Anda di halaman 1dari 92

1

SELAYANG PANDANG
PURA DALEM ANGGARKASIH
Banjar Sakah, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati,
Kabupaten Gianyar.
Om awighnam astu namā śidyam.
Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti mukti
hitartwatam, prawaksyā tattwam widayah, wişņu wangsā
pādāyā śiwanam, sirā ghranā stityam waknyam. Rajastryam
mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam,
satyam loka. Om nama dewayā, pānamaskaraning hulun, ri
Bhatarā Hyang mami. Ong kara panga bali puspanam. Prajā
pasyā. nugrah akam, janowa papā wināsayā, dirgha
pramanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri Sanghyang
Bhumi Patthi, hanugerahaneng hulun, muncaranākna ikang
tattwa, mogha tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng
tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, katkeng kulā
warggā sāntanannirā, mamastu jagadhitayā. sukham
bhawantu Om purnam bhawantu, saptawredyastu Swaha.
Sembah pengaksama kami kehadapan Bhatara Hyang Mami
yang bergelar Ongkara Hradaya Namah Swaha, Sunia Loka,
Sida Loka Suara. Anugerahkanlah hamba atau ijinkan
hamba menceritakan segala masa lalu yang telah tertulis
dalam lepihan tembaga dan lontar yang sudah suci menyatu
dengan Hyang Widhi, Om Bhur, Bhuwah, Swah semoga
tidak berdosa, terikat usana, semoga tidak alpaka dari
penciptaan Sang Hyang Purwa Tattwa, begitu juga dengan
seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka
2

kehadapan Ida Hyang Widhi, lara wigraha mala papa pataka,


bisa terbebas dari kutukan Sang Hyang Widhi,
membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang,
juga menemukan kebahagiaan sekala niskala atau lahir
bathin, anugerahkanlah hamba agar sempurna menemui
panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga dan alam
semesta.
Kitab sastra kuno yang berjudul Tantra Samuccaya
menyebutkan Pura dan Kahyangan selalu dibangun di
tempat-tempat yang dianggap suci, di Tirtha atau Petirtan, di
tepi sungai, tepi danau, tepi pantai, pertemuan dua atau lebih
sungai-sungai atau Campuhan. Di muara sungai, di puncak-
puncak gunung atau bukit, di lereng pegunungan, dekat
pertapaan, di desa-desa, di kota atau pusat-pusat kota dan di
tempat-tempat lain yang dapat memberikan suasana bahagia.
Bernet Kempers, seorang ahli purbakala memberi
julukan pulau Bali sebagai Land of One Thousand Temples,
pulau dengan seribu pura. Menurut data Departemen Agama
Provinsi Bali tahun 2012 di Bali terdapat 4.356 Pura
Kahyangan Tiga dari setiap wilayah Desa Pakraman di Bali.
Selain itu terdapat 723 buah pura kahyangan jagat dan 923
buah pura kawitan. bila ditotal keseluruhan maka jumlahnya
mencapai 6.002 buah pura. Masih banyak ahli-ahli dunia
memberikan julukan yang mendunia terhadap pulau Bali,
sehingga Bali menjadi satu-satunya tujuan wisata yang
menggabungkan unsur alam, budaya, seni, ekonomi, sejarah
menjadi satu kesatuan yang saling bertautan.
3

Masa Kedatangan Para Rsi di Bali.


Pura Dalem Anggarkasih di Banjar Sakah, Desa
Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar
merupakan salah satu dari ribuan kahyangan yang ada di
Bali, berdiri di daerah tepian desa, agak jauh dari
pemukiman penduduk, dikelilingi oleh hamparan tanah
sawah dan tegalan dengan sumber air yang melimpah.
Tempat yang eksotik untuk memuja kebesaran prabhawa
Dewa Siwa dan Shakti beliau. Pura Dalem Anggarkasih
Sakah memiliki sejarah panjang dalam pendirianya, dimulai
dari masa penyebaran faham Siwa Buda di Bali pada kisaran
tahun 800 Masehi. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
penguasa kerajaan Medang di Jawa Tengah mengutus
seorang Rsi dari perguruan Markandhya dan para
pengikutnya untuk menyebarkan agama Hindu keseluruh
Nusantara, Perjalanan Beliau dimulai pada bulan Oktober
tahun 730 Masehi. Rsi yang dimaksud adalah Rsi Ing
Markandhya yang kemudian dikenal di Bali dengan nama
Rsi Markandhya. Perjalanan suci ini dimulai dari Gunung
Wukir atau Damalung, berlanjut ke lereng pegunungan
Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Rahung di tepi
sungai Paralingga daerah Banyuwangi, berakhir di Gunung
Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih sekarang.
Pada masa ini dikisahkan sebagian besar para
pengikut Rsi Markadhya pada kedatangan yang pertama
membangun kuwu-kuwu atau desa-desa kecil sepanjang
tepian sungai Ayung dan sungai Wos, memanjang dari utara
ke selatan, diperkirakan juga menghuni berbagai tempat di
4

daerah Sakah, terutama sekali wilayah tepian sungai


dogdogan dan sungai Brembeng yang mengalir dibarat dan
timur desa. Walaupun kedatangan para pengikut Markadhya
yang pertama dianggap gagal dalam membangun Bali secara
keseluruhan akibat belum dilaksanakannya upacara
menanam Panca Datu di Tolangkir, tetapi sisa-sisa pengikut
Beliau yang masih selamat berhasil membangun desa-desa
yang terpencar di beberapa daerah di Bali Tengah. Selain
membangun wilayah pertanian basah dan kering, penduduk
juga mulai menata desa dengan konsep Hulu Teben, dengan
dua parahyangan pokok, di hulu desa dibangun parahyangan
Pucak, Bukit, Puseh, atau Puser, sebagai tempat pemujaan
Tuhan dalam manifestasi Beliau sebagai sumber dari segala
sumber kehidupan, Akasa, Purusa. Sementara di hilir desa
dibangun parahyangan Dalem yang merupakan tempat
pemujaan Tuhan dalam manifestasi Beliau sebagai pelebur
segala bentuk hasil cipta, Pritiwi, Predana dikenal kini.
Kedua bangunan pemujaan ini masih dibangun dengan
sangat sederhana berupa tempat lapang yang disakralkan
dengan menyusun sedemikian rupa batu-batu padas berbagai
bentuk yang menyerupai gunung. Selain parahyangan yang
berupa candi sederhana, penduduk juga menandai daerah
sakral tersebut dengan pohon-pohon tertentu yang mampu
tumbuh dan hidup dalam jangka waktu yang lama, puluhan
tahun atau bahkan ratusan tahun, karena juga berfungsi
sebagai penandaan terhadap suatu wilayah yang disucikan.
Wilayah pertanian, irigasi, tebing, tempat penguburan, pasar
dan tempat-tempat lain yang diyakini memiliki kekuatan
spirit yang bersifat magis juga ditandai dengan susunan batu
5

dan penanaman pohon beringin, pule, kepuh dan berbagai


jenis bunga yang memiliki jenis batang dan akar yang kuat
dan bisa berumur tua.
Masa Kekuasaan kerajaan Kadiri.
Kitab tua Cina yang berjudul Ling-Wai-tai-ta karya
Chou K’u-fei pada tahun 1178 Masehi dan kitab Chu-fan-
chi tahun 1178 karya Chaujukua yang menggambarkan
kehidupan sosial politik pada masa Kediri dengan sangat
detail, juga wilayah-wilayah yang menjadi daerah
kekuasaanya, termasuk Bali. Bersamaan dengan masa
kekuasaan Dinasti Jin di Cina utara antara tahun 1115 - 1234
Masehi, Raja Kediri Sri Kameswara yang bergelar Sri
Maharaja Rake Sirikan Sri Kameshwara Sakala Bhuwana
Tushtikarana Sarwwani Waryya Wiryya Parakrama Digjayo
Tunggadewa, mendapat kunjungan 9 orang biksu dari Cina,
yang membawa misi memperkenalkan dan menyebarkan
agama Budha di wilayah Kediri dan sekitarnya. Empat orang
biksu Cina tersebut kemudian melakukan perjalanan suci ke
wilayah pulau Bali yang saat itu masih merupakan wilayah
kekuasaan Kediri.
Salah seorang dari 4 biksu yang melakukan
perjalanan suci di pulau Bali bernama Biksu Cin Hoan
menuturkan dalam bukunya bahwa kebudayaan daerah Bali
tengah sudah tertata dalam kehidupan berkelompok terdiri
dari hampir 50 keluarga yang mendiami lembah pegunungan
yang membentang dari utara ke selatan, diapit oleh 2 buah
sungai terjal. Dalam siklus 1 tahun kalender Bali selalu
mengadakan ritual dengan menyembelih kerbau dan kijang.
6

Daging dari semua persembahan itu dibagi-bagikan kepada


penghuni kawasan dengan sama rata, memakai alas daun.
Cara menimbangnya dengan memakai batok kelapa bertali
yang dikaitkan pada sebatang bambu kecil yang bertali di
bagian tengahnya, sehingga mirip seperti timbangan untuk
mencari berat yang sama antara ke dua bagiannya. Biksu Cin
Hoan berkeliling dalam misinya ke kuwu-kuwu diseputaran
Bali tengah, termasuk di dalamnya adalah kuwu-kuwu yang
terdapat di pinggiran Kali atau Tukad. Bulan November
tahun 1244 Masehi Biksu Cin Hoan dan beberapa biksu
lain mengunjungi kuwu-kuwu sepanjang sungai Petanu,
Pekerisan, Tukad Lawas, Tukad Kunggang, Tukad Mas,
Tukad Wos (Woh), Tukad Ayung, Tukad Lauh, Tukad Apit,
Tukad Dawa, Tukad Tawar dan kuwu-kuwu lainnya.
Diperkirakan oleh para ahli orang-orang Aga
(gunung) tersebut membangun kuwu masih memakai tatanan
satu garis lurus utara selatan atau hulu teben, dengan jalan
desa sebagai garis tengahnya, sementara di kanan dan kiri
jalan dibangun rumah-rumah sangat sederhana dengan bahan
yang hampir seluruhnya terbuat dari balok-balok kayu hasil
tebangan saat merabas hutan. Hal itu bisa dianalisa dari
tulisan Biksu Cin Hoan dan beberapa pengikutnya yang
menyatakan rumah-rumah penduduk di Bali tengah diantara
tahun 1200 sampai dengan tahun 1256 Masehi berupa
bangunan bangunan kecil berjajar di sepanjang jalan dengan
kayu-kayu sebagai dinding serta atap alang-alang yang
dijalin dengan rapi. Di ujung desa atau di tengah desa ada
sebuah bangunan yang agak besar memanjang, tanpa
dinding bertiang 12 beratap alang-alang. Di bangunan besar
7

inilah para penduduk berkumpul pada sore hari


membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan hasil
perburuan, hasil ladang, bersenda gurau sambil mengunyah
sirih. Di langit-langit rumah besar tergantung berbagai
hiasan dari kayu-kayu tua juga tulang-tulang binatang
buruan serta beberapa pahatan-pahatan kayu yang masih
sederhana. Di pojok bangunan bersandar perkakas dari besi
yang ditempa berbentuk pipih memanjang. Asap mengepul
dari berbagai pojok batas desa, asap ini muncul dari
gundukan kayu-kayu yang dibakar penduduk dengan tujuan
penandaan daerah dan dipakai juga untuk mengusir binatang
buas agar tidak mendekati areal perumahan penduduk.
Semua catatan ini tersimpan rapi di sebuah kuil
daerah Yunan beratus-ratus tahun lamanya, sampai
kemudian diteliti oleh para ahli dan diterjemahkan dalam
berbagai bahasa sebagai media analisa tentang keadaan Bali
pada masa itu. Dalam berbagai kesimpulan ahli didapat
kesepakatan ilmiah, bahwa pada tahun itu di daerah Bali, di
pinggiran kali-kali besar penduduk sudah hidup dengan
budaya yang tertata dan terjalin hubungan sosial religius
antara sesama penduduk, alam dan hyang atau leluhur. Kata
pura atau parahyangan tidak ada disebutkan dalam semua
sumber, diperkirakan mereka melakukan pemujaan kepada
Hyang ditempat-tempat yang dianggap sakral dan disediakan
oleh alam dari sebelumnya. Penduduk masa ini kebanyakan
memuja kebesaran Tuhan dan para leluhur dengan memakai
media Lingga semu, atau Lingga tidak sempurna yang
banyak ditemui di wilayah Bali tengah, disepanjang sungai-
sungai yang mempunyai tebing curam.
8

Masa akhir pemerintahan Bali Kuno.


Masa Bali Kuno menurut ilmuan R Gorris adalah
masa meliputi kurun waktu antara abad ke 8 sampai abad ke
14 Masehi. Masa ini dibagi menjadi 3 kurun waktu
kekuasaan, antara lain masa kekuasaan dinasti Warmadewa
yang dimulai dari pemerintahan raja Sri Kesari Warmadewa
pada tahun 914 Masehi hingga masa kekuasaan raja Sri
Suradhipa yang berakhir di tahun 1119 Masehi. Selanjutnya
Bali dikuasai oleh dinasti Wangsa Jaya yang dimulai dari
pemerintahan raja Jayasakti di tahun 1133 sampai dengan
akhir dinasti pada masa pemerintahan seorang ratu dari
wangsa Jaya pada tahun 1284. Raja Patih Makakasar Kebo
Parud mengawali masa kekuasaan Kerajaan kediri di Bali
pada tahun 1296 sampai dengan akhir pemerintahan Sri
Astasura Ratna Bhumi Banten pada tahun 1337.
Pada masa pemerintahan raja Sri Astasura Ratna
Bhumi Banten tahun 1337 sampai tahun 1343 Masehi yang
berkedudukan di Bendulu, daerah Sakah, Kedewatan, Taro,
Payangan, Ubud, Tegallalang dan wilayah sekitarnya utara
Blanjong menjadi wilayah kekuasaan dari Ki Walungsari
dan Ki Walung Singkal yang berkedudukan di desa Taro.
Penduduk wilayah ini bertugas utama memelihara
parahyangan-parahyangan kuno juga menjaga wilayah hutan
perburuan kerajaan yang terbentang sepanjang sungai
sampai daerah Taro. Sepanjang aliran tersebut berdiri
banyak parahyangan tua yang dahulunya difungsikan
sebagai tempat penyebaran faham Siwa Buda dan
Bhujangga.
9

Tugas khusus penduduk sebagai panghulu


kahyangan dan penjaga kelestarian hutan perburuan raja
disepanjang perbukitan itu memberikan kebebasan kepada
penduduk bebas dari pajak atau root. Daerah perbukitan ini
kemudian dikenal kemudian dengan nama Sima atau
Swatantra yang berarti wilayah Desa, Perdikan atau Kuwu.
Pajak yang dibebaskan itu meliputi root ing huma atau pajak
sawah basah, root ing parlak atau pajak sawah kering, root
ing mmal atau tegalan dan root ing kbwan atau pajak ladang.
Daerah sebelah selatan campuhan menjadi satu daerah Sima
dengan nama Sima Di Campuh, masih menjadi bagian dari
Banwa Taro.
Struktur organisasi Sima Di Campuh terdiri dari
Hulu Sima disebut Basta, juru tulisnya disebut dengan nama
Tayung dibantu oleh jabatan-jabatan yang lebih rendah
seperti Hulu Lapu atau Kuncang, Kulapati atau Sadhyaguna
Maghana, Gansar dan Rahit. Para Pang-Hulu inilah yang
bertanggung jawab terhadap Simanya sekaligus sebagai
penyambung keinginan penduduk Sima dengan Hulu
Banwa di Taro. Pada setiap bulan Caitra, yaitu antara bulan
Maret-April para Pang-Hulu Sima Di Campuh menghadap
ke Hulu Taro untuk mempersembahkan Root Ing Banyu atau
pajak sumber air sebesar 2 Masaka.
Kebudayaan Jawa sudah mulai masuk dan menyebar
di wilayah Bali tengah pada masa ini diakibatkan dari
pengaruh kerajaan Singasari yang berkuasa di Jawa Timur
mulai tahun 1272 hingga tahun 1292 Masehi. Perlahan tapi
pasti bahasa Bali Kuno tergeser penggunaannya oleh bahasa
10

Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta. Wilayah ini selain


berpusat pemerintahan ke adipati Walung Sari dan Walung
Singkal di Taro juga berhulu agem ke Giriya Siwa Air Gajah
disekitar wilayah Goa Gajah sekarang. Penduduk yang
melakukan ritual di Prasada atau candi atau parahyangan
selalu memohon petunjuk Giriya Air Gajah Bedulu, khusus
untuk upacara-upacara yang bersifat sangat besar. Untuk
upacara upakara yang bersifat kecil kebanyakan dipimpin
oleh Hulu-agem yang diangkat oleh penduduk Sima, atas
persetujuan dari Demung.
Penduduk Sima Di-Campuh kebanyakan bermata
pencaharian sebagai petani dan pedagang serta pengrajin
alat-alat rumah tangga, seperti gerabah, alat-alat pertanian
dan alat-alat pertukangan. Mereka menepati rumah-rumah
panggung yang berjajar ditepian sungai dengan masing-
masing kepala keluarga dikenal dengan nama Hulu-Bah
berkedudukan paling berpengaruh di dalam satu keluarga
besar yang mendiami rumah-rumah panggung tersebut.
Seorang Hulu-Bah membawahi 10 hingga 20 jiwa, terdiri
dari orang tua, paruh baya, remaja dan anak-anak.
Pertanian di wilayah Sima Di-Campuh sudah
berkembang dengan adanya pengangkatan pejabat kepala
pengairan yang disebut Makahaser oleh pejabat di Hulu-
Taro. Jabatan Makahaser itu diperkirakan sebagai jabatan
Pekaseh atau Sedahan sekarang. Makahaser bertugas sebagai
pengantar penduduk membawa bukti panen ke petugas
kerajaan di Taro. Iring-iringan pejalan kaki yang membawa
berbagai hasil panen dan hasil perternakan dari Sima Di-
11

Campuh menyusuri tepian sungai menuju Taro. Hasil panen


itu berupa padi, gaga, trisana atau kelapa, hano atau enau,
tingkir atau kemiri, kapulaga, talas, pipakan atau jahe,
bawang merah bawang putih, pusang atau pinang, hartak
atau kacang ijo, kapas dan kapir atau kapuk.
Sebagian bukti ini dipikul sebagian lagi dijinjing dan
digotong dengan memakai bilah bambu kecil-kecil dijalin
sehingga membentuk seperti tikar yang digulung.
Digulungan bambu bagian atas ditusukkan bambu yang
panjang sebagai alat pikul oleh dua orang lelaki paruh baya
yang kekar dan berotot. Wanita-wanita muda yang lincah
menjinjing dan memikul anyaman daun enau yang berbentuk
seperti keranjang tempat membungkus rempah-rempah dan
beras. Iring-iringan penduduk penduduk dari satu Sima
biasanya akan bertemu dengan iring-iringan penduduk Sima
yang lain sepanjang perjalanan kemudian bergabung
membentuk barisan yang mengekor hingga sampai di Bale
Bang.
Prosesi ini terus berlangsung sebagai bentuk wujud
bakti para penghuni Sima kepada yang dirajakan, pada
akhirnya persembahan atau bukti ini sebagian besar dipakai
sebagai biaya dalam memelihara berbagai prasada atau
kahyangan kerajaan. Sebagian kecil dipakai sebagai gaji
para pejabat dan biaya hidup raja serta para bangsawan.
Penduduk Sima membagi peruntukan tanah pertanian
menjadi 2 janis, yaitu lahan kering dan lahan basah. Banyak
istilah yang dipakai untuk jenis-jenis tanah garapan yang
merupakan tanah milik raja, antara lain Mmal atau Tegal,
12

Huma adalah tanah yang dipakai sebagai tempat menanam


padi gaga, Parlak atau ladang, Sawah, kebuan atau kebun
dan Padang yang merupakan areal luas berupa tegal yang
ditumbuhi rumput-rumput.
Pada masa ini sudah dikenal undagi pengarung yang
bertugas untuk membuat trowongan air, sudah pula dikenal
nama Dawuhan atau bendungan, kata Sawah, Tembuku,
Makahaser, Kilan dan Kasuwakan. Oleh para ahli,
Kasuwakan inilah yang merupakan cikal bakal Subak di Bali
yang diwarisi hingga sekarang.
Masa Peralihan Majapahit.
Masa Peralihan ini dimulai saat politik di Jawa
demikian panas, kerajaan Majapahit berkembang dengan
sangat pesat. Ratu Tribhuwanottunggadewi Maharajasa
Jayawisnuwardhani yang menjadi ratu dari tahun 1328
hingga tahun 1351. Sebelum menjadi ratu Majapahit
menggantikan Jayanegara, beliau bernama Dyah Gitarja
berkedudukan sebagai Bhre Kahuripan. Berdasarkan kitab
Pararaton, Ratu Tribhuwana memerintah di Majapahit
didampingi oleh suaminya yang bernama Kertawardhana.
Gajah Mada yang diangkat sebagai Patih Amangkubhumi di
Majapahit pada tahun 1334 Masehi mendampingi
pemerintahan sang Ratu.
Mahapatih Gajahmada mengucapkan Sumpah
Palapa, yang isinya tidak akan menikmati makanan enak
sebelum berhasil menaklukan seluruh kepulauan Nusantara
dibawah panji-panji kebesaran Majapahit. Dalam Lontar
13

Kidung Pamancangah, Ratu Majapahit mengerahkan


kekuatan 30.000 prajurit yang yang dibagi menjadi 2 dalam
menaklukan Bali, setengah menyerang dari utara dipimpin
oleh Arya Damar, sebagian lagi menyerang dari pantai
selatan dipimpin oleh Mahapatih Gajamada. Dalam
penyerangan ini turut pula para Arya, tidak diceritakan
sepanjang pertempuran yang berlangsung selama 7 bulan,
akhirnya Bali takluk kepada Majapahit pada tahun 1343
Masehi. Arya Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong,
dan Arya Belog ditugaskan untuk tinggal di Bali memimpin
Bali untuk sementara waktu.
Mpu Jiwaksara ditugaskan di pusat kota sebagai
wakil sementara, untuk tugas ini Sang Mpu diberi gelar
Patih Ulung. Akan tetapi Bali belum bisa ditenangkan,
sering terjadi gejolak antara orang Bali dengan para Arya
yang berkuasa. Pemberontakan Ki Tokawa di Ularan, dan Ki
Buwahan di Batur membuat Bali semakin mencekam. Pada
tahun 1350 Masehi Ki Patih Ulung, Arya Pemacekan dan
Arya Kepasekan menghadap ke Majapahit melaporkan
situasi di Bali dan memohon kepada Sang Ratu agar
menunjuk seorang Raja untuk Bali.
Ratu Tribhuwana kemudian menunjuk Ida Ketut
Kresna Kepakisan untuk menjadi Adipati Bali. Beliau
merupakan putra dari penasehat kerajaan Majapahit yang
bernama Dang Hyang Soma Kepakisan. Seorang Brahmana
utama yang memahami seluruh isi tattwa agama dan sangat
masyur tentang kebijaksanaannya. Pada masa peralihan,
antara tahun tahun 1343 sampai dengan tahun 1350 Masehi
14

keadaan Sima menjadi tidak terurus dengan baik, termasuk


Sima Di-Campuh. Walaupun penduduk masih menjalankan
kegiatan mereka seperti biasa, bercocok tanam, berternak
dan berdagang, tetapi kehidupan mereka secara
pemerintahan tidak teratur. Seperti anak ayam yang
kehilangan induknya, sering juga terjadi berbagai
permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik,
sehingga menimbulkan pertentangan diantara para tetua
Sima. Terutama dalam bidang pembagian air untuk
pertanian tidak jarang menjadi perselisihan berakhir dengan
perkelahian diantara para petani.
Keamanan Sima juga mulai terusik dengan mulai
munculnya para pencuri dan begal, terutama pada masa-
masa sesudah panen. Para begal seringkali juga melakukan
kekerasan bahkan pembunuhan saat menjalankan aksinya.
Para petani tidak tenang meninggalkan rumah dan
keluarganya untuk bertani, pada pedagang enggan berdagang
keluar Sima, para peternak sibuk menjaga ternak-ternak
mereka hingga tidak berani mengembala ternaknya jauh dari
perkampungan. Selama kurun waktu hampir sepuluh tahun
keadaan seperti itu dialami oleh para penghuni Sima Di-
Campuh. Hilang senyum dan senda gurau para penduduk,
lenyap nyanyian indah romantis anak-anak yang menginjak
usia remaja juga canda tawa bocah dihalaman rumah tidak
pernah terdengar lagi. Yang tersisa hanya wajah-wajah kaku
penuh kekhawatiran, Sima menjadi seperti tempat yang
sangat menakutkan bagi penghuninya sendiri.
15

Binatang dan pepohonan juga seperti enggan


membagi kebahagiaan dengan para penduduk, Binatang
peliharaan kurus, sakit-sakitan dan banyak yang mati tanpa
sebab. Tanaman penduduk kerdil, mengering dan layu,
bunga-bunga layu sebelum berbunga. Keadaan menjadi
semakin menyedihkan. Demikian sisi penggambaran
suasana Sima Di-Campuh pada masa pertengahan, masa
antara kehancuran kerajaan Bedahulu hingga berdirinya
kerajaan Samprangan.
Masa Kekuasaan Samprangan.

Pada suatu hari yang baik di tahun 1350 Masehi,


merapat sebuah kapal besar dari Majapahit di pantai Lebih,
pesisir selatan Bali. Kapal kerajaan ini membawa Sri Kresna
Kepakisan beserta para bangsawan Majapahit dan Kediri
yang yang gagah perkasa dan berilmu sangat tinggi. Sri
Kresna Kepakisan diperintahkan sebagai penguasa tunggal
Bali sebagai Adipati. Penduduk Bali mengenal beliau
sebagai Dewa Tegal Besung atau Dewa Wahu Rawuh. Dari
Lebih rombongan itu kemudian menuju arah timur laut dan
dengan segera membangun kraton di Samprangan. Sebagai
pendamping beliau dipilih Sri Nararya Kresna Kepakisan
berkedudukan Patih Agung. Ki Patih Ulung diangkat
menjadi Mangku Bhumi juga berkedudukan di Samprangan.
Sri Kresna Kepakisan memerintah di Bali dengan
bekal pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris pusaka
yang bernama Ki Ganja Dungkul. Beliau mempunyai dua
orang istri, Ni Gusti Ayu Gajah Para dan Ni Gusti Ayu
16

Kutawaringin. Dari istri pertama beliau mempunyai 4 orang


putra-putri, antara lain Dalem Wayan atau Dalem
Samprangan, Dalem Dimadya atau Dalem Tarukan, putri
bernama Dewa Ayu Wana yang meninggal remaja dan
Dalem Ketut atau Dalem Ngulesir. Dari istri kedua, beliau
mempunyai putra bernama I Dewa Tegalbesung.
Perubahan besar terjadi pada masa beliau
memerintah, kedudukan dan wewenang para bangsawan Bali
kuno digeser oleh para Arya dari Jawa, baik Arya yang
sudah menetap lebih dahulu maupun Arya yang menyertai
beliau datang ke Bali. Sehingga dalam masa pemerintahan
beliau hampir seluruh wilayah Bali sudah ditempatkan para
Arya sebagai petugas kerajaan Samprangan yang sangat
setia kepada Sri Kresna Kepakisan sebagai wakil dari
Majapahit di Bali.
Para Arya itu antara lain: Arya Kenceng
berkedudukan di Tabanan, Arya Kanuruhan di Tangkas,
Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu, Arya
Dalancang di Kapal, Arya Belog di Kaba Kaba, Arya
Pangalasan, Arya Manguri, Arya Gajah Para dan adiknya
Arya Getas di Toya Anyar, Arya Tumenggung di Petemon,
Arya Kutawaringin di Toya Anyar Klungkung, Arya
Beleteng di Pacung dan Arya Sentong Carangsari, Kriyan
Punta di Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti, Arya Sura
Wang Bang Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang Mataram
bertempat tinggal tidak menetap, Arya Melel Cengkrong di
Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem. Sementara Sang
17

Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di


Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cagahan.
Demikian banyak jumlah Arya yang disebar di
seluruh Bali untuk mengamankan wilayah-wilayah
pegunungan, terutama wilayah-wilayah yang berjarak jauh
dari kotaraja Samprangan. Wilayah Sima Di-Campuh bagian
utara berada dalam wilayah kekuasaan Arya Sentong yang
berkedudukan di Pacung, sementara setengah bagian selatan
berada dalam wilayah kekuasaan Kryan Punta di Mambal.
Dengan demikian hubungan ke wilayah Taro yang terbangun
dari ikatan pemerintahan Bali Kuno menjadi putus.
Sementara rasa tidak puas penduduk Bali terhadap cara
pemerintahan para Arya banyak yang melakukan
pemberontakan yang bersifat kecil, terdiri dari letupan-
letupan emosi penduduk swatantra yang bergabung
mengangkat senjata. Gejolak terjadi di Batur, Cempaga,
Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu,
Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan,
Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong,
Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain.
Pemberontakan yang bersifat kedaerahan itu berhasil
dipadamkan oleh pemerintah, konon setelah memohon
petunjuk ke Majapahit dan Adipati Bali mendapat anugerah
berupa simbol-simbol kerajaan, pakaian kebesaran dan keris
pusaka yang bernama Ki Lobar. Raja merupakan pemegang
otoritas politik tertinggi, didampingi oleh dewan penasehat
raja yang bernama Pahem Narendra yang beranggotakan
para kerabat raja yang dinilai sangat ahli dalam berbagai
18

bidang. Dalam bidang keagamaan, raja dibantu oleh dewan


pertimbangan yang bernama Dharma Dhyaksa terdiri dari 3
kelompok ajaran, Siwa Bodha dan Bhujangga atau
Kasaiwan, Kasogatan dan Kabhujanggan. Dari sinilah
muncul istilah Sang Trini yang diakui oleh kerajaan
Samprangan sebagai guru jagat.
Masa Kekuasaan Gelgel.
Sri Kresna Kepakisan berpulang ke alam Wisnuloka
pada tahun 1373 Masehi, digantikan oleh putranya yang
bernama Dalem Wayan atau Sri Agra Samprangan. Beliau
melanjutkan pemerintahan pendahulunya dengan kraton
masih di Samprangan. Karena dianggap tidak cakap dalam
memimpin Bali, beberapa bangsawan kerajaan yang
diprakarsai oleh Kyai Klapodyana kemudian membujuk
Dalem Ketut Ngulesir menjadi raja dengan kraton baru di
Gelgel dengan nama kraton Sweca Lingga Arsa Pura.
Setelah abhiseka bergelar Sri Semara Kepakisan. Sebagai
patih agung diangkat Kyai Gusti Arya Petandakan
menggantikan ayahnya, Pangeran Nyuhaya yang sudah
mangkat. Sri Semara Kepakisan yang berkuasa mulai dari
tahun 1380 hingga tahun 1460 Masehi pernah
menyelenggarakan upacara penghormatan terhadap arwah
para raja Bali Kuno di pura Tegeh Kahuripan atau Pura
Bukit Penulisan dan mendirikan Pura Dasar Bhuwana di
Gelgel sehingga mampu menarik hati masyarakat Bali.
Beliau juga tercatat sebagai satu-satunya penguasa Bali yang
pernah menghadap ke Majapahit pada masa pemerintahan
raja Hayam Wuruk.
19

Masa keemasan Bali terjadi pada masa


pemerintahan Dalem Waturenggong yang memerintah dari
tahun 1460 sampai dengan 1550 Masehi. Bali berdaulat
penuh dan menguasai wilayah Pasuruwan, Blambangan,
Lombok dan Sumbawa. Patih Agung Gelgel dijabat oleh
Kryan Batanjeruk yang merupakan putra dari Kyai
Petandakan. Kedatangan Dhang Hyang Nirartha sebagai
Bhagawanta Gelgel membuat Bali semakin bersinar. Beliau
yang memimpin upacara Eka Dasa Ludra di Besakih
bersama dengan pendeta Buda Dang Hyang Astapaka.
Dalem Waturenggong mangkat pada tahun 1552
meninggalkan 2 putra yang masih sangat belia I Dewa
Pamahyun atau Dalem Bekung dan I Dewa Anom Dimade
atau Dhalem Sagening.
Dalem Bekung yang masih sangat belia menjadi
pelanjut tahta Gelgel dari tahun 1550 hingga tahun 1580
Masehi. Akan tetapi urusan pemerintahan dipegang oleh
Kryan Batanjeruk beserta paman-pamanya. Karena
keinginannya berkuasa sangat besar Kryan Batanjeruk
melakukan pemberontakan bersama dengan I Dewa
Anggungan, I Gusti Tohjiwa dan I Gusti Pandhe Basa yang
merupakan putera dari pangeran Dauh Penulisan. Kyai
Kebontubuh dan Kryan Manginte dari Kapal kemudian
berhasil menumpas pemberontakan Kryan Batanjeruk yang
tewas di Bungaya atau Jungutan pada tahun 1556 Masehi,
ikut terbunuh I Gusti Tohjiwa. I Dewa Anggungan
diturunkan kebangsawananya, sementara I Gusti Pandhe
Basa tewas kemudian pada pemberontakan berikutnya yaitu
pada tahun 1578 Masehi. Karena merasa putus asa dalam
20

mengatur negeri leluhurnya Dalem Bekung kemudian


memutuskan untuk meninggalkan Gelgel dan membangun
puri dan menetap di daerah Kapal.
Tahun 1580 Dhalem Sagening diangkat sebagai raja
menggantikan kakaknya. Jabatan patih agung dipegang oleh
putra dari I Gusti Agung Manginte yang bernama I Gusti
Agung Widia atau I Gusti Agung Maruti. Jabatan Demung
dipegang oleh I Gusti Di Ler Pranawa. Dalem Sagening
yang memerintah dari tahun 1580 hingga tahun 1665 Masehi
mempunyai banyak putra yang beliau tempatkan diberbagai
daerah dengan jabatan Anglurah. Selanjutnya I Dewa Anom
Pemahyun naik tahta menggantikan ayahnya yang mangkat
karena usia. Akan tetapi beliau kemudian digantikan oleh
adiknya yang bernama I Dewa Dimade, beliau sendiri
memilih menyerahkan tahta Gelgel kemudian mengungsi
dan berpuri di Purasi Karangasem. Dari Purasi beliau
kemudian menuju Desa Temega bersama putranya yang
bernama I Dewa Anom Pamahyun Dimade.
I Dewa Dimade menjadi raja dengan waktu yang
sangat singkat, akibat digulingkan oleh pemberontakan I
Gusti Agung Maruti yang berhasil menduduki kraton Gelgel.
Dalem mengungsi menuju Desa Guliang Bangli bersama
dengan putranya yang bernama I Dewa Jambe. Pengungsian
itu diiringi oleh rakyat sebanyak 300 orang, sementara I
Dewa Pamayun sudah lebih dahulu berpuri di Tampaksiring.
I Gusti Agung Maruti mengangkat diri menjadi pemimpin di
Gelgel dengan masa berkuasa mulai dari tahun 1686 sampai
dengan 1705 Masehi. Para Anglurah yang dulunya berada
21

dalam kekuasaan Gelgel satu persatu kemudian melepaskan


diri dan menyatakan diri berdaulat dan membangun
Kerajaan sendiri di wilayahnya. Selama pemerintahan
Maruti muncul kerajaan-kerajaan baru seperti Mengwi,
Gianyar, Klungkung dan Sukawati.
I Gusti Agung Maruti melarikan diri dari Gelgel
setelah diserang oleh pasukan gabungan, Denbukit, Badung
dan Singharsa dibawah pimpinan I Dewa Agung Jambe dan
Anglurah Singharsa. Pelarian Patih Agung menuju Jimbaran,
Badung, Kapal dan berakhir di Kuramas atau Keramas
Gianyar. Beberapa sumber sejarah menyebutkan hal yang
berbeda tentang pelarian Patih Agung Gelgel ini. menurut
data KITLV, Coll. De Graaf: Tahun 1687 surat resmi Dewa
Agung Klungkung sampai di Batavia yang memperkenalkan
diri sebagai raja baru di Bali, setelah berhasil menumpas
pemberontakan I Gusti Agung Maruti yang dinyatakan tewas
oleh Lurah Batu Lepang, yang melarikan diri dari Gelgel
dengan pengiring 1200 orang sementara 4 orang cucu dari
Gusti Agung ditahan di Klungkung.
Pada Masa pemerintahan Gelgel ini yang
berlangsung mulai tahun 1380 sampai dengan 1705 terjadi
perubahan yang sangat besar di daerah-daerah kekuasaan
Gelgel. Nama Banua mulai berubah menjadi Desa yang
terdiri dari sub bagian yang lebih kecil dengan nama Banjar.
Eksodus atau perpindahan penduduk selama kurun waktu ini
terjadi dalam jumlah sangat banyak dan bersifat dinamis.
Hal ini terjadi akibat dari penggerakan rakyat yang
dilakukan oleh raja, bangsawan atau para pemuka
22

masyarakat yang membuka wilayah baru untuk perluasan


pemukiman. Khusus untuk wilayah desa-desa Bali Kuno,
raja menempatkan satria atau Arya yang mempunyai
kemampuan tinggi, serta yang utama mempunyai kaitan
darah dengan para Arya Bali, sehingga kedatangan mereka
bisa diterima sebagai anggota keluarga.
Masa Kekuasaan Mengwi.
I Dewa Agung Jambe atas restu dari kakak beliau
kemudian membangun kraton di Klungkung dengan nama
Kraton Smarapura yang selesai dibangun pada tahun 1710
Masehi. I Dewa Agung Jambe berkuasa mulai tahun 1705
sampai tahun 1775 Masehi, mempunyai 3 orang putra: Dewa
Agung Dimade, Dewa Agung Anom Sirikan dan Dewa
Agung Ketut Agung. Dewa Agung Made kemudian menjadi
Raja Klungkung II, Dewa Agung Anom Sirikan mendirikan
puri di Timbul, menurunkan generasi Sukawati sementara
Dewa Agung Ketut Agung berpuri di Gelgel sebagai
punggawa kerajaan Klungkung. Dihentikan untuk sementara
kisah tentang Kraton Smarapura. Pada masa ini muncul
beberapa kekuatan baru para Arya yang membentuk Negari
kecil atau kerajaan kecil. Akibat dari penguasaan Gusti
Agung terhadap kraton Gelgel. Salah satu Negari yang
sangat kuat adalah Mengwi, Raja pertama Mengwi yang
bernama I Gusti Agung Putu dikabarkan mendapatkan
anugerah dari Ida Bhatara yang melinggih di Gunung Mangu
dan berbekal banyak pusaka sakti membawa Mengwi
menjadi penguasa wilayah yang sangat luas. Menurut Babad
Kaba-kaba sekitar tahun 1686 Masehi wilayah kekuasaan
23

Mengwi meliputi Kaba-kaba, Marga batas barat sampai


sungai Yeh Panah. Batas Selatan Sampai Bukit Jimbaran,
termasuk Pura Luhur Uluwatu. Batas timur sampai Sungai
Petanu, batas utara sampai Gunung Beratan. Bahkan
Mengwi yang beribukota kerajaan bernama Kawyapura ini
juga menguasai wilayah Blambangan di Jawa Timur.
Banyak juga wilayah-wilayah lain di Bali yang menjadi
daerah kekuasaan dari kerajaan Mengwi.
24

Daerah Sakah memasuki babak baru, sebagai


wilayah dari kerajaan Mengwi bagian timur. Pemerintahan
Mengwi yang sangat mengandalkan hasil sawah dan kebun
dalam menopang kerajaan, membangun banyak saluran
irigasi bagi wilayah-wilayah yang dikuasai. Banyak Dam
atau bendungan yang dibangun dalam usaha
mensejahterakan masyarakat, saluran-saluran irigasi
dibangun dan ditata dengan baik sehingga wilayah-wilayah
dalam kekuasaan kerajaan Mengwi memiliki sawah-sawah
dan tegalan yang subur serta menghasilkan bahan pangan
sangat berlimpah. Keseriusan pemerintahan dinasti Mengwi
dalam membangun wilayah pertanian membuat kerajaan ini
sangat cepat berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dan
kuat berkisar antara tahun 1736 hingga tahun 1767 Masehi.
Menurut Henk Schulte Nordholt, selain membangun banyak
sekali bendungan, dinasti Mengwi juga menepatkan para
Bangsawan Mengwi di daerah-daerah kekuasaanya seperti
yang tampak pada gambar di atas. Mengwi memiliki 3 aliran
sungai besar sebagai pokok irigasi, antara lain Sungai Sungi,
Sungai Penet dan Sungai Ayung. Blahbatuh, Kengetan dan
Sakah adalah wilayah bagian paling timur dari kekuasaan
Mengwi.
Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu
memerintahkan para pengikutnya di seluruh wilayah
kekuasaan Mengwi untuk membangun banyak pura khusus
yang difungsikan sebagai tempat memuja Tuhan dan
pemujaan terhadap leluhur. Tahun 1708 raja Mengwi yang
sebelumnya bernama I Gusti Agung Putu menyadang gelar I
Gusti Agung Made Agung Bima Sakti atau Cokorda Sakti
25

Blambangan gelar lainnya. Beliau dikenal sangat sakti atau


Mangueng dalam Bahasa Bali, sehingga diyakini dari kata
Mangueng menjadi Mengwi hingga sekarang. Raja Mengwi
I Gusti Agung Made Agung Bima Sakti selain ahli dalam
berbagai siasat perang dan ilmu ketata negaraan juga
mempunyai kemampuan yang tinggi dalam bidang spiritual,
beliau banyak mendapatkan anugerah pusaka-pusaka bertuah
dari hasil semadinya. Pada hari-hari yang baik beliau selalu
bersemadi ke pura-pura tua untuk memohon petunjuk dari
Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai upaya memperbaiki
tatanan pemerintahan kerajaannya. Pada masa pemerintahan
Beliau yang menguasai daerah sangat luas dalam, nama desa
Sakah sudah termuat dalam beberapa tulisan Pengawi
Kerajaan.
Dalam lontar Peniti Krama Kawyapura yang
tersimpan di musium lontar Leiden Belanda ada disebutkan
bahwa desa Sakah berasal dari kata Sa dan Akah yang bila
diartikan secara terpisah menjadi Sa bermakna Satu, Akah
berarti Akar, sehingga mempunyai arti Satu Akar. Sementara
beberapa ahli bahasa Jawa Kuno memperkirakan kata Sakah
berasal dari kata Saka yang berarti Pohon Jati dengan bahasa
latin Tectona Grandis. Dari kedua kemungkinan kata yang
membentuk kata Sakah itu mempunyai makna yang hampir
sama yaitu menyatakan daerah tersebut berasal dari suatu hal
yang sama, kemungkinan wilayahnya atau penduduk yang
mendiaminya berasal dari satu daerah yang sama atau
kepercayaan yang sama atau tujuan yang sama. Apabila
merunut dari kata Sakah yang berasal dari Saka atau Kayu
Jati dalam bahasa Jawa Kuno bisa memiliki arti bahwa
26

sebagian besar penduduk disana adalah terdiri dari para


penduduk Bali Aga yang dahulu dikenal dengan dengan
kejatiannya sebagai penduduk Bali Mula atau Bali Aga.
Beberapa sember ada menyebutkan bahwa Sakah berasal
dari kata Saka yang dalam bahasa Bali berarti tiang
penyangga suatu bangunan. Apabila dikaitkan dengan masa
ditemukannya data-data yang menyebutkan kata Sakah
sebagai sebuah daerah, yang paling memungkinan adalah
kata Akah yang berarti awal kehidupan atau Saka yang
berarti sebagai tiang penyangga.
Masa Kekuasaan Sukawati dan Ubud.
Pada sekitar tahun 1713 wilayah sebelah timur
Sungai Ayung dipersembahkan oleh Raja Mengwi kepada I
Dewa Agung Klungkung sebagai bukti Mengwi mengakui I
Dewa Agung Klungkung sebagai penguasa Bali. Oleh I
Dewa Agung Klungkung wilayah tersebut dianugerahkan
kepada putra beliau yang bernama I Dewa Agung Anom
yang kemudian mendirikan Kerajaan Sukawati dengan
nama abhiseka Sri Aji Maha Sirikan, atau Sri Aji Wijaya
Tanu atau dikenal oleh masyarakat sebagai Dhalem
Sukawati. Dengan wilayah kekuasaan yang sangat luas,
Sungai Pekerisan sebagai batas wilayah timur, Pantai
Gumicik sebagai batas selatan, Sungai Ayung sebagai batas
barat, dan pegunungan Batur sebagai batas utara, seperti
yang tertuang dalam pustaka Babad Timbul, Babad
Durmanggala, Babad Dalem Sukawati dan babad-babad
yang lain. Ida Sri Dewa Agung Dalem Dimadya yang
berkuasa di keraton Smarapura menganugrahkan pusaka Ki
27

Baru Gagak dan pusaka Ki Malela Dawa kepada Sri Aji


Wijaya Tanu sebagai bekal spirit dalam mengatur
pemerintahan di Timbul. Dalam memegang pemerintahan
Sri Aji Wijaya Tanu didampingi oleh permaisuri beliau yang
bernama Gusti Ayu Agung Ratu yang merupakan putri dari
Ki Gusti Agung Angelurah Made Agung, penguasa Mengwi
saat itu. Perjalanan Sri Aji Wijaya Tanu dari Smara Pura
menuju Timbul membawa serta pengiring pilihan dari
Klungkung dipimpin oleh Kyai Agung Ngurah Singharsa
yang sebelumnya merupakan tangan kanan dari Raja Dewata
Sri Dewa Agung Dalem Jambe. Jumlah pengiring beliau
yang sangat banyak dari Smara Pura terdiri dari wangsa
Brahmana, Ksatria, Para Gusti, Para Arya, Wesya, Pasek,
Bandesa, Kubayan, Gaduh, Tangkas, Gunaksa, Dangka,
Ngukuhin, Senggu, Pande, Sanging, Undagi, Pengukiran,
dan Kahula Wisuda.
Setelah sekian lama Sri Aji Wijaya Tanu menjadi
raja di Timbul, adalah lahir putra-putra beliau, dari
permaisuri lahir I Dewa Agung Jambe, I Dewa Agung Karna
dan I Dewa Agung Mayun. Setelah Sri Aji Wijaya Tanu
mangkat ke sunia loka, digantikan oleh putra beliau yang
bernama I Dewa Agung Mayun pada tahun 1733 Masehi
dengan gelar raja Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung
Pamayun. Kedua putra beliau yang lain memilih untuk
menjalankan Dharma Kepanditan dan Nyukla Brahmacari,
Dewa Agung Jambe memutuskan berpuri di Geruwang atau
Puri Guwang sekarang, sementara Dewa Agung Karna
melaksanakan Dharma Brahma Cari di Puri Ketewel, beliau
28

sangat gemar membuat tapel yang kemudian diyakini


memiliki kekuatan magis maha tinggi. Pada masa
pemerintahan Ida Sri Dewa Agung Gede Dalem Agung
Pamayun di Sukawati dari tahun 1733 sampai tahun 1757
Masehi, Dalem Agung Pamayun banyak memerintahkan
penduduk kekuasaan Sukawati untuk membangun pura-pura
juga memugar kembali pura-pura kuno yang sudah berdiri
sebelum pemerintahan beliau. Banyak dana kerajaan yang
juga dikeluarkan untuk menyelenggarakan upacara-upacara
besar di berbagai pura wilayah kekuasaan Sukawati.
Laporan politik dan budaya J. Moser tahun 1808 yang
kemudian dibukukan memuat data data tentang upaya
pemerintahan raja-raja Bali pada kurun waktu 1740 sampai
dengan 1800 Masehi dalam usaha membangun, memugar
dan membuat upacara-upacara besar pada pura, puri, pasar,
alun-alun dan tanah pekuburan. Salah satu data
menyebutkan bahwa raja Dalem Agung Pamayun
mengerahkan para undagi dari Klungkung dan Mengwi
dalam jumlah banyak untuk memugar sebuah pura Dalem di
desa Sakah yang sebelumnya masih berupa bangunan-
bangunan pelinggih yang sangat sederhana, setelah selesai
pengerjaanya pada kisaran tahun 1748 Masehi, kemudian
diupacara besar pada tahun 1750, tepatnya pada hari Selasa
Kliwon wuku Medangsia penanggal 12 pada sasih Kasa
tahun Saka 1672. Dari sekian banyak pura-pura yang berdiri
hingga sekarang ada tiga pura Dalem, tetapi yang memiliki
hari piodalan pada Selasa Kliwon adalah Pura Dalem
Anggarkasih Sakah, jadi dapatlah ditarik analisa awal bahwa
para undagi Klungkung dan Mengwi yang bersama-sama
29

memugar sebuah pura Dalem di desa Sakah pada masa


pemerintahan Dalem Agung Pamayun adalah pemugaran
dan upacara pemlaspas yang dilakukan di Pura Dalem
Anggarkasih Sakah, walaupun nama Pura Dalem
Anggarkasih belum ditemukan pada data tersebut.
Disebutkan juga bahwa pada tahun tersebut,
dilakukan pemugaran dari jenis pelinggih yang sangat
sederhana, hal ini memastikan bahwa pura Anggarkasih
Sakah sudah berdiri sebelum pemerintahan Dalem Agung
Pamayun di Sukawati yang memerintah dari tahun 1733
sampai dengan tahun 1757 Masehi. Kemungkinan didirikan
masa Dalem Sri Wijaya Tanu, kekuasaan Mengwi,
Kekuasaan Klungkung atau bahkan pada masa kekuasaan
Gelgel. Hal ini bisa ditapsirkan dengan banyaknya pelinggih
di dalam utama mandala pura Dalem Anggarkasih yang
berbentuk Gedong, yang mencerminkan arsitek kuna Jawa
yang diterapkan di Bali kemudian, setelah Bali dalam
kekuasaan Singhasari atau Majapahit. Sangat Banyak upaya
yang dilakukan oleh Dalem Agung Pamayun dalam upaya
membangun desa-desa yang menjadi wilayah dari Sukawati.
Pembangunan-pembangunan besar dalam berbagai bentuk
candi prasada dan pura ini yang mampu memperkuat
keyakinan dan kepercayaan rakyat Sukawati bahwa spirit
dan ritual adalah hal yang harus tetap dijaga oleh seluruh
komponen rakyat.
Ida Sri Dewa Agung Gede Pamayun menjadi raja
yang sangat bijaksana di Sukawati, beliau menurunkan putra
antara lain dua putra dari dampati Ida Sri Dewa Agung Istri
30

Mengwi bernama: Ida Dewa Agung Gede Putra, putra


keduanya bernama Ida Dewa Agung Made Putra. Ada juga
putra-putri beliau yang lahir dari Penawing, antara lain: Ida
Cokorda Ngurah, Ida Cokorda Karang, Ida Cokorda Anom,
Ida Cokorda Tiyingan, Ida Cokorda Tangkeban, Ida Cokorda
Ketut Segara, Ida Cokorda Rai Lengeng, Ida Cokorda
Gunung dan seorang putri yang kemudian setelah dewasa
diperisteri oleh Ida I Dewa Manggis Gredeg di Puri Gianyar.
Setelah para putera beliau menjadi dewasa semua, Ida Sri
Dewa Agung Gede Pamayun menyerahkan tahta kerajaan
kepada putra tertua yang bernama Ida Dewa Agung Gede
Putra pada tahun 1757 Masehi. Ida Sri Dewa Agung Gede
Pamayun kemudian memilih untuk menyepi di Puri Petemon
sampai mangkat, sehingga beliau dikenal dengan nama
Dalem Petemon.
Pada masa pemerintahan Ida Dewa Agung Gede
Putra terjadi gejolak berkepanjangan antara beliau dengan
adik kandungnya yang bernama Ida Dewa Agung Made
Putra yang sempat membuat pertentangan diantara para
pengikutnya sehingga kekuatan kerajaan menjadi terpecah
menjadi dua bagian. Akibat pergolakan politik itu sampai-
sampai Puri Sukawati pernah dikuasai oleh Ki Gusti
Munang dari Puri Grenceng Badung. Raja Ida Dewa Agung
Gede Putra sampai mengungsi ke Puri Ki Gusti Ngurah
Jelantik di Tojan. Setelah sekian lama berseteru pada
akhirnya kedua bersaudara bisa bersatu, mengumpulkan
kekuatan lalu melakukan penyerangan dan berhasil mengusir
I Gusti Munang dan para pengikutnya dari Sukawati dan
mengembalikan kedudukan Ida Dewa Agung Gede Putra
31

menjadi raja di Sukawati. Semua saudara dari raja Sukawati


kemudian membangun puri di daerah-daerah kekuasaan
Sukawati masing-masing mempunyai daerah dan pengikut
dan rakyat masing-masing. Dalam masa gejolak politik yang
panas ini, daerah Bali Tengah seperti Sukawati, Ubud, Sakah
dan beberapa daerah lain juga sering terkena bencana alam.
Pada Rabu Umanis wuku Kulantir tahun Saka 1737 atau
tanggal 22 November 1815 terjadi gempa bumi pada
menjelang tengah malam, karena kerasnya kekuatan gempa
membuat beberapa pura dan bendungan rusak parah seperti
yang diungkap oleh naskah kuno yang tersimpan di Puri
Ayodya Singaraja.
Laporan politik dan budaya J. Moser 1808 banyak
menuliskan tentang berbagai kegiatan politik yang terjadi
disekitar wilayah bekas kekuasaan Sukawati diantaranya
adalah wilayah-wilayah perbatasan yang masih berstatus
abu-abu akibat terpecahnya kekuatan Sukawati menjadi 2
bagian, antara Puri Agung Sukawati dan Puri Peliatan.
Terutama sekali dengan kegiatan-kegiatan ritual yang
diadakan, wiku yang menjadi pemimpin upacara dan
undangan yang bersifat sangat khusus menandakan hirarki
kekuasaan secara tak langsung. Pajak dan upeti seperti
menjadi bagian yang tidak terlalu penting bagi penguasa
dalam kaitan ikatan ritual dan upacara-upacara keagamaan.
Penduduk desa Sakah yang kebanyakan bermata
pencaharian sebagai petani mengalami masa-masa sulit pada
awal-awal abad 18 hingga pertengahan. Dimulai dengan
Gagal panen yang terjadi akibat serangan hama tikus pada
32

tahun 1862, setahun kemudian penyakit kolera dan cacar


menyerang desa. Wabah kekurangan pangan dialami oleh
masyarakat desa akibat gagal panen di tahun 1868
menyebabkan ratusan orang meninggal.
Wabah Kolera dan Cacar menyerang sebagian besar
desa-desa di Bali hingga tahun 1885 menewaskan ribuan
penduduk yang terjangkit. Laporan Politik Van Eck dan Van
Vlijmen menuliskan semua tentang wabah mengerikan
seperti hantu yang menyerang desa-desa tua di Bali,
terutama wilayah Bali Tengah dan Bali pesisir. Belum lagi
dengan terjadinya gempa bumi pada tahun 1888 yang
mengguncang Bali membuat penderitaan masyarakat Bali
pada tahap yang sangat memprihatinkan. Catatan penulis
Belanda yang bernama A.M. Hocart menggambarkan situasi
genting yang terjadi di wilayah ini sudah menepatkan
keberadaan pura-pura tua dan Dam atau bendungan menjadi
sangat penting dalam sisitem sosial untuk mencari
kesejahteraan masyarakat.
Ubud menjadi sebuah wilayah yang berkembang
dengan sangat pesat dimulai pada paruh tahun 1886,
dibawah kepemimpinan Tjokorda Gde Sukawati yang
mempunyai pertalian saudara dengan Puri Tegallalang dan
Puri Peliatan, seperti laporan Residen ke Batavia tanggal 23
Januari 1889. Pada bulan Mei 1891 Ubud dibantu laskar
Mengwi menyerang dan menaklukan Negara, Puri Negara
dibumi hanguskan rata dengan dengan tanah, hal ini
membuat wilayah-wilayah Negara mengakui kekuasaan
Ubud. Laporan Controleur J.H. Liefrinck tanggal 25-5-1893,
33

laporan Residen bulan Desember 1896, laporan Contoleur


J.C Van Erde tanggal 1-6-1897 masing masing
menggambarkan penguasa Ubud terus memperluas
wilayahnya ketenaran Cokorda Gde Sukawati telah
menyebar jauh dan luas, beliau selalu menemani pasukannya
dalam setiap pertempuran, beliau menggunakan mahkota
dari emas bertahtakan mutiara, seringkali beliau
menghabiskan malamnya di pura-pura, sehingga dipastikan
kemuliaan beliau berasal dari kesucian pikiran dan hatinya,
banyak keris pusaka beliau dapatkan di berbagai pura tua di
Bali, sehingga beliau seperti mendapat restu dari Dewa
untuk memimpin pertempuran.
Babad Mengwi Lambing dan laporan politik
Controleur J.P Van Eerde, tanggal 13 Desember 1896
mencatat pada tahun 1892 dua orang bangsawan yang sangat
berpengaruh di Mengwi, yaitu Anak Agung Kerug dan Anak
Agung Pekel melarikan diri dari Mengwi dan meminta suaka
di Ubud mengikuti pelarian putra mahkota Mengwi yang
bernama Anak Agung Gde Agung. Pelarian ini membawa
tidak kurang dari 6000 pengiring setia. Para pengikut setia
inilah yang menepati daerah-daerah perbatasan Ubud dengan
membangun pemukiman dari utara ke selatan sepanjang
sungai Ayung, mereka dilengkapi dengan senjata-senjata
bertuah dan bedil-bedil sehingga fungsinya lebih mendekati
Benteng pertahanan dari pada pemukiman penduduk. Para
Ksatria Mengwi tersebut kemudian ditempatkan di Puri
Kelodan yang khusus dibangun pada tahun 1892. Ubud juga
mendirikan Giriya khusus bagi pendeta Mengwi yang ikut
mengungsi ke Ubud, dinamakan Giriya Pamaron. Tahun
34

1893 setelah Puri Carangsari dan Petang melepaskan diri


dari Bangli dan bergabung dengan Ubud, seluruh wilayah
timur laut bekas kekuasaan Mengwi menjadi wilayah
kekuasaan Tjokorda Gde Sukawati. Laporan politik
Controleur J.H. Liefrinck tanggal 25 Mei 1893. Tjokorda
Gde Sukawati, penguasa Ubud mendapat kemasyuran
dengan mengembangkan wilayahnya dari 40 desa menjadi
130 desa dan bersama-sama sekutunya berhasil
memobilisasi 18.000 pengikut, dengan menguasai sebagian
bekas kekuasaan Mengwi dan beberapa bagian daerah
Gianyar pada awal tahun 1896, tertuang dalam laporan
politik Controleur J.C. van Eerde tanggal 13-12-1896.
Daerah Mas, Sakah, Singapadu, Samu dan Kengetan
yang dalam garis kekuasaan masuk wilayah bawahan
Sukawati kurang mendapat perhatian dari para pejabat
kerajaan, akibat panasnya pergolakan politik yang
mengguncang kraton Sukawati dan Peliatan, hal itu yang
menyebabkan para tetua desa-desa tersebut lebih sering
menghadap ke Puri Ubud dalam kaitan penyelenggaraan
upacara Panca Yadnya. Hal ini terjadi karena penguasa
Ubud dalam rentang tahun 1870 hingga 1919 sangat
berpangaruh terhadap desa-desa kekuasaan Sukawati,
Peliatan, Mengwi dan Payangan, hampir semua pemimpin
desa tersebut sangat loyal kepada penguasa Ubud. Tidak
jarang pada masa itu Tjokorda Rai Batur dan penerusnya,
yaitu Tjokorda Gde Sukawati menjadi tamu kehormatan
dalam perayaan upacara-upacara besar disamping para
penguasa daerah yang bersangkutan. Setiap kehadiran beliau
selalu dielu-elukan oleh masyarakat dan dijamu dengan
35

sangat baik. Ilmuan S.O Robson dalam tulisan budayanya


ada menyebutkan bahwa Penguasa Ubud, Ida Tjokorda Gde
Sukawati sangat gemar melakukan perjalanan-perjalanan
spiritual ke pura-pura yang berada didalam kekuasaan para
saudaranya untuk melakukan pemujaan memohon berkah
bagi rakyatnya. Dalam berbagai perjalanan ini beliau dengan
memakai pakaian kebesaran lengkap dengan keris pusaka
bertuah lebih memilih mengendarai kuda daripada duduk
diatas tandu, hal ini sudah sangat menarik hati masyarakat
desa dan memperikan apresiasi yang sangat baik kepada
sikap beliau yang memasyarakat. Sekitar 150 orang
mengiringi beliau juga dengan pakaian-pakaian yang rapi,
bersenjata keris, tombak dan bedil terlihat gagah tapi santun,
pasukan inilah yang dikenal sebagai pasukan inti Ubud yang
dikenal dengan nama Teruna Pemati. Ada juga para wanita
cantik yang menjadi pelayan setia beliau yang selalu ikut
dalam perjalanan bertugas membawa berbagai perlengkapan
upacara atau benda-benda yang akan diberikan kepada
pengurus desa atau pura sebagai hadiah. Di barisan depan
tampak tiga orang pemuda kekar masing-masing memukul
gong kecil sepanjang perjalanan. Dalam kurun waktu
tersebut belum kami dapatkan data-data lebih lanjut tentang
Pura Dalem Anggarkasih di Desa Sakah, tentang keadaan
dan situasi pelinggih pura ataupun upacara-upacara yang
diselenggarakan. Tetapi dalam analisa kami Pura Dalem
Anggarkasih tidak rusak akibat bencana besar yang terjadi,
gempa ataupun letusan gunung. Hanya karena letak pura
yang sedikit agak jauh dari desa membuat pencatatan tidak
sedetail pura-pura yang berdiri di dalam desa.
36

Masa Peralihan Kekuasaan Belanda-Jepang.

Peran Kekuasaan Belanda sangat kuat di daerah Bali


dengan diangkatnya Van Heutsz sebagai Residen Bali
Lombok pada tahun 1905 yang kemudian membuat
kebijakan di tahun 1909 yang membagi wilayah Bali Selatan
menjadi Divisi Administratif dibawah seorang Asisten
Residen dan terdiri dari 6 sub wilayah, Karangasem, Bangli,
Gianyar, Klungkung, Badung dan Tabanan, masing-masing
dengan satu Controleur. Masing-masing daerah dipimpin
oleh seorang Punggawa. Bali selatan berada dalam wilayah
kekuasaan Residen Bali dan Lombok yang berdomisili tetap
di Singaraja tertuang dalam laporan Residen G.F. de Bruyn
Kops tahun 1909. Pura Dalem Anggarkasih Sakah yang
dipugar pada pertengahan pemerintahan Sukawati sudah
pula mengalami berbagai pemugaran pada palinggih-
palinggihnya dilanjutkan dengan upacara-upacara yang
bersifat besar maupun kecil. Sebuah catatan kuno yang
ditulis oleh H.U. van Stenis mengungkapkan tentang gempa
dahsyat yang melanda Bali Selatan pada tanggal 21 Januari
1917, walaupun berlangsung kurang dari lima puluh detik,
tetapi cukup mengakibatkan kehancuran rumah-rumah, pura,
puri tak terhitung jumlahnya, banyak jalan, bendungan yang
jebol. Gempa yang menelan korban mencapai lebih dari
1.350 orang ini juga merobohkan dan menghancurkan pura-
pura di Desa Sakah dan sekitarnya. Pura Dalem Anggarkasih
Sakah yang menjadi salah satu dari sekian banyak pura yang
rusak, mengalami kehancuran yang parah. Palinggih-
palinggih yang berbentuk bebaturan roboh hampir rata
37

dengan tanah, tembok penyengker pura seperti hilang dari


muka bumi, candi disemua mandala sudah tidak berbentuk
lagi, patung dan stupa berserakan. Tidak dapat digambarkan
kerusakan yang terjadi pada pura Dalem Anggarkasih saat
itu.
Ida Pedanda Ngurah Blayu juga mengisahkan
kehancuran wilayah Bali Selatan, seperti yang tertuang
dalam sastra Bhuwana Winasa yang beliau tulis pada tahun
1918, dimana beberapa bagiannya memuat tentang
diserangnya sawah-sawah penduduk oleh hama tikus dan
peperangan dikalangan orang-orang bersaudara dan
menghancurkan Negara Bali disebabkan karena masyarakat
Bali tidak lagi mengidahkan upacara di Pura Besakih.
Tahun-tahun selanjutnya Bali Tengah benar-benar berada
dalam situasi yang sangat sulit, wabah penyakit silih
berganti menyerang penduduk, hama tikus menyebabkan
gagal panen membuat masyarakat harus benar-benar hidup
dengan sangat seadanya untuk menyesuaikan diri.
Controleur Gianyar H.K. Yakobs menuliskan dalam buku
laporanya bahwa masyarakat miskin dengan cepat
bertambah di desa-desa yang sebelumnya hidup
berkelimpahan. Pada Tahun 1930 wabah kekurangan pangan
menyebar dengan lebih cepat sehingga banyak yang sampai
meninggal akibat kelaparan. Nilai mata uang Belanda (1 rix-
dolar) pada tahun 1931 mencapai 1.375 kepeng sampai
dengan 1.785 kepeng Bali. Puncak dari krisis yang dialami
Bali adalah tahun 1934 nilai tukar 1 rix-dolar mencapai
angka 2.300 kepeng uang Bali.
38

Bali menjadi wilayah administratif kolonial Belanda


pada tahun 1909, Kerajaan-kerajaan Bali Selatan yang yang
dahulunya sangat jaya, berubah nama menjadi 6 sub
wilayah, Gianyar, Badung, Tabanan, Karangasem, Bangli
dan Klungkung. Masing-masing wilayah dipimpin oleh
seorang Punggawa dengan seorang Controleur yang
bertanggung jawab kepada Asisten Residen, mewakili
kekuasaan Residen Bali dan Lombok yang berdomisili tetap
di Singaraja seperti yang dilaporkan dalam nota politik
Residen G.F. de Bruyn Kops tahun 1909.
Ketegangan politik antara Jepang dan Sekutu di Asia
Tenggara mulai terjadi pada tahun 1941, Jepang mulai
sedikit demi sedikit menguasai pasar di Bali, Toko-toko
kelontong Jepang tumbuh bagai jamur di musim hujan,
sangat laris karena barang-barangnya jauh lebih murah dari
barang-barang Eropa. Tanggal 8 Desember 1941 meletus
perang Pasifik, tentara Jepang menghancurkan pangkalan
udara Pearl Harbour di kepulauan Hawai. Belanda dan
sekutunya menyatakan perang melawan Jepan, Bali yang
merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Hindia Belanda
tentunya juga terimbas oleh peraturan-peraturan keadaan
darurat perang. Masyarakat Bali masih seperti biasa
melaksanakan kegiatan sehari-harinya, diakibatkan sedikit
sekali media yang menerangkan tentang peperangan yang
sedang berkecamuk antara Jepang dan Sekutu. Perang
Pasifik mungkin hanya didengar oleh golongan-golongan
intelektual dan keluarga para raja saja, sehingga tidak terlalu
merisaukan masyarakat secara luas.
39

Bagian pasukan Kononklijk Nederlands Indisch


Leger atau KNIL yang dibentuk di Bali dengan nama
Prayoga yang terdiri dari 1000 orang direkrut dari pemuda-
pemuda Bali yang cakap disebarkan di 4 tangsi : Buleleng,
Karangasem, Badung dan Gianyar. Mereka yang ditugaskan
untuk mempertahankan Bali dari serangan Jepang oleh
Angkatan Darat Kerajaan Belanda dibantu oleh seluruh
rakyat Bali. Tanggal 18 Februari 1942 Tentara Jepang
mendarat di Sanur dengan jumlah yang sangat besar, setelah
mengebom lapangan udara di Tuban terlebih dahulu. Tentara
KNIL semua meninggalkan posnya masing-masing dengan
ketakutan, sehingga dengan cepat Jepang berhasil menguasai
Denpasar dan mengakhiri kekuasaan Belanda di Bali.
Suasana kondusif masih terasa di wilayah swapraja Gianyar,
penduduk seakan acuh tak acuh dengan perkembangan
politik saat itu, mereka melakukan kegiatan kehidupannya
dengan normal. Tanggal 8 Maret 1942, Stasiun pemancar
radio resmi Belanda, Nirom menyiarkan bahwa pemerintah
Hindia Belanda telah menyerah tanpa syarat kepada Jepang
sekaligus mengakhiri Pasifik dan masa kekuasaan Belanda
terhadap Bali. Pura Dalem Anggarkasih yang sebelumnya
mengalami kerusakan akibat gempa tidak bisa dipugar
sebagaimana mestinya, karena situasi politik swapraja
Gianyar yang tidak kondusif. Masih banyak bangunan
palinggih yang rusak hingga ditumbuhi rumput liar dan
tanaman menjalar. Penduduk masih bingung dengan apa
yang harus mereka lakukan berkaitan dengan pura-pura yang
ada di wilayahnya. Situasi ini dipengaruhi oleh
terkonsentrasinya para pemimpin swapraja dalam peralihan
40

kekuasaan antara Hindia Belanda kepada Jepang. Para


Punggawa dan Sedahan yang biasanya secara langsung
memberi perintah untuk melakukan perbaikan pura, jalan
atau bendungan tidak berani mengambil keputusan yang
tegas, masih menunggu siatuasi politik menjadi tenang.
Pemerintah militer Jepang mengakui kerajaan-
kerajaan di Bali dengan membentuk badan Panitia kerajaan
terdiri dari Punggawa, Sedahan Agung dan seorang wakil
dari Raja yang digaji oleh pemerintah Jepang. Jepang
menepatkan seorang wakilnya di masing-masing swapraja
dengan nama Syutjo yang bertugas mengamati
perkembangan di masing masing swapraja. Syutjo ini
menggantikan kedudukan para Controleur pada jaman
Hindia Belanda, menjadi pejabat setingkat Bupati. Jepang
memulai pemerintahan tangan besinya di Bali dengan
menebar Polisi Militer yang diberi nama Kempetai yang
bertindak aktif tanpa pandang bulu. Selama pemerintahan
Militer Jepang, keadaan Masyarakat Bali yang sudah sulit,
menjadi semakin sulit, banyak tentara yang sewenang-
wenang terhadap rakyat kecil, merampas, menyiksa dan
menangkap masyarakat yang dianggap melawan Jepang.
Perhatian terhadap pasilitas umum seperti bendungan, jalan,
pasar dan pura sangat minim. Bendungan banyak yang jebol,
jalan rusak, pasar sepi tidak terurus dan pura-pura
terbengkelai. Hal ini juga berlangsung setelah kemerdekaan
dan tahun-tahun awal pemerintahan Republik Indonesia.
41

Masa Kemerdekaan dan Kekinian


Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, Bali yang
merupakan bagian dari Republik Indonesia masih
memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan
diri sebagai daerah yang merdeka. Banyak pemeberontakan-
pemberontakan yang dialami Indonesia, juga gerakan-
gerakan pengacau keamanan Republik juga sangat
berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Masyarakat Bali
yang tersebar di seluruh pulau tidak merasa tenang dalam
melaksanakan kewajiban hidupnya, juga campur tangan
Belanda masih dirasakan oleh masyarakat Bali. Tanggal 7
sampai dengan 24 Desember 1946 dilaksanakan Konferensi
Denpasar di pendopo Bali Hotel dibuka oleh Hubertus
Johannes van Mook bertujuan membentuk Negara Indonesia
Timur dengan ibukota Makasar. Susunan pemerintahan Bali
dikembalikan seperti pada jaman raja-raja dulu,
pemerintahan dipimpin oleh Raja dibantu Patih, Punggawa,
Prebekel dan pemerintahan paling bawah diatur oleh Kelian.
Di atas pemerintahan raja ada dibentuk juga Dewan Raja-
Raja. Dalam kurun waktu tersebut Pura Dalem Anggarkasih
Sakah masih tetap berfungsi sebagai tempat berkumpul
masyarakat saat melakukan pertemuan atau membangun
upacara upakara. Bagi masyarakat pengemong pura, hanya
di pura sajalah tempat yang damai tanpa pertentangan.
Jajar Kemiri Palinggih Pura Dalem Anggarkasih
Simbol-simbol Ida Sang Hyang Widhi di Pura
Dalem Anggarkasih memberikan kekuatan dan ketenangan
bagi masyarakat Pangempon, sehingga mereka lebih
42

mempercayakan nasib dan peruntungannya pada jaman


bergolak itu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penduduk
melaksanakan kewajibannya di Pura Dalem Anggarkasih
Sakah dengan cara-cara swadaya, dimulai dari pemugaran
Pura, pemeliharaan saluran irigasi dan upacara dilaksanakan
secara rutin, walaupun tidak secara besar-besaran. Warga
desa bahu membahu membangun dan menata pura yang
sudah lama dilindas oleh jaman yang penuh hiruk pikuk
perubahan kekuasaan dan politik.

Candi Kurung Pura Dalem Anggarkasih Sakah


Setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia
lewat berbagai diplomasi dengan Belanda, Bali menjadi
43

provinsi yang dipimpin oleh seorang Gubernur, dimulai dari


Anak Agung Bagus Sutedja (1950-1958), I Gusti Bagus Oka
(1958-1959), Anak Agung Bagus Sutedja (1959-1965), I
Gusti Putu Mertha (1965-1967), Soekarmen (1967-1978),
Ida Bagus Mantra (1978-1988), Ida Bagus Oka (1988-1998),
Dewa Made Beratha (1998-2008) dan I Made Mangku
Pastika (2008- sekarang).
Desa Pakraman Ganggangan Canggi, Desa Batuan
Kaler, Kecamatan Sukawati terdiri dari 4 Banjar tempekan,
antara lain : Tempekan Banjar Canggi, Tempekan Banjar
Sakah, Tempekan Banjar Dauh Huma dan Tempekan Banjar
Blahtanah. Batas-batas wilayah desa sesuai dengan Awig-
awig Desa Pakraman adalah:
 Tukad Dongdongan di sebelah Timur
 Tukad Brembeng di sebelah Barat
 Desa Adat Abianseka di sebelah Utara
 Desa Adat Batuan di sebelah Selatan
Pura Dalem Anggarkasih Sakah diyakini sudah
mulai ada pada jaman Bali Kuno, walaupun belum bernama
seperti sekarang dan kemungkinan besar menjadi wilayah
yang disakralkan oleh penduduk Aga dengan bangunan
palinggih yang sangat sederhana yang berbentuk Mretiwi
atau prasada. Dalam perkembangan selanjutnya dilakukan
pemugaran-pemugaran yang disesuaikan dengan jaman pada
saat pemugaranya. Pura Dalem Anggarkasih yang dibangun
di tengah-tengah wilayah persawahan ini terletak di Desa
Pakraman Ganggangan Canggi, Desa Batuan Kaler,
Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.
44

Selain Pura Dalem Anggarkasih, ada banyak pura yang


berdiri di wilayah Desa Pakraman Ganggangan Canggi
antara lain: Pura Desa atau Bale Agung, Pura Puseh dan
Pura Dalem lan Mrajapati yang merupakan pura Kayangan
Tiga Desa Pakraman Ganggangan Canggi. Selain pura
Kayangan Tiga, berdiri juga pura-pura yang bersifat khusus
peruntukannya, antara lain: Pura Penataran Jagat di Banjar
Canggi, Pura Pasek Gelgel di Banjar Canggi, Pura Hyang
Tibha di Banjar Blahtanah, Pura Batur di Banjar Canggi,
Pura Gunung di Banjar Canggi, Pura Nataran di Banjar
Blahtanah, Pura Merta Sari di Banjar Blahtanah, Pura Gaduh
di Banjar Sakah, Pura Dangka di Banjar Sakah, Pura Suwih
di Banjar Sakah, Pura Pasek Gelgel di Banjar Sakah, Pura
Pasek Bandesa Denpasar di Banjar Sakah, Pura Kubayan di
Banjar Sakah, Pura Teba Tahun di Banjar Sakah dan Pura
Ulun Suwi di Banjar Dauh Uma.
Pura Dalem Anggarkasih Sakah diempon oleh
Pemaksan Pura Dalem Anggarkasih dengan jumlah Krama
pemaksan sebanyak 209 kepala keluarga, yang saat
pembuatan Selayang Pandang ini sedang dalam peralihan
kepengurusan dengan struktur pengurus Pemaksan sebagai
berikut: Pengurus Lama terdiri dari; Kelihan Pemaksan, I
Made Murdiasa, Penyarikan Pemaksan; I Made Suarteja,
Petengen Pemaksan; I Wayan Tantra dan I Made Solo.
Struktur Pengurus baru yang melanjutkan berbagai program
pengurus lama, terdiri dari: Kelihan Pemaksan; I Ketut
Sujana, Penyarikan Pemaksan; I Ketut Mariana, Petengen
Pemaksan I Wayan Suandra dan I Wayan Agustina.
Pinandita yang ngayah sebagai Pemangku Pura Dalem
45

Anggarkasih adalah Jero Mangku I Ketut Sandya dan Jero


Mangku Isteri Ni Nengah Menuh. Beliau berdua
melanjutkan ayah-ayah pendahulunya yang juga ngayah
sebagai Jero Mangku di Pura Dalem Anggarkasih, yaitu
Almarhum Jero Mangku Palir dan Jero Mangku Isteri Rayik.
Berkat kerja keras dan kesungguhan hati dari para
Pengemong Pura Dalem Anggarkasih, tuntunan dari para
sesepuh tetua dan manggala adat dinas, dilandasi semangat
gotong royong dan kebersamaan dalam usaha memugar
palinggih-palinggih, kini Pura Dalem Anggarkasih Sakah
yang terdiri dari tiga mandala ini hampir semua bangunan
palinggihnya tergolong baru. Pemugaran yang dilaksanakan
mulai tahun 2000 menjadikan Pura Dalem Anggarkasih
Sakah tampak megah dan indah. Bebaturan yang terbuat dari
batu padas dan batu bata merah dipenuhi dengan ornamen-
ornamen magis kekinian. Bagian atasnya kebanyakan terbuat
dari kayu-kayu pilihan yang juga penuh ornamen ukiran Bali
yang mempesona serta gemerlap karena dilapisi cat emas.
Dari Jalan Raya Sakah ada jalan beraspal yang
membelah areal persawahan dan perumahan penduduk
masuk ke timur lalu menuju arah selatan menuju arah pura
sekitar 300 meter. Jalan beraspal yang tidak terlalu lebar ini
sebagai satu-satunya akses menuju dan ke luar pura dari
jalan raya Sakah. Hal ini membuat pura tersembunyi dari
pengendara yang lalu-lalang di jalan raya, sehingga suasana
di areal pura baik nista, madya maupun uttama mandala
menjadi sunyi tan tenang dari suara hiruk pikuk kendaraan
bermotor. Pembagian letak palinggih dan bangunan
46

pendukung yang sesuai dengan Asta Kosala-Kosali tertata


dengan baik dimasing-masing mandala pura, Uttama
Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala Pura.

Denah lokasi Pura Dalem Anggarkasih


47

Pura Dalem pada dasarnya dibangun oleh


masyarakat dari jaman ke jaman adalah untuk memuja
kebesaran Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Beliau
sebagai Dewa Siwa dan Bhatari Durgha sebagai sakti Beliau.
Para ahli arsitektur tradisional kuno Bali mengungkapkan
pura Dalem adalah metamorfosis dari prasada atau tempat
memuja bagi para penganut Siwa dan Bhairawa yang
kemudian berubah bentuk dan fungsi sesuai dengan jaman
yang terus berkembang secara kebudayaan. Hal itu yang
kemudian membuat banyak Pura Dalem yang tidak
difungsikan sebagai pura bagian dari Kayangan Tiga yang
bersebelahan dengan Setra atau tempat perabuan umum.
Pura Dalem yang dibangun pada masa lampau tanpa ikatan
dengan tempat perabuan atau setra kebanyakan mempunyai
sejarah khusus saat pembangunannya, terutama pada masa
Bali Kuno, masa Majapahit dan masa Astanagara. Sementara
Pura Mrajapati berfungsi umum sebagai tempat pemujaan
alam kosmis untuk menetralisir kekuatan positif dan negatif
sebuah wilayah. Jajar kemiri masing-masing pura Dalem
walaupun berbeda antara satu pura Dalem dengan pura
Dalem yang lain, tapi pada dasarnya mempunyai pelinggih
inti berupa Gedong sebagai linggih sthana Dewi Durgha
sebagai Sakti dari Siwa, Pelinggih Babaturan sebagai linggih
Ratu Nyoman Sakti Pengadangan seperti yang dimuat dalam
lontar Kandapat Sari, Bebaturan sebagai linggih sthana
Sedahan Penglurah dan sepasang bebaturan sebagai linggih
sthana Sang Buta Diyu serta Sang Buta Garwa.
48

Pura Dalem Anggarkasih Sakah yang terdiri dari


tiga pelebahan ini dibangun di timur jalan dengan posisi
yang cukup tinggi dari jalan aspal juga memiliki jajar kemiri
pelinggih yang agak berbeda dari pelinggih pura Dalem pada
umumnya.

Areal uttama mandala yang terletak di ujung timur


jajar kemiri Pura terdiri dari:
1. Palinggih Panggungan yang dibangun di
bagian timur laut terbuat dari kayu-kayu
pilihan beratap
49

2. Bale Tingkepan dibangun disebelah selatan


dari Pelinggih Panggungan.
3. Pelinggih Limas Catu sebagai media
pemujaan Tuhan dalam fungsinya sebagai
pencipta kesejahteraan material dan
spiritual, dibangun didepan pelinggih
Penegtegan paling utara.
4. Palinggih Padmasana, dibangun disebelah
selatan pelinggih Catu dengan keseluruhan
bagiannya terbuat dari batu padas,
menghadap barat daya. Palinggih ini
merupakan palinggih utama, dengan palihan
Padmasana yang lengkap, mulai dari dasar
hingga puncak. Hanya pada bagian-bagian
tertentu yang berupa patung yang dihiasi
dengan berbagai ukiran sederhana.
5. Pelinggih Ratu Dukuh dibangun disebelah
selatan Padmasana.
6. Palinggih Gedong Ratu Dalem juga
dibangun diselatan pelinggih Ratu Dukuh
menghadap barat, dengan palinggih
bebaturan yang terbuat dari batu padas
dengan ornamen-ornamen sederhana di
beberapa permukaan, bagian atasnya terbuat
dari kayu mempunyai tiang 2 dengan satu
buah rong. Bagian kayu ini diukir dan
dilapisi cat emas. Bagian atapnya terbuat
dari jalinan ijuk tanpa tumpang.
50

7. Palinggih Pepelik, dibangun di sebelah


barat, didepan pelinggih Ratu Dukuh,
menghadap ke barat dengan batu padas
sebagai bahan bebaturannya. Di atas
Gunung Rata terdapat palinggih seperti
Padma bertiang empat, semua ruangannya
terbuka, kecuali bagian belakangnya yang
tertutup setengah oleh Parba yang diukir
indah. Bagian atap dari bangunan Palinggih
Bale Pepelik ini dibuat dari jalinan ijuk yang
ditata sedemikian rupa sehingga menyerupai
atap pagoda tetapi tidak bertumpang. Pada
puncak atap diisi Murda yang menyerupai
mahkota.
8. Palinggih Limas, Dibangun di sebelah utara
menghadap keselatan, disebelah barat
Pelinggih Catu, dengan bebaturan bagian
bawah yang terbuat dari batu padas, bagian
atas terbuat dari kayu pilihan bertiang
empat, memiliki rong terbuka, hanya bagian
belakang ditutup dengan parba setengah.
9. Palinggih Gedong Sari, didirikan di bagian
utara menghadap selatan di sebelah barat
dari Pelinggih Limasan.
10. Palinggih Penangkilan dibangun dibagian
utara menghadap selatan di sebelah barat
Gedong Sari.
51

11. Palinggih Sedan Penyarikan dibangun


dibagian utara menghadap selatan di sebelah
barat Palinggih Penangkilan.
12. Bale Penegtegan, dengan bangunan yang
agak besar dibangun
13. Bale Penyimpenan dibangun di sebelah
selatan Bale Tingkepan menghadap ke arah
barat.
14. Bale Pengaruman merupakan bangunan
yang paling bersar ukurannya dibandingkan
dengan bangunan lainnya di areal utama
mandala pura. Dibangun di depan Bale
Penyimpenan menghadap ke arah barat.
15. Gedong Prajapati dibangun di sebelah
selatan Bale Pengaruman juga menghadap
ke arah barat.
16. Bale Pelik dibangun didepan pojok selatan
bnagunan Gedong Prajapati juga
menghadap ke arah barat.
17. Bale Pengenyah dibangun di sebelah selatan
Bale Penyimpenan di areal paling selatan.
18. Bale Peselang dibangun di depan Bale
Pengenyah dibagian selatan areal utama
mandala di sebelah selatan Bale Pelik.
19. Pembedal Agung dibangun di tengah-tengah
tembok pembatas antara utama mandala dan
madya mandala tepat di depan bangunan
Bale Pengaruman. Berupa Candi Kurung
dengan pintu kayu yang berukir.
52

20. Candi Bentar mengapit kedudukan Pemedal


Agung di kanan dan kirinya.
Areal madya mandala dan utama mandala
dipisahkan oleh tembok penyengker yang dibangun
mengelilingi areal utama mandala. Di areal madya mandala
terdapat beberapa bangunan utama dan bangunan lain
sebagai bangunan pendukung, antara lain:
1. Pelinggih Apit Lawang dibangun di depan
Pemedal Agung mengapit tangga dari
Candi Kurung di kanan dan kirinya.
2. Pelinggih Panggungan dibangun didepan
Pemedal Agung satu garis lurus dengan
pintu masuk Pembedal Agung dan Candi
Bentar menuju nista mandala.
3. Bale Pesanekan dibangun dibatas utara
wilayah madya mandala menyatu dengan
tembok pembatas berbentuk huruf L.
4. Bale Wantilan adalah bangunan yang
paling besar ukurannya di wilayah madya
mandala, dibangun dibatas utara menyatu
dengan tembok pembatas bagian utara dan
bagian barat areal madya mandala.
5. Bale Kulkul dibangun di sebelah selatan
Wantilan menyatu dengan tembok
pembatas wilayah madya mandala dan nista
mandala.
6. Candi Bentar dibangun disebelah selatan
Bale Kulkul menjadi satu garis lurus
53

dengan Pelinggih Panggungan dan Pemedal


Agung.
7. Gedong dibangun di sebelah selatan
tembok pembatas wilayah utama mandala
menghadap ke arah barat.
8. Bale Penangkilan dibangun di sebelah
selatan gedong menghadap ke barat.
9. Bale Penangkilan dibangun di sebelah barat
Bale Penangkilan dan di sebelah selatan
Pemedal Candi Bentar pengapit Pemedal
Agung.
10. Suci dibangun di sebelah barat dari Bale
Penangkilan menyatu dengan tembok
pembatas bagian selatan dan barat.
11. Pohon Cempaka tumbuh di depan tembok
pembatas areal utama mandala dan madya
mandala diantara Pemedal Agung dan
Candi Bentar utara.
Daerah uttama mandala Pura Dalem Anggarkasih
adalah bagian paling sakral dan suci hanya diperuntukkan
sebagai tempat upacara dan upakara. Areal uttama mandala
diibaratkan sebagai alam paling suci yaitu alam Swah Loka.
Areal madya mandala yang terletak di sebelah barat dari
areal uttama mandala yang dibatasi oleh tembok
panyengker, Candi Kurung dan Paletasan. Sebagai tempat
utama umat melakukan sosialisasi atau menyiapakan
berbagai bentuk upacara upakara. Wilayah paling luar dari
areal Pura Dalem Anggarkasih Sakah disebut nista mandala
yang merupakan daerah yang sekaligus menjadi tempat
54

parkir di kanan dan kiri jalan yang membentang ke arah


utara dan selatan.
Karya Agung Pura Dalem Anggarkasih Sakah.
Sebagai bentuk dari rasa terima kasih dan wujud
bakti masyarakat pemaksan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa dan manifestasi beliau yang berparahyangan di Pura
Dalem Anggarkasih Sakah, krama Pangempon pura
bersepakat menghaturkan upakara upacara Karya
Mapadudusan Agung, Ngenteg Linggih dan Mupuk
Padagingan. Puncak karyanya jatuh pada hari Anggara
Kliwon Medangsia, tanggal 25 April 2017. Runtutan upacara
ini dimulai dari tanggal 11 Februari 2017 hingga tanggal 2
Mei 2017 melibatkan seluruh komponen masyarakat
Pemaksan Pura Dalem Anggarkasih Sakah dan masyarakat
Desa Pakraman Ganggangan Canggi.
Yadnya sangat penting dalam kehidupan masyarakat
Hindu di Bali. Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta,
kata “Yaj”, yang artinya memuja, mempersembahkan,
pengorbanan, menjadikan suci. Prinsip-prinsip yang harus
dipegang dalam Yadnya yaitu keikhlasan, kesucian dan
pengabdian tanpa pamrih. Dalam Atharwa Weda XVII.3
dinyatakan bentuk Yadnya yang paling tinggi adalah
pengorbanan lahir batin. Maka dari itu semangat patriotisme
yang diajarkan dalam Bhagawadgita, Mahabharata,
Ramayana sangat tepat ksatria yang ber-Yadnya di medan
perang. Maknanya sebagai pembela tanah air, menegakkan
kebenaran dan keadilan.
55

Yadnya sebagai amalan agama mengandung


pengertian: Merupakan sistem persembahyangan dalam
kontak memuja Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai prinsip
berkorban agar umat bersedia, rela dan menyadari bahwa
berkorban itu sebagai pemeliharaan kelangsungan hidup
menuju hidup bahagia.
Konsep agama Hindu adalah mewujudkan
keseimbangan, dengan terwujudnya keseimbangan, berarti
terwujud pula keharmonisan hidup yang didambakan oleh
setiap orang di dunia. Untuk umat Hindu yang diidam-
idamkan adalah terwujudnya keseimbangan antar manusia
dengan Tuhannya, antara manusia dengan manusia, dan
manusia dengan lingkungannya. Yang dikenal dengan Tri
Hita Karana. Maka dari itu, Yadnya mutlak diperlukan.
Ada dua macam Panca Yadnya, yaitu: Panca
Yadnya berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaannya dan
Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan objek yang dituju,
Yadnya ini disebut Panca Maha Yadnya. Panca Yadnya
berdasarkan sarana dan bentuk pelaksanaan dalam Bisma
Parwa dijelaskan:
 Drewaya Yadnya, adalah Yadnya yang
mempergunakan harta milik sebagai sarana korban.
 Tapa Yadnya, adalah Yadnya dengan melaksanakan
tapa, yaitu tahan uji tahan derita sebagai sarana
berkorban.
 Jnana Yadnya, adalah Yadnya dengan
menyumbangkan kebijaksanaan, ilmu pengetahuan,
56

memberikan pandangan-pandangan, atau buah


pikiran yang berguna, sebagai sarana korban.
 Yoga Yadnya, adalah Yadnya dengan pengamalan
yoga, yaitu menghubungkan diri pada Sang Hyang
Widhi melalui jenjangan-jenjangan yoga. Bahkan
sampai dengan tingkat tertinggi yakni semadhi,
sebagai sarana berkorban.
 Swadyaya Yadnya, adalah Yadnya dengan
mengorbankan diri demi kepentingan Dharma.
Seperti halnya para pahlawan kemerdekaan, mereka
mengorban kan diri demi sebuah kemerdekaan. Ini
juga disebut Yadnya.
Panca Yadnya berdasarkan tujuan dan obyek yang dituju.
Dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 70. tersurat:
“Adhyapanam brahma Yajnah, Pitr yajnastu tarpanam,
homo daivo balirbhaurto, nryajno ‘tithi pujanam.”
Selanjutnya dalam Manawa Dharmasastra III.72. bahwa’
“Devatatithi bhrtyanam, pitrnamatmanasca yah, Na
nirvapati pancanam, ucchwasanna sa jwati”.
Yang diartikan
”Tetapi ia yang tidak memberikan persembahan kepada
kelima macam tadi yaitu para dewa, para tamunya, mereka
yang harus dipelihara, para leluhur dan ia sendiri, pada
hakekatnya tidak hidup walaupun bernafas”
57

Bhagawadgitha III.4. menyebutkan


“ Na karmanam anarambhan,Naiskarmyam puruso
snute Na ca sannyasanad eva, Siddhim samadhigacchati”
Yang artinya
“Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai
kebebasan dari perbuatan. Pun juga tidak hanya dengan
melepaskan diri dari pekerjaan orang akan mencapai
kesempurnaannya”.
Dalam hal tersebut bahwa Karya Agung yang
dilaksanakan oleh krama Pangempon Pura Dalem
Anggarkasih Sakah merupakan wujud sradha Bakti kepada
Ida Sang Hyang Widi Wasa. Dimana seluruh komponen
Krama ikut andil dalam pelaksanaannya. Karena
sesungguhnyalah alam telah memberikan kepada kita semua
untuk kita pelihara sehingga keselarasan akan terpelihara.
Setiap pelaksanaan Yadnya yang dilakukan oleh masyarakat
Bali pada umumnya, memiliki dasar yang sangat kuat yang
berdasarkan pada sastra agama.
Pada Rg.veda X.90 yang memberikan ide pertama
dilaksanakannya yadnya menyatakan bahwa
“Alam ini ada berdasarkan yadnya-Nya (Maha Purusa),
dengan yadnya Dewa memelihara manusia & dengan
yadnya manusia memelihara Dewa”.
Ini berarti bahwa yang menjadi dasar adanya alam semesta
beserta isinya ini adalah adanya yadnya Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Maha Purusa.
58

Bhagavadgita III.11. menyatakan bahwa :


”para dewa akan memelihara manusia dengan
memberikan kebahagiaan, karena itu manusia yang
mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas
pemberian itu dengan yadnya pada hakekatnya dia
adalah pencuri”.
Juga dijelaskan dalam Bhagavadgitha III.14. bahwa;
”Dari makanan, makhluk menjelma, dari hujan lahirnya
makanan dan dari yadnya muncullah hujan dan yadnya
lahir dari pekerjaan.
Sehingga dari keseluruhan perbuatan atau pekerjaan
tersebut, lahirlah panca yadnya. Karena keterikatan dan
timbal balik yang terjadi maka adanya hutang yang harus
dibayar, sehingga manusia yang terlahir kedunia sudah
berbekal hutang yang harus dibayar kepada orang tuanya,
dan sebagainya. Maka adanya hutang tersebut yang disebut
dengan Tri Rna.
Hal ini termuat dalam kitab Manawa dharma-sastra VI.35
yang menyebutkan bahwa :
“Pikiran (manah) yang ada dalam diri kita masing-
masing baru dapat diarahkan pada kelepasan setelah
melunasi 3 hutang yang kita miliki”.
Jadi sebelum kita dapat melunasi hutang-hutang itu, kita
tidak akan mencapai tujuan akhir agama Hindu yang disebut
Moksartham jagadhita ya ca iti dharma.
59

Semua sastra di atas mengajarkan kepada umat


Hindu agar tidak jemu-jemu melaksanakan Yadnya yang
pantas dan sesuai dengan kemampuan, yang paling penting
didasari oleh rasa tulus dan ikhlas. Seperti halnya upacara-
upacara besar, tentu memerlukan banyak piranti upacara
juga jumlah krama yang mempunyai tugas dengan
keahliannya masing-masing. Karena sangat banyaknya
pekerjaan yang harus diselesaikan dalam melaksanakan
Karya Agung Mupuk Padagingan, Ngenteg Linggih,
Pedudusan Agung, Tawur Agung Padanan Ngusaba Nini
yang puncaknya dilaksanakan pada tanggal 10 Januari 2017
ini, maka kemudian dibentuklah Panitia atau Prawartaka
Karya, antara lain sebagai berikut :
Prawartaka Karya Karya Mapadudusan Agung,
Ngenteg Linggih dan Mupuk Padagingan di Pura Dalem
Anggarkasih Desa Pakraman Ganggangan Canggi, Desa
Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten
Gianyar, Provinsi Bali.
Anggara Kliwon Medangsia, Tanggal 24 April 2017
1. Jajamana karya : Ida Pedanda Griya Wanasari Kemenuh
2. Tapini Karya : Ida Pedanda Istri Griya Wanasari
Kemenuh
3. Pengrajeg Karya : Tjokorda Raka Kerthyasa
4. Pemucuk Karya : Tjokorda Ngurah Suyadnya
Tjokorda Gde Indrayana
Susunan Panitia Karya
I. Pelindung : 1. Perbekel Batuan Kaler
60

2. Jro Bendesa Pakraman


Ganggangan Cangi
II. Penanggung Jawab : Prejuru Pura Dalem Anggar Kasih
Sakah
III. Ketua Umum Wakil : 1. I Made Suanta
2. I Ketut Santika
IV. Sekretaris : 1. I Wayan Jagera
2. I Putu Suta Wijaya
V. Bendahara : 1. I Nyoman Sumantra
2. I Wayan Wiranata
3. I Komang Wirajaya

Seksi-Seksi

A. Seksi Upakara/ Upacara


Ketua : I Ketut Konda
Ketua 1 : I Ketut Marmi
Ketua 2 : I Wayan Resi
Anggota :
1. Ni Nyoman Perni
2. Ni Wayan Gudu
3. Ni Wayan Seleneng
4. Ni Made Deni
5. Ni Wayan Seri
6. I Wayan Sudiana
7. I Nyoman Rarem
8. I Putu Puspa
9. Ni Putu Rawin
10. Ni Ketut Bukit
61

11. Ni Wayan Nyengklung


12. Ni Made Sulasmi

Pendamping : I Made Murdiasa

B. Seksi Wewangunan
Ketua : I Wayan Sukanta
Wakil : I Made Sutama
Anggota :
1. I Wayan Pugeg
2. I Made Ngeplin
3. I Made Suasta
4. I Wayan Weja.C
5. I Nyoman Suka.C
6. Wayan Gatra

Perlengkapan :

1. I Ketut Pasek.C
2. Made Griya.C
3. Made Buda.L
4. Ketut Astawa
5. Wayan Pasek.S

Pendamping : I Made Solo

C. Seksi Olahan / Paebatan


Ketua : I Ketut Rawa
Wakil : I Ketut Rojana
Anggota :
1. I Wayan Kader
62

2. I Wayan Ridis
3. Made Suamba
4. Made Kerta
5. Ketut Budiarta

Perlengkapan :

1. I Wayan Sadiana
2. I Made Tentrem
3. I Made Rajim

Pendamping: I Ketut Sujana

D. Seksi Olahan Ulam Caru / Bencah


Ketua : I Made Kiring
Anggota :
1. I Made Sudira
2. Ketut Arena
3. I Made Sudirta
4. I Wayan Darmayasa
5. Komp Reta, C
6. I Nyoman Nurya, C

Perlengkapan :

1. I Made Deker
2. I Nyoman Citra
3. I Wayan Dastra

Pendamping : I Wayan Suandra


63

E. Seksi Penggalian Dana


Ketua : I Wayan Krasa
Wakil :
1. I Made Murdika
2. I Nyoman Sudiasa
Sekretaris :
1. I Nyoman Arka
2. I Kadek Martiana

Bendahara :

1. Putu Edi Sumantra


2. I Wayan Kartuantra

Pendamping : I Ketut Mariana

F. Seksi Penangkilan
Ketua : I Wayan Arsa
Anggota :
1. I Made Raweg
2. I Nyoman Patra
3. I Kmp Atra
4. I Wayan Marsa

Pendamping : I Wayan Tantra

G. Seksi Transportasi
Ketua : I Made Sudana
Anggota :
1. I Ketut Nesa
2. I Wayan Darsa
64

3. I Nyoman Darmadi
4. Komp. Mahendra
5. PT Mensien
6. Oka Bawa

Pendamping : I Wayan Agustina

H. Seksi Kesenian
Ketua : I Made Murja
Anggota :
1. I Wayan Subagia
2. I Wayan Sutoyo
3. I Ketut Sunia
4. I Wayan Puger
5. Pengurus Sekaha Teruna Tri Semaya
I. Seksi Dokumentasi
Ketua : Made Purnawibawa
Anggota :
1. Keting
2. Wayan Suarman
3. Gede
J. Seksi Sound Sistem dan Dekorasi
Ketua : I Wayan Mahendra
Anggota :
1. Bujur
2. Percel
3. Sekaha Teruna. Tri Semaya
K. Seksi Lampu / Penerangan
Ketua : I Made Sukarata
Anggota :
65

1. I Made Adnyana
2. I Made Kardana
L. Seksi Konsumsi
Ketua : Nyonya I Nyoman Karta
Anggota :
1. Nyonya I Nyoman Cekuh
2. Nyonya I Wayan Gatra
3. Nyonya Putu Sutawijaya
4. Nyonya I Wayan Kertayasa
5. Nyonya I Ketut Gaduh
6. Nyonya I Wayan Madia
7. Nyonya I Nyoman Rasma
8. Sekaha Teruna Tri Semaya

Pendamping : I Made Saurteja

M. Seksi Kebersihan
1. I Wayan Kimkim
2. I Wayan Madi
3. I Wayan Suartana
4. I Wayan Rekati
5. I Made Pageh
6. I Made Buda
7. I Made Mandia
N. Seksi Keamanan
Ketua : I Made Warta
Anggota :
1. I Made Barta
2. I Made Sudirta
3. I Made Darma
66

4. I Made Adnyana
5. Ketut Doble
6. Nyoman Suartika
7. Wayan Dearta
8. Nyoman Mardika
9. I Made Gustomo
10. I Made Jendra
11. I Wayan Sudirma
12. Nyonya Pariana

Prajuru
Pura Dalem Anggarkasih
BR. Sakah

I Made Murdiasa

Krama Pemaksan yang terpilih sebagai Prawartaka


Karya mempunyai tugas mengorganisasi krama lain dalam
baga-baganya, sehingga diharapkan prosesi Karya agung
bisa berjalan dengan lancar seperti yang direncanakan
sebelumnya. Hal ini diperlukan karena panjangnya tahapan
upacara upakara dari tanggal 11 Februari 2017 hingga
tanggal 2 Mei 2017 seperti yang termuat dalam Ehedan
Upacara dibawah ini:
1.Tanggal 11 Februari 2017; Sanicara Paing, Ukir;
dilaksanakan Nanceb Panggungan dan Nunas Penugrahan;
dipuput oleh Ida Pedanda Griya Wanasari Kemenuh; pukul
67

09:00 WITA pagi. Prosesi bertujuan untuk memberi batas


secara niskala antara parahyangan dengan Tri Mandala serta
memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widi, agar Karya
yang akan dilaksanakan mendapat restu dan diberikan
kemudahan, tuntunan serta semuanya berjalan sesuai
dengan harapan krama pengemong pura khususnya dan Bali
umumnya.
2.Tanggal 13 Februari 2017; Soma Wage, Kulantir;
dilaksanakan Nyengker Serta, dipuput oleh Jro Mangku
Dalem Anggarkasih; pukul 14:00 WITA sore. Krama
Pemaksan Pura Dalem Anggarkasih Desa Pakraman Sakah
sepakat melaksanakan berbagai Yasa Kerti, dengan
mengutamakan perbuatan, perkataan dan pemikiran yang
penuh dengan kesucian. Yasa Kerti dalam hal perbuatan
yang baik dituangkan dalam butir sebagai berikut :
 Semua warga Pangempon Pura agar selalu
memakai pakaian adat yang pantas, juga
diwajibkan memakai ikat kepala, baik laki-
laki maupun wanita.
 Bagi Krama Pangempon Pura yang
mempunyai cacat kelahiran diharapkan
tidak ikut dalam ayah-ayah nanding upakara
Suci, Catur dan upakara lain yang
dihaturkan di Sanggar, untuk menghaturkan
ayah-ayah yang lain dan muspa tidak ada
larangan.
 Yang dianggap Cuntaka menurut sastra
agama adalah warga yang kumpul kebo,
anak yang lahir tanpa orang tua yang syah
68

dan yang lainnya dilarang memasuki


wilayah Pura.
 Semua perbuatan yang disengaja bertujuan
untuk menggagalkan rangkaian upacara agar
dijauhkan.
 Apabila ada Kematian di salah satu anggota
keluarga Krama Pangempon Pura, terhitung
mulai dari dilaksanakannya upacara
Pengalang Sasih sampai selesai Dudonan
Karya Agung, agar melaksanakan kegiatan
tersebut tanpa suara kentongan.
 Apabila yang meninggal tidak akan boleh
dipendem, seperti Sulinggih, Pemangku
agar dititip dahulu (Tidak diupacara).
 Apabila kematian yang boleh dipendem,
agar prosesi dilaksanakan setelah matahari
tenggelam dengan upacara seperti biasa.
 Bagi Krama yang mengikuti prosesi upacara
Kelayu-sekaran dianggap Cuntaka. Cuntaka
satu rumah dihitung sampai selesai, sesudah
12 hari.
 Panumbak Pangapit terkena cuntaka selama
3 hari. Para Juru Desa dan Dinas tidak
terkena cuntaka, agar tidak ikut dalam
prosesi pemakaman.
 Apabila ada Krama Pangempon Pura yang
melahirkan, terkena cuntaka 42 hari bagi
yang wanita dan bagi yang laki-laki terkena
cuntaka sampai kepus puser bayi.
69

 Apabila ada salah satu krama yang


keguguran, kena cuntaka selama 42 hari,
laki atau perempuan.
Demikian ketentuan Yasa Kerti yang disepakati oleh
Krama Pangempon Pura Dalem Anggarkasih Sakah dalam
rangka menyambut Karya Agung yang dilaksanakan.
3. Tanggal 16 Maret 2017; Waraspati, Kliwon, Warigadian;
dilaksanankan Mendak Pekuluh Pura Dalem Sidakarya, Tirta
Empul, Selukat, Mengening, Segara, Besakih dan
Lempuyang; dipuput oleh Panitia; pukul 08:00 WITA pagi.
4. Tanggal 17 Maret 2017, Sukra Umanis, Warigadian,
Dilaksanakan Netegan; Ngadegan Guru Dadi, Tapini, Rare
Angon dan Ngawit Mekarya Sanganan; Dipuput oleh Ida
Pedanda Griya Wanasari Kemenuh; pukul 15:00 WITA sore.
5. Tanggal 22 Maret 2017, Budha Umanis Jalungwangi,
dilaksanakan Nyangling, dipuput oleh Ida Pedanda Griya
Wanasari Kemenuh, pukul 15:00 WITA sore. upacara
nyangling dan ngingsah beras merupakan simbol dari
kesiapan umat untuk melaksanakan upacara selanjutnya.
Nyangling sama artinya dengan nyelir yang pada intinya
menunjukkan kesiapan seluruh umat Hindu untuk
melaksanakan upacara. Sedangkan upacara ngingsah beras
dimaksudkan sebagai upaya untuk menyucikan beras yang
akan dipergunakan selama pelaksanaan upacara ini.
6.Tanggal 19 April 2017; Budha Wage Langkir;
dilaksanakan di Masang Penjor (Memenjor) Krama.
70

7. Tanggal 20 April 2017; Wraspati Kliwon Langkir;


dilaksanakan Tawur Agung; dipuput oleh Rsi Bujangga,
Kebalian, Sukawati; pukul 08:00 WITA pagi. Dilaksanakan
Rsi Ghana, Mlaspas lan Mupuk Pedagingan Pura Prajapati;
dipuput oleh Ida Pedanda Griya Jeroan Kemenuh; pukul
09:00 WITA pagi. Dilaksanakan Rsi Ganha, Mlaspas lan
Mupuk Pedagingan Pura Dalem; dipuput oleh Ida Pedanda
Griya Wanasari Kemenuh pukul 10:00 WITA pagi dengan
Ilen-Ilen Topeng, Wayang Lemah, Rejang Dewa dan Baris
Gede. Bahasa Bali dalam fungsi ritual diartikan sebagai
sebuah wacana berbahasa Bali di dalam kegiatan ritual, yang
dalam hal ini adalah ritual Rsi Ghana. Ritual Rsi
Ghana umumnya dikenal sebagai Caru Rsi Ghana. Menurut
Mardiwarsito (1978:49), kata caru diartikan sebagai kurban.
Kata caru identik dengan upacara bhuta yadnya yang berarti
kurban suci yang ditujukan kepada para bhuta atau bhuta
kala. Rsi adalah orang atas usahanya melakukan tapa, yoga,
dan semadi, memiliki kesucian yang dapat menghubungkan
diri dengan Sang Hyang Widhi sehingga dapat melihat hal-
hal yang sudah lampau, masa sekarang, dan masa yang akan
datang. Ghana adalah simbol dewa bencana (vighnesvara),
mahatahu (vinayaka), dan pengelukat (pengeruat). Caru Rsi
Ghana adalah usaha manusia untuk membuat hubungan yang
harmonis antara keadaan diri, lingkungan, dan Tuhan, yang
diwujudkan dalam bentuk atau wujud sesaji dengan
menghadirkan manifestasi Tuhan sebagai Dewa Ghana.
Rsi Ghana berarti golongan atau kelompok resi Rsi Ghana
terdiri atas kata rsi dan ghana. Rsi berarti ‘pendeta;
dewa’. Ghana berarti makhluk setengah dewa; angkasa;
71

langit. Yang dimaksud dengan kelompok resi adalah


kekuatan Dewata Nawa Sanga yang bergabung menjadi satu
dalam tubuh Dewa Ghana. Makhluk setengah dewa
dimaksudkan sebagai wujud Dewa Ghana yang berupa
manusia berkepala gajah yang datang dari langit dengan
kekuatan para dewa. Jadi, Rsi Gana berarti Tuhan dalam
manifestasi-Nya sebagai Dewa Ghana yang turun ke dunia
sebagai penghalau rintangan atau penyelamat. Ritual Rsi
Ghana dimaksudkan sebagai sebuah ritual dengan
menghadirkan Dewa Ghana sebagai penyelamat atau
pelindung. Dalam hubungannya dengan tulisan ini,
Dewa Ghana dihadirkan di lahan pertanian atau sawah untuk
menjauhkan rintangan dan memulihkan kesuciannya karena
sebelumnya dianggap kotor atau tercemar oleh adanya suatu
kejadian, misalnya orang meninggal, pohon tumbang, dan
tanaman disambar petir. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah
wacana ritual Rsi Ghana yang dilaksanakan di sawah.
Carik punika kamanggehang genah sane suci. Nika
mawinan I krama subak nenten lali ngamargiang
sukreta agama sane kasungkemin, anggen nyejerang
kasucian ring carik, maduluran antuk upacara.
Upacarane punika kalaksanayang ritatka makarya ring
carik, wentene kabaya-baya ring carik, makadi wong
mati, sander kilap, miwah sane lianan sane ngranayang
leteh ring carike. Yaning wenten carik sinalah tunggil
kehanan upami: wong padem salah pati, miwah padem
pangkan sewosan, kabawos carik punika kebaya-baya,
sane ngawinang letuh ring carik. Cutet ipun, sehanan
barang-barang sane kaucap leteh manut agama, tan
72

kadadosang genahang ring carik. Yaning wenten cihna


kaletuhan kadi punika, mabwat pisan kawentenang
pangupahayu, inggih punika Upacara Rsi Ghana, sane
kalaksanayang olih sang sulinggih.
Terjemahan bebas:
Sawah itu diyakini sebagai tempat yang suci. Itulah
sebabnya warga subak tidak lupa menjalankan kewajiban
agama yang dijunjung untuk menjaga kesucian di sawah
dengan menjalankan ritual. Ritual tersebut dilaksanakan
setiap mengadakan kegiatan atau bekerja di sawah. Adanya
mara bahaya di sawah, seperti orang yang meninggal
disambar petir dan pohon tumbang menyebabkan keadaan
di sawah menjadi kotor.
Jika salah satu keadaan tersebut terjadi, misalnya ada orang
meninggal dengan tidak wajar, atau meninggal dengan sebab
lain, sawah itu dikatakan terkena mara bahaya. Dengan kata
lain, segala benda yang disebut kotor menurut agama, tidak
boleh ditaruh di sawah. Kalau ada tanda-tanda kotor atau
tidak baik seperti itu, seharusnya dilaksanakan ritual untuk
memulihkan kesuciannya, yang disebut dengan Rsi
Ghana yang dilaksanakan oleh seorang pendeta.
Umumnya, ritual Rsi Ghana disebut caru. Namun, kalau
diteliti lebih lanjut penyebutan kata caru tidak
tepat. Caru adalah ritual yang ditujukan untuk nyomia Bhuta
Kala’menempatkan Bhuta Kala pada tempat-Nya’. Dalam
ritual Rsi Ghana persembahan dan permohonan ditujukan
kepada Dewa Ghana sebagai Dewa Wighnaghna ‘halangan’.
73

Oleh karena itu, ritual Rsi Ghana itu lebih tepat kalau
disebut ritual penulak baya ‘penolak mara bahaya’, agar kita
terhindar dari berbagai halangan dalam hidup ini.2001:198
8.Tanggal 21 April 2017; Sukra Umanis, Langkir;
dilaksanakan Mendak Ida Bhatara Pengrajeg, Ring Pura
Taman Pule Mas; dipuput oleh Ida Pedanda Griya Wanasari
Kemenuh; pukul 10:00 WITA pagi. Dilaksanakan Nedunan
Ida Ratu Dalem; dipuput oleh Jro Mangku Dalem
Anggarkasih pukul 17:00 WITA sore.
9.Tanggal 22 April 2017; Saniscara Paing, Langkir;
dilaksanakan Melasti Ke Sagara; dipuput oleh Ida Pedanda
Griya Wanasari Kemenuh; pukul 07:00 WITA pagi.
Dilaksanakan Nedunan Ida Betara Ratu Manca; dipuput oleh
Jero Mangku Suang-Suang; pukul 17:00 sore. Dalam lontar
Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan
Malasti ngarania ngiring prawatek Dewata,
anganyutaken laraningjagat, papa kiesa, letuhing
bhuwana
Maksudnya,
Melasti meningkatkan bakti kepada para dewata manifestasi
Tuhan, agar diberi kekuatan untuk menghanyutkan
penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa atau
kekotoran diri dan kekotoran alam semesta.
Sedangkan tujuan melasti seperti yang tersurat
dalam lontar Sundarigama adalah ngamet sarining amertha
kamandalu ring telenging sagara-mengambil sari-sari
74

kehidupan yang disebut tirtha kamandalu (air sumber


kehidupan) di tengah samudera. Ngiring prawatek dewata
dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala itu mengandung
makna bahwa ciri utama orang beragama adalah berbakti
kepada Tuhan (Ida Sang Hyang Widi). Anganyutaken
laraning jagat artinya, dengan kuatnya srada dan bakti
kepada. Tuhan, kepedulian sosial ümat bisa meningkat,
Anganyutaken papa klesa maksudnya agar umat termotivasi
untuk mengatasi lima kekotoran individu yang disebut panca
klesa-awidya, asmita, raga, dwesa dan abhiniwesa.
Sedangkan anganyutaken letuhing bhuwana maksudnya
melalui ritual melasti umat diharapkan termotivasi untuk
menghilangkan kebiasaan buruk merusak sumber daya alam.
Jika kebiasaan buruk ini terus dibiarkan, alam akan rusak
(letuhing bhuwana) yang pada gilirannya manusia akan
menderita.
Malasti berasal dari kata lasti. yang artinya menuju air.
Dalam konteks prosesi melasti, umat bisa mendatangi segara
(laut), danau dan campuan (pertemuan dua buah sungai).
Tujuannya, nunas (mohon) tirta amertha dan menghanyutkan
kekotoran dunia. Malasti ngarania ngiring prewatekan
pralingga Ida Bhatara ke telengin samudera angamet tirta
amerta (tirta sanjiwani), anganyutaken laraning jagat, papa
klesa letuhing bhuwana. Artinya, umat ngiring Ida Bhatara
ke segara mengambil Tirta Amerta dan menghanyutkan
segala penderitaan umat, segala sesuatu yang menyebabkan
dunia atau alam semesta ini kotor. Secara simbolik,
sesungguhnya umat diingatkan untuk selalu membenahi diri
supaya menjadi lebih baik, dengan menghilangkan atau
75

menghanyutkan perilaku atau sifat-sifat buruk yang melekat


dalam diri.
10.Tanggal 23 April 2017; Radite Pon, Medangsia;
dilaksanakan Mepada Alit; Dipuput oleh Jro Mangku Dalem
Anggarkasih, pukul 17:00 WITA sore.
11.Tanggal 25 April 2017; Anggara Kliwon Medangsia;
dilaksanakan Puncak Karya, Ring Pura Mraja Pati; dipuput
oleh Ida Pedanda Griya Wanasari Kemeruh; pukul 08:00
WITA pagi. Dilaksanakan Puncak Karya, Ngangun Ayu lan
Mekebat Daun Ring Pura Dalem Anggarkasih dipuput oleh
Ida Pedanda Budha Griya Gede Batuan; pukul 10:00 WITA
pagi; dengan Ilen-Ilen Topeng, Wayang Lemah, Rejang
Dewa, Baris Gede, Slonding.
12. Tanggal 26 April 2017; Budha Umanis, Medangsia;
dilaksankan Ngaturang Pengayaran; Jro Mangku Dalem
Anggarkasih; pukul 19:00 WITA sore.
13. Tanggal 27 April 2017; Wraspati Paing, Madangsia;
dilaksanakan Ngaturang Pengayaran; Jro Mangku Dalem
Anggarkasih;pukul 19:00 WITA sore.
14. Tanggal 28 April 2017; Sukra Pon, Medangsia;
dilaksanakan Ratu Manca Mawali ke Yoga Saung-Saung;
dipuput oleh Ida Pedanda Griya Wanasari Kemenuh; pukul
09:00 WITA pagi. Dilaksanankan Ngaturang Mejenukan
Ring Pura Desa Puseh Ganggangan Cangi; dipuput oleh Ida
Pedanda Griya Wanasari Kemenuh; pukul 13:00 siang.
Dilaksanakan Ngaturang Pengayaran; dipuput oleh Jero
Mangku Dalem Anggarkasih, pukul 19:00 WITA sore.
76

15. Tanggal 29 April 2017; Saniscara Wage, Medangsia;


dilaksanakan Ida Betara Pegrajeg Mawali ke Yoga; dipuput
oleh Ida Pedanda Griya Wanasari Kemenuh; pukul 15:00
WITA sore. Dilaksanakan Ngaturang Pengayaran Jro
Mangku Dalem Anggarkasih; pukul 19:00 WITA sore.
16. Tanggal 30 April 2017; Redite Kliwon, Pujut;
dilaksanakan Ngaturang Pengayaran; dipuput oleh Jro
Mangku Dalem Anggarkasih, pukul 19:00 WITA sore.
17. Tanggal 1 Mei 2017; Soma Umanis, Pujut; dilaksanakan
Ngaturang Pengayaran; dipuput oleh Jro Mangku Dalem
Anggarkasih; pukul 19:00 WITA sore.
18. Tanggal 2 Mei 2017; Anggara, Paing Pujut;
dilaksanakan Nyegara Gunung dan Ida Betara Mesineb;
dipuput oleh Pedanda Griya Wanasari Kemenuh; pukul
19:00 WITA sore. Filosofi upacara nyegara gunung :
nyegara (ke-segara) mensucikan roh leluhur dengan sapta (7)
gangga (air suci), yakni 7 sungai suci di India: Gangga,
Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godawari, Narmada, Sarayu.
Di tempat-tempat tersebut Weda diwahyukan kepada 7
Maha Rsi: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri,
Bharadwaja, Wasista, Kanwa. Maka timbullah keyakinan
adanya tirta amertha kamandalu itu di tengah laut (ring
telenging samudra). Nyegara Gunung adalah filosofi Bali
bahwa antara laut (segara) dan gunung adalah satu kesatuan
tak terpisahkan. Oleh karena itu, setiap tindakan di gunung
akan berdampak pada laut. Demikian pula sebaliknya
77

Dengan dilaksanakannya upacara Nyegara Gunung


maka berakhirlah seluruh prosesi upacara upakara di Pura
Dalem Anggarkasih Sakah. Dengan demikian Masyarakat
Sakah khususnya para Pangempon Pura Dalem Anggarkasih
Sakah berhasil mencapai tujuan pokok yadnya itu sendiri.
Karena yadnya memiliki enam tujuan utama, antara lain:
1. Yadnya bertujuan sebagai sarana untuk menjabarkan
dan menyebarluaskan ajaran Weda yang bersifat
sangat rahasia. Karena dengan yadnya semua ajaran
Weda dituangkan dalam bentuk upakara, upacara,
tattwa, etika dan susila.
2. Yadnya bertujuan sebagai Pembentuk jiwa umat
yang kuat dalam menghadapi kehidupan, sehingga
menambah kwalitas spiritual umat yang bermuara
kepada konsep keikhlasan hakiki. sifat ini akan
mampu membentuk masyarakat yang jagaditha di
dunia.
3. Yadnya bertujuan sebagai alat memuja kebesaran
Ida Sang Hyang Widhi, mengungkapkan rasa syukur
yang besar kepada Beliau atas semua anugerah yang
sudah dilimpahkanNya.
4. Yadnya bertujuan sebagai komponen terpenting
dalam usaha manusia menciptakan keseimbangan
Tri Hita Karana. Karena kedamaian dan
kesejahteraan hanya akan tercipta apabila ketiga
komponen Tri Hita Karana seimbang dan harmonis.
5. Yadnya bertujuan sebagai sarana untuk menciptakan
suasana kesucian dan penebusan dosa, permohonan
78

maaf penuh ketulusan dibuktikan oleh manusia


dengan nirwreti dan prawrethi.
6. Yadnya bertujuan sebagai barometer pendidikan
agama yang sersifat sangat praktis, karena seluruh
komponen yadnya dibuat dengan cipta yang
mengedepankan praktek berdasarkan tiori-tiori
keagamaan.
Dari sekian banyak usaha pikiran, perkataan dan
perbuatan yang dilaksanakan dalam rangka mensukseskan
Karya Agung ini diharapkan semua bertumpu pada
keikhlasan memuja kebesaran Ida sang Hyang Widhi Wasa
dalam seluruh manifestasi Beliau. Karena salah satu tujuan
dari yadnya itu adalah menciptakan keharmonisan alam
semesta beserta seluruh penghuninya.
Penutup
Pada hakikatnya, bhakti terhadap Ida Sang Hyang
Widhi Wasa bisa diwujudkan oleh Umat Hindu lewat
berbagai bentuk. Rasa syukur atas anugerah Beliau, memuja
dan mensucikan Palinggih Arcana Widhi, membangun dan
memperbaiki Palinggih Kahyangan, menelusuri sejarah yang
erat kaitannya dengan kehidupan sosial religius masyarakat
setempat, adalah sebagian kecil bentuk Sradha Bakti
terhadap Keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Membuat kesadaran yang maha tinggi bahwa segala sesuatu
yang ada di muka dunia ini adalah berkat ciptaanNya, berkat
pemeliharaanNya, dan terakhir hanya Beliaulah yang
mempunyai kekuasaan melebur. Konsep-konsep tersebut
sudah terpatri dalam jiwa setiap masyarakat Hindu di Bali.
79

Semua Yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu


di Bali khususnya di Pura Dalem Anggarkasih Sakah
merupakan salah satu jalan untuk menciptakan hubungan
yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
harmonis dengan manusia sekeliling dan harmonis dengan
alam lingkungannya. Konsepsi ini dikenal dengan nama Tri
Hita Karana. Keseluruhan bagian dari konsep Tri Hita
Karana tersebut dipakai sebagai dasar kehidupan di Desa
Pakraman. Hal ini diperkuat dengan adanya Kahyangan
Puseh, Dalem dan Bale Agung atau Kayangan Tiga juga
kahyangan-kahyangan lain yang bersifat khusus, seperti Pura
Dalem Anggarkasih Sakah yang merupakan salah satu dari
ribuan kayangan yang ada di Bali.
Wilayah Desa Pakraman bagian Uttama Mandalanya
terdiri dari Kahyangan Tiga dan kahyangan-kahyangan
lainnya sebagai wilayah yang disakralkan oleh penduduk,
dipakai sebagai tempat melaksanakan prosesi upacara
keagamaan. Madya Mandala adalah wilayah pemukiman,
yaitu wilayah yang berada diantara sakral dan profan, karena
menjadi tempat penduduk atau masyarakat beraktivitas
rumah tangga. Nista Mandala adalah wilayah Pekarangan,
Sawah, Tegalan,Teba dan sebagainya, merupakan wilayah
profan tempat masyarakat melakukan aktivitas pekerjaan
untuk melanjutkan kehidupannya.
Pura atau Parahyangan sebagai suatu wadah
pelaksanaan berbagai ajaran suci Agama Hindu Bali dan
perkembangan berbagai kebudayaan Bali, serta berperanan
aktif sebagai penyaring bagi masuknya kebudayaan asing.
80

Oleh karena itu Pura di Bali adalah merupakan salah satu


kekuatan utama masyarakat yang menjadi benteng terakhir
dari gerusan budaya luar yang menyerbu Bali. Pura menjadi
tempat yang paling damai untuk mencapai keharmonisan
dan kesejukan jiwa dan badan. Di Pura semua rangkaian
spirit dan ritual bergabung menjadi satu kesatuan yang
bersama-sama membentuk jiwa dan badan masyarakat Bali
menjadi siap menghadapi jaman yang semakin tua.
Om Santhi Santhi Santhi Om
Giriya Gunung Payangan
20 April 2017
81

Foto Dokumentasi
82
83
84
85
86
87

Daftar Pustaka

1. Raja Purana Besakih.


2. Raja Purana Ulundanu Batur.
3. De Stamboom Van Erlangga. oleh F.D.K. Bosch :
1950.
4. Sriwijaya, oleh Dr. Van Stein Callenfels.
5. Epigraphia Balica yang disusun oleh Dr. Van Stein
Callenfels.
6. Catatan L.C. Damais.
7. Lontar Bali Tattwa druwen Giriya Gunung
Payangan, Gianyar.
8. Babad Bali. Kirtya No 6776/Va.
9. Markandya Purana.
10. Transkrif Prasasti Pandak.
11. Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandya.
12. Ubud The Spirit of Bali, oleh Hermawan Kertajaya .
13. Babad Buleleng.
14. Babad Arya Jelantik.
15. Custodians of The Sacred Mountains, oleh Thomas
A Router.
16. Kamus Jawa Kuno, oleh P.J.Zoetmulder dan S.O.
Robson 1997.
17. 'The Ancient Capital of Bali', Archipel 16 1978, oleh
S.O. Robson.
18. A Balinese Dynastic The Hague Martinus Nijhoff
oleh P.J. Worsley. Th 1972.
19. Kamus Bali I Gusti Made Sutjaja
20. Babad Dhalem Koleksi : I Dewa Gde Puja. Alamat :
Jero Kanginan, Sidemen, Karangasem.
21. Babad Dhalem milik Dinas Kebudayaan Provinsi
Bali, editor Drs. I Wayan Warna dkk, tahun 1986.
88

Lontar bertahun 1840, tulisan Ida Bagus Nyoman,


Giriya Pidada.
22. Babad Dhalem, druwen Ida Tjokorda Gede Agung,
Puri Kaleran Sukawati, tahun 1981.
23. Babad Pasek, diterjemahkan oleh I Gusti Bagus
Sugriwa, tahun 1956.
24. Babad Brahmana Siwa, druwen Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, bertahun 1858 Masehi.
25. Babad Mengwi, no kode : Va.1340/12, Gedong
Kirtya Singaraja. Koleksi : I Gusti Putu Mayun.
Alamat : Abiansemal, Badung.
26. Babad Mengwi Buleleng, no kode : Va.1135/10,
Gedong Kirtya Singaraja. Koleksi : Ida Anak Agung
Negara Buleleng.
27. Tim Peneliti Sejarah dan Babad Bali, Th. 2012
Analisis Pengkajian Sejarah dan Babad Abad XVII-
XX, Ringkasan Sejarah Bali Abad XVI-XX no .
kode PS.180 / GGP / V / 2002. Milik Ida Bagus
Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
28. Babad Dhalem Pemayun, no. kode PB. 208 /
GGP/V/2002. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
29. Babad Arya Sentong, no.kode PB. 20 / GGP /
V/2005. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali.
30. Rsi Markandya dan Mpu Kuturan, no.kode
PS.08/GGP/II/2005. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
31. Babad Bangli, no.kode PB.108 / GGP / III / 2005.
Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan,
Gianyar, Bali.
89

32. Sejarah Berdirinya Kerajaan Mengwi, no.kode


PS.124 / GGP / III / 2005. Milik Ida Bagus Bajra,
Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
33. Babad I Gusti Agung Maruti, no.kode PB. 14 / GGP
/ VIII / 2008. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
34. Babad Pasek Badak, no.kode PB. 213 / GGP / VIII /
2002. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali.
35. Catatan Runtuhnya Mengwi (belum bernomor) File
kerja Milik Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali.
36. Mengwi Akhir Abad 14, akhir Abad 17 (belum
bernomor) File kerja Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
37. Penelitian Dr. W.F. Stutterheim Boda en Sogatha in
Bali.
38. Lontar Gong Besi. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
39. Lontar Kramaning Anangun Yadnya. Milik Ida
Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar,
Bali.
40. Lontar Widhi Sastra Dang Hyang Dwijendra. Milik
Ida Bagus Bajra, Giriya Gunung, Payangan,
Gianyar, Bali.
41. Lontar Widhi Sastra Dharma Yogi. Milik Ida Bagus
Bajra, Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
42. Bhagawadgita. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
43. Sarasamuscaya. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
44. Atharwa Weda. Milik Ida Bagus Bajra, Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali.
90

45. Ubud Getaran Spiritual Oleh Tjokorda Rai Sudartha


th 2006.
46. Pulau Bali, temuan yang sangat menakjubkan, oleh
Miguel Covarrubias 2013.
47. Dr. Anak Agung Gde Agung. 1993. Kenangan Masa
Lampau Jaman Kolonial Hindia Belanda dan Jaman
Pendudukan Jepang di Bali.
48. Sejarah Bali oleh I Wayan Ardika, I Gde
Parimartha, Anak Agung Bagus Wirawan. 2013.
49. Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945-
1965 Mouton & Co (1973) oleh Ide Anak Agung
Gde Agung
50. Kahin, Nationalism and Revolution in
Indonesia Cornell University Press, (1952) oleh
George McTurnan
51. A History of Modern Indonesia Since c.1300, (1993)
oleh Ricklefs, M.C.
52. Indonesian Independence and the United Nations.
Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.
(1960) Taylor. Alastair. M.
53. Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai
Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
54. Sejarah Jawa. (terj.) 1985, Jakarta: Bhratara, oleh
C.C. Berg
55. De middeljavaansche historische traditie. Santpoort
1927, oleh C.C. Berg
56. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta:
Grafiti H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001.
57. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press M.C. Ricklefs. 1991.
58. Runtuhnya Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang
1968). Yogyakarta: LKIS 2005, Slamet Muljana.
91

59. Shriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS


2006. Slamet Muljana
60. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965).
Yogyakarta: LKIS 2005. Slamet Muljana
61. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:
Bhratara. Slamet Muljana 1979.
62. Lontar Catur Cuntaka, druwen Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali
63. Lontar Sang Hyang Aji Swamandala, druwen Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali
64. Lontar Tutur Kuturan, druwen Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali
65. Lontar Dwijendra Tattwa, druwen Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali
66. Prasasti Batur Sakti
67. Lontar Siwa Tattwa Purana dan Kampaning Pura
Ulun Danu, druwen Giriya Gunung, Payangan,
Gianyar, Bali
68. Lontar Bhama Kretih, druwen Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali
69. Lontar Kala Tattwa, druwen Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali
70. Lontar Tutur Aji Kunang-Kunang, druwen Giriya
Gunung, Payangan, Gianyar, Bali
71. Lontar Kala Purana dan Lontar Sanghara Bhumi,
druwen Giriya Gunung, Payangan, Gianyar, Bali
72. Lontar Puja Gebogan, druwen Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali
73. Lontar Sundarigama, druwen Giriya Gunung,
Payangan, Gianyar, Bali
74. Monumental Bali; Introduction to Balinese
Archaeology & Guide to the Monuments. Berkeley
& Singapore 1991, oleh A.J. Bernet Kempers.
92

75. 'Balinese babad as historical sources; A


reinterpretation of the fall of Gelgel', Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde 147 1991, oleh
Helen Creese.
76. Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan. Denpasar
1996, oleh A.A. Gde Darta et al.
77. Babad Manggis Gianyar. Gianyar 1968, oleh
Mahaudiana.
78. Macht,mensen en middelen; Patronen en dynamiek
in de Balische politiek ca. 1700-1840. Doctoraal
scriptie, Amsterdam 1980, oleh Henk Schulte
Nordholt.
79. The Spell of Power; A History of Balinese Politics.
Leiden 1996, oleh Henk Schulte Nordholt.
80. Regents of Nations. Systematic Chronology of
States and Their Political Representatives in Past
and Present. A Biographical Reference Book, Part 3:
Asia & Pacific Oceania, München 2003, s. 1239-
1244, oleh Truhart P.
81. The Desiring Prince; A Study of the Kidung Malat
as Text. PhD Thesis Sydney 1986, oleh Adrian
Vickers.
82. Visible and Invisible Realms; Power, Magic, and
Colonial Conquest in Bali. Chicago & London 1995,
oleh Margaret J. Wiener.
83. Wawancara dengan Para Pengelingsir dan Tokoh
Desa

Anda mungkin juga menyukai