Anda di halaman 1dari 4

ULASAN RINGKAS PELAKSANAAN UPACARA MELASTI DAN MAKNANYA

Sebelum Nyepi yang dirayakan pada penanggal apisan sasih Kedasa, selalu didahului
dengan pelaksanaan kegiatan melasti, nyejer, dan tawur kesanga. Melasti khususnya telah
dilaksanakan sejak dahulu terutama di Bali dan Jawa (pada jaman kuno) sebagaimana disuratkan
dalam sastra Sanghyang Aji Swamandala dan Sundarigama yang berbahasa Kawi/Jawa Kuno.
Sanghyang Aji Swamandala diturunkan oleh Sanghyang Suryacandra atau Sanghyang
Suksmahayu, yaitu Ida Sanghyang Widhi yang Mahamenguasai alam semesta, matahari dan
rembulan, siang dan malam, Beliau Yang Mahahalus yang menjadi sumber segala keselamatan
(sarwahayu). Sanghyang Aji Swamandala menuntun umat manusia untuk mengetahui bagaimana
menyelaraskan diri dengan alam semesta melalui pengetahuan padiwasan/dewasa hayu,
menentukan momen-momen yang tepat untuk melaksanakan karya kebaikan.
Sundarigama dianugerahkan oleh Sanghyang Guru Suksma Licin (Sanghyang Widhi
sebagai Guru Sejati Yang Mahahalus, tersembunyi, rahasia, dan tidak dapat dipersepsikan)
berupa tata cara pelaksanaan upacara agama yang harus dipatuhi terutama oleh para pendeta
dan pemimpin umat. Demikian sabda-Nya, “iti sundarigama ngaran maka dreshti pakrethi agama,
lingira sanghyang suksma licin ring sang wateking purohita kabeh... apan yan wwang tan pakrethi
rasa ngaran tan pakrama, sama lawan sato, bhinaya amangan sega, yan sang wiku tan manut,
dudu sira wiku ranakira sanghyang dharma, inilah yang bernama Sundarigama sebagai tata cara
pelaksanaan pemahaman agama, sabda-Nya Sanghyang Suksma Licin kepada para pendeta
semuanya... apabila manusia tanpa pemahaman disebutlah tidak tahu aturan, sama dengan
binatang bedanya cuma bisa makan nasi, jika sang pendeta tidak patuh, maka itu bukan pendeta
yang terlahir dari Sanghyang Dharma”. Berpedoman pada ajaran suci inilah umat Hindu
senantiasa melaksanakan prosesi melasti sebaik-baiknya dan tentunya sangat penting untuk
menghayati maknanya terlebih dahulu.
Sanghyang Aji Swamandala menyebutkan, “malasti ngaraniya ngiring prawatek dewata,
anganyutaken laraning jagat, papa klesha, letuhing bhuwana”. Sedangkan Sundarigama
menyatakan, “atka ring caitra-masa, ring tilem kunang pasucyan watek dewata kabeh, anring
telenging samudra acamananira, hameta sarining amreta kamandala, yogya wwang kabeh
nghaturaken puja-krethi”. Bahwa yang disebut Melasti adalah,
Ngiring prawatek dewata sebagai poin makna pertama. Artinya, umat manusia mengiringi
para dewata. Mengiring maknanya menyertai dalam rombongan. Berarti pada saat melasti umat
manusia dikondisikan lahir batin untuk bersama-sama menempuh jalannya para Dewa, yaitu jalan
keluhuran, jalan kesucian, jalan ketuhanan. Dengan demikian manusia akan berjalan bersama-
sama para Dewa. Secara ritual di sini diterjemahkan sebagai turunnya Susuhunan dari gedong
suci tempat bersthana-Nya Beliau di Parahyangan/Pura dalam bentuk simbol-simbol suci dan
segala kelengkapan kebesaran-Nya ke tengah-tengah umat manusia. Oleh karena itu sebelum
diiring, tentunya Beliau Bhatara Susuhunan harus dimohon untuk hadir, “turun” ke dimensi alam
persepsi duniawi (alam sekala) yang disebut nedunang (menurunkan) bhatara. Turunnya Beliau
ini dalam wujud pralingga, bisa berupa arca-pratima, daksina linggih, rantasan, dsb. Jadi untuk
prosesi ini terlebih dahulu harus dipersiapkan pralingga Beliau. Setelah pralingga dibentuk dan
dihias seindah-indahnya di bale pahyasan, hendaknya disucikan dahulu dengan pangresikan
(byakawon, prayascita, penglukatan, dsb.) sebagai simbolik merohanikan segala bahan-bahan
yang digunakan untuk membuat pralingga tersebut sehingga Bhatara Susuhunan berkenan
menempatinya. Segala kelengkapan kebesaran-Nya juga dijalankan pangresikan, khususnya
jempana/joli/jolen yang sudah siap dihias indah, yang digunakan sebagai wahana Beliau dan
pusaka pajenengan (jika ada) sebagai lambang kesaktian Beliau. Begitu pula dengan
payung/tedung agung, kober, panji-panji, umbul-umbul, dsb. diisi sapsap lambang kesucian dan
penghurip, sehingga benda-benda ini sungguh-sungguh “dihidupkan” dan mampu menampung
energi kedewaan yang suci. Setelahnya barulah sang pemangku dengan puja-mantra dan
bersaranakan pejati (simbol kesungguhan) memohon kehadiran Bhatara Sesuhunan untuk tedun
dari sthana-Nya, melinggih dalam pralingga-Nya, dan mempermaklumkan kehadapan Beliau akan
dilaksanakannya prosesi pemelastian diikuti sembah umat sekalian yang akan mengiringi.
Segehan juga dihaturkan untuk menghormati para pengiring Bhatara Susuhunan yang berwujud
gaib. Ketika semuanya sudah siap, maka barulah pralingga Bhatara Susuhunan turun dari
pelinggih-Nya dengan didahului penuntun untuk didudukkan dalam jempana. Pralingga
hendaknya diamankan sedemikian rupa, sehingga tidak akan jatuh dari jempana saat diiring
keluar pura. Tirta Penglukatan dan sarana petabuhan harus siap paling depan untuk dipercikkan
sepanjang perjalanan. Beberapa tempat ada yang juga menyertakan pemercikan air/minyak
wewangian (sugandha) dan/atau asap dupa kemenyan, segala tradisi yang sedemikian baik itu
hendaknya kembali diadopsi dan dipertahankan. Pada intinya adalah mempersiapkan jalan yang
akan dilalui oleh iring-iringan Bhatara Susuhunan. Setelahnya barulah berjalan berbagai
kelengkapan kebesaran-Nya seperti panji-panji, bendera, payung dan umbul-umbul. Satu atau
sepasang tedung agung saja yang berada di dekat jempana, untuk kerapian, tedung-tedung hias
lainnya sebaiknya berada bersama di depan. Berikutnya barulah sang pemangku dan pengayah
yang membawa penuntun. Ujung tali penuntun yang ada jinah andhel-andhel diikatkan pada
jempana. Saat itu lelancingan/kain panjang dapat dibentangkan sampai di belakang penuntun.
Jika umat yang berkeinginan memegang lelancingan cukup banyak dan panjang, maka andhel-
andhel dapat dipegang oleh salah satunya, menyesuaikan dengan kondisi, dengan tetap berada
di belakang penuntun. Para penabuh gamelan dan umat lainnya yang tidak bertugas membawa
perlengkapan Bhatara Susuhunan kemudian dapat mengiringi di belakang jempana. Sebagai
catatan, kehadiran penuntun, tali penghubungnya, dengan manusia di satu ujung dan simbol
Dewata di ujung yang lain merupakan sarana magis yang luar biasa dalam prosesi penghadiran
Dewata dalam tradisi Hindu Nusantara. Ini sejenis dengan yoga-pattika atau serimpet/selendang
suci Pandita Siwa dan buddha-paragi Pandita Boddha Sogata. Ida Pedanda Gde Made Sidemen
pernah menjelaskannya pada Prof. Hoykaas dengan merujuk pada Jarayu Tantra.
Ngiring dewata ini selanjutnya harus dipahami tujuannya yaitu anganyutaken laraning
jagat. Prosesi ngiring dewata bukan sekedar untuk perayaan bersenang-senang, sejenis pawai
karnaval. Hendaknya diingat dan dipahami serta dihayati bahwasanya saat ini Bhatara Susuhunan
telah hadir di tengah-tengah kita. Ini bukan arak-arakan atau kirab seni budaya atau sekedar
mengikuti adat kebiasaan. Ketika melasti kita telah memohon kehadiran Bhatara Susuhunan
berikut segenap kekuatan kedewataannya. Jika upacara pemelastian kita laksanakan dengan
sungguh-sungguh, maka kita sungguh-sungguh membawa Beliau ”turun” ke bumi, menyatukan
akasa-pertiwi, mewujudkan energi rohani yang sangat besar bagaikan gerak air bah, banjir
bandang yang sanggup menghanyutkan segala laraning jagat, segala derita dunia. Dengan
ngiring dewata Bhatara Susuhunan turun ke bumi, segenap penderitaan dan kekotoran dunia
dibersihkan. Semua penderitaan dan permasalahan terjadi karena adanya gangguan
keseimbangan alam. Energi-energi kosmis tidak harmonis menyebabkan permasalahan di dunia
sekitar terutama di lingkungan desa, seperti adanya wabah penyakit, ternak mati, gagal panen,
terjadi kriminalitas seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan dan pelanggaran-pelanggaran
kesusilaan lainnya. Pada saat melasti inilah kita mengiringi Bhatara Susuhunan mengelilingi desa,
sehingga energi rohani yang dipancarkan Beliau secara spiritual dapat menyelaraskan segala
ketidakharmonisan antara Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.
Tujuan berikutnya adalah anganyutaken papa klesha. Papa adalah segala kondisi yang
bersifat rendah atau hina, kebalikan dari kondisi kehidupan yang mulia. Kemuliaan di sini bukan
saja bersifat duniawi seperti hidup yang makmur sejahtera, kaya raya dan dihormati, namun juga
kemuliaan yang bersumber dari sifat-sifat rohani yang luhur, sifat-sifat kedewataan (daivi sampat).
Tidak terwujudnya kemuliaan dalam kehidupan atau jatuhnya masyarakat dalam sifat-sifat
rendahan dan hina diakibatkan oleh adanya racun-racun batin yang disebut klesha. Dalam
Patanjali Yogasutra disebutkan ada lima jenis racun yaitu avidya, asmita, raga, dvesa, dan
abhinivesa. Avidya adalah kegelapan batin, kebodohan, atau kesalah-pahaman atas kebenaran
sejati. Asmita adalah keakuan/egoisme, ketidaksadaran karena konsep “aku-milikku-olehku” yang
palsu (kemingsun). Raga adalah kemelekatan kecintaan berlebihan terhadap diri dan milik berupa
benda-benda duniawi dan kemuliaan duniawi (penghormatan, pujian, pangkat kedudukan). Dvesa
adalah rasa permusuhan dan kebencian, ketidakmampuan menerima apa adanya. Sedangkan
abhinivesa adalah rasa takut mati, ketakutan berlebihan pada “akhir” akibat terlalu terikat melekat
pada kepuasan/kenikmatan dunia. Kelima racun inilah yang menjadi penyebab hidup hina. Semua
makhluk yang masih terikat dunia menderita oleh racun ini dan juga memancarkan racun tersebut
ke sekitarnya. Racun-racun batin akan lebih menyebar lagi melalui pergaulan sehari-hari. Namun
pergaulan juga dapat menyelamatkan seseorang dari pengaruhnya, jika kita bergaul dalam
lingkungan yang bersifat rohani dan suci. Vibrasi kesucian dan kemuliaan Bhatara Susuhunan
pada saat diiring melasti melewati desa akan menyebar mempengaruhi lingkungan hidup kita,
sehingga dengan demikian dapat mengkondisikan pikiran masyarakat agar berada dalam
pergaulan yang suci dan dapat mengatasi racun-racun batin yang membuat kehidupan celaka.
Berikutnya anganyutaken letuhing bhuwana. Letuh atau kotor merupakan kondisi tidak
suci, dalam salah satu pengertian kondisi letuh ini dikatakan menyebabkan perginya dewata dari
tempat suci-Nya. Beliau tidak berkenan bersthana apabila tempat itu letuh/leteh, atau secara
spiritual ternoda. Maknanya adalah “tidak adanya atau berkurangnya kehadiran energi spiritual
kedewataan” dari suatu tempat. Noda-noda ini adalah kecacatan atau kerusakan yang ditimbulkan
oleh penyakit penderitaan dunia (laraning jagat) dan efek racun-racun kehinaan (papa-klesha)
tersebut. Sekalipun Ida Sanghyang Widhi Wasa bersifat wyapi-wyapaka, hadir di mana-mana
meresapi segala-galanya, namun secara khusus kehadiran kekuatan Beliau yang dapat kita alami
secara langsung (pratyaksa) tidak berada di setiap tempat. Ini disebut sannidhana, kehadiran
Dewata secara metafisik. Jika lingkungan kita tidak suci, ternoda atau letuh, maka sannidhana
Beliau tidak terwujud. Padahal lingkungan tempat tinggal kita haruslah senantiasa berkehadiran
Tuhan atau dipenuhi sannidhana-Nya jika ingin hidup bahagia. Kita tidak dapat mewujudkan
kebahagiaan yang hakiki tanpa menghubungkan diri terus menerus dengan sumber kebahagiaan
tertinggi, yaitu Ida Sanghyang Widhi Wasa beserta segala manifestasi-Nya. Dengan ngiring
Bhatara Susuhunan mengelilingi desa pada saat melasti, segala noda cacat rohani di lingkungan
kita ini dimusnahkan oleh kekuatan Beliau yang menyucikan. Beliaulah satu-satunya yang
memiliki kemampuan sempurna untuk menghilangkan letuhing bhuwana dan mewujudkan kondisi
suci yang diperlukan untuk mewujudkan kehadiran Beliau terus-menerus di dalam masyarakat.
Dalam melasti selanjutnya Bhatara Susuhunan diiring ke laut atau sumber-sumber air
lainnya sesuai dengan ajaran Sundarigama adalah untuk hangamet sarining amretha ring
telenging samudra, mengambil intisari kehidupan dari tengah samudra. “atka ring caitra-masa,
ring tilem kunang pasucyan watek dewata kabeh, menuju bulan mati/tilem pada bulan Caitra
merupakan hari para Dewata menyucikan, anring telenging samudra acamananira, di tengah-
tengah samudralah tempatnya, hameta sarining amreta kamandala, mengambil intisari air suci
kehidupan, yogya wwang kabeh nghaturaken puja-krethi, patutlah umat manusia semua turut
menghaturkan pemujaan-persembahyangan” Oleh karena itu kita mengiring Bhatara Susuhunan
ke pantai dan melaksanakan persembahyangan di sana. Pada saat itu, untuk menyucikan alam
semesta, para Dewata mengambil intisari amretha atau intisari kehidupan. Inilah yang kita
mohonkan supaya dapat memberkati umat manusia semuanya dan alam lingkungan kita. Pada
saat Bhatara Susuhunan kembali ke pura, Beliau telah mengambilkan intisari kekuatan yang
menghidupkan segalanya berupa tirta suci.
Sekembalinya dari pantai, maka dihaturkan pemendak/penyambutan bagi Bhatara
Susuhunan sebagai penghormatan, wujud rasa terimakasih, dan kegembiraan umat atas
anugerah Beliau. Dari sini pralingga Bhatara kembali dituntun dilinggihkan pada sthana-Nya untuk
selanjutnya nyejer sampai rangkaian upacara Nyepi berakhir pada Ngembak Geni. Selama nyejer
hendaknya dipahami bahwa saat itu Bhatara Susuhunan berada di antara kita sebagai “Tuan
Yang Terhormat”. Selayaknya kita tetap menghaturkan saji dan melaksanakan persembahyangan.
Apalagi bila bisa melaksanakan Catur Brata Penyepian sekaligus mekemit jagra (melekan) di
Pura, tentunya kita akan memperoleh vibrasi kehadiran Beliau dan anugerah Beliau. Bahkan tidak
menutup kemungkinan kita akan memperoleh pengalaman spiritual berhubungan dengan Bhatara
Susuhunan. Inilah sejatinya puasa/upavasa yang sesungguhnya secara harfiah berarti “tinggal
(vasa) dekat (upa) dengan Tuhan.”

Anda mungkin juga menyukai