Anda di halaman 1dari 128

1

Sejarah Singkat
Pura Puseh
Desa Pakraman Sema

Bab I

Pendahuluan

Om awighnam astu namā śidyam.

Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti


hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu
wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam
waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā
mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om
namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri Bhatarā
Hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā
pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha
premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri
sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun,
muncar anākna ikang tatwa, mogha tan katamanan
ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu
pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā
sāntanannirā, mamastu jagatitayā. sukham bhawantu
Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
2

Pengaksama atau permakluman kami kehadapan


Bhatara Hyang Mami yang bergelar Omkara
Hradaya Namah Swaha, Suhia Loka, Sida Loka
Suara Anugrahkanlah hamba atau ijinkan hamba
menceritakan segala masa lalu yang telah menyatu
dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah
semoga tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak
alpaka dari penciptaan Sang Hyang purwa Tatwa,
begitu juga dengan seketurunan hamba, bebaskanlah
hamba dari alpaka kehadapan Ida Hyang Widhi,
maka wigraha mala papa petaka, bisa terbebas dari
kutukan Sang Hyang Widhi, membicarakan masa
lalu, sekarang dan yang akan datang, juga
menemukan kebahagiaan sekala niskala / lahir
bathin, anugrahkanlah hamba agar sempurna
menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga
dan alam semesta.
3

Bab II

Sekte-sekte di Bali

Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di


Bali setelah abad IX meliputi Siwa Sidhanta,
Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya,
Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-
12). Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar
pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta. Ajaran
Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuana Kosa.
Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara
lain: Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat,
dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya.
Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa
Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran
Siwaisme. Siwa Sidhanta ini megutama kan
pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama
Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan
dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan
tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu
tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya
yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula
berkembang di India Tengah (Madya Pradesh), yang
kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh
Maharesi Agastya.
4

Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa.


Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam
cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata
dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat
turunnya atau berstananya Dewa Siwa. Jadi
penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa
merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan
sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya
pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada
pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam
jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan
konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin
sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.

*)Pura Samuantiga, Gianyar.

Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas


diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di
Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang
5

sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan


kemakmur an. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri
dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan
keperluan hidup yang utama.

Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan


dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete
mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan
dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui
di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr.
W.F. Stutterheim, mentra Budha aliran Mahayana
diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8
Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhi satwa
di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhi satwa
Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca
Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain. Sekte
Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah
luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte
Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta
tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama,
Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan
Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte
Brahmana.

Mengenai sekte Rsi di Bali, Dr. R. Goris


memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk
6

kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah


seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa
(golongan) Brahmana. Istilah Dewa Rsi atau Raja
Rsi pada orang Hindu merupakan orang suci di
antara raja-raja dari Wangsa Ksatria. Pemujaan
terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan
sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada.
Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Surya
Sewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan
matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora.
Pustaka Lontar yang membentangkan Surya Sewana
ini juga terdapat sekarang di Bali.

*)Goa Gajah, Gianyar

Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama


di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa
Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian
bahwa seseorang telah melakukan yajnya.
7

*)Mahesa Durgha Nandini

Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa


Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti
dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik
dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu
padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di
beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai
Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu
pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-
tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng
gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai,
8

dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak


patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang
terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan.
Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat
pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama
dengan patung-patung dewa lain.

*)Gunapriya Dharma Patni

Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi


Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap
Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa
pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini.
9

Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda)


juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa.

Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran


kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang
bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran
Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan
ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh
manusia juga bersumber dari sekte ini.

Pada tahun Saka 910 (988 Masehi), Bali diperintah


raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari
Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri
Makutawangsa Whardana). Pemerintahan Dharma
Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan
dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu
Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi
penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga
dikenal sebagai Senapati Kuturan.

Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum


pemerintahan suami istri Dharma Udayana atau
Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di
Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya
sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara
damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi
10

persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara


fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu
ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal
tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati
Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar
tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua
pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang
dilakukan di Bata Anyar (Samuan Tiga). Pertemuan
ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri
Sadaka dan Kahyangan Tiga.
11

Bab III

Perjalanan Suci Maha Rsi Makandya.

Dikisahkan pula Rsi Markandya bertapa di daerah


Demalung sekitar Gunung Dieng , dari sini beliau
menuju ke timur dan bertapa di Gunung Raung Jawa
Timur dengan di iringi 400 orang pengikut, lalu
beliau pergi ke Bali untuk menyelamatkan Pulau
Bali, beliu langsung menuju Gunung Agung.
Perjalanan Beliau ke Bali pertama menuju Gunung
Agung. Di sanalah maha Rsi dan murid-muridnya
membuka hutan untuk pertanian. Tapi sayang,
murid-muridnya kena penyakit, banyak di antaranya
meninggal.
12

Akhirnya Beliau kembali ke Pasramannya di Gunung


Raung. Di sanalah beryoga, ingin tahu apa sebabnya
hingga bencana menimpa para pengikutnya. Hingga
mendapat pawisik bahwa terjadinya bencana itu
adalah karena Beliau tidak melaksanakan upacara
keagamaan sebelum membuka hutan itu.

III.1. Pura Besakih.

*) Pura Besakih

Setelah mendapat pawisik, Maharsi Markandya pergi


kembali ke Gunung Tahlangkir (Tohlangkir) Bali.
Kali ini mengajak serta pengikut sebanyak 400
orang. Sebelum mengambil pekerjaan, terlebih
dahulu menyeleng- garakan upacara ritual, dengan
menanam Panca dhatu di lereng Gunung Agung itu.
13

Demikianlah akhirnya semua pengikutnya selamat.


Maka, itu wilayah ini lalu dinamai Besuki, kemudian
menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat
maharsi menanam Panca dhatu, lalu menjadi pura,
yang diberi nama Pura Besakih.

III.2. Desa Puakan.

Maharsi Markandeya mengajak pengikut orang Aga


guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru.
Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah
lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna
dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan
rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak
menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya
di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegallang,
Kabupaten Gianyar. Tentang pembagian tanah dan
kehadiran maha Rsi di Bali, dalam Markandya
Purana ada dijelaskan:

Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek


pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe
katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya
mwang watek Pandita prasama anangun bratha
samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah
wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang
14

Pandita aji anguncar aken wedha panulaks arwa


marana, tarmalupeng puja samadhi, Dewa yajna
mwang Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus puput
ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis
wadwan ira kapakon angrabas ikangwana
balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit
saking Daksina ka Utara.

Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana


balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan
hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya
anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas
wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah
mwang tegal karang paumahan.....,

Artinya:

Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para


Pandita Aji, bersama rakyatnya semua di tempat
yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya
dan para pandita semuanya melakukan bratha
samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta
weda memohon perkenan Ida Batara semua, Sang
pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap
semua jenis hama dengan tak melupakan puja
samadhi, menyelenggarakan upacara Dewayajnya
15

dan Bhutayajnya, serta memuja Pertiwi. Setelah


selesai melakukan pangaci-aci (melakukan
upacara), maka seluruh rakyatnya diperintahkan
merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-
kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.

Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses


perabasan hutan tak mendapat halangan. Karena
sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya
memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan
perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian
membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya
untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta
pekarangan rumah,.....

III.3.Desa Taro.

*)Pura Gunung Raung


16

Entah berapa lamanya Maharsi Markandya berada di


sana, lalu Beliau pergi menuju arah Barat dan sampai
di suatu daerah yang datar dan luas, di sanalah lagi
merabas hutan. Wilayah yang datar dan luas ini lalu
diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata
Puwakan ini lalu menjadi Swakan dan terakhir
menjadi subak. Di tempat ini Rsi Markandya
menanam jenis-jenis bahan pangan. Semuanya bisa
tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Oleh
karenanya tempat itu juga disebut Sarwada yang
artinya serba ada. Keadaan ini bisa terjadi karena
kehendak Sang Yogi. Kehendak bahasa Balinya
kahyun atau adnyana. Dari kata kahyun menjadi
kayu. Kayu bahasa Sansekertanya taru, kemungkinan
menjadi Taro. Taro adalah nama wilayah ini
kemudian. Di wilayah Taro ini Sang Yogi
mendirikan sebuah pura, sebagai kenangan terhadap
pasraman Beliau di Gunung Raung. Puranya sampai
sekarang disebut Gunung Raung.

III.4.Desa Ubud.

Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi


Markandeya kemudian bersemadi. Dalam semadinya
menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya
Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan
17

dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak


tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud
Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. di tempat
Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura
Pucak Payogan.

*)Pura Gunung Lebah.

*)Pura Gunung Lebah.


18

Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan,


tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandeya
mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini
dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan
penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat
panglukatan dasa mala.

*) Relief Prasasti Pura Pucak Payogan

Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandeya ada


ditegaskan:

Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara


pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan
ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga
Waisnawa....”
19

Artinya :

di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara


sebagai pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai
oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang
Bhujangga Waisnawa.

Berikutnya Rsi Markandya pergi ke Barat dari


Payogan itu, dan sampai di sana juga membangun
sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa dan
wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang
menjadi Payangan. Orang-orang Aga, murid Sang
Yogi, menetap di desa-desa yang dilalui. Mereka
bercampur dan membaur dengan orang-orang Bali
Asli. Mereka mengajarkan cara bercocok tanam yang
baik, menyelenggarakan yajna seperti yang diajarkan
oleh Rsi Markandya. Dengan demikian Agama
Hindu pun dapat diterima dengan baik oleh orang-
orang Bali Asli itu. Sebagai Rohaniawan (Pandita),
orang Aga dan Bali Mula, adalah keturunan
Maharesi Markandya sendiri yang disebut Warga
Bujangga Waisnawa.

Dalam zaman raja-raja berikutnya, Bujangga


Waisnawa ini selalu menjadi Purohita mendampingi
raja, ada yang berkedudukan sebagai Senapati
20

Kuturan, seperti Mpu Gawaksa dinobatkan menjadi


Senapati Kuturan oleh Sang Ratu Adnyanadewi
tahun 1016 Masehi, sebagai pengganti Mpu
Rajakerta (Mpu Kuturan). Ratu ini pula yang
memberikan kewenangan kepada Sang Guru
Bujangga Waisnawa untuk melakukan pacaruan
Walisumpah ke atas. Karena sang pendeta mampu
membersihkan segala noda di bumi ini. Lalu Mpu
Atuk yang masih keturunan Rsi Markandya, di masa
pemerintahan Sri Sakala Indukirana (1098 M),
dinobatkan sebagai Senapati Kuturan.

Pada masa pemerintahan Suradhipa (1115-1119 M),


yang dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari
keturunan Sang Rsi Markandya adalah Mpu Ceken,
kemudian diganti oleh Mpu Jagathita. Kemudian
ketika pemerintahan Raghajaya (1077 M), yang
diangkat sebagai Senapati Kuturan yakni Mpu
Andona Amenang, Demikianlah seterusnya. Ketika
pemerintahan raja-raja selanjutnya, selalu saja ada
seorang Purohita Raja atau Dalem yang diambil dari
keluarga keturunan Maharsi Markandya. Sampai
terakhir masa pemerintahan Dalem Batur Enggong di
Bali. Ketika itu yang menjadi Bagawanta Dalem,
mewakili sekte Waisnawa, adalah dari Bujangga
Waisnawa pula dari Griha Takmung. Namun sayang
21

dan mungkin sudah kehendak Dewata Agung, terjadi


kesalahan Sang Guru Bujangga, di mana Beliau
selaku Acarya (Guru) telah mengawini sisyanya
sendiri yakni Putri Dalem yaitu Dewa Ayu Laksmi.
Atas kesalahan ini sang Guru Bujangga Waisnawa
akan dihukum bunuh. Tapi Beliau segera
menghilang dan kemudian menetap di wilayah
Tabanan.Semenjak kejadian inilah Dalem tidak lagi
memakai Bhagawanta dari Bujangga Waisnawa
keturunan Sang Rsi Markandya.
22

Bab IV

Dinasti Raja Bali

IV.1.Bali Kuno.

Bali Kuna adalah Bali sebelum ditaklukkan


Majapahit (tahun 1343 Masehi). Penyebutan nama
Bali Kuna mula-mula oleh Dr. R. Goris, pada tahun
1948. Beliau adalah anthropologist berkebangsaan
Belanda yang menetap di Singaraja. Istilah itu
digunakan untuk membatasi wilayah penelitian
antara pra dan pasca pendudukan Majapahit yang
membawa pengaruh besar pada bidang: kehidupan
sosial, budaya, politik, dan perekonomian. Tidak ada
penjelasan tentang penggunaan kata Kuna dalam
batasan ini. Bali Kuna kemudian berubah menjadi
Bali Aga, yakni sebutan bagi penduduk Bali Kuna
yang mengungsi ke pegunungan (Aga = gunung)
karena terdesak oleh migrasi besar-besaran dari
Majapahit di Jawa Timur sekitar abad ke-14, pada
saat mana Agama Islam mulai berkembang di Jawa.
Sumber sastra yang menguatkan hal ini terdapat pada
Kidung Harsa Wijaya, Kidung Ranggalawe, Kidung
Sunda, Usana Jawa, Usana Bali, Babad Dalem, dan
Dwijendra Tattwa. Penelitian ilmiah tentang Bali
23

Kuna diadakan tahun 1885 oleh Dr. Van der Tuuk


dan Dr. Brandes berdasarkan prasasti-prasasti yang
ditemukan di Blantih, Sangsit, dan Klandis.
Selanjutnya prasasti yang ditemukan di Julah pada
tahun 1890 lebih memudahkan penelitian Brandes.
Perhatian Pemerintah Hindia Belanda pada sejarah
Bali Kuna makin mendalam, sehingga pada tahun
1926 terbitlah kumpulan dokumen penelitian yang
dinamakan Epigraphia Balica yang disusun oleh Dr.
Van Stein Callenfels. Dokumen-dokumen itu
kemudian terus disempurnakan dengan foto arca-
arca, dan Pura-Pura kuno serta tambahan temuan-
temuan dari Dr. Stutterheim.
Tahun 1930 terbitlah buku yang berjudul Oudheden
van Bali yang menguak tabir misteri Bali Kuna.
Penulis menduga kata ‘Kuna’ oleh Goris, mungkin
dipengaruhi kata ‘Oudheden’ dari buku itu. Beliau
menggali lebih dalam berdasarkan temuan Drs.
Soekmono (1973) , temuan Dr. R.P. Soejono (1961),
dan tulisan I Made Sutaba, masing-masing
mengungkap keberadaan orang-orang Bali sejak
zaman batu, zaman perundagian, sampai zaman
kehidupan agraris. Mereka termasuk rumpun
manusia Austronesia, yang belum beragama.
24

IV.2.Peradaban Hindu Budha.

Peradaban awal yang ditemukan pada stupa-stupa


dan batu bertulis di situs Pejeng dengan angka tahun
Isaka 700 (778 Masehi) dalam bahasa Sanskerta
adalah kutipan sebuah mantra Budha:

Ye Dharma Hetu Prabawahetun Tesan Tathagato


Hyawadattesanca Yo Nirodha Ewam Wadi
Mahasramanah

artinya:

Keadaan tentang sebab-sebab kejadian (terciptanya


dunia) sudah dijelaskan oleh Sang Budha yang maha
mulia.

Beliau sudah menerangkan pula apa yang seharusnya


dilakukan manusia (di dunia ini). Ini membuktikan
Bali Kuna lebih dahulu mengenal Agama Budha dari
pada Agama Hindu. Karena perbedaan waktu antara
kedatangan para Bhiksu dengan kedatangan para
misionaris Hindu (antara lain Maha Rsi Markandya)
tidak banyak, atau boleh dikatakan hampir
bersamaan maka terjadilah percampuran antara dua
agama itu.
25

Prasasti-prasasti yang bertarikh tahun 804 Isaka


(tahun 882 Masehi) sudah menyebutkan nama-nama
bulan kalender dengan solar system (Hindu) seperti
di India berturut-turut: Waisaka, Jyesta, Ashadha,
Srwana, Badrapada, Aswina, Kartika, Margasira,
Pausha, Magha, Phalguna, dan Chaitra.

Selain itu, prasasti batu padas yang ditemukan di


Blanjong (Sanur) telah bertuliskan tahun Saka
menurut sistem candra sangkala dari peradaban
Hindu: Khecara Wahni Murti. Cara membaca system
candra sangkala adalah dari belakang ke depan;
Murti = Siwa = 8; Wahni = cahaya = 3; Khecara =
bintang = 9. Jadi sistem candra sangkala itu
menunjukkan tahun kejadian yakni: Isaka 839 (917
Masehi). Sistem candra sangkala selain
menunjukkan tahun kejadian, juga berbentuk kalimat
yang dapat ditafsirkan sebagai pemberitaan, dalam
hal ini Khecara Wahni Murti, artinya: Bintang yang
terang bercahaya bagaikan Bhatara Siwa.

Oleh para ahli kalimat ini ditafsirkan sebagai pujian


kepada Raja: Kesari Warmadewa yang ketika itu
berkuasa dan beristana di Singhadwala, beragama
Budha dari sekte Mahayana. Percampuran budaya
Budha – Mahayana dengan Hindu sekte Siwa
26

Sidantha dan sekte Waisnawa telah terjadi di Bali


Kuno setidak-tidaknya sejak tahun 882 Masehi
seperti yang diuraikan di atas, jauh sebelum kejadian
yang sama di Jawa Timur. Percampuran Siwa-Budha
di Jawa Timur baru secara resmi diakui sejak tahun
1365 Masehi oleh Mpu Prapanca dalam tulisan
kekawinnya berjudul: Desawarnana, dan selanjutnya
Mpu Tantular menulis hal sama pada kekawinnya:
Arjuna Wiwaha (1367 Masehi) dan Sutasoma (1380
Masehi).

IV.3.Raja-raja Bali Kuno.

Pulau Bali tidak pernah dikuasai secara mutlak oleh


seorang Raja atau Penguasa saja. Di zaman Bali
Kuno, wilayah-wilayah tertentu dengan kelompok-
kelompok penghuninya dipimpin oleh tokoh
berbeda, tanpa hubungan darah satu dengan yang
lain. Sering terjadi peperangan diantara mereka
untuk merebut kekuasaan. Berikut ini adalah daftar
Raja-Raja atau Penguasa yang pada umumnya
mempunyai wilayah dan pengaruh luas. Ada
beberapa berasal dari dinasti yang sama, misalnya
dinasti Warmadewa.
27

Tahun Nama (Bhiseka) Raja-Raja/ Penguasa (Istana)


Masehi
912 - 942 Sri Ugrasena Singhamandawa
(Kintamani)
913 - 955 Sri Kesari Warmadewa Singhadwala
(Besakih)
955 - 967 Sri Hari Tabanendra Warmadewa & Sri Tabanan
Subadrika Warmadewa
967 - 968 Sri Candrabhayasingha Warmadewa Tampaksiring
968 - 983 Sri Janasadhu Warmadewa Bedahulu
983 - 988 Sri Wijaya Mahadewi Kadiri
983 – 1011 Sri Dharmodayana Warmadewa (Udayana) & Bedahulu
Sri Mahendradatta (Sri
Gunapriyadharmapatni)
1001 - 1015 Sri Ajnyadewi Kintamani
1011 - 1072 Sri Suradhipa Bedahulu
1072 - 1098 Anak Wungsu (Dharmawangsa Wardana Tampaksiring
Marakata Pangkaja Sthana Uttunggadewa)
1098 - 1133 Sakala Indukirana Isanagunadharma Laksmi Tampaksiring
Dharawijaya Uttunggadewi
1133 - 1173 Jayapangus Kintamani
1173 - 1198 Jayasakti Kintamani
1198 - 1284 Bhatara Sri Parameswara Sri Hyang -Ning Kintamani
Hyang Adidewa
1284 - 1324 Kebo Parud (Kerajaan Singasari-Jawa) Bedahulu
1324 - 1325 Sri Tarunajaya Bedahulu
1325 – 1328 Dharma Uttungga Warmadewa Bedahulu
1328 - 1337 Bhatara Sri Wala Jaya Kertaning Rat Bedahulu
1337 – 1343 Bhatara Sri Asta Asura Ratnabumibanten (Sri Bedahulu
Tapolung)
28

Bab V

Dinasti Raja Dari Majapahit.

*) Keraton Majapahit.

V.1.Dhalem Ketut Kresna Kepakisan.

Perang Pertama antara Majapahit melawan Kerajaan


Bali Kuno terjadi di tahun Saka 1265, tahun masehi
1343. Saat perang itu, Ki kebo Waruna, dan Ki
Gudug Basur gugur di medan perang. Setelah perang
besar itu hancurlah Kerajaan Bali Kuno, Sehingga
tidak ada penguasa yang memerintah di Bali.
29

Kemudian ada rapat para Arya keturunan dari Mpu


Dwijaksara di Bali berkeinginan menghadap ke
Majapahit memohon petunjuk Raja Majapahit, apa
yang harus mereka lakukan untuk mengisi
kekosongan pemerintahan di Bali saat itu. Para Arya
Bali yang berangkat menghadap Raja Majapahit
antara lain : Kyai Patih Wulung, Kyai Pemacekan,
Kyai Kepasekan, Kyai Padang Subadra.

Berkaitan dengan kedatangan para arya dari Bali itu,


kemudian dengan segera Prabhu Jayanegara,
mengirim utusan ke Kediri, Menghadap Ida Sri Mpu
Soma Kresna Kepakisan, memohon putra beliau
yang paling kecil, agar bersedia menjadi peminpin di
Bali. Ida Sri Aji Cili Ketut Soma Kresna Kepakisan
tiba di Bali, Tahun Saka 1274, tahun masehi 1352,
diangkat menjadi raja di Keraton Samprangan,
setelah upacara abiseka, Bergelar Sri Aji Dalem
Ketut Kresna Kepakisan. Pengikut beliau, antara
lain: Si Tan Kawur, Si Tan Mundur, Si Tan Kober,
diberikan tempat di desa Tianyar.

Dalam pemerintahan Sri Aji Dalem Ketut Kresna


Kepakisan, masih juga ada pemberontakan-
pemberontakan kecil di Bali, terutama yang
mendiami wilayah pegunungan, desa- desa di
30

gunung yang masih belum aman, antara lain: Desa


Culik, Desa Skul, Desa Bulakan, Desa Tista, Desa
Kunir, Desa Simanten,Desa Basangalas, Desa
Sarinten, Desa Tulamben, Desa Get, Desa
Lokasrana, Desa Batu Dawa, Desa Margatiga, Desa
Puan, Desa Juntal, Desa Crutcut, Desa Bantas, Desa
Kerta Bayem, Desa Watu Wayang, Desa Kedampal,
Desa Asti.

Setelah sekian lama pemerintahan Sri Aji Dalem


Ketut Kresna Kepakisan, Orang-orang gunung masih
juga melakukan pembangkangan secara gerilia. Hal
itulah yang mendorong Sri Aji Dalem Ketut Kresna
Kepakisan mengirim utusan ke ke Jawa, menghadap
kepada Sang Prabhu Jaya Negara, yang dipercaya
menjadi utusan saat itu, antara lain: Kyai Patih
Wulung, Kyai Pemacekan, Kyai Kepasekan, Kyai
Padang Subadra.

Setelah bertemu dan menghadap Raja Majapahit,


dianugrahi senjata utama oleh raja Majapahit, berupa
pusaka keris, Ki Lobar namanya, dengan pamor keris
Durgha Dungkul, pusaka tersebut pemberian dari
Rakriyan Gajah Mada kepada Sri Aji Dalem Ketut
Kresna Kepakisan, agar digunakan untuk
mengamankan wilayah Bali. Dalam perjalanan
31

pulang dari Majapahit, melewati desa Bubat,


kemudian Telaga Urung, Pejajaran, sampai di Desa
Langkung, baru kemudian menuju Puri Samprangan.
Mulai adanya keris Ki Lobar di puri Samprangan,
sedikit demi sedikit mulailah tenah wilayah
pegunungan Bali, tidak ada lagi orang gunung yang
melakukan tindak kejahatan.

Upaya lain yang dipakai untuk menentramkan jagat


Bali agar bisa lebih tentram, Sri Aji Dalem Ketut
Kresna Kepakisan mengadakan pertemuan para
Pasek yang berpengaruh di jagat Bali, pertemuan itu
dilaksanakan di Puri Samprangan, membicarakan
tentang keadaan jagat Bali yang belum tentram.
Yang ikut hadir dalam pertemuan itu, antara lain: Ki
Pasek Gelgel, Ki Pasek Tohjiwa, Ki Pasek Padang
Subadra, Ki Pasek Penataran, Ki Pasek Kepasekan,
Ki Pasek Bendesa, Ki Pasek Kubakal, Ki Pasek
Kedangkan, Ki Pasek Ngukuhin, Ki Pasek Kubayan,
Ki Pasek Gaduh. Selain membicarakan tentang
keamanan di Bali juga membahas tentang
parahyangan yang ada di seluruh Bali. utamanya
sekali membahas tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan Pura Besakih.
32

Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan, mempunyai


permaisuri dampati, puteri Mpu dari Ketepeng, yang
bernama Ni Diah Amretha Jiwa, mempunyai putra
laki perempuan sebanyak 4 orang, antara lain:

1. Sri Dewa Ile


2. Sri Dewa Tarukan
3. Istri, menikah ke Blambangan
4. Sri Dewa ketut Ngulesir.

Selain 4 putra diatas, ada juga putra yang lahir dari


selir, yang bernama I Dewa Tegal Besung.

V.2. Ida Shri Dhalem Ile

Setelah Sri Aji Dalem Ketut Kresna Kepakisan


meninggal. kemudian jagat Bali, serta Puri di
Samprangan dikuasai oleh putra beliau yang paling
besar, bernama Ida Sri Dalem Ile, tetapi beliau
sangat jarang sekali perduli dengan keadaan Puri
Samprangan, apalagi sampai mengadakan pertemuan
membahas tentang kerajaan Bali dengan para manca
dan punggawa Puri Samprangan, karena beliau
begitu terpikat dan mabuk oleh kecantikan istrinya,
yang bernama Ida Sri Dewi, yang berasal dari
Pusering Tasik Besakih.
33

Ida Dalem Tarukan mempunyai kegemaran yang


berbeda dengan kakaknya, beliau amat gemar
bekerja di ladang, taman, juga sawah, menanam
bemacam-macam bunga dan bebijian, dalam usia
perkawinan beliau yang lama, belum juga dikaruniai
putra, itu sebabnya beliau kemudian memutuskan
untuk mengangkat putra dari keluarganya yang ada
di Blambangan, putra dari Ida Dalem Dimade
Blambangan yang lahir dari selir, bernama Rakriyan
Kuda Panandang Kajar. Rakriyan Kuda Panandang
Kajar sangat senang bepergian, mengendarai kuda
hitam yang diberi namaKi Gagak, diberikan pakaian
dengan hiasan yang serba gemerlap.

V.3. Shri Dalem Ketut Semara Kepakisan.

Ida Dalem Ile sakit keras, mulai dari meninggalnya


putri beliau di peraduan saat sedang berkasihan
dengan putra Ida dalem Tarukan yang bernama
Rakriyan Kuda Panandang Kajar. Tidak berapa lama
kemudian beliau meninggal di puri Samprangan.
Saat itu tahun Saka 1302 atau tahun masehi 1380.
Setelah selesai upacara Pelebon, Ida Dalem Ketut
Ngulesir kemudian menggantikan beliau menjadi
raja, dengan gelar Sri Dalem Ketut Smara
Kepakisan, saat itu tahun Saka 1307, tahun Masehi
34

1385, berkedudukan di Keraton Gelgel, keraton


beliau bernama Puri Suweca Pura.

Berkisaran tahun Saka 1352, tahun Masehi 1430, Sri


Dalem Ketut Smara Kepakisan, menyelenggarakan
upacara yadnya, Pitra Yadnya, ngamaligya ida raja
dewata Sri Aji Beda Ulu. Setelah selesai upacara
tersebut, Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan, diiringi
oleh Kyai kebon Tubuh berlayar ke Jawa, akan
menghaturkan upeti ke Majapahit, berita itu tersiar
samapai ke Majapahit dan diketahui oleh Ida Sri
Hayam Wuruk, Raja di Bali merupakan keturunan
orang sangat utama, karena di bahunya bergambar
Durgha. Karena itulah kemudian Ida Sri Hayam
Wuruk menganugrahi Raja Bali keris pusaka utama
yang bernama Ki Taksaka.

Tidak diceritakan perjalanan Sri Dalem Ketut Smara


Kepakisan, yang pulang Majapahit, setelah sampai di
Arungan, desa di Jimbaran, Ki Taksaka tanpa sebab
keluar dari werangkanya, dan jatuh ke dasar laut.
Setelah mendapat nasehat dari Ida Dalem Majapahit,
kemudian Ki Taksaka yang sudah jatuh ke dasar laut,
kembali muncul dan masuk ke warangkanya, setelah
keris dan warangka itu berada di tangan Dalem Bali
dengan erat, diatas air laut, dimana tempat pusaka
35

tersebut muncul lagi, mulai saat itu keris pusaka


Majapahit itu diberi nama Ki Bengawan Canggu.

Sri Dalem Ketut Smara Kepakisan, kembali lagi


berlayar ke Jawa, Tepatnya di wilayah Madura,
karena ada undangan dari Ida Rakrian Mahapatih
Madu, karena beliau sedang menyelenggarakan
karya maligya leluhur beliau di Madura, sebagai
peminpin upacara Ida Sri Mpu Bujangga Kayu
Manis, dari negara Keling. Setelah selesai upacara
maligya, lalu menghadaplah Sri Dalem Ketut Smara
Kepakisan dihadapan Mpu Bujangga Kayu Manis,
mengundang Ida Bujangga agar bersedia berkunjung
ke kerajaan Bali, karena Ida Dalem Ketut
berkeinginan menyelenggarakan Upacara Yadnya
Mapudgala.

V.4. Ida Shri Dhalem Waturenggong Jaya


Kepakisan.

Pada Masa Pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir telah


dinobatkan putra beliau yaitu Dalem Waturenggong
sebagai Raja Muda tahun caka 1380 atau tahun 1458
M. Dengan wafatnya ayah beliau pada tahun 1460
maka Dalem Waturenggonglah yang menggantikan
kedudukan beliau sebagai Raja di Kerajaan Gelgel
dengan kekuasaan penuh terhadap Pulau Bali.
36

Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong


Kerajaan Bali mencapai masa keemasannya hal
tersebut tercapai berkat kebijaksanaan beliau dalam
mengatur pemerintahan dan penegakan hukum serta
perhatian beliau terhadap kesejahteraan rakyat.
Begitu juga orang orang Bali aga (asli) diberikan
kedudukan dalam pemerintahan dan diperlakukan
secara adil.

Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit yang


merupakan pemerintahan Pusat pada tahun 1478
maka Bali melepaskan diri dan menjadi wilayah
yang merdeka. Kerajaan Gelgel kemudian
memperluas wilayah kekuasaannya dengan
menundukkan kerajaan Blambangan pada tahun
1512 M dan menguasai Pulau Lombok tahun 1520
M. Dalem Waturenggong adalah raja yang sangat
ditakuti oleh raja Pasuruan dan Raja Mataram.
Pemerintah Dalem Waturenggong pada abad XVI
(sekitar tahun 1550 M) merupakan awal lepasnya
ikatan dan pengaruh Majapahit terhadap kerajaan
Bali seiring runtuhnya kerajaan Majapahit oleh
Kerajaan Islam.

Menteri Mentri pada Jaman pemerintahan ayahnya


yang sudah berusia lanjut digantikan oleh putra
putranya diantaranya Ki Gusti Batan Jeruk sebagai
patih Agung digantikan oleh oleh putranya yaitu
Rakyan petandakan juga Ki Gusti Abian Tubuh dan
Ki Gusti Pinatih telah menunjukkan rasa baktinya
37

menuruti jejak orang tuanya masing masing


kehadapan Dalem Waturenggong.

Dalem Waturenggong mewarisi keris pusaka Ki


Lobar , Si tandang langlang dan Si begawan Canggu
yang diberikan oleh Patih Gajahmada kepada Kakek
beliau Dalem Sri Kresna Kepakisan pada saat
pertama kali memegang pemerintahan di Pulau Bali
yang mana keberadaan senjata sakti tersebut sangat
ditakuti oleh musuh musuh beliau karena dapat
mencari sasarannya sendiri atas perintah si empunya.
Pasukan inti dari Kerajaan Gelgel adalah Dulang
Mangap dengan kekuatan inti sebanyak 1600 orang
dipimpin oleh patih Ularan yang merupakan warga
Bali Aga (Bali Asli) keturunan Ki Pasung Grigis
yang merupakan patih Kerajaan Bedulu sebelum
dikalahkan Majapahit.

Akibat jatuhnya Majapahit maka banyak para arya


dan Brahmana dari Majapahit yang datang ke Bali
diantaranya Dang Hyang Nirarta yang di Bali
terkenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rauh /
Dang Hyang Dwijendra dan di Lombok terkenal
dengan sebutan Sangupati dan di Pulau Sumbawa
beliau disebut dengan Tuan Semeru.

Kedatangan Dang Hyang Nirarta ke Bali disambut


oleh I Gusti Dauh Bale Agung. Beliau kemudian
diangkat sebagai Bagawanta Kerajaan Gelgel.
Peranan belaiu sebagai Bagawanta sangat besar
38

dalam bidang keagamaan, arsitektur dan kesusatraan


sehingga Kerajaan Gelgel pada abad ke 6 tersebut
mencapai puncak kejayaannya. Beliau selalu
memberikan petunjuk dan nasehat kepada Dalem
Waturenggong dalam menjalankan pemerintahan,
dan salah satu ajaran beliau yang diwarisi sampai
sekarang adalah konsep Tri Purusa (Siwa, Sada Siwa
dan Parama Siwa yaitu :

 Parama Siwa yaitu Sifat Tuhan sebagai


Brahma yang merupakan sumber dari segala
sumber di alam semesta
 Sada Siwa yaitu sifat Tuhan sebagai Asta
Iswara dan Cadu Sakti
 Siwa yaitu Sifat Tuhan sebagai jiwa alam
semesta.

Dalam wujud tempat persembahyangan dinamakan


Padmasana yang memadukan ajaran Tri Murti dari
Mpu Kuturan dan Konsep Tri Purusa dari Dang
Hyang Nirarta yang dipergunakan hingga saat ini.

Pada Masa Pemerintahan Dalem Waturenggong


wafatlah I Dewa Tegal Besung yang merupakan
Paman beliau atau anak dari Dalem Kresna
Kepakisan Raja Bali I setelah ekspedisi Majapahit
tahun 1343 M. Beliau meninggalkan 5 orang putra
yaitu :

1. I Dewa Anggungan
39

2. I Dewa Geding Artha


3. I Dewa Nusa
4. I Dewa Bangli
5. I Dewa Pagedangan

Putra putra beliau senantiasa mengabdikan diri


kepada Dalem Waturenggong karena masih
bersepupu dengan beliau dan oleh Dalem
Waturenggong ke lima saudara sepupunya masing
masing diberikan tempat tinggal dan sandang pangan
secukupnya.

V.5. Shri Dewa Pamayun.

Setelah putra mahkota Gelgel dewasa, kekuasaan


Gelgel dipegang oleh Ida Sri Dewa Pamayun,
dibantu oleh adiknya yang bernama Ida Sri Dewa
Anom Sagening. Setelah abhiseka bergelar Ida Sri
Dalem Pamayun.

*) Keraton
Smarapura.
40

Tetapi masa pemerintahan beliau, kerajaan tidak


mempunyai wibawa, karena Ida Sri Dalem Pamayun
sangat tergila-gila dengan istrinya yang cantik, yang
bernama Ki Gusti Ayu Samantiga, sehingga beliau
tidak mempunyai waktu untuk mengurus
kepemerintahan. Beliau amat suka bersenda gurau
sehingga wibawa beliau di mata bawahannya tidak
bagus.

Banyak kejadian-kejadian yang terjadi


memerosotkan wibawa puri, karena beliau kurang
tegas dalam mengambil sikap sebagai seorang raja.
Ada beberapa pemberontakan kecil di Gelgel, seperti
yang dilakukan oleh penguasa Kuta, I Gusti Ngurah
Telabah yang menyertakan I Capung sebagai
pembunuh. Hal itu berbuntut panjang, sampai
hancurnya semua keluarga I Gusti Ngurah Telabah.
Pemberontakan itu dipimpin oleh I Gusti Ngurah
Pande, bersama ketiga putra beliau, antara lain : I
Gusti Byasama, I Gusti Jelagog, I Gusti Palumpung.
Ida Sri Dalem Pamayun tidak mempunyai keturunan,
itulah sebabnya beliau lebih dikenal dengan nama Sri
Dalem Bekung. Setelah cukup lama beliau
memegang kekuasaan di Gelgel, beliau merasa tidak
sanggup mengatur pemerintahan, dengan berbesar
41

hati beliau kemudian meninggalkan Gelgel,


membangun puri di Desa Kapal.

V.6. Ida Shri Dhalem Sagening.

Tahun Saka 1502 atau tahun 1580 Masehi, Ida


Dalem Anom Sagening diangkat menjadi Raja
Gelgel, dengan gelar Ida Sri Dalem Anom Sagening
Dharma Kepakisan.Dalam pemerintahan beliau
Kerajaan Gelgel mulai bangkit kembali, kerajaan
menjadi sangat kuat. Tahun Saka 1545 atau tahun
1626 Masehi, kembali bala tentara Bali menyerang
Sasak yang ingin lepas dari kekuasaan Gelgel.
Penyerangan itu dipinpin oleh, Kriyan Tabanan dan
Kriyan Tabah. Tentara Sasak dipinpin oleh Ki Kebo
Mundar. Sasak dapat ditaklukan oleh Kyai Tabanan,
sementara Kriyan Tabah melarikan diri dari
peperangan. Karena hal tersebut Kriyan Tabah tidak
diakui lagi sebagai ksatriya oleh Raja Gelgel. Ki
Kebo Mundar yang menyerah masih diberikan
wewenang untuk mengatur Sasak, dibawah
kekuasaan Gelgel. Daerah Badung yang dulu
diperintah oleh Kriyan Tabah, dianugrahkan oleh
Dalem Bali kepada Kyai Ngurah Tegeh Kuri,
saudara dari Kyai Ngurah Tabanan. Kyai Tegeh Kuri
Kemudian membuat puri di Pemecutan.
42

V.7. Ida Shri Dewa Dimadya.

Ida Sri Dalem Sagening Dharma Kepakisan


meninggal karena usia yang sudah lanjut, digantikan
oleh putra beliau yang bernama Ida Sri Dewa
Dimadya, saat itu tahun Saka 1587, atau tahun 1665
Masehi, Ida Sri Dewa Dimadya menjadi raja Gelgel
dengan gelar Ida Dalem Dimadya Buda Kepakisan.
Di pemerintahan beliau kembali menurun wibawa
kerajaan Gelgel. Daerah taklukan di Sasak,
Sumbawa sering diganggu oleh prajurit dari
Makasar, Blambangan diganggu oleh prajurit dari
Pasuruhan. Kriyan Patih Agung Manginte juga sudah
berpulang karena usia lanjut, Digantikan oleh
putranya yang bernama Ki Gusti Agung Widia yang
lebih dikenal dengan nama Ki Gusti Agung Maruti.

Diceritakan wilayah Nusa tidak dalam situasi


tentram oleh perbuatan semena-mena Dalem
Bungkut, hal itu disampaikan kepada Dalem Bali
oleh Ki Bendesa Nusa Penida, seandainya Dalem
Bali bisa mengalahkan Sang Dalem Bungkut,
wilayah Nusa Penida akan dihaturkan kepada Dalem
Bali. Mendapat laporan seperti itu, maka diutuslah
bala tentara Bali yang dipinpin oleh Kyai ngurah
Jelantik Bongol, diberikan anugrah senjata pusaka,
43

bekas pemberian Patih gajah Mada di Majapahit,


yang bernama Ki Cacaran Bangbang.Tetapi keris
pusaka itu tidak mempan di tubuh Dalem Bungkut.
Baru kemudian dengan memakai keris pusaka
istrinya yang bernama Ki Gusti Ayu Kaler, Dalem
Bungkut bisa dibunuh. Konon keris pusaka itu
adalah anugerah dari Ida Bhatara Basuki di Besakih.
Setelah Kyai Ngurah Jelantik Bogol memperabukan
mayat Dalem Bungkut, dirampaslah semua isi puri
berupa mas, manik mani kam, dihaturkan kepada
Dalem Bali. Juga rakyat Nusa yang dikenal dengan
nama Manusia Kajim yang berjumlah 14.000 orang.
Atas jasanya tersebut, Kyai Ngurah Jelantik Bogol
dianugrahi keris pusaka Ki Mrecu Jiwa oleh Dalem
Bali.

Dalam kesempatan yang baik, Dalem Dimadya


berburu di tengah hutan, banyak sekali beliau
mendapat hewan buruan, karena kemalaman, beliau
beristirahat di kediaman Dukuh Suladri. Ida Dalem
kemudian mengambil putri ki Dukuh sulung.
Mempunyai kemudian seorang putri bernama Ida Ni
Dewi Ayu Mas. Karena sakit, putri beliau kemudian
dikirim ke Pedukuhan Suladri, setelah sembuh,
kemudian saling jatuh cinta dengan seorang pemuda
yang bernama Sang Bagus Anom Tirtha, sampai
44

kemudian Ni Dewi Ayu Mas hamil. Mendengar hal


tersebut Dalem Gelgel sangat murka, lalu mengirim
bala tentara untuk menangkap Sang Bagus Anom
Tirtha, saat akan dijatuhi hukuman, tiba-tiba
terdengar sabda dari langit, yang mengatakan bahwa
Sang Bagus Anom Tirtha adalah keturun an uttama,
putra kesayangan dari Bhatara di Batur. Sabda itu
membuat Dalem tidak jadi menghukum Sang Bagus
Anom Tirtha, bahkan kemudian diberikan anugrah
menjaga keamanan di Puri Swecapura dengan Gelar
I Dewa Pungakan Den Bancingah.

V.12. Pemberontakan Ki Gusti Agung Maruti.

Dikisahkan Ki Gusti Agung Maruti, beliau diangkat


menjadi patih agung di Gelgel, lama kelamaan ada
rencana Ki Gusti Agung Maruti memberon tak
terhadap Dalem Gelgel. Dengan tipu muslihatnya Ki
Gusti Agung Maruti menjadikan Sri Dalem Bali
sangat kesal dengan Ki Gusti Ngurah Gde. Karena
Dalem menginginkan keris pusaka Ki Mrecu Kunda
yang dulu sudah dianugrahkan oleh Dalem Bali.
Karena sangat sedih Ki Gusti Ngurah Gde, kemudian
mengirimkan utusan ke Buleleng menghadap kepada
kakeknya beliau yang bernama Ki Gusti Panji Sakti,
memberi tahu keinginanya untuk pergi dari Gelgel.
45

Di hari yang ditentukan Ki Gusti Ngurah Gde


mengadakan upacara di purinya di Desa Jelantik di
Gelgel, diundanglah kakek beliau di Buleleng agar
bisa hadir pada upacara besar di Pura Penawaran, di
gedong. Terhitung tiga hari sebelum upacara,
datanglah Ki Gusti Panji Sakti di Desa Jelantik di
Gelgel. Beliau diiringi oleh banyak sekali bala yuda,
lengkap dengan senjata keris, tumbak, panah dan
bedil. Berjalan paling depan Ki Gusti Panji Sakti
mengendarai seekor gajah putih, dipayungi tedung
agung, menuju Desa Tojan di Blahbatuh. Desa Tojan
Blahbatuh saat itu masih wilayah kekuasaan
Buleleng, sampai di wilayah Pegunung an Batur,
Desa Tiling Ambun, Sekar Mukti, Cintamani,
Trunyan, Songan dan Bayung.

Akibat terlalu banyak pitnah dan dusta di keraton,


banyak sekali Manca dan angelurah yang mengungsi
dari Gelgel, diantaranya : Kyai Tabanan, Kyai Kaba-
kaba, Kyai Kebon Tubuh, Kyai Pinatih, Kyai
Mambal, Kyai Tegeh Kori,sedangkan Kyai
Pungakan Den Bancingah kembali ke desa minaluah,
membawa keris sakti anugrah Ida Dalem Bali yang
bernama Ki Lobar. Karena suasana puri yang sepi, di
tahun Saka 1608, atau tahun 1686 Masehi Ki Gusti
Agung Maruti memberontak, menyerbu ke dalam
46

Keraton. Tetapi sebelumnya Dalem Dimadya sudah


diungsikan oleh I Dewa Pungakan, dibawa ke
Guliang, dikawal oleh para Mantra Kyai Brangsinga
dan Kyai Pungakan Den bancingah. Mulai saat itu
Keraton Swecapura dikuasai oleh Ki Gusti Agung
Maruti.

V.13. I Dewa Agung Pamayun.

Ida Sri Dalem Dimadia Buda Kepakisan meninggal


dunia di Guliang karena beliau sudah sangat tua, Ida
Dalem Dimadia mempunyai putra 2 orang laki-laki.
Yang sulung bernama I Dewa Agung Pamayun,
beribu Desak dari Desa Bakas. Adiknya bernama I
Dewa Agung Jambe, beribu patni dampati, putri Ki
Gusti Ngurah Jambe Tangkeban, penguasa dari
Badung. Setelah Ida Dalem Dimadia meninggal,
diangkatlah Ida Sri Dewa Pamayun sebagai raja.
Tetapi Ida Dalem hanya senang mempelajari sastra,
apabila ada manca atau mekel yang ingin
menghadap, lebih sering diterima oleh Ida Sri Agung
Jambe.

Dengan ijin dari kakaknya, berangkat lah Ida Sri


Agung Jambe ke Desa Sideman, membawa semua
alat-alat kebesaran kerajaan Gelgel menuju puri Ida
47

Angelurah Singarsa. Perjalan an kembali Ida Sri


Agung Jambe dari Sideman dikawal oleh Ki Gusti
Ngurah Agung Singarsa, Kyai Agung Dawuh, Kyai
Abian Tubuh, Kyai Dewa Pungakan. Juga bala yuda
lengkap dari Sideman dan Dawan menyerang
keraton Gelgel yang dikuasai oleh Kyai Ngurah
Agung Maruti. Ida Sri Agung Jambe juga mendapat
bantuan dari Buleleng, bala yuda Ki Gusti Panji
Sakti. Gelgel diserbu dari tiga penjuru. Dari utara
Bala yuda Buleleng, dipinpin oleh Ki Gusti Panji
sakti, Dari timur oleh bala yuda Sideman, dipinpin
oleh Ida Sri Agung Jambe, dari selatan diserbu oleh
bala yuda Badung dipinpin oleh Ki Gusti Ngurah
Jambe Pule. Ki Gusti Ngurah Jambe Pule bertarung
dengan Ki Gusti Agung Maruti, keduanya gugur
dalam perang tanding tersebut. Kyai Padang Kerta
bertarung dengan patih Ki Gusti Panji Sakti yang
bernama Kyai Tamblang, kalah Kyai Padang Kerta,
gugur dalam pertempuran. Setelah kedua pimpinan
pemberontak tewas, pimpinan yang lainnya, seperti :
Ki Gusti Agung Cau, Kyai Nidul, Kyai Kloping, dan
Ki Pasek Gelgel melarikan diri ke Jimbaran,
bersembunyi di rumah Ida Wayan Petung Gading.

Setelah perang usai, Keraton Gelgel sudah kembali


dapat dikuasai oleh Ida Sri Agung Jambe, beliau
48

kemudian menghaturkan puri Gelgel kepada


kakaknya, tetapi Ida Sri Dewa Pamayun tidak mau
kembali lagi ke Gelgel, beliau memilih membuat
puri di Bukit Tampaksiring dengan pengiring
sebanyak 200 orang.

V.14. Ida Shri Agung Jambe, Raja Smarapura I.

Ida Sri Agung Jambe juga tidak mempunyai


keinginan kembali ke Puri Gelgel, beliau kemudian
membangun keraton di Klungkung, dinamakan
Keraton Smara Pura, setelah Ida Sri Agung Jambe
diangkat menjadi raja, diberi gelar Sri Dewa Agung
Dalem Jambe, yang menjadi Patih Agung Kyai
Angelurah Singarsa.
49

Sekarang dikisahkan tentang Raja Mengwi yang


bernama Ki Gusti Agung Angelurah Agung, juga
dikenal dengan nama Ida Tjokorda Sakti
Blambangan, lama beliau tidak dapat menghadap ke
Puri Smara Pura Klungkung, untuk menjaga agar
beliau tidak dianggap bersekongkol dengan Ki Gusti
Agung Maruti yang memberontak di Gelgel, ada
rencana beliau menangkap Ki Gusti Agung Cau di
Jimbaran akan dihaturkan ke puri Smara Pura
Klungkung, sebagai bukti masih tunduknya Raja
Mengwi kepada Ida Dalem di Semara Pura
Klungkung. beliau mengutus bala yuda Mengwi agar
segera menangkap Ki Gusti Agung Cau di Jimbaran.

Tetapi rencana itu didengar oleh Ki Gusti Agung


Cau, cepat-cepat Ki Gusti Agung Cau mengungsi
dari Jimbaran, dengan bantuan dari I Bandega, Ki
Gusti Agung Cau menyebrang laut menuju Desa
Rangkan, tepatnya di rumah Ki Balian Batur yang
berada di Alas Teledu Nginyah. Ki Balian Batur
terkenal sebagai guru ilmu hitam atau leyak yang
mempunyai murid andalan sebanyak 34 orang, putra
dan putri sebanyak 6 orang, yang semuanya sangat
sakti dalam ilmu pengiwa. Anak-anak Ki Balian
Batur antara lain : Ni Luh Garo, ngangge pangiwa
Siwer Mas, Ni Luh Wati, ngangge pangiwa Pitik
50

Bengil, Ni Luh Kasub, ngangge pangiwa Puntang-


panting, Ni Luh Keber, ngangge pangiwa Gringsing
Wayang, I Made Lengka, Ni Luh Wayan
Sengkerong ngangge pangiwa Kakereb Kasa.

Ki Balian Batur mempunyai ilmu pengiwa sakti


bernama Kalung Sweta. Dari pitnah Ki Gusti Agung
Cau, membuat marah Ki Balian Batur terha dap Ida
Sang Angelurah Mengwi. Karena diberitakan Ida
Angelurah Mengwi yang bernama Ida Tjokorda
Sakti Blambangan akan memberon tak terhadap
Dalem Bali dengan jalan siasat. Karena baktinya Ki
Balian Batur terhadap Ida Dalem Semara Pura. Lalu
ada niat Ki Balian Batur membuat kerusuhan di
Mengwi dengan aji pengiwa teluh teranjana. Para
murid dan putra putrinya diperintahkan membuat
wabah penyakit di Mengwi.

Ida Tjokorda Sakti Blangbangan Penguasa


Angelurah Mengwi memerintah kan bala yuda yang
mempunyai kekuatan ilmu hitam agar melawan para
murid Ki balian Batur di Desa Rangkan. Ramai
sekali perang ilmu hitam terjadi, sehingga kalah para
murid Ki Balian Batur oleh bala yuda dari Mengwi.
Akan tetapi tatkala para putra Ki Balian Batur ikut
berperang, bala yuda Mengwi mulai terdesak. Ida
51

Tjokorda Sakti Blangbangan kemudian mengutus


Patih beliau yang bernama Ki Bandesa Gumiar agar
berperang melawan Ki Balian Batur, Ki Bandesa
Gumiar membawa sanjata pusaka Mengwi yang
diberi nama Ki Pupug Jaya yang sudah sangat
terkenal. Akan tetapi masih kalah Ki Bandesa
Gumiar tidak bisa membuat Ki Balian Batur
menyerah. Merasa diatas angin, tanpa sadar Ki
Balian Batur bersorak, mengatakan hanya peluru Ki
Sliksik dan bedil Ki Narantaka, Pusaka di Semara
Pura saja yang bisa mengalahkan Ki Balian Batur.

*) Pura Taman Ayun.

Kata-kata Ki Balian Batur didengar oleh Ida


Tjokorda Sakti Blangbangan, maka menghadaplah
Ida Tjokorda ke Puri Semara Pura Klungkung, untuk
52

meminjam bedil Ki Narantaka, dan peluru Ki Sliksik


untuk dipergunakan mengalahkan Ki Balian Batur
di Desa Rangkan. Ida Dalem Agung Jambe
kemudian mengutus putra beliau yang bernama Sri
Dewa Anom Wirya agar membawa pusaka Semara
Pura, Ki Sliksik dan Ki Narantaka ke Desa Rangkan.
Sri Dewa Anom Wirya juga diberikan jimat sakti
yang bernama Ki Sembah Jagat dan cincin sakti Ki
Sad Guna. Sri Dewa Anom Wirya bertarung dengan
Ki Balian Batur. Kalahlah Ki Balian Batur, gugur
ditembak oleh Sri Dewa Anom Wirya.

Mendengar kabar Ki Balian Batur sudah tewas, maka


menyerahlah Ki Gusti Agung Cau, menghadap
kepada Sri Dewa Agung Anom Wirya yang masih
berkemah di Desa Timbul. Karena mendengar sabda
langit dari Ida Bhatara di Uluwatu, Sri Dewa Agung
Anom Wirya mengampuni semua kesalahan Ki Gusti
Agung Cau. Dengan syarat Ki Gusti Agung Cau
bersedia bertanggung jawab terhadap Pura Masceti.

Agar terbukti bakti Ida Tjokorda Sakti Blangbangan


sang Angelurah Mengwi menhaturkan putri beliau
yang beribu dari Buleleng, juga wilayah Timbul
kepada Sri Dewa Agung Anom Wirya. Di Timbul
Sri Dewa Agung Anom Wirya kemudian
53

membangun puri, menguasai daerah ditimur Tukad


Ayung, dibaratnya Tukad Pakerisan, batas utara
sampai Pegunungan Batur, batas selatan, sampai
Segara Kidul. Selesai Keraton di Timbul, hampir
sama dengan keraton Semara Pura. Dikenal
kemudian puri Timbul sebagai Puri Sukawati.Setelah
cukup lama Sri Dewa Agung Anom Wirya menjadi
raja di Keraton Sukawati, Ida Idewa Agung Jambe
meninggal dunia, Ida Idewa Agung Jambe
mempunyai 3 orang putra laki-laki, antara lain : Ida
Sri Dewa Dimadia menjadi raja di Puri Semara Pura
Kelungkung, Ida Sri Dewa Agung Anom Wirya
menjadi raja di Puri Sukawati, Ida Sri Dewa Ketut
Agung menjadi raja di puri Agung Kepatian di
Gelgel.
54

Bab VI

Kerajaan Payangan

Berdirinya kerajaan Payangan bermula ketika Dalam


Dimade naik tahta di Kerajaan Gelgel mengantikan
ayah beliau yakni Dalem Sagening. Di dalam
lingkungan kerajaan mulailah terjadi intrik yang
mengarah kepada suatu kekeruhan politik. Intrik ini
tampak semakin menjurus ke arah perebutan
kekuasaan, ketika tindakan-tindakan Dalem Dimade
dinilai banyak menyimpang oleh para bawahannya
seperti penyerahan keris pusaka kepada I Dewa
Tangkeban. Pada akhirnya hal-hal tersebut di atas
telah menyebabkan munculnya rasa ketidakpuasan di
kalangan pejabat istana sehingga mengakibatkan
meletusnya pemberontakan di bawah pimpinan patih
kerajaan yakni I Gusti Agung Maruti.

Pemberontakan ini telah membawa keruntuhan


Kerajaan Gelgel yang pada saat itu berkuasa di
seluruh daratan Pulau Bali (Rai,1986: 4). Dalam
pemberontakan itu Dalem Dimade dapat
disingkirkan dan mengungsi sampai di Desa Guliang
bersama dua orang putranya yang bernama
Dewagung Pemayun dan Dewagung Jambe disertai
55

oleh pengikutnya yang setia (Nindhia, 2003: 4).


Terusirnya keluarga raja dari istana Gelgel yang
kemudian menghimpun kekuatan di Desa Guliang.
Dengan demikian, I Gusti Agung Maruti memegang
tampuk pemerintahan sampai adanya serangan balik
terhadap I Gusti Agung Maruti dengan pengikut-
pengikutnya.

Setelah para Arya di Bali yang diberi kepercayaan


oleh Dalem untuk memimpin daerah Den Bukit
(Buleleng), Karangasem, dan Badung mengetahui
mengenai pemberontakan I Gusti Agung Maruti dan
mengambil alih kekuasaan Kerajaan di Klungkung,
maka para Arya ini menyatakan sikap menentang
terhadap kekuasaan I Gusti Agung Maruti di
Klungkung dan masing-masing menyatakan berdiri
sendiri, sambil menyusun persiapan untuk
mengembalikan kekuasaan Dalem ke Kerajaan
Klungkung. Setelah para Arya ini menyatakan
berdiri sendiri kemudian selanjutnya membentuk
kerajaan sendiri.

VI.1. Dinasti Pacung Sakti

Setelah pemberontakan I Gusti Agung Maruti,


daerah Mengwi menyatakan diri sebagai kerajaan
56

dengan batas timurnya Sungai Ayung, selanjutnya


dari batas Sungai Ayung ke Timur masih tetap di
bawah kekuasaan Kerajaan Klungkung. Akan tetapi
dengan adanya pergolakan kekuasaan di pusat
kerajaan Bali maka daerah Payangan kurang
mendapat perhatian Klungkung. Sewaktu Kerajaan
Klungkung dalam situasi pergolakan dan tak
menentu itu, maka datanglah ekspedisi Arya Sentong
(turunan yang kelima) yang bernama I Gusti Ngurah
Pacung Gede, putra dari I Gusti Pacung Sakti di
Perean datang ke daerah Payangan. I Gusti Pacung
Sakti di daerah Perean mempunyai putra enam orang
yang bernama;

1. I Gusti Pacung Gede


2. I Gusti Ngurah Rai,
3. I Gusti Ngurah Bukian
4. I Gusti Ngurah Tauman,
5. I Gusti Gede Abiantubuh
6. I Gusti Nengah Abiantubuh.

Di Puri Perean pada waktu itu terjadi perang saudara


di antara I Gusti Pacung Sakti dengan saudaranya
yang bernama I Gusti Made Buleleng dari Sembung,
yang mengakibatkan terbunuhnya I Gusti Pacung
Sakti Perean.
57

Sejak meninggalnya I Gusti Pacung Sakti di Perean


maka timbulah keresahan dan rasa kawatir di dalam
hati putra-putra I Gusti Pacung Sakti. Kemudian
timbulah keinginan di antara mereka yang
meninggalkan Puri Perean. Diantara mereka yang
meninggalkan Puri Perean adalah: I Gusti Pacung
Gede dengan dua adiknya yaitu I Gusti Ngurah Rai
dan I Gusti Ngurah Bukian, dengan diiringi oleh
pengikutnya yang masih setia sejumlah kurang lebih
600 kepala keluarga menuju daerah timur Sungai
Ayung dan kemudian sampailah di daerah Payangan.

Sesampainya di daerah Payangan I Gusti Ngurah


Pacung Gede dan adiknya I Gusti Ngurah Rai
menetap di Payangan dengan para pengikutnya
sejumlah 400 kepala keluarga. Sedangkan adiknya
yang bernama I Gusti Ngurah Bukian terus
melanjutkan perjalanannya menuju ke arah timur laut
dengan para pengikutnya sebanyak 200 kepala
keluarga, sampai di sebelah barat Sungai Wos Ulu.
Di sana I Gusti Ngurah Bukian menetap di suatu
desa yang disebut Desa Bukian.

Kedatangan I Gusti Ngurah Pacung Gede ke


Payangan belum bisa membentuk suatu kerajaan.
Akan tetapi masih dalam taraf pembinaan dan
58

persiapan terbentuknya suatu kerajaan. Setelah lama


berada di Payangan I Gusti Pacung Gede berputra
tiga orang yaitu:

1. I Gusti Ngurah Pacung Oka


2. I Gusti Ngurah Rai
3. I Gusti Ngurah Taro bertempat tinggal di
Desa Taro dengan pengikutnya 200 kepala
keluarga.

Setelah I Gusti Ngurah Pacung Gede meninggal,


maka yang mengambil alih sebagai pucuk pimpinan
daerah Payangan waktu itu adalah putra tertua yaitu I
Gusti Pacung Oka dengan gelar I Gusti Ngurah
Pacung Gede Oka.

Dalam kepemimpinan I Gusti Ngurah Pacung Gede


Oka mulailah daerah Payangan diadakan
pembangunan-pembangunan dibidang pertanian
dalam wujud pembuatan sawah-sawah. Setelah I
Gusti Pacung Gede Oka mampu menyusun
pemerintahan dan pembangunan pertanian sebagai
modal pokok dalam pembinaan suatu wilayah maka
timbulah maksud untuk membentuk suatu kerajaan
dengan cara pengangkatan diri Mebiseka Ratu,
sehingga bebas dari kekuasaan raja-raja lain, dimana
59

waktu itu sebelah baratnya adalah kekuasaan


Kerajaan Mengwi dan sebelah timurnya adalah
masih kekuasaan Kerajaan Klungkung. Hal ini
mengundang iri raja Mengwi yaitu I Gusti Agung
Gede Blambangan sangat murka dan mengadukan
perihal tersebut kepada Dalem di Klungkung yang
waktu itu masih di bawah Ida Dewa Agung Gede di
Kerajaan Klungkung.

Dengan demikian mulailah pemerintahan I Gusti


Pacung Gede Oka terancam. Ancaman tersebut dari
barat akan berhadapan dengan pasukan Mengwi serta
dari timur akan berhadapan dengan kekuatan Dalem
dengan dibantu oleh laskar Nyalian. Sedangkan
Bangli dan Taro sendiri sejak semula memiliki rasa
kurang harmonis antara I Gusti Pacung Gede Oka
dengan I Gusti Ngurah Taro. Pada pertempuran yang
tidak seimbang itu, laskar I Gusti Pacung Gede Oka
Kalah, dan terus mengungsi ke Karangsari Bangli
dengan pengikut 400 kepala keluarga. Pejenengan I
Kasur Sari tertinggal di Payangan, hanya tombak
Alang-Alang Gagak saja yang tetap di bawa. Dari
Karangsari Bangli beliau terus pindah ke Samuan
dan menetap di Samuan untuk beberapa saat bersama
para pengikutnya.
60

Sewaktu I Gusti Pacung Gede Oka sampai di


Samuan, didengar oleh I Gusti Ngurah Bebalang dan
bersama dengan I Telugtug pergi menjemput ke
Samuan untuk memohon agar I Gusti Pacung Gede
Oka bersedia tinggal di Bebalang dan akan dibuatkan
tempat tinggal di sebelah timur Desa Bebalang dan
selanjutnya disebut dengan Puri Carang Sari.

Mulai saat itu daerah Payangan berada dalam


kekuasaan Dalem Klungkung dan menjadi wilayah
kerajaan berdiri sendiri dalam pemerintahannya
dipimpin oleh raja pertama Kerajaan Payangan
adalah Ida Dewa Agung Made Sukawati.

VI.2. Dinasti Kerajaan Payangan.

Adapun raja-raja yang pernah memerintah di


Kerajaan Payangan menurut silsilah Puri Agung
Payangan dan dokumen Pribadi yang dibuat oleh
Nindhia tahun 2003, secara berturut-turut adalah :

VI.2.1. Ida Tjokorda Made Sukawati (Bergelar


Ida Dewa Agung Made Sukawati)

Sekitar tahun 1776 mulailah pemerintahan Ida


Tjokorda Made Sukawati di Kerajaan Payangan
dengan gelar Ida Dewagung Made Sukawati. Dengan
61

demikian mulailah status Payangan dianggap


menjadi wilayah kerajaan yang berdiri sendiri di
bawah naungan Kerajaan Klungkung. Ida Tjokorda
Made Sukawati memerintah di Kerajaan Payangan
dengan didampingi oleh permaisurinya bernama
Tjokorda Istri Kompiang yang masih sepupunya dari
Puri Tampaksiring. Wilayah dan istana Payangan ini
merupakan persembahan dari I Gusti Ngurah Pacung
Gede Oka.

Ida Tjokorda Made Sukawati memiliki tiga orang


putra yaitu;

1. Tjokorda Gede Anom


2. Tjokorda Jambe
3. Tjokorda Tamu.

Tjokorda Gede Anom kelak akan menjadi raja


Kerajaan Payangan yang ke-2. Akan tetapi beliau
tidak memiliki putra sehingga Tjokorda Gede Anom
mengangkat seorang keponakannya yang bernama
Ida Tjokorda Putu Melinggih yang merupakan salah
satu dari enam putra dari adiknya yang kedua yaitu
Tjokorda Tamu. Sementara itu adiknya yang
bernama Tjokorda Jambe adalah satria yang sangat
sakti dan kebal.
62

Dengan kesaktian yang tiada tanding ini, ada seorang


raja dari pesisir Gianyar untuk menguji kesaktian
dan kekebalan dari Tjokorda Jambe. Akan tetapi raja
dari pesisir Gianyar itu kalah. Kemudian muncul
siasat dari raja pesisir Gianyar tersebut untuk
mengadu kesaktian Tjokorda Jambe dengan seorang
yang terkenal kesaktiannya yang berada di daerah
Badung (waktu itu Badung belum menjadi kerajaan).
Dengan segala tipu muslihat, diundanglah Ida
Tjokorda Jambe untuk datang ke daerah Badung
dengan alasan diundang mengobati seorang
kerabatnya yang sakit keras. Akan tetapi sampai di
sana beliau dihadang oleh pasukan bertombak, akan
tetapi pasukan bertombak tersebut tidak bisa
menyerang Tjokorda Jambe, malahan pasukan
tersebut menari-nari. Karena beliau mengetahui
dirinya mau dibunuh maka dengan jiwa ksatrianya
yang tinggi bersabdahlah beliau:

“Kalau kalian sangat menginginkan nyawa


saya, saya akan berikan pakailah sirih
pemberian saya ini untuk alat mencabut
nyawa saya, akan tetapi ingatlah, setelah
saya meninggal, kamu sekalian patut
membuatkan saya pelinggih di Pura Desa
63

Badung agar masyarakat mengenang


kematian saya”.

(Pelinggih tersebut kemudian disebut Pelinggih Ratu


Pemayun Payangan, yang terdapat di Pura Desa
Badung) (Dokumen Puri Agung Payangan, Babad
Pamayun Payangan).

Setelah itu sirih pemberian Tjokorda Jambe


dilemparkan ke badan beliau, maka wafatlah beliau
di Badung. Dan sampai kini oleh keturunannya Puri
Payangan beliau disebut Betara Mantuk Ring
Badung dan di Payangan sendiri dibuatkan pelinggih
di Pura Alas Angker. Sedangkan di Badung beliau
disebut Ratu Pamayun Payangan. Ida Tjokorda
Jambe tidak memiliki putra.

VI.2.2. Ida Tjokorda Made Anom (Bergelar Ida


Dewa Agung Anom)

Ida Tjokorda Made Sukawati pun berpulang dan


digantikan oleh putra pertamanya yaitu Ida Tjokorda
Made Anom sebagai raja di Kerajaan Payangan.
Beliau bergelar Ida Dewagung Anom. Akan tetapi
Ida Tjokorda Made Anom tidak memiliki putra maka
beliau mengangkat keponakan, yaitu Ida Tjokorda
64

Putu Melinggih yang merupakan putra dari Tjokorda


Tamu.

Dipilihnya putra Tjokorda Tamu ini dikarenakan


Tjokorda Jambe yang merupakan adik pertama dari
Ida Tjokorda Anom sudah meninggal. Untuk
menjalin kesetiaan dan keharmonisan suasana di
Kerajaan Payangan, maka setelah dewasa putra-putra
dari Tjokorda Tamu di tempatkan di daerah-daerah
untuk memegang suatu jabatan. Daerah-daerah
penempatan dari keenam putra Tjokorda Tamu yaitu:

1. Tjokorda Putu Melinggih tetap berada di


istana Puri Payangan dan diangkat sebagai
putra mahkota oleh Ida Tjokorda Anom,
2. Tjokorda Made Kaler ditempatkan di
Pengiyahan Desa Puhu Payangan. Beliau
memiliki tiga putra yaitu:
 Anak Agung Sameruta
 Anak Agung Gde Pengiyahan
pindah ke Desa Kedewatan
 Anak Agung Anom Gunung pergi
ke Klungkung sebagai utusan
dalam pembuatan senjata.
 Tjokorda Gde Rai masih tetap di
istana Puri Payangan untuk
65

membantu dan melindungi


kakaknya Tjokorda Putu
Melinggih
 Tjokorda Anom Karang
ditempatkan di Puri Kelod
Payangan, beliau memiliki tiga
putra yaitu:
o Anak Agung Gde
Ancak
o Anak Agung Made
Karang
o Anak Agung Pinatih
yang pindah ke
Pesanggingan
Kedewatan sebagai
pemucuk untuk
memperkuat benteng
selatan Kerajaan
Payangan.
 Tjokorda Raka Lencong di
tempatkan di Puri Kelod
Kauh. Dimana beliau memiliki
empat orang putra yaitu:
o Anak Agung Gde
Kocong
66

o Anak Agung Gde


Gewar
o Anak Agung Gde
Keramas
o Anak Agung Gde
Dalang yang pindah ke
Desa Selat, Payangan.
 Tjokorda Geria ditempatkan di
Puri Kawan dan memiliki
enam orang putra yaitu:
o Anak Agung Gde
Begawan
o Anak Agung Gde
Sampalan
o Anak Agung Ngelurah
o Anak Agung Rai Suma
o Anak Agung Anom
o Anak Agung Meranggi
pindah ke Singeperang
(Nindhia, 2003: 31-
33).

Pada masa pemerintahan Ida Tjokorda Gde Anom


tidaklah banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang
menonjol. Setelah beliau wafat, maka beliau
67

digantikan oleh putra mahkotanya yaitu Ida Tjokorda


Putu Melinggih.

VI.2.3. Ida Tjokorda Putu Melinggih (Bergelar


Ida Dewa Agung Rangki)

Setelah meninggalnya raja Payangan ke-2 yaitu Ida


Tjokorda Gede Anom, maka beliau digantikan oleh
putra angkatnya yang bernama Ida Tjokorda Putu
Melinggih sebagai Raja Kerajaan Payangan Ke-3.
Ida Tjokorda Putu Melinggih bergelar Ida Dewagung
Rangki. Beliau memiliki tiga orang istri, antara lain:

 Tjokorda Istri Pejeng yang berasal dari


keturunan Tampaksiring yang pindah ke
Pejeng.
 Ida Tjokorda Istri Petulu yang merupakan
turunan leluhurnya dari turunan Ida
Dewagung Jambe
 Sang Ayu yang masih ada hubungan darah
dengan Sang Made Jematang.

Istri pertama dan kedua dari Tjokorda Putu


Melinggih berstatus Perami (kawin pepadan).
Setelah lama menikah, Ida Tjokorda Putu Melinggih
belum juga dikaruniai seorang putra mahkota.
68

Maka dengan demikian beliau berkehendak untuk


memohon kepada Sang Hyang Widhi dan para
leluhurnya agar dikaruniai putra mahkota. Kemudian
beliau melakukan semedi. Setelah lama bersemedi,
maka istri ketiga beliau pun hamil. Putra Ida
Tjokorda Putu Melinggih pun lahir dan diberi nama
Tjokorda Oka. Akan tetapi untuk menjadi putra
mahkota harus didarmaputra oleh salah satu
permaisurinya dan yang berhak untuk mendarma
putrakan adalah permaisuri yang lebih tua yaitu Ida
Tjokorda Istri Pejeng.

Sementara itu, Ida Tjokorda Istri Petulu pun


mendarmaputrakan anak dari iparnya yaitu istri dari
Tjokorda Gde Rai yang bernama Anak Agung Istri
Anom. Anak itu bernama Tjokorda Rai yang
kemudian langsung diasuh oleh Tjokorda Istri Petulu
sampai dewasa.

Kedua putra dari Ida Tjokorda Putu Melinggih ini


terkenal akan keberanian, ketangguhan dan
kepintaranya yang sama. Akan tetapi putra yang
lebih tua agak keras hati sedangkan adiknya lemah
lembut, sehingga masyarakat Payangan waktu itu
mengibaratkannya sebagai Baladewa dan Kresna. Ida
Tjokorda Putu Melinggih pun meninggal di Puri
69

Payangan tepatnya di Puri Rangki, maka itu beliau


dikenal dengan sebutan Betara Mantuk ring Rangki.
Setelah itu beliaupun digantikan oleh putra
mahkotanya.

VI.2.4. Ida Tjokorda Gede Oka (Bergelar Ida


Dewa Agung Gede Agung Gde Oka)

Selanjutnya Ida Tjokorda Gde Oka sebagai putra


mahkota naik tahta sebagai Raja Payangan ke-4
dengan gelar Ida Dewagung Gede Agung Gde Oka.
Sementara adiknya Ida Tjokorda Rai sebagai Prabu
Anom dengan gelar Ida Dewagung Rai. Ida
Tjokorda Gede Oka memiliki tiga istri yaitu:

 Ida Dewa Ayu Den Bencingah yang


merupakan adik dari raja Bangli. Dalam
perkawinannya ini, beliau dikaruniai dua
orang putra dan putri yaitu:
o Ida Dewagung Mayun
o Ida Dewagung Istri Muter. Kedua
putra dan putri beliau ini terkenal
akan ketampanan dan kecantikannya,
 Jero Tanjung dari Banjar Badung dan
melahirkan dua putra bernama
o Tjokorda Rai Tanjung
70

o Tjokorda Oka Tanjung


 Jero Gadung yang berasal dari keturunan
Pasek Susut di daerah Susut Payangan.
Dalam perkawinannya melahirkan seorang
putra yang diberi nama Tjokorda Made
Gadung.

Dalam pemerintahan Ida Tjokorda Gede Oka,


Kerajaan Payangan diatur menjadi dua kemancaan
yaitu:

A. Manca Puri Kelodan. Pada manca Puri


Kelodan ini diangkat Anak Agung Gde
Ancak dengan sebutan Tjokorda Gde Ancak
dan diberi kepercayaan mengurus daerah
Payangan sebelah Selatan Puri Payangan
sampai batas selatan Desa Kedewatan dan
Sanggingan
B. Manca Puri kawan dianggap paman beliau
Tjokorda Geria sebagai manca untuk
mengurus daerah Payangan dari sebelah utara
puri sampai batas utara Alas Angker.

Pada waktu pemerintahan Ida Tjokorda Gede Oka,


Kerajaan Payangan mengikuti perjanjian Sapta
Negara yang mengakui raja Klungkung sebagai
71

maharajanya. Dalam perjanjian ini diikuti oleh tujuh


kerajaan seperti: Kerajaan Klungkung, Kerajaan
Karangasem, Kerajaan Buleleng, Kerajaan Gianyar,
Kerajaan Payangan, Kerajaan Mengwi, dan Kerajaan
Bangli. Kemudian dibentuk lagi perjanjian Asta
Negara, karena Badung di bawah pimpinan I Gusti
Ngurah Pemecutan dan I Gusti Ngurah Kesiman
bergabung lagi menjadi satu kerajaan di bawah
naungan kekuasaan maharaja Klungkung (Nindhia,
2003:41).

Pada masa pemerintahan raja Ida Tjokorda Gede


Oka, Kerajaan Payangan mencapai puncak kejayaan,
dimana wilayah Tampaksiring yang waktu itu sukar
dipersatukan dan selalu saja terdapat pertikaian dan
percekcokan antara warganya bisa dipersatukan oleh
Ida Tjokorda Gede Oka dan menjadi bagian wilayah
Kerajaan Payangan.

Ini disebabkan karena pemerintahan I Gusti Kebon


di Tampaksiring tidak mendapat kepercayaan dari
rakyatnya. Mereka menganggap hanya keturunan
Dalem Pamayun saja yang dapat memimpin di
Tampaksiring sehingga I Gusti kebon menghadap ke
Puri Agung Payangan agar diizinkan seorang putra
Dalem untuk memimpin rakyat Tampaksiring. Maka
72

Raja Payangan menunjuk putranya yang bernama


Tjokorda Rai Tanjung ke Tampaksiring untuk
menjadi pemimpin di sana.

Dengan demikian bertambah luaslah wilayah


Kerajaan Payangan. Ida Tjokorda Gede Oka juga
terkenal akan kesaktian dan keteguhannya karena
pernah membantu Kerajaan Bangli melawan
Kerajaan Buleleng.

VI.2.5. Payangan Diserang Buleleng.

Dalam masa kejayaan Kerajaan Payangan tersebut,


putri tunggalnya yang bernama Ida Dewagung Istri
Muter telah mencapai usia dewasa. Di sebelah
selatan Payangan ada suatu daerah di bawah
pimpinan keturunan Dalem juga. Walaupun waktu
itu belum berstatus kerajaan, namun Raja Payangan
berkeinginan menjodohkan putrinya dengan seorang
di antara keturunan raja bernama Tjokorda Ratu. Ini
bertujuan untuk memperkuat kedudukan Kerajaan
Payangan dan terangkatlah keluarga beliau nanti
untuk memimpin negara itu menjadi suatu kerajaan
yang jaya di bawah Maharaja Klungkung, dengan
demikian sangat sulit nantinya untuk dikalahkan oleh
musuh (Nindhia, 2003: 43).
73

Maka dengan itu, dipertunangkanlah putri Raja


Payangan bernama Dewa Agung Istri Muter yang
terkenal akan cantiknya dengan Tjokorda Ratu dari
daerah Sukawati. Dari pertunangan inilah
menyebabkan kehancuran Kerajaan Payangan.
Tampaknya keinginan Raja Payangan untuk
mengawinkan putrinya dengan putra dari daerah
Sukawati mempunyai latar belakang politik berupa
perluasan wilayah. Dimana Raja Payangan
berkeinginan untuk melindungi Kerajaan Payangan
dari arah selatan dan menambah kekuatan apabila
terjadi serangan terhadap Payangan namun masih di
bawah maharaja Klungkung. Politik perkawinan ini
berhasil, ini terlihat adanya kesepakatan antara
keluarga Kerajaan Payangan dengan Sukawati.
Kedua Kerajaan pun menunggu hari baik untuk
pernikahan putra dan putrinya.

Pada saat-saat menjelang perkawinan inilah tersebar


fitnah sehingga sampai kepada Kerajaan Klungkung,
yang mengabarkan bahwa raja Payangan telah
mengadakan ikatan persatuan dengan daerah
Kerajaan Sukawati untuk berontak terhadap Kerajaan
Klungkung dengan cara perkawinan. Mula-mula
berita-berita angin itu tidak diterima oleh Raja
Klungkung, tetapi karena pembawa fitnah tersebut
74

sangat pandai, dengan mengusulkan agar baginda


Raja Klungkung mencoba meminang putri Raja
Payangan yang terkenal akan kencantikannya yang
bernama Ida Dewa Agung Istri Muter. Kalau
memang benar diberikan pinangan tersebut, berarti
Raja Payangan masih setia dan sebaliknya bila tidak
disetujui maka itu berarti Kerajaan Payangan tidak
setia lagi kepada Kerajaan Klungkung.

Karena termakan fitnah dan ingin membuktikan


kabar burung itu, kemudian Kerajaan Klungkung
segera mengirim utusan ke Payangan untuk
meminang putri Raja Payangan yaitu Tjokorda Istri
Muter. Akan tetapi pinangan dari Raja Klungkung
ini ditolak oleh Raja Payangan.

Penolakan pinangan Raja Klungkung ini dianggap


sebagai penghinaan terhadap Raja Klungkung,
dimana pada saat itu kedudukan raja Klungkung
sejak tahun 1824 dianggap sebagai maharaja dan
sesuhunan raja-raja Bali. Akibatnya terjadilah perang
yang munuju kehancuran Kerajaan Payangan. Untuk
menyerang Kerajaan Payangan, Raja Klungkung
meminta bantuan Kerajaan Buleleng, karena
Kerajaan Buleleng yang dianggap paling setia
terhadap Klungkung.
75

Kemudian pada tahun 1840 Laskar Buleleng terlihat


pertama kali di Desa Kerta yang terletak di wilayah
paling utara dari Payangan dan bermaksud untuk
menyerang Payangan atas suruhan Kerajaan
Klungkung. Perbekel Desa Kerta yang mengetahui
kejadian itu langsung melaporkan kepada Raja
Payangan. Raja kemudian langsung memerintahkan
patihnya yang setia yakni Sang Made Jematang
untuk segera menyiapkan Laskar Payangan di
benteng Giri Kesuma (Rai, 1986: 54).

Tampaknya perdamaian sudah tidak mungkin lagi


akan didapat karena Laskar Buleleng memang telah
ditugaskan untuk merampas putri Raja Payangan dan
menghancurkan Kerajaan Payangan. Serangan ini
hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat
karena laskar Payangan lebih kecil sehingga tidak
mampu bertahan lama.

Patih Sang Made Jematang beserta Laskar Payangan


gugur di benteng Giri Kusuma. Sementara raja yaitu
Ida Tjokorda Gede Oka yang mengetahui kematian
patih dan laskarnya maju beserta segenap keluarga
untuk melakukan puputan. Dalam hal ini seluruh
keluarga kerajaan terbunuh kecuali Prabu Anom
Dewagung Gde Rai yang merupakan adik Raja
76

Payangan yang jatuh kepayahan di timbun mayat


para laskar yang telah gugur. Setelah berhasil
menggalahkan Payangan, laskar Buleleng ditarik
kembali. Mereka tidak menduduki Payangan karena
laskar Buleleng hanya disuruh untuk merebut putri
raja saja.

Selang beberapa waktu saja datanglah pasukan


bantuan dari Kerajaan Bangli dalam jumlah yang
sangat besar, dari arah timur laut, dipinpin oleh para
Brahmana dari Apuan Bangli akan tetapi sayang
sekali pasukan Bangli terlambat dan melihat
Payangan sudah menjadi abu. adik serta keponakan
Raja Bangli yaitu Ida Dewa Ayu Den Bencingah
serta putra-putrinya yaitu Ida Dewagung Mayun dan
Ida Dewagung Istri Muter sudah meninggal, hal itu
yang membuat hancur perasaan raja Bangli pada
waktu itu.

Di lain pihak benteng selatan dari kerajaan Payangan


juga terlambat memberikan bantuan laskar kepada
raja yang sudah terjepit. Sementara itu Laskar
Mengwi di bawah pimpinan Perbekel Munggu yang
siap memberikan bantuan kepada Payangan menjadi
ragu-ragu untuk menghadang Buleleng. Keragu-
raguan ini dikarenakan Laskar Mengwi melihat
77

laskar bantuan Payangan yang datang dari arah


selatan justru bertempur tidak dengan sungguh-
sungguh untuk membela rajanya.

Laskar Mengwi kemudian diperintahkan untuk


kembali ke Mengwi. Pada saat kembali tersebut
Laskar Mengwi berhasil menemukan Prabu Anom
Dewagung Gde Rai, yaitu salah satu keluarga raja
yang kepayahan dan tertimbun mayat yang kemudian
dilarikan serta disembunyikan di Mengwi.
Dewagung Gde Rai bersembunyi di rumah Perbekel
Desa Munggu. Setelah mendekati setahun di dalam
persembunyian di rumah Perbekel Desa Munggu,
diketahuilah berita oleh Raja Mengwi bahwa beliau
Dewagung Gde Rai yang merupakan adik dari Raja
Payangan masih hidup dan berada di daerah
Mengwi. Segera Raja Mengwi menyebarkan hal
tersebut kehadapan Maharaja di Klungkung agar Ida
Dewagung Gde Rai ini diperkenankan kembali ke
Payangan.

Mendengar berita dari Raja Mengwi tentang masih


ada salah satu anggota keluarga Kerajaan Payangan
yang masih hidup, maka Raja Klungkung merasa
gembira dan mengutus utusan untuk menyelidiki
apakah berita itu benar. Sebenarnya Raja Klungkung
78

hanya ingin memperingatkan Payangan agar tidak


mendurhaka kepada Klungkung sehingga beliau
merasa malu dan geram. Beliau beranggapan bahwa
I Gusti Jelantik beserta laskar Bulelenglah yang
menghabisi nyawa saudara-saudaranya dan
keponakan - keponakannya di Puri Payangan.

Setelah memastikan bahwa berita tentang masih


hidupnya salah satu anggota keluarga Kerajaan
Payangan yaitu Ida Dewagung Gde Rai benar, maka
Raja Klungkung mengizinkan untuk kembalinya Ida
Dewagung Gde Rai ke Kerajaan Payangan. Mulai
saat itu kerajaan Payangan diperintah oleh Ida
Dewagung Gde Rai, satu-satunya anggota kerajaan
yang masih selamat dalam perang puputan melawan
laskar Den Bukit.

Sekembalinya laskar Bangli dari Payangan, dalam


usaha pemulihan wilayah Payangan, oleh beberapa
petinggi dan bangsawan Payangan memohon Para
Brahmana dan pengikutnya untuk sudi tinggal di
wilayah kerajaan Payangan. Maka dari ketiga
brahmana Apwan Bangli dipilihlah Ida Made
Gunung untuk tinggal menetap di Payangan,
diberikan tempat giriya ditimur jalan, disebelah
selatan pasar, dengan nama Giriya Gunung.
79

VI.2.6. Ida Tjokorda Gde Rai (Bergelar Ida Dewa


Agung Gde Rai)

Sekitar tahun 1842 setelah tekad bulat dan keyakinan


penuh dari Ida Tjokorda Gde Rai, maka mulai beliau
menginjakan kaki di Banjar Susut. Di Banjar Susut
beliau disambut gembira oleh rakyatnya. Pada saat
pertama kalinya Tjokorda Gde Rai kontak dengan
rakyatnya, beliau juga sempat pula kontak pertama
dengan salah seorang putri dua bersaudara dari
keluarga Jero Pasek Susut. Sementara itu pengiring
beliau yang setia mengiringi Tjokorda Gde Rai dari
daerah Mengwi yang bernama Pasek Bendesa
Rangkan bertempet tinggal di Banjar Susut.

Untuk lebih menenangkan perasaan Tjokorda Gde


Rai dalam memegang pemerintahan menjadi raja di
Payangan, Raja Mengwi kemudian mengirim
beberapa laskar Bata-batunya yang berasal dari
Munggu untuk mengawal dan melindungi Tjokorda
Gde Rai dari mara bahaya yang mengancam, karena
Raja Mengwi merasa keberadaan Tjokorda Gde Rai
di Payangan masih diancam bahaya. Dengan
banyaknya penghianat di daerah Payangan yang
tidak setia dengan Raja, walaupun tidak berani
menyatakan diri dengan terang-terangan.
80

Setelah diangkat menjadi raja, Ida Dewagung Gde


Rai kemudian mencari pendamping agar bisa
mendampinginya dan melahirkan penerus
keturunannya. Maka beliau teringat akan dua wanita
bersaudara yang dilihatnya di Banjar Susut. Karena
wanita yang lebih tua sudah menghilang di sekitar
Pura Penataran Air Jeruk, wanita ini moksa sebagai
sesapuh di sana, maka Ida Dewagung Gde Rai
memilih adiknya untuk dijadikan istri. Tugas
pertama yang dilakukan oleh Ida Dewagung Gde Rai
sebagai Raja Kerajaan Payangan adalah membuat
upacara terhadap leluhur-leluhurnya dan arwah sanak
saudaranya dan rakyatnya yang gugur dalam perang
puputan sebagai kusuma bangsa, kemudian membuat
kenang-kenangan untuk patih Sang Made Jumatang
dengan membangun pelinggih berupa pura yang
disebut Pura Penataran Beteng untuk keturunan-
keturunannya.

Pada tahun 1843, lahirlah putra pertama Ida


Dewagung Gde Rai yang kemudian diberi nama
Tjokorda Gede Oka dan beberapa tahun kemudian
lahir juga putra keduanya yang benama Tjokorda
Made Oka. Dengan kembalinya Ida Dewagung Gde
Rai maka beliau kemudian dinobatkan menjadi raja
kerajaan Payangan.
81

Gerakan para penghianat di Payangan tidak berhenti


sampai disana, dalam sebuah kesempatan, kembali
dikirim berita palsu ke Klungkung yang menyiarkan,
kerajaan Payangan sedang menyusun kekuatan
dengan kerajaan Bangli untuk mengadakan suatu
gerakan balas dendam kepada Raja Klungkung. Raja
Klungkung tidak percaya dengan kabar burung itu,
beliau kemudian mengirim utusan ke puri Payangan
yang memerintahkan agar raja Payangan menghadap
ke Klungkung. Agar membicarakan berita burung itu
denganh jernih, agar tidak terjadi kesalah pengertian.

Mendapatkan perintah penghadapan itu, akhirnya


raja Payangan memutuskan untuk menghadap ke
Puri Klungkung. Untuk tidak mengundang
kecurigaan beliau berangkat menuju Klungkung
hanya dengan beberapa abdi dalem saja, juga
pengusung tandu. Perjalanan penghadapan itu
melewati wilayah Bangli dan Gianyar. Hal itu
dilakukan mengingat hubungan yang erat
kekerabatan antara Raja Payangan dengan raja
Bangli.

Memastikan keberangkatan raja Payangan hanya


dengan beberapa pengiring, para penghianat di
Payangan segera mengirim utusan ke Gianyar, agar
82

laskar Gianyar menghadang perjalanan rombongan


raja, dan menawan raja dengan semua pengiringnya.

Mendengar informasi ini berangkatlah pasukan Raja


Gianyar menuju perbatasan Tegalalang Bangli
bernama Sekoan. Setelah beberapa lama bertemulah
rombongan Raja Payangan dengan Pasukan Gianyar.
Di sini senopati pasukan Gianyar menyatakan agar
perjalanan Raja Payangan menuju ke Klungkung
dibatalkan karena beliau sesampainya di Kerajaan
Klungkung akan dibuang ke Nusa Penida. Kemudian
Raja Payangan diajak ke daerah Gianyar untuk
berlindung. Dengan gelagat yang mencurigakan
tersebut maka Ida Dewagung Gde Rai curiga dan
mengerti bahwa beliau telah masuk perangkap dari
para penghianat Payangan. Untuk menghindari
peperangan maka Ida Dewagung Gde Oka menerima
tawaran tersebut.
83

Bab VII

Cikal Bakal berdirinya Pura Puseh di


Banjar Sema, Payangan

Kisah ini berawal dari gerakan para penghianat dan


pendusta di Payangan yang menginginkan kerajaan
Payangan hancur, mereka mengirim berita palsu ke
Klungkung, bahwa kerajaan Payangan ingin
berontak terhadap Klungkung yang berkedudukan
sebagai Sesuhunan Bali Lombok sejak mulai tahun
1824. Karena tersulut oleh berita palsu itu akhirnya
raja Klungkung memerintahkan laskar Den Bukit
atau Buleleng untuk melakukan penyerangan ke
Payangan.

Perang terjadi sangat dahsyat, para laskar, rakyat dan


para senopati serta patih di Payangan melakukan
perlawanan yang gigih bulan Oktober tahun 1840
pecah perang pertama di wilayah Kerta, sangat sengit
perang terjadi di sekitar wilayah Alas Angker yang
merupakan benteng paling utara kerajaan Payangan.
Laskar Payangan yang dipimpin oleh para punggawa
dan Manca serta Pebekel Kerta bertempur dengan
gagah berani, tombak, keris, dan panji-panji
kebesaran Payangan beradu dengan senjata dan panji
84

Buleleng. Suara bedil sahut menyahut seperti suara


guntur tak berkesudahan. Jenis bedil yang digunakan
dalam pertempuran itu adalah Bedil Kancing Batu
Api yang di produksi di Belanda kisaran tahun 1630
dan dipergunakan di Bali Mulai Tahun 1772, jenis
bedil flintlock yang masih menggunakan batu api
sebagai penyulut yang menggantikan generasi
sebelumnya yaitu bedil matchlock (kancing sumbu)
dan wheel lock (kancing roda). Bedil-bedil ini
kebanyakan sampai di Bali dibawa oleh para
saudagar Cina daratan selain oleh bangsa Belanda.
Pertempuran itu terjadi dari fajar hingga matahari
tenggelam, akhirnya karena kalah jumlah dan
persenjataan kalahlah laskar Payangan, laskar Den
Bukit terus bergerak ke Bancingah Payangan, di
Benteng Girikusuma kembali dihadang oleh laskar
Payangan dibawah komando patih Sang Made
Jematang .

Jenis Bedil Kancing Batu Api


85

Patih Sang Made Jematang beserta Laskar Payangan


gugur di benteng Giri Kusuma. Sementara raja yaitu
Ida Tjokorda Gede Oka yang mengetahui kematian
patih dan laskarnya maju beserta segenap keluarga
untuk melakukan puputan. Dalam hal ini seluruh
keluarga kerajaan terbunuh kecuali Prabu Anom
Dewagung Gde Rai yang merupakan adik Raja
Payangan yang jatuh kepayahan di timbun mayat
para laskar yang telah gugur. Setelah berhasil
menggalahkan Payangan, laskar Buleleng ditarik
kembali ke Buleleng. Mereka tidak menduduki
Payangan karena laskar Buleleng hanya diperintah
oleh I Dewa Agung di Klungkung untuk merebut
putri raja Payangan saja, tetapi begitu putri Payangan
ikut gugur dalam Puputan Payangan, sudah tidak ada
tugas lagi yang harus dilakukan oleh laskar Buleleng.

Laskar dari Mengwi yang dikirim raja Mengwi I


Gusti Made Penarungan yang menjabat wali negara
tahun1840 sampai dengan 1849 untuk membantu
kerajaan Payangan terlambat sampai di medan
perang, Payangan sudah hancur raja Payangan
beserta para ksatriya Payangan sudah melakukan
ritual Puputan. Mereka hanya menemukan mayat-
mayat bergelimpangan, puri dan rumah hangus
86

terbakar dan darah mengalir bagai sungai di jalan-


jalan kota raja Payangan.

Sebelum menarik diri kembali ke Mengwi, laskar


Mengwi diperintahkan oleh senopatinya untuk
membersihkan kota raja Payangan dari mayat-mayat
korban puputan. Ribuan mayat dikumpulkan di
wilayah bagian timur kota raja yang merupakan
Setra (Pemakaman) kota raja. Di daerah yang dikenal
dengan nama Banjar Sema, ribuan pahlawan
Payangan dari berbagai wangsa itu kemudian
diperabukan dengan upacara yang pantas, diiringi
oleh jerit tangis dan ratapan para keluarga mengiringi
para kusuma jurit mengakhiri pengabdiannya
terhadap raja dan kerajaanya.

Diantara mayat-mayat yang menumpuk itulah laskar


Mengwi menemukan keberadaan Prabhu Anom
Tjokorda Gde Rai yang tidak sadarkan diri karena
kepayahan tertimbun oleh mayat-mayat kusuma jurit
Payangan. Oleh para senopati Mengwi beliau
kemudian diselamatkan dibawa dengan diam-diam
menuju wilayah Mengwi. Raja Mengwi I Gusti
Made Penarungan yang mengetahui ada prabu anom
Payangan yang selamat dalam puputan Payangan
kemudian menitahkan untuk menitipkan prabu anom
87

di Munggu. Disembunyikan di rumah Perbekel


Munggu menunggu suasana tenang di Payangan.
Prabu Anom Payangan, Tjokorda Gde Rai mendapat
perlindungan sangat baik juga pelayanan yang pantas
untuk seorang prabhu anom di wilayah Munggu, hal
itu terjadi dikarenakan Munggu adalah wilayah
kekuasaan Mengwi yang dianggap sangat setia
kepada raja Mengwi, I Gusti Made Penarungan.
Keberadaan beliau di Munggu yang disayang dan
dimuliakan oleh para sesepuh dan masyarakat
Munggu membuat berita tentang keberadaan beliau
di Munggu tersiar sampai ke telinga raja Klungkung,
Dewa Agung Putra II yang berkuasa dari tahun 1814
hingga tahun 1850, beliau yang dikenal dengan
sebutan Susuhunan Bali dan Lombok sampai tahun
1849.

Raja Klungkung, Dewa Agung Putra II kemudian


memerintahkan utusan untuk menghadap raja
Mengwi, mempertanyakan berita adanya kabar prabu
anom Payangan yang selamat, serta memberi
anugrah untuk kembali ke kerajaan Payangan untuk
memimpin kembali kerajaan Payangan yang hancur
akibat serangan laskar Buleleng. Prabu anom
Payangan Ida Tjokorda Gde Rai sangat berkeinginan
untuk kembali ke Payangan, berjumpa dan
88

memimpin kembali rakyatnya yang lama tanpa raja,


akan tetapi beliau masih sangat khawatir dengan
keselamatan beliau, sehingga beliau meminta
pertimbangan kepada I Gusti Made Penarungan
tentang keragu-raguannya, oleh Raja Mengwi, prabu
anom diyakinkan tidak akan terjadi apa-apa pada
dirinya, karena sudah mendapat ijin dari raja
Klungkung, lagi pula Mengwi akan memberikan
pengawalan khusus kepada prabu anom selama
perjalanan dan masa memerintah di Payangan. Selain
pengawal dari laskar Mengwi, Penguasa Marga dan
Perean juga bersedia menyiapkan laskar khusus
untuk mengawal perjalanan pulang prabu anom dari
Munggu menuju Payangan.

Laskar pilihan Marga dan Perean terdiri dari


pemuda-pemuda tangguh yang berasal dari wilayah
daerah Puseh, Perean, Penyucuk, Bunyuh, Selat,
Kukub, Tuka, Berteh, Leba, Beluangan dan Piun.
Berasal dari beberapa penyungsung Bukit Gede, Yeh
Gangga. Para pengabih raja Perean diantaranya
Pemekel Perean, Pemekel Luwus, Pemekel Pacung
dan Pemekel Baturiti juga mengirimkan laskar-laskar
pilihan untuk menjaga keberadaan Ida Tjokorda Gde
Rai yang kembali ke Payangan.
89

Para pengiring beliau itu terdiri dari trah Ki Bendesa,


Ki Kubayan, Ki Bujangga, Ki Pasek Gaduh, Ki
Pasek Tangkas, Ki Pasek Kubakal, Ki Pasek
Ngukuhin, Ki Pasek Kedangkan dan Ki Pasek
Badung.

Masing-masing pengiring dari Perean terlebih dahulu


memohon anugrah di Pura Pucak Beratan, Pucak
Bukit Sangkur, Pura Tratai Bang, Pura Pucak
Batukaru, Pura Pucak Bukit Adeng, Pura Pucak
Padang Dawa, Pura Pucak Batu Lumbang dan Pura
Pucak Sarinadi, dalam sebuah kesempatan mereka
mendapat wangsit, apabila ingin selamat di
Payangan, mereka harus membawa senjata pusaka
pancer Jagat Perean yang berupa tombak dan keris
luk sebelas. Berdasarkan pawisik itulah akhirnya
para pengiring kembali menghadap raja Perean guna
memohon kedua senjata pusaka tersebut.

Raja Perean tersentak kaget mendengar permohonan


para pengiring yang akan mengabih perjalanan Ida
Tjokorda Gde Rai, tetapi karena rasa bakti terhadap
para leluhurnya dulu, juga karena janji beliau kepada
Ida Tjokorda Gde Rai dan Raja Mengwi, akhirnya
beliau memperkenankan kedua pusaka bertuah
tombak I Kala Ireng dan keris luk 11 yang bernama
90

Ki Naga Raksa dibawa ke Payangan, dengan syarat


setiap ada wali besar di wilayah Marga dan Tabanan
kedua pusaka itu dipundut lagi ke barat untuk
menjaga ritual yadnya.

Keris Pusaka Ki Nagaraksa

Hal ini dilakukan oleh penguasa Perean karena


beliau masih ingat dengan jejak langkah para
pendahulunya yang sudah membangun Payangan
pada masa I Gusti Pacung Oka, setelah mendapat
pawisik gaib bahwa hanya dengan menyertakan
pusaka itulah Payangan bisa diselamatkan dari
kehancuran dimasa yang akan datang. Keputusan
raja Perean yang memberikan ijin membawa kedua
91

benda pusaka itu ke Payangan tetap dilaksanakan


walaupun ditentang oleh para petinggi Perean.

Tombak I Kala Ireng

Para pengiring itulah yang kemudian bertugas


sebagai abdi dalem Payangan yang menyertai
kemanapun kemudian beliau berpergian atau
berburu. Sekitar tahun 1842 setelah tekad bulat dan
keyakinan penuh dari Ida Tjokorda Gde Rai, maka
mulai beliau menginjakan kaki di Banjar Susut. Pada
tahun 1846 resminya Ida Tjokorda Gde Rai menjadi
raja Payangan, dengan gelar abhiseka Ida Dewagung
Gde Rai, di damping oleh para Manca, Prebekel dan
para senopati yang kebanyakan berasal dari Taman
Bali dan Badung serta Mengwi.
92

Mereka dianugrahi wilayah bermukim di wilayah


jero kuta puri Payangan, masih berdampingan
dengan alun-alun kerajaan Payangan. Anugrah itu
diberikan raja adalah agar para pengikut beliau dari
Munggu dan Perean agar tidak kembali lagi, atau
berniat meninggalkan Payangan.

Tugas pertama yang dilakukan oleh Ida Dewagung


Gde Rai sebagai Raja Kerajaan Payangan adalah
membuat upacara terhadap leluhur-leluhurnya dan
arwah sanak saudaranya dan rakyatnya yang gugur
dalam perang puputan sebagai kusuma bangsa,
kemudian membuat kenang-kenangan untuk patih
Sang Made Jumatang dengan membangun pelinggih
berupa pura yang disebut Pura Penataran Beteng
untuk keturunan-keturunannya.

Setelah Payangan sedikit aman, kedua pusaka dari


Tabanan itu kemudian dilinggihkan di dalam
lingkungan Puri Payangan dijaga dengan ketet oleh
para pengemit senjata puri Payangan. Sementara di
wilayah Marga dan Perean terjadi perubahan sangat
tajam saat setelah kedua pusaka itu tidak lagi
dilinggihkan, keamanan mulai tidak normal, banyak
bentrokan-bentrokan senjata yang terjadi diantara
masyarakat, gagal panen di sawah-sawah dan hama
93

mengganas di tegalan para warga. Sementara di


wilayah Marga terjadi bentrokan antara para
pembesar kerajaan yang mengakibatkan rakyat tidak
tenang. Hal itulah kemudian yang membuat para
bangsawan Marga dan Perean memutuskan untuk
meminta kembali kedua pusaka Tabanan itu ke
Payangan.

Raja Payangan Ida Dewagung Gde Rai mendengar


kabar burung tentang niat para bangsawan Tabanan
yang ingin mengembalikan kedua pusaka leluhurnya
itu, beliau kemudian menyembunyikan keris dan
tombak pusaka tersebut di Bukit Tedung, wilayah
hutan kerajaan Payangan yang terletak di timur laut
puri Payangan, akan tetapi telik sandi atau mata-mata
Tabanan mengendus keberadaan benda pusaka itu,
beberapa kali terlihat orang-orang tak dikenal
merambah hutan Bukit Tedung, mencari keberadaan
kedua pusaka itu.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan


terjadi pada kedua benda pusaka itu, Raja Payangan
Ida Dewagung Gde Rai kemudian memerintahkan
agar kedua pusaka itu disimpan di puri Manca
Kelodan, masih wilayah jero kuta Payangan,
disamarkan dengan benda-benda pusaka lainnya.
94

Akan tetapi baru beberapa bulan kedua pusaka itu


disimpan di puri Manca Kelodan terjadilah kejadian
yang menghebohkan, mendadak air yang mengalir di
pengairan Tegal Lampit kering, sawah-sawah
95

disubak Tegal Lampit mengering karena kekurangan


air, sampai sampai pancuran milik Manca Kelodan
yang bernama Taman Nyuling juga kering
kerontang, ikan-ikan banyak yang mati, ular, tikus,
katak dan binatang-binatang keluar sarang bingung
mencari sumber air.

Manca Kelodan kemudian melaporkan hal itu kepada


raja Payangan yang membuat raja kemudian
meminta nasehat dari para Cudamani kerajaan
Payangan. Para Brahmana yang bertindak sebagai
penasehat raja lalu memberikan saran, agar kedua
benda pusaka tersebut dibuatkan pelinggih yang agak
terpencil. Pelinggih itu juga harus dekat dengan
sumber air suci yang melimpah, sebagai tempat
pesucian. Dengan pertimbangan yang matang
kemudian kedua pusaka itu disimpan di ujung timur
kota raja, dekat dengan pesucian Sudamala wilayah
Banjar Sema.

Para pengiring Ida Dewagung Gde Rai yang berasal


dari Tabanan mendapat tugas khusus sebagai
pengemit kedua pusaka diberikan wilayah bermukim
di sekitar tempat pelinggih penyimpenan. Mereka
bermukim di Banjar Sema dan Banjar Geria, karena
letak pelinggih pusaka berada di perbatasan kedua
96

banjar tersebut, yang kemudian diberi nama pura


Puseh.

Dengan seiring perkembangan jaman kemudian,


karena kesidian Ida Bhatara yang bersetana di Pura
Puseh, banyak masyarakat yang terserang penyakit
memohon kesembuhan di Pura Puseh, setelah
sembuh dari sakit kemudian ikut sebagai pengempon
Pura Puseh, bahu membahu memuliakan Ida Bhatara
di Kayangan pura Puseh dengan upacara dan
membangun pelinggih-pelinggih yang sesuai.

Foto Pura Puseh Banjar Sema Diambil dari Madya Mandala

Perbaikan dan penambahan jumlah pelinggih-


pelinggih di Pura Puseh mulai berlangsung dari
97

tahun 1902 hingga sekarang. Jumlah pelinggih di


Pura Puseh sekarang sudah mencapai 31
98

pelinggih, terdiri dari pelinggih pokok dan pelinggih-


pelinggih tambahan, dibangun diatas tiga bagian
pura yaitu nista mandala, madya mandala dan uttama
mandala. Dengan Piodalan jatuh pada setiap enam
bulan sekali yaitu pada hari Buda Kliwon Sinta.

Di bagian nista mandala terdapat bangunan antara


lain:

 Candi Bentar yang memisahkan antara


wilayah nista mandala pura dengan jalan,
sebagai tempat pemujaan Sang Hyang
Suniakala,
 Bale Kulkul, tempat kentongan suci ditabuh
atau dipukul bila ada upacara atau
menyongsong Ida Bhatara, sebagai areal
pemujaan Sang Hyang Iswara.
 Pelinggih Panggungan sebagai tempat
memuliakan atau memuja Hyang Ibu Pritiwi.
 Pelinggih Padma Prekangge, sebagai tempat
pemujaan penghulu sukat nista mandala pura.
 Pelinggih Apit Lawang Tengen, sebagai
tempat memuja Sang Hyang Bhuta Diyu dan
Sang Maha Kala.
 Pelinggih Apit Lawang Kiwa untuk memuja
Sang Bhuta Garwa dan Sang Adi Kala.
99

Di wilayah madya mandala, terdapat bangunan :

 Candi Bentar yang memisahkan antara


wilayah nista mandala pura dengan madya
mandala, sebagai tempat pemujaan Sang
Hyang Suniakala,
 Aling-aling, sebagai tempat memuliakan
Sang Hyang Ghana dan Sang Dora Kala.
 Bale Patamon sebagai tempat umat
mempersiapkan segala bentuk persembahan
atau tempat untuk pemuka desa.

Di wilayah Uttama Mandala terdapat bangunan:

 Padmasana, sebagai tempat pemujaan Ida


Sang Hyang Widhi Wasa.
 Pelinggih Gedong Sari, sebagai tempat
memuliakan Ida Bhatara Rambut Sedana dan
Sang Hyang Anarawang.
 Pelinggih Taksu sebagai tempat memuliakan
Sang Hyang Kedep Wastu dan Sang Hyang
Aji Saraswati.
 Pelinggih Mundar-mandir,Pemujaan kepada
Ida Bhatara Pusering Jagat.
 Pelinggih Meru Puseh, tempat memuja
Bhatara Puseh, Sang Hyang Wisnu.
100

 Pelinggih pemujaan Ida Bhatara di Pucak


Pausan.
 Pelinggih pemujaan Ida Bhatara di Pucak
Padang Dawa.
 Panggungan sebagai tempat memuliakan atau
memuja Hyang Ibu Pritiwi.
 Pelinggih Arca, tempat penyimpanan arca-
arca.
 Bale Pengaruman Agung, tempat untuk
menghias Tapakan Ida Bhatara, tempat
memuja Sang Hyang Taya.
 Bale Pengaruman Alit, sebagai linggih
pesamuan sekalian Dewa Bhatara untuk
mengisap sari-sari Weda dan Mantra.
 Gedong Pekoleman, tempat mensetanakan
tapakan Ida Bhatara Puseh.
 Pelinggih Gedong Catu, untuk memuja Sang
Hyang Sri Sadana.
 Pelinggih Gedong Limas tempat Memuja
Hyang Anerawang.
 Pelinggih Pemijilan tempat memuja sekalian
Dewata Dewati, Bhatara.
 Pelinggih Gedong Dalem
 Pelinggih Ratu Pengelurah Agung tempat
memuja Hyang Sedahan Agung.
101

 Pelinggih Bale Lantang tempat pesamuhan


para tapakan Ida Bhatara.
 Pelinggih Bale Peselang tempat memuja Ida
Sang Hyang Widhi dalam manifestasi beliau
sebagai Sang Hyang Semara Ratih.
 Candi Bentar yang memisahkan antara
wilayah uttama mandala pura dengan madya
mandala, sebagai tempat pemujaan Sang
Hyang Suniakala,

Dalam perkembangan selanjutnya setelah semakin


banyak penduduk utamanya krama Desa Pakraman
Sema yang menjadi pengempon Pura Puseh, lewat
pesamuhan agung desa Pakraman Sema kemudian
diputuskan bahwa Desa Pakraman Sema secara
keseluruhan menjadi pengempon Pura Puseh hingga
saat ini. Berbagai usaha perbaikan pura dan tapakan
Ida Bhatara sudah dilaksanakan, juga menyiapkan
uperengga pura yang patut. Mulai dari abah-abah,
tigasana, tedung, lelontek, bandrangan dan payung
pagut.
102

Bab VIII

Persiapan Nangun Yadnya

Di dalam persiapan Nangun Yadnya Agung yang


akan datang Krama Desa Pakraman Sema sepakat
melaksanakan berbagai Yasa Kerti, dengan
mengutamakan perbuatan, perkataan dan pemikiran
yang penuh dengan kesucian. Yasa Kerti dalam hal
perbuatan yang baik dituangkan dalam butir sebagai
berikut :

1. Semua warga Desa Pakraman agar selalu


memakai pakaian adat yang pantas, juga
diwajibkan memakai ikat kepala, baik laki-
laki maupun wanita.
2. Bagi Krama Desa yang mempunyai cacat
kelahiran diharapkan tidak ikut dalam ayah-
ayah nanding upakara Suci, Catur dan
upakara lain yang dihaturkan di Sanggar,
untuk menghaturkan ayah-ayah yang lain dan
muspa tidak ada larangan.
3. Yang dianggap Cuntaka menurut sastra
agama adalah warga yang kumpul kebo, anak
yang lahir tanpa orang tua yang syah dan
103

yang lainnya dilarang memasuki wilayah


Pura.
4. Semua perbuatan yang disengaja bertujuan
untuk menggagalkan rangkaian upacara agar
dijauhkan.
5. Apabila ada Kematian di salah satu anggota
keluarga Krama Desa, terhitung mulai dari
dilaksanakannya upacara Pengalang Sasih
sampai selesai Dudonan Karya Agung, agar
melaksanakan kegiatan tersebut tanpa suara
kentongan.
6. Apabila yang meninggal tidak akan boleh
dipendam, seperti Sulinggih, Pemangku agar
dititip dahulu (Tidak diupacara).
7. Apabila kematian yang boleh dipendem, agar
prosesi dilaksanakan setelah matahari
tenggelam dengan upacara seperti biasa.
8. Bagi Krama yang mengikuti prosesi upacara
Kelayu Sekaran dianggap Cuntaka. Cuntaka
satu rumah dihitung sampai selesai, sesudah
12 hari.
9. Penumbak Pengapit terkena cuntaka selama 3
hari. Para Juru Desa dan Dinas tidak terkena
cuntaka, agar tidak ikut dalam prosesi
pemakaman.
104

10. Apabila ada Krama Desa yang melahirkan


terkena cuntaka 42 hari bagi yang wanita dan
bagi yang laki-laki terkena cuntaka sampai
kepus puser bayi.
11. Apabila ada salah satu krama yang
keguguran, kena cuntaka selama 42 hari, laki
atau perempuan.

Demikian ketentuan Yasa Kerti yang disepakati oleh


Krama Desa Pakraman Sema dalam rangka
menyambut Karya Agung Mamungkah, Ngenteg
Linggih, Mupuk Pedagingan, Tawur Agung lan
Pedanan di Pura Puseh Desa Pakraman Sema, Buda
Kliwon Sinta, Tanggal 8 Oktober 2014.
105

BAB IX
Yadnya Desa Pakraman Sema

IX.1. Hakekat Yadnya

Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta, kata


“Yaj”, yang artinya memuja, mempersembahkan,
pengorbanan, menjadikan suci. Prinsip-prinsip yang
harus dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan,
kesucian dan pengabdian tanpa pamrih.

Dalam Atharwa Weda XVII.3 dinyatakan bentuk


Yadnya yang paling tinggi adalah pengorbanan lahir
batin. Maka dari itu semangat patriotisme yang
diajarkan dalam Bhagawadgita, Mahabharata,
Ramayana sangat tepat ksatria yang ber-Yadnya di
medan perang. Maknanya sebagai pembela tanah air,
menegakkan kebenaran dan keadilan.

Jadi berdasarkan uraian tersebut, Yadnya sebagai


amalan agama mengandung pengertian: Merupakan
sistem persembahyangan dalam kontak memuja
Tuhan YanMahaEsa. Sebagai prinsip berkorban agar
umat bersedia, rela dan menyadari bahwa berkorban
itu sebagai pemeliharaan kelangsungan hidup
menuju hidup bahagia.
106

Bukankah akibat Tuhan berbuat Yadnya itu


menimbulkan Rnam yang berarti hutang.Kemudian
agar tercipta hukum keseimbangan, maka Rnam itu
harus dibayarkan dengan Yadnya. Demikian adanya
atas dasar Tri Rna.

Dibayar dengan Panca Yadnya yakni:

1. Dewa Rna dibayar dengan Dewa Yadnya dan


dibayar dengan Bhuta Yadnya.
2. Rsi Rna dibayarkan dengan Rsi Yadnya.
3. Pitra Rna dibayar dengan Rsi Yadnya dan
Manusa Yadnya.

Memang konsep agama Hindu adalah mewujudkan


keseimbangan. Dengan terwujudnya keseimbangan,
berarti terwujud pula keharmonisan hidup yang
didambakan oleh setiap orang di dunia. Untuk umat
Hindu yang diidam-idamkan adalah terwujudnya
keseimbangan antar manusia dengan Tuhannya,
antara manusia dengan manusia, dan manusia
dengan lingkungannya. Yang dikenal dengan Tri
Hitha Karana. Maka dari itu, Yadnya mutlak
diperlukan.

Ada dua macam Panca Yadnya, yaitu: Panca Yadnya


berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya dan
107

Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan objek yang


dituju, Yadnya ini disebut Panca Maha Yadnya.
Panca Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk
pelaksanaan dalam Bisma Parwa dijelaskan:

1. Drewaya Yadnya, adalah Yadnya yang


mempergunakan harta milik sebagai sarana
korban. selanjutnya Tapa Yadnya, adalah
Yadnya dengan melaksanakan tapa, yaitu
tahan uji tahan derita sebagai sarana
berkorban.
2. Jnana Yadnya, adalah Yadnya dengan
menyumbangkan kebijaksanaan, ilmu
pengetahuan, memberikan pandangan-
pandangan, atau buah pikiran yang berguna,
sebagai sarana korban.
3. Yoga Yadnya, adalah Yadnya dengan
pengamalan yoga, yaitu menghubungkan diri
pada Sang Hyang Widhi melalui jenjangan-
jenjangan yoga. Bahkan sampai dengan
tingkat tertinggi yakni semadhi, sebagai
sarana berkorban.
4. Swadyaya Yadnya, adalah Yadnya dengan
mengorbankan diri demi kepentingan
Dharma. Seperti halnya para pahlawan
kemerdekaan, mereka mengorban kan diri
demi sebuah kemerdekaan. Ini juga disebut
Yadnya.
108

Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan obyek yang


dituju. Dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 70.
tersurat:

“Adhyapanam brahma Yajnah,Pitr yajnastu


tarpanam, homo daivo balirbhauto,nryajno ‘tithi
pujanam.”

Jadi, berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan


Panca Yadnya sebagai berikut:

1. Dewa Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan


untuk para Dewa. Asal kata Dewa berasal
dari bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar
suci, jadi pengertian Dewa adalah sinar suci
yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang
oleh umat Hindu di Bali menyebutnya Ida
Sanghyang Widhi Wasa.
2. Rsi Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan
kepada brahmana atau para Rsi.Rsi artinya
orang suci sebagai rokhaniawan bagi
masyarakat Umat Hindu di Bali.
3. Pitra Yadnya, adalah Yadnya yang ditujukan
pada leluhur. Pitra artinya arwah manusia
yang sudah meninggal.
4. Bhuta Yadnya, adalah Yadnya yang
ditujukan kepada para Bhuta Kala. Bhuta
artinya unsur-unsur alam.
109

5. Manusa Yadnya, adalah Yadnya yang


ditujukan pada manusia. Manusa artinya
manusia.

Selanjutnya dalam Manawa Dharmasastra III.72.


bahwa’

“devatatithi bhrtyanam,pitrnamatmanasca yah, Na


nirvapati pancanam,ucchvasanna sa jivati”.

Yang diartikan

”tetapi ia yang tidak memberikan persembahan


kepada kelima macam tadi yaitu para dewa, para
tamunya, mereka yang harus dipelihara, para leluhur
dan ia sendiri, pada hakekatnya tidak hidup
walaupun bernafas”

Bhagawadgitha III.4. menyebutkan

“ na karmanam anarambhan,Naiskarmyam puruso


snute Na ca sannyasanad eva, Siddhim
samadhigacchati”

Yang artinya
110

“Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai


kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak hanya
dengan melepaskan diri dari pekerjaan orang akan
mencapai kesempurnaannya”.

Dalam hal tersebut bahwa karya Memungkah yang


dilakukan oleh krama desa Pakraman Sema pada
tanggal tersebut merupakan wujud sradha Bakti
kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa. Dimana seluruh
komponen masyarakat ikut andil dalam
pelaksanaannya. Karena sesungguhnyalah alam telah
memberikan kepada kita semua untuk kita pelihara
sehingga keselarasan akan terpelihara.

IX.2.Dasar Yadnya

Setiap pelaksanaan Yadnya yang dilakukan oleh


masyarakat Bali pada umumnya, memiliki dasar
yang sangat kuat yang berdasarkan pada sastra
agama.

Pada Rg.veda X.90 yang memberikan ide pertama


dilaksanakannya yadnya menyatakan bahwa

“Alam ini ada berdasarkan yadnya-Nya (Maha


Purusa), dengan yadnya Dewa memelihara manusia
& dengan yadnya manusia memelihara Dewa”.
111

Ini berarti bahwa yang menjadi dasar adanya alam


semesta beserta isinya ini adalah adanya yadnya
Tuhan dalam manifestasinya sebagai Maha Purusa.

Bhagavadgita III.11. menyatakan bahwa :

”para dewa akan memelihara manusia dengan


memberikan kebahagiaan, karena itu manusia yang
mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas
pemberian itu dengan yadnya pada hakekatnya dia
adalah pencuri”.

Juga dijelaskan dalam Bhagavadgitha III.14.


bahwa;

”Dari makanan, makhluk menjelma, dari hujan


lahirnya makanan dan dari yadnya muncullah hujan
dan yadnya lahir dari pekerjaan.

Sehingga dari keseluruhan perbuatan atau


pekerjaan tersebut, lahirlah panca yadnya. Karena
keterikatan dan timbal balik yang terjadi maka
adanya hutang yang harus dibayar, sehingga manusia
yang terlahir kedunia sudah berbekal hutang yang
harus dibayar kepada orang tuanya, dan sebagainya.
Maka adanya hutang tersebut yang disebut dengan
112

Tri Rna. Hal ini termuat dalam kitab Manawa


dharma sastra VI.35 yang menyebutkan bahwa :

“Pikiran (manah) yang ada dalam diri kita masing-


masing baru dapat diarahkan pada kelepasan
setelah melunasi 3 hutang yang kita miliki”.

Jadi sebelum kita dapat melunasi hutang-hutang itu,


kita tidak akan mencapai tujuan akhir agama Hindu
yang disebut Moksartham jagadhita ya ca iti
dharma.

IX.3.Tujuan Yadnya

Bhagavadgita III.10.

“Saha yajnah prajah srstva, purovacha prajapatih,


Anena prasavishdhvam, esa vo stv isha kamadhuk”

Artinya:

Pada zaman dulu kala Praja Pati (Tuhan Yang Maha


Esa) menciptakan manusia dengan Yadnya dan
bersabda. Dengan ini engkau akan mengembang dan
akan menjadi kamanduk (Sapi dari Indra yang dapat
memenuhi semua dari keinginan).
113

Dari sloka di atas dapat kita lihat secara jelas, bahwa


kita melaksanakan Yadnya atas dasar Tuhan
mengawali menciptakan dunia beserta isinya
berdasarkan Yadnya itu diteruskan agar kehidupan di
dunia ini berlanjut terus dengan saling beryadnya.

Bukankah akibat dari Tuhan berbuat Yadnya itu


menimbulkan Rnam (hutang). Kemudian agar
tercipta hokum keseimbangan, maka rnam itu harus
dibayar dengan Yadnya (Tri Rna). Tri Rna ini dalam
kehidupan sehari-hari dapat dibayar dengan
melaksanakan Panca Yadnya. Dimana Dewa Rna
dibayar dengan Dewa Yadnya dan dibayar dengan
Bhuta Yadnya, kemudian Rsi Rna dibayar dengan
Rsi Yadnya, dan yang terakhir yaitu Pitra Rna
dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya.

Berkaitan dengan itu, dalam Bhagawadgita III.12


menyebutkan:

“Ishtan bhogan hi vo deva, donsyante yajna


bhavitah, tair dattan apradayaibhyo, yo bhunKetute
stena eva sah”

Artinya:
114

Dipelihara oleh Yadnya Para Dewa, akan


memberikan kamu kesenangan yang kamu inginkan.
Ia yang menikmati pemberian ini, tanpa memberikan
balasan kepadanya adalah pencuri.

Selanjutnya seloka Bhagawadgita III.13


menyebutkan:

“yajna sistahsinah santo, mucyante sarva kilbisaih,


bhunjate te tv agham papa, ye pacanty atma
karanat”

Artinya:

Orang yang baik, makan apa yang tersisa dari


Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan
tetapi mereka yang jahat yang menyediakan
makanan kepentingannya sendiri, mereka itu adalah
makan dosanya sendiri.

IX.4.Karya Agung Mamungkah, Ngenteg


Linggih, Mupuk Pedagingan, Tawur Agung lan
Pedanan di Pura Puseh Desa Pakraman Sema.

Setelah semua bangunan fisik selesai, dalam sebuah


paruman Desa Pakraman kemudian direncanakan
akan membangun yadnya Karya Agung. Berdasarkan
115

petunjuk dari para pengelingsir Desa Pakraman


Sema, diputuskan untuk nuhur Ida Pedanda Gede
Sunia Arsa dari Giriya Bongkasa sebagai Yajama
karya, dengan Puncak karya jatuh pada Buda Kliwon
Sinta, sasih kapat, tanggal 8 Oktober 2014. Dengan
nama karya “Karya Agung Mamungkah, Ngenteg
Linggih, Mupuk Pedagingan, Tawur Agung lan
Pedanan”.

Pelaksanaan upacara yang dilaksanakan di Desa


Sembuwuk ini tidak lepas dari keinginan untuk
mendekatkan diri kepada kesempurnaan yang
diemplementasikan kedalam bentuk Yadnya.
Berusaha untuk memberikan apa yang alam berikan
kepaqda kita. Sehingga konsep Tri Hita Karana dapat
diterapkan. Karena dalam Bhagawadgitha X.8.
dinyatakan bahwa:

“Aku adalah sumber segala dunia rohani dan dunia


material.segala sesuatu berasal dari-Ku,orang
bijaksana yang mengetahui kenyataan ini secara
sempurna menekuni bhakti kepada-Ku dan
menyembah-Ku dengan sepenuh hati “
116

Selanjutnya Bhagawadgitha X.10. bahwa

“Pada mereka yang selalu setia dan menyembah Aku


dengan kecintaan, Aku Berikan kekuatan pengertian
(Budi Yoga), yang memungkinkan mereka datang
pada-Ku”

Perpedoman dari sloka tersebut tidaklah berlebihan


kalau upacara ini diselenggarakan dengan penuh
kesadaran dan keiklasan, sehingga yadnya ini sukses.
Dalam Bhagawadgitha III.15. bahwa

“Ketahuilah asal mulanya “karma” didalam weda


dan Brahma muncul dari yang abadi. Dari itu
Brahma yang meliputi semuanya selalu berpusat di
sekeliling yadnya”.

IX.5. Ehedan Karya

Ehedan karya dilaksanakan mulai pada


Wrespati Pahing Mdangsia, tanggal 12 Juni 2014,
melaksanakan acara Matur piuning di kahyangan
desa berkaitan rencana karya yang akan diambil,
yang bertujuan untuk memberi batas secara niskala
antara parahyangan dengan Tri Mandala serta
memohon kehadapan Ida Shang Hyang Widi, agar
Karya yang akan dilaksanakan mendapat restu dan
117

diberikan kemudahan, tuntunan serta semuanya


berjalan sesuai dengan harapan masyarakat Desa
Pakraman Sema khususnya dan Bali umumnya.
dipimpin oleh pemangku kahyangan masing-masing.

Foto Prosesi Nyukat Genah

Pada hari Wrespati Umanis Pahang tanggal 26 Juni


2014, dilaksanakan acara Ngeruwak, Nyukat genah
wawangunan, nanceb surya, Sanggar Tawang, Salon,
Lumbung dan Bale Pawedan, upacara ini dipuput
oleh Ida Pedanda Gede Sunia Arsa, dibantu oleh
serati dan Pamangku Kahyangan, serta para juru dan
panitia karya yang terkait.

Anggara Umanis Wayang, Tanggal 9 September


2014, dilaksanakan upacara Ngulapin wangunan,
Ngadegang Tapeni, Guru Dadi, Rare Angon,
118

Pengalang sasih, Pengemit Karya, Ngunggahang


Sunari, Kulkul, Panca Kerta, Panginih-inih,
Negtegang, dan Nyengker Setra. Acara ini juga
dipuput oleh Ida Pedanda Gede Sunia Arsa. Acara
nunas tirta ke kahyangan-kahyangan, antara lain
Lempuyang, Besakih, Andakasa, goalawah,
Uluwatu, Batukaru, Puncak Mangu, Danau Bratan,
Danau Batur dan pura-pura lain juga dilaksanakan
pada saat bersamaan.

Coma Pahing Klawu tanggal 15 September 2014


dilaksanakan acara Ngingsah dan Nyangling dipuput
oleh Ida Pedanda Gede Sunia Arsa, Ida Pedanda Istri
Tapeni dan Ida Pedanda Istri Giriya Bunutan.

Anggara Kliwon Dukut, tanggal 23 September 2014


dilaksanakan acara Nyamuh Catur, Mekarya
Sanganan, Nanding Pedagingan, Bagia, Pering,
Pulakerthi, Nanding Caru Rsi Ghana dan yang
lainnya dipuput oleh Ida Pedanda Istri Tapeni dan
Ida Pedanda Istri Giriya Bunutan.

Redite Kliwon Watugunung, Tanggal 28 September


2014 dilaksanakan upacara Caru Rsi Ghana,
Mlaspas, Mupuk Pedagingan dipuput oleh Ida
Pedanda Gede Sunia Arsa.
119

Tanggal 30 September 2014, Anggara Pahing


Watugunung, dilaksanakan upacara Melasti ke
Segara Masceti, dipuput oleh Ida Pedanda Gede Giri
Purna Sandhi dari Giriya Kemenuh Purnawati
Kalibalan Payangan, Tabanan. Prosesi ini dilakukan
di Segara yang diyakini dapat menghilangkan
berbagai Mala atau segala kekotoran yang ada di
Bhuana Alit dan Bhuana Agung, sebelum dilakukan
Upacara puncak nantinya. Melasti beasal dari dua
kata, Mala berarti kotoran atau noda dan Asti, berarti
dibuang atau dihanyutkan. Dilanjutkan dengan
memohon Tirta Kamandalu yang membawa,
kesucian, kebaikan, kemakmuran dan kejayaan atau
umur panjang.

Tanggal 3 Oktober 2014, Sukra Kliwon


Watugunung, dilaksanakan upacara Tawur Agung
dipuput oleh Ida Pedanda Gede Kemenuh Giriya
Sembung, Badung, Ida Pedanda Gde Made Gianyar
dari Giriya Kawan, Buda Keling Karangasem, dan
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Agni Murwa Natha
dari Griya Sunia Hening, Bukian Payangan.

Tanggal 8 Oktober 2014, Buda Kliwon Sinta,


dilaksanakan upacara Puncak Karya, Pedudusan
Agung, Ngenteg Linggih, Ngingkup, Mepasaran
120

dipuput oleh Ida Pedanda Gde Made Gunung dari


Giriya Purnawati Blahbatuh, Ida Pedanda Gde
Telaga dari Giriya Gde Telaga Sanur, Ida Pedanda
Gede Ketut Kawan dari Giriya Buda Kawan
Budakeling.

Upacara Majejiwan olih Ida Pedanda Gede Sunia


Arsa dari Giriya Bongkasa Badung, Ngindang Oleh
Ida Pedanda Tapeni dari Giriya Bongkasa Badung.
Sementara acara Mapeselang dipuput oleh Ida
Pedanda Gde Giri Dwija Kemenuh dari Giriya
Jempayah Mengwitani dan Ida Pedanda Gde Wayan
Demung dari Giriya Buda Demung Budakeling.

Tanggal 9 Oktober 2014,Wraspati Umanis Sinta,


dilaksanakan upacara Pedanan dipuput oleh Ida
Pedanda Made Oka Giri dari Giriya Prabu Mengwi
Badung dan Ida Pedanda Gde Made Gianyar dari
Giriya Kawan.

Tanggal 11 Oktober 2014,Saniscara Pwon Sinta,


dilaksanakan upacara Ngeremek, Nyenuk, Kebat
Daun, Ngebek, Bangun Ayu, Ngayarin dipuput oleh
Ida Pedanda Gede Kemenuh dari Giriya Sembung

Tanggal 19 Oktober 2014,Redite Umanis Ukir,


dilaksanakan upacara Meajar-ajar utawi Nyegara
121

Gunung ke pura Goalawah, dipuput oleh Ida


Pedanda dari Giriya Singekerta Ubud.

Tanggal 20 Oktober 2014,Coma Pahing Ukir,


dilaksanakan upacara Nyineb Karya, Tutug Karya 12
hari, 1 bulan 7 hari dan Mendem Bagia, dipuput oleh
Ida Pedanda Gede Sunia Arsa dari Giriya Bongkasa,
Badung.Dengan upacara nyineb dan Tutug Karya,
selesailah rangkaian upacara “Karya Agung
Mamungkah, Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan,
Tawur Agung lan Pedanan” di Pura Puseh Desa
Pakraman Sema.
122

Bab X

Penutup

Pada hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang


Widhi Wasa bisa diwujudkan oleh Umat Hindu
lewat berbagai bentuk. Rasa syukur atas anugrah
Beliau, memuja dan mensucikan Pelinggih Arcana
Widhi, membangun dan memperbaiki Pelinggih
Kahyangan, menelusuri sejarah yang erat kaitannya
dengan kehidupan sosial religius masyarakat
setempat, adalah sebagian kecil bentuk Sradha
Bhakti terhadap Keagungan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Membuat kesadaran yang maha tinggi bahwa
segala sesuatu yang ada di muka dunia ini adalah
berkat ciptaanNya, berkat pemeliharaanNya, dan
terakhir hanya Beliaulah yang mempunyai
kekuasaan melebur. Konsep-konsep tersebut sudah
terpatri dalam jiwa setiap masyarakat Hindu di Bali.

Semua Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu


di Bali khususnya merupakan salah satu jalan untuk
menciptakan hubungan yang harmonis dengan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, harmonis dengan manusia
sekeliling dan harmonis dengan alam lingkungannya.
Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri Hita Karana.
123

Keseluruhan bagian dari konsep Tri Hita Karana


tersebut dipakai sebagai dasar kehidupan di Desa
Pakraman. Hal ini diperkuat dengan adanya
Kahyangan Puseh, Dalem dan Bale Agung atau
Kayangan Tiga. Wilayah Desa Pakraman juga dibagi
menjadi tiga wilayah, atau Tri Mandala, yaitu
Uttama Mandala, Madya Mandala dan Nista
Mandala.

Wilayah Desa Pakraman bagian Uttama Mandalanya


terdiri dari Kahyangan Tiga sebagai wilayah yang
disakralkan oleh penduduk, dipakai sebagai tempat
melaksanakan prosesi upacara keagamaan. Madya
Mandala adalah wilayah pemukiman, yaitu wilayah
yang berada diantara sakral dan profan, karena
menjadi tempat penduduk atau masyarakat
beraKetutivitas rumah tangga. Nista Mandala adalah
wilayah Pekarangan, Sawah, Teba dan sebagainya,
merupakan wilayah profan tempat masyarakat
melakukan aKetutivitas pekerjaan untuk melanjutkan
kehidupannya.

Selain dari pura-pura yang termasuk dalam deretan


Kahyangan Tiga, ada juga pura-pura khusus yang
didirikan dan dilestarikan sebagai suatu tanda
tentang terjadinya berbagai hal ditempat itu. Pura-
124

pura itu sangat berkaitan dengan sejarah penduduk


yang mendiami wilayah sekitar pura, yang sekaligus
dipakai sebagai tanda bahwa di pura tersebut pernah
terjadi suatu hal yang penting, yang disimpan dalam
bentuk cerita dan mitos yang dipercaya sebagai
sebuah kebenaran sejarah.

Pura-pura tersebut kebanyakan menyimpan cerita


dan sejarah yang adiluhung, bisa merupakan pesan
dari para leluhur agar para penerusnya berusaha
mencari dan menelusuri kisah yang sudah terjadi
sebelumnya.

Om Santhi Santhi Santhi Om

Payangan, 1 Oktober 2014


125

Daftar Pustaka

 Raja Purana Besakih


 Raja Purana Ulundanu Batur
 De Stamboom van Erlangga. oleh F.D.K.
Bosch : 1950
 Stein Callenfels : Sriwijaya
 Catatan L.C. Damais
 Lontar Bali Tattwa
 Babad Bali. Kirtya No 6776/Va
 Markandya Purana
 Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandya
 Ubud The Spirit of Bali, Hermawan
Kertajaya
 Babad Buleleng
 Babad Arya Jelantik
 Custodians of The Sacred Mountains.
Thomas A Router.
 A Balinese Dynastic The Hague Martinus
Nijhoff, Oleh PJ. Worsley Th 1972.
 Kamus Jawa Kuno P.J.Zoetmulder
 Kamus Bali I Gusti Made Sutjaja
 Babad Dhalem Koleksi : I Dewa Gde Puja.
Alamat : Jero Kanginan, Sidemen,
Karangasem.
126

 Babad Dhalem milik Dinas Kebudayaan


Provinsi Bali, editor Drs. I Wayan Warna
dkk, tahun 1986. Lontar bertahun 1840,
tulisan Ida Bagus Nyoman, Giriya Pidada.
 Babad Dhalem, druwen Ida Tjokorda Gede
Agung, Puri Kaleran Sukawati, tahun 1981.
 Babad Pasek, diterjemahkan oleh I Gusti
Bagus Sugriwa, tahun 1956.
 Babad Brahmana Siwa, Milik Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, bertahun 1858
Masehi.
 Babad Mengwi Buleleng, no. / kode :
Va.1135/10, Gedong Kirtya Singaraja.
Koleksi : Ida Anak Agung Negara Buleleng.
 Tim Peneliti Sejarah dan Babad Bali, Th.
2012 Analisis Pengkajian Sejarah dan Babad
Abad XVII-XX,
 Ringkasan Sejarah Bali Abad XVI-XX no.
kode PS.180/GGP/V/2002. Milik Ida Bagus
Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar,
Bali.
 Babad Arya Sentong, no. kode PB. 20 / GGP
/ V / 2005. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
127

 Rsi Markandya dan Mpu Kuturan, no.kode


PS.08/GGP/II/2005.Milik Ida Bagus Bajra,
Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Babad Bangli, no.kode PB.108 /GGP/ III/
2005. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali.
 Babad I Gusti Agung Maruti, no. kode
PB.14/GGP/VIII/2008. Milik Ida Bagus
Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar,
Bali.
 Penelitian Dr. W.F. Stutterheim Boda en
Sogatha in Bali.
 Epigraphia Balica yang disusun oleh Dr. Van
Stein Callenfels.
 Kamus Kawi Bali. Milik Ida Bagus Bajra,
Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Pura Besakih, Pura, Agama dan Masyarakat
Bali oleh David J. Stuart Fox
 Sejarah Bali, dari Prasejarah hingga Modern
oleh I Wayan Ardika, I Gde Parimartha dan
Anak Agung Bagus Wirawan.
 Bali Tempo Doeloe oleh Adrian Vickers
 Babad Dhalem Pamayun Payangan oleh
Tjokorda Oka Nindhia.
 Prasasti Bali oleh R. Goris th 1951.
128

 Kamus Jawa Kuno, oleh P.J. Zoetmulder dan


S.O. Robson.
 Bhagawadgitha Oleh Prabhu Dharmayasa
 Manawa Dharma Sastra oleh Gde Pudja,
M.A. dan Tjokorda Rai Sudhartha,M.A.
 File kerja Babad Pacung Milik Ida Bagus
Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar,
Bali.
 Babad Puri Belayu Milik Ida Bagus Bajra,
Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Sejarah Desa Beluangan, Perean Kangin,
Baturiti, Tabanan, Milik Giriya Delod Pasar
Intaran Sanur.
 Sejarah Kerajaan Marga, Koleksi Godong
Kirtya Singaraja.
 The Diary Of Bangsul, Milik Ida Bagus Bajra
Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
 Dll

Anda mungkin juga menyukai