dipisahkan oleh keberadaan tembok keliling ini, seseorang jalan kaki ke pasar, sekaligus juga sebagai jalan
dapat dengan mudah memasuki rumah tetangganya pintasan antar kelompok permukiman. Jalan rukunan
langsung dari halaman rumahnya sendiri melalui pintu ini juga menjadi ruang terbuka bagi penghuninya,
gerbang bersama tanpa harus keluar melalui jalan terlebih sekaligus menjadi tempat aktivitas keseharian, juga Jujun Kurniawan
dahulu. tempat penyelenggaraan upacara-upacara religius, Jujun lahir di Bandung 7 Juni 1979. ia lulus pendidikan
Pada banyak tempat di Kotagede, bagian halaman depan tradisional, aktivitas sosial, dan perayaan. S1 di Arkeologi UGM dengan skripsi berjudul
rumahnya (pringgitan: ruang antara bangunan dalem dan Karena bentuknya ini pula, jalan rukunan “Perkembangan Kota Malang 1914-1942: Kajian atas
pendhapa) bahkan diperuntukan bagi jalan lintas umum, memiliki tingkat privasi yang tinggi, karena Intervensi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda”.
terutama di waktu siang hari. Oleh karena itu, seseorang hubungan antara keluarga penghuni ke sembilan Selepas itu langsung bekerja selama setahun pada
bisa saja mendapati dirinya tiba-tiba berada di dalam rumah tersebut memiliki keterikatan emosional. pengangkatan (salvaging) kapal tenggelam di perairan
halaman rumah orang lain. Sering kali dijumpai di Kotagede Dari kesembilan rumah tersebut empat di antaranya Laut Jawa kemudian aktif mengajar di Jurusan
satu lingkup tembok keliling terdapat beberapa rumah masih lengkap menampilkan arsitektur Jawa- Arkeologi (sekarang Departemen Arkeologi) UGM dan
Mataram, sedangkan lima rumah lainnya telah menamatkan S2 nya di bidang pengelolaan sumber
< Pintu Gerbang Masuk Between Two Gates mengalami perubahan di bagian pendhapanya. daya budaya. Minat risetnya terhadap arsitektur
Salah satu pintu gerbang menuju Jalan Rukunan (Between Two Meskipun demikian, tata ruangnya masih terjaga, dan perkembangan kota-kota kuno di Indonesia,
Gates) yang terletak di sisi barat jalan rukunan. deretan rumah ini memiliki ornamen yang berbeda. mendorongnya untuk menulis satu tulisan ini.
LAWANG PETHUK melalui kampung-kampungnya dengan bangunan- Pethuk ingin menggapai upaya Pelestarian Warisan
bangunan berarsitektur tradisonal yang kental akan Budaya di Kawasan Cagar Budaya Kotagede.
sejarah dan gang-gang sempit serta jalan rukunan
Melestarikan warisan budaya dan cagar budaya Kotagede Melalui Pariwisata yang terbentuk dari halaman rumah-rumah yang ada. Joko Nugroho
Para wisatawan sembari blusukan dapat melihat Joko Nugroho adalah
Oleh: Joko Nugroho
kerajinan perak, menimati kuliner khas Kotagede warga asli Kotagede.
serta merasakan atmosphere tradisional Kotagede. Rumahnya berada
G empa bumi pada tanggal 27 Mei 2006
menghantam hampir seluruh wilayah
Yogyakarta, tanpa terkecuali di Kotagede. Gempa yang
sangat terasa. Bagaimana sebuah bencana mampu
membuat fenomena kerekatan sosial menjadi nyata
dan terlihat lebih jelas.
Menyadari betapa potensialnya Kotagede untuk
bisa menjadi tujuan wisata budaya, maka Komunitas
di dalam salah satu
situs Cagar Budaya
Lawang Pethuk membuat Paket Wisata Berbasis yang terkenal di
berpusat di Bantul ini telah memberikan dampak yang Kondisi pasca gempa yang menimbulkan Kotagede, Between
Budaya sebagai wujud ataupun bentuk Pelestarian
cukup besar, baik secara moral maupun material. berbagai dampak fisik terhadap keberadaan situs- Two Gates. Hal
Warisan Budaya dan Cagar Budaya karena salah
Tidak sedikit bangunan bahkan korban yang terkena situs bersejarah maupun rumah-rumah tradisional, tersebut mendorong
satu prinsip pelestarian adalah azas manfaat.
dampak kerusakan akibat gempa. ternyata menimbulkan hal positif, kesadaran akan dirinya untuk aktif melestarikan warisan budaya dan
Beberapa Paket Wisata Lawang Pethuk yang telah
Namun disisi lain, munculnya bencana seringkali kehilangan Warisan Budaya mulai muncul. Gerakan- cagar budaya Kotagede. Salah satunya dengan aktif
berjala: Paket Makan Siang, Paket Makan Malam,
disertai pula dengan munculnya kesholehan sosial, gerakan pelestarian mulai tumbuh dan berkembang dalam komunitas Lawang Pethuk. Saat ini, selain sibuk
Paket Blusukan Kotagede (Kotagede Heritage Trail),
begitu pula dengan yang terjadi di Kotagede. Pasca sesuai dengan konsentrasinya, salah satunya adalah aktif dalam komunitas Lawang Pethuk, Joko juga tercatat
Cooking Class dan Silver Class, semua paket dikemas
gempa, ikatan sosial dalam masyarakat Kotagede Komunitas Lawang Pethuk Kotagede. sebagai sekretariat Forum BPKCB Kotagede sejak 2015.
Tadhah Alas
Haryadi dan B. Setiawan dalam sebuah
penelitiannya pernah mengatakan, “ruang
terbentuk dengan melihat bagaimana
Ruang Sosial Warga Kotagede masyarakat memanfaatkan
Begitulah yang terjadi di Kotagede,
ruang”.
Langgar Dhuwur
Langgar Dhuwur adalah salah satu bagian bangunan yang tak
Serba-Serbi
terpisahkan dari rumah-rumah tradisional di Kotagede. Bangunan
ini digunakan sebagai tempat bersembahyang masyarakat pada
waktu itu. Bentuknya adalah bangunan bertingkat, dengan
arsitektur Melayu, pada bagian atas digunakan untuk beribadah,
KOTAGEDE
sedangkan pada bagian bawahnya digunakan sebagai kamar
mandi dan tempat wudhu. Saat ini keberadaan Langgar Dhuwur
sangat langka, karena berkembangnya rumah-rumah tradisional
di Kotagede.
Edisi Sebelumnya:
Sampul Belakang:
Gapura Makam Kotagede tahun 1890.
Foto tersebut diambil oleh Kasian
Sketsa Gapura Makam Penembahan Chepas.
Senopati, Kotagede Sumber: kitlv-media.nl
Oleh: Rahmat Sunyoto
(Peserta Lomba Sketsa Heritage 2014)