Anda di halaman 1dari 25

Ringkasan Sastra Suci Buddhis

Boddhakawya Sutasoma

Sebuah pelukisan naratif yang beraneka warna tentang


manifestasi Buddha di dunia dan usahanya untuk
menyelamatkan dunia, sebuah kisah nan luhur yang
tak pernah kehilangan daya tariknya.

Dikutip dari:
Kalangwan, Sastra Jawa Kuno, Selayang pandang,
karya P.J Zoetmulder, halaman 415-429.
Boddhakawya Sutasoma

Asal usul Sutasoma

Hastina, kerajaan Raja Sri Mahaketu, seorang keturunan


Kuru, dikacaukan oleh rombongan-rombongan raksasa yang
merampok dusun-dusun dan pertapaan-pertapaan. Menurut
pendeta istana (munindra) hanya seorang putra keturunan raja
yang dapat memusnahkan para raksasa. Terdorong oleh
keinginannya memperoleh keturunan, raja melakukan puja
dihadapan sebuah arca Jina, lalu diberitahukan kepadanya
bahwa seorang Bodhisattva akan menjadi putranya.
Permaisurinya menjadi hamil dan tanda-tanda ajaib
meramalkan peristiwa yang akan datang. Sementara para dewa
turun untuk memberi hormat, sang Bodhisattva dilahirkan.
Orang-orang sakit dan cacat sembuh. Setelah tujuh bulan putra
itu diberi nama Sutasoma. Ia menjadi dewasa, kelihatan sangat
tampan serta memiliki segala keutamaan, khususnya bila ia
melakukan kebaktian agama di bawah pimpinan Sri
Jineswarabajra, guru sang raja. Raja memutuskan, agar
putranya akan menikah dan menggantikan ayahnya sebagai
raja (1.5-3.8)

2
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

Masa kehidupan sebagai pangeran muda

Sang pangeran dipanggil raja dan diberitahukan


mengenai keputusan ayahnya. Sang raja berusaha meyakinkan
putranya bahwa itulah panggilannya, menjadi seorang raja dan
selaku raja memajukan kesejahteraan dunia. Dengan menikah
dan memerintah negaranya ia akan melaksanakan Buddha
Dharma. Ia harus mengawasi semua agama agar masing-
masing melakukan kewajibannya yang khas; secara khusus ia
harus memberantas semua penyelewengan para rohaniwan
(biku) yang mengakibatkan kemalangan bagi seluruh dunia.
Sutasoma menjawab bahwa ia terlalu paham mengenai
kekurangan-kekurangannya untuk menerima beban itu serta
menanggulangi kesukaran-kesukaran yang melekat pada
kedudukan seorang raja. Hanya dengan mengejar keheningan
sempurna (kehampaan) di pegunungan, bukannya di tengah-
tengah dunia ramai, ia akan mencapai penyelamatan dan dapat
memajukan kesejahteraan dunia.
Patih Jayendra mengingatkan sang pangeran akan rasa
kecewa yang diakibatkannya terhadap orang tuanya serta
seluruh rakyat. Seorang ksatriya, apalagi seorang keturunan
raja, tidak boleh menyia-nyiakan masa mudanya, wajah yang
tampan, lalu menukar kehidupan seorang pangeran muda di
keraton dengan kehidupan seorang pertapa. Sekurang-
kurangnya ia harus menggantikan ayahnya dan memperoleh
keturunan; baru sesudah itu ia bebas mengundurkan diri dan
hidup di sebuah pertapaan. Pendeta keraton (purohita)
Mahosadhi mendukung alasan-alasan yang diajukan oleh patih
tadi dan menambahkan, bahwa keheningan sempurna (sunyata)
dapat diperoleh juga dalam kehidupan berkeluarga sambil
memurnikan batin dan melakukan yoga. Sutasoma

3
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

menegaskan kembali, bahwa bagi dia satu-satunya tempat


untuk mencapai penyelamatan bukan disini, melainkan dalam
kesepian di pegunungan. Ketika malam tiba, mereka bubar dan
kembali ke tempatnya masing-masing di dalam keraton (3.9-
6.12).
Meninggalkan istana

Tengah malam ketika semuanya sepi dan para penjaga


tertidur, Sutasoma secara diam-diam keluar; pintu-pintu
gerbang dengan sendirinya terbuka. Ketika kepergian sang
pangeran diketahui, dimana-mana terdengar ratap tangis. Raja
dan ratu merasa amat berduka. Kepala para Brahmin
menasihatkan agar mereka bermeditasi kepada Sang Buddha
yang bersemayam di dalam hati mereka dan mencari kekuatan
batin pada-Nya yang merupakan perlindungan dari segala suka
dan duka (7.1-8.10).

Pengungkapan identitas Bodhisattva

Dalam pada itu sang pangeran mencapai dusun-dusun


di kaki pegunungan dan berhenti. Ketika matahari sudah
terbenam, ia memasuki sebuah kuburan di dekat sebuah dusun
untuk menghormati Dewi Bhairawi Raksasi dalam sebuah
candi yang khusus dipersembahkan kepada dewi itu. Setelah
melakukan yoga dan meditasi sejenak yang disertai oleh gejala-
gejala gaib yang membuktikan kedudukan Sutasoma selaku
seorang Bodhisattva, Sri Widyutkarali (nama lain dari Bhairawi-
Durga) menampakkan diri dalam wujud yang
menggemparkan, lalu penuh hormat membungkuk di hadapan
sang pangeran dan memujinya sebagai salah satu inkarnasi
Sang Buddha yang telah menaklukkan segala hawa nafsu dan
yang hatinya senantiasa penuh dengan rasa iba. Dewi itu

4
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

mengajarkan sebuah mantra yang disebut mahahrdayadharani,


yang mampu menghancurkan setiap jenis kejahatan dan
kekuatan noda batin serta menjamin, agar umat manusia
dibebaskan dari segala macam penyakit dan kemalangan.
Setelah menunjukkan jalan ke pertapaan Bhatara Guru di
Gunung Sumeru, sang dewi lenyap (9.1-12.4).
Sutasoma meneruskan perjalanannya dan setelah tujuh
hari Gunung Sumeru kelihatan. Di sebuah pertapaan ia
disambut dengan ramah sekali. Pemimpinnya, Ki Kesawa,
mengenal pangeran dari Hastina dan menanyakan alasan
apakah yang mendorong sang pangeran muncul sendirian di
tempat yang terasing ini. Adakah terjadi perselisihan antara
pangeran dan ayahnya? Sutasoma menentramkan hati Kesawa
dan memohon pertolongan para pertapa untuk mencapai
puncak gunung.
Dalam perjalanan seterusnya mereka melewati tempat
kediaman seorang pertapa Buddha yang bernama Sumitra.
Kesawa memperkenalkan sang pangeran sebagai inkarnasi
Hyang Shakyamuni. Ternyata Sumitra itu paman ibu Sutasoma,
Prajnadhari. Ia menerangkan beberapa hubungan dalam
keluarga. Kakak ibu Sutasoma, Raja Kasi, telah mangkat dan
digantikan oleh putranya, Dasabahu. Adik perempuan
Dasabahu itu (saudara sepupu Sutasoma), Candrawati,
rupanya merupakan seorang calon mempelai yang tepat bagi
Sutasoma.

Kisah Dasabahu

Atas permintaan Sutasoma, Sumitra memberikan


informasi lebih lanjut mengenai kehidupan Dasabahu
sebelumnya. Ayahnya yang ingin memperoleh seorang putra

5
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

yang gagah perkasa, bersama dengan istrinya, menuju


pegunungan untuk melakukan samadhi. Disana tiba-tiba
Brahma menampakkan dirinya dalam wujud yang dahsyat dan
mengancam untuk menelan mereka, sehingga sang ratu
berteriak ketakutan. Tergerak oleh belas kasih, Brahma kembali
menjelma dalam wujudnya yang ramah dan menjanjikan putra
yang telah mereka mohon; sesudah itu mereka pulang ke
keraton.
Selama mengandung ratu selalu was-was dan perasaan
itu menjadi ketakutan, ketika ia melahirkan seorang anak yang
kelihatan sangat mengerikan karena mempunyai sepuluh
lengan. Atas perintah raja, anak itu dilemparkan ke laut; itu
nyaris terjadi ketika anak itu berubah dan menjadi “tampan
bagaikan dewa asmara”. Suatu suara dari surga
menamakannya Brahmaja (putra Brahma) dan nama itu,
bersama nama Dasabahu (dengan sepuluh lengan), dipakainya
sampai sekarang ini. Kini ia menggantikan ayahnya dan
merupakan seorang sekutu setia Raja Hastina (12.5-20.9)

Kisah Raksasa Suciloma/Jayantaka/Porusada (Rudra)

Sutasoma ingin tahu, mengapa para raksasa dapat


menjadi demikian berkuasa sehingga mereka dapat
mengacaukan seluruh bumi tanpa dihukum. Sumitra lalu
menceritakan kisah sebagai berikut:
Ketika Suciloma, seorang raksasa yang menyerupai Siwa
dalam wujud Kala-nya, mengacaukan dunia, maka sang Jina
(Buddha) turun ke bumi dan menjelma dalam diri Pangeran
Agrakumara. Ia mengalahkan raksasa itu, kemudian, ketika
menampakkan diri sebagai Jina, tidak jadi merengut nyawanya,
asalkan si raksasa tidak lagi membunuh manusia. Agrakumara

6
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

meninggal dan kembali dalam keadaannya selaku Jina.


Suciloma menjalani hidup yang saleh selama 25 tahun. Oleh
karena kekuatan tapanya, ia menjadi putera raja Sudasa di
Ratnakanda dan tetap menekuni meditasi terhadap Sang
Buddha (Jinasmrti). Kemudian Rudra menampakkan diri dan
sebagai imbalan bagi tapanya yang demikian keras itu
menghadiahkan sebuah kendaraan ajaib (wimana) beserta nama
Jayantaka; ia meramalkan, bahwa para dewa pun tidak akan
mampu membunuhnya dan dalam pertempuran ia akan
merupakan inkarnasi Rudra sendiri.
Akibatnya, wataknya yang berupa asura (raksasa) muncul
kembali, apalagi karena pada suatu hari juru masaknya
menghidangkan sepotong daging manusia bagi dirinya sebagai
ganti hidangan yang dimakan anjing. Ini merupakan
keterangan mengapaRatnakanda dipimpin oleh seorang raja
raksasa dan mengapa seluruh dunia berkeluh ketakutan.
Jayantaka atau Purusada (Porusada ‘pelahap manusia’) seperti
sekarang ia dinamakan, hanya dapat ditewaskan oleh suatu
inkarnasi baru Sang Buddha, yaitu Pangeran Sutasoma sendiri
(20.10 - 23.5).

Perjalanan menuju Gunung Semeru

Biarpun Sumitra dan pertapa-pertapa saleh lainnya mendesak,


agar Sutasoma menunaikan tugasnya dengan menjadi raja serta
memenuhi kewajibannya sebagai seorang ksatriya, namun
Sutasoma tetap pada keputusannya. Bahkan muncul Dewi
Bumi yang memohon kepadanya untuk menyelamatkan bumi
dari kehancuran dalam era Kaliyuga ini, tidak dapat
mempengaruhinya. Bersama dengan Kesawa dan kawan-
kawannya ia meneruskan perjalanannya (24.1 – 29.7).

7
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

Pertempuran dengan Durmukha/Gajamukha (Ganesa)

Mereka sampai pada sebatang pohon kepoh yang didiami


oleh salah seorang anak Suciloma, seorang raksasa yang
mengerikan, berwatak buas luar biasa, berkepala gajah
(karenanya bernama Durmukha atau Gajamukha). Dengan
bantuan dewa Ganesa (kelak ia juga dianggap sebagai inkarnasi
Ganesa), ia dianugerahi wujud yang mengerikan dan tak dapat
dibunuh, bahkan oleh para dewa pun tidak. Dengan
mengabaikan peringatan Kesawa, sang pangeran mendekati
pohon itu.
Ia disambut dengan raungan yang mengerikan dan
ditantang untuk berkelahi. Sutasoma berusaha menginsyafkan
Gajamukha betapa jahat kelakuannya dan bahwa nanti pasti
akan dihukum dalam neraka, tetapi sia-sia. Binatang itu
mengenakan wujud triwikrama; jelaslah bahwa ia kemasukan
Ganesa. Ia nyaris memusnahkan dunia dalam kemarahannya,
tetapi Sutasoma tetap tenang saja dan senjata-senjata lawannya
menjadi tumpul.
Atas anjuran para dewa, sang pangeran melakukan
samadhi sambil duduk dalam posisi bodhyagari; nampaklah
sebuah senjata (asta bhidura) yang mengenai raksasa itu pada
dadanya sehingga tak dapat bergerak lagi. Ini sebetulnya
diakibatkan oleh kekuatan kebenaran (tattwa bhatara) yang
merupakan racun bagi para penjahat dan amrta bagi orang yang
baik hati. Ganesa yang menyadari bahwa yang dihadapinya
ialah Buddha dalam wujudnya yang kelihatan, meninggalkan
tubuh Gajamukha lalu kembali ke surga. Binatang yang
dikalahkan itu mohon agar nyawanya jangan direngut dan agar
ia diperkenankan mengikuti Sutasoma sebagai muridnya. Sang

8
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

pangeran setuju dan memberikan pelajaran mengenai jalan


hidup seorang pengikut Buddha (29.8 - 33.5).

Pertemuan dengan naga

Tak lama kemudian ia diuji mengenai ajaran tadi.


Sutasoma dan Gajamukha diserang oleh seekor naga yang ingin
menelan sang pangeran. Gajamukha menempatkan dirinya di
antara Gurunya dan naga itu dan terbelit oleh ekornya. Ia siap
untuk membunuh naga itu dengan api yang sakti, ketika ia
ditahan oleh Sutasoma yang mengingatkannya bahwa ia harus
memasuki musuhnya dengan sinar kebajikannya dan dengan
demikian merombak kebuasan menjadi ketenangan. Seketika
Gajamukha mempersatukan batinnya bersama Sutasoma, maka
si naga bersujud pada kaki sang pangeran dan bersama-sama
mereka menyembah Sang Buddha yang menjelma dalam diri
sang pangeran.

Pertemuan dengan harimau

Kemudian mereka menjumpai seekor harimau betina


yang akan melahap anaknya. Ketika ia ditegur oleh Sutasoma
bahwa ia berdosa dengan melakukan niat itu, harimau itu
menerangkan bahwa ia terdorong oleh rasa lapar. Sutasoma
menyerahkan dirinya sebagai santapan, ia disambar dan
dicakar, kemudian darahnya diminum oleh harimau itu.
Sutasoma meninggal dan alam raya berkabung dengan semua
yang hadir, tetapi darah sang pangeran telah memperlunak
watak harimau. Ia sangat menyesal dan minta agar ia dibunuh
saja oleh para pengikut Sutasoma. Ketika mereka tidak bersedia,
si harimau mau bunuh diri. Indra turun dari surga dan dengan
melakukan konsentrasi batin (dhyayi) ia menghidupkan kembali

9
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

Sutasoma. Semua yang hadir bergembira ria, hanya Sutasoma


sendiri kelihatan sedih. Ia mempersalahkan Indra yang
menyalahgunakan kekuasaannya; kekuasaan itu dimaksudkan
untuk membantu mereka yang takut akan kematian, bukannya
mereka yang menganggap bahwa merelakan hidupnya
merupakan Dharma. Indra menerangkan mengapa ia berbuat
demikian, ialah untuk menyelamatkan si harimau dari
kematian dan melestarikan kehidupan sang pangeran bagi
keselamatan dunia. Sutasoma diyakinkan bahwa perbuatan
Indra itu tepat dan sang dewa kemudian pulang ke surga (33.6
- 37.2).

Pemberian ajaran kepada murid


(Gajamukha, naga, dan harimau)

Gajamukha, si naga, dan harimau mohon agar diberi


pelajaran bagaimana keadaan keheningan yang tak terpikirkan
itu (acintyasunya) dapat dicapai. Dapatkah itu dicapai lewat
jalan kemurnian sempurna yang bebas (nirmalabhawa-
paramamoksa-marga) ataukah lewat kematian (paratra-marga) ?
Semula Sutasoma nampaknya lebih condong kepada jalan
kedua. Keduanya sama-sama baik. Tak ada perbedaan antara
hidup dan kematian asal orang selalu mau berbuat baik
terhadap sesama makhluk. Namun bila seseorang ingin
mencapai surga (baik bagi dirinya sendiri maupun karena
kenikmatan yang terdapat di sana), maka lewat jalan kematian
itu salah. Orang harus mencita-citakan agar dapat masuk
keadaan yang lepas bebas secara sempurna (nirvana) dan tidak
membeda-bedakan lagi antara ini dan itu (paramanirasraya).
Jalan yang ditempuh seseorang sebagai persiapan untuk
mencapai keadaan itu dapat saja berupa hidup atau mati, yoga,

10
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

atau kebajikan lain. Buah hasil perbuatan baik itu mengikuti


setiap orang dari inkarnasi sampai inkarnasi berikutnya, tetapi
kesempurnaan baru tercapai bila seseorang membebaskan diri
secara tuntas dari ikatan-ikatan itu dan melihat yang tak
terpikirkan (acintyabhawana) sebagai asal mula dan tujuan
terakhir. Ini akan tercapai bila seseorang sedang meninggal dan
“menjadikan yang tiga itu bersatu dan memisahkan yang
kedua” dan sambil berbuat ia mencapai keadaan yang tak
berwujud.
Ketika murid-muridnya bertanya lebih lanjut, Sutasoma
menjawab jenis yoga yang dilakukan oleh aliran Siwa dan yang
terdiri atas enam tahap. Namun praktek itu ada bahaya bahwa
seseorang mungkin terjerat dalam kedelapan sifat kesaktian
yang diperoleh lewat yoga itu, sama seperti seseorang
terbelenggu oleh pancaindera dalam tahap sebelumnya. Jika
bahaya itu dapat dihindari, maka ini merupakan salah satu jalan
yang menuju ke tujuan tertinggi ialah kekosongan (sunyarupa).
Jalan yang lebih pendek dan aman adalah adwayayoga
seperti yang dilakukan oleh para pengikut Mahayana. Yang
menjadi tujuan mereka ialah Buddha tertinggi (paramartha
Buddha) dan berakar pada Adwaya dan Prajnaparamita. Orang
harus tahu kedua jalan itu. Baik seorang pertapa yang mengikuti
Buddha maupun seorang pertapa yang menyembah Siwa dapat
dipersalahkan, bila ia tidak maklum akan cara pihak lain
memahaminya, yakni sebagai Siwatwa (ke-Siwa-an, hakekat
Siwa) dan Buddhatwa (ke-Buddha-an, hakekat Buddha) masing-
masing.
Setelah memberikan ajaran itu, Sutasoma
memerintahkan ketiga pengikutnya yang baru itu untuk
menjadi bhiksu dan melakukan yoga di tempat mana pun yang
mereka pilih, asal jangan bersama-sama, karena ini

11
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

bertentangan dengan kebiasaan para pengikut Buddha. Ia


sendiri akan melakukan yoga di puncak gunung. Para rsi yang
tidak berhasil membelokkan niat Sutasoma, pulang ke rumah
masing-masing (38.1 – 42.6).

Godaan para dewa

Para dewa yang cemas, kalau-kalau Jayantaka kini bebas


untuk mengejar niatnya yang jahat itu sementara Sutasoma
tidak ada, memutuskan untuk menangani persoalan ini sendiri.
Indra mengutus sejumlah bidadari yang dipimpin oleh
Sukirana dan Tilottama, ke pertapaan Sutasoma di puncak
gunung Meru, untuk menggodanya dengan segala macam
rayuan yang dapat mereka pikirkan. Mereka tiba di kaki
gunung itu. Mereka sadar bahwa tugas mereka sia-sia saja, lalu
beristirahat sambil mengungkapkan keluh kesah dan rasa
rindu. Seorang pelayan mencoba untuk mendesak mereka dan
mengingatkan mereka akan kecakapan Sutasoma yang tiada
taranya.
Ketika malam tiba mereka mencapai tempat sang
pangeran yang sedang melakukan samadhi. Ketika mereka
melihat wajahnya yang tampan itu, mereka tak dapat
membayangkan alasan lain baginya untuk melakukan yoga,
selain untuk memperoleh seorang istri yang setara dengan dia;
harapan para bidadari membumbung tinggi. Tetapi rayuan apa
pun yang mereka lakukan, semua sia-sia belaka. Sesudah tiga
hari mereka pulang ke surga tanpa membawa hasil (43.1 – 50.2).
Indra sendiri lalu ingin mengadakan pendekatan dan menjelma
sebagai seorang dewi yang cantik sekali, tetapi rayuan dan
godaannya tidak dapat menggoncangkan sang pangeran yang
rupanya bagaikan “sebuah gunung kristal yang kena hujan”.

12
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

Penampakan identitas sebagai Vairocana

Ketika si penggoda akan mencium kakinya, Sutasoma


lenyap, sejenak masuk ke dalam kehampaan, dan tampil
kembali sebagai Hyang Buddha Vairocana, bersemayam di atas
bunga padma manikam, diiringi para Bhatara Jina dan dewa.
Indra pun melepaskan samarannya dan mengikuti mereka
ketika mereka menyembah Hyang Buddha Vairocana sebagai
makhluk utama dan tertinggi. Ia merupakan Dharma tertinggi
serta tujuan akhir bagi semua makhluk, mahzab, atau aliran
manapun yang mereka ikuti, sama seperti puncak sebuah
gunung dapat dicapai oleh orang-orang yang mendakinya dari
berbagai sudut.

Permohonan agar tidak meninggalkan dunia

Mereka memohon kepadanya agar jangan kembali ke


keadaan yang kosong, melainkan kembali dan menyelamatkan
dunia dengan mengubah keganasan Porusada menjadi
kelembutan. Maklumlah pada saat itu juga raja raksasa telah
berangkat untuk menangkap seratus raja dan
mempersembahkan mereka kepada Kala; baik para dewa
maupun manusia tak dapat mencegahnya. Setelah menerima
segala pujian itu sang pangeran kembali menjelma sebagai
manusia dan ditinggalkan sendirian (55.1 – 54.6).

Kembali ke kehidupan sebagai pangeran

Sutasoma mengakhiri samadhi-nya. Sekarang ia sadar


bahwa ia merupakan Buddha yang tertinggi (Jina) dan dengan
jelas melihat tugas dihadapannya. Rambutnya menjadi panjang
sekali kembali, karena hidupnya sebagai seorang bhiksu telah

13
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

diakhirinya. Dengan hormat ia minta diri dari Gunung Meru,


ditemani lagi oleh Kesawa dan bersama-sama, mereka menuju
negara Bharata.

Pertemuan dengan Dasabahu

Di tengah jalan mereka berjumpa dengan Dasabahu yang


baru saja terlibat perkelahian dengan seorang pengikut
Porusada. Si raksasa dikalahkan dan pada saat itu juga lari ke
Sutasoma; ia berjanji untuk melepaskan wataknya yang buas
itu bila sang pangeran menolongnya menghindari kematian.
Dasabahu mengira, bahwa orang asing yang melindungi
raksasa itu adalah seorang raja raksasa. Ia menyerang, tetapi
keheranan karena senjata-senjatanya menjadi tumpul. Kesawa
lalu mengungkapkan siapakah sebetulnya orang asing itu yang
disangka seorang musuh.
Dengan riang gembira Dasabahu merangkul saudara
sepupunya dan memohon untuk mengikutinya serta
mengawini adik perempuannya; ia mengancam akan
membunuh si raksasa yang baru bertobat, andaikata
permohonannya tidak dikabulkan. Sutasoma setuju dan
bersama-sama mereka berangkat dalam kereta sang raja.
Dalam perjalanan mereka melewati keraton Awangga
yang tak dihuni lagi; Dasabahu menceritakan bahwa ia sendiri
telah mengalahkan raja Awangga, Dewantaka serta adiknya,
raja Magadha. Perselisihan dengan kedua raja itu timbul ketika
Awangga melamar Candrawati lalu ditolak oleh Dasabahu,
demikian juga ketika raja Magadha pun ditolak ketika melamar
seorang puteri lain yang masih bersaudara dengan Dasabahu.
Kini kedua raja itu bergabung dengan Porusada. Akhirnya
mereka tiba di kraton Dasabahu (54.7 – 58.1).

14
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

Candrawati

Candrawati sedang murung dan tak seorangpun tahu apa


sebabnya. Ibunya heran sekali ketika sang puteri menolak untuk
menyongsong sang raja di luar kota, seperti telah dititahkannya.
Seorang pelayan yang merupakan teman dekat sang puteri,
janda seorang pujangga kraton, menceritakan kepadanya
siapakah tamu yang dinantikan itu. Ia merupakan inkarnasi
Jina tertinggi (Jinendra) yang baru saja pulang dari gunung
Meru; disana sambil melakukan tapa ia terus-menerus menolak
godaan-godaan para bidadari, tentu saja karena ia telah memilih
tuan puteri sebagai satu-satunya permaisuri yang setara dengan
sifat-sifatnya yang luhur. Maka dari itu, tuan puteri hendaklah
melakukan yoga dan kebaktian lain untuk mempersiapkan diri
menjadi permaisurinya. Sang Puteri lalu mengungkapkan,
bahwa alasan sebenarnya ia merasa kurang senang, ialah sikap
kakaknya berhubung dengan perkawinannya.
Rupanya raja tidak mengerti, bahwa seorang wanita tak
dapat menawarkan diri, melainkan harus dilamar. Raja
seharusnya mengikuti contoh Bhoja yang mengadakan satu
swayambara bagi adiknya, Srindumati. Sang raja kini
hendaknya jangan terburu-buru mengawinkannya, melainkan
menahan adiknya di dalam keraton sampai ada seseorang yang
melamarnya. Ia memanjatkan doa kepada almarhum
orangtuanya; mereka pasti tidak membiarkan ini terjadi; ia
memohon agar ia jatuh sakit saja lalu mati, atau supaya para
dewa merengut kecantikannya.
Dayang-dayang lain mengerti perasaannya, tetapi janda
pujangga itu berusaha membela sang raja dengan
mengungkapkan alasan-alasan yang sebenarnya. Ia menolak
gagasan mengadakan sebuah swayambara karena itu

15
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

bertentangan dengan keinginan almarhum ayahnya yang hanya


menginginkan pangeran Hastina sebagai menantunya. Itulah
sebabnya kakaknya memanggilnya untuk menyongsong dia.
Sang ratu telah menyetujui rencananya, yaitu untuk mengakui
kedua mempelai sesudah perkawinannya sebagai atasan
mereka dan penguasa di negara ini. Apakah pernah ada seorang
raja yang berbuat begitu bagi adiknya? Dan dapatkah ia lalu
dipersalahkan, seolah-olah kurang mencintai adiknya? (58.2 –
65.1).
Keesokan harinya sang ratu, diiringi oleh seluruh isi
keraton, meninggalkan keraton dengan upacara kebesaran;
sang puteri menemani dalam kereta. Mereka menuju taman
sari Ratnalaya, memasukinya lewat sebuah gapura yang penuh
hiasan dan menikmati keindahan tempat itu. Sang puteri
memasuki sebuah pesanggrahan (bukur) yang menghadap
sebuah danau yang luas. Di tengah-tengah danau itu terdapat
sebuah pulau; di atas pulau tersebut terdapat sebuah istana
kristal, dikelilingi oleh empat bangunan yang lebih kecil, seolah-
olah diturunkan dari surga oleh Iswara, Brahma, Mahadewa
dan Wisnu.
Si janda pujangga menceritakan bahwa ia tidak tahu pasti
mengenai asal-usulnya, tetapi tahu bahwa istana itu
dimaksudkan oleh raja sebagai tempat ia akan dinikahkan
dengan sang pangeran. Ketika tuan puteri menjawab, bahwa
ia tidak dapat percaya bahwa akan boleh mendekati sebuah
tempat yang bahkan ketiga dewa tertinggi tidak berani
mendekati, maka ia diingatkan, bahwa calon mempelainya itu
adalah Vairocana sendiri dalam wujud yang nampak; ini sudah
terbukti dengan berbagai cara sejak kelahirannya sampai saat
ini (65.2 - 69.11).

16
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

Pertemuan dengan Candrawati

Dalam pada itu ketiga putera Dasabahu telah bergabung


dengan ayahnya; tidak jauh dari rombongannya berhenti dan
diperkenalkan kepada Sutasoma. Bersama-sama mereka
memasuki taman sari; disana mereka dengan penuh hormat
disambut oleh ratu dan sang puteri. Atas pertanyaan Sutasoma
raja menerangkan, bahwa taman itu dibangun oleh raja Jina
(Vairocana) waktu beliau masih bersemayam di surga, bersama
dengan Locana, permaisurinya. Kini keduanya turun ke bumi,
berhubung Dewi Locana telah menjelma dalam diri adik sang
raja. Pada saat itu juga sang puteri ingat akan perkawinannya
dulu dengan Sutasoma di surga dan bagaimana ia mengajarkan
Dharma tertinggi kepada para dewa di atas pulau itu juga.
Tiba-tiba muncullah dari permukaan air empat ekor
buaya yang berubah menjadi empat raksasa; mereka
menyatakan, bahwa mereka merupakan keempat penjaga pintu
gerbang surga Buddha dan telah turun, menantikan perintah
Sutasoma. Ia memerintahkan kepada mereka untuk
membangun sebuah jembatan, dan ketika itu selesai, maka
mereka semua maju dan tiba di pulau itu sambil mengagumi
keindahannya.
Menjelang terbenamnya matahari mereka semua kembali
ke tempat penginapan di luar taman sari, tetapi sang puteri
tinggal di taman tak jauh dari pulau dan semalam suntuk tidak
dapat tidur; ia diganggu oleh rasa rindu. Di antara dayang-
dayangnya sifat-sifat luhur sang calon mempelai merupakan
satu-satunya bahan pembicaraan. Ini menjadikan sang puteri
sedih dan murung; ia terus menerus memikirkan, betapa ia
tidak pantas dinikahkan dengannya dan bahwa sang pangeran
akan mengawininya hanya karena sang raja menghendakinya.

17
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

Si janda pujangga tahu bagaimana ia harus menangani


persoalan ini. “Bila Anda tidak merasa tertarik kepadanya, saya
akan menghadap raja dan atas nama Anda memesan
kepadanya bahwa seyogyanya sang pangeran pulang saja dan
bahwa akan diadakan sebuah swayambara”. Pura-pura ia akan
pergi, tetapi tentu saja ditahan oleh tuan puterinya;
kemurungan cepat berubah menjadi harapan yang meluap-luap
(70.1 – 78.3). Keesokan hari pernikahan dilangsungkan dengan
upacara kebesaran. Deskripsi mengenai persatuan kedua
mempelai yang penuh kebahagiaan (78.4 – 84.4).

Menjadi Raja Hastina

Setelah beberapa waktu, Sutasoma mohon diri untuk


menjenguk orang tuanya di Hastina. Raja tentu saja setuju dan
menyatakan, bahwa mereka semua akan mengawalnya.
Pelukisan mengenai pemandangan alam sepanjang jalan dan
kegembiraan di Hastina, setelah menerima berita mengenai
pulangnya Sutasoma. Ia menggantikan ayahnya dan lahir
seorang putera yang diberi nama Ardhana (84.5 – 93.3).

Raja Raksasa Porusada

Kini cerita beralih ke Ratnakanda dan raja raksasa


Porusada yang baru saja sembuh dari luka-lukanya karena ia
berkaul kepada Dewa Kala, bahwa ia akan menangkap seratus
raja yang akan dipersembahkan kepadanya sebagai korban.
Setelah menangkap sembilan puluh sembilan raja, ia
mengarahkan perhatiannya ke kerajaan Singhala.

18
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

Pertempuran Porusada dengan Raja Jayawikrama

Raja Jayawikrama bertekad bulat untuk menangkis


serangan itu, biarpun patihnya menganjurkan agar jangan
berbuat itu. Nasib raja-raja lain membuktikan, betapa sikap itu
sia-sia belaka; lebih baik mengungsi ke Hastina. Raja
menyatakan, bahwa mengingkari perang tanding bertentangan
dengan kewajibannya. Ia didukung oleh Bana, putera seorang
Brahmin, yang menunjukkan bahwa raja tak terkalahkan sama
seperti kekuasaan para saudara raja.
Si patih mengakui, bahwa ia kurang memperhitungkan
keutamaan sang raja dan sikapnya yang lepas bebas terhadap
hidupnya sendiri. Yang merupakan ciri seorang kesatriya ialah
ketabahan dalam pertempuran tanpa rasa takut terhadap
kematian, dan si patih sendiri akan memenuhi kewajibannya
bersama-sama dengan sang raja (94.1 – 99.5).
Dalam pertempuran antara kedua tentara, pasukan
Singhala tidak dapat menandingi para raksasa. Bana melarikan
diri penuh rasa malu; si patih ditewaskan oleh Porusada yang
juga membunuh adik sang raja. Raja sendiri harus ditangkap
hidup-hidup, tetapi semua yang mencoba menangkapnya
ditewaskan oleh tangannya yang dirajah sebuah cakra. Oleh
kesaktian raja para raksasa itu, muncullah seekor naga yang
membelitnya sehingga tak berdaya lagi. Tetapi pada saat ia akan
dibawa lari Jayawikrama ingat bahwa ia ber-cakrapani
(berlengan cakra) dan dengan demikian inkarnasi Wisnu (yang
juga disebut Cakrapani). Dengan kekuatan baru ia
membebaskan diri dari lilitan naga dan membunuh musuh-
musuhnya dengan salah satu taring si naga. Raja raksasa
menyadari bahwa tak ada jalan lain kecuali membunuh

19
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

musuhnya. Ini baru terlaksana sesudah suatu pertempuran


sengit (99.6 – 101.15).
Keraton Jayawikrama dirampok, tetapi istrinya tak ada
disana. Berhubung adanya suatu salah paham yang terjadi,
karena sang ratu menyalin sebuah kakawin yang oleh sang raja
disalahtafsirkan seolah-olah ratu menjalin hubungan gelap
dengan orang lain, maka mereka berpisah dan ratu kembali ke
pertapaan ayahnya. Ketika mendengar gugurnya sang raja, ia
memutuskan untuk membuktikan kesetiaannya dan
mengikutinya ke alam baka.
Ia mencari-cari jenazahnya di antara mayat-mayat yang
tersebar di dalam keraton yang hancur itu, tetapi tidak
menemukannya. Ia mengeluh rupanya kemarahan sang raja
belum reda juga sehingga bahwa di alam maut pun ia masih
menghindari isterinya. Seorang prajurit berhasil meloloskan diri
menceritakan, bahwa badan sang raja setelah dibunuh meletus,
menyala-nyala dan jiwanya lepas. Ratu memerintahkan agar
disiapkan perabuan, menikam diri dan dipersatukan kembali
dengan suaminya di surga (102.1 – 107.4).

Pertempuran Porusada dengan Raja Widarbha

Kini Porusada memutuskan bahwa Raja Widarbha akan


menggenapi jumlah korban yang telah dijanjikannya kepada
Kala. Ketika patih Wimona menerangkan, mustahillah
menangkap Raja Widarbha, karena ia tidak membiarkan diri
ditangkap hidup-hidup, maka Porusada sendiri berangkat
untuk menangkap raja itu. Ia menyamar sebagai seorang
brahmin dan diterima dengan ramah, tetapi ketika raja
menerangkan mengapa diadakan persiapan perang seperti
disaksikan oleh sang brahmin dalam keraton – ia bertekad mati

20
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

dalam pertempuran sengit melawan raja raksasa – raksasa itu


kembali menjelma menurut wujudnya yang sebenarnya. Setelah
bergelut Porusada berhasil menawan raja dan melarikannya.

Permintaan Dewa Kala

Jumlah korban sudah lengkap, tetapi ketika mereka


dipersembahkan kepada Kala, dewa itu belum puas dan
menuntut agar Raja Hastina ditambahkan kepada jumlah
korban itu. Porusada kembali ke keratonnya dan di tengah jalan
dicegat oleh Narada, seorang rsi dari surga, yang menasihati
sang raja raksasa agar sangat berhati-hati, karena pihak lawan
memiliki kekuatan yang luar biasa. Ketika melihat bagaimana
kata-kata ini hanya mengobarkan kebuasan raja raksasa, ia puas
bahwa tujuannya tercapai dan kembali ke surga untuk
menceritakan kepada para dewa bahwa suatu perang dahsyat
akan timbul di negara para Bharata (108.1 - 112.10).

Kerajaan Hastina

Porusada berangkat dengan disertai para sekutunya, ialah


raja-raja Kalingga, Magadha, dan Awangga. Berita mengenai
kedatangan mereka menimbulkan kegemparan di Hastina.
Diadakan suatu rapat untuk memutuskan kebijaksanaan mana
yang harus ditempuh dalam keadaan darurat ini. Sutasoma
sendiri condong untuk menawarkan diri sebagai korban agar
para raja lainnya dapat diselamatkan, demikian pula negara
dan agama akan terhindar dari kehancuran perang. Patih
menganggap suatu kewajiban membela sang raja dan kalau
perlu tewas baginya. Itulah hidup dan menyelamatkan nyawa
dengan perbuatan pengecut merupakan kematian. Kata-
katanya disambut dengan persetujuan, semua bubar untuk

21
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

mengadakan persiapan perang dan meninggalkan Sutasoma


di keraton, diombang-ambingkan oleh kebingungan dan rasa
iba kepada rakyatnya yang kini terancam kematian yang tak
terelakkan. Kepala para brahmin berusaha menghiburnya
dengan mengingatkannya bahwa karena cintanya terhadap
semua makhluk ia merupakan sumber kehidupan bagi mereka
semua, termasuk Porusada (112.11 – 119.16).

Pertempuran Bharata

Deskripsi mengenai kedua pasukan yang maju dan


pertempuran yang terjadi (120.1 – 123.7). Jumlah korban yang
terjadi di pihak para raksasa memprihatinkan Porusada. Ia
sudah siap untuk turut dalam pertempuran dan menangkap
Sutasoma, ketika ia diberitahu bahwa sang raja masih tinggal
di Keraton. Porusada menunda saat ia sendiri akan turut
bertempur, dan memerintahkan raja-raja Awangga, Magadha,
dan Kalingga untuk menggantikannya dalam pertempuran
keesokan harinya; para raja sangat senang melaksanakan
perintahnya karena itu memberi mereka kesempatan untuk
membalas dendam terhadap Dasabahu yang telah menghina
mereka ketika menolak mereka sebagai calon suami adiknya.
Deskripsi mengenai medan pertempuran di malam hari dengan
pertapa-pertapa yang melakukan yoga tantra di tengah-tengah
jenazah-jenazah. Pagi hari tentara-tentara menempatkan diri.

Pertempuran Raja Dasabahu dengan Raja Awangga,


Raja Magadha, Raja Kalingga

Dasabahu memutuskan untuk menyusun tentaranya


menurut posisi cakra-bhuya, yang digunakan Drona dalam
Baratayuddha, karena itu menyebabkan kematian Abhimanyu

22
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

ketika Wrkodara dan Arjuna untuk sementara meninggalkan


medan pertempuran. Ia mengharapkan akibat yang sama
sementara para raja raksasa tidak hadir. Dalam pertempuran
yang menyusul Dasabahu akhirnya membunuh kedua musuh
pribadinya, ialah Raja Awangga dan Magadha (124.1 – 131.5).

Pertempuran Raja Dasabahu dengan Raja Porusada

Porusada tak dapat bertopang dagu lagi. Ketika


kebanyakan tokoh dari kedua belah pihak tewas. Porusada
menghadapi Dasabahu dalam sebuah perang tanding. Dengan
menyadari persatuannya dengan Rudra, Porusada menjelma
sebagai Rudra (menjadi maharudramurti) dan kini nasib
musuhnya ditentukan. Sang dewa memenggal kepalanya.
Tentara Hastina melarikan diri dikejar oleh para raksasa yang
menhancurkan semua rumah dan candi yang mereka jumpai
(131.1 – 137.2)

Pertempuran Sutasoma dengan Porusada

Ketika menerima kabar mengenai musibah yang terjadi,


Sutasoma naik keretanya dengan disertai pengemudinya,
Sucitra serta pertapa untuk menghadapi Siwa (Iswara). Tak
lama kemudian mereka berhadap-hadapan. Siwa
mengeluarkan nyala api tetapi ini berubah menjadi air amrta
yang menghidupkan kembali semua raja di pihak Hastina. Ia
melepaskan anak-anak panah, tetapi ini berubah menjadi
bunga-bunga. Kemarahan Siwa tak ada taranya dan ia
menjelma sebagai api Kala yang menghancurkan segala-
galanya dan ia nyaris membakar seluruh dunia. Para dewa
dengan tergesa-gesa turun ke bumi dan memohon dengan
sangat, agar ia jangan menamatkan riwayat dunia sebelum

23
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

waktunya tiba. Karena dalam keadaan itu pun ia tidak dapat


melukai raja Hastina yang merupakan inkarnasi Buddha.
Adapun Buddha dan Siwa tunggal dalam hakekatnya yang
paling dalam. Ketika campur tangan para dewa pun tidak
membawa hasil yang diharapkan dalam meredakan kemarahan
Siwa, maka Indra memohon kepada Sutasoma untuk mencoba
itu sendiri.
Ia lalu duduk dalam posisi bodhyagri dan memusatkan
batinnya, lalu mengeluarkan senjata vajra dan seketika
kemarahan Siwa berubah menjadi ketenangan sempurna.
Akhirnya Siwa menyadari bahwa Sutasoma itu Buddha sendiri
dan ia lalu meninggalkan tubuh Porusada. Dengan sia-sia raja
raksasa itu berusaha agar Siwa kembali memasuki tubuhnya,
karena ia belum melepaskan niatnya untuk mempersembahkan
Sutasoma kepada Kala.

Perubahan sikap Porusada

Dengan sangat heran ia menyaksikan, bahwa Sutasoma


bersedia datang dengan sukarela, agar raja-raja lain
diselamatkan. Sikap itu sangat mengesankan bagi raja raksasa,
sehingga batinnya berubah secara menyeluruh, sehingga ia
dipenuhi dengan maitri dan karuna. Ia bahkan membujuk
korbannya untuk melepaskan niatnya, tetapi sia-sia. Semua lalu
menuju ke tempat kediaman Kala (138.1 – 140.11).

Penaklukkan Dewa Kala

Kala sangat gembira bahwa Sutasoma datang untuk


menyerahkan diri sebagai korban yang akan ditelannya. Ia
setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sutasoma dan
keseratus raja dibebaskan. Ketika atas anjuran Sutasoma, Kala

24
B O D D H A K AW Y A S U T A S O M A

berusaha membunuh Sutasoma dengan pedangnya; senjata itu


tidak dapat menembus badan Sutasoma. Kemudian Kala
berubah menjadi seekor naga dan mulai menelannya, tetapi
tiba-tiba ia dipenuhi dengan perasaan maitri dan karuna,
sehingga ia tidak meneruskan rencananya.

Dunia kembali damai dan sejahtera

Dia memohon Sutasoma agar ia dapat diterima sebagai


muridnya. Di bawah bimbingan Sutasoma ia mulai melakukan
kehidupan sebagai seorang bhiksu bersama dengan Porusada.
Kepada mereka diberikan pelajaran pertama tentang Dharma
dan berbagai bentuk yoga. Hanya Kala tidak turut ketika yang
lain berangkat ke Hastina; ia melakukan tapa. Di Hastina semua
yang telah tewas dihidupkan kembali oleh Indra dan diadakan
pesta sebelum para raja pulang ke tempat kediaman masing-
masing. Porusada tidak kembali ke Ratnakanda, tetapi bersama-
sama dengan para raksasa yang merupakan anak buahnya ke
gunung Mandara untuk melakukan tapa.
Dunia merasakan suatu era penuh perdamaian dan
kesejahteraan. Setelah beberapa waktu Sutasoma dan
permaisurinya meninggalkan bumi dan pulang ke surga Jina;
disana Porusada pun menerima pahala dari tapanya yang
dilakukan sebagai seorang murid Jina. Kala menerima
kedudukan sebagai Pasupati. Putera Sutasoma, Ardhana,
menggantikan ayahnya sebagai Raja Hastina (139.12 – 147.22).

Selesai

25

Anda mungkin juga menyukai